Pencarian

Jumat, 17 Mei 2024

Menyeru Pada Kebenaran

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan. Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah.

Seruan Rasulullah SAW terhadap umatnya utamanya berbentuk seruan ibadah kepada Allah tanpa menyekutukan dengan selain Allah. Bentuk seruan demikian tidak hanya berupa seruan ibadah kepada Allah, tetapi juga seruan untuk membentuk suatu hubungan masyarakat berdasar mawaddah antara satu dengan yang lainnya. Bentuk ibadah kepada Allah harus diwarnai dengan manifestasi asma dan sifat Allah pada orang-orang yang beribadah kepada-Nya, tidak hanya berupa syariat yang ditentukan Allah. Hamba yang membina sifat dirinya sesuai dengan asma dan sifat yang mulia akan merepresentasikan kehambaan yang lebih hakiki. Kadangkala manusia merasa telah menjadi hamba Allah sedangkan ia tidak membina dirinya sebagaimana citra Ar-rahman, maka ia melakukan perbuatan berdasarkan hawa nafsu dan disangka sebagai ibadah kepada Allah.

Seruan para rasul Allah sangatlah mulia. Akan tetapi tidak semua orang dapat menerima seruan para rasul itu. Banyak manusia memperolok-olok seruan tersebut sejak jaman dahulu kala sebelum Rasulullah SAW di utus. Demikian pula orang-orang yang menyeru manusia untuk mengikuti Rasulullah SAW akan diperolok-olok oleh manusia. Mereka hendaknya tetap mengikuti langkah Rasulullah SAW dan tetap menyeru manusia untuk mengikuti langkah Rasulullah SAW.

﴾۱۴﴿وَلَقَدِ اسْتُهْزِئَ بِرُسُلٍ مِّن قَبْلِكَ فَحَاقَ بِالَّذِينَ سَخِرُوا مِنْهُم مَّا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِؤُونَ
Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa orang rasul sebelum kamu maka tetaplah atas orang-orang yang mencemoohkan rasul-rasul itu (ketentuan terhadap) apa-apa yang selalu mereka perolok-olokkan. (QS Al-Anbiyaa : 41)

Ayat di atas menyatakan realitas orang-orang yang memperolok-olokkan seruan rasul, penjelasan bagi mukminin untuk disikapi dengan sebaik-baiknya. Barangkali seorang penyeru akan merasa heran mengapa manusia memperolok-olok seruannya. Hal demikian sebenarnya telah berlaku sejak dahulu, tidak hanya terjadi atas dirinya. Bilamana ada suatu saran dan penilaian orang lain terhadap seruannya bahwa seruan itu tidak perlu dilakukan, atau pendapat bila seruan itu baik maka manusia akan mengikuti seruan itu dengan sendirinya tanpa perlu disampai-sampaikan, maka penilaian demikian itu tidak selaras dengan sejarah yang telah terjadi. Sejarah telah membuktikan bahwa kebanyakan manusia cenderung hanya mengikuti pikiran mereka sendiri tidak mengerti langkah mengikuti perintah Allah. Bahkan manakala seorang rasul diutus kepada mereka, banyak orang yang memperolok-olokkan seruan rasul yang diutus Allah tersebut. Hanya sedikit manusia yang benar-benar berusaha mendengarkan perintah Allah dengan benar, termasuk umat manusia jaman sekarang. Bila manusia telah paham terhadap kehendak Allah niscaya umat islam akan pandai. Hendaknya seorang penyeru tetap menyeru orang lain untuk mengikuti langkah Rasulullah SAW tidak kehilangan semangat untuk menyeru manusia memahami dan mentaati kehendak Allah.

Pernyataan ini hendaknya disikapi secara setimbang. Setiap orang harus mau mendengarkan perkataan orang lain, karena boleh jadi terdapat kebenaran yang muncul dari orang lain, dan boleh jadi ada kekeliruan dalam pemahaman dirinya dalam perintah Allah. Hanya saja hendaknya seorang penyeru tidak lemah hati terhadap olok-olok yang mungkin mereka terima. Suatu kebenaran yang bernilai tinggi tetaplah harus dinilai sebagai hal berharga, baik bagi dirinya dan bagi orang lain. Bila seseorang atau suatu kaum menolak nilai berharga itu, kebenaran itu tidak menjadi sampah. Barangkali ada orang lain yang bisa menghargai dengan selayaknya. Manusia pada dasarnya hanya menyukai apa-apa yang dianggap baik bagi dirinya, sebagaimana kerbau menganggap lumpur layaknya surga. Manusia tidak menyukai berkubang lumpur seperti kerbau karena berbeda keadaannya. Demikian gambaran bahwa pada setiap manusia nilai suatu kebenaran bagi masing-masing berbeda-beda. Sebagian mempunyai nilai bahwa tuntunan kitabullah adalah yang terbaik, tetapi tidak semua paham sikap demikian kecuali hanya lisan saja. Apabila memungkinkan, setiap orang hendaknya diseru untuk semakin dekat kepada seruan Rasulullah SAW. Apabila tidak memungkinkan, cukuplah bagi mereka bahwa seseorang tidak bertanggung jawab atas orang lain, hanya bertanggung jawab sebatas menyeru saja.

Dengan Cara yang Baik

Termasuk dalam tanggung jawab dalam menyeru adalah melakukan seruan dengan sebaik-baiknya. Manakala menyeru, hendaknya seseorang menggunakan pakaian yang sesuai dengan apa yang diserukan. Pakaian-pakaian itu akan mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap seruannya untuk mengikuti langkah Rasulullah SAW. Bentuk pakaian itu terdapat pada beberapa lapis pada dirinya, berupa pakaian ketaqwaan dalam dirinya, pernikahannya, dan pakaian materi duniawi yang tepat yang diperuntukkan bagi dirinya. Tanpa pakaian yang memadai, umat manusia akan sulit untuk memahami seruannya dengan tepat.

Ia harus memperhatikan ketakwaan sebagai pakaian paling intrinsik bagi dirinya. Pahamnya seorang penyeru terhadap kebenaran yang disampaikan tergantung pada ketakwaannya. Bila ia tidak bertakwa, ia tidak akan benar-benar memahami kebenaran yang diserukannya. Sebagian orang mengenal tujuan yang harus dicapai tetapi tidak mengetahui jalan-jalan untuk mewujudkannya. Sebagian orang dapat disimpangkan langkahnya oleh syaitan dan tidak menyadari bahwa langkahnya tidak menuju tujuan yang ditentukan. Banyak contoh lain yang merupakan kekeliruan dalam meangkah. Hal-hal demikian menjadi warna yang tumbuh dalam proses menyeru. Seruan yang benar dan tepat terlahir dari ketakwaan dalam diri seseorang, maka hendaknya ia memperhatikan ketakwaan dirinya.

Pakaian intrinsik berikutnya yang harus diperhatikan seseorang dalam menyeru adalah pernikahannya. Isteri adalah pakaian bagi suaminya, dan sebaliknya suami merupakan pakaian bagi isterinya. Manakala suatu pernikahan berantakan, sebenarnya pakaian mereka juga berantakan, dan hal itu akan mempengaruhi pandangan umat manusia. Pandangan masyarakat terhadap seseorang akan menjadi buruk kepada mereka apabila pakaian berupa pernikahan mereka berantakan. Untuk menjadi seorang penyeru terhadap sunnah Rasulullah SAW, seseorang harus memperhatikan hubungan pernikahan mereka.

Pakaian bentuk luar hendaknya juga diperhatikan sesuai dengan orang-orang yang diseru, karena umat manusia kebanyakan terlebih dahulu memperhatikan pakaian luar. Pakaian berbentuk materi duniawi hendaknya berasal dari harta benda sesuai kehendak Allah yang diperuntukkan bagi dirinya. Ia tidak berlebih dalam mengumpulkan harta duniawi, dan tidak bermalas-malas dalam mengerjakan amal. Berlebihnya pakaian duniawi pada dasarnya akan merusak diri dan merusak pula cara pandang umat terhadap dirinya. Cara pandang masyarakat itu merupakan reaksi terhadap pakaiannya berupa harta benda dan kedudukan seseorang. Sebaliknya pada keadaan tertentu, umat manusia tidak mampu memandang adanya kebenaran yang disampaikan oleh orang-orang yang dianggap lemah di antara mereka. Ketakwaan sebagai pakaian dalam diri penyeru boleh jadi tidak terlihat oleh orang yang diseru karena tertutup oleh pakaian luar yang tidak memadai. Hal sering diikuti dengan sikap masyarakat mengikuti orang-orang yang berpakaian secara palsu.

Ada kalanya seseorang tidak dapat memperoleh pakaian-pakaian yang seharusnya ia kenakan, maka dalam hal demikian ia tidak harus memaksakan diri untuk dapat menyeru orang lain. Syaitan kadangkala memperoleh jalan untuk mencabik pakaian seseorang hingga ia tampak buruk dalam pandangan masyarakat. Misalnya manakala suatu pernikahan terenggut oleh syaitan, ketakwaan suatu nafs yang seharusnya tumbuh dan subur melalui penyatuan nafs wahidah suami dan isteri mungkin akan terganggu, maka pakaian berbentuk ketakwaan nafs akan menjadi kerdil atau mati. Pakaian dalam bentuk hubungan pernikahan itu sendiri juga akan menjadi tercabik-cabik. Tidak jarang hal demikian menyebabkan pakaian berupa materi duniawi bagi pasangan itu juga tidak terkumpul atau menghilang. Syaitan mempunyai pengetahuan tentang jalan-jalan yang dapat merusak pakaian orang-orang yang ingin mengikuti langkah Rasulullah SAW. Dalam kasus demikian, seseorang tidak harus memaksakan diri untuk dapat tampil menarik di masyarakat. Penggunaan ilmu-ilmu yang bathil tidak diijinkan untuk digunakan sekalipun untuk menyeru manusia ke jalan Allah, dan justru ilmu-ilmu itu akan menjadi alat syaitan menjerat langkahnya mengikuti Rasulullah SAW dan memunculkan madlarat yang besar bagi umat manusia.

Setelah mengusahakan yang terbaik dari dirinya, seseorang hendaknya menyeru umat manusia untuk mengikuti langkah Rasulullah SAW sesuai dengan kebaikan yang diketahuinya, dan sesuai dengan keadaan masyarakatnya. Ia tidak dituntut untuk berhasil melaksanakan seruannya. Karena itu hendaknya ia tidak memaksakan diri dengan jalan-jalan selain yang ditentukan Allah. Manakala ia tidak berhasil karena pakaiannya yang buruk oleh tipu daya syaitan, tanggung jawab kegagalan itu pada syaitan dan orang-orang yang mengikutinya, serta umat manusia yang diseru itu sendiri. Ayat di atas menyatakan realitas keadaan orang-orang yang memperolok-olokkan seruan rasul untuk disikapi dengan sebaik-baiknya, tidak menyentuh masalah tanggung jawab penyeru.

Wajar bagi para penyeru bersedih hati dengan keadaan demikian, dan Allah menghibur dengan menunjukkan kepada mereka banyaknya seruan rasul-rasul yang diperolok-olok kaumnya. Hendaknya para penyeru tidak terlalu bersedih dengan perlakuan kaumnya. Akan tetapi hendaknya selalu disadari bahwa ada suatu ketentuan Allah yang menyertai sikap mengolok-olok seruan demikian. Ketentuan itu suatu saat akan terjatuh terhadap orang-orang yang terus mengolok-olok seruan terhadap kebenaran. Hendaknya para penyeru tetap berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya dalam menyeru umat mereka, baik mempersiapkan diri mereka sendiri untuk menyeru dengan sebaik-baiknya, ataupun secara aktif berhadapan dengan kaumnya untuk menjelaskan.

Membangkitkan Pengetahuan

Manakala umat sulit untuk diseru mengikuti langkah Rasulullah SAW dan tuntunan kitabullah, hendaknya ditanyakan kepada mereka tentang keselamatan diri mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan membuka permasalahan dalam diri mereka yang mendatangkan bahaya berupa suatu ketentuan Allah. Membuka permasalahan demikian hendaknya dilakukan hingga timbul pertanyaan dalam diri mereka sendiri apakah mereka akan selamat dengan keadaan mereka yang demikian.

﴾۲۴﴿قُلْ مَن يَكْلَؤُكُم بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مِنَ الرَّحْمٰنِ بَلْ هُمْ عَن ذِكْرِ رَبِّهِم مُّعْرِضُونَ
Katakanlah: "Siapakah yang dapat memelihara kamu di waktu malam dan siang hari dari (Allah) Yang Maha Pemurah?" Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang berpaling dari mengingati Tuhan mereka. (QS Al-Anbiyaa : 42)

Perkataan memelihara ( يَكْلَؤُ ) menunjukkan makna memelihara sebagaimana para penanam mencabut rumput-rumput dan tanaman-tanaman pengganggu lain agar tidak mengganggu tanaman yang dipelihara. Dalam konteks di atas, Ar-Rahman merupakan penanam dan manusia merupakan tanaman yang dipelihara. Terkait dengan ayat sebelumnya, para rasul yang diutus kepada manusia merupakan para pembersih tanaman pengganggu. Allah tidak mengutus rasul tanpa ilmu dari kitabullah yang dapat digunakan untuk membersihkan tanaman pengganggu. Rasulullah SAW dan Alquran pada dasarnya merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan. Selain bisa digunakan oleh para rasul, kitabullah Alquran dapat digunakan pula oleh kaum mukminin untuk membersihkan tanaman-tanaman pengganggu diri manusia.

Pada masa tanaman itu dipelihara, sebenarnya akan tumbuh pula banyak tanaman-tanaman pengganggu baik rumput-rumputan atau semak belukar. Syaitan akan menebarkan benih-benih tanaman pengganggu bagi pertumbuhan manusia. Hawa nafsu manusia sendiri juga mengandung benih-benih rumput yang akan mengganggu tanaman yang seharusnya dipelihara. Manakala tidak dipelihara, maka tanaman itu sendiri tidak dapat membersihkan tanaman-tanaman pengganggunya. Lebih rumit lagi bila Allah (Yang Maha Pemurah) ridla tidak membersihkan tumbuhnya tanaman pengganggu bagi seorang manusia, maka siapakah yang akan mampu memelihara tanaman yang seharusnya dipelihara? Sangat sulit bagi seseorang untuk memelihara dirinya sendiri dari tanaman pengganggu demikian.

Orang-orang yang memperolokkan seruan para rasul merupakan orang-orang yang tanaman pengganggunya tumbuh lebih subur daripada tanaman yang dipelihara. Secara intrinsik, apa yang terbentuk dalam diri mereka lebih menyerupai kebathilan, karenanya mereka tidak dapat mencerap kebenaran yang disampaikan oleh para rasul. Karena keadaan diri demikian, mereka merasa lebih membutuhkan cahaya yang bathil daripada cahaya kebenaran. Mereka memandang bahwa pengetahuan yang mereka miliki lebih baik daripada seruan para rasul, maka kemudian mereka memperolok-olok seruan para rasul. Apabila tanaman yang seharusnya dipelihara dalam diri manusia itu masih ada, mungkin mereka dapat mencerap cahaya kebenaran yang disampaikan akan tetapi akan dipengaruhi oleh keadaan para penyeru. Apabila para penyeru berpakaian pantas, mereka akan lebih mudah mencerap yang disampaikannya daripada bila penyeru itu berpakaian tidak sepantasnya.

Keadaan memperolok-olok demikian bisa terjadi pada kalangan orang-orang yang mementingkan duniawi maupun orang-orang yang telah berkecimpung dalam bidang agama. Orang-orang yang mementingkan kehidupan duniawi pada dasarnya merupakan orang-orang yang hidup dalam kegelapan malam, sedangkan orang yang berkecimpung dalam bidang agama telah menempuh kehidupan yang lebih terang. Tanaman-tanaman pengganggu dapat tumbuh pada semua kalangan baik yang duniawi maupun agamawan, sehingga mereka tidak dapat mencerap cahaya kebenaran yang disampaikan oleh para rasul.

Orang-orang yang memperolokkan pengajaran para rasul itu sebenarnya orang-orang yang tidak mengambil pelajaran tentang rabb mereka. Orang-orang beriman adalah orang yang berkeinginan untuk mengenal rabb mereka Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Orang-orang yang memperolok-olokkan seruan para rasul tidak bergerak menuju pengenalan yang lebih baik terhadap rabb mereka. Boleh jadi mereka bertuhan kepada tuhan yang mereka ciptakan sendiri, atau terhijab waham bahwa diri mereka adalah para hamba tuhan tetapi sebenarnya tidak berkeinginan untuk lebih mengenal rabbnya. Seruan para rasul itu akan menjadikan umat manusia yang mengikutinya menjadi lebih mengenal Allah, dan orang-orang yang memperolok-olokkan hanya terhijab oleh jati diri palsu diri mereka sendiri tanpa keinginan untuk lebih mengenal rabb mereka. Bila keinginan itu kuat, niscaya seseorang akan mampu mengenali kebenaran dalam seruan para rasul karena adanya suatu kebutuhan dalam nafs mereka terhadap kebenaran.

Selasa, 14 Mei 2024

Harapan Rasulullah SAW terhadap Kaum Mukminin

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan. Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah.

Dalam seruannya, Rasulullah SAW tidaklah mempunyai suatu harapan terhadap upah dari umatnya kecuali upah berupa tumbuhnya rasa mawaddah dalam kedekatan (الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَىٰ). Itu adalah upah yang diharapkan Rasulullah SAW dari umatnya, dan tidak ada upah lain yang diharapkan Rasulullah SAW dari umatnya kecuali dalam bentuk mawaddah tersebut. Allah memberikan perintah kepada Rasulullah SAW untuk menyampaikan harapan upah dari umatnya tersebut.

﴾۳۲﴿ذٰلِكَ الَّذِي يُبَشِّرُ اللَّهُ عِبَادَهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ قُل لَّا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَىٰ وَمَن يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَّزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْنًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ
Itulah (keadaan) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. Katakanlah (wahai Muhammad) : "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kedekatan". Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. (QS As-Syura : 23)

Upah merupakan balasan dari seseorang kepada orang yang telah memberikan keuntungan karena pekerjaan atau amal yang telah dilakukan. Sebenarnya Rasulullah SAW telah bekerja dan memberikan keuntungan yang sangat banyak kepada umat manusia dan alam semesta seluruhnya. Karena hal itu maka umat manusia hendaknya memberikan upah bagi pekerjaan yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah SAW tidaklah mengharapkan upah dari umat beliau kecuali hanya dalam bentuk terbinanya rasa mawaddah dalam kedekatan (الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَىٰ). Manakala tidak terbentuk mawaddah dalam kedekatan, pada dasarnya umat manusia belum memberikan upah kepada Rasulullah SAW.

Kedekatan (الْقُرْبَىٰ) menunjukkan kedekatan seperti keluarga, yaitu kedekatan yang terjadi dengan adanya keserupaan antara satu orang dengan yang lain. Rasa mawaddah Rasulullah SAW akan diperoleh seseorang manakala ia membentuk akhlak serupa dengan akhlak beliau, meskipun hanya pada bagian yang diperuntukkan bagi dirinya. Demikian pula mawaddah yang terbentuk di antara orang-orang beriman akan tumbuh manakala terbentuk kewalian di antara mereka. Seorang isteri akan memperoleh rasa mawaddah dari suaminya manakala ia membentuk akhlaknya sebagai bagian dari suaminya. Ia memahami kehendak Allah bersama suaminya dalam urusan penghambaannya, tidak menentang suaminya untuk mengikuti bentuk penghambaan orang lain. Seorang beriman akan mempunyai rasa mawaddah terhadap orang-orang beriman yang memperoleh bagian dari dirinya melalui suatu perwalian.

Pokok dari tumbuhnya mawaddah itu adalah pemahaman umat terhadap tuntunan kitabullah Alquran untuk memperoleh keserupaan akhlak dengan akhlak Rasulullah SAW. Kitabullah Alquran merupakan akhlak Rasulullah SAW, dan orang yang memperoleh akhlak dari Alquran memperoleh keserupaan dengan akhlak Rasulullah SAW selama tidak dikotori dengan mengikuti langkah syaitan. Akhlak tidak hanya menunjuk kepada etika atau adab, tetapi termasuk dan terutama kekuatan akal dalam memahami kehendak Allah. Akal yang lurus ini merupakan faktor utama yang menentukan keserupaan akhlak seseorang dengan Rasulullah SAW.

Tatanan Di Kalangan Mukminin

Kewalian hendaknya dibentuk di antara kaum mukminin hingga terjadi perwalian antara orang beriman terhadap orang beriman lainnya agar tumbuh rasa mawaddah yang merata di kaum mukminin. Dalam kewalian demikian, akhlak seseorang dari bagian kitabullah Alquran hendaknya dijadikan materi perwalian. Hal ini tidak hanya berlaku terhadap kategori wali Allah secara khusus. Seseorang yang memahami bagian dirinya dari Alquran hendaknya dijadikan wali bagi kaum mukminin pada bagiannya tersebut. Umat tidak boleh mengabaikan atau meremehkan bagian Alquran yang ada di antara mereka. Kadangkala umat enggan menggunakan akalnya dan memilih mengikuti pendapat hawa nafsu mereka sendiri, maka mereka kehilangan manfaat Alquran yang besar yang diturunkan Allah melalui seseorang di antara mereka. Kemuliaan suatu umat akan tergantung pada manfaat kitabullah yang mereka syukuri, dan kehinaan umat akan menimpa sesuai dengan manfaat kitabullah yang mereka dustakan atau abaikan. Mungkin saja ada di kalangan umat yang merasa sebagai kaum terpilih tetapi sebenarnya mereka hanya mengikuti hawa nafsu mengabaikan kitabullah, tidak mampu melihat bahwa kemuliaan bagi mereka hanya berasal dari manfaat kitabullah yang mereka peroleh, sedangkan kehinaan menimpa umat karena sikap pendustaan dan pengabaian mereka.

Tidak jarang dijumpai umat bersikap berlebihan terhadap para wali Allah di antara mereka. Umat tidak boleh menjadikan wali-wali Allah yang ada di antara mereka sebagai tuhan selain Allah. Rasulullah SAW dijadikan Allah sebagai tauladan bagi seluruh alam semesta karena kesempurnaan pemahaman beliau SAW terhadap Alquran hingga tidak ada kesalahan sedikitpun di dalamnya. Makhluk yang lain hanya memperoleh bagian dari pemahaman Rasulullah SAW terhadap kitabullah Alquran, maka cukuplah manusia mengambil kewalian dari orang beriman lain pada bagiannya dari kitabullah tersebut. Bagian dari kitabullah itu merupakan keserupaan seseorang terhadap akhlak Rasulullah SAW yang memunculkan mawaddah pada Rasulullah SAW.

Bagi orang-orang yang mengetahui, ada hubungan struktural yang seharusnya dibentuk pada hubungan kewalian di antara orang-orang beriman berupa hubungan washilah. Tidak semua orang beriman mengenali hubungan washilah bagi dirinya, tetapi setiap orang beriman harus berusaha menemukan perwalian untuk mengenal urusan dari kitabullah bagi dirinya. Setiap orang yang mempunyai pemahaman dari kitabullah dapat diambil kewaliannya, bukan hanya dari para wali Allah dalam kategori khusus. Pemahaman dalam hal ini menunjuk pada tingkatan lebih intensif daripada mengetahui, ditandai dengan mengenal konteks tuntunan kitabullah dengan kauniyah. Para wali Allah biasanya mempunyai pengetahuan tentang hubungan washilah mereka terhadap wali Allah yang lain, sedangkan bagi kebanyakan orang beriman kewajiban mereka adalah mengikuti Rasulullah SAW tanpa detail tentang washilah kewalian dirinya. Secara populer, hal itu terdapat pada ungkapan : “tidak mengenal wali Allah kecuali para wali Allah”. Semakin banyak pengenalan diri seseorang, ia akan semakin mengenal pula hubungan dirinya dengan yang lain dalam konteks washilah.

Hubungan pengenalan para wali Allah sebenarnya membentuk suatu washilah berupa mawaddah dalam kedekatan (الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَىٰ). Gambaran dari struktur washilah ini dapat dilihat dari suatu ungkapan seorang ulama di tanah jawa tentang kewalian di tanah jawa berupa eka sapta. Istilah eka sapta tidak dapat digantikan dengan delapan walaupun jumlahnya sama, karena menunjukkan adanya struktur yang harus dipenuhi, di mana eka tersebut menjadi washilah bagi tujuh yang lain, dan tujuh yang lain tersebut mempunyai urusan yang saling berdekatan satu dengan yang lain. Kaum mukminin secara umum dapat mencari urusan diri mereka masing-masing dari delapan orang tersebut sesuai dengan kecenderungan diri atau jati diri masing-masing manakala telah mengenal jati dirinya.

Hubungan washilah demikian ditentukan lingkup keilmuan yang diberikan Allah. Lingkup ilmu dalam urusan ini tidak bisa dipandang dengan kacamata sederhana, sedangkan ketakwaan berada pada medan yang berbeda dari lingkup keilmuan. Washilah yang lebih tinggi mempunyai lingkup keilmuan lebih luas daripada yang harus mengambil ilmu kepada washilah tersebut, sedangkan orang yang mengikuti mempunyai lingkup keilmuan yang bersifat relatif lebih praktis daripada yang diikuti. Lingkup keilmuan yang lebih luas pada dasarnya mempunyai kedudukan lebih dekat kepada Allah, tetapi kadangkala harus berada di tempat yang jauh. Belum tentu orang yang berkedudukan lebih tinggi mempunyai ilmu pada tingkatan praktis seperti ilmu yang diberikan kepada orang yang mengikutinya, tetapi akan mengetahui kesalahan yang terjadi manakala orang yang mengikuti melakukan kesalahan. Setiap orang harus mentaati washilahnya baik ia memahami perintahnya atau tidak, kecuali ia mengetahui washilahnya menyimpang dari kitabullah.

Contoh kasus tentang hubungan washilah dan lingkup keilmuannya dapat dilihat pada seorang khalifah yang berkedudukan di bumi. Seorang khalifah bumi mungkin saja bisa lebih memahami urusan Allah berdasarkan kitabullah Alquran daripada para ulama yang bersifat langitan. Barangkali ia tidak mempunyai indera bathiniah sekuat ulama langitan, tetapi mungkin saja mengetahui urusan Allah lebih tepat manakala ia harus berurusan bersama para ulama. Hal itu menunjukkan bahwa ia mempunyai kedudukan tinggi. Khalifatullah Al-mahdi akan disertai para awliya lain yang berfungsi sebagai pemberi petunjuk karena kaidah demikian. Manakala seorang pemberi petunjuk kurang bertakwa, khalifah akan kehilangan sebagian petunjuk. Sekalipun misalnya seseorang harus berkedudukan jauh dari sumber cahaya, manakala ia ditentukan menjadi washilah maka ia adalah washilah. Para malaikat muqarrabun dan iblis harus mengambil washilah melalui khalifatullah Al-mahdi yang berkedudukan di bumi untuk menemukan jalan ibadahnya kepada Allah manakala diperintahkan. Sebelum diperintahkan, para malaikat bersujud kepada Allah secara langsung tanpa washilah. Demikian umat manusia akan menemukan suatu fase harus menemukan washilahnya manakala ia telah berada pada kedudukan tertentu dalam berjalan kembali kepada Allah.

Membina Hubungan di Kaum Mukminin

Pada dasarnya mencari washilah telah diperintahkan Allah kepada setiap orang beriman. Prinsip perwalian antara orang-orang beriman akan membantu seseorang dalam menemukan washilah yang sebenarnya. Seorang mukmin hendaknya mencari pengetahuan tentang kitabullah melalui orang lain yang lebih memahami, tidak hanya percaya pada perspektif diri sendiri dalam memahami agama. Ada ilmu-ilmu agama yang diturunkan melalui seseorang yang merupakan kandungan dari kitabullah Alquran, maka ilmu semacam ini merupakan ilmu yang paling utama untuk dipahami. Pemahaman yang dapat diterangkan seseorang tentang Alquran hendaknya dipikirkan dengan sebaik-baiknya hingga seseorang dapat memahami di atas landasan rahman dan rahim. Ada perkataan-perkataan berdasar alquran tetapi sebenarnya bukan penjelasan yang benar terhadap kandungan Alquran. Ilmu yang menjadikan seseorang gemar berdebat hendaknya dihindari, karena ilmu yang benar berfungsi untuk mengantarkan seorang hamba memperoleh jalan kembali kepada Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Washilah akan dikenali oleh orang-orang yang membangun nilai kehidupan mengikuti kitabullah Alquran. Manakala seseorang hidup terus berkubang di alam rendah tanpa keinginan mengenal nilai kebaikan, mereka tidak mengenali nilai-nilai yang lebih baik bagi mereka. Manakala seseorang ingin mengenal nilai kebenaran, maka ia akan mengenal kebenaran, dan mengetahui nilai kebenaran yang diberikan oleh orang lain. Setiap orang akan menghargai sesuatu sesuai dengan keadaan diri mereka. Orang-orang yang mengenal kebaikan akan menghargai nilai kebaikan. Pecinta dunia akan memberikan penghargaan terhadap apa-apa yang mereka anggap berharga, dan orang-orang yang berusaha mengenal kebenaran akan menghargai sesuai keadaan diri mereka. Hanya orang yang mengenal nilai Alquran dan sunnah Rasulullah SAW yang akan menghargai Alquran dan sunnah Rasulullah SAW dengan penghargaan yang memadai.

Sebagian pencari kebenaran terhijab dengan hawa nafsu mereka, maka apa yang mereka cintai itu menunjukkan keadaan mereka yang sebenarnya, yang harus diukur dengan tuntunan kitabullah Alquran. Tingkat perhatian pengabaian dan pendustaan para manusia terhadap Alquran menunjukkan keadaan diri mereka dalam pandangan Allah. Manakala seseorang memperhatikan atau mengabaikan atau mendustakan tuntunan kitabullah Alquran, maka demikian itu kedudukan Allah bagi mereka dan kedudukan mereka di hadapan Allah. Seseorang tidak bisa mengatakan bahwa dirinya tunduk dan sungguh-sungguh memperhatikan perintah Allah sedangkan tuntunan firman-Nya dalam Alquran diabaikan. Ukuran yang lebih benar adalah perhatiannya terhadap kitabullah Alquran, sedangkan perasaan ketundukan kepada Allah itu hanya berasal dari hawa nafsu.

Manakala mencari kebenaran, suatu waham yang salah dapat menutup akal seseorang dari mengenali kebenaran, karenanya setiap orang harus bersikap hanif untuk selalu berusaha mengenali kebenaran yang lebih baik. Bila bersikap hanif, seseorang akan terus berjalan hingga mampu mengenali washilah yang sebenarnya bagi dirinya. Pencarian seseorang terhadap kandungan kitabullah akan mengantarkan mereka memahami kedudukan diri sendiri di dalam kitabullah hingga mengenal orang-orang lain yang bersama diri mereka. Dengan jalan itu seseorang kemudian akan mengenal washilah yang sebenarnya.

Terbinanya washilah di antara orang-orang beriman hingga tingkatan demikian merupakan bagian dari upah yang diharapkan oleh Rasulullah SAW berupa kedekatan (الْقُرْبَىٰ). dengan keadaan itu, akan tumbuh mawaddah di antara kaum mukminin yang akan melengkapi upah bagi beliau. Beliau SAW beramal dengan amal-amal beliau SAW agar umat manusia membentuk mawaddah di antara mereka dengan kedekatan, yaitu kedekatan masing-masing orang di antara umat dalam jihad mewujudkan amanah masing-masing dalam kitabullah Alquran.

Jumat, 10 Mei 2024

Perwalian dengan Rasa Mawaddah

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan. Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah.

Salah satu perintah Allah kepada manusia adalah membentuk hubungan kepada Rasulullah SAW dan jalinan antar manusia. Allah sebenarnya telah memberikan perintah kepada masing-masing manusia untuk membentuk suatu hubungan tertentu dengan orang lain. Bentuk hubungan itu utamanya adalah hubungan washilah, berupa jalinan urusan yang harus ditunaikan oleh setiap manusia yang berfungsi mengalirkan khazanah dari sisi Allah hingga terwujud di alam bumi.

﴾۵۵﴿إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
﴾۶۵﴿وَمَن يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
(55)Sesungguhnya wali-wali kalian adalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka rukuk (kepada Allah).(56)Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi walinya, maka sesungguhnya golongan Allah itulah yang pasti menang. QS Al-Maidah : 55-56)

Setiap orang beriman hendaknya berusaha menjadikan Allah dan rasul-Nya sebagai wali, dan juga orang-orang beriman dalam kriteria tertentu sebagai wali. Perwalian demikian mempunyai indikator berupa keselarasan langkah dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Orang-orang beriman tidak boleh mengambil suatu perwalian di antara mereka tanpa memperhatikan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Demikian pula setiap orang hendaknya memperhatikan pula kebenaran dari orang mukmin lainnya, karena boleh jadi kebenaran yang mendekatkan diri kepada Allah terdapat pada orang-orang beriman yang ada di antara mereka.

Perbuatan tidak mau memikirkan atau mempertimbangkan kebenaran dari orang lain tergolong pada perbuatan tidak menggunakan akal. Boleh jadi orang-orang demikian adalah orang orang kafir, atau boleh jadi berasal dari kalangan orang-orang yang mempunyai mata hati, pendengaran hati atau qalb, tetapi mereka tidak mau menggunakan perangkat-perangkat itu untuk memahami kehendak Allah. Mereka hanya mengikuti hawa nafsu mereka sendiri atau hanya bertaklid kepada orang lain tanpa menggunakan akal untuk memahami kehendak Allah. Orang yang tidak menggunakan perangkat bathiniah mereka dengan benar akan tersesat dengan kesesatan yang lebih jauh daripada orang-orang yang hanya memikirkan masalah duniawi saja.

Umat islam hendaknya memperhatikan perintah Allah menggunakan akal. Seringkali anugerah pendengaran bathin, penglihatan bathin atau qalb yang diberikan kepada seseorang di antara umat menjadikan umat silau dalam memandang kebenaran. Sebenarnya perangkat-perangkat bathin itu menjadi tidak berguna di mata Allah manakala tidak digunakan untuk memahami kehendak Allah. Sebagian orang menyelisihi atau menentang tuntunan Allah dan sunnah Rasulullah SAW karena mengikuti perangkat-perangkat bathin mereka. Perangkat bathin itu tidak boleh digunakan untuk menyelisihi atau menentang tuntunan Allah, tetapi harus digunakan untuk mendengar, melihat dan memahami kehendak Allah. Pahamnya seseorang terhadap kehendak Allah ditunjukkan dengan kemampuan membaca ayat Allah secara sinergis, yaitu memahami fenomena kauniyah selaras dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Manakala seseorang dapat membaca kedua ayat Allah secara sinergis, hendaknya umat islam lebih memperhatikan pembacaan itu daripada semua penglihatan, pendengaran dan kemampuan indera bathin yang ada di antara mereka manakala tidak disertai suatu pemahaman tuntunan kitabullah.

Pemahaman seseorang terhadap tuntunan kitabullah inilah yang akan menyatukan seseorang terhadap perwalian Allah dan Rasulullah SAW. Orang beriman di antara mereka hendaknya dijadikan wali manakala memenuhi kriteria tertentu agar mengantarkan mereka memperoleh perwalian Allah dan Rasulullah SAW. Orang beriman atau bahkan para wali Allah tidak akan dapat mengantarkan orang lainnya tanpa kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, dan umat manusia tidak boleh berwali kepada orang lain tanpa melangkah untuk memperoleh perwalian Allah dan Rasulullah SAW. Dan umat hendaknya menyadari, mungkin saja ada di antara mereka yang mengharap dijadikan wali dengan beramal sedangkan ia tidak memenuhi kriteria, atau ada orang yang layak dijadikan wali tetapi ia kemudian terputus dari perwalian kepada Allah dan Rasulullah SAW tanpa menyadari. Setiap orang hendaknya berpegang pada tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.

Mawaddah dalam Kedekatan

Suatu perwalian yang terbentuk di antara umat islam akan menjadikan mereka dekat kepada Rasulullah SAW. Kedekatan itu terjadi karena kitabullah yang dipahami dengan tepat oleh orang-orang yang ada di antara umat hingga umat dapat beramal dengan pemahaman itu.

﴾۳۲﴿ذٰلِكَ الَّذِي يُبَشِّرُ اللَّهُ عِبَادَهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ قُل لَّا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَىٰ وَمَن يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَّزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْنًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ
Itulah (keadaan) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. Katakanlah (wahai Muhammad) : "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kedekatan". Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. (QS As-Syura : 23)

Kedekatan (الْقُرْبَىٰ) menunjukkan kedekatan seperti keluarga, yaitu kedekatan yang terjadi dengan adanya keserupaan antara satu orang dengan yang lain. Allah berkehendak agar Rasulullah SAW menyampaikan harapan terhadap upah berupa kasih sayang (mawaddah) bersama pada umat berupa kedekatan umat dengan Rasulullah SAW. Mawaddah yang muncul di hati Rasulullah SAW secara khusus adalah mawaddah yang muncul karena adanya keserupaan antara umat Rasulullah SAW dengan beliau SAW. Bila tidak ada keserupaan demikian pada umat, belum tentu ada mawaddah dalam diri Rasulullah SAW.

Kedekatan yang seharusnya diwujudkan umat adalah kedekatan berupa keserupaan akhlak umat dengan akhlak Rasulullah SAW. Dalam hal ini akhlak tidak hanya menunjuk kepada etika atau adab, tetapi termasuk dan terutama kekuatan akal dalam memahami kehendak Allah. Akal yang lurus ini merupakan faktor utama yang menentukan keserupaan akhlak seseorang dengan Rasulullah SAW. Alquran merupakan akhlak Rasulullah SAW, dan orang yang mempunyai pemahaman terhadap tuntunan kitabullah Alquran sebenarnya memperoleh bagian kemuliaan akhlak dari Rasulullah SAW. Orang yang menentang kitabullah Alquran akan memperoleh kehinaan karena jauh dari kemuliaan akhlak. Akhlak yang mulia berdasarkan akal akan menjadikan seseorang dapat memberikan respon terhadap kauniyah yang terjadi sesuai dengan tuntunan kitabullah Alquran.

Kewalian hendaknya dibentuk hingga perwalian di tingkat orang beriman terhadap orang beriman lainnya. Dalam kewalian demikian, akhlak seseorang dari bagian kitabullah Alquran itulah yang hendaknya dijadikan materi perwalian. Umat tidak boleh menjadikan wali-wali Allah yang ada di antara mereka sebagai tuhan selain Allah. Rasulullah SAW dijadikan Allah sebagai tauladan bagi seluruh alam semesta karena kesempurnaan pemahaman beliau SAW terhadap Alquran hingga tidak ada kesalahan sedikitpun di dalamnya. Makhluk yang lain hanya memperoleh bagian dari pemahaman Rasulullah SAW terhadap kitabullah Alquran, maka cukuplah manusia mengambil kewalian dari orang beriman lain pada bagiannya dari kitabullah. Bagian dari kitabullah itu merupakan keserupaan seseorang terhadap akhlak Rasulullah SAW yang memunculkan mawaddah pada Rasulullah SAW.

Kewalian hendaknya tidak dilakukan apabila melanggar atau menantang tuntunan kitabullah. Melanggar tuntunan kitabullah tidak disukai Allah. Sekalipun misalnya seorang makhluk telah mencapai kedudukan yang tinggi, manakala orang itu melanggar tuntunan Allah maka akan menyebabkan kebencian Allah karena keburukan dari pelanggarannya. Iblis telah mencapai kedudukan yang tinggi, akan tetapi manakala ia menentang perintah Allah untuk bersujud kepada Adam maka ia terjatuh menjadi makhluk yang terkutuk. Menentang adalah perbuatan berlawanan ketika telah diberitahu, bukan perbuatan yang terjadi karena ketidaktahuan atau kesalahan. Sama saja bagi makhluk yang lain, manakala menentang tuntunan Allah maka ia akan dibenci Allah. Ketika seseorang melakukan kebodohan, ia tidak disukai karena tidak membentuk akhlak yang serupa dengan Rasulullah SAW. Dalam kewalian, penentangan atau sebagian kebodohan terhadap tuntunan Allah hendaknya tidak diikuti umat manusia.

Mawaddah dan Keumatan

Rasa mawaddah Rasulullah SAW akan diperoleh manakala seseorang membentuk akhlak serupa dengan akhlak beliau, meskipun hanya pada bagian yang diperuntukkan bagi dirinya. Demikian pula mawaddah yang terbentuk di antara orang-orang beriman akan tumbuh manakala terbentuk kewalian di antara mereka. Seorang isteri akan memperoleh rasa mawaddah dari suaminya manakala ia membentuk akhlaknya sebagai bagian dari suaminya. Ia memahami kehendak Allah bersama suaminya dalam urusan penghambaannya, tidak menentang suaminya untuk mengikuti bentuk penghambaan orang lain. Seorang beriman akan mempunyai rasa mawaddah terhadap orang-orang beriman yang memperoleh bagian dari dirinya melalui suatu perwalian. Rasa mawaddah yang benar, misalnya antara suami isteri atau antara seorang mukmin dengan mukmin lainnya bisa menjadi indikator keselarasan langkah seseorang dengan pembinaan akhlak mengikuti Rasulullah SAW. Syaitan akan berusaha memotong-motong hubungan di antara manusia yang dapat menumbuhkan rasa mawaddah yang benar di antara mereka.

Upaya membina rasa mawaddah di antara suami dan isteri hendaknya diperhatikan dari tingkat bathiniah hingga tingkatan jasmaniah. Syaitan sangat ingin merusak mawaddah, baik melalui nafs manusia hingga terbentuk hubungan yang keji, ataupun melalui interaksi fisik hingga keduanya terpisah. Kadangkala seorang isteri menunjukkan ketaatan dan kebersamaan tetapi ada hal yang menyimpang dalam kebersamaan dengan suami. Atau sebaliknya kadangkala seorang isteri menunjukkan keinginan kebersamaan akan tetapi tindakan dan perkataan yang diwujudkan kepada suaminya menimbulkan rasa tidak suka. Seorang laki-laki akan bisa merasakan hal menyimpang demikian manakala telah mempunyai suatu perhatian tertentu terhadap amr dalam kitabullah sehingga ia dapat menilai kesungguhan isterinya dalam memperhatikan amr tersebut.

Keterpisahan di keluarga seringkali terjadi karena syaitan berusaha memisahkan. Bila mampu syaitan akan memisahkan keduanya, atau setidaknya tidak terbentuk rasa mawaddah di antara keduanya. Kadangkala syaitan mempunyai kekuatan mencapai alam fisik melalui orang-orang tertentu untuk merusak terbinanya rasa mawaddah yang benar di antara manusia. Mawaddah di antara suami dan isteri merupakan pokok tumbuhnya mawaddah di antara umat manusia untuk mengikuti Rasulullah SAW. Upaya syaitan merusak mawaddah suami isteri bisa sangat merusak tatanan umat manusia secara keseluruhan, menyimpang dari langkah Rasulullah SAW. Untuk menghindari perselisihan, setiap isteri hendaknya memperhatikan dan membicarakan amr Allah bagi suaminya maka fitnah syaitan itu dapat dikurangi dengan sebaik-baiknya. Bila seorang isteri lebih memperhatikan urusan selain amr suaminya, perhatiannya itu dapat merusak pertumbuhan mawaddah. Demikian pula manakala seorang perempuan bersikap buruk terhadap pasangannya, sikap itu akan menghambat pertumbuhan rasa mawaddah. Perhatian dan komunikasi tentang urusan Allah itu merupakan sumber keserupaan seorang isteri terhadap suami yang akan menumbuhkan rasa mawaddah di antara mereka.

Kadangkala seseorang perlu menimbang perkataan lawannya sebagai akhlak atau cara komunikasi. Misalnya bila seseorang memberikan suatu penilaian buruk, secara umum orang lain boleh menimbang perkataan itu sebagai perwujudan akhlak orang yang berbicara dan/atau sebagai cara komunikasi kondisionalnya. Dalam kasus khusus, misalnya pada suatu proses ishlah, penilaian yang tidak baik dari seseorang terhadap sesuatu seharusnya dinilai sebagai bagian dari caranya berkomunikasi. Barangkali orang tersebut tidak mau kejadian yang dinilainya buruk berulang. Atau boleh jadi ia berharap keadaan yang sebenarnya tidak sebagaimana yang dia persepsi dan dia katakan, tidak bermaksud membalas keburukan dan/atau tidak mengharap permintaan maaf, hanya tidak ingin keburukan itu terus terjadi. Bila pembicaraan tentang yang diperselisihkan tidak disampaikan, ia tidak akan menjalani tatanan baru yang diinginkan. Bila ishlah disepakati tanpa menyentuh masalah yang membuat berselisih, ishlah itu hanya bersifat riasan saja tidak menyentuh isinya.

Pada beberapa kasus, ada gaya komunikasi yang sangat buruk akibatnya. Manakala seseorang merasa berhak menyampaikan hujatan atau sesuatu yang buruk terhadap orang lain tanpa perlu membangun percakapan yang baik, ia telah berbuat sesuatu yang buruk. Di sisi lain, kadangkala seseorang tidak memperoleh sahabat yang mau diajak berbicara untuk menyelesaikan masalahnya dengan orang lain, maka masalah-masalah itu terekspose sedemikian hingga masyarakat memandangnya sebagai hujatan atau keluh kesah, sedangkan orang tersebut menginginkan perbaikan keadaan. Hal-hal demikian bisa dianggap sebagai gejala bahwa masyarakat terjangkit penyakit sosial.

Seseorang seringkali mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang lain dalam keadaan seperti ini. Manakala dua pihak berbicara dengan terminologi yang sama, apa yang terwujud dari masing-masing pihak dapat bertolak belakang. Misalnya ketika kedua pihak sama-sama berbicara kasih sayang, satu pihak secara tak terduga kemudian justru melakukan amal-amal yang dipandang merusak oleh pihak lainnya. Keadaan ini seringkali benar-benar tidak disadari oleh para pelaku, dan mereka merasa telah berbuat baik. Dengan kejadian demikian, pihak yang lain mungkin akan mengalami kesulitan berkomunikasi dan mempersepsi maksud perkataan pihak lainnya walaupun mudah mengenal redaksi lisannya.

Komunikasi di antara suami dan isteri harus dilakukan dengan sebaik-baiknya agar terwujud mawaddah di antara umat manusia. Gaya komunikasi yang terjadi di antara suami isteri orang-orang beriman akan muncul pada gaya komunikasi di masyarakat. Demikian pula mawaddah di antara mereka akan terpancar di umat. Seorang suami yang harus mendikte keluarga untuk kembali di jalan Allah akan muncul juga layaknya pendikte di masyarakat. Demikian pula bila suatu keluarga bisa berkomunikasi tentang visi-visi mereka yang baik bagi masyarakat, maka komunikasi itu akan muncul di masyarakat sebagaimana komunikasi di keluarga. Hendaknya setiap pihak dalam pernikahan berusaha membina komunikasi yang sebaik-baiknya, terutama dalam urusan Allah yang harus ditunaikan keluarga tersebut.

Harapan paling besar dari Rasulullah SAW terhadap umatnya adalah tumbuhnya rasa mawaddah dalam kedekatan (الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَىٰ). Pokok dari tumbuhnya adalah pemahaman umat dengan akhlaknya terhadap tuntunan kitabullah Alquran untuk memperoleh keserupaan dengan akhlak Rasulullah SAW. Kitabullah Alquran merupakan akhlak Rasulullah SAW, dan orang yang memperoleh akhlak dari Alquran memperoleh keserupaan dengan akhlak Rasulullah SAW selama tidak dikotori dengan mengikuti langkah syaitan. Akhlak mulia dengan mawaddah itu selain pemahaman juga kemampuan beramal. Hal itu harus ditumbuhkan melalui pembinaan keluarga. Orang yang merusak pembinaan sifat mawaddah di antara umat manusia melalui kerusakan keluarga sebenarnya bertentangan harapan dari Rasulullah SAW.

Orang yang memahamai alquran akan melihat bahwa ia mempunyai kedudukan tertentu bagi Rasulullah SAW dan bagi orang lainnya. Rasa mawaddah dalam kedekatan itu akan semakin kuat manakala ia mengetahui hubungan tersebut, dan pemahaman terhadap kitabullah Alquran akan semakin meningkat dengan kebersamaan di antara mereka. Pengenalan diri seseorang dalam kedudukan di antara al-jamaah itu akan menjadi suatu bentuk perwalian di antara satu mukmin dengan mukmin yang lain, satu orang tertentu menjadi washilah bagi yang lain, dan masing-masing ingin menempati kedudukan dirinya saja, tidak ingin berebut menempati tempat yang lebih unggul menurut hawa nafsu.

Senin, 06 Mei 2024

Perwalian Orang-Orang Beriman

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan. Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah.

Salah satu perintah Allah kepada manusia adalah membentuk hubungan kepada Rasulullah SAW dan jalinan antar manusia. Allah sebenarnya telah memberikan perintah kepada masing-masing manusia untuk membentuk suatu hubungan tertentu dengan orang lain. Bentuk hubungan itu utamanya adalah hubungan washilah, berupa jalinan urusan yang harus ditunaikan oleh setiap manusia yang berfungsi mengalirkan khazanah dari sisi Allah hingga terwujud di alam bumi.

﴾۵۵﴿إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
﴾۶۵﴿وَمَن يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
(55)Sesungguhnya wali-wali kalian adalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).(56)Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi walinya, maka sesungguhnya golongan Allah itulah yang pasti menang. (QS Al-Maidah : 55-56)

Setiap orang beriman hendaknya berusaha menjadikan Allah dan rasul-Nya sebagai wali, dan juga orang-orang beriman sebagai wali. Dalam terminologi modern, hal ini dikenal sebagai prinsip al-wala’ (االولى), yang sering diterjemahkan sebagai “loyalitas”. Terminologi ini hendaknya dipahami sesuai karakteristik bahasa Arab tidak terbatasi oleh terjemahan. Al-walaa (االولى) menunjukkan makna menolong, mengikuti dan mendekat kepada sesuatu dengan kecintaan. Seorang wali bagi umat manusia menunjuk kepada seseorang yang layak untuk dijadikan panutan untuk diikuti dan didekati oleh masyarakat berdasarkan kecintaan karena ada padanya sesuatu yang layak untuk dijadikan landasan kebersamaan. Seorang wali Allah menunjuk pada seseorang yang telah dipandang Allah layak untuk mengemban amanat berupa urusan dari sisi-Nya, hingga orang lain dapat menemukan urusan Allah bagi masing-masing melalui para wali itu.

Hubungan yang seharusnya terbentuk pada orang-orang beriman adalah hubungan kewalian. Hubungan kewalian di antara orang beriman menunjuk pada penyatuan urusan setiap orang beriman terhadap urusan Allah, dan dengan penyatuan itu maka setiap orang beriman memperoleh jalan untuk mendekat kepada Allah. Setiap orang beriman hendaknya memperoleh kesertaan dirinya masing-masing dalam urusan dari sisi Allah, dan dengan kesertaan itu maka ia memperoleh sarana untuk dekat kepada Allah. Kewalian kepada Allah dapat dilakukan dengan mengikuti Rasulullah SAW dan orang-orang beriman lain. Kesertaan dan kedekatan seseorang kepada Allah merupakan sasaran utama dari kewalian (الولى).

Dari sudut pandang tertentu, kewalian mempunyai sifat turunan dari perkawinan. Suatu perkawinan merupakan perjanjian antara seorang laki-laki dengan isterinya yang akan mendatangkan keadaan-keadaan (kauniyah) tertentu dari sisi Allah bagi keduanya. Perkawinan merupakan media bagi manusia mewujudkan kaun(iyah) tertentu. Manakala terbentuk hubungan yang baik di antara suami dan isteri, pasangan itu akan memperoleh sarana membentuk suatu hubungan kewalian terhadap orang-orang beriman yang lain hingga terbentuk suatu keadaan (kauniyah) tertentu pada umat manusia sesuai dengan kauniyah yang seharusnya terbentuk pada pasangan itu. Manakala hubungan perkawinan dirusak, atau hubungan kewalian terputus, seseorang tidak akan dapat membentuk keadaan (kauniyah) tertentu yang merupakan amanah Allah bagi mereka. Demikian kewalian itu mempunyai sifat turunan dari perkawinan.

Setiap orang dituntut untuk berkomitmen secara jelas dalam urusan perwalian. Demikian pula langkah yang ditempuh hendaknya benar mengarah pada perwalian yang benar, tidak justru menimbulkan masalah perselisihan dan perpecahan. Masing-masing pihak harus mengusahakan terbentuknya suatu sinergi. Misalnya suatu komitmen pernikahan tidak boleh dilakukan dengan menyertakan persyaratan yang sulit dipenuhi atau mendatangkan kerusakan pada satu pihak. Hal demikian tidak menunjukkan sikap sungguh-sungguh dalam berkomitmen. Bila bertindak merusak, mungkin pernikahan demikian justru akan menimbulkan kerusakan yang besar. Setiap pihak harus mengusahakan yang terbaik bagi komitmen mereka.

Lawan kata dari kewalian (الولى) adalah permusuhan (العدو ). Musuh menunjuk pada pihak-pihak yang akan merusak atau menimbulkan perpecah-belahan kehidupan di masyarakat. Syaitan merupakan musuh bagi manusia, karena syaitan berkeinginan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah sehingga manusia tidak memperoleh jalan untuk mengikuti dan mendekat kepada Allah. Setiap orang yang mengikuti langkah-langkah syaitan sebenarnya menjadi musuh yang akan memecah belah manusia dari mengikuti perintah Allah dan sunnah Rasulullah SAW, dan mereka tidak mendekat kepada Allah. Orang yang tersesat mungkin beramal dengan sesuatu yang dipandang baik, akan tetapi ia mengambil bagian dari urusan syaitan dan jalannya justru menjauh dari Allah.

Setiap manusia pada dasarnya mempunyai kecenderungan untuk menyatu pada sesuatu, tetapi hanya satu kewalian yang akan menyatukan manusia pada sesuatu yang abadi. Manusia dapat mengambil perwalian tidak hanya kepada Allah, melalui Rasulullah SAW dan orang-orang beriman saja, tetapi perwalian demikian itu akan mudah terpecah-belah manakala tidak menjadi cabang dari penyatuan pada kehendak Allah. Pada suatu wilayah tertentu, suatu kaum mungkin merasa perlu membentuk suku-suku dan bangsa yang menyatukan diri mereka untuk urusan mereka. Demikian setiap manusia pada dasarnya mempunyai kecenderungan untuk menyatukan diri.

Orang beriman hendaknya benar-benar berusaha mengarahkan perwalian kepada Allah, mengikuti Rasulullah SAW melalui para wali Allah dan orang-orang beriman lain dalam kriteria tertentu. Umat manusia hendaknya mengikuti bentuk persatuan yang terbina di antara orang-orang beriman. Manakala orang-orang beriman tidak membentuk persatuan yang benar, suatu bangsa akan tertimpa kesulitan karena musuh mereka akan menguasai umat manusia. Bukan tidak mungkin suatu bangsa menderita karena sikap orang-orang beriman di antara mereka. Bila orang-orang beriman justru memutuskan hubungan-hubungan yang diperintahkan Allah untuk dihubungkan, mereka akan mendatangkan penderitaan bagi umat mereka. Setiap orang beriman hendaknya membentuk suatu hubungan di antara mereka berdasarkan tuntunan Allah.

Kesatuan yang rumit dapat terjadi manakala persatuan yang terbentuk merupakan cabang dari penyatuan terhadap kehendak Allah, dan sebaliknya mudah terpecah-belah manakala kaum itu tidak memahami bahwa mereka harus membentuk persatuan yang merupakan cabang dari penyatuan terhadap kehendak Allah. Musuh akan berusaha mengurai kesatuan mereka itu dengan membuat mereka melupakan asas persatuan berdasar pada penyatuan pada kehendak Allah. Sedikit demi sedikit persatuan itu dapat terurai manakala persatuan mereka terlepas dari cabang penyatuan terhadap kehendak Allah. Setiap orang hendaknya berusaha untuk mendekatkan persatuan yang terbangun di antara mereka terhadap kehendak Allah, tidak membiarkan persatuan mereka berjalan tanpa arah hingga musuh dapat memporak-porandakan mereka.

Qalb Untuk Memahami Kehendak Allah

Menuju perwalian Allah harus dilakukan dengan memperhatikan orang beriman lainnya dengan tujuan menyatukan diri pada kehendak Allah. Perwalian demikian mempunyai indikator berupa keselarasan langkah dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Orang-orang beriman tidak boleh mengambil suatu perwalian di antara mereka tanpa memperhatikan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Wali-wali bagi orang beriman adalah Allah, Rasulullah SAW dan orang-orang beriman yang lain. Kewalian demikian merupakan kesatuan kewalian dalam kebersamaan dan kedekatan. Urusan yang seharusnya dikerjakan oleh orang-orang beriman untuk memperoleh kewalian Allah pada dasarnya berasal dari satu sumber yaitu urusan dari sisi Allah yang mengalir melalui Rasulullah SAW dan para wali Allah. Bila tidak berasal dari satu sumber, manusia tidak akan menemukan kewalian Allah.

Setiap orang harus memperhatikan langkahnya. Banyak jenis orang-orang beriman. Ada orang-orang beriman mengetahui kebenaran hingga mencapai kriteria tertentu hingga boleh dijadikan wali bagi urusan umat. Ada orang beriman yang mengenal amanah dirinya akan tetapi tidak dikenali kaum mukminin. Ada orang-orang beriman yang mempunyai keyakinan salah dan merasa telah dijadikan sebagai orang terbaik dan mempunyai banyak pengikut. Sangat banyak keadaan yang terjadi pada orang-orang beriman tidak terbatas dari jenis yang disebutkan. Dengan keadaan itu, mengambil perwalian bukan hal yang sederhana. Perwalian yang benar di antara orang beriman hanya boleh dilakukan dengan mengikuti dengan memperkuat akal dalam berpegang pada tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak boleh mensia-siakan akal yang menyebabkan menyimpang dari keduanya.

Mengikuti dan mendekat kepada Allah itu dapat dilakukan dengan mengikuti dan mendekat kepada orang-orang beriman lain dalam kriteria tertentu, para wali Allah, dan kepada Rasulullah SAW. Seseorang hendaknya menghindari berkeras kepala terhadap orang-orang beriman lainnya, karena boleh jadi kebenaran yang mendekatkan diri kepada Allah terdapat pada orang-orang beriman yang ada di antara mereka. Seseorang kadang mengungkapkan perkataan untuk jangan percaya kepada selain Allah dengan candaan. Bersikeras hanya percaya kepada kitabullah dan rasul-Nya sebagai sumber kebenaran merupakan sikap yang tidak tepat. Kebenaran bisa muncul dari alam kauni. Berkeras kepala terhadap firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW sama sekali tanpa memperhatikan atau mempertimbangkan kebenaran dari mukmin yang lain menunjukkan kesalahan sikap seseorang dalam mendekat kepada Allah. Orang-orang beriman, para wali Allah, Rasulullah SAW merupakan perwalian yang diturunkan Allah bagi setiap orang sehingga seseorang bisa melihat jalan Allah dengan lebih mudah.

Perbuatan tidak mau memikirkan atau mempertimbangkan kebenaran dari orang lain tergolong pada perbuatan tidak menggunakan akal. Boleh jadi orang-orang demikian adalah orang orang kafir, atau boleh jadi berasal dari kalangan orang-orang yang mempunyai mata hati, pendengaran hati atau qalb, tetapi mereka tidak mau menggunakan perangkat-perangkat itu untuk memahami kehendak Allah. Mereka hanya mengikuti hawa nafsu mereka sendiri atau hanya bertaklid kepada orang lain tanpa menggunakan akal untuk memahami kehendak Allah. Orang yang tidak menggunakan perangkat bathiniah mereka dengan benar akan tersesat dengan kesesatan yang lebih jauh daripada orang-orang yang hanya memikirkan masalah duniawi saja.

Perwalian di antara orang beriman harus benar-benar memperhatikan tujuan utama berupa perwalian kepada Allah, tidak terputus pada perwalian kepada orang lain. Perwalian terhadap orang beriman lain hendaknya bertujuan untuk memperoleh perwalian kepada Allah. Sebagian orang beriman tidak tepat dalam bersikap mengambil perwalian, tanpa disertai sikap yang cukup dalam memperhatikan tuntunan Allah. Dalam beberapa kasus, keadaan demikian menjadi celah bagi syaitan untuk memecah-belah manusia dari jalan Allah. Manakala seseorang yang dijadikan wali bertindak bertentangan dengan tuntunan Allah dan sunnah Rasulullah SAW, orang beriman hendaknya meninggalkan perbuatan itu. Manakala ia mampu, ia boleh melakukan amar ma’ruf nahy munkar, atau apabila ia lemah maka hendaknya ia tidak mengikuti perbuatan itu. Apabila seseorang tidak berusaha memahami dengan benar, suatu bentuk perwalian di antara orang beriman bisa berubah bentuknya justru menjadi pintu syaitan untuk merusak umat manusia.

Membina Perwalian Dengan Benar

Perwalian paling tinggi antara seseorang kepada Allah berbentuk mitsaqan ghalidza, yaitu perjanjian antara Allah dengan rasul-Nya. Perwalian dalam bentuk mitsaqan ghalidza demikian mempunyai bentuk salinan berupa mitsaqan ghalidza berupa ikatan perjanjian pernikahan. Pengabdian seorang hamba kepada Allah hendaknya dilakukan sebagaimana tuntunan Allah dalam bakti seorang isteri kepada suaminya, dan memperhatikan umat sebagaimana perhatian seorang suami kepada isterinya. Perwalian di antara manusia hendaknya menjadi cabang yang tumbuh dari hal demikian. Tidak ada bentuk perwalian lain yang bisa mencapai intensitas yang demikian, tetapi setiap orang harus berusaha tumbuh dalam warna perwalian yang serupa, tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam mitsaqan ghalidza.

Perwalian di antara orang-orang beriman dapat dilakukan pada setiap tingkatan. Perwalian dalam bentuk mitsaqan ghalidza merupakan bentuk perwalian paling utama yang seharusnya ditempuh setiap orang beriman. Tidak terbatas pada tingkatan mitsaqan ghalidza, orang-orang beriman boleh membentuk perwalian pada setiap tingkatan dengan memperhatikan prinsip perwalian yaitu mengikuti dan mendekat kepada Allah, tidak mengikuti syaitan. Pada tataran bermasyarakat misalnya, setiap orang beriman hendaknya berusaha membina bentuk-bentuk perwalian sesuai dengan urusan yang mereka kerjakan. Apabila orang beriman tidak memperhatikan ketentuan dalam tuntunan Allah, maka mereka tidak mengikuti dan mendekat kepada Allah. Sifat perwalian demikian barangkali hanya seperti perwalian orang biasa atau justru sesat. Perwalian yang dibolehkan terhadap orang biasa untuk memenuhi kebutuhan umat kadangkala lebih baik dilakukan daripada perwalian yang sesat.

Perwalian hendaknya dilakukan untuk menyatukan umat pada kehendak Allah, tidak tercampur dengan langkah syaitan. Apabila langkah syaitan tercampur di dalamnya, maka perwalian itu akan rusak dan justru umat akan tercerai-berai tidak menyatu mengikuti kehendak Allah. Segala urusan yang bertentangan dengan tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW merupakan langkah syaitan. Manakala seseorang mentaati urusan yang bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, ia telah mengikuti langkah syaitan.

Barangkali mudah bagi orang beriman mengenali urusan yang jelas bertentangan dengan kehendak Allah, akan tetapi syaitan sering memasuki melalui urusan yang syubhat. Dalam peristiwa demikian, akal setiap orang dalam memahami ayat kauniyah dan kitabullah sangat penting. Bila tidak menggunakan akal, seseorang akan sulit mengenali kebenaran urusan yang dikerjakan, dan bahkan kadangkala tetap mengikuti langkah syaitan yang jelas bertentangan dengan kitabullah hingga menentang kebenaran yang disampaikan dan memperjuangkan kebathilan yang diselipkan syaitan. Dalam prakteknya, syaitan lebih menyukai tipuan terhadap orang beriman menggunakan yang syubhat daripada yang haram, berbeda dengan terhadap orang biasa.

Tindakan dari seorang wali dalam suatu perwalian tidak boleh diikuti manakala bertentangan dengan tuntunan Allah, menjadikan manusia berpecah belah dan menjauh dari kehendak Allah. Kadangkala suatu perwalian menjadikan suatu kaum bertaklid terhadap orang yang dijadikan mereka wali, hingga kaum tersebut justru menjadi kaum yang memecah belah umat islam. Adapula pula kemungkinan di kalangan para wali melakukan kesalahan hingga justru memunculkan perselisihan di antara para pengikutnya, menimbulkan perselisihan di antara manusia, atau justru menimbulkan kerusakan pada masalah mitsaqan ghalidza. Manakala suatu tindakan demikian terlihat oleh seseorang dari orang-orang yang mereka jadikan wali, maka hendaknya mereka tidak mengikuti tindakan para wali itu. Bila ia mengikuti tindakan itu, ia akan ikut menyebabkan kerusakan di bumi. Menyimpangkan arah perwalian menjadi terpecah belah tidak mengikuti dan mendekat kepada Allah bukan bagian perwalian kepada Allah.