Pencarian

Kamis, 27 Oktober 2022

Kiblat dan Taubat Kepada Allah

Allah telah menentukan kiblat bagi manusia untuk perjalanan taubat yang harus ditempuh dalam kehidupan di muka bumi. Bila seseorang bertaubat dengan arah kiblat yang benar maka mereka akan menemukan jalan yang lurus untuk kembali kepada Allah. Perjalanan itu bukan semata kembali kepada Allah, akan tetapi juga akan mewujudkan pemakmuran di muka bumi. Tanpa menempuh perjalanan yang benar, tidak akan terwujud pemakmuran di muka bumi karena taubat yang dilakukan kecuali hanya pemakmuran pada tampilan saja.

Tanpa arah kiblat yang benar, taubat seseorang pada dasarnya akan menimbulkan kerusakan di muka bumi dan terpotong-potongnya persaudaraan arham di antara manusia. Allah mempertanyakan kepada orang-orang yang beriman, apakah mereka telah menghitung tentang diri mereka, bahwa mereka akan menimbulkan kerusakan di bumi dan akan memotong-motong persaudaraan arham yang harus terbina di antara orang beriman.

﴾۲۲﴿فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ
Maka apakah kiranya jika kalian berkuasa kalian akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan arham kalian?(QS Muhammad : 22)

Orang yang bertaubat hendaknya menghitung diri dalam perjalanan taubat mereka. Yang harus dihitung adalah tentang kerusakan di muka bumi yang mungkin terjadi oleh perbuatan mereka dan terpotong-potongnya persaudaraan arham yang harus terbina di antara mereka. Bila terjadi kerusakan di muka bumi dan terpotongnya persaudaraan arham di antara mereka, maka sebenarnya mereka itu telah salah dalam menempuh langkah taubat. Mereka harus memperbaiki kiblat dalam bertaubat kepada Allah.

Terpotongnya al-arham merupakan terputusnya jalinan kasih sayang di antara orang-orang beriman terutama di antara orang-orang yang mengetahui kedudukan mereka dalam Al-jamaah yang dipimpin oleh Rasulullah SAW. Kaum mukminin yang demikian disebut sebagai “ulul arham”. Allah menentukan secara tertulis dalam kitabullah bahwa mereka mempunyai kedudukan yang lebih utama di antara kaum mukminin, bahkan satu ulul arham mempunyai keutamaan dibanding ulul arham yang lain. Keutamaan seorang ulul arham ditentukan menurut kedudukan mereka dalam kitabullah. Terpotongnya al-arham di antara orang beriman sebenarnya memotong keterhubungan orang-orang beriman terhadap urusan Rasulullah SAW. Karena terpotongnya al-arham, orang-orang beriman akan kehilangan hubungan dengan urusan Rasulullah SAW untuk ruang dan jaman mereka.

Para ulul arham mengetahui manakala terjadi terpotongnya arham di antara mereka, akan tetapi seringkali kesulitan untuk menyampaikan. Seringkali orang beriman tidak bisa menyentuh arti peringatan yang disampaikan dengan sebenarnya sekalipun peringatan itu disampaikan dengan perkataan yang sejelas-jelasnya. Kebanyakan orang-orang beriman tidak memperhatikan dengan benar peringatan-peringatan yang disampaikan oleh ulul arham. Mereka tidak memahami peringatan yang disampaikan, dan mereka memilih memahami peringatan itu dengan cara pikir mereka sendiri. Seandainya seorang mukmin tetap memegang perkataan ulul arham yang tidak dimengerti itu dengan benar, tidak menutup pemahaman dengan kesimpulan dirinya, perkataan itu akan mendatangkan pemahaman yang benar pada masanya. Bila seseorang tergesa-gesa dengan pemahamannya sendiri, perkataan ulul arham itu akan tertutupi tidak terpahami. Sebagian orang beriman bahkan menutupi perkataan ulul arham itu dari umat dengan pemahaman mereka sendiri, sedangkan mereka tidak memahami. Para ulul arham itu mempunyai kesulitan yang besar untuk menjelaskan dengan benar duduk perkara yang mereka ketahui, tetapi mereka tentu telah menyampaikan dengan perkataan yang sangat jelas tentang kerusakan itu.

Terpotongnya arham itu kadangkala tampak hanya terjadi dalam skala mikro, tetapi sebenarnya merupakan kerusakan dalam skala global. Misalnya kerusakan yang mungkin tampak kecil dalam rumah tangga seseorang boleh jadi sebenarnya merupakan sumber fitnah yang paling besar bagi umat manusia. Syaitan membuat fitnah paling besar dengan memisahkan seorang perempuan dari suaminya. Hal itu bisa jadi tidak terlihat oleh kaum beriman kebanyakan, akan tetapi para ulul arham mengetahui skala kerusakan yang akan menimpa umat manusia karena kerusakan itu. Kerusakan di bumi akan terjadi tidak hanya bagi orang-orang beriman, akan tetapi akan menimpa seluruh makhluk yang ada di bumi.

Berpegang Teguh Pada Alquran

Orang yang tidak berkiblat dengan benar dalam bertaubat tidak dapat menyadari itu. Orang yang melakukan kerusakan dan memotong al-arham tidak akan dapat melihat dan mendengar kerusakan-kerusakan yang terjadi karena perbuatan mereka. Mereka tidak mengetahui buruknya keadaan mereka sendiri tanpa pemberitahuan orang lain tentang keadaan mereka. Seringkali mereka lebih mudah mengetahui kesalahan orang lain daripada keadaan mereka sendiri. Apa yang mereka lihat hanyalah kebaikan-kebaikan yang mereka perbuat di bumi, sedangkan kerusakan yang terjadi tidak dapat mereka ketahui, tersembunyi dari penglihatan dan pendengaran.

﴾۳۲﴿أُولٰئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰ أَبْصَارَهُمْ
Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.(QS Muhammad : 23)

Orang-orang beriman yang merusak bumi dan memotong-motong arham di antara mereka memperoleh laknat Allah walaupun mereka beriman. Laknat Allah menimpa mereka karena mereka pada dasarnya mengikuti syaitan. Secara fitrah, iblis syaitan hingga jin di tingkatan rendah merupakan makhluk penjaga bumi, tetapi iblis dan jin syaitan mempunyai sifat buruk yang dimurkai Allah. Mereka semua berupaya menjaga bumi agar baik, tetapi banyak sifat mereka tidak sesuai dengan kehendak Allah. Hanya manusia-lah makhluk yang mempunyai kecenderungan merusak bumi. Dari kenyataan jin demikian, ada pelajaran bagi manusia bahwa makhluk tidak boleh mengharap rahmat Allah dengan mengandalkan amalnya atau keinginan baik dirinya semata, tetapi harus bergantung kepada Allah dengan berpegang pada firman-Nya dan sunnah Rasulullah SAW dengan akalnya.

Dalam ayat di atas, yang ditiru manusia dari jin syaitan adalah perbuatan memotong-motong arham di antara manusia. Perbuatan syaitan itu bertambah oleh manusia dengan perbuatan merusak bumi. Kerusakan yang akan terjadi dari yang dikerjakan orang yang mengikuti syaitan tersembunyi dari pandangan dan pendengaran mereka. Apa yang dikerjakan sebenarnya tidak menyentuh akar masalah tetapi hanya berdasarkan anggapan-anggapan mereka sendiri, sedangkan apa yang menjadi akar masalah yang dikatakan dalam Alquran hanya diabaikan. Mereka berbuat kebaikan hanya berdasarkan pemikiran mereka sendiri tidak disertai pemahaman terhadap ayat-ayat Allah secara sinergis antara kauniyah dan kitabullah. 

Mungkin sebagian besar perbuatan mereka merupakan perbuatan baik, akan tetapi mereka tidak memperbaiki perbuatan mereka yang sangat merusak. Mereka tidak mau atau tidak mempunyai keberanian menggunakan akal untuk mengikuti firman Allah bahkan untuk firman-firman yang dapat dipahami akal pada tingkat dasar. Mereka lebih memilih mengikuti waham dan perkataan orang lain dibandingkan firman Allah. Ketika membina manusia, mereka tidak menyadari bahwa akal yang terbina karena upaya mereka terbalik tidak dapat digunakan untuk memahami firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW sebagaimana mestinya. Hal itu dapat terjadi dalam berbagai bidang. Kadangkala manakala musuh akan menghancurkan, orang beriman asyik menggemukkan sapi-sapi tanpa memperhatikan petunjuk dalam firman Allah, hingga mereka akan menyesalinya manakala sapi-sapi itu telah dimusnahkan musuh.

Pemahaman mereka terhadap kitabullah hanya dilakukan sesuai waham dan pengetahuan yang mereka ikuti, abai terhadap sunnah Rasulullah SAW dan tanpa terkait ayat kauniyah yang terjadi. Mereka tidak dapat menerapkan pemahaman Alquran yang mereka peroleh terhadap kauniyah yang terjadi pada umat. Allah mempertanyakan, apakah mereka tidak mengetahui dan kemudian mengimplementasikan (أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ) pemahaman Alquran dalam kehidupan mereka, atau adakah kuncian-kuncian yang menutup hati mereka.

﴾۴۲﴿أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?(QS Muhammad : 24)

Pertanyaan Allah ini terkait dengan pemahaman, secara khusus tentang pemahaman Alquran yang terkait dengan implementasi yang tepat dalam kehidupan. Implementasi yang tepat pemahaman Alquran pada dasarnya diketahui oleh para ulul arham. Para ulul arham mengetahui kandungan kitabullah terkait dengan urusan Rasulullah SAW untuk ruang dan jaman mereka, akan tetapi sebagian orang-orang beriman memotong-motong al-arham hingga mereka tidak mengetahui urusan Rasulullah SAW bagi mereka. Hal ini bisa terbantu diatasi bila setiap orang beriman berupaya kembali kepada Alquran sepenuhnya, akan tetapi tidak semua orang dapat menerima pemahaman yang benar kecuali dari orang yang mereka ikuti. Kebanyakan orang lebih menyukai apa yang sesuai dengan hawa nafsu daripada memahami kehendak Allah yang sebenarnya.

Orang-orang yang berbalik

Dengan sikap mengikuti waham dan hawa nafsu, sebagian orang beriman berbalik kembali ke belakang setelah jelas petunjuk bagi mereka. Hal demikian terjadi karena syaitan menjadikan mereka tertarik dengan suatu pemikiran yang tidak mempunyai dasar kebenaran secara kokoh, dan syaitan menjadikan mereka mempunyai banyak pemikiran yang demikian.

﴾۵۲﴿إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَىٰ أَدْبَارِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَىٰ لَهُمْ
Sesungguhnya orang-orang yang berbalik ke belakang sesudah kejelasan petunjuk itu bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka tergoda dan (syaitan) memberikan dikte bagi mereka (QS Muhammad : 22-25)

Berbalik ke belakang adalah mengingkari jalan yang dijelaskan dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Setiap orang beriman pada dasarnya telah menempuh sejarak perjalanan kepada Allah dan harus terus melanjutkan jalan kembalinya dengan berpedoman pada Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Kadangkala seseorang menyimpang dari jalan Allah atau melakukan kesalahan, maka hendaknya ia segera mencari kembali jalan yang benar sesuai dengan firman Allah. Bila mereka menyangkal Alquran dan sunnah Rasulullah SAW setelah menyimpang, sebenarnya mereka telah berbalik dari jalan Allah, tidak menuju kepada Allah tetapi mereka berjalan mengikuti langkah syaitan menuju neraka.

Ada sesuatu yang ditanamkan syaitan agar manusia tidak kembali ke jalan Allah setelah menyimpang. Hal itu dilakukan syaitan dengan tujuan agar pada suatu saat manusia tersebut berpaling dari petunjuk, yaitu pada saat setelah kejelasan petunjuk sampai kepada mereka. Banyak pemikiran kebenaran tidak mempunyai dasar yang kuat dari sisi Allah, tetapi mempunyai daya tarik yang kuat bagi manusia. Pemikiran demikian itu mempunyai pijakan pada hawa nafsu, sehingga hawa nafsu itu dapat memperoleh keuntungan darinya. Visi tentang pemakmuran dan kemajuan peradaban bisa menjadi contoh pemikiran demikian. Tidak semua visi dapat dimanfaatkan syaitan, tetapi banyak visi dapat dimanfaatkan mereka. Mereka menjadikan pemikiran-pemikiran itu tampak menarik bagi sebagian manusia.

Tidak semata menjadikan manusia tertarik, tetapi syaitan juga mengisi manusia untuk mendukung pemikiran yang seolah-olah benar tersebut. Syaitan seringkali hadir bagi orang-orang yang mereka sukai dan memberikan petunjuk bagi mereka sebagai pembenaran terhadap pemikiran mereka. Mereka memberikan dikte, mendikte (أَمْلَىٰ) tentang hal-hal yang membenarkan perbuatan mereka, terutama terkait dengan upaya memotong-motong al-arham di antara manusia. Syaitan mengambil jalan yang serupa dengan agama sebagai alat menipu manusia, hingga manusia mengira bahwa dikte tersebut merupakan petunjuk Allah.

Dikte syaitan ini dapat mempengaruhi manusia hingga manusia tidak melihat bahwa mereka telah mendustakan kitabullah, sedangkan mereka beriman. Manakala Alquran dibacakan kepada mereka dengan bacaan yang benar, mereka menuduh bahwa bacaan Alquran itu berasal dari syaitan. Cara pandang mereka terbalik-balik, tidak mengikuti kandungan firman dalam Alquran tetapi mengikuti dikte yang disampaikan syaitan kepada mereka. Dengan keadaan semacam itu, bila mereka tidak mau menyadari keadaannya, mereka akan berbalik ke belakang setelah menerima kejelasan petunjuk Alquran yang dibacakan kepada mereka.

Dikte syaitan bagi orang-orang beriman bersifat selipan terhadap kebenaran, tidak seperti dikte terhadap para pemuja syaitan. Kesesatan itu hanya terselip di antara kebenaran, tetapi hal ini menjadi fitnah yang paling berbahaya bagi orang beriman. Kadangkala seseorang pada akhirnya mengalami kebimbangan menilai kebenaran karena dikte syaitan demikian. Hal ini merupakan awal yang baik untuk menyadari keadaan, yaitu bila seseorang kemudian berpikir sungguh-sungguh untuk kembali pada petunjuk Allah melalui kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Akan tetapi kadangkala ditumbuhkan pula oleh syaitan sedikit sifat sombong dalam diri manusia, hanya sedikit agar tidak disadari atau bila leluasa ia menumbuhkan kesombongan yang besar. Sifat sombong akan menghalangi seseorang untuk kembali kepada petunjuk Allah setelah syaitan mempunyai jalan mendiktekan ajarannya, dan bahkan menghalangi untuk menyadari bahwa ada suatu kesalahan terselip dalam pemahamannya.

Jumat, 21 Oktober 2022

Bayt Alharam Sebagai Millah Ibrahim a.s

Setiap manusia harus membina bayt masing-masing berupa tegaknya nafs wahidah dalam kesatuan dengan hal-hal yang terserak baginya. Bayt berfungsi untuk melaksanakan amr Allah yang dijadikan amanah bagi diri mereka. Hal ini dapat dimulai dengan membina agama bersama pasangannya. Tanpa bayt, segala sesuatu akan tetap terserak bagi seseorang hingga ia tidak akan dapat meninggikan asma Allah. Hanya dengan bayt yang diijinkan Allah maka seseorang akan dapat meninggikan dan mendzikirkan asma Allah.


﴾۷۹﴿ جَعَلَ اللَّهُ الْكَعْبَةَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ قِيَامًا لِّلنَّاسِ وَالشَّهْرَ الْحَرَامَ وَالْهَدْيَ وَالْقَلَائِدَ ذٰلِكَ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Allah telah menjadikan Ka'bah sebagai bayt al-haram yang tegak bagi manusia, dan bulan Haram, hadya dan qalaid. Yang demikian itu agar kalian mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS Al-Maidah : 97)

Bayt Ibrahim a.s berupa kakbah merupakan panutan terbentuknya bayt yang diijinkan Allah untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah. Ia menjadi bayt yang tegak yang dijadikan tauladan bagi manusia, maka hendaknya setiap orang menjadikannya kiblat kehidupannya agar ia dapat berjalan di bumi dengan arah yang benar. Hal ini sangat penting diperhatikan. Seseorang dapat tersesat arahnya bila mengambil kiblat kehidupan yang lain walaupun kiblat itu berupa kebenaran.

Untuk membentuk bayt demikian, seorang laki-laki harus tegak akalnya dalam memahami kehendak Allah secara lurus, dan setiap perempuan harus benar-benar menyadari bahwa ada amr Allah yang diturunkan di dalam pernikahan mereka, dan amr itu telah mengikat mereka dalam sebuah perjanjian terkuat di alam semesta berupa mitsaqan ghalidza. Bilamana terjadi kebengkokan pada salah satu atau keduanya, maka bayt untuk meninggikan asma Allah itu tidak akan terbentuk. Manakala terbentuk suatu kekuatan dari bayt yang berdiri di atas kebengkokan, setiap orang harus berusaha menyadari bahwa bukan asma Allah yang akan ditinggikan.

Seorang laki-laki harus membina akalnya agar dapat memahami kehendak Allah, dan selalu menjaga dirinya agar akalnya tidak bengkok. Bila seseorang tidak lurus dalam memahami kehendak Allah, boleh jadi ia akan menyebabkan orang lain ikut celaka bersamanya. Mungkin saja seseorang yang tidak lurus kemudian membangun kiblat baru bagi manusia berupa bayt yang tidak mengikuti millah Ibrahim a.s, tetapi justru menjadi tandingan bagi bayt al-haram. Bila sendi-sendi bayt itu meninggikan perintah syaitan, maka akan muncul bencana yang sangat besar bagi umat manusia melalui bayt tersebut. Setiap orang harus bersikap lurus dalam memahami kehendak Allah, tidak terbengkokkan dengan hawa nafsu.

Setiap perempuan harus memperhatikan amr Allah yang ada di antara pernikahan mereka. Mungkin suaminya seorang yang shalih atau mungkin pula seorang yang kafir, sama saja kewajiban perempuan adalah memperhatikan perintah Allah dalam pernikahan mereka. Setiap perempuan harus mengambil tauladan Asiyah r.a isteri Fir’aun, atau Maryam r.a binti Imran yang merawat Isa a.s sebagai wujud kehendak Allah. Seorang Asiyah r.a memperhatikan benar-benar urusan Allah melalui suaminya walaupun sauminya kafir. Urusan Allah bagi diri perempuan turun melalui kebersamaan dengan suaminya. Perempuan tidak boleh memilih jalan yang disukai hawa nafsunya dengan meninggalkan perjanjiannya yang kuat di hadapan Allah bersama suaminya.

Pokok Meninggikan Asma Allah

Terdapat beberapa pokok yang harus dibina dalam pernikahan untuk membentuk bayt hingga memperoleh ijin untuk berdzikir dan meninggikan asma Allah. Yang pertama adalah perbincangan suami isteri untuk memperoleh ketakwaan, dan berikutnya kedudukan pasangan itu dalam al-arham.

Perbincangan untuk ketakwaan hanya akan terjadi di antara suami dan isteri yang shalih, yaitu keduanya menginginkan ketakwaan. Bila salah satu atau keduanya menginginkan kehidupan untuk hawa nafsu, maka akan sulit terjadi perbincangan untuk ketakwaan. Keberpasangan yang berasal dari satu nafs wahidah akan menjadi modal paling besar untuk membentuk bayt untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah, namun hal itu perlu didukung dengan pembinaan ketakwaan pada masing-masing pihak.

Tanpa ketakwaan, hubungan pernikahan dapat bergerak liar saling merusak, satu pihak menyalahkan pihak lain karena perbedaan tujuan. Melepas waham yang salah termasuk hal yang perlu dilakukan untuk pembinaan ketakwaan, karena waham itu akan mengganggu pembicaraan ketakwaan dalam pernikahan. Adanya waham yang salah dalam diri seseorang kadangkala menyebabkan seseorang memandang suatu keinginan hawa nafsu sebagai hal penting. Hal ini menghambat perbincangan ketakwaan yang harus dilakukan suami dan isteri.

Bila suatu pernikahan disepakati berdasarkan tujuan ketakwaan bersama, maka mereka akan mempunyai landasan tujuan bersama yang hendak dicapai. Hal ini akan memudahkan terjadinya perbincangan untuk ketakwaan dan memudahkan mengenal kedudukan mereka dalam jalinan al-jamaah. Walaupun demikian tetap ada kebaikan pada orang yang menikah berdasarkan nafs wahidah walaupun satu atau dua pihak di antara mereka tidak bertakwa.

﴾۱﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari nafs wahidah, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan-Nya kamu saling bertanya satu sama lain, dan (bertakwalah terhadap) al-arham. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS An-Nisaa’ : 1)

Pokok lain yang dibina dalam membangun bayt adalah aspek al-arham. Al-arham adalah jalinan kasih sayang manusia dalam al-jamaah yang dipimpin Rasulullah SAW. Seseorang yang mengenal al-arham akan mengenal urusan Rasulullah SAW bagi ruang dan jamannya, dan kemudian mengenal kedudukannya dalam jaringan Al-jamaah di antara orang lain dalam jihad Rasulullah SAW.

Media pencarian al-arham akan hadir secara bersamaan dengan pernikahan bagi orang yang mencarinya. Sebuah pernikahan yang dilandasi keikhlasan akan menghadirkan media pengenalan al-arham. Barangkali tidak demikian bagi orang yang menikah karena memperturutkan hawa nafsu terhadap harta, kecantikan ataupun kehormatan di mata orang lain. Sangat penting bagi umat manusia untuk menjaga setiap orang agar memilih pasangan berdasarkan nafs wahidah yang akan mengenal agamanya. Orang yang menikah karena kebutuhan nafs wahidah yang menginginkan pengetahuan jalan ibadah akan menemukan media pengenalan al-arham dalam pernikahannya.

Seorang laki-laki yang shalih akan terpancing keinginannya untuk mengenal imamnya karena pernikahan. Hal ini merupakan cerminan balik sikap seorang isteri yang berkeinginan melayani suaminya sebagai imamnya. Seorang isteri yang baik akan membangkitkan keinginan suaminya mengenal imamnya, dan keinginan suami itulah yang akan menjadikan suaminya mengenal kedudukannya dalam jalinan al-arham yang dipimpin Rasulullah SAW. Bila suami dipusingkan dengan banyaknya keinginan-keinginan isterinya, maka suaminya mungkin akan terlupa atau tidak menginginkan mengenal imamnya. Sepasang suami dan isteri yang baik akan memperoleh pengenalan kedudukan mereka di antara al-jamaah kerena ketakwaan mereka.

Yang dimaksud pengenalan diri pada bagian utamanya adalah pengenalan kedudukan diri dalam jalinan al-arham. Pengenalan diri akan berbahaya bila dimaknai semata sebagai pengenalan terhadap potensi diri, karena hal itu dapat melambungkan hawa nafsu untuk dipertuhankan. Hawa nafsu akan berpikir bahwa ia selayaknya dituruti karena berhasil mengenali dan mewujudkan potensi besar yang dititipkan Allah. Itu merupakan kedustaan yang tidak boleh dituruti. Pengenalan diri merupakan pengenalan diri seseorang dalam jalinan Al-jamaah dipimpin Rasulullah SAW.

Benarnya langkah seseorang dalam mengikuti Rasulullah SAW akan terlihat dalam sikapnya menghadap qiblat. Orang yang benar akan mengikuti millah Ibrahim a.s membentuk bayt, tidak membuat tauladan bayt tersendiri melalui jalan yang terpisah dari millah Ibrahim membangun bayt al-haram. Seseorang harus mengikuti millah Ibrahim a.s membentuk bayt, baik berhasil ataupun tidak berhasil, tidak menempuh jalannya sendiri membentuk bayt. Perlu diperhatikan oleh manusia, bahwa perbuatan membuat bayt tersendiri itu merupakan tindakan berbahaya walaupun manusia memandang baik perbuatan itu. Tindakan itu akan memisahkan manusia dari al-arham. Walaupun memperjuangkan sesuatu yang tampak benar, sebenarnya mereka terpisah dari kebenaran karena berlepas dari kiblat yang ditentukan Allah.

Upaya Syaitan Membengkokkan Manusia

Tujuan akhir kehidupan manusia adalah kembali kepada Allah. Itu merupakan seruan pemimpin manusia tertinggi Rasulullah SAW. Seruan itu diturunkan bagi umat manusia dalam berbagai tingkatan operasional yang telah dicontohkan para nabi yang lain. Membentuk bayt untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah adalah tingkatan operasional yang paripurna dalam kehidupan di bumi, dan bayt itu terbentuk bila seseorang mengikuti millah uswatun hasanah Ibrahim a.s. Banyak hal yang harus dibina oleh setiap orang sebagai pendahuluan dalam membentuk bayt, di antaranya pengenalan penciptaan diri. Bila seseorang mengikuti nabi Ibrahim a.s, ia akan berjalan ke arah yang benar. Bila seseorang salah dalam membentuk bayt melenceng dari millah Ibrahim a.s, ia akan tersesat dari jalan mengikuti Rasulullah SAW. Hal ini berlaku sekalipun seseorang telah menyelesaikan banyak tahapan yang dicontohkan oleh para nabi yang lain.

Syaitan akan berusaha membelokkan manusia dengan berbagai cara. Sasaran tertinggi kaum syaitan adalah untuk membelokkan manusia dari kiblat bayt al-haram. Hal ini dilakukan syaitan sebagaimana upaya mereka memisahkan seorang perempuan dari suaminya, dan ini merupakan sumber fitnah terbesar yang akan menimpa umat manusia karena perbuatan syaitan. Tidak ada penderitaan umat manusia yang lebih besar daripada yang ditimbulkan syaitan dengan upaya membelokkan manusia dari bayt al haram dengan memisahkan perempuan dari suaminya.

Di antara metoda syaitan untuk upaya demikian adalah menggunakan ilmu dua malaikat Harut dan Marut. Bila seseorang terkena ilmu itu, ia akan merasakan jatuh cinta dalam semangat berjuang menolong agama Allah. Tetapi semua itu hanya merupakan tipuan syaitan. Para syaitan-lah yang menggunakan ilmu kedua malaikat itu, sedangkan dua malaikat itu tidak menggunakan ilmunya terhadap manusia. Sendi-sendi bayt yang akan terbentuk melalui ilmu dua malaikat itu sama sekali tidak mengikuti millah Ibrahim a.s. Bayt itu justru akan mengganti kiblat seseorang tidak menghadap bayt al-haram. Orang yang menjadikan bayt tandingan itu sebagai kiblat akan menjadikan kehidupannya tidak mengikuti millah Ibrahim a.s dan sunnah Rasulullah SAW, tetapi akan mengikuti syaitan.

Kadangkala seorang perempuan bersuami tertimpa penggunaan ilmu demikian tanpa menginginkannya. Bila terjadi demikian, hendaknya ia memegang erat mitsaqan ghalidza bersama suaminya. Mitsaqan ghalidza itu telah diikrarkan di hadapan Allah. Hal itu akan memberikan jalan keselamatan walaupun mungkin ia akan remuk redam bersusah payah menempuh kehidupan bersama suaminya. Bila ia mengikuti dorongan syaitan berjuang di jalan Allah meninggalkan mitsaqan ghalidza bersama suaminya, ia telah tertipu oleh syaitan dan itu akan mengantarkannya menuju neraka. Tipuan syaitan itu akan menjadikannya berjuang sebenarnya bukan di jalan Allah. Perjuangan di jalan Allah bersama laki-laki lain itu hanya sebuah tipuan syaitan. Perjuangan di jalan Allah itu hanya akan melalui bayt mengikuti Ibrahim a.s, bukan bayt yang diiming-imingkan syaitan. Ada hasil ataupun tidak, mengikuti millah Ibrahim a.s lebih penting daripada semua hasil yang akan diperoleh.

Suami yang isterinya tertimpa ilmu demikian harus bersabar. Bila isterinya berusaha bertahan dalam pernikahan dengan dirinya, upaya isterinya itu merupakan perjuangan besar yang sangat berat. Ia tidak boleh menganggap remeh perjuangan isterinya melawan dorongan syaitan yang sangat besar, dan ia harus membantu isterinya untuk bertahan dengan sungguh-sungguh. Bila ia merasa kehidupannya berat, isterinya sebenarnya menanggung kehidupan yang lebih berat. Ia harus berusaha menahan agar isterinya tidak terlepas dari pernikahan mereka. Kadang-kadang dalam perjuangannya, seorang isteri demikian terserang keinginan untuk menyerah dan meminta perceraian, maka suaminya harus bersabar dan memberikan dorongan untuk tetap bertahan di jalan Allah. Setelah kehidupan dunia, kehidupan mereka akan terang bila mereka bertahan, sebaliknya bila tidak bertahan, kehidupan yang terang di dunia akan berubah menjadi kegelapan setelahnya.

Ilmu demikian tidak hanya berlaku terhadap perempuan. Laki-laki dapat pula tertimpa ilmu itu hingga mempunyai suatu semangat berjuang di jalan Allah tetapi dengan hawa nafsunya. Seperti perempuan yang didorong menolong agama Allah dengan meninggalkan mitsaqan ghalidza, mereka melenceng dari jalan Allah tanpa menyadarinya karena mengikuti kiblat mereka sendiri. Karena mengikuti dorongan ilmu Harut dan Marut maka perjuangan mereka akan melenceng dari kebenaran. Mereka bersungguh-sungguh menolong agama Allah tanpa memperhatikan keberjamaahan dengan Rasulullah SAW untuk ruang dan jamannya. Manakala ada bahaya, mereka tidak memperhatikan peringatan bahaya tetapi tetap mengupayakan sesuatu yang mereka pandang baik. Ilmu ini memalingkan manusia dari jalan Allah tanpa menyadarinya, dan akan berakibat sangat berbahaya karena keberpalingan mereka.

Masalah Qiblat mengikuti nabi Ibrahim a.s sangat menentukan berkah yang akan diturunkan Allah. Banyak pengetahuan yang akan diberikan kepada seseorang manakala mengikuti nabi Ibrahim a.s, dan pengetahuan itu yang akan menjadikan seseorang mempunyai pengenalan terhadap Allah. Pada ayat di atas, Allah berfirman :Yang demikian itu agar kalian mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi (QS Al-Maidah : 97). Menghadap qiblat ke bayt al haram akan mendatangkan pengetahuan dari Allah yang menjadikan manusia mengenal Allah. Membentuk qiblat berupa bayt secara berselisih dengan millah Ibrahim a.s tidak mendapatkan jaminan Allah dalam tegaknya, atau justru sebenarnya akan mendatangkan suatu madlarat yang sangat besar.


Minggu, 16 Oktober 2022

Kakbah Sebagai Bayt Al-haram

Allah telah menjadikan kakbah yang dibangun oleh nabi Ibrahim a.s bersama sang putera Ismail a.s di tanah haram makkah sebagai bayt al-haram yang tegak bagi manusia. Kakbah itulah bayt yang dijadikan Allah sebagai bayt yang menjadi tauladan bagi seluruh manusia untuk dijadikan kiblat dalam mengarungi kehidupan di bumi. Ia bersifat tegak, yaitu bilamana manusia mengambil pelajaran dari kisah kakbah maka ia akan memperoleh pelajaran yang menjadikannya dapat melangkah maju lebih dekat kepada Allah.

﴾۷۹﴿ جَعَلَ اللَّهُ الْكَعْبَةَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ قِيَامًا لِّلنَّاسِ وَالشَّهْرَ الْحَرَامَ وَالْهَدْيَ وَالْقَلَائِدَ ذٰلِكَ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Allah telah menjadikan Ka'bah sebagai bayt al-haram yang tegak bagi manusia, dan bulan Haram, hadya dan qalaid. Yang demikian itu agar kalian mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS Al-Maidah : 97)

Pada dasarnya setiap manusia harus membina bayt masing-masing berupa tegaknya nafs wahidah dirinya bersama pasangannya dan kesatuan hal-hal yang terserak bagi mereka untuk melaksanakan amr Allah yang dijadikan amanah bagi diri mereka. Tanpa bayt, segala sesuatu akan tetap terserak bagi seseorang hingga ia tidak akan dapat meninggikan asma Allah. Hanya dengan bayt yang diijinkan Allah maka seseorang akan dapat meninggikan dan mendzikirkan asma Allah.

Bayt Ibrahim a.s berupa kakbah itulah contoh bayt yang diijinkan Allah untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah. Ia menjadi bayt yang tegak yang dijadikan tauladan bagi manusia, maka hendaknya setiap orang menjadikannya kiblat kehidupannya agar ia dapat berjalan di bumi dengan arah yang benar. Hal ini sangat penting diperhatikan. Seseorang dapat tersesat arahnya bila mengambil kiblat kehidupan yang lain walaupun kiblat itu berupa kebenaran. Mungkin suatu kaum mengambil kiblat langkah perjalanan bani Israel, atau mengikuti kiblat pengajaran timur hindu atau filsafat yunani dan segala sumber tauladan kebenaran yang pernah diturunkan Allah di bumi. Walaupun mungkin merupakan kebenaran, tapi hal-hal itu bukanlah kiblat yang menjadi arah kehidupan. Kiblat kehidupan manusia adalah kakbah yang dijadikan Allah sebagai bayt al-haram.

Bayt Al-haram dijadikan kiblat bagi manusia dalam keadaan apapun. Bukan hanya orang yang telah berhijrah ke pengenalan diri yang harus mengarahkan kiblatnya ke bayt al-haram. Orang yang gelisah dalam menempuh kehidupan, orang yang mencari makna segala sesuatu dalam kehidupannnya, orang yang ditimpa masalah dan segala macam keadaan, hingga orang yang mengenal penciptaan dirinya, hendaknya mereka semua menghadapkan wajahnya ke arah bayt al-haram. Bila ia membuka diri untuk menerima pelajaran dari bayt al-haram, ia akan mengetahui ke arah mana ia harus melangkah. Tanpa menghadap ke bayt al-haram, seseorang akan tersesat menempuh arah kehidupan.

﴾۹۴۱﴿وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Dan dari mana saja kamu keluar, maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang haqq dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Baqarah : 149)

Bila seseorang mengarahkan wajahnya ke bayt al-haram dan mengambil pelajaran darinya, ia akan dapat mengambil langkah yang benar dalam kehidupannya. Hal itu adalah kebenaran dari Allah (alhaqq). Seringkali perenungan kehidupan tidak dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan niat baik. Kadangkala seseorang menyatakan dengan sebenarnya bahwa ia mencari kebenaran, atau ia mencari Allah, atau ia benar-benar memohon kepada Allah memberi arah kehidupan, tetapi kehidupannya berjalan ke arah yang salah. Hal demikian dapat terjadi karena ada hal yang terlewat yang harus diperhatikan kembali, bahwa Allah telah menurunkan kiblat melalui Ibrahim a.s dan keluarga beliau.

Kadangkala seseorang tertimpa masalah dan melihat berbagai saran yang membingungkannya karena semua terlihat benar, atau mungkin ia tidak dapat menimbang bobot kebenaran dari semua saran dan kemungkinan solusinya, atau ia tidak dapat melihat kesalahan dari suatu solusi yang disarankan. Hendaknya ia melihat kepada millah Ibrahim a.s dan keluarganya, dan mengikuti arah yang sesuai atau paling mendekati arah perjalanan Ibrahim a.s dan keluarganya. Bila seseorang tergesa-gesa mengangkat masalahnya ke langit tanpa memperhatikan jalannya ke arah kiblat, syaitan bisa menyambarnya manakala ada keluhan yang terungkap dan bisa jadi syaitan memberikan solusi palsu bagi masalahnya ataupun merusak keadaan semestanya hingga ia tidak mengetahui arah yang benar.

Bagi seorang pencari kebenaran, sebuah keluhan yang terungkap bisa sangat berbahaya karena syaitan dapat menebarkan duri penghalang yang sangat banyak dalam perjalanan taubatnya berdasar keluhannya. Pada dasarnya suatu keluhan adalah dosa kepada Allah. Begitu pula ungkapan keengganan memikul keadaan yang terjadi. Syaitan akan menyebarkan banyak masalah terkait langkah taubat yang harus dilakukan manakala suatu keluhan telah terungkapkan. Hal ini tidak berarti seseorang tidak boleh berdoa, tetapi hendaknya ia tidak melupakan untuk memperhatikan hal-hal yang telah diturunkan Allah terkait masalahnya dan meletakkan masalah pada kedudukannya melalui millah Ibrahim a.s dan keluarganya.

Menggali At-thayyib Melalui Bayt Al-Haram

Dalam keadaan apapun setiap orang hendaknya menghadapkan wajah ke bayt al-haram. Sangat banyak pengetahuan terdapat di sepanjang jalan mengikuti millah Ibrahim a.s yang tidak layak ditinggalkan. Pengetahuan-pengetahuan itu akan menjadikan seseorang mengetahui bahwa Allah maha mengetahui segala yang terdapat di langit dan bumi. Manakala seseorang ditimpa masalah, ia akan menjumpai bahwa dengan menghadapkan wajah ke bayt al-haram mengikuti millah Ibrahim a.s akan mendatangkan jawaban yang bersifat dekat dengan pengetahuan Allah. Dengan semakin banyaknya pengetahuan yang diperoleh dengan mengikuti millah Ibrahim a.s, maka seseorang akan mengetahui bahwa Allah mengetahui segala sesuatu.

Pengetahuan yang diperoleh dengan cara demikian termasuk at-thayyibat. Dengan menghadapkan wajah ke masjid al-haram, seseorang akan memperoleh kebaikan berupa at-thayyibat. Pengetahuan itu berasal dari Allah yang bermanfaat bagi kehidupan baik di alam dunia maupun alam akhirat. Kebaikan demikian itu bukan sebuah rekaan keahlian lisan dalam mengambil hikmah. Orang yang memperoleh at-thayyibat akan mengetahui bahwa nilai yang diperoleh dari at-thayyibat itu berbeda dengan yang lain berupa ungkapan indah lisan. Mereka dapat membedakan dengan jelas ungkapan indah lisan tanpa pengetahuan dari Allah dengan hal yang berupa pengetahuan dari Allah.

Ungkapan indah lisan tanpa pengetahuan dari Allah itu termasuk dalam kelompok al-khabits. Kebanyakan manusia hanya memperoleh dan mengungkapkan al-khabits, namun hal itu telah bisa membangkitkan motivasi sementara. Sangat banyak motivator dapat mengarahkan dan membangkitkan manusia tanpa landasan kitabullah atau tanpa kejelasan asal usul landasannya. Demikian pula banyak orang mengungkapkan kata-kata penuh ungkapan hiasan indah tanpa mengerti makna yang diucapkannya layaknya beo yang menirukan suara. Hal-hal demikian termasuk dalam kelompok al-khabits.

﴾۰۰۱﴿قُل لَّا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah: "Tidak sama yang buruk (alkhabits) dengan yang baik (at-thayyib), meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan". (QS Al-Maidah : 100)

Sebagian perkataan khabits itu disampaikan dalam bentuk-bentuk perjuangan agama. Misalnya sebagian orang mengatakan: tetaplah membicarakan bid’ah walaupun tidak melihatnya karena Rasulullah SAW membicarakannya sedangkan tidak ada ahli bid’ah di hadapan beliau SAW. Perkataan demikian ini bagi sebagian besar umat manusia merupakan perkataan khabits karena dibuat untuk membangkitkan perselisihan. Rasulullah SAW membicarakan bid’ah dalam keadaan memahami perihal bid’ah yang akan terjadi, sedangkan mereka berbicara bid’ah hanya berkeinginan membuat perselisihan di antara kaum muslimin tanpa memahami atau tanpa keinginan memahami apa yang dimaksud sebagai bid’ah. Mengikuti perbuatan gemar memperselisihkan masalah di antara muslimin merupakan perbuatan yang terlahir dari al-khabits. Selain contoh di atas, ada banyak perkataan-perkataan khabits yang dihadirkan dalam bentuk seruan agama.

Bobot dari perkataan yang baik (at-thayyibat) sangatlah berbeda dengan perkataan yang berasal dari perkataan tanpa landasan yang jelas (al-khabits), namun tidak semua orang dapat merasakan perbedaaan di antara keduanya. Kebanyakan manusia menilai sesuatu tidak sepenuhnya berdasarkan hati akan tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh perkataan orang lain atau dipengaruhi batasan pengetahuan dirinya, sedangkan ia tidak membuka hati dan akal sepenuhnya untuk menimbang kebenaran berdasarkan seluruh hal yang bisa dipertimbangkan akalnya. Dengan keadaan demikian, maka kebanyakan manusia hanya mengikuti kebenaran menurut perkataan orang lain.

Banyaknya orang yang menilai baik tentang sesuatu yang buruk hendaknya tidak menghalangi seseorang untuk menilai dengan nilai sebenarnya. Untuk memberikan nilai sebenarnya, seseorang dituntut seseorang untuk memperkuat akalnya dan membuka hati terhadap kebenaran, tidak didikte dengan pendapat orang lain tentang kebenaran. Bila seseorang tidak melakukan tazkiyatun nafs, maka akalnya tidak akan memperoleh kemampuan memberikan nilai. Bila seseorang melakukan tazkiyatun nafs tetapi tidak menggunakan akalnya, maka ia tidak memperoleh manfaat tazkiyatun nafs. Orang baik yang tidak berakal akan mudah ditipu oleh syaitan, dan akan mudah terjatuh oleh fitnah manakala Allah mendatangkannya. Setiap orang harus membina akalnya dan membuka hatinya untuk memahami kebenaran maka ia akan mampu memberikan bobot nilai terhadap kebaikan (at-thayyibat) dan keburukan (al-khabitsat) dengan seharusnya.

Yang dimaksud akal adalah kemampuan seseorang berpegang pada kehendak Allah melalui firman-Nya dan sunnah Rasulullah SAW. Tidak dikatakan berakal orang yang mampu berpikir luas tanpa mengetahui kaitan pikirannya dengan kehendak Allah melalui firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Orang yang berakal adalah orang yang memahami kehendak Allah, dan pemahamannya dapat dibuktikan dengan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Pemahaman tentang kehendak Allah yang tidak dapat dibuktikan dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW seringkali sebenarnya hanya merupakan halusinasi walaupun boleh jadi banyak orang mempercayai. Dengan akal demikian inilah seseorang dapat memberikan nilai yang benar terhadap at-thayyibat dan al-khabitsat. Setiap orang harus membina akal yang demikian, tidak boleh membiarkannya tidak berkembang.

Tumbuhnya kekuatan akal dengan menghadapkan wajah pada bayt al-haram serupa dengan pertumbuhan nafs melalui pernikahan. Bila seseorang tidak menikah, pertumbuhan nafs akan terjadi secara semu tidak berakar dengan kuat. Demikian pula akal yang tumbuh tanpa menghadapkan wajah kepada kiblat akan menghadapi banyak pertumbuhan semu hingga dapat menyebabkan seseorang tersesat. Berjalan kembali kepada Allah dalam langkah taubat membutuhkan sasaran praktis yang dapat diwujudkan dalam perbuatan tidak semata berpegang pada niat taubat. Sasaran praktis ini akan membuat seseorang mewujudkan langkah yang kokoh berupa amal di bumi. Sasaran praktis taubat yang dibenarkan Allah adalah bayt al-haram.

Rabu, 12 Oktober 2022

Menghadapkan Wajah Ke Masjid Al-Haram

Setiap manusia yang hidup di bumi akan menempuh suatu perjalanan. Mereka berubah dari satu keadaan pada keadaan lain. Namun demikian banyak orang yang tidak mengetahui ke mana kehidupan mereka harus berarah. Sebagian manusia bersikap pragmatis memperturutkan hawa nafsu untuk dipandang terhormat dan berharta, sebagian orang mencari makna kehidupan yang sebenarnya dalam kegelapan dunia, dan sebagian orang mempunyai arah dalam menempuh arah kehidupan mereka menempuh perjalanan taubat kembali kepada Allah. Sangat banyak jenis manusia dalam sikap mereka menempuh kehidupan.

Apapun keadaan setiap manusia, Allah sebenarnya telah memberikan arah kehidupan. Bagi orang-orang yang mencari arah kehidupan di kegelapan kehidupan bumi hendaknya menghadapkan wajah mereka ke arah masjid al-haram. Demikian pula orang-orang yang bertaubat, hendaknya mereka menghadapkan wajah mereka ke arah masjid al-haram. Dengan menghadapkan wajah ke masjid al-haram, mereka akan memperoleh arah kehidupan yang baik. Menghadapkan wajah ke masjidil haram merupakan kebenaran dari Allah, dan Allah tidak akan lengah dari apa yang dikerjakan setiap manusia.

﴾۹۴۱﴿وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Dan dari mana saja kamu keluar, maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Baqarah : 149)

Masjid al-haram merupakan tempat bersujud manusia di tanah al-haram. Masjid al-haram merupakan wujud tauladan uswatun hasanah Ibrahim a.s bagi setiap manusia untuk kembali kepada Allah. Kegelapan kehidupan dunia akan tersingkap sedikit demi sedikit bila seseorang menghadapkan wajahnya ke masjidil haram. Bagi orang yang bertaubat, seseorang akan melangkah bertaubat kepada Allah dengan arah yang benar dengan mengikuti tauladan beliau a.s. Dalam keadaan apapun, hendaknya setiap orang menghadapkan wajahnya ke arah masjid al-haram.

Ada beberapa tingkatan makna masjid al-haram yang akan diperoleh setiap hamba Allah sesuai keadaan masing-masing. Masjid al-haram mempunyai makna-makna bathiniah selain wujud fisiknya. Secara fisik, ketika seseorang sedang mengalami kegelisahan dan ia bersujud kepada Allah dengan menghadap arah masjid al-haram, hal itu dapat mengurangi kegelisahan hati. Bagi sebagian orang yang lain, mereka mungkin bisa memperoleh makna masjid al-haram adalah membentuk keluarga sebagai bayt untuk sarana berdzikir dan meninggikan asma Allah di dalamnya. Bagi orang-orang yang bertaubat, perjalanan taubat harus ditempuh dalam segenap aspek dalam dirinya tidak hanya ditempuh dengan tataran fisik saja, dan makna masjid alharam itu akan dimengerti sesuai dengan tingkatannya dalam mengikuti millah Ibrahim a.s. Masing-masing orang mungkin saja mempunyai bentuk kerinduan yang berbeda terhadap masjid alharam, baik orang yang pernah berkunjung ke sana ataupun orang yang mempunyai makna tertentu tentang masjid alharam dalam hatinya walaupun belum pernah mempunyai kesempatan berkunjung.

Bayt merupakan wujud kesatuan nafs wahidah bersama dengan bagian-bagian yang diturunkan darinya berupa pasangannya dan segala yang terlahir dari diri mereka, baik anak-anak laki-laki dan perempuan maupun segala yang terserak dari diri mereka. Dengan bayt yang terbentuk, maka seseorang bisa memperoleh sarana untuk berdzikir dan meninggikan asma Allah.

﴾۱﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari nafs wahidah, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan-Nya kamu saling bertanya satu sama lain, dan (bertakwalah) tentang al-arham. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS An-Nisaa’ : 1)

Setiap orang harus membangun pondasi rumah tangga berdasarkan millah Ibrahim a.s, yaitu penyatuan nafs wahidah dan turunannya. Pernikahan sebisa mungkin dilakukan untuk menyatukan dua nafs yang berasal dari satu nafs wahidah yang sama, tidak karena landasan lain. Bila rasa cinta menjadi landasan, maka cinta itu bisa terbentuk dalam setiap komponen individu, baik komponen jasadiah atau hawa nafsu. Bila landasan pernikahan adalah cinta, maka boleh jadi mereka hanya akan menyatukan jasadiah atau hawa nafsu mereka saja, tidak berhasil menyatu pada nafs wahidah.

Orang yang berusaha membangun bayt berdasar nafs wahidah akan mudah membangun perbincangan untuk menemukan ketakwaan dan al-arham. Seorang laki-laki akan mudah memahami kehendak Allah dengan benar, dan seorang perempuan akan mampu memberikan bantuan yang tepat bagi suaminya manakala ia bertakwa. Seorang perempuan yang bertakwa akan memperoleh hal-hal yang dibutuhkan oleh suaminya untuk meninggikan asma Allah, baik berupa ha-hal duniawi maupun bantuan yang bersifat bathiniyah. Seorang isteri mungkin menghadirkan petunjuk Allah bagi mereka sedangkan suaminya mampu memahaminya berdasarkan Alquran, atau seorang isteri boleh jadi membawa ditangannya dunia yang harus diolah bersama suaminya dengan berdasar ketentuan Allah dalam Alquran. Dengan keadaan demikian, maka keluarga itu akan menjadi keluarga yang beruntung memperoleh izin untuk berdzikir dan meninggikan asma Allah di dalam bayt mereka.

Rumah Abu Lahab

Walaupun merupakan sunnah Rasulullah SAW, suatu pernikahan dapat membuat sinergi yang mencelakakan pasangan suami dan isteri. Sikap pragmatis mementingkan diri sendiri dan beberapa sikap yang menyalahi syariat dapat mendorong suatu keluarga menjadi keluarga yang celaka. Keluarga Abu Lahab merupakan contoh rumah tangga yang celaka. Abu lahab mempunyai sifat utama mementingkan diri sendiri, dan isterinya memiliki sifat yang sinergis selaras untuk memperoleh apa yang diinginkan suaminya. Sifat Abu Lahab ini dapat dilihat pada peristiwa ketika Rasulullah SAW menyeru mereka untuk islam, Abu Lahab mempertanyakan kepada Rasulullah SAW tentang keuntungan harta dan kehormatan yang akan ia peroleh dengan islam. Istrinya selaras pula dengan Abu Lahab. Walaupun dapat membentuk sinergi yang baik antara suami dan isteri, akan tetapi sinergi yang mereka bentuk akan menyebabkan celaka.

﴾﴿تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ ﴾﴿ مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ ﴾﴿سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ
﴾﴿وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ ﴾﴿فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ
(1)Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.(2)Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.(3)Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.(4)Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar.(5)Yang di lehernya ada tali dari sabut. (QS Al-Lahab : 1-5)

Sebuah pernikahan pada dasarnya akan mendatangkan keuntungan bagi setiap orang yang terlibat bilamana mereka masing-masing mampu mensyukuri dan memberikan hal terbaik bagi pasangannya. Secara umum, pasangan orang beriman akan merasa senang memberikan nafkah bagi keluarganya dan itu akan mendatangkan rezeki bagi mereka. Akan tetapi kadang-kadang seseorang merasa tidak aman memberikan kelebihan nafkah karena suatu hal yang belum diketahui duduk perkaranya, atau seseorang tidak mau menuruti paksaan pasangannya untuk memperoleh nafkah yang lebih baik karena menyalahi ketetapan Allah. Harus terbangun kesefahaman pada kedua pihak tentang rezeki yang boleh mereka terima.

Masalah ini kadang menjadi sesuatu yang tidak mudah dipahami walaupun pada pasangan yang kedua pihak tidak menuntut banyak hal dari pasangannya. Kadang syaitan menemukan celah untuk menjalar di antara pasangan yang baik dengan rezeki yang seharusnya berlimpah untuk membuat mereka kehilangan bagian rezeki mereka, sedangkan mereka kemudian mempermasalahkan iktikad baik pasangannya. Pada kasus lain, kadangkala manusia salah dalam mensikapi pernikahan. Kadang sebuah pernikahan terasa menjadi beban bagi satu pihak, atau seseorang tidak mau berkhidmat kepada yang lain dalam rangka ibadah kepada Allah, dan banyak hal lain yang mungkin membuat pernikahan tidak mendatangkan keuntungan yang terlihat di tingkatan jasadiah.

Dalam hubungan Abu Lahab dengan isterinya, masing-masing memberikan hal yang diinginkan oleh pasangannya, akan tetapi apa yang mereka inginkan itu merupakan api neraka. Asbabun nuzul surat ini lebih terkait dengan pendustaan Abu Lahab terhadap seruan Rasulullah SAW, akan tetapi kandungan dari ayat ini bercerita tentang akar permasalahan pendustaan yang dilakukan dalam peristiwa tersebut. Sinergisnya sikap isteri Abu Lahab sebenarnya membawakan kayu bakar bagi mereka, dan dengan kayu itu mereka mengobarkan api bagi orang-orang di sekitarnya. Kelak mereka akan dibakar dengan tambahan kayu bakar yang dibawakan oleh isterinya. Abu Lahab akan binasa karena hasratnya terhadap penghormatan dan harta benda, sedangkan isterinya membawakan baginya kayu bakar yang akan menambah api untuk membakar mereka. Isterinya pun memperoleh keuntungan dari Abu Lahab berupa harta dan penghormatan semu yang akan lenyap, sedangkan harta dan penghormatan itu menjadi tali yang mengikat lehernya tunduk mengikuti keinginan Abu Lahab. Sikap ini berkebalikan dengan wanita tauladan Asiyah r.a, walaupun bersuami Fir’aun tetapi beliau tetap menjadi wanita shalihah yang dapat memahami kehendak Allah melalui suaminya yang kafir.

Setiap pernikahan pada dasarnya membawakan bagi seseorang bagian lain dari dirinya, dan bagian itu menyuburkan dirinya. Perempuan yang berakal mengetahui bahwa dirinya membawa suatu khazanah di tangannya yang harus diolah bersama suaminya, dan suami yang baik akan mengetahui ayat Allah yang menerangkan khazanah yang terdapat pada tangan isterinya. Perempuan yang buruk akan membawakan di tangannya bahan bakar bagi suaminya untuk membakar mereka berdua. Setiap orang harus berusaha membangun akhlak mulia agar pernikahan yang mereka lakukan mendatangkan kebaikan bagi semua pihak. Dan hendaknya perempuan berhati-hati dari tipuan syaitan agar tidak membalik khazanah yang ada di tangannya menjadi hal lain yang merusak, dan hendaknya ia tidak mengalami kebingungan kepada siapa khazanah itu harus dibawa.

Warna pernikahan akan dipengaruhi oleh motivasi pernikahan. Bila sepasang manusia menikah untuk menyatukan nafs wahidah dalam rangka ibadah kepada Allah, mereka akan memperoleh hal yang terserak bagi mereka. Bila menikah karena hawa nafsu, baik berupa kecantikan, harta dan kehormatan baik kehormatan secara material ataupun kehormatan agamanya di mata orang lain, maka mereka akan menemukan banyak ujian. Bila seseorang menginginkan kedekatan dengan Allah, ia akan melihat jalan untuk dekat kepada Allah melalui pernikahannya. Bila menginginkan kehidupan akhirat, ia akan melihat bayangan kehidupan akhirat, dan bila menginginkan kehidupan dunia ia akan melihat jalan mencari kehidupan dunia.

Abu Lahab dan isterinya merupakan pasangan yang mengikuti hawa nafsu dan syahwat mereka dan mereka pribadi akan masuk ke neraka. Sekalipun mereka masih hidup, ketetapan masuk neraka itu telah dikabarkan secara pasti. Selain hawa nafsu, ada banyak tipuan dalam perjalanan taubat manusia. Tipuan syaitan seringkali sangat berbahaya bagi umat manusia, tidak hanya untuk orang yang tertipu saja. Seseorang bisa saja memasukkan orang lain ke neraka karena tipuan syaitan dengan memberikan landasan beragama yang salah. Hendaknya setiap orang menjaga diri mereka dengan mengikuti petunjuk firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW dengan sebaik-baiknya, tidak mengandalkan pikiran sendiri atau pikiran orang lain dalam bertaubat. Bila tidak bergantung kepada Allah, maka syaitan akan menipu agar tersesat. Bergantung kepada Allah dalam bertaubat hanya dapat dilakukan dengan jalan membaca dan mengikuti firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak dengan angan-angan bergantung kepada Allah atau jalan yang lain.

Rabu, 05 Oktober 2022

Agama dan Tashawwuf

Rasulullah SAW dan orang-orang yang bersama beliau SAW menyeru umat manusia untuk kembali kepada Allah melalui taubat. Kembali kepada Allah adalah memperbaiki akhlak hingga mencapai kesempurnaan akhlak mulia. Rasulullah SAW adalah makhluk yang diberi kesempurnaan kemuliaan akhlak, yang dengan kesempurnaan itu beliau SAW dapat memahami dengan benar seluruh hakikat penciptaan yang digelar Allah untuk dipahami makhluk-Nya tanpa kekeliruan. Sebagian manusia yang bertaubat memperoleh limpahan akhlak mulia hingga memperoleh sebagian dari pemahaman Rasulullah SAW tanpa berselisih.

Dalam proses taubat mengikuti Rasulullah SAW, terdapat sebuah batas yang menjadi pembeda keadaan pengikut Rasulullah SAW. Batas itu adalah pengetahuan tentang fitrah diri. Para pengikut Rasulullah SAW mempunyai dua status yang berbeda karena adanya pengetahuan fitrah diri, yaitu orang yang memperoleh agama (ad-diin) dan orang yang belum memperoleh agama. Orang yang sedang mengalami keterbukaan terhadap fitrah dirinya berarti sedang berada pada gerbang agama (ad-diin), sedangkan sebagian besar manusia belum mengetahui letak gerbang agama masing-masing. Gerbang agama itu adalah awal dari agama (ad-diin) bagi seseorang.

﴾۰۳﴿فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
﴾۱۳﴿ مُنِيبِينَ إِلَيْهِ وَاتَّقُوهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Ad-diin); (yaitu) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang tegak; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, (31) dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah,(QS Ar-Ruum: 30-31)

Tidak semua orang yang mengikuti Rasulullah SAW telah melalui gerbang agama, akan tetapi semua merupakan pengikut Rasulullah SAW selama seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat. Seseorang tidak boleh menggolongkan mereka sebagai kafir. Boleh jadi seseorang baru memasuki gerbang berserah diri (muslim), atau yang lebih lanjut memasuki gerbang keimanan (mukmin), dan sebagian orang memasuki gerbang agama mereka. Setiap orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat adalah pengikut Rasulullah SAW yang tidak dapat diperangi kecuali dengan hujjah yang nyata. Kewajiban antara satu pengikut Rasulullah SAW dengan yang lain adalah menyeru pada al-ma’ruf dan melarang dari kemunkaran baik dengan tangan, ucapan atau sekadar dengan hati mereka.

Di antara bagian perjalanan mengikuti Rasulullah SAW, terdapat bagian perjalanan berupa pembinaan nafs agar seseorang dapat mengenal fitrah dirinya, berupa upaya tazkiyatun nafs membina hawa nafsu agar dapat mengenali fitrah diri terbebas dari penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi diakibatkan dorongan hawa nafsu. Seringkali pembinaan diri tersebut disebut sebagai tashawwuf. Tashawwuf merupakan bagian dari perjalanan mengikuti Rasulullah SAW. Pembinaan demikian hanya dapat dilakukan dengan dipimpin oleh orang yang telah memasuki gerbang agama dan mempunyai fitrah diri sebagai pembimbing tashawwuf.

Kadangkala sebagian muslimin memperdebatkan hal yang tidak perlu terkait tashawwuf karena tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang perjalanan mengikuti Rasulullah SAW. Mereka memecah-belah agama menjadi beberapa golongan dan setiap golongan berbangga dengan apa yang ada pada golongan mereka sendiri. Mereka tidak berpikir untuk mengikuti langkah Rasulullah SAW menuju akhlak mulia tetapi berbangga dengan pendapat yang mereka susun sendiri, dan meyakini bahwa pendapat mereka itulah yang disebut sebagai mengikuti Rasulullah SAW, sedangkan mereka mempunyai akhlak yang buruk tanpa akal untuk memahami.

﴾۲۳﴿مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
(32)yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.(QS Ar-Ruum: 32)

Kelompok demikian sebenarnya dibangkitkan oleh orang-orang musyrik untuk mengalahkan umat Rasulullah SAW. Hendaknya kaum muslimin mewaspadai seruan yang membangkitkan kebanggaan terhadap kelompok sendiri, dan memperhatikan seruan untuk menuju pengetahuan (al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. Kesempurnaan akhlak manusia tergantung pada perkembangan akal dalam diri mereka, yaitu kemampuan untuk berpegang pada tuntunan Allah yang terdapat pada Alquran dan sunnah Rasulullah SAW.

Karakteristik Dalam Agama (Ad-Diin)

Pada tingkatan agama, seseorang harus membangun bayt untuk berdzikir dan meninggikan asma Allah mengikuti millah Ibrahim a.s mendirikan bayt bersama keluarganya. Wujud bayt bagi setiap orang itu adalah kesatuan seseorang dengan berbagai hal yang menjadi bagian dirinya, terutama dan diawali penyatuan nafs wahidah dirinya. Dengan kesatuan itu, ia harus memberikan pelayanan bagi umatnya sesuai dengan fitrah dirinya. Misalnya bila fitrah diri seseorang adalah raja, ia harus menyatukan bagian dirinya berupa kesatuan bersama sang ratu dan kerajaan yang harus dibentuk. Ia harus mengabdi kepada Allah dengan fitrah dirinya.

Bayt merupakan hal yang sangat penting bagi orang yang berada dalam agama. Proses dalam pelaksanaan fitrah diri sangat terkait dengan kesatuan nafs wahidah. Terlahirnya amal shalih bagi umat sangat terkait dengan kesuburan yang ada di antara dua insan yang menikah. Seorang laki-laki yang mengenal Allah akan mengalami kesulitan melahirkan urusan mereka bagi umat tanpa didampingi oleh isteri yang shalihah dan subur. Seorang isteri yang shalihah akan terbatasi lingkup manfaatnya dalam rumah tangga tanpa mempunyai suami yang shalih dan mengenal urusan Allah bagi mereka. Kelahiran amal shalih bagi umat mereka hanya akan terlahir bila ada penyatuan nafs kedua pihak dalam amr Allah.

Terdapat beberapa fitur utama yang harus dicapai dalam penyatuan nafs wahidah membentuk bayt, berupa (1) perbincangan/komunikasi antara suami-isteri untuk memperoleh ketakwaan dalam perkara yang dihadirkan Allah bagi mereka, dan (2) pengetahuan kedudukan diri mereka dalam jamaah kaum mukminin di bawah pimpinan Rasulullah SAW berupa al-arham. Dengan kedua hal ini, seseorang akan mengetahui fitrah diri mereka sebagai bagian dari urusan yang diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW dan tidak melampaui batas-batas yang ditetapkan bagi mereka, karena mengetahui kedudukan mereka di antara mukminin lain.

﴾۱﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari nafs wahidah, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling bertanya satu sama lain, dan (bertakwalah) terhadap Al-arham. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS An-Nisaa’ : 1)

Bayt merupakan sasaran utama mengikuti millah Ibrahim a.s, menjadi sebuah sarana yang harus dibentuk untuk dapat mengikuti Rasulullah SAW menjadi hamba yang didekatkan. Melahirkan amal shalih, perbincangan untuk meraih ketakwaan dan al-arham dapat diperoleh pasangan menikah melalui upaya membentuk bayt.

Rasa mawaddah dan rahmah di antara suami-isteri akan terbentuk melalui proses dalam ayat ini, yaitu proses terlahirnya amal shalih, terjadinya perbincangan di antara mereka tentang Allah untuk meraih ketakwaan, dan adanya pengenalan tentang kedudukan mereka di antara jamaah pengikut Rasulullah SAW. Ini adalah cinta kasih sejati yang terbentuk di antara mukmin yang menikah. Kecintaan dapat terbentuk melalui berbagai jaan, tetapi sebagian besar dapat luntur seiring waktu dan perubahan dalam diri, akan tetapi akan abadi manakala cinta terbentuk melalui proses ini. Sebagian mukmin barangkali hanya dapat mencintai melalui proses yang ada pada ayat demikian, tidak dapat melalui jalan yang lain.

Dengan proses terbentuknya mawaddah dan rahmah, sepasang mukmin dapat lebih mudah membentuk bayt untuk berdzikir dan meninggikan asma Allah. Meninggikan asma Allah harus dilakukan dengan menyatukan apa yang terserak dari diri seseorang, berupa pengenalan nafs wahidah dan penyatuan segala hal yang menjadi turunan dari diri mereka berupa pasangan dan bagian alam mulkiyah yang diperuntukkan bagi mereka.

Al-arham pada intinya merupakan pengetahuan seseorang tentang kedudukan diri dalam urusan yang menjadi amanah Rasulullah SAW untuk ruang dan waktu dirinya. Dalam tataran praktisnya, seseorang akan mengenali orang-orang yang harus terhubung dengan dirinya dan mengenali bentuk hubungan yang harus dibentuk. Al-arham merupakan komponen yang kedudukannya sejajar dengan komunikasi untuk ketakwaan, komponen yang mendukung keberhasilan meninggikan asma Allah melalui bayt. Pengenalan terhadap al-arham dapat diperoleh melalui keberpasangan dan proses penyatuan nafs wahidah.

Sebagai contoh, mungkin seseorang menjadi imam agama pada jamannya, maka ia harus mengetahui hubungannya dengan imam tashawwuf yang sejaman agar dapat menunaikan amanah sebagai bagian dari urusan Rasulullah SAW dalam al-jamaah. Demikian pula ia harus mengenal hubungan yang harus dibentuk bersama dengan orang yang lain. Hal itu merupakan contoh bentuk al-arham yang harus terbentuk di dalam agama. Setiap orang seharusnya mengenali sahabat yang harus berjuang bersamanya. Tanpa hal itu, seseorang mungkin saja akan tersesat dalam agamanya, atau tidak mampu menunaikan amanahnya, atau setidaknya ia akan melampaui batas-batas diri dalam menunaikan agama.

Tashawwuf Sebagai Serambi Agama

Dalam tingkatan tashawwuf dan sebelumnya, setiap orang harus menurunkan ide membentuk bayt sebagai sasaran dalam langkah mereka, bersamaan dengan upaya mencapai sasaran tahapan perjalanan yang ditempuh. Serambi agama tidak dapat berdiri sendiri tanpa mengarah pada agama. Seorang guru yang benar mungkin mengatakan bahwa suci itu tidak hanya untuk diri sendiri. Yang beliau maksud adalah bahwa pensucian jiwa (tazkiyatun nafs) mempunyai tujuan untuk melahirkan amal shalih bagi umat mereka, dan itu seharusnya terbentuk melalui bayt. Hal itu bisa mempunyai makna yang sama dengan pentingnya membentuk bayt untuk melahirkan amal shalih.

Pada tahap tashawuf, pengenalan diri akan terjadi bila perjalanan seseorang mengarah pada terbentuknya bayt. Tazkiyatun nafs akan berjalan ke arah yang benar bila semua pihak memperhatikan rumah tangga mereka. Seorang mursyid harus membimbing para murid untuk dapat membentuk rumah tangga berdasarkan tuntunan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, maka proses pembinaan nafs dapat berarah dengan benar. Arah yang benar dalam proses tashawuf akan menentukan keberhasilan seseorang untuk mengenal fitrah diri mereka. Proses yang cepat pada arah yang salah tidak akan mengantarkan seseorang mencapai sasaran, sedangkan proses yang perlahan pada arah yang benar akan mendekatkan seseorang pada sasarannya.

Setiap orang harus membangun pondasi rumah tangga berdasarkan millah Ibrahim a.s, yaitu penyatuan nafs wahidah dan turunannya. Pernikahan sebisa mungkin dilakukan untuk menyatukan dua nafs yang berasal dari satu nafs wahidah yang sama, tidak karena landasan lain. Bila rasa cinta menjadi landasan, maka cinta itu bisa terbentuk dalam setiap komponen individu, baik komponen jasadiah atau hawa nafsu, atau mungkin pula nafs wahidah. Bila landasan pernikahan adalah cinta, maka boleh jadi mereka hanya akan menyatukan jasadiah atau hawa nafsu mereka saja, tidak berhasil menyatu pada nafs wahidah. Masalah kesuburan, perbincangan untuk ketakwaan dan pengenalan al-arham akan terbentuk dengan baik pada pasangan dari satu nafs wahidah, dan itulah yang akan mengantarkan pasangan untuk saling mencintai dengan cinta sejati.

Walaupun demikian, perasaan cinta tidak boleh diabaikan, karena hawa nafsu pun merupakan turunan dari nafs wahidah yang terlahir karena jasad yang hidup. Hanya saja hawa nafsu itu seringkali terwarnai kebodohan. Bila sepasang manusia menerima petunjuk keberpasangan mereka, maka aspek rasa cinta harus dikalahkan. Petunjuk yang mengalahkan rasa cinta itu lebih mendekati tuntutan nafs wahidah daripada kesenangan hawa nafsu. Jauh lebih banyak manusia yang harus lebih berjuang menundukkan hawa nafsu daripada yang hawa nafsunya sejalan dengan kebenaran. Hawa nafsu dan nafs wahidah sama sekali tidak berada pada derajat yang sama. Hawa nafsu merupakan nafs yang palsu, sedangkan nafs wahidah merupakan inti penciptaan manusia yang sebenarnya. Bila pasangan nafs wahidah berhasil mengarah pada terbentuknya bayt, maka akan tumbuh cinta yang sejati di antara mereka.

Mendahulukan nafs wahidah daripada kecintaan hawa nafsu ini seringkali menjadi masalah bagi pasangan yang memperoleh petunjuk. Fenomena ini sering terjadi pada orang-orang dalam tingkatan tashawwuf, dimana seseorang kadang memperoleh petunjuk yang benar tetapi hawa nafsu masih kuat mempengaruhi. Kadangkala seseorang yang telah memasuki tingkatan agama juga mengalami hal demikian, lebih disebabkan karena ada persepsi yang terbentuk tentang pasangannya tampak tidak sejalan dengan arah hidupnya, atau ketidakyakinan akan menempuh arah hidup yang sama. Hal demikian hendaknya disikapi dengan mendekatkan pergaulan mereka hingga mereka dapat mengetahui keadaan pasangannya dengan baik, bukan berdasar persepsi prematur. Bilamana ada masalah sebelumnya yang menghambat pergaulan mereka, maka perlu dilakukan langkah ishlah terlebih dahulu hingga masalah di antara mereka terurai dengan baik.

Pernikahan merupakan setengah bagian dari agama. Pada tingkatan apapun, pernikahan memberikan landasan yang kuat bagi seseorang untuk melangkah kembali kepada Allah. Pernikahan yang terbaik akan terwujud dari pasangan yang berusaha menyatukan diri dalam nafs wahidah yang menjadi asal-usul penciptaan mereka. Itu merupakan jati diri yang menjadi kedudukan terbaik bagi mereka, dan itu merupakan landasan bagi agama yang terbaik bagi mereka, tidak dapat digantikan oleh landasan-landasan yang berdasarkan hawa nafsu.