Pencarian

Kamis, 24 Oktober 2019

Shirat Al Mustaqim dan Pernikahan


Pengenalan diri bukanlah suatu kesimpulan atau dugaan seseorang berdasarkan segala sesuatu yang ada pada dirinya. Sebaliknya pengenalan diri adalah keterbukaan jiwa seseorang terhadap dirinya yang sebenarnya. Titik-titik pengetahuan yang benar tentang dirinya akan saling terhubung, menyatu dan meluas hingga membentuk sebuah kesadaran baru. Dirinya memasuki sebuah kesadaran baru yang mungkin sangat berbeda dengan kesadarannya sebelumnya. 

إِنَّا فَتَحۡنَا لَكَ فَتۡحٗا مُّبِينٗا لِّيَغۡفِرَ لَكَ ٱللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنۢبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكَ وَيَهۡدِيَكَ صِرَٰطٗا مُّسۡتَقِيمٗا
QS Al-Fatĥ:1 - Sesungguhnya Kami telah membukakan kepadamu keterbukaan yang jelas :2 - supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan menunjukkan kamu kepada jalan yang lurus

Orang yang mengenal diri adalah orang yang Allah bukakan baginya keterbukaan yang jelas. Diperlihatkan kepadanya jalannya untuk menebus dosa-dosanya, dan diperlihatkan pula jalan kehidupan yang seharusnya ditempuh, yaitu Shirat Al Mustaqim. Shirat Al Mustaqim itu merupakan jalan kehidupan paling singkat bagi seseorang yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya. Memilih jalan selain Shirat Al Mustaqim setelah mengetahuinya untuk bertemu Allah hanya akan menunda pertemuan dengan-Nya di Padang Mahsyar, dan barangkali sebagai murtad. Di atas Shirat Al Mustaqim itulah terdapat jalan mi'raj untuk bertemu dengan Tuhannya (liqa'). Seseorang yang mengenal diri mungkin diperlihatkan pula baginya jalan mi'rajnya. 

Pelaksanaan jalan yang telah ditentukan Allah ini merupakan titik awal dari agama seseorang. Dia mengenal fitrah diri untuk apa diciptakan, dan dengan itu dirinya akan mengenal rabb-nya, walaupun belum bertemu (liqa'). Rabb yang akan dikenal bukanlah asma Allah secara keseluruhan, tetapi hanya berupa tajalliat Allah bagi seorang hamba yang dikehendaki. Rabb yang bertemu dengan Musa as di lembah thuwa tidak tampak sama dengan Rabb yang bertemu dengan Ibrahim as, dan tidak tampak sama dengan Rabb yang bertemu dengan Rasulullah Saw di ufuk yang tertinggi. Tingkat tajalliat Allah berbeda bagi masing-masing hamba-Nya. 

Shirat Al Mustaqim bukanlah jalan yang mudah. Seseorang tidak boleh berpaling bila telah menapaki jalan tersebut. Barangkali perlu waktu bertahun-tahun untuk mengumpulkan keberanian dan menyeimbangkan diri untuk menapaki jalan tersebut, setelah mengetahuinya. Diperlukan pasangan yang tepat dan saling mengerti agar seorang laki-laki dapat menempuh shirat Al Mustaqim. Pasangan yang saling merasa asing akan kesulitan menempuh jalan itu, sebagaimana burung tak akan terbang dengan satu sayap. 

Pasangan itu adalah pasangan jiwanya. Setiap laki-laki diciptakan berdasarkan nafs wahidah, dan dari nafs wahidah diciptakan jiwa pasangannya. Setiap perempuan adalah pasangan untuk seorang laki-laki tertentu. Pasangan itulah yang paling sesuai untuk hidup berdampingan bersama menempuh jalan menuju Rabb. Nafs wahidah ini adalah entitas yang bisa memperoleh keterbukaan yang jelas (fathan mubiinan), dan bisa mengenal rabb-nya, jika jiwanya telah berkembang hingga perkembangan tertentu. Jiwa yang seperti ini seharusnya menjadi pemimpin bagi seseorang, yang menuntun dirinya menjalani Shirat Al Mustaqim. Hanya sedikit orang yang mengetahui nafs wahidah dirinya. Ketika seseorang akan terlahir, jiwanya hadir dalam raganya, tetapi belum mengetahui sesuatu. Jiwa itu makhluk langit yang harus belajar di alam dunia segala sesuatu bersama dengan raganya. 

Jiwa dan raga adalah pasangan satu sama lainnya. Terbentuk hawa nafsu sebagai ikatan antara jiwa dan raga. Hawa nafsu itu akan memberikan kecerdasan ragawi manusia. Walaupun terlihat cerdas tetapi sebenarnya hawa nafsu tetap bodoh. Karena adanya jiwa itu manusia tumbuh sebagai makhluk bumi yang sangat cerdas. Seekor kuda hanya membutuhkan makanan, betina dan tuan yang baik, tetapi manusia menganggap lembaran uang sebagai barang berharga yang sangat membantu. Tetapi tetap saja itu kebodohan, sedikit yang menyadari bahwa ada parasitisme raksasa dibalik kertas berbentuk uang tersebut. 

Pada sisi lain, nafs wahidah itu sendiri dibuat berpasangan dengan jiwa yang lain, berupa jiwa perempuan pasangannya. Pernikahan akan mewujudkan sebuah entitas baru bagi manusia, seperti menyatunya jiwa dan raga. Banyak hal baru akan muncul dalam ikatan pernikahan, baik berupa dzahir maupun batiniah. Pernikahan merupakan wahana bagi jiwa untuk mengenal diri. Jiwa akan berkembang melalui pernikahan. Dengan pasangan yang tepat, jiwa akan tumbuh subur hingga berbuah. 

Tidak banyak orang yang hidup dengan jiwanya yang satu. Bahkan jika seseorang telah mengenalnya, belum tentu hidupnya dituntun oleh jiwanya yang satu. Banyak hal yang membuat seseorang tidak tertuntun oleh jiwanya yang satu. Misalnya seorang laki-laki yang mengenal jiwa belum tentu bisa tertuntun oleh jiwanya, bila istrinya tidak mengimbangi perkembangan suaminya, kecuali bila istrinya dikehendaki sebagai orang yang celaka atau harus dipisahkan. Suami dan istri seharusnya berkembang bersama, sehingga nafs wahidah itu memandu kehidupan mereka menuju rabb-nya. Suami dan isteri dan raga-raga mereka terikat pada urusan nafs wahidah untuk mengabdi kepada Rabb mereka. Sebagaimana jiwa dan raga itu berpasangan, suami dan istri juga berpasangan. 

Komunikasi seringkali menjadi masalah dalam ikatan suami istri. Kadangkala seorang laki-laki berkembang tetapi istrinya tidak mengerti perkembangan suaminya, atau sebaliknya. Kadangkala suami merasa berkembang jiwanya dan istrinya juga demikian, akan tetapi masing-masing ingin berjalan sendiri. Hal ini akan menjadikan pernikahan itu rentan terhadap tipuan syaitan yang menjalar di antara mereka. Keduanya merasa berkembang padahal tidak memiliki dasar pertumbuhan. Hal ini kadangkala lebih berbahaya daripada hidup tidak menikah. kasih sayang merupakan salah satu hal yang harus ditumbuhkan. 

Salah satu parameter benarnya perkembangan jiwa adalah kemanfaatan pernikahannya bagi agamanya. Pernikahan adalah setengah dari agama. Jika pernikahan menjadi beban yang dibencinya, tetapi merasa jiwanya berkembang, boleh jadi itu hanya tipuan. Bisa jadi pernikahan terasa menghimpit, hingga ingin bercerai tetapi seseorang yang benar akan memandang kebaikan padanya. Mungkin salah satu pihak tidak mempunyai iktikad yang tegak, tetapi pihak yang beriktikad harus berusaha memberikan kasihnya kepada pasangannya. 

Kebanyakan manusia hidup menurut hawa nafsu, dan sangat banyak yang mempertuhankan. Sebagian manusia mengikuti hawa nafsu yang baik, dan sebagian hawa nafsu yang buruk. Dengan hawa nafsu, seorang laki-laki tidak akan mendapatkan keterbukaan, fathan mubiinan. Seorang laki-laki harus terus berusaha mencari kebaikan hingga menemukan Fathan mubiinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar