Pencarian

Minggu, 31 Maret 2024

Mengharapkan Shirat Al-Mustaqim

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan. Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah.

Di antara orang-orang yang mengikuti langkah Rasulullah SAW, ada orang-orang yang bisa mendapatkan petunjuk tertentu dengan Alquran karena Allah menurunkan petunjuk-Nya melalui ayat-ayat Alquran. Orang-orang yang mengikuti keridlaan Allah akan memperoleh petunjuk jalan-jalan keselamatan, dikeluarkan dari kegelapan menuju cahaya, dan memperoleh petunjuk menuju shirat al-mustaqim.

﴾۶۱﴿يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan mengeluarkan mereka dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus (QS AL-Maidah : 16)

Dua petunjuk akan diberikan kepada orang-orang yang mengikuti keridlaan Allah melalui kitabullah Alquran, yaitu petunjuk tentang jalan keselamatan (سُبُلَ السَّلَامِ) dan petunjuk jalan yang lurus (صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ). Selain kedua petunjuk tersebut, Alquran menjadi sarana agar manusia dapat keluar dari kegelapan menuju kehidupan yang penuh cahaya. Orang-orang yang memperoleh manfaat dari fungsi-fungsi kitabullah Alquran di atas adalah orang-orang yang berusaha untuk mengikuti keridhaan Allah dengan Alquran.

Yang disebut sabil (سُبُلَ السَّلَامِ) menunjuk pada jalan Allah yang ditentukan bagi manusia bagi kehidupan mereka. Secara bebas, sabil dapat dipahami sebagai jalan kehidupan yang terkait pada suatu kauniyah kehidupan pada masa tertentu. Hanya orang-orang yang mengenal sabil yang akan memahami jalan keluar dari masalah yang digelar di ruang dan masa mereka. Satu orang yang mengenal sabil akan mengetahui satu urusan yang harus dientaskan dari masyarakat mereka, sedangkan masalah itu mungkin sangat banyak. Umat secara umum dapat pula memperoleh petunjuk sabil masing-masing dengan mengikuti orang yang telah memperoleh petunjuk sabil mereka dengan berpegang pada kitabullah Alquran.

Jalan yang lurus (صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ) menunjuk pada jalan Allah yang paling singkat yang dapat ditempuh agar manusia dapat kembali kepada Allah dengan selamat. Jalan yang lurus (صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ) secara bebas dapat dipahami sebagai jalan yang terkait dengan tujuan pertaubatan yaitu keselamatan dalam kembali kepada Allah.

Di antara ketiga hal tersebut petunjuk pertama yang akan ditemukan pencari petunjuk adalah jalan-jalan keselamatan’- (سُبُلَ السَّلَامِ). Jalan-jalan keselamatan (سُبُلَ السَّلَامِ) akan ditemukan terlebih dahulu karena adanya seruan kepada sabil dari orang-orang lain sebelum mereka yang telah memperoleh petunjuk sabilnya karena mengikuti keridlaan Allah melalui Alquran. Manakala seseorang mengikuti suatu jalan yang merupakan jalan keselamatan yang telah ditempuh orang yang benar, maka ia akan bisa menemukan pula jalan keselamatan (سُبُلَ السَّلَامِ) bersama dengan yang lain.

Mengikuti suatu sabil yang tepat untuk ruang dan jaman tertentu akan menjadikan seseorang bisa memahami penjelasan kitabullah Alquran tentang kauniyah mereka dengan lebih mudah dan tepat, maka mereka akan menemukan pula petunjuk sabil yang harus mereka lakukan. Tanpa mengikuti sabil tertentu yang benar, atau bila mengikuti sabil yang keliru, seseorang mungkin harus melakukan perjalanan penggembalaan pikiran yang sangat panjang. Tanpa kitabullah Alquran, seseorang tidak akan menemukan petunjuk sabil bagi dirinya. Meskipun demikian, tidak jarang umat berbuat seperti kurang akal mengabaikan sabil yang dihadirkan kepada mereka melalui seseorang karena tidak sesuai dengan hawa nafs. Pencarian sabil dengan hawa nafsu akan menjadikan manusia mudah mengabaikan kitabullah yang dijelaskan hingga tampak  kurang akal.

Syaitan Menghalangi Manusia dari Sabil

Perlu tekad yang kuat berpegang teguh pada kitabullah Alquran agar seseorang bisa memperoleh petunjuk tentang sabil yang harus mereka tempuh. Syaitan akan benar-benar menghalangi umat manusia untuk mengerti sabil yang harus mereka tempuh. Bila seseorang atau suatu kaum tidak berpegang teguh pada kitabullah Alquran, syaitan akan masuk menghalangi mereka dari petunjuk sabil. Mereka akan mengerjakan amal-amal yang tidak menjadi solusi bagi masalah yang ada pada masa dan ruang kehidupan mereka. Boleh jadi amal-amal yang mereka kerjakan  tampak begitu menakjubkan, tetapi tidak menyentuh akar masalah yang digelar Allah.

﴾۷۳﴿وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَّبِيلِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُم مُّهْتَدُونَ
Dan sesungguhnya mereka (syaitan-syaitan itu) benar-benar menghalangi mereka dari jalan (sabil) dan mereka (manusia) menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk (QS Az-Zukhruf : 37)

Para syaitan akan benar-benar menghalangi manusia dari sabil mereka. Yang mereka halangi bukan hanya orang-orang kafir, tetapi lebih diutamakan menghalangi orang-orang yang mencari jalan sabil bagi mereka. Barangkali tidak penting bagi syaitan menghalangi orang-orang kafir karena tanpa dihalangi orang-orang kafir itu tidak mencari jalan sabil. Sedangkan orang-orang yang mencari jalan sabil mereka sangat mungkin untuk menemukannya, maka para syaitan berusaha keras untuk menghalangi mereka mendekat kepada sabil.

Sangat penting bagi setiap orang untuk berpegang pada kitabullah Alquran. Syaitan akan menghalangi orang yang mencari sabil dengan cara sedemikian hingga orang-orang yang terhalang oleh para syaitan itu akan menyangka bahwa mereka adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Di kalangan orang-orang beriman, ada kaum yang tumbuh menjadi akrab dengan petunjuk. Syaitan akan memasuki medan-medan petunjuk bagi orang-orang beriman. Setiap orang beriman hendaknya berhati-hati terhadap petunjuk-petunjuk bagi mereka tidak bermudah-mudah untuk meyakini bahwa petunjuk mereka adalah petunjuk yang benar, tetapi harus digunakan untuk memperoleh pemahaman dari kitabullah Alquran.

Syaitan akan menjadikan orang-orang yang mereka halangi untuk meyakini bahwa mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. Metode demikian dilakukan dengan cara mencampurkan kebenaran-kebenaran dengan sedikit kebathilan yang meracuni. Ini cara paling sulit dikenali manusia. Umat manusia akan mudah mengenali kebathilan-kebathilan yang banyak, maka syaitan tidak akan bisa efektif memasuki umat manusia dengan cara demikian. Bila ia banyak memberi petunjuk kebenaran kepada manusia, maka manusia akan percaya kebenarannya dan mudah lalai terhadap kebathilan yang akan diselipkan. Sebenarnya kebenaran yang disampaikan syaitan tidak pula kebenaran yang kokoh, karena syaitan tidak ingin manusia menjadi kuat, akan tetapi syaitan memilih petunjuk yang menjadikan manusia memandang kebenaran dari mereka itu megah. Tidak jarang struktur kebenaran itu dibuat untuk menjadi jalan masuk fitnah lain yang syaitan siapkan. Hal ini biasanya dikenali oleh orang-orang yang akalnya kuat, tetapi akan didustakan oleh kebanyakan manusia.

Bila manusia lengah untuk bermudah-mudah abai terhadap ayat kitabullah, syaitan memasukkan fitnah melalui pengabaian itu. Dalam perkara mencari petunjuk, pokok dalam mencari petunjuk adalah mengikuti kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Hati yang bersih akan menjadikan manusia mudah menerima petunjuk, akan tetapi hendaknya manusia tidak melupakan atau mengalahkan prioritas petunjuk melalui kitabullah. Seringkali lebih mudah bagi manusia untuk mencari petunjuk mengikuti kitabullah, daripada mencari kitabullah untuk mengikuti petunjuk. Kedua cara itu bisa digunakan selama dijalankan dengan berpegang teguh pada kitabullah. Sekalipun hati bersih, akal akan tumbuh hanya melalui kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW bukan sembarang petunjuk. Bila lalai pada kitabullah, manakala hati mengikuti petunjuk syaitan, maka syaitan akan membentuk pada petunjuk itu suatu pijakan bagi dirinya untuk memasukkan kebathilan.

Syaitan akan menghalangi manusia dari sabil dengan cara memberikan petunjuk, sedemikian manusia akan mengira bahwa mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. Petunjuk yang sebenarnya akan selalu mengikuti kitabullah, dan bukan sesuatu yang boleh dianggap setara atau justru dianggap lebih tinggi dari ayat kitabullah. Suatu petunjuk tidak boleh diperdebatkan dengan petunjuk kitabullah. Manakala seseorang berusaha mencari petunjuk sabil, hendaknya ia selalu memeriksanya dengan kitabullah Alquran. Bila tidak, bisa saja manusia terjebak hanya mengikuti sesuatu dari syaitan yang justru menghalangi mereka dari sabil. Bila demikian mereka tidak mengikuti suatu sabil tetapi justru mengikuti syaitan. Apabila tidak berpegang pada kitabullah, seseorang tidak akan memperoleh petunjuk sabil atau justru menjadi golongan yang menghalangi orang lain dari sabil, sedangkan mereka mungkin saja mengira diri mereka sebagai orang-orang yang memperoleh petunjuk.

Suatu sabil yang benar hanya dilakukan berdasarkan suatu tuntunan ayat kitabullah yang jelas tanpa memaksakan pemaknaan-pemaknaan tertentu terhadap kitabullah. Para pengikut sabil sebenarnya mengikuti ayat kitabullah bukan memakai ayat kitabullah secara ceroboh. Ayat-ayat yang diikuti merupakan penjelasan terhadap ayat kauniyah yang terjadi pada semesta mereka, dan sabil yang mereka perjuangkan mengikuti penjelasan kitabullah tersebut. Kadangkala terjadi perselisihan antara orang yang mengikuti sabil yang sebenarnya dengan gerakan yang lain. Bila menjumpai perselisihan demikian, seseorang harus menilai dengan benar pihak yang mengikuti sabilillah. Apabila salah memilih sabil yang diikuti, ia akan kesulitan memperoleh petunjuk sabil. Berpegang pada kitabullah harus dilakukan sejak menilai kebenaran, tidak hanya mengikuti hawa nafsu.

Sabil untuk Membina Keadilan

Suatu sabil pada intinya akan membina seseorang tegak sebagai orang yang adil terhindar dari kedzaliman. Adil bermakna menempatkan sesuatu sesuai kedudukannya, sedangkan dzalim bermakna sebaliknya. Seorang yang adil harus mempunyai pengetahuan tentang ayat-ayat Allah secara kauniyah maupun kitabullah secar sinergis, dan mampu berbuat dengan benar sesuai dengan pengetahuan itu. Bila beramal tanpa mempunyai pengetahuan atau berdasar pengetahuan yang salah, seseorang mungkin menjadi dzalim baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Manakala suatu sabil mencederai prinsip keadilan dan menimbulkan kedzaliman, maka manusia hendaknya tidak mengikuti sabil itu dengan ceroboh. Kadangakala suatu sabil bercampur dengan kedzaliman, maka umat harus memilih-milih sabil yang benar dari campuran syaitan. Manakala tidak berlandaskan kitabullah, seseorang tidak bisa memperoleh petunjuk sabil dari golongan demikian.

Wahana pokok menumbuhkan keadilan adalah pernikahan. Keadilan diri seseorang hanya dapat ditunaikan dengan baik apabila ia berada pada kedudukan dirinya. Suatu pernikahan akan mendatangkan bagi orang yang melakukannya suatu kedudukan tertentu berdasarkan suatu mitsaqan ghalidza dari sisi Allah. Kedudukan diri seseorang pada dasarnya tidak berdiri sendiri. Kedudukan setiap laki-laki dalam agamanya secara prinsip terhubung pada suatu urusan tertentu dari Rasulullah SAW, bukan suatu urusan diri sendiri yang berdiri secara mandiri. Demikian pula kedudukan seorang perempuan dalam agama terletak pada kedudukan tertentu secara khusus di sisi suaminya. Hubungan demikian berpusat pada konsepsi nafs wahidah yang dapat teraktifkan melalui pernikahan, dan pengetahuan tentang keadilan dapat tumbuhkan padanya. Pasangan menikah harus berusaha menegakkan urusan bagian diri mereka bersama-sama secara berjamaah hingga dapat menegakkan keadilan bagi masyarakat.

Untuk menumbuhkan pengetahuan tentang keadilan, seorang suami harus memperoleh petunjuk tentang sabil bagi dirinya, dan memberikan kepada isterinya bagian dari urusan dirinya, baik untuk urusan pribadi dirinya ataupun untuk urusan berkegiatan sosial. Seorang istri boleh saja menjadi pengusaha kaya bila dilakukan dengan mengusahakan urusan dari suaminya ketika suaminya memintanya atau mengijinkannya. Bila seorang isteri hanya peduli urusan sendiri tidak peduli dengan urusan suaminya, keberjamaahan itu lenyap. Demikian pula manakala seorang laki-laki mengusahakan urusan diri sendiri tanpa peduli urusan Rasulullah SAW sebagai petunjuk sabil bagi dirinya, ia tidak termasuk dalam golongan al-jamaah.

Pernikahan menjadi pokok utama pembinaan keadilan. Bila pembinaan melalui pernikahan rusak, pembinaan keadilan bagi umat manusia akan rusak dan manusia terjatuh pada kedzaliman. Setiap orang harus dibina untuk dapat menemukan jodoh yang tepat dengan menundukkan hawa nafsu dan syahwat masing-masing, dan dapat membina rumah tangganya membentuk rumah yang memperoleh ijin Allah untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah. Merusak bentuk perjodohan dan proses-prosesnya merupakan bentuk kedzaliman. Demikian pula merusak pernikahan baik pernikahan diri sendiri maupun pernikahan orang lain merupakan kedzaliman dalam tingkatan yang lebih tinggi. Manakala orang-orang di antara masyarakat bisa berbuat merusak perjodohan atau pernikahan orang lain secara leluasa tanpa kendala berarti, keadaan itu menjadi indikator terjadinya kerusakan yang besar pada pembinaan keadilan di antara masyarakat mereka, karena keadilan di rumah tangga merupakan pokok keadilan umat. Seseorang bahkan bisa terbuang dari kedudukan yang telah diberikan Allah kepadanya berdasar mitsaqan ghalidza karena rusaknya pernikahan, sehingga keadilan rusak dari akar-akarnya.

Setiap orang dan pasangan menikah harus berusaha memperoleh petunjuk sabil dengan mengenali urusan Rasulullah SAW bagi ruang dan jaman mereka. Banyak media dapat menjadi sarana pengenalan itu. Kitabullah, sunnah Rasulullah SAW, para ulama yang mengajak manusia menuju sabil dengan memperhatikan ayat-ayat Allah secara integral merupakan sarana-sarana untuk memperoleh petunjuk sabil, di mana kitabullah menjadi pegangan utama menguji kebenaran petunjuk yang diperoleh. Bila seseorang memperoleh petunjuk sabil, ia akan memperoleh jalan untuk memperoleh petunjuk shirat al-mustaqim. Seseorang yang mengikuti suatu sabil yang benar akan memahami secara bertahap kauniyah mereka sesuai kitabullah hingga mereka memperoleh petunjuk sabil bagi dirinya, dikeluarkan dari kehidupan yang gelap menuju cahaya, hingga memperoleh petunjuk shirat al-mustaqim. Manakala mengikuti suatu sabil tidak menjadikan diri memahami kauniyah berdasarkan kitabullah, seseorang perlu melihat caranya berpegang pada kitabullah, karena kitabullah menjadi sumber terwujudnya petunjuk-petunjuk dan cahaya Allah.


Senin, 25 Maret 2024

Mengharap Shirat Al-Mustaqim Dengan Alquran

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan. Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah.

Bukti terbesar karunia Allah kepada Rasulullah SAW adalah diturunkannya Alquran kepada beliau SAW. Alquran merupakan kitab penjelasan seluruh kebenaran yang hendak Dia perkenalkan kepada seluruh makhluk. Kitab tersebut tidak hanya bagian dari kebenaran, akan tetapi kitab yang melingkupi semua kebenaran yang hendak Dia turunkan. Sedemikian besar penciptaan alam semesta dan sedemikian banyak kebenaran yang hendak Dia perkenalkan melalui seluruh alam ciptaan-Nya, seluruhnya terdapat di dalam kitabullah Alquran. Manusia hanya akan mampu mengenal sebagian dari kandungan kitabullah Alquran yang diperuntukkan bagi dirinya yang diperhatikannya, sedangkan Rasulullah SAW mengetahui seluruh kandungan di dalam Alquran sebagai keseluruhan kebenaran yang hendak Dia perkenalkan kepada makhluk.

Tidak semua orang dapat mengenal kebenaran dari Alquran. Hanya orang-orang yang disucikan yang mampu menyentuh kandungannya dengan jelas, sedangkan kebanyakan orang islam melihat ayat-ayat Allah dengan pikirannya layaknya pola-pola buram. Ada orang-orang yang bisa mendapatkan petunjuk tertentu dengan Alquran karena Allah menurunkan petunjuk-Nya melalui ayat-ayat Alquran. Orang-orang yang mengikuti keridlaan Allah akan memperoleh petunjuk jalan-jalan keselamatan, dikeluarkan dari kegelapan menuju cahaya, dan memperoleh petunjuk menuju shirat al-mustaqim.

﴾۶۱﴿يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan mengeluarkan mereka dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus (QS AL-Maidah : 16)

Ayat di atas berbicara tentang fungsi dari kitabullah Alquran, di antaranya dua petunjuk melalui kitabullah Alquran yang akan diberikan kepada orang-orang yang mengikuti keridlaan Allah, yaitu petunjuk tentang jalan keselamatan (سُبُلَ السَّلَامِ) dan petunjuk jalan yang lurus (صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ). Selain kedua petunjuk tersebut, Alquran menjadi sarana agar manusia dapat keluar dari kegelapan menuju kehidupan yang penuh cahaya. Fungsi-fungsi di atas merupakan kelebihan dari kitabullah Alquran.

Orang-orang yang memperoleh manfaat dari fungsi-fungsi kitabullah Alquran di atas adalah orang-orang yang berusaha untuk mengikuti keridhaan Allah. Kitabullah Alquran merupakan kitabullah yang salah satu ujungnya berada di tangan Allah sendiri, sedangkan ujung yang lain berada di tangan manusia tertulis dalam huruf-huruf yang dapat disentuh indera jasmaniah manusia. Manusia dapat mengindera kitabullah Alquran hingga entitas fisik mereka. Di tingkatan jasmaniah, mengindera kitabullah dapat dilakukan dengan berbagai sikap sesuai dengan sikap-sikap manusia yang menginderanya. Sebagian manusia mengindera dengan hawa nafsu untuk memperoleh harta dan kedudukan di antara manusia, sebagian mencari ridha Allah dengan mengikuti kitabullah Alquran. Sangat banyak sikap manusia dalam mengindera kitabullah Alquran, dan hanya orang-orang yang mencari keridhaan Allah yang akan memperoleh ketiga fungsi kitabullah yang disebutkan ayat di atas.

Jalan-jalan keselamatan yang disebut sabil (سُبُلَ السَّلَامِ) menunjuk pada jalan Allah yang ditentukan bagi manusia bagi kehidupan mereka. Secara bebas, sabil dapat dipahami sebagai jalan kehidupan yang terkait pada suatu kauniyah kehidupan pada saat tertentu. Suatu jihad fi sabilillah menunjuk pada jihad yang harus diikuti setiap muslim dalam bentuk sesuai dengan kauniyah kehidupan mereka. Demikian pula infaq fi sabilillah menunjuk pada suatu infaq yang terkait dengan suatu kauniyah kehidupan pada saat tertentu. Jalan-jalan keselamatan menunjukkan pada jalan-jalan kehidupan yang seharusnya ditempuh oleh setiap muslim sesuai dengan kauniyah mereka untuk memperoleh keselamatan dan kedamaian.

Jalan yang lurus (صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ) menunjuk pada jalan Allah yang paling singkat yang dapat ditempuh agar manusia dapat kembali kepada Allah dengan selamat. Jalan yang lurus (صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ) secara bebas dapat dipahami sebagai jalan yang terkait dengan tujuan pertaubatan yaitu keselamatan dalam kembali kepada Allah. Manakala seseorang menemukan shirat al-mustaqim, ia mengenal bahwa ia akan bertemu dengan Allah pada ujung jalan yang lain apabila ia berjalan di atas shirat al-mustaqim dengan selamat. Kedua jalan tersebut di atas akan ditemukan melalui kitabullah Alquran oleh orang-orang yang mengikuti keridhaan Allah.

Petunjuk Sabilussalaam

Yang pertama di antara ketiga hal tersebut yang akan ditemukan seseorang adalah jalan-jalan keselamatan (سُبُلَ السَّلَامِ). Jalan-jalan keselamatan (سُبُلَ السَّلَامِ) akan ditemukan terlebih dahulu karena adanya orang-orang lain sebelum mereka yang telah memperoleh petunjuknya karena mengikuti keridlaan Allah melalui Alquran. Manakala seseorang mengikuti suatu jalan yang merupakan jalan keselamatan yang telah ditempuh orang yang benar, maka ia akan bisa menemukan pula jalan keselamatan (سُبُلَ السَّلَامِ) bersama dengan yang lain.

Petunjuk pokok tentang sabilussalaam pada dasarnya berpusat pada quthb di antara manusia, baik seorang syaikh ataupun bentuk pemimpin yang lain. Petunjuk pokok itu bisa bercabang-cabang dalam wujud jalan kehidupan orang-orang lain yang juga memperoleh petunjuk sabil mereka. Seorang pencari dapat berusaha menemukan sabil mereka pada salah satu sabilussalaam untuk diikuti. Manakala seseorang tidak bergiat mengikuti sang syaikh, ia akan sulit untuk memperoleh petunjuk (سُبُلَ السَّلَامِ) dan mungkin tidak akan memahami dengan akalnya. Ada pengikut-pengikut yang sangat giat melaksanakan petunjuk syaikh tanpa memahami ayat kitabullah yang ditunjukkan syaikh maka ia tidak menemukan petunjuk (سُبُلَ السَّلَامِ). Giatnya seseorang itu akan bermanfaat besar manakala disertai dengan usaha memahami tuntunan kitabullah. Menemukan petunjuk (سُبُلَ السَّلَامِ) akan terjadi pada orang yang mencarinya melalui kitabullah.

Hendaknya diperhatikan, yang menjadi jalan keselamatan (سُبُلَ السَّلَامِ) bagi seseorang bukan hanya kesertaan mereka dalam petunjuk jalan keselamatan orang lain. Jalan keselamatan (سُبُلَ السَّلَامِ) bagi masing-masing manusia adalah apa yang mereka temukan dan pahami dari kitabullah Alquran. Mengikuti orang lain di jalan keselamatan (سُبُلَ السَّلَامِ) mereka tanpa berusaha menemukan landasannya dari kitabullah Alquran hanya merupakan sikap taklid, tidak menunjukkan sikap ittiba’ (mengikuti). Bila seseorang yang berkeinginan untuk mengikuti keridhaan Allah kemudian mengikuti jalan keselamatan (سُبُلَ السَّلَامِ) bersama orang lain melalui kitabullah Alquran, maka mereka akan memperoleh petunjuk tentang jalan keselamatan (سُبُلَ السَّلَامِ).

Ayat-ayat Allah akan menjadikan manusia yang mencari keridhaan Allah memahami sedikit demi sedikit kehidupan duniawi mereka, hingga suatu saat ia akan mengalami keterbukaan pemahaman terhadap alam kauniyah mereka sesuai dengan ayat kitabullah dengan terang. Bentuk jalan keselamatan (سُبُلَ السَّلَامِ) itu sangat terkait dengan kefahaman seseorang terhadap kauniyah selaras dengan ayat-ayat Allah. Pemahamannya itu membuat mereka memperoleh pengetahuan tentang jalan untuk mencapai keselamatan. Mencari jalan keselamatan (سُبُلَ السَّلَامِ) melalui kitabullah Alquran harus dilakukan oleh setiap manusia. Akan lebih mudah bagi seseorang untuk menemukan jalan keselamatan dengan hidup bersama dalam al-jamaah, akan tetapi hal itu tidak menjamin bahwa seseorang akan menemukan jalan keselamatan (سُبُلَ السَّلَامِ). Banyak jalan-jalan kehidupan yang mungkin tampak baik dalam pandangan manusia tetapi sebenarnya tidak mempunyai pijakan berupa pemahaman urusan berdasarkan kitabullah Alquran. Sebagian dari jalan itu bahkan mungkin saja bertentangan dengan Alquran. Hal-hal demikian tidak termasuk dalam kategori jalan keselamatan (سُبُلَ السَّلَامِ). Manakala seseorang mencoba mencari jalan itu di dalamnya, mungkin ia tidak menemukannya.

Lebih lanjut, ada jalan-jalan kehidupan yang bercampur di dalamnya subulus-salaam dengan kebathilan, maka orang-orang yang mengikuti tanpa berpegang pada kitabullah Alquran akan teracuni dengan kebathilan. Bila seseorang bisa menemukan jalan keselamatan (سُبُلَ السَّلَامِ) mungkin ia tidak terbantu oleh jamaah tersebut, akan tetapi lebih karena usaha menemukannya dari Alquran. Hal demikian memungkinkan terjadi selama seseorang berpegang pada kitabullah Alquran hingga dapat memisahkan sabil dari kebatilan yang ada. Dalam praktiknya, lebih banyak manusia yang hanya merasa menemukan jalan keselamatan (سُبُلَ السَّلَامِ) teta[o meninggalkan kitabullah untuk mengikuti orang lain, daripada orang yang benar-benar menemukan jalan keselamatan dengan berpegang pada kitabullah Alquran di antara jamaah yang meninggalkannya. Dalam keadaan demikian, bila suatu jamaah justru mendatangkan rasa takut untuk mengikuti kitabullah hendaknya jamaah itu ditinggalkan. Apabila hanya terjadi perselisihan, hendaknya seseorang tetap berusaha untuk memberikan penjelasan kepada sahabat-sahabatnya agar semuanya memperoleh jalan keselamatan.

Kehidupan yang Terang

Manakala seseorang memperoleh petunjuk (سُبُلَ السَّلَامِ), mereka akan mulai berpindah dari alam kegelapan menuju cahaya Allah. Allah memindahkan orang-orang yang mencari petunjuk dari kitabullah dengan mengikuti keridhaannya dari kegelapan menuju kehidupan yang penuh dengan cahaya. Manakala mengikuti suatu sabil tidak menjadikan seseorang bertambah memahami ayat-ayat Allah secara integral, mungkin yang diikuti pada dasarnya bukan suatu sabil, atau ia tidak benar-benar mencari.

Perubahan dari kegelapan menuju cahaya terjadi melalui transformasi akal dalam berpegang pada tuntunan kitabullah untuk mendekat kepada Allah. Pemahaman ayat Allah dapat diukur dengan petunjuk tentang (سُبُلَ السَّلَامِ). Banyak orang mengira bahwa dirinya telah memperoleh cahaya Allah tetapi tidak benar-benar memahami. Hal ini tidak menunjukkan bahwa apa yang dirasakan tidak mempunyai arti, hanya saja masih ada jalan panjang yang perlu dijalani. Orang-orang yang mengira demikian kadang belum memperoleh petunjuk (سُبُلَ السَّلَامِ), tidak mempunyai pemahaman terhadap alam kauniyah di sekitar mereka sesuai dengan ayat-ayat kitabullah. Beberapa golongan yang tidak menggunakan akalnya menggunakan ayat-ayat kitabullah untuk menimbulkan perselisihan di antara kaum muslimin, tidak mencari arah kehidupan untuk mengikuti keridhaan Allah.

Orang yang berpindah dari kegelapan menuju cahaya ditunjukkan dengan tingkat pemahaman mereka terhadap (سُبُلَ السَّلَامِ) untuk ruang dan jaman mereka. Alquran akan mendatangkan pengetahuan yang banyak kepada orang-orang yang mencari keridhaan Allah melalui Alquran. Peningkatan pemahaman pada diri seseorang karena Alquran tidak terbatas pada sabil mereka. Bentuk pengetahuan itu tidak terbatas pada hal-hal yang terkait dengan amaliah. Selain pengetahuan tentang kauniyah dan amal-amal yang harus dilakukan, seseorang akan memperoleh pengetahuan-pengetahuan yang sangat berguna untuk membentuk akhlak diri hingga layak menjadi hamba yang didekatkan kepada Allah. Akhlak yang mulia itu akan mengalirkan akhlak dari sisi Allah mencapai kehidupan dunia sehingga dunia akan menjadi terang karena kehadiran akhlak mulia.

Petunjuk Shirat Al-Mustaqim

Terangnya kehidupan seorang beriman dengan cahaya Allah dimulai dari mengikuti suatu jalan keselamatan. Pengetahuan-pengetahuan kebenaran akan diperoleh oleh orang-orang yang berjalan di atas jalan keselamatannya. Manakala seseorang berselisih dengan jalannya, selisih itu akan mengurangi pengetahuan kebenaran yang seharusnya diperoleh. Semakin jauh dari jalannya, semakin sedikit pengetahuan kebenaran yang akan diperolehnya, hingga mungkin saja karena jauhnya seseorang justru menganggap suatu kebathilan sebagai kebenaran. Pengetahuan kebenaran yang diperoleh seseorang itu merupakan cahaya yang menerangi kehidupan, memindahkan kehidupan seorang manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang. Terangnya kehidupan seseorang dengan pengetahuan kebenaran akan bermanfaat untuk membangun hubungan kepada Allah. Akhlak mulia merupakan akhlak yang mungkin terbentuk pada diri seseorang yang hidup dalam cahaya kebenaran, yaitu orang-orang yang bisa mengenal kehendak Allah dengan benar karena cahaya kebenaran menyinari.

Seseorang akan benar-benar mengenal bentuk hubungan yang seharusnya dibangun dirinya dengan rabb-nya manakala ia mengenal penciptaan dirinya. Sebelum pengenalan itu, bentuk hubungan itu tidak benar-benar diketahui seseorang dengan nyata. Penghambaan seseorang tanpa mengetahui bentuk yang seharusnya seringkali bukan salah, hanya saja harus ditingkatkan hingga mengetahui. Pada masa pengenalan diri, seseorang akan mengetahui bagaimana bentuk seharusnya dirinya sebagai hamba yang melayani kehendak Allah. Pengetahuan bentuk diri sebagai hamba itu akan bersesuaian dengan pengetahuan kebenaran dirinya terhadap ayat-ayat Allah dan jalan-jalan keselamatan yang telah ditempuh sebelumnya, bukan pelayanan bentuk-bentuk amal baru yang sepenuhnya tidak dikenal sebelumnya.

Bentuk hubungan yang sebenarnya terhadap Allah itu merupakan shirat al-mustaqim. Shirat al-mustaqim akan diketahui oleh seseorang dengan petunjuk Allah melalui Alquran. Shirat al-mustaqim pasti merupakan bentuk petunjuk yang tumbuh dari Alquran, tidak ada yang melenceng darinya. Manakala petunjuk shirat al-mustaqim tidak mempunyai landasan Alquran, petunjuk itu bukan shirat al-mustaqim. Bagi orang lain, mungkin saja bentuk petunjuk shirat al-mustaqim tampak tidak sepenuhnya berdasar Alquran. Boleh jadi ia merupakan cabang yang tidak terhubung secara langsung, sedangkan ia tumbuh sepenuhnya tidak menyimpang sedikitpun dari Alquran. Seseorang tidak bisa secara sembarangan menilai orang lain berdusta tentang pengetahuannya yang berdasar Alquran, dan sekaligus juga tegas bersikap menolak pengakuan kebenaran orang lain manakala bertentangan dengan kitabullah Alquran.

Petunjuk shirat al-mustaqim merupakan puncak petunjuk yang harus terbina di atas kehidupan yang terang di atas cahaya dan perjalanan di atas jalan keselamatan. Sulit bagi seseorang memperoleh petunjuk shirat al-mustaqim tanpa mempunyai kehidupan yang terang. Sulit bagi seseorang menemukan kehidupan yang terang tanpa mengetahui dan menempuh jalan keselamatan. Demikian pula sulit bagi seseorang untuk memperoleh shirat al-mustaqim tanpa mengetahui dan mengikuti jalan keselamatan.

Ketiga hal tersebut hanya dapat diperoleh oleh seseorang manakala ia mengusahakannya dari Alquran dengan landasan mengikuti keridhaan Allah. Shirat itu harus ditemukan melalui Alquran dengan berjalan di bumi mengikuti suatu sabilussalaam yang bisa ditemukan. Sabilussalaam akan mengantar seseorang mendapatkan kehidupan yang terang. Sabilussalaam itu harus ditemukan melalui kitabullah Alquran, tidak hanya mengikuti langkah orang lain tanpa landasan Alquran. Terangnya kehidupan itu juga dengan Alquran bukan dengan persangkaan. Manakala seseorang menyangka mengikuti sabilussalaam tanpa bertambah pengetahuan terhadap kitabullah dan ayat kauniyah, mungkin sabilnya itu bukan sabilussalaam sepenuhnya.

Ada orang-orang mengusahakan ketiga keadaan itu tanpa seksama memperhatikan Alquran atau bahkan menentangnya, maka hal demikian hanya merupakan persangkaan yang tidak akan tercapai oleh umat Rasulullah SAW, sekalipun mungkin merasa melakukan dengan mengikuti para nabi. Bahkan ittiba’ mereka itu sebenarnya hanyalah persangkaan saja, bukan ittiba’ yang sebenarnya. Sangat banyak manusia berkeinginan untuk menemukan shirat al-mustaqim, tetapi tidak benar-benar mengetahui maksudnya. Kehidupan dunia merupakan kehidupan yang seringkali menyajikan alhaq dan kebathilan secara bercampur-campur. Manakala seseorang bisa menemukan makna sabil yang ditempuhnya berdasarkan Alquran dan mengetahui pula kesalahan-kesalahan yang mungkin ada berdasarkan Alquran, ia telah mencari sabilnya itu dengan Alquran. Manakala seseorang hanya mengikuti dengan taklid tanpa mengetahui makna kebenaran sabilnya atau tidak mengetahui kesalahan yang mungkin terjadi, ia tidak mencarinya dengan Alquran. Tanpa Alquran, seseorang pada dasarnya tidaklah mencari sabilussalam yang tersedia baginya, dan harapan shirat al-mustaqim itu hanya merupakan angan-angan.



Minggu, 17 Maret 2024

Memurnikan Iman dari Kedzaliman

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan. Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah.

Mengikuti langkah Rasulullah SAW merupakan perjalanan yang sangat panjang, dan tidak akan dapat dilakukan tanpa langkah-langkah yang lebih terperinci. Sangat banyak nabi dan rasul diutus bagi umat manusia yang berfungsi memberikan perincian langkah-langkah mengikuti langkah Rasulullah SAW. Millah nabi Ibrahim a.s merupakan perincian utama bagi sunnah Rasulullah SAW dalam derajat uswatun hasanah bagi umat manusia. Millah tersebut merupakan tahapan yang lebih terlihat jelas oleh kebanyakan umat manusia, bilamana diikuti maka akan mengantarkan mereka untuk lebih memahami sunnah Rasulullah SAW.

Di antara tahapan mengikuti millah Ibrahim a.s adalah pencapaian keimanan tanpa tercampur dengan suatu kedzaliman. Keadaan itu merupakan keadaan yang harus dicapai berdasarkan suatu sikap hanif dalam mengikuti kebenaran. Manakala seseorang bersikap hanif dalam kehidupannya, maka ia akan mencapai keadaan beriman dan tidak mencampurkan keimanan tersebut dengan suatu kedzaliman sedikitpun.

﴾۲۸﴿الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُولٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kedzaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.(QS Al-An’aam : 82)

Kedzaliman menunjukkan suatu keadaan di mana seseorang menempatkan sesuatu tidak sesuai tempatnya. Hal itu berlaku pula terhadap turunan dari keadaan itu. Melakukan pekerjaan dengan cara yang menjadikan pekerjaan itu tidak bisa mencapai sasarannya merupakan kedzaliman. Menempuh perjalanan secara menyimpang hingga tidak mencapai tempat tujuan juga termasuk kedzaliman. Demikian pula perbuatan yang dilakukan terhadap sesuatu atau orang lain dengan cara tidak sebagaimana seharusnya merupakan kedzaliman. Banyak contoh-contoh terkait dengan kedzaliman yang berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.

Objek utama suatu kedzaliman adalah terhadap manusia termasuk diri sendiri, tetapi tidak terbatas pada manusia. Seseorang bisa melakukan suatu kedzaliman baik terhadap orang lain maupun diri sendiri. Hal ini terkait dengan hakikat penciptaan manusia, di mana setiap manusia pada dasarnya diciptakan untuk suatu kedudukan tertentu yang harus ditempati. Sebagian manusia melakukan kedzaliman karena kejahatan hawa nafsu dan sebagian melakukannya karena kebodohan. Memaksa orang lain untuk berbuat sesuatu yang menyalahi ketentuan Allah untuk mencapai keinginan sendiri merupakan contoh kedzaliman karena kejahatan. Manakala seseorang tidak memahami langkah yang perlu dilakukan dalam kehidupan dirinya, itu merupakan contoh kedzaliman karena kebodohan.

Banyak tingkatan kedzaliman yang biasa dilakukan oleh manusia pada setiap tahap langkahnya. Ada orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan sama sekali bahwa dirinya diciptakan Allah untuk kedudukan tertentu karena tidak mencari ilmu, maka ia telah dzalim terhadap diri sendiri. Kadangkala seseorang mengetahui berita tentang jalan taubat, tetapi ia tidak menempuh perjalanan taubat kembali kepada Allah maka ia telah berbuat dzalim. Kadangkala seseorang menyeret orang-orang lain secara paksa untuk suatu pemenuhan keinginan diri mereka sendiri, maka ia telah berbuat dzalim kepada orang lain. Kadangkala seseorang telah mengetahui takdir penciptaan dirinya tetapi kedudukan itu tidak dipenuhi karena memilih bentuk kehidupan yang lain maka ia telah berbuat dzalim. Dalam setiap perjalanan taubat terdapat bentuk kedzaliman masing-masing, termasuk hingga orang-orang terpilih yang tidak berpegang pada kitabullah dalam amalnya maka ia termasuk dalam golongan orang-orang yang dzalim.

Mengenal Kasus Kedzaliman

Gambaran paling nyata bentuk kedzaliman dapat dilihat pada ikatan pernikahan. Suatu pernikahan merupakan gambaran paling nyata bentuk hubungan manusia dalam kedudukan yang ditentukan bagi masing-masing, dan pernikahan merupakan sarana paling utama yang disediakan Allah untuk mengenal nafs wahidah. Seorang isteri mempunyai kedudukan khusus di sisi suaminya yang diikat dalam suatu perjanjian yang sangat kuat di hadapan Allah berupa mitsaqan ghalidza. Kedudukan itu merupakan gambaran turunan dari adanya suatu kedudukan khusus setiap laki-laki dalam amr jami’ Rasulullah SAW di alam yang lebih tinggi. Gambaran turunan itu ditampakkan di alam dzahir untuk memudahkan manusia memahami urusan kedudukan mereka di alam yang lebih tinggi. Suatu perbuatan yang keliru menyalahi tuntunan Allah yang dilakukan di dalam atau terhadap suatu pernikahan bisa menjadi kedzaliman yang sangat tinggi karena kedzaliman tersebut terkait mitsaqan ghalidza.

Perjodohan menjadi suatu masalah turunan dari pernikahan yang harus diperhatikan agar manusia bisa mencapai kedudukan dirinya, dan tidak terjebak pada kedzaliman. Pada prinsipnya, landasan utama perjodohan adalah menemukan jati penciptaan diri berupa nafs wahidah. Pasangan manusia pada dasarnya diciptakan dari satu nafs wahidah yang dibagi menjadi seorang laki-laki dengan pasangannya. Ada banyak jalan untuk memperoleh jodoh dengan berbagai derajat keutamaannya, Sekalipun tujuan prinsipnya satu yaitu untuk mengenali nafs wahidah, berbagai jalan itu diperbolehkan bagi manusia di dunia ini. Jalan yang berderajat paling dekat dengan tujuan itu adalah petunjuk jodoh. Banyak jalan lain dalam derajat yang lebih rendah yang diperbolehkan, maka hendaknya umat mengenali jalan-jalan itu agar tidak berbuat dzalim baik terhadap diri sendiri ataupun terhadap umat manusia. Satu keputusan seseorang tentang jodoh akan menentukan jalan kehidupan dirinya dan umat manusia, baik keputusan yang tepat ataupun keputusan yang keliru. Manakala seseorang memutuskan dengan keliru, ia telah berbuat dzalim.

Petunjuk merupakan jalan menemukan jodoh dalam derajat paling baik. Mengingkari petunjuk kadangkala merupakan sikap kufur dan dzalim. Di sisi lain tidak jarang petunjuk jodoh pada seseorang atau bahkan sepasang manusia merupakan hamburan keinginan syahwat dan hawa nafsu, hingga bahkan mungkin saja seorang isteri memperoleh petunjuk jodoh laki-laki lain atau sebaliknya. Petunjuk diharamkan demikian melibatkan syaitan. Kebenaran dari petunjuk jodoh harus diperiksa dengan sebaik-baiknya, tidak hanya diukur berdasarkan rasa suka atau tidak. Justru rasa suka atau tidak merupakan jebakan petunjuk yang paling sulit dikenali. Kemudian dua pihak hendaknya membuka hubungan untuk saling mengenali satu dengan yang lain. Medan pengenalan yang dibangun itu berkisar pada hal-hal yang mengarah pada pengenalan nafs wahidah. Sekiranya telah dapat mengukur tingkat kebenaran petunjuk, hendaknya mereka segera mengarah pada pernikahan.

Memutus proses perkenalan demikian termasuk kedzaliman yang besar. Perkenalan (ta’aruf) untuk memperoleh pengetahuan nafs wahidah termasuk langkah besar seseorang untuk memperoleh shirat al-mustaqim. Syaitan sangat mengawasi langkah orang-orang yang melangkah menuju kedudukan dirinya dengan benar, dan akan membuat mereka terputus dengan sekuat tenaga. Seseorang yang memutus usahanya sendiri untuk memperoleh kedudukan yang tepat tanpa alasan yang benar termasuk orang yang dzalim. Demikian pula orang-orang yang memotong kesempatan orang lain untuk berusaha demikian termasuk orang-orang yang dzalim. Kadangkala seseorang memutuskan sesuatu berdasar keinginan salah, maka hal demikian tidak menunjukkan alasan yang benar. Ada orang yang memutuskan secara salah karena informasi yang salah, tetapi dilakukan dengan nalar yang benar. Kadangkala kesalahan seseorang dalam memutuskan dipengaruhi adanya konsekuensi buruk yang mengancam dirinya bila mengambil keputusan yang lain. Dalam kesalahan demikian maka seseorang tidak sepenuhnya dzalim selama tidak sekadar mengikuti keinginan yang salah. Ada orang-orang yang tidak mau mengetahui sedikitpun dengan benar duduk masalahnya dan merasa berkuasa memutuskan hukumnya berdasarkan pendapatnya sendiri, baik untuk diri sendiri maupun orang lain, maka hal demikian termasuk kedzaliman.

Kadangkala seseorang berjalan dalam remang-remang dalam urusan menemukan jodoh. Hal demikian merupakan hal yang wajar dalam kehidupan dunia. Sekalipun seseorang kemudian menikah dengan orang lain yang tidak diciptakan dari nafs wahidah yang sama, ia tidak menjadi orang yang celaka atau dzalim karena pernikahan itu, selama pernikahannya diusahakan dengan cara tidak melanggar syariat dan tidak bersikap munafik mengabaikan jodoh yang lebih tepat. Setiap upaya yang dilakukan dengan benar untuk memperoleh kedudukan yang tepat harus dihormati dengan baik, dan seharusnya dibantu tidak boleh diganggu. Bila usahanya salah hendaknya masyarakat tidak menghukumnya melebihi kesalahannya. Misalnya manakala seseorang baru berusaha menjajagi kebenaran petunjuk jodohnya, bila ternyata ia salah hendaknya tidak dihukum layaknya penjahat buronan. Cara memberi hukuman pun dapat menimbulkan kedzaliman. Misalnya bila seseorang dihukum suatu hukuman yang harus dilaksanakan terhadapnya oleh isterinya atau keluarganya yang lain sedangkan ia telah mempunyai akal, maka ia akan kehilangan seluruh kedudukan sosial dirinya. Hilangnya kedudukan sosial itu mungkin lebih kejam dari hukumannya sendiri, tetapi kejamnya hukum demikian itu tidak mendatangkan kebaikan bagi pihak manapun. Seorang laki-laki akan kehilangan kedudukan sosial dirinya bahkan di keluarganya, isteri akan kehilangan rasa bersyukur dan penghormatan terhadap suaminya, dan masyarakat tidak menerima keutamaan dari keluarga yang terhukum itu. Hukuman demikian termasuk kedzaliman, dan mencerminkan adanya suatu masalah berupa kebodohan sosial yang besar.

Sangat banyak jenis kedzaliman dapat terjadi pada diri seseorang tidak terbatas pada masalah pernikahan. Pada dasarnya semua bentuk kedzaliman yang lain dapat dipahami serupa dengan gambaran kedzaliman terhadap pernikahan, yaitu perbuatan yang akan merusak manusia dari kedudukan yang seharusnya hingga manusia tersingkirkan dari jalan Allah. Semua masalah kedzaliman pada dasarnya akan mendatangkan masalah yang sama yaitu tersingkirnya manusia dari jalan Allah. Kadangkala suatu kedzaliman tidak hanya menjauhkan seseorang dari jalan Allah, tetapi menjauhkan umat manusia seluruhnya dari jalan Allah, yaitu bila terjadi kedzaliman pada tingkat yang tinggi. Merusak pernikahan merupakan contoh kedzaliman paling tinggi karena terkait dengan mitsaqan ghalidza di sisi Allah. Demikian pula masalah merusak perjodohan yang tepat merupakan kedzaliman yang tinggi. Syaitan mendatangkan kerusakan paling besar kepada umat manusia dengan cara yang tinggi demikian.

Tauhid Dengan Amr Rasulullah SAW

Banyak tingkatan kedzaliman yang biasa dilakukan oleh manusia pada setiap tahap langkahnya. Ada orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan sama sekali bahwa dirinya diciptakan Allah untuk kedudukan tertentu karena tidak mencari ilmu, maka ia telah dzalim terhadap diri sendiri. Kadangkala seseorang mengetahui berita tentang jalan taubat, tetapi ia tidak menempuh perjalanan taubat kembali kepada Allah maka ia berbuat dzalim. Kadangkala seseorang menyeret orang-orang lain secara paksa untuk suatu pemenuhan keinginan diri mereka sendiri, maka ia telah berbuat dzalim kepada orang lain. Kadangkala seseorang telah mengetahui takdir penciptaan dirinya tetapi kedudukan itu tidak dipenuhi karena memilih bentuk kehidupan lain yang disukainya maka ia berbuat dzalim.

Dalam setiap perjalanan taubat terdapat bentuk kedzaliman masing-masing, termasuk hingga kalangan orang-orang terpilih yang tidak berpegang pada kitabullah dalam amalnya maka ia termasuk dalam golongan orang-orang yang dzalim. Orang-orang yang telah bersih hatinya dapat terhenti atau tersesat mengikuti ajaran yang tidak mengarah kembali kepada Allah. Bahkan orang-orang yang telah menjadi hamba Allah yang terpilih dapat berbalik menempuh kembali jalan kedzaliman.

﴾۲۳﴿ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang mendzalimi diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang bersegera berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. (QS Faathir : 32)

Orang-orang yang terpilih Allah untuk menerima pewarisan kitabullah dapat terjatuh berbuat dzalim kepada diri sendiri. Manakala seseorang yang terpilih tidak berusaha mengenali kedudukan dirinya dalam amr jami’ Rasulullah SAW secara tepat, ia dapat melampaui batas-batas dirinya atau bahkan menyimpang hingga keluar dari al-jamaah tidak berada pada amr jami’ Rasulullah SAW. Batas-batas diri bagi mereka terdapat dalam kitabullah yang diwariskan kepada dirinya, tetapi mereka tidak memperhatikan dengan baik urusannya. Perbuatan melampaui batas dan perbuatan yang lebih dari itu merupakan bentuk kedzaliman yang mungkin dilakukan oleh seorang yang terpilih Allah.

Manakala seseorang yang terpilih melakukan sesuatu pergerakan di luar amr Rasulullah SAW, mereka akan terjebak pada suatu bid’ah yang merusak. Amal mereka akan tertolak dari sisi Allah sekalipun tampak berbuat banyak kebaikan dalam pergerakannya. Amal mereka tertolak kecuali mereka benar-benar kembali kepada amr Rasulullah SAW dalam al-jama’ah. Adapun kebaikan yang diperoleh tidak akan menutup kerusakan yang ditimbulkan. Dalam prakteknya, hal demikian sangat menguras kekuatan umat untuk mengikuti perintah Rasulullah SAW dengan benar karena menjalankan suatu amr semu. Landasan pergerakan dan operasional praktisnya harus dikembalikan hingga sesuai dengan urusan Rasulullah SAW untuk ruang dan jaman mereka sesuai dengan kitabullah bersama al-jamaah yang lain, dimulai dengan memahami secara tepat kitab yang diwariskan kepadanya berdasarkan kitabullah Alquran sebagai kitab Rasulullah SAW. Dengan demikian ia akan mengenali dengan lebih tepat urusan dirinya sebagai bagian dari amr Rasulullah SAW. Hendaknya seruan atau peringatan dari sahabat al-jamaah tidak diabaikan, tidak terjebak pada kebenaran semu diri sendiri. Kadangkala ahli bid’ah merasa bahwa ia termasuk al-jamaah, sedangkan sahabatnya atau wasilahnya telah melihat dan memperingatkan bahwa ia telah sendirian menyimpang dari al-jamaah.

Kedzaliman orang-orang yang terpilih seringkali tidak dapat dilihat oleh orang-orang umum. Bukan tanggung jawab semua orang untuk meluruskan kedzaliman demikian, tetapi setiap orang harus bertanggungjawab atas lurusnya langkah diri sendiri. Hendaknya setiap orang berusaha untuk kembali melangkah di jalan taubat dengan mengikuti kitabullah Alquran tanpa penyimpangan, karena setiap satu celah penyimpangan akan menjadi jalan masuk syubhat. Para pencari kebenaran harus waspada terhadap kemungkinan kesesatan yang bisa menimpa dirinya, waspada hingga dalam bentuk bersikap bahkan penyimpangan itu mungkin pula menimpa orang terpilih yang diikutinya, secara khusus manakala berselisih atau bertentangan dengan kitabullah.

Mengikuti nabi Ibrahim a.s harus dilakukan hingga mencapai keimanan yang bersih tanpa bercampur dengan kedzaliman. Dalam keadaan tertentu, seorang hamba Allah harus dapat bersikap tanpa toleransi memberikan pilihan kepada orang lain secara diskrit antara mengikuti petunjuk atau mencampurnya dengan kedzaliman. Di antara bersihnya keimanan adalah tidak mempertentangkan firman Allah dengan perkataan manusia yang berselisih atau bertentangan dengannya. Manakala seseorang menentang firman Allah karena mengikuti perkataan manusia, ia telah berakhlak buruk terhadap Allah hingga menutupi jalan menjadi makhluk mulia yang layak didekatkan kepada Allah. Suatu bid’ah akan menjadikan manusia mencampurkan keimanan dengan dengan kedzaliman hingga manusia menjadi tersesat, dan setiap kesesatan akan bertempat di neraka. Sekalipun orang yang mengikuti bid’ah dapat mencapai telaga al-kautsar dengan kebenaran mereka, mereka akan ditangkap para malaikat di sana dan digiring menuju neraka, dan Rasulullah SAW akan menjadi ridla atas penangkapan dan penggiringan itu setelah sebelumnya menyangka mereka umat beliau SAW.

Senin, 11 Maret 2024

Mewujudkan Kebaikan dengan Ijin Allah

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan. Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah.

Di antara tanda bahwa seseorang benar-benar mengikuti langkah Rasulullah SAW kembali kepada Allah adalah terwariskannya kitabullah kepada dirinya. Allah mewariskan kitabullah kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih untuk menerima, maka para hamba Allah yang terpilih itu kemudian mempunyai bagian dari kitabullah untuk dijadikan sebagai landasan bagi amal-amal yang harus mereka lakukan.

﴾۲۳﴿ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang mendzalimi diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang bersegera berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. (QS Faathir : 32)

Sebagian dari hamba terpilih penerima waris kitabullah diijinkan Allah untuk bersegera berbuat kebaikan dengan kitabullah yang menjadi bagian mereka. Mereka dapat bersegera berbuat kebaikan demikian karena ijin Allah. Sebagian penerima waris tidak memperoleh ijin Allah sekalipun sangat ingin melakukan kebaikan, maka mereka menjadi suatu kaum yang berupaya keras untuk melangkah selaras dengan kitabullah bagi diri mereka. Mereka barangkali selalu berusaha berbuat untuk kebaikan, akan tetapi mungkin mereka tidak berhasil melakukan dan usaha mereka tidak mendatangkan hasil yang memadai. Hal demikian akan mewarnai para pewaris kitabullah yang tidak mendapatkan ijin Allah untuk bersegera melakukan kebaikan berdasarkan warisan yang telah mereka terima. Sebagian pewaris tersebut ada yang berbuat dzalim. Barangkali mereka juga memandang bahwa diri mereka adalah orang yang berbuat kebaikan bagi sesama, akan tetapi mereka tidak memperhatikan kitabullah maka mereka berbuat dzalim. Manakala mereka bertentangan dengan kitabullah, mereka tidak mengetahuinya atau merasa bahwa hal demikian tidak mungkin terjadi.

Pembinaan Insan Sempurna

Pewarisan kitabullah tersebut terjadi melalui mekanisme yang ditentukan Alquran berupa pembinaan misykat cahaya pada diri seorang hamba. Setiap hamba Allah hendaknya berusaha membentuk diri mereka sebagai misykat cahaya (layaknya kamera) yang membentuk bayangan cahaya Allah. Cahaya Allah itu berupa ayat-ayat kitabullah dan ayat-ayat kauniyah yang terjadi pada semesta. Manakala misykat cahaya seseorang terbentuk dengan baik, bayangan cahaya Allah itu akan menjadi ayat-ayat Allah yang jelas di dalam dada mereka, dan kumpulan ayat-ayat itu akan membentuk kitabullah manakala Allah berkehendak mewariskannya.

﴾۵۳﴿ اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ مُّبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُّورٌ عَلَىٰ نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَن يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Allah (adalah) cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah seperti sebuah benda berlubang yang tak tembus (misykat), yang di dalamnya ada pelita. Pelita itu di dalam bola kaca (dan) bola kaca itu seakan-akan bintang (yang berkilau) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan pohon yang penuh berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS An-Nuur : 35)

Misykat (benda berlubang) dan zujaajah (bola kaca) itu dapat digambarkan layaknya badan kamera dan lensanya. Cahaya Allah dapat dimisalkan dengan benar oleh orang-orang yang membina misykat dirinya layaknya kamera dalam susunan yang dapat membentuk bayangan cahaya Allah. Bayangan cahaya Allah yang terbentuk pada diri seseorang sebagai misal bernilai itu benar walaupun bersifat parsial tidak menceritakan seluruh cahaya Allah. Ibaratnya, gambar foto dari suatu kamera dapat menceritakan dengan benar suatu objek yang dipotretnya, walaupun tidak seluruh aspek objek tergambarkan pada gambar foto tersebut. Demikian suatu misal cahaya Allah dapat diceritakan secara benar tetapi terbatas oleh orang-orang yang membina diri sebagai misykat cahaya.

Allah mewariskan kitabullah kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih untuk mewarisinya. Hamba-hamba yang terpilih itu berasal dari kalangan orang-orang yang membentuk diri mereka sebagai misykat cahaya Allah. Hal demikian merupakan prasyarat utama, karena kitabullah akan mempunyai tempat dan kedudukan dalam dada orang-orang yang demikian. Bila tidak membentuk diri sebagai misykat cahaya, kitabullah tidak akan mempunyai kedudukan yang layak dalam diri manusia. Adanya kecintaan dalam hati seseorang terhadap kebenaran akan menjadikan kitabullah mempunyai nilai yang tinggi manakala diwariskan kepada mereka. Bila tidak mempunyai kecintaan terhadap kebenaran, kitabullah tidak layak diwariskan kepada mereka.

Hal-hal demikian merupakan syarat pewarisan kitabullah, dan tidak semua orang demikian memperoleh pewarisan. Kebanyakan manusia tidak memenuhi syarat demikian. Kecintaan manusia terhadap kebenaran tidak jarang hanya merupakan ilusi yang menutupi fanatisme terhadap ajaran yang mereka ikuti, bukan benar-benar bentuk kecintaan terhadap kebenaran. Manakala suatu ayat kitabullah dihadapkan dengan pengajaran yang mereka terima, hanya sedikit manusia yang benar-benar akan memikirkan kebenaran kitabullah. Kebanyakan manusia hanya mengikuti pengajaran yang mereka terima, kadang disertai dengan alasan kosong mempertahankan keimanan terhadap pengajarannya, tidak berusaha memikirkan dan kemudian mengikuti kitabullah. Hal demikian menunjukkan bahwa kitabullah tidak mempunyai kedudukan di dalam dada mereka, dan belum tumbuh kecintaan terhadap kebenaran dalam hati mereka.

Bila mereka dari kalangan orang yang berusaha membentuk misykat, pembinaan mereka belum menyentuh dasar dari pembinaan. Kecintaan terhadap kitabullah tidak akan dapat ditumbuhkan kecuali di atas kecintaan terhadap kebenaran. Misykat merupakan sarana utama bagi seseorang untuk memahami ayat-ayat Allah yang terbentuk dari akhlak mulia. Akhlak mulia terbentuk di atas pondasai kecintaan terhadap kebenaran, yaitu kebenaran dari sisi Allah. Sebagian orang memandang kebenaran adalah ajaran yang mereka ikuti, maka itu tidak selalu termasuk dalam kebenaran. Sebagian manusia menumbuhkan kecintaan terhadap kitabullah dengan suatu narasi kecintaan, maka narasi itu tidak akan benar-benar menumbuhkan kecintaan terhadap kitabullah dan tidak jarang hanya menjadi waham puja-puji yang kurang tepat. Kecintaan terhadap kitabullah harus dibangun di atas pondasi mencintai kebenaran dari sisi Allah.

Membina Bayt

Pembinaan misykat cahaya harus dilakukan dari pondasi hingga menyentuh kauniyah, sehingga seseorang dapat menghubungkan ayat kitabullah dengan ayat kauniyah yang terjadi pada semesta dirinya. Dimulai dengan pengenalan dasar-dasar dalam menempuh taubat, setiap orang harus dibina hingga menemukan jalan kehidupan yang ditentukan bagi dirinya dalam kehidupan di dunia, dan melihat ayat-ayat Allah di alam kauniyah ketika melaksanakan ketetapan itu.

Di antara cara pembinaan untuk mencapai tujuan itu adalah pernikahan. Pernikahan merupakan sunnah Rasulullah SAW yang berfungsi untuk dapat mencapai sasaran akhir millah nabi Ibrahim a.s yaitu membina bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah.

﴾۶۳﴿فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ
di dalam bayt-bayt yang telah diijinkan Allah untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang (QS An-Nuur : 36)

Bila suatu pernikahan dapat dibina hingga terbentuk bayt yang diijinkan Allah untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah, maka sasaran akhir kehidupan manusia di dunia telah tercapai. Ia hanya perlu meninggikan dan mendzikirkan asma Allah melalui bayt tersebut. Adapun perjalanan taubat selanjutnya berupa mi’raj ke hadirat Allah merupakan karunia yang tidak dapat diusahakan seorang hamba. Allah yang menentukan apakah seorang hamba hendak diperjalankan ke hadirat-Nya atau tidak.

Bayt yang diijinkan Allah untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah sangat terkait dengan pewarisan kitabullah kepada hamba-hamba Allah yang terpilih. Seorang hamba yang menerima warisan kitabullah akan menjadi orang yang bersegera berbuat kebaikan dengan ijin Allah bila ia berhasil membentuk bayt yang diijinkan Allah untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah. Sebaliknya, seseorang dapat membentuk bayt yang diijinkan untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah bila ia menjadi hamba yang terpilih untuk menerima warisan kitabullah. Pewarisan kitabullah menjadi prasyarat terbentuknya bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah, dan pembinaan diri sebagai misykat cahaya menjadi prasyarat pewarisan kitabullah terhadap seseorang.

Pewarisan kitabullah merupakan fungsi personal seorang hamba, sedangkan pembentukan bayt merupakan fungsi sosialnya. Dalam prosesnya, pencapaian pewarisan kitabullah itu akan sangat terbantu dengan pernikahan, baik disertai keberhasilan membentuk bayt ataupun tidak. Pernikahan akan sangat berperan dalam membentuk misykat diri seorang hamba, sekalipun misalnya pernikahan itu kemudian porak poranda. Seorang hamba mungkin saja dapat mencapai fungsi personalnya memperoleh pewarisan kitabullah tetapi tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya bagi masyarakat karena tidak berhasil membentuk bayt yang diijinkan Allah untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah. Keadaan itu akan menjadikan orang-orang demikian sebagai orang-orang pertengahan (مُّقْتَصِدٌ), orang yang tidak dapat berbuat kebaikan setelah menerima pewarisan kitabullah, sekalipun tidak terjatuh sebagai orang yang dzalim.

Bayt merupakan fungsi sosial, dan sangat dipengaruhi keadaan sosial. Perempuan sebagai penghubung seorang laki-laki ke alam duniawi mereka sebenarnya akan sangat terwarnai dengan keadaan sosial di masyarakat. Seorang isteri seringkali mewakili karakter duniawi, mencerminkan permasalahan di masyarakat yang harus ditangani. Sekalipun seorang isteri adalah perempuan shalihah, ia mungkin akan terlihat bengkok di mata suaminya, sedangkan kebengkokan itu sebenarnya merupakan kebengkokan masyarakatnya. Kebengkokan yang terlihat itu tidak dapat diluruskan karena akan menjadikannya patah. Kebengkokan itu dapat diluruskan melalui kebengkokan serupa yang ada di masyarakat maka isteri tersebut akan lurus. Dalam kasus tertentu, pengaruh terhadap kaum perempuan demikian akan menjadikan sebagian orang menjadi orang-orang pertengahan (مُّقْتَصِدٌ) yang tidak diijinkan untuk bersegera berbuat kebaikan.

Pembinaan yang benar terhadap kaum perempuan akan menentukan keberhasilan para laki-laki melakukan pengaliran khazanah dari sisi Allah ke alam duniawi. Bila pembinaan perempuan dirusak, akan terjadi kerusakan yang sangat besar di alam duniawi sekalipun banyak laki-laki shalih di antara mereka. Laki-laki shalih akan tampak tidak berguna bila para perempuan rusak. Pembinaan kaum perempuan yang benar itu berwujud pembinaan untuk membina bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah. Pembinaan ini tidak ditujukan khusus untuk perempuan, tetapi ada perbedaan penekanan bentuk dengan laki-laki. pembinaan perempuan harus ditujukan hingga sasaran demikian, tidak berhenti pada sasaran lain. Banyak hal yang harus diperhatikan dalam pembinaan ini, baik ketika menikah ataupun sebelumnya.

Pembinaan bayt merupakan dasar-dasar pembinaan al-jamaah berdasarkan nafs wahidah. Allah memperkenalkan seluruh urusan penciptaan kepada Rasulullah SAW, dan setiap orang akan mengenal urusan itu melalui nafs wahidah mereka. Kaum laki-laki akan mengenal kedudukan diri masing-masing dalam urusan Rasulullah SAW melalui nafs wahidah mereka, mengenalnya dalam hubungan yang berjalin bersama-sama dengan para sahabatnya, baik dalam hubungan vertikal sebagai wasilah dan umat, ataupun hubungan horisontal persahabatan. Manakala seseorang mengenal dirinya tanpa mengenal kesatuan nafs wahidah, ia belum benar-benar mengenal diri. Kaum perempuan akan mengenali urusan itu melalui nafs wahidah suaminya sebagai penghubung terhadap urusan Rasulullah SAW, dan kadangkala disertai mengenal hubungannya dengan madunya. Hubungan-hubungan dalam agama demikian terbentuk sebagai suatu hubungan fraktal. Fraktal paling mewakili dan melekat pada seseorang dalam pembinaan al-jamaah berdasar nafs wahidah akan ditemukan dalam pernikahan dirinya.

Pembinaan akhlak mulia pada manusia hendaknya dilakukan dengan menapaki langkah membina bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah. Ada hal-hal buruk yang harus ditutup dan ada sifat-sifat baik yang harus ditumbuhkan dalam diri manusia dengan mengikuti tahap-tahap dalam millah nabi Ibrahim a.s. agar terbentuk akhlak mulia. Ada sifat buruk yang mutlak harus musnah dari diri manusia agar sifat baik dapat tumbuh dengan baik. Misalnya setiap orang harus menghindarkan sifat takabbur dari dirinya. Setiap orang harus mempunyai kemampuan mengenali kebenaran yang sampai kepada dirinya dan tidak merendahkan orang lain, karena itu menjadi syarat dasar membina akhlak mulia. Iblis terusir dari kedudukannya karena takabbur terhadap manusia. Setiap isteri tidak akan memahami kebenaran bila ia bersikap merendahkan suaminya. Demikian pula para laki-laki tidak akan mengenali kedudukan dirinya bila ia tidak mengenali kebenaran yang sampai kepada dirinya atau merendahkan orang lain. Kedudukan diri dalam al-jamaah hanya akan dikenali oleh orang yang tidak mempunyai sifat kesombongan dalam dirinya.

Pembinaan bayt harus dilakukan terhadap setiap orang, baik menikah ataupun tidak menikah. Ada beberapa prinsip dalam pernikahan harus dikenal oleh setiap orang. Misalnya setiap orang harus menghindari jalan yang keji, tidak terbatas hanya orang yang menikah. Jalan yang keji akan menjadikan seseorang berakhlak salah dan menentang kebenaran. Pada dasarnya Rasulullah SAW melarang keras umat islam untuk hidup tanpa menikah, akan tetapi dalam kehidupan nyata kadangkala seseorang kesulitan untuk memperoleh jodohnya baik karena harapan dalam diri salah maupun budaya masyarakat yang salah dan lain-lain. Bila seseorang tidak dapat membentuk bayt, ia harus dibina untuk dapat menyesuaikan diri di antara al-jamaah dengan sebaik-baiknya, membina suatu pribadi yang selaras dengan orang-orang yang meninggikan dan mendzikirkan asma Allah tidak menjadi penentang atau penghalang bagi mereka. Penentangan terhadap orang-orang yang berusaha untuk meninggikan asma Allah dan mendzikirkan-Nya akan mendatangkan kerusakan yang sangat besar terhadap umat manusia. Manakala seseorang memperoleh jalan dalam membina bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah, ia harus mensyukuri dengan sebaik-baiknya hingga terbentuknya bayt yang diijinkan Allah untuk itu.

Pembinaan bayt menjadi kunci pemakmuran bumi sesuai dengan kehendak Allah. Kaum laki-laki hendaknya membentuk diri sebagai misykat cahaya yang membentuk bayangan cahaya Allah, dan kaum perempuan berperan melahirkan ke alam dunia bayangan cahaya Allah yang terbentuk pada diri suaminya. Dengan jalan demikian, pemakmuran bumi mengikuti kehendak Allah akan terwujud.