Pencarian

Minggu, 24 Juli 2022

Berharap Pertolongan Allah

Barang siapa menolong Allah maka Allah akan menolongnya dan meneguhkan kedudukannya. Hal ini tidak berarti Allah membutuhkan pertolongan dari orang-orang beriman. Firman Allah memberikan petunjuk tentang sebuah kondisi yang ditentukan bagi orang-orang beriman tentang cara yang perlu dilakukan agar Allah memberikan pertolongan kepada mereka dan meneguhkan kedudukan mereka.

﴾۷﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَنصُرُوا اللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS Muhammad : 7)

Kondisi yang ditetapkan Allah bagi orang-orang beriman adalah menolong Allah. Hal ini menuntut kepada setiap orang beriman untuk berusaha memahami kehendak Allah atas diri mereka. Orang yang berbuat atas dasar keinginannya sendiri tidak dikatakan sebagai menolong Allah, baik perbuatan baik apalagi perbuatan buruk karena boleh jadi perbuatannya tidak sesuai dengan amal yang ditentukan Allah bagi dirinya sesuai dengan ruang dan jamannya.

Mengupayakan Asbab

Ayat berikut bercerita tentang gambaran menolong Allah.

﴾۴۱﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا أَنصَارَ اللَّهِ كَمَا قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ لِلْحَوَارِيِّينَ مَنْ أَنصَارِي إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنصَارُ اللَّهِ فَآمَنَت طَّائِفَةٌ مِّن بَنِي إِسْرَائِيلَ وَكَفَرَت طَّائِفَةٌ فَأَيَّدْنَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَىٰ عَدُوِّهِمْ فَأَصْبَحُوا ظَاهِرِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong Allah sebagaimana Isa ibnu Maryam berkata kepada para hawariyyun: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku kepada Allah?" Para hawariyyun berkata: "Kamilah penolong-penolong Allah", maka segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lain kafir; maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang. (QS Shaff : 14)

Para penolong Allah dari kalangan hawariyyun adalah orang-orang yang menolong nabi Isa a.s untuk kembali kepada Allah, sedangkan nabi Isa adalah nabi yang mempunyai kedudukan dekat dengan Rasulullah SAW. Beliau a.s adalah nabi yang disebutkan Alquran memberitakan kedatangan Rasul Allah yang akan datang setelah beliau. Pada dasarnya setiap nabi mengenali Rasulullah SAW yang akan datang setelah mereka a.s sebagai makhluk yang paling mengenal Allah karena kedekatan, yang mempunyai kedudukan tertinggi di alam semesta. Akan tetapi nabi Isa a.s-lah yang disebutkan memberitakan tentang Rasulullah SAW. Hal ini menunjukkan kedekatan kedudukan beliau terhadap Rasulullah SAW.

Menolong orang lain agar dapat berjalan menuju Allah dengan baik dan benar merupakan bentuk menolong Allah, baik dengan mendukung washilahnya kepada Rasulullah SAW dalam menunaikan amanah ataupun memberikan pengetahuan kebenaran kepada umat agar kembali kepada Allah. Kedekatan dengan Allah adalah dengan kemuliaan akhlak. Bentuk umum dari menolong Allah adalah memberikan kemudahan bagi umat manusia untuk mencapai akhlak mulia dengan akal yang baik dan benar. Manusia tidak akan dapat mendekat kepada Allah tanpa akal yang memahami kehendak Allah sebagaimana seekor kambing tidak akan menjadi makhluk muqarrabun, dan seseorang akan terbuang dari kedekatan di sisi Allah dengan akal yang salah sebagaimana Azazel terbuang dari kedekatan dengan Allah karena akalnya tidak benar walaupun akalnya kuat.

Menolong Allah hanya dapat dilakukan berdasar keimanan. Keimanan dalam hal ini adalah cahaya yang menerangi qalb seseorang yang bermanfaat memperbaiki kemuliaan akhlak. Keimanan adalah cahaya yang menerangi akal yang akan menjadikan seseorang dapat memahami kehendak Allah. Seseorang tidak dikatakan beriman bila hanya mengikuti dogma, atau hanya mengikuti perkataan orang lain tanpa berupaya memperoleh pemahaman dengan akalnya. Dengan keimanan, Allah menerangi akal setiap mukmin agar dapat memahami kehendak Allah bagi mereka, dan dengan akal yang tercahayai seseorang tumbuh menuju akhlak mulia.

Menolong Allah akan menimbulkan efek berantai kepada masyarakat yang lebih luas, sebagaimana pertolongan para hawariyyun kepada nabi Isa a.s menjadikan sebagian bani Israel beriman, walaupun sebagian tetap kufur karena kekufuran mereka sendiri. Setiap orang harus mencintai sahabatnya dan memudahkannya agar dapat berjalan di jalan Allah. Setiap orang yang ingin menolong Allah hendaknya berusaha memberikan pengetahuan kebenaran untuk menolong orang lain, yaitu pengetahuan yang tersambung kepada Rasulullah SAW di atas dasar keimanan.

Dalam urusan menolong Allah, pemberitaan nabi Isa a.s itu menunjukkan seruan untuk mengikuti Rasulullah SAW bukan hanya untuk mengikuti diri beliau a.s sendiri. Seseorang yang tidak menyeru pada amr Rasulullah SAW dalam amal-amal mereka tidak termasuk sebagai perbuatan menolong Allah. Boleh jadi seseorang tersebut tidak mengerti urusan Rasulullah SAW untuk ruang dan jaman mereka, atau mereka hanya menyeru untuk kepentingan mereka sendiri, keduanya belum termasuk perbuatan menolong Allah. Maka jalan agar Allah menolong dan meneguhkan kedudukan mereka mungkin tidak diperoleh. Bila seseorang memperoleh pertolongan Allah atau memperoleh hal duniawi karena amal demikian, hal itu bukan menunjuk pada keteguhan kedudukan yang dimaksudkan ayat tersebut tetapi boleh jadi hanya turunannya.

Jalan bagi orang umum untuk menolong Allah adalah menemukan orang yang menyeru untuk mengikuti amr Rasulullah SAW, karena Rasulullah SAW adalah pemimpin orang-orang yang kembali kepada Allah. Hal ini dicontohkan oleh para hawariyun ketika mereka menolong nabi Isa a.s untuk kembali kepada Allah. Para shahabat nabi Isa a.s tersebut mempunyai keimanan kepada nabi Isa a.s, dan dengan keimanan tersebut mereka menolong nabi Isa untuk mengikuti Rasulullah SAW. Seseorang tidak dapat menolong Allah dengan mengandalkan pikiran sendiri, tetapi harus berusaha menemukan washilah yang terhubung kepada Rasulullah SAW tanpa terputus pada salah satu washilah. Hal ini sangat terkait dengan al-jamaah, tidak ada orang yang menemukan jalan menolong Allah dengan dirinya sendiri. Dalam kehidupan di bumi, mungkin seseorang al-jamaah bersendirian, akan tetapi ia menemukan jalan kebersamaan dengan Rasulullah SAW melalui umatnya, setidaknya melalui isterinya.

Masalah tersambungnya washilah hingga kepada Rasulullah SAW terkait dengan kelurusan jalan menuju Allah. Banyak jalan mendaki ke langit, tetapi hanya yang berada pada jalur Rasulullah SAW yang akan sampai kepada Allah. Iblis telah mendaki ke langit hingga derajat yang sangat tinggi dekat kepada Allah, tetapi kemudian terbuang dari kedekatan itu. Hal itu karena tidak terbentuk akhlak dalam citra Rasulullah SAW dalam diri Iblis. Akal kuat yang terbentuk dalam diri Iblis mempunyai kualitas yang salah sehingga harus disingkirkan dari kedekatan dengan Allah. Rasulullah SAW adalah sumber akal yang dikehendaki Allah yang harus ditiru oleh setiap makhluk yang berakal,. tidak boleh seorang makhluk membangun akalnya menyimpang dari citra Rasulullah SAW. Seseorang tidak boleh membangun akal yang jalannya memahami kehendak Allah menyimpang dari pemahaman Rasulullah SAW.

Setiap orang yang mengetahui urusan Rasulullah SAW menempati kedudukan masing-masing dalam shaff tertentu yang berbeda satu dengan yang lain. Satu orang mungkin menjadi washilah bagi yang lain, atau menjadi sahabat sejajar, dan mungkin pula berada pada washilah yang berbeda, akan tetapi masing-masing bisa mengetahui sedikit atau banyak urusan yang lain. Pada jaman ini, seluruh insan yang menempati kedudukan shaff mereka mempunyai landasan dari Alquran bagi kehidupan mereka. Walaupun misalnya berpegang ayat yang sama, masing-masing orang bisa mempunyai cara pandang yang berbeda dalam ayat yang sama karena perbedaan akal mereka. Alquran bagi mereka dapat diibaratkan bagaikan berlian yang telah diasah, memantulkan cahaya yang berbeda bagi setiap orang yang memandangnya pada saat yang bersamaan karena perbedaan posisi orang yang memandang.

Nabi Isa a.s merupakan salah satu washilah kepada Rasulullah SAW, yaitu bagi bani Israel secara umumnya, dan khususnya para hawariyyun. Umat yang lain mempunyai washilah yang mungkin berbeda, misalnya yang diistilahkan sebagai ulama eka&sapta oleh para wali Allah di nusantara. Bentuk washilah eka&sapta sedikit berbeda dengan bentuk washilah nabi Isa a.s dan hawariyyun. Bani Israel yang beriman kepada nabi Isa a.s dapat mencari jalan untuk menolong Allah dengan menolong nabi Isa a.s sedangkan yang tidak beriman terhadap nabi Isa a.s tidak dapat memperoleh jalan untuk menolong Allah melalui beliau a.s. Terdapat beberapa jalur washilah yang lain kepada Rasulullah SAW selain melalui nabi Isa a.s dan setiap washilah bisa menjadi jalan untuk menjadi penolong Allah bila mereka mempunyai keimanan terhadap seruan washilahnya.

Manfaat Alquran

Cahaya keimanan paling utama dalam kehidupan di bumi adalah Alquran yang dipahami sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW. Orang yang memperoleh ilmu dari Alquran adalah orang yang memperoleh cahaya yang paling terang, dan orang lain dapat mengikutinya agar dapat kembali kepada Allah. Akan tetapi tidak semua pemahaman manusia dari Alquran bersifat benar. Syaitan dapat menyelipkan pemahaman yang salah ketika seseorang membaca Alquran. Karena hal itu, hendaknya seseorang meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan ketika membaca syaitan.

﴾۸۹﴿فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (QS An-Nahl : 98)

Ayat ini tidak boleh menimbulkan sikap skeptis terhadap kebenaran Alquran atau pembacaannya. Seluruh Alquran adalah kebenaran dan pembacaan yang selaras dengan ayat Alquran sangat mungkin merupakan kebenaran yang tidak boleh didustakan. Seseorang tidak boleh mendustakan atau menuduh sesat suatu pembacaan Alquran tanpa alasan yang jelas. Semua pembacaan Alquran yang diniatkan dengan ikhlas seharusnya dapat mendatangkan kesegaran jiwa, dan kesalahan yang ada dapat pula dirasakan oleh hati. Demikian pula ayat yang dibaca tanpa suatu pemahaman atau keikhlasan juga akan terasakan kosong oleh hati. Hati yang demikian adalah hati yang mengharap Allah.

Setiap orang yang mencari jalan untuk menolong Allah harus menimbang semua pengetahuan yang diperoleh dengan Alquran, dari tingkat pikiran jasadiah hingga akal hati untuk memahami kehendak Allah. Alquran adalah tali Allah yang terbentang dari tangan-Nya hingga mencapai alam mulkiyah yang tergambar dalam setiap khat dalam Alquran. Sesedikitnya pikiran yang sesuai dengan Alquran adalah hal yang sangat berharga dan sangat berguna untuk membangun akal yang benar untuk memahami kehendak Allah, dan sebaliknya menafikan atau meninggalkan pikiran yang selaras dengan Alquran untuk mengikuti hal yang lain adalah sumber celakanya seseorang dalam perjalanan menuju Allah.

Tidak ada manusia yang boleh meninggalkan Alquran karena mengikuti yang lain. Misalnya seseorang tidak boleh meninggalkan suatu pembacaan Alquran yang benar dengan alasan karena hanya bersumber dari pikiran, sedangkan dirinya memilih mengikuti akal hati. Bila terjadi sikap demikian, boleh jadi akal yang diikutinya sebenarnya tersisipi syubhat dari syaitan. Firman Allah telah diturunkan sedemikian hingga dapat terbaca hingga di alam mulkiyah, tidak berhenti pada suatu tingkatan di langit tanpa terhubung ke alam mulkiyah. Barangkali tidak setiap orang dapat membaca kandungan Alquran, tetapi setiap pembacaan dapat ditimbang kebenarannya berdasarkan tulisan Alquran. Allah mempertanyakan keadaan orang-orang yang tidak menata pikirannya untuk memahami kehendak Allah dan memilih pikirannya atau akalnya sendiri.

Syaitan dapat menyelipkan suatu cela dalam pemahaman Alquran yang dapat menyebabkan rusaknya akal manusia. Suatu sikap yang salah terhadap Alquran akan benar-benar dimanfaatkan oleh syaitan untuk merusak akal manusia. Untuk menghindari hal ini, setiap orang harus memohon perlindungan kepada Allah dalam membaca Alquran, dan ia harus menjadikan Alquran sebagai imam yang menuntun dirinya, tidak sebaliknya menjadikan Alquran untuk membenarkan pendapatnya sendiri. Ketika akal memahami Alquran dengan cara yang salah karena cela yang ditempelkan syaitan, maka seseorang akan menemukan kehidupan akhirat yang sulit.

Akal terkait dengan makrifat. Hal ini sedikit berbeda dengan karunia ilmu yang bersifat praktis untuk amaliah. Membina akal berdasarkan Alquran bersifat lebih fundamental daripada mengharap karunia ilmu. Karunia ilmu merupakan hadiah yang diturunkan Allah, sedangkan membina akal merupakan kewajiban manusia. Kadangkala Allah mengaruniakan kepada seseorang ilmu bersamaan dengan keterbukaan makrifat, kadangkala memberikan ilmu sebelum keterbukaan makrifat, dan kadangkala menangguhkan turunnya ilmu setelah makrifat hingga masa dibutuhkannya ilmu tersebut. Khalifatullah Al-mahdi misalnya, beliau akan diishlahkan makrifatnya dengan ilmunya dalam satu malam. Keterbukaan makrifat beliau mendahului turunnya ilmu pada masa dibutuhkannya. Membina akal menjadi pondasi yang lebih penting diperhatikan oleh setiap orang daripada karunia ilmu.

Selasa, 12 Juli 2022

Ayat Allah, Pikiran dan Akal

Allah menciptakan manusia untuk diberi rahmat-Nya. Itu adalah tujuan penciptaan manusia. Untuk menemukan tujuan penciptaan tersebut, setiap orang harus bertaubat kembali kepada Allah dengan mengikuti tuntunan Allah berupa Alquran dan segala hal yang diturunkan-Nya untuk memudahkan manusia untuk kembali kepada Allah. Akan tetapi kehidupan dunia menjadikan manusia terlena dari penciptaan dirinya. Kebanyakan manusia di alam dunia terlupa untuk bertaubat kepada Allah karena kesibukan mereka mengumpulkan harta benda dan kehormatan di dunia. Hanya sebagian kecil orang di dunia yang bertaubat kepada Allah. Dan dari sebagian manusia yang bertaubat terdapat golongan orang-orang yang tersesat.

Di antara orang-orang yang tersesat, terdapat segolongan orang yang disemaikan untuk menjadi isi neraka jahanam. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai hati tetapi tidak digunakan untuk memahami, mempunyai mata tetapi tidak digunakan untuk melihat, dan mempunyai telinga tetapi tidak digunakan untuk mendengar. Mereka itu bagaikan binatang ternak tetapi mereka lebih tersesat jalannya. Mereka adalah orang-orang yang lalai.

﴾۹۷۱﴿وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan benar-benar Kami semaikan untuk (isi neraka) Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai qalb, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami, dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS Al-A’raaf : 179)

Ayat ini merupakan ayat utama bagi pembimbing ruhani. Para pembimbing ruhani bertugas untuk membina jamaah jiwa manusia hingga mengerti kedudukannya di sisi Allah dengan akal masing-masing, dibina dengan merawat pertumbuhan qalb dan indera-indera bathiniah. Bila terjadi kesalahan, jamaah yang seharusnya dibina agar dekat dengan Allah akan terbalik menjadi tempat persemaian penghuni neraka jahannam, yaitu manakala qalb yang tumbuh di antara jamaah tidak digunakan untuk memahami kehendak Allah, mata bathin tidak digunakan untuk mencari visi kehidupan, dan telinga mereka tidak digunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah.

Bagi seorang guru, pertanyaan seorang murid bisa menjadi sebuah kegusaran besar manakala seorang murid seharusnya tidak lagi bertanya tentang hal itu karena dinilai akalnya telah sampai. Bagi guru, penggunaan akal oleh muridnya lebih berharga daripada tumbuhnya indera bathin mereka, sehingga sebuah pertanyaan bisa menyebabkan kegusaran sang guru. Bukan pertanyaan yang membuat sedih, akan tetapi bahwa seharusnya sang murid menggunakan akal untuk hal yang telah dapat dipahaminya, tidak hanya mengikuti sang guru melupakan akalnya. Guru itu akan merasa tiba-tiba gagal bila muridnya tidak menggunakan akalnya. Hal ini terkait dengan tujuan inti pembinaan yang dilakukannya, yaitu agar seseorang menggunakan qalbnya untuk memahami agamanya, menggunakan matanya untuk menemukan visi (bashirah), dan menggunakan telinganya untuk mendengar ayat-ayat Allah.

Dalam tingkatan dibawahnya, mungkin seorang guru akan merasa prihatin dengan tidak tumbuhnya qalb dan indera-indera bathin murid-muridnya, atau prihatin dengan tumbuhnya qalb dan indera bathin mereka tetapi selalu berkutat hanya pada hawa nafsu tanpa menemukan tempat yang tepat untuk akal mereka. Hal itu menunjukkan banyaknya halangan dalam membina jiwa-jiwa para murid, dan mungkin kurangnya visi membaca ayat-ayat Allah. Akan tetapi hal itu tidak seberapa menyedihkan dibandingkan dengan tidak digunakannya qalb dan indera bathin sebagaimana mestinya. Hal ini berkenaan dengan terbaliknya fungsi jamaahnya menjadi tempat penyemaian penghuni neraka jahannam sebagaimana disebut ayat di atas, bukan mengantar manusia dekat kepada Allah.

 

Menggunakan Akal dan Pikiran

Menggunakan akal, melihat dan mendengar dalam ayat di atas menunjuk pada objek berupa ayat-ayat Allah berupa firman Allah dalam kitabullah dan ayat kauniyah pada semesta mereka. Selain itu, nafs-nafs manusia pada dasarnya telah membawa amanah yang bersesuaian dengan jaman kehidupan mereka. Ketiga hal tersebut merupakan ayat yang difirmankan Allah bagi setiap manusia. Nafs mereka akan mendapatkan penjelasan dan cermin bagi nafs mereka dengan membaca ayat-ayat secara terpadu. Sangat sulit bagi seseorang untuk mengerti amanah dirinya tanpa memahami semesta mereka berdasarkan ayat kitabullah.

Tidak semua manusia dapat menyentuh kandungan kitabullah. Hanya orang-orang yang dibersihkan Allah yang dapat menyentuh makna Alquran. Akan tetapi proses pembacaan ayat Allah dapat dilakukan oleh setiap orang dengan bimbingan. Bimbingan harus diberikan hingga setiap orang mencapai kesucian nafs dengan tujuan tumbuhnya akal untuk memahami Alquran. Seorang pembina ruhani tidak akan melupakan bahwa tujuan pembinaannya adalah agar jamaahnya dapat menggunakan akal dengan benar, tidak boleh dibuat hanya tunduk pada sesuatu tanpa menggunakan akalnya. Setiap orang harus dibimbing menggunakan akalnya sesuai dengan perkembangannya, tidak berlebih atau kurang dari kemampuan akal masing-masing.

Secara proses, pembinaan setiap orang harus dimulai dengan menata diri pada setiap tingkatan selaras dengan kehendak Allah dengan sifat-sifat mulia. Dalam tatanan paling dasar, penataan raga harus terlebih dahulu dilakukan untuk dapat menata nafs. Sebelum menata akal, setiap orang harus menata pikiran yang ada dalam kepala mereka masing-masing dengan benar. Sebagian orang yang mempunyai qalb, mata hati dan telinga hati akan menjadi penghuni neraka karena tidak menggunakan akal mereka untuk memahami kehendak Allah. Hal ini tidak terjadi tiba-tiba, dimulai dari tidak menata dan menggunakan pikiran mereka dengan benar.

Menata pikiran lebih mudah dilakukan bila seseorang bertindak selayaknya sikap dalam perjodohan. Seseorang akan mudah berpikir dengan benar bila memperoleh alam dan objek yang tepat baginya. Bila ia mengikuti hawa nafsu untuk menentukan kehidupannya, maka ia akan memperoleh alam yang akan menyiksa dirinya. Bila ia mencari pekerjaan yang paling tepat tanpa dipengaruhi keinginan hawa nafsu dan syahwatnya, ia akan memperoleh kehidupan yang thayyibah yang akan membantu menata pikirannya untuk ibadah kepada Allah, dan pada akhirnya memudahkannya menggunakan akal.

Sebenarnya pernikahan merupakan kunci yang membuka penataan diri setiap manusia, yaitu pernikahan yang diniatkan untuk agama. Setiap orang akan memperoleh apa yang diniatkannya bila ia kemudian menempuh jalan yang benar. Akad dalam pernikahan akan menjadi permulaan menempuh kehidupan bersama untuk meraih niat yang mereka cita-citakan. Setiap pihak dapat menyelami kedalaman alam semesta dan hakikatnya melalui pasangannya, hingga dapat menyatukan nafs wahidah yang menjadi tempat simpanan khazanah Allah dengan cara yang dibenarkan. Tanpa akad pernikahan, semua hal hanya akan teraba pada tingkatan hawa nafsu.

Pernikahan merupakan sunnah Rasulullah SAW dan millah Ibrahim a.s. yang menjadi jalan bagi manusia untuk kembali kepada Allah. Penataan alam semesta oleh manusia akan dapat terlaksana bila seseorang mengikuti sunnah Rasulullah SAW dan millah Ibrahim a.s. Syaitan akan berusaha merusak pernikahan dan kebaikan-kebaikan yang ada di dalamnya. Bila seseorang merusak pernikahan atau perjodohan, ia sebenarnya membantu syaitan untuk merusak jalan yang ditentukan Allah untuk hamba-Nya. Syaitan dengan hukum Allah dapat membalik suatu jamaah yang bertaubat menjadi tempat penyemaian isi neraka jahannam.

 

Mengidentifikasi Masalah dalam Berpikir

Seringkali sulit bagi seseorang untuk mengenali kesesatan dirinya terutama yang tidak menggunakan akal sedangkan mereka memiliki qalb, mata dan telinga hati. Tetapi Allah tidak akan membiarkan hal itu. Ia akan memunculkan peristiwa yang mengingatkan. Ciri orang demikian adalah mengatakan shahabatnya yang memberi peringatan dan penjelasan sebagai orang yang tertimpa kegilaan. Hal ini bukan karena benar-benar ada kegilaan pada shahabatnya, akan tetapi karena seseorang atau suatu jamaah tidak menata atau menggunakan pikirannya untuk memahami hal-hal yang dapat dipahami secara jasadiah. Dengan tidak menggunakan pikiran, sebenarnya mereka tidak menggunakan akalnya dan mereka menjadi jamaah yang akan disemai menjadi orang-orang yang menjadi isi neraka jahannam.

﴾۴۸۱﴿أَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوا مَا بِصَاحِبِهِم مِّن جِنَّةٍ إِنْ هُوَ إِلَّا نَذِيرٌ مُّبِينٌ
Apakah mereka tidak berpikir bahwa teman mereka tidak berpenyakit gila? tidak lain ia hanyalah seorang pemberi peringatan lagi pemberi penjelasan. (QS Al-A’raaf : 184)

Kadang-kadang ketika seseorang menuduh orang lain tertimpa kegilaan, hal ini menjadi perselisihan di antara manusia. Boleh jadi orang yang dituduh memang benar-benar tertimpa kegilaan. Bilamana tidak, maka sebenarnya ada orang yang tidak menggunakan pikirannya dengan benar, apalagi menggunakan akalnya. Sikap keberanian menuduh kegilaan biasanya hadir pada orang-orang yang merasa dirinya tinggi. Ada ataupun tidaknya kegilaan, sikap menuduh demikian menunjukkan adab yang rendah dalam sebuah jamaah, karena bila ada seseorang yang gila maka sikap yang seharusnya adalah dibantu untuk sembuh, bukan dihinakan.

Perselisihan demikian itu tidak berhenti pada perselisihan manusia, akan tetapi tereskalasi menjadi urusan Allah. Allah mempertanyakan keadaan orang demikian: Apakah mereka tidak berpikir bahwa teman mereka tidak berpenyakit gila? Allah tidak mempertanyakan penggunaan akal mereka, akan tetapi mempertanyakan bagaimana menata pikiran mereka. Hal ini terkait dengan penataan aspek jasadiah yang tidak benar. Hal ini tentu harus benar-benar diperhatikan oleh setiap manusia.

Yang disebut berpikir dalam ayat di atas adalah menata pikiran agar sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Setiap orang melakukan proses berpikir kecuali mungkin orang yang gila, tetapi tidak semua orang termasuk dalam kategori berpikir sehingga Allah menanyakan keadaan seseorang dalam status keberpikiran mereka. Sebagian orang berusaha menata pikiran dan hatinya dengan benar agar dapat memahami kehendak Allah, maka itu adalah orang-orang yang berpikir. Mereka berusaha melihat fenomena yang terjadi pada alam di sekitar mereka dengan sebaik-baiknya dan berusaha menemukan penjelasannya dalam kitabullah, atau sebaliknya mengamati suatu ayat yang menarik hati dan mencari penjelasannya dari semesta mereka, dengan berharap agar Allah memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat-Nya.

Pendustaan itu terjadi tidak hanya terjadi pada nabi-nabi, tetapi juga orang-orang yang memberikan petunjuk yang hak dan berbuat adil. Pendustaan demikian dilakukan manusia terhadap hal-hal yang sebenarnya dapat dipahami dalam tingkat pikiran. Hal ini disebutkan pada ayat sebelumnya tersebut berikut.

﴾۱۸۱﴿وَمِمَّنْ خَلَقْنَا أُمَّةٌ يَهْدُونَ بِالْحَقِّ وَبِهِ يَعْدِلُونَ
Dan di antara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan hak, dan dengan yang hak itu (pula) mereka menjalankan keadilan. (QS Al-A’raaf : 181)

Pendustaan inilah masalah yang harus dihadapi orang yang bertugas memberikan peringatan dan penjelasan kepada umat. Para nabi mempunyai pengetahuan yang tidak diketahui oleh orang-orang kebanyakan, dan mungkin mereka a.s menyimpan pengetahuan itu, tetapi tetap didustakan. Maka demikian pula orang yang mengikuti para nabi memberikan petunjuk dengan hak dan berbuat adil akan menghadapi pendustaan.

Mengukur keselarasan dangan kehendak Allah tidak dapat hanya dilakukan dengan fakultas dalam diri saja, tetapi harus berdasarkan landasan ayat-ayat kitabullah. Fakultas dalam diri kadang-kadang menunjukkan sesuatu yang tidak selaras dari ayat kitabullah, sekalipun ia mempunyai qalb, mata dan telinga bathin yang tajam. Tidak ada orang yang mempunyai hak lebih tinggi atau mendustakan firman Allah yang tertulis dalam kitabullah.

﴾۲۸۱﴿وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُم مِّنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan mendorong mereka dengan berangsur-angsur (untuk celaka), dengan cara yang tidak mereka ketahui. (QS Al-A’raaf : 182)

Orang yang menempuh keyakinan dengan jalan berbeda dengan firman Allah akan ditimpa istidraj. Allah akan menyuburkan segala sesuatu yang mendukung untuk menempuh jalan keyakinan mereka, akan tetapi ujungnya akan menemukan kecelakaan. Bila mereka mengandalkan qalb, mata atau telinga mereka, Allah akan memudahkan hal itu bagi mereka. Hanya saja perlu diingat, semua kemudahan itu tidak benar-benar mengantarkan untuk dekat kepada Allah. Allah sebenarnya menjadikan mereka celaka melalui cara yang tidak diketahui makhluknya.

Berpegang pada ayat Allah tidak dapat digantikan dengan cara apapun. Bila seseorang menemukan penyimpangan dari ayat Allah, hendaknya ia bersegera kembali kepada ayat Allah, tidak mengandalkan fakultas dalam dirinya untuk pembenaran diri. Allah mengikat hamba-hamba-Nya dengan kitabullah, dan syaitan tidak akan membiarkan seseorang yang berjalan bebas kecuali akan menyesatkannya. Allah tidak akan mencelakakan seseorang yang berserah kepada Allah dengan jalan mengikuti firman-Nya. Walaupun jatuh bangun dalam banyak kesalahan dan dosa, Allah akan menerima hamba selama ia kembali kepada firman-Nya. Sebaliknya, orang yang tidak mematuhi firman-Nya akan celaka walaupun tampak ketajaman qalb, mata dan telinganya. Orang-orang yang mengandalkan fakultas diri mereka dan mengingkari firman Allah akan didorong kehidupannya tetapi menemukan celaka pada ujungnya (Istidraj).

Tidak terlihatnya gejala celaka pada orang-orang yang mengandalkan diri sendiri dan mendustakan firman Allah tidak menunjukkan bahwa mereka berada di jalan yang benar. Allah mempunyai rencana yang teguh untuk memasukkan mereka dalam golongan orang yang celaka tanpa diketahui oleh makhluk-Nya, dan Allah sebenarnya memberikan penangguhan terhadap masalah itu. Kecelakaan bagi orang yang mendustakan firman Allah hanya ditangguhkan, tidak dihilangkan bagi orang-orang yang mengandalkan fakultas diri mereka dan mendustakan firman Allah.

﴾۳۸۱﴿وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ
Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh. (QS Al-A’raaf : 183)

Seseorang yang mengandalkan diri dan mendustakan firman Allah harus menyadari bahwa ia memasuki sebuah rencana yang telah dibuat Allah untuk makhluk-Nya. Rencana Allah tersebut bersifat amat teguh, berakar kuat menjangkau tempat yang dalam. Bila seseorang memasuki golongan dalam rencana tersebut, jalannya untuk selamat hanya kembali kepada Allah sepenuhnya melalui firman-Nya. Ia tidak akan bisa memperoleh cermin tentang kesesatannya kepada apapun atau siapapun, baik dari makhluk bumi yang rendah hingga alam malaikat yang tertinggi. Ia mempunyai kedudukan yang kokoh dalam pandangan makhluk karena istidraj-Nya, dan hanya Allah yang dapat memberitahu jalannya untuk kembali.

Minggu, 10 Juli 2022

Keshalihan, Sifat Pemaaf dan Ma’rifah

Manusia diciptakan secara berpasangan dari nafs wahidah mereka. Keberpasangan itu berfungsi untuk melahirkan keshalihan mereka. Pemakmuran bumi dapat dilaksanakan oleh manusia bilamana mereka melaksanakan amal shalih, yaitu amal-amal yang telah ditetapkan Allah di dalam nafs wahidah mereka. Keberpasangan nafs wahidah tersebut berfungsi agar nafs wahidah seorang laki-laki (yang mengetahui urusan Allah) berdiam dalam nafs isterinya (yang menjadi pembawa alam mulkiyah). Amal shalih akan terlahir bilamana terbentuk percampuran antara nafs wahidah seseorang dengan nafs isterinya. Nafs seorang isteri harus menerima amr yang tersemat dalam nafs wahidah suaminya, dan nafs suami mengolah khazanah dalam nafs isterinya, maka seorang laki-laki dan seorang isteri akan dapat melahirkan keshalihan ke alam mulkiyah.

Ayat 189 surat Al-A’raaf bercerita tentang proses melahirkan amal shalih melalui keberpasangan. Sebagian besar orang hidup dalam kehampaan (al-ghayy/ الْغَيِّ) dari perintah Allah, dan sebagian orang mulai mengenal amanah Allah bagi dirinya. Orang yang mulai mengenal amanah Allah akan ditimpa hasutan dari syaitan agar amr yang dikenalinya tidak terlaksana dalam kehidupannya, atau bahkan agar orang tersebut tersesat dari jalan Allah. Bila seseorang yang bertakwa menyadari hasutan syaitan, mereka akan menemukan saudara-saudara mereka menghadang agar mereka berkepanjangan dalam kehampaan dari perintah Allah (al-ghayy/ الْغَيِّ), dan saudara-saudara mereka itu tidak berhenti berbuat demikian.

Sifat Pemaaf

Agar terlahirkan amal shalih, kedua pihak harus saling dapat memberi dan menerima. Hal itu membutuhkan sifat dasar berupa sifat pemaaf. Tanpa sifat pemaaf, maka kedua nafs tersebut tidak dapat saling bercampur. Selain itu, setiap orang harus berusaha beramal dengan pengetahuan berupa al-ma’ruf. Dengan kedua hal itu, maka sepasang manusia dapat melahirkan keshalihan mereka di alam mulkiyah.

﴾۹۹۱﴿خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Jadilah engkau pemaaf dan perintahkan dengan pengetahuan ma'rifah, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS Al-A’raaf : 199)

Sifat pemaaf adalah sifat dalam seseorang untuk mudah menghapuskan kesalahan orang lain terhadap dirinya. Orang yang memaafkan menunjuk pada orang yang menghapus kesalahan orang lain yang dilakukan terhadap dirinya sehingga tidak ada jejak kesalahan itu dalam hatinya. Hal ini tidak mudah dilakukan. Syaitan akan selalu berusaha menghalangi langkah orang-orang beriman untuk melahirkan amal shalih mereka. Mereka melancarkan godaan yang sungguh-sungguh kepada manusia-manusia yang berusaha melahirkan amal shalih mereka dan menjadikan diri mereka bersifat pemaaf, memerintah dengan al-ma’ruf dan berpaling dari orang-orang yang bodoh.

﴾۰۰۲﴿وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Dan jika kamu dihasut sesuatu dari syaitan berupa hasutan yang sungguh-sungguh maka berlindunglah kepada Allah (QS Al-A’raaf : 200)

Hasutan (نَزْغٌ) syaitan yang sungguh-sungguh tidak terjadi pada banyak orang. Sangat banyak orang melakukan suatu perbuatan tidak baik tetapi bukan karena hasutan syaitan yang sungguh-sungguh. Seringkali perbuatan buruk itu terjadi karena hawa nafsu manusia sendiri, dan syaitan hanya membiarkan atau mengipasi agar hal buruk itu terjadi. Hasutan yang sungguh-sungguh mempunyai sifat yang sedikit berbeda dengan keburukan hawa nafsu, walaupun seringkali terlihat sama dilihat dari perbuatannya saja. Hasutan syaitan yang sungguh-sungguh akan ditimpakan syaitan terhadap orang yang berusaha melahirkan amal shalihnya.

Hasutan yang sungguh-sungguh dapat terjadi dalam bentuk perbuatan yang terlihat samar keburukannya, akan tetapi akibat perbuatan itu sangat merusak. Sekadar melampiaskan kejengkelan misalnya, bila perbuatan itu lahir dari hasutan syaitan, maka dapat menimbulkan kerusakan yang besar. Kadangkala hasutan itu dimunculkan pada sisa-sisa sayyiah seseorang. Misalnya seseorang barangkali merasa telah tidak mempunyai masalah dengan orang lain, tetapi ketika melakukan ishlah timbul penyakit dalam hati dari masalah yang telah dilupakan. Hal itu bisa menjadi petunjuk kemungkinan munculnya hasutan syaitan yang sungguh-sungguh.

Hasutan syaitan itu benar-benar sulit dihilangkan dari hati. Manakala suatu saat hasutan itu padam, di saat yang lain kembali muncul. Keinginan untuk baik dalam diri seseorang seringkali tidak dapat menghapuskan hasutan tersebut. Pikiran positif dan keinginan ishlah juga seringkali tidak dapat menghilangkan hasutan itu. Manakala menemukan halangan yang banyak terhadap hasutan, halangan itu tidak mengurangi dorongan berbuat. Hal demikian merupakan ciri adanya hasutan syaitan yang sungguh-sungguh menghasut.

Hasutan syaitan yang sungguh-sungguh demikian hanya dapat diredam jika seseorang berlindung kepada Allah. Hanya Allah yang mampu mencegah hasutan syaitan terhadap seseorang yang berusaha menemukan amal shalihnya. Seseorang tidak akan dapat mengandalkan kualitas dirinya ataupun mengandalkan yang lain untuk meredam godaan syaitan demikian, bila tidak berlindung kepada Allah. Amal yang akan terlahir dari hasutan syaitan akan bersifat sangat merusak walaupun mungkin perbuatan itu terlihat remeh dan samar-samar keburukannya.

Manakala dorongan untuk melakukan perbuatan tersebut terlaksana, maka akan timbul kerusakan yang besar pada semesta mereka. Orang lain dalam urusan yang sama akan tertimpa pula hasutan syaitan atau malah melebar, dan godaan demikian akan sangat membebani mereka. Bila seseorang mencermati, masalah mereka akan teramplifikasi secara nyata, terutama terkait dengan urusan Allah. Dalam hubungan keberpasangan, hasutan syaitan itu akan membesar secara bertimbal balik, satu orang saling membesarkan permusuhan yang lain secara bertimbal balik.

Dalam keberpasangan seharusnya terjadi penyeimbangan, satu pihak menjaga pihak yang lain agar tidak terjebak dalam hasutan syaitan terus menerus tanpa menyadarinya. Walaupun kedua pihak mungkin akan terkena hasutan, tingkat intensitas hasutan tersebut berbeda bagi masing-masing pihak. Ciri orang terkena hasutan syaitan yang dapat terlihat oleh orang lain adalah terlihatnya dua sikap yang berlawanan pada satu orang pada masa yang relatif sama. Misalnya, pada puncaknya seseorang bisa terlihat berbakti dan sekaligus juga berkhianat bagi pasangannya. Bakti yang dilakukannya sangat mungkin terlahir benar-benar dari keinginan berbakti. Bakti dan khianat itu terjadi bila hasutan syaitan tidak dituruti. Bila yang dihasut mengikuti syaitan, hanya akan terlihat sikap khianatnya. Banyak sikap dapat menjadi ciri adanya hasutan syaitan, tidak terbatas pada bakti dan khianat saja. Pada intinya, fenomena yang paling jelas terlihat adalah munculnya dua sikap yang berbeda atau bahkan berlawanan secara hampir bersamaan pada satu orang.

Bila terjadi hal demikian, hendaknya pasangannya memperhatikan bahwa yang terkena hasutan syaitan itu harus dibantu. Ia harus berpegang pada tujuan membentuk rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah. Setiap orang harus berusaha memperhatikan dan menyayangi pasangannya, dimulai dengan memaafkan. Bila keduanya mengikuti hawa nafsu, maka keshalihan akan kembali menjauh dan mungkin kebersamaan mereka dapat berakhir. Seseorang tidak boleh berpikir bahwa ada jalan keshalihan yang lain, bersama orang lain setelah menghadapi masalah demikian, karena hasutan syaitan itu akan dihadapi kembali manakala orang lain tersebut mendekati keshalihannya, atau justru orang lain itu tidak menemukan jalan keshalihannya. Bila menemukan jalan keshalihan yang mudah, mungkin ia sebenarnya mengikuti syaitan. Boleh jadi Allah tidak menyediakan jalan keshalihan baginya bersama orang lain bila ia menghindari masalah itu. Bila ada jalan bersama orang lain, ia tidak boleh meninggalkan pasangannya yang tertimpa masalah itu.

Hasutan syaitan yang sungguh-sungguh ini dapat menyebabkan pasangan yang berjodoh gagal melahirkan amal shalih mereka. Setiap pihak harus berusaha untuk menjadi pemaaf bagi yang lain. Tanpa membangun sikap pemaaf, syaitan akan leluasa melancarkan aksi memporak-porandakan manusia. Membina sikap pemaaf sangat intensif terjadi dalam pernikahan bahkan sejak sebelum pernikahan itu sendiri. Kadangkala adanya hasutan syaitan demikian menyebabkan terjadinya kekacauan besar seperti perang. Sebagian manusia disesatkan syaitan dengan godaan/hasutan (نَزْغٌ) untuk mengambil sekutu bagi Allah dari sesuatu dalam keshalihan yang diberikan kepada seseorang di antara mereka, bahkan orang yang berbuat shalih itu sendiri.

 

Orang Bertakwa dan Saudaranya

Setiap orang dapat tertimpa hasutan syaitan. Orang-orang sesat tidak penting untuk dihasut oleh syaitan. Syaitan mengusahakan segala sesuatu untuk menghalangi dan menyesatkan manusia dari melahirkan keshalihan. Orang-orang yang tidak bertakwa dapat terjerumus dalam kesyirikan atau kegagalan dalam melahirkan keshalihan mereka karena hal-hal yang diperbuat syaitan atas diri mereka. Sedangkan bila perbuatan syaitan itu dilakukan terhadap orang-orang yang bertakwa, orang itu akan mencari dan menemukan pelajaran yang tersembunyi dari perbuatan syaitan atas diri mereka, dan kemudian mereka melihat permasalahan mereka.

﴾۱۰۲﴿إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِّنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُم مُّبْصِرُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa suatu bagian dari syaitan, mereka mencari pelajaran, maka kemudian mereka menjadi orang yang melihat (permasalahannya). (QS Al-A’raaf : 201)

Tidak mudah bagi seseorang untuk menyadari hasutan syaitan dalam dirinya. Kadangkala hasutan itu dibangkitkan dari remah-remah emosi yang telah mengering. Hasutan itu kadang bersifat lembut seolah-olah ia sedang mengamati kasus secara adil, kadang timbul pikiran dan emosi yang menggelorakan hawa nafsu untuk menyerang. Kadang di antara keinginan yang baik diselipkan sebuah keinginan atau gagasan yang akan merusak seluruh urusan, dan keinginan itu terlihat baik-baik saja bagi dirinya. Sangat sulit bahkan hanya untuk menyadari hasutan syaitan dengan mengandalkan diri sendiri. Seorang beriman mungkin saja akan terjerumus dalam hasutan syaitan hingga ia berbuat sesuai hasutan itu, dan kemudian baru menyadari ketika kerusakan telah terjadi.

Bila seseorang bertakwa, mereka akan menyadari hasutan itu sejak kebangkitannya, atau setidaknya menyadari ketika telah terjadi kerusakan karenanya. Mereka memperoleh pengetahuan kehendak Allah (ma’rifah) dalam perkara tersebut, dan kemudian berbuat sesuai dengan petunjuk Allah. Kadangkala seseorang melihat keadaannya karena diberitahu orang lain, kemudian mereka mencari pelajarannya. Hal demikian tidak termasuk dalam ketakwaan yang disebut ayat ini. Walaupun demikian hal itu tetaplah berguna baginya. Sebagian tidak dapat menyadari hasutan syaitan sama sekali.

Tidak mudah bagi seseorang untuk bertakwa manakala syaitan menghasut mereka. Saudara-saudara mereka akan berusaha menjadikan mereka berlama-lama dalam ketidakjelasan, dan menganggap tidak berharga pelajaran yang dipahami orang yang bertakwa. Orang yang tidak berusaha memahami kehidupan diri mereka berdasarkan kitabullah pada dasarnya berada dalam kehampaan (al-ghayy/ الْغَيِّ). Mereka menginginkan orang yang bertakwa untuk menjalani kehidupan sebagaimana orang umumnya tanpa mempedulikan perintah Allah yang dipahaminya.

﴾۲۰۲﴿وَإِخْوَانُهُمْ يَمُدُّونَهُمْ فِي الْغَيِّ ثُمَّ لَا يُقْصِرُونَ
Dan saudara-saudara mereka memanjangkan mereka (yang bertakwa) dalam kehampaan dan mereka tidak berhenti (berbuat demikian) (QS Al-A’raaf : 202)

Ayat tersebut menyebut orang yang berada di sekitar orang bertakwa yang terkena hasutan syaitan sebagai saudara-saudara (ikhwan). Hal ini menunjukkan adanya suatu kedekatan. Ikhwan ini khususnya menunjuk pada orang-orang yang mengambil sesuatu dari keshalihan seseorang sebagai sekutu bagi Allah, terutama orang-orang yang lebih meyakini perkataan seseorang daripada firman Allah. Tetapi ini berlaku pula secara umum menunjuk orang-orang yang jahil di dekat seseorang yang bertakwa. Mereka menginginkan agar setiap orang berjalan sebagaimana mereka berjalan, tidak mempercayai amal shalih diterima orang tertentu. Perlu ketegaran untuk melangkah dalam ketakwaan di antara saudara-saudara yang tidak bertakwa. Mereka menginginkan saudaranya yang bertakwa untuk tetap berlama-lama dalam kehidupan hampa tanpa mempedulikan perintah Allah, dan mereka tidak berhenti berbuat demikian. Efek kedekatan sebagai saudara mempunyai pengaruh yang besar sebagai beban yang memberatkan langkah seseorang untuk menunaikan perintah Allah.

 

Ma’rifah dan Kebodohan

Selain sikap berlapang dada dengan sikap memaafkan, kelahiran keshalihan sepasang manusia ditentukan oleh pengetahuan ilahiyah (al-’urf/al-ma’ruuf) yang diberikan Allah kepada mereka, dan kekuatan untuk tidak memperdulikan perkataan orang-orang bodoh walaupun mereka itu saudara-saudara mereka. Sepasang manusia hendaknya dapat berjalan bersama-sama sesuai dengan pengetahuan itu. Seorang laki-laki memberikan pengetahuannya kepada perempuan, dan setiap perempuan mengikuti pengetahuan yang diberikan. Tanpa pengetahuan al-'urf/al-ma'ruuf sepasang manusia tidak dapat melahirkan amal shalih.

Kebersamaan sepasang manusia sebenarnya dimudahkan Allah yaitu dengan ditumbuhkannya sifat mawaddah dan rahmah di antara sepasang manusia. Sifat mawaddah dan rahmah ini menandai keberhasilan sepasang manusia dalam membina bayt. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa mawaddah dan rahmah ini bertujuan untuk memahami ayat Allah dan melaksanakan amr Allah yang terkait dengan nafs wahidah. Sebagian manusia mengagungkan rasa cinta tanpa mengetahui tujuannya, sehingga berhenti pada bentuk kecintaan dari hawa nafsu dan syahwat. Seluruh cinta sebelum pernikahan merupakan bentuk kecintaan hawa nafsu dan/atau syahwat. Hal ini membantu kemudahan terbentuknya mawaddah dan rahmah, tetapi tidak menjadi syarat utamanya. Mawaddah dan rahmah lebih mensyaratkan kedekatan urusan nafs wahidah antara suami dan isteri (kufu), serta keberhasilan percampuran nafs mereka. Suami-isteri yang saling mengetahui dan bersepakat tentang amal shalih mereka bersama lebih mudah membangun mawaddah dan rahmah di antara mereka.

Mawaddah dan rahmah adalah rasa cinta yang tumbuh dalam nafs wahidah di antara suami dan isteri di jalan Allah mengiringi tumbuhnya ma’rifah mereka, yang tumbuh setelah terjadi percampuran nafs wahidah. Percampuran nafs wahidah hanya boleh terjadi setelah akad pernikahan, sebagaimana percampuran raga manusia hanya boleh dilakukan setelah pernikahan. Bahkan hukum di tingkat raga sebenarnya mengikuti hukum di alam nafs sedangkan penerapan hukum di alam raga berfungsi untuk mempersiapkan akhlak dan adab manusia di alam nafs. Syaitan akan memperoleh sarana berharga manakala menemukan nafs seseorang yang beradab tidak baik. Tanpa munculnya mawaddah dan rahmah ketika sepasang manusia hidup dalam amr Allah menunjukkan ada suatu masalah dalam pernikahan.

Percampuran nafs wahidah akan memunculkan ma’rifah di antara pasangan yang menikah, yang membuat mereka mengandung amal shalih. Bila sepasang manusia mengenal ma’rifah, maka mereka mengenali kebodohan. Tanpa mengenali ma’rifah, seseorang tidak akan mengenali kebodohan. Kebodohan tidak dapat dikenali oleh orang-orang bodoh, kecuali mereka mengetahuinya dari orang lain. Dalam hal orang-orang bodoh menghalangi jalan untuk melahirkan keshalihan, maka orang-orang yang harus melahirkan keshalihan hendaknya tidak mempedulikan mereka. Hal ini tidak berarti harus meninggalkan mereka, akan tetapi hendaknya seseorang menetapkan langkahnya berdasarkan ma’rifahnya, tidak dipengaruhi oleh pendapat orang-orang bodoh.

Kamis, 07 Juli 2022

Melahirkan Keshalihan

Allah menciptakan manusia di bumi untuk menjadi pemakmurnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, manusia diciptakan secara berpasangan dalam tingkatan nafs wahidah mereka. Keberpasangan itu berfungsi untuk melahirkan keshalihan dalam diri mereka. Pemakmuran bumi dapat dilaksanakan oleh manusia bilamana mereka melaksanakan amal shalih, yaitu amal-amal yang telah ditetapkan Allah di dalam nafs wahidah mereka. Amal shalih merupakan karakteristik yang dilekatkan Allah pada nafs wahidah, dan hal itu dapat terwujud bila terbentuk keshalihan di antara pasangan.

﴾۹۸۱﴿ هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلًا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا أَثْقَلَت دَّعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَّنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ
Dialah Yang menciptakan kamu dari nafs wahidah dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia berdiam kepadanya. Maka setelah keduanya saling mencampurkannya (nafs), isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan. Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak shalih, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur". (QS Al-A’raaf : 189)

Keberpasangan nafs wahidah tersebut berfungsi agar nafs wahidah seorang laki-laki (yang mengetahui urusan Allah) berdiam dalam nafs isterinya (yang menjadi pembawa alam mulkiyah). Nafs wahidah seorang laki-laki akan mendapatkan tempat berdiam di alam mulkiyah manakala mempunyai isteri yang menerimanya. Tanpa isteri atau ketika isteri tidak menerima suaminya, maka nafs wahidah tidak berdiam di alam mulkiyah, dan barangkali hanya berdiam di alam nafs. Meskipun demikian, nafs itu akan selalu berusaha mendidik raga dirinya agar kembali kepada Allah, karena itu sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya. Kadangkala nafs wahidah terus tidak berdiam di dunia manakala raganya telah mengenal nafs wahidah itu, dan hanya hadir memberikan tuntunan manakala raganya membutuhkan.

Amal shalih akan terlahir bilamana terbentuk percampuran antara nafs wahidah seseorang dengan nafs isterinya. Saling mencampurkan nafs (تَغَشَّاهَا) dalam ayat di atas menunjuk pada dua entitas suami dan isteri, sedangkan nafs wahidah dan nafs pasangannya disebutkan sebagai satu. Nafs seorang isteri harus menerima amr yang tersemat dalam nafs wahidah suaminya, dan nafs suami mengolah khazanah dalam nafs isterinya, maka seorang isteri akan dapat hamil dan kemudian melahirkan keshalihan suaminya ke alam bumi mereka. Isteri yang demikian merupakan isteri yang subur bagi suaminya, dan ia mengandung keshalihan suaminya agar dapat terlahir ke alam mulkiyah.

Sekutu Allah dalam Wujud Keshalihan

Manakala terbentuk kandungan yang semakin berat, mereka akan mengetahui bahwa Allah akan melimpahkan keshalihan kepada mereka dan mereka akan meminta keshalihan itu kepada Allah seraya berkata : "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak shalih, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur". Anak shalih dalam Alquran merupakan padanan amal shalih, sebagaimana putera nabi Nuh a.s dikatakan sebagai amal yang tidak shalih. Kebersyukuran dapat dilakukan seseorang bilamana mereka melahirkan keshalihan dalam diri mereka dan mereka benar bersyukur. Sebagian orang melupakan kebersyukuran dan justru mengambil sekutu bagi Allah setelah diberi keshalihan mereka.

﴾۰۹۱﴿فَلَمَّا آتَاهُمَا صَالِحًا جَعَلَا لَهُ شُرَكَاءَ فِيمَا آتَاهُمَا فَتَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Tatkala Allah memberi kepada keduanya anak shalih, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah di dalam apa (keshalihan) yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu. Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS Al-A’raaf : 190)

Di dalam bentuk keshalihan sepasang manusia terdapat sesuatu yang dapat berubah menjadi suatu sekutu bagi Allah dalam pandangan pasangan tersebut, dan/atau bagi manusia yang mengikutinya. Hal ini harus diperhatikan oleh orang-orang yang akan melahirkan keshalihan dalam diri mereka. Mereka akan mengetahui alam yang luas, akan tetapi tidak semua alam yang luas itu merupakan kebenaran. Bila seseorang salah dalam mensikapi apa-apa yang dihadirkan kepada mereka, maka mereka dapat tergelincir mengambil apa yang di ada di alam luas itu sebagai tuhan bagi mereka.

Nabi Isa a.s menjadi contoh nyata tentang keshalihan yang berubah menjadi sekutu Allah dalam pandangan manusia. Terdapat ruh qudus dari alam yang tinggi dalam diri nabi Isa a.s yang menjadikan beliau a.s sebagai seorang yang shalih. Akan tetapi bentuk keshalihan yang ada pada beliau berubah menjadi sekutu Allah bagi sebagian umat yang mengikuti beliau a.s. Hal demikian sebenarnya tidak hanya terjadi pada umat nabi Isa a.s saja. Dalam tingkatan yang lebih rendah, selalu terdapat bentuk-bentuk yang ada dalam keshalihan yang mungkin dijadikan oleh manusia sebagai sekutu-sekutu bagi Allah pada setiap masa. hal yang demikian itulah yang disebutkan dalam ayat ini.

Karena cara pandang yang salah, maka manusia tersesat karena keshalihan. Hal itu sangat mungkin terjadi. Mungkin seseorang tidak menjadikan sesuatu itu sebagai ilah baginya, tetapi ketika sesuatu itu membuat manusia terputus hubungannya dengan Allah, atau justru membuatnya berbuat amal yang bertentangan dengan ketentuan Allah, maka sesuatu itu mungkin telah menjadi sekutu bagi Allah. Secara umum terdapat ketentuan prinsip yang disampaikan oleh seorang yang shalih kepada pengikutnya; “taatilah aku bila bersesuaian dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, dan jangan taati aku bila bertentangan.” Itu adalah ekspresi yang sebenarnya tentang adanya keshalihan dalam diri seseorang.

Hal itu benar bila ketentuan tersebut diwujudkan hingga tingkat operasional, dimana pengikut orang shalih lebih diutamakan memahami Alquran dan tunduk pada Rasulullah SAW daripada ketundukannya pada panutannya, sedangkan ketundukan pengikut kepada panutannya dilakukan dalam rangka tunduk pada Alquran dan Rasulullah SAW. Ketentuan tersebut tidak boleh hanya berupa kata-kata saja sedangkan mereka secara operasional tidak memperhatikan kedudukan terhadap Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Orang shalih yang tidak berprinsip demikian sangat mungkin terjatuh dalam tipuan.

Alquran sebagai Sarana Bergantung

Agar seseorang dapat selamat dalam mengarungi keshalihan, mereka harus menjadikan Allah sebagai wali bagi mereka. Menjadikan Allah sebagai wali tidak dapat dilakukan hanya dengan menempuh sikap menggantungkan diri kepada Sang Maha Kuasa, tetapi harus dilakukan dengan berpegang teguh pada kitab yang diturunkan Allah. Allah dapat menguji kelurusan sikap hati hamba-hamba-Nya dalam mengabdi kepadanya dengan segala sarana yang diturunkan-Nya.

﴾۶۹۱﴿إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ
Sesungguhnya pelindungku adalah Allah Yang telah menurunkan Al Kitab (Al Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh. (QS Al-A’raaf : 196)

Walaupun Allah menghendaki untuk dikenal oleh makhluk, tetapi Allah adalah Dzat yang tidak akan dapat dipahami oleh lingkup akal makhluk. Makhluk hanya dapat mengenal Allah dalam batasan kemampuan masing-masing melalui segala sesuatu yang diciptakan-Nya dengan berdasar pada firman-Nya. Tanpa memperhatikan ciptaan-Nya seseorang tidak akan dapat mengenal Allah, dan tanpa memperhatikan firman-Nya, segala penciptaan dan segala sesuatu yang disertakan bersamanya dapat menyesatkan manusia. Tidak ada makhluk yang mengenal Allah tanpa berpegang pada kitabullah.

Manusia mempunyai dua jenis kecerdasan yaitu kecerdasan jasadiah berupa pikiran, dan kecerdasan nafs berupa akal. Kedua jenis kecerdasan tersebut saling terkait tetapi tidak selalu selaras. Kecerdasan akal berada dalam hati yang berguna untuk memahami kehendak Allah yang akan mengubah akhlak seseorang menuju kemuliaan, sedangkan kecerdasan pikiran berada di kepala yang berguna untuk memahami alam ciptaan-Nya. Kedua kecerdasan itu harus digunakan untuk memahami kitabullah Alquran.

Terdapat banyak macam sikap manusia dalam masalah kedua kecerdasan tersebut terkait kitabullah. Abu jahal merupakan seorang yang cerdas pikirannya hingga ia memperoleh gelar abu hakam di antara kaum Quraisy, akan tetapi ia tidak dapat memahami kehendak Allah dengan hatinya. Kecerdasan pikiran tidak menjadi indikator bahwa ia mempunyai akal yang cerdas, sekalipun pikirannya tampak mengetahui banyak pengetahuan hikmah. Di ujung sisi yang lain, Rasulullah SAW adalah makhluk yang paling berakal yang memahami seluruh kehendak Allah dalam penciptaan seluruh alam semesta dengan kemuliaan akhlak beliau SAW. Alquran dan seluruh kandungannya diturunkan kepada beliau SAW.  Di antara kedua ujung tersebut, sangat banyak macam manusia dalam hal pikiran dan akal. Alquran merupakan indikator pertumbuhan akal dan pikiran seseorang.

Pemahaman Alquran yang sebenarnya adalah pemahaman yang menyatukan akal dan pikiran dalam memahami ayat yang sama. Perkataan yang tampak berkilau tanpa mengetahui konteks tidak selalu menunjukkan adanya pemahaman yang benar. Di kalangan manusia, sebagian orang memahami Alquran dengan benar dan banyak orang yang berusaha memahaminya. Sebagian orang yang memahami Alquran dapat bertindak sesuai dengan pemahamannya, dan sebagian tidak dapat bertindak yang sesuai karena keadaannya ataupun karena belum diberi taufik untuk dapat melaksanakannya, sedangkan ia tidak melakukan perbuatan bertentangan dengan Alquran. Sebagian orang berusaha memahami Alquran, sebagian di antaranya berkeinginan untuk memahami dengan sebaik-baiknya dan sebagian merasa telah memahami Alquran sedangkan sebenarnya ia tidak memahaminya. Sangat banyak ragam sikap dan keadaan manusia terhadap kitabullah.

Berpegang pada kitabullah merupakan sarana utama bagi orang-orang yang dilimpahi keshalihan untuk bergantung kepada Allah. Kitabullah Alquran merupakan firman Allah yang Dia kehendaki untuk dipahami oleh setiap makhluk. Alquran merupakan parameter keshalihan dalam diri seseorang. Tidak disebut shalih orang-orang yang menentang firman Allah atau berbuat amal yang bertentangan dengan Alquran. Bila seseorang berpengetahuan dari Alquran dengan akal dan pkirannya dan ia berbuat sesuai dengan pengetahuannya dari Alquran, maka ia adalah orang shalih yang lebih mendekati keshalihan yang sebenarnya.