Pencarian

Kamis, 23 Maret 2017

Akidah Islam

PENGERTIAN AKIDAH


Aqidah secara bahasa diambil dari kata aqad yakni ikatan dan buhulan yang kuat. Bisa juga berarti teguh,saling mengikat dan rapat. Bila dikatakan tali itu di-aqad-kan, artinya diikat. Bisa juga digunakan dalam ikatan jual beli atau perjanjian. Meng-aqad sarung, berarti mengikatnya dengan kuat. 

Istilah aqidah tidak ditemukan dalam alquran dan hadits rasulullah, dan baru muncul pada zaman imam Abu Hanifah. Secara sekilas, aqidah tercantum dalam ayat 89 surat Al-Maidah dan ayat 33 surat An-Nisaa’, tetapi tidak menunjukkan sebuah tema khusus. Dari ayat itu, sebagian umat islam membuat definisi aqidah menurut istilah sebagai : kepercayaan yang teguh, kokoh dan kuat yang tidak terasuki oleh keragu-raguan, yakni keyakinan yang menyebabkan hati seseorang terikat pada keyakinan itu, lalu dijadikan sebagai madzhab dan agamanya.

Dalam tulisan ini, yang dimaksudkan aqidah adalah tatacara yang perlu dilakukan secara sungguh-sungguh oleh orang yang berniat membangun akhlak mulia mendekatkan diri kepada Allah SWT agar Allah SWT berkenan memberikan pengetahuan tentang diri-Nya. Manusia  tidak akan mampu memperoleh pengetahuan tentang Allah, tetapi Allah yang akan memberikan pengetahuan itu kepada manusia yang dikehendaki.

Allah Subhaanahu wa Ta’ala, tidak ada yang dapat mengetahui tentang Dia dan Dia Maha Tinggi. Akan tetapi Dia berkehendak untuk memperkenalkan diri-Nya pada makhluk-Nya. Seorang yang beriman kepada Allah adalah orang yang berusaha mengikatkan diri kepada Allah agar Allah berkenan untuk menarik dirinya kepada akhlak mulia dan didekatkan. 

Akhlak mulia adalah syarat mutlak agar Allah SWT berkenan memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-Nya. Untuk hal itu, Allah SWT telah menurunkan tali yang amat kuat yang tidak akan putus, maka hendaknya makhluk memegang tali tersebut dengan kuat agar mendapatkan jalan yang terbimbing. Usaha yang sungguh-sungguh meniti tali Allah itulah yang dimaksudkan sebagai akidah dalam tulisan ini.

IMAN SEBAGAI ASPEK AKIDAH

Di antara aspek akidah islam adalah beriman kepada Allah. Seseorang dikatakan memegang tali Allah dengan kuat adalah bila dirinya mengingkari setiap thaghut dan beriman sepenuhnya kepada Allah SWT.
Tidak ada paksaan dalam agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang terbimbing daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut  dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat  yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS Al-Baqarah : 256)
Taghut adalah pengetahuan yang tidak mempunyai dasar dari kitabullah. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang bersesuaian dengan Alquran dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya, sedangkan pengetahuan-pengetahuan yang tidak bersesuaian dengan alquran merupakan thaghut.
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS Annisaa’ : 60)
Seseorang yang benar-benar beriman adalah orang yang berusaha mendapatkan pengetahuan yang bersesuaian dengan kitabullah dan membuang pengetahuan-pengetahuan yang bertentangan dengan kitabullah. Pengetahuan yang belum mempunyai kedudukan dalam kerangka pengetahuannya tentang kitabullah,  harus diusahakan agar mendapat kedudukannya. Dengan cara itulah seseorang dikatakan telah mengingkari thaghut dan beriman kepada Allah, dan berpegang pada tali Allah yang amat kuat yang tidak akan putus.

Jalan seperti itulah jalan yang terbimbing, sedangkan jalan yang lain merupakan jalan yang tidak terbimbing. Pengetahuan tentang kitabullah akan membimbing manusia, sedangkan syaitan menggunakan thaghut untuk menyesatkan manusia dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya.

Tidak ada keterpaksaan dalam agama. Agama tidak dapat dibangun dengan memaksakan pengetahuan yang belum dipahami, karena agama harus dibangun dengan cara yang hanif. Untuk bersikap hanif, manusia harus bersikap benar, mencari sudut pandang yang tepat terhadap suatu pengetahuan, dan pengetahuan satu harus ditempatkan pada posisi yang benar terhadap pengetahuan yang lain sehingga dapat membangun pemahaman. Pemahaman itu akan menghasilkan pemahaman baru bila mendapatkan kaitan dengan pengetahuan yang lain. Demikian seterusnya sehingga ayat-ayat baik qauliyah maupun kauniyah dapat dipahami yang mengantarkannya mengenal Al-haq.

Pemaksaan pengetahuan atau indoktrinasi akan menjadikan seseorang mengalami kelemahan akal, padahal akal merupakan instrumen utama bagi manusia untuk mengenal al-haq. Pengetahuan semacam itu dapat menjadi alat syaitan untuk menyesatkan manusia menuju kesesatan yang sejauh-jauhnya. Manusia harus selalu berusaha mencari pemahaman yang benar atas suatu pengetahuan  sesuai dengan kitabullah, dengan tidak memaksakan pemahaman dirinya atas suatu ayat dalam kitabullah sebagai kebenaran final, dan melaksanakan apa yang telah difahami dari sunnah rasulullah dan membiarkan apa yang belum difahami, hingga dirinya memahami.

BERSERAH DIRI DAN IHSAN SEBAGAI ASPEK AKIDAH

Aspek akidah islam yang lain adalah berserah diri kepada Allah dan berbuat ihsan. Dengan cara berserah diri kepada Allah dan berbuat ihsan berarti seseorang berpegang pada tali Allah itu.
Dan barangsiapa yang berserah diri kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat ihsan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan. (QS Luqman : 22)
Salah satu parameter benarnya akidah adalah perbuatan ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seolah-olah dirinya melihat Dia, sekiranya tidak melihat-Nya, maka Dia maha melihat dirinya. Jiwa seseorang harus tumbuh dengan baik, ditandai dengan menguatnya akal, agar dirinya bisa merasakan dan melihat kehadiran Allah.  Tanpa jiwa yang baik, jiwa seseorang tidak akan mengetahui kehadiran Allah dalam kehidupannya. Jiwa itu harus ditumbuhkan dan dirawat sebagaimana merawat pohon, dengan memberikan pengairan, pencahayaan dan menjaga dari hama dan penyakit.
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat thayyibah  seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. (QS Ibrahim : 24-25)
Kehadiran Allah hanya dikenal dalam bentuk kalimah thayyibah yang dimengerti oleh orang yang jiwanya tumbuh dengan baik. Jiwa itu dimisalkan sebagai pohon yang baik, pengetahuan jasadiahnya berakar ke bumi dan jiwanya menjulang di langit mencari cahaya Allah. Pohon itu dapat mengeluarkan buah berupa pemahaman atas ayat-ayat Allah bagi  dirinya yang bisa diberikan kepada orang lain. Dengan jiwa yang tumbuh dengan baik itulah manusia dapat berbuat ihsan, dan buah yang dihasilkan merupakan bukti atas pengenalan diri.

Parameter lain yang menunjukkan  benarnya akidah adalah keberserahdirian kepada Allah. Berserah diri bukanlah sikap pasif, pasrah tanpa tindakan. Yang dimaksudkan sebagai berserah diri kepada Allah adalah berusaha  keras  mengenal kehendak Allah dan bertindak sesuai dengan pengetahuannya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh ayat berikut :
yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.  Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS Az-Zumar :17-18)
Memilih perkataan-perkataan yang paling baik untuk diikuti merupakan wujud tindakan berserah diri kepada Allah. Dengan mencari dan memilih perkataan yang paling baik untuk diikuti, maka akal seseorang akan mendapatkan petunjuk dan dengan mengikuti perkataan terbaik, akal seseorang akan tumbuh agar mampu mengenal Allah SWT.

AKIDAH DAN PERSATUAN

Dengan menjalankan akidah islam, akan hilanglah perpecahan di antara umat. Akidah islam akan menghilangkan permusuhan di antara manusia, mempersatukan hati-hati manusia dan menjadikannya orang-orang yang bersaudara atas nikmat Allah.
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS Ali Imran : 103)
Orang-orang yang berpecah-belah sebenarnya berada di tepi jurang neraka. Allah menyelamatkan manusia yang berpecah-belah dari jurang neraka dengan tali Allah yang harus digenggam dengan kuat. Akidah yang benar akan menyelamatkan manusia dari sikap berpecah-belah, bukan malah membuat manusia berpecah-belah.

Sebagian manusia justru berpecah belah karena membaca kitabullah, sebagaimana diterangkan dalam alquran surat Al-Baqarah ayat 113. Mereka adalah orang-orang yang menyerupai orang-orang yahudi dan nasrani, dan mereka adalah orang-orang yang menyimpang jauh  (Syiqaq) dari jalan Allah, padahal mereka membaca kitabullah.  Kaum yang berpecah-belah dalam membaca kitab suci akan menjadi sasaran mudah bagi orang-orang musyrik untuk memecah belah umat islam, dan menyeretnya  menjadi bagian dari musyrikin.
dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Dari (golongan orang-orang) yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.(QS Ar-Ruum : 32-33)
Salah satu bentuk usaha kaum musyrikin untuk mencerai beraikan umat islam adalah memecah belah agama menjadi beberapa golongan dan membangkitkan kebanggaan pada golongan mereka masing-masing.  Kaum musyrikin benar-benar membangkitkan perpecahan di dalam umat islam dengan membuat ajaran-ajaran yang menyerupai ajaran tauhid islam, padahal ajaran itu melemparkan manusia jauh dari islam (khawarij). Mereka juga membangkit-bangkitkan kebanggaan terhadap apa yang ada pada golongan yang diikuti. Orang islam yang mengikuti perpecahan yang dibangkitkan oleh orang musyrikin akan termasuk dalam golongan musyrikin.

Muslimin yang semacam inilah yang akan tertimpa kehinaan dimanapun mereka berada. Mereka akan ditimpa kehinaan di antara muslimin yang lain, dan mereka ditimpa kehinaan di antara kaum musyrikin. Mereka tertimpa kehinaan di dunia dan mereka ditimpa kehinaan di akhirat, tertimpa kehinaan di antara manusia dan tertimpa kehinaan  di antara makhluk yang lain. Dimana saja mereka berada, mereka akan diliputi kehinaan. Kehinaan itu karena mereka melemahkan akalnya sendiri, yg seharusnya diperkuat.
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali Allah dan tali terhadap manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. (QS Ali Imran : 112)
Kehinaan itu akan terangkat bila umat islam  kembali kepada akidah yang benar, yaitu berpegang pada tali Allah dan memperbaiki hubungan dengan manusia. Berpegang pada tali Allah tidak dapat dilakukan semata-mata  mengandalkan pembacaan ayat-ayat kitabullah, karena beberapa kaum pembaca kitabullah keluar dari islam (Khawarij). Pembacaan ayat-ayat itu benar bila hubungan dengan manusia menjadi baik, sedangkan bila pembacaan ayat-ayat itu merusak hubungan dengan manusia, maka pembacaan itu hanya memecah-belah agama.

Kerusakan  pembacaan ayat-ayat itu bukanlah tanpa sebab. Sebagian dari kaum pembaca kitab adalah orang-orang yang kafir kepada Allah, maka pembacaan mereka adalah pembacaan yang rusak dan merusak pengikutnya. Mereka tidak menganggap nabi-nabi sebagai pembawa kebenaran dari Allah, dan bahkan mereka membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang benar. Demikian pula terjadi di antara sebagian umat islam tanpa sengaja menganggap bahwa kitab nabi-nabi secara total tidak membawa kebenaran dari Allah. Mereka tidak menimbang kitab suci nabi-nabi dengan alquran, tetapi menghukuminya dengan hawa nafsu mereka sendiri. Tindakan itu hampir menyerupai pembunuhan kepada nabi-nabi tanpa alasan.

Mereka adalah orang yang tidak memperhatikan peringatan rasulullah SAW tetapi lebih memperhatikan bacaan penyeru-penyeru di kalangan mereka, sehingga mereka mendurhakai rasulullah SAW. Di antara mereka terdapat orang-orang yang benar-benar berkeinginan untuk menyesatkan manusia,  mengajarkan kepada manusia  agama berdasarkan  hawa nafsu dan tanpa pengetahuan.
Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas. (QS Al-An’aam : 119)
Kebanyakan di antara mereka beragama hanya berdasarkan pada hawa nafsu secara berlebihan, tidak berusaha secara setimbang melihat pada kehendak Allah dan   tidak berusaha memahami yang ada dalam kitabullah. Dengan itu, mereka menginginkan orang lain untuk beragama sesuai keinginannya, dan tidak berusaha membangkitkan orang lain untuk beragama dengan pemahaman. Mereka tidak mempunyai keinginan untuk mendapatkan ilmu untuk mengenal Sang Khalik yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.

Selasa, 14 Maret 2017

Ilmu : Kumpulan Dalil dan Komentar

PENGERTIAN ILMU


Ilmu dalam terminologi alquran merupakan pengetahuan yang diberikan kepada seseorang agar mengenal alhaq (kebenaran) yang datang dari tuhan, kemudian bertambahlah keimanan mereka dengan kebenaran (alhaq) itu dan hatinya menjadi tunduk kepada-Nya.
dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, mengetahui bahwasanya itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dengannya dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah benar-benar memberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus. (QS 22:54)
Fungsi dari ilmu adalah agar orang yang diberi ilmu melihat bahwa apa yang diturunkan dari Tuhan itu adalah kebenaran, dan mengetahui bahwa wahyu itu benar-benar petunjuk yang  akan membimbing manusia kepada jalan  yang lurus.
Dan orang-orang yang diberi ilmu melihat bahwa (wahyu) yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itulah kebenaran (al-haq) dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.(QS 34 :6)
Dalam terminologi alquran, tidak  sembarang pengetahuan masuk dalam kategori ilmu. Pengetahuan yang diperoleh dari hafalan kitab, atau cerita dari orang lain, belum termasuk dalam kategori ilmu tetapi termasuk riwayat, sebagaimana ayat 113 surat albaqarah.

ORANG-ORANG YANG MEMPEROLEH ILMU 


Ilmu akan diberikan kepada orang-orang yang adil dalam setiap generasi. Orang yang adil akan selalu berusaha menempatkan pengetahuan sesuai dengan tempatnya, dan merasa tidak nyaman dengan pengetahuan yang tidak berada pada tempatnya. Karena itu, kumpulan pengetahuan bagi seorang yang adil akan membentuk ilmu yang mengantarkan pemahaman bahwa segala sesuatu membawa alhaq yang diturunkan dari tuhannya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Ilmu  ini akan dibawa oleh orang-orang adil dari setiap generasi. Mereka akan meluruskan perubahan orang-orang yang melampaui batas, ta’wil orang-orang jahil, dan pemalsuan (intihaal) orang-orang bathil. Maka jalannya Ilmu ini hanyalah dengan jalan oleh orang-orang yang memiliki jalan dan sifat seperti itu” [Al-Jaami’ li-Akhlaqir-Raawi wa Adabis-Saami’ oleh Al-Khathib Al-Baghdadi 1/129].
Dalam setiap generasi, akan muncul orang-orang yang melampaui batas dalam beragama yang mengubah-ubah pengertian yang terdapat dalam wahyu yang diturunkan kepada nabi, orang-orang jahil yang mentakwil petunjuk-petunjuk  agama, dan orang-orang bathil yang memaksakan pengertiannya atas petunjuk secara bathil. Karena itulah manusia harus mengikuti kitab suci dan tidak dibolehkan terus mengikuti perkataan orang kebanyakan tanpa ilmu, sekalipun nenek moyang mereka.
Ilmu hanya akan dibawa oleh orang-orang yang adil dalam beragama, tidak berlebih-lebihan, tidak jahil dan tidak bathil. Orang-orang adil inilah yang akan meluruskan seluruh penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh manusia.

Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Ilmu yang diberikan kepada seseorang akan mengantarnya mengenal al-haq dan menjadikannya mengerti kehendak-Nya bagi dirinya. Karena faham amal shalih yang harus dikerjakan, maka orang yang akan diberi pengetahuan akan diberi derajat yang lebih tinggi.
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS 58:11) 
Ilmu tidak ditunjukkan oleh banyaknya riwayat yang bisa dilakukan seseorang, tetapi ditunjukkan oleh rasa takut (khasyah) kepada Allah SWT. Hafalan dan cerita yang diperoleh seseorang akan tersusun menjadi ilmu apabila dirinya bersikap adil,  ditandai dengan bertambahnya khasyah kepada Allah. Bila tidak bersikap adil, ilmu tidak akan terbangun begitu pula khasyah.
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata “Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi pokok dari ilmu adalah khasyah/rasa takut -kepada Allah-.” ( al-Fawa’id )
Ilmu  bersifat menyatu (inheren) dalam diri seseorang, tidak diwariskan berdasarkan riwayat. Kitab yang diturunkan Allah SWT akan terus selalu ada di antara manusia kecuali dunia ini akan kiamat, tetapi orang-orang yang mendapatkan ilmu dari kitabullah hanyalah ulama. Ketika seorang ulama meninggal, maka ilmunya akan terangkat bersama kematiannya, tidak diwariskan.
Sesungguhnya Allah tidak mencabut suatu ilmu secara sekaligus setelah dianugrahkan kepadamu. Namun Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mencabutnya dari manusia dengan mewafatkan para ulama berserta ilmunya. Maka yang tersisa hanyalah orang-orang jahil.  Apabila mereka dimintai fatwa maka mereka memberi fatwa menurut pendapat mereka sendiri. Maka mereka sesat dan menyesatkan" [Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam Kitab Al-I'tisham bil Kitab wa Sunnah 8/282. Hadits ini diriwayatkan juga dengan lafal yang berbeda oleh Imam Muslim, Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Daud]
Orang-orang yang ditinggalkan oleh ulama akan mendapatkan ilmu sesuai dengan sifat adil masing-masing. Sekalipun banyak riwayat yang diperoleh dari seseorang, hal itu tidak menunjukkan bahwa dirinya telah berilmu.

ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ILMU


Hati seseorang yang terbuka pasti akan dapat merasakan kebaikan dari ilmu. Apabila hati seseorang tertutup, maka ilmu  tidak akan dapat menyentuh hatinya, sekalipun ilmu itu disampaikan oleh nabi SAW. Ketertutupan hati seseorang disebabkan karena mereka mengikut hawa nafsu.
Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisimu orang-orang berkata kepada orang yang telah diberi ilmu pengetahuan: "Apakah yang dikatakannya tadi?" Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka.( QS 47:16)
Orang yang memperturutkan hawa nafsu merupakan orang-orang yang bodoh, sekalipun bisa bercerita banyak riwayat, atau bahkan bila pernah mendapatkan ilmu yang diberikan tuhannya, karena boleh jadi Allah membiarkannya sesat di atas ilmu yang diberikan.
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat di atas ilmu dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?(QS 45:23)
Orang yang memperturutkan hawa nafsu adalah orang-orang kecil (Ashaaghir) dan orang-orang yang jelek. Mencari ilmu dari orang-orang ashaghir akan membuat suatu kaum binasa. Untuk mendapatkan ilmu yang mengantar suatu kaum menuju kebaikan, manusia harus mencari ilmu dari akaabir, yaitu orang-orang yang memiliki ilmu karena keadilan yang tegak dalam dirinya.
Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ’anhu berkata : ”Senantiasa umat manusia dalam kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari para akaaabir (yaitu ahli ilmu) mereka,. Jika mereka mengambil ilmu dari ashaaghir (orang-orang kecil) dan orang-orang jelek di antara mereka, niscara mereka akan binasa” [Jaami’ Baayanil-’Ilmi wa Fadhlihi oleh Ibnu ’Abdil-Barr Al-Andalusy hal. 112; Maktabah Al-Misykah].
Umat manusia tidak akan pernah kehabisan ulama yang dapat mengajarkan ilmu. Allah akan senantiasa mengutus orang yang akan memperbaharui agama dalam setiap seratus tahun. Mereka adalah para  utusan Allah bagi umat rasulullah SAW.
dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah akan mengutus kepada umat ini pada tiap-tiap seratus tahun orang yang memperbaharui agama mereka (HR. Abu Dawud (no. 4291), al-Hakim (no. 8592), dan ath-Thabarani dalam “al-Mu’jamul ausath” (no. 6527))
Alquran telah diberikan kepada manusia yang memberi peringatan dan arah untuk kembali kepada tuhan. Apabila manusia memikirkan alquran dengan jujur, niscaya dirinya akan menemukan orang yang bisa membimbingnya.

KEADAAN UMAT DI AKHIR ZAMAN


Walaupun selalu mengutus pembaharu, namun akan datang kepada umat islam suatu zaman dimana umat islam lebih banyak mengikuti orang-orang bodoh daripada orang-orang yang berilmu. Manusia akan mengangkat makhluk-makhluk yang paling buruk di kolong langit sebagai ulama, yang keluar dari mulut-mulut ulama itu fitnah-fitnah yang kembali kepada mereka.
 “Satu zaman akan datang kepada kaumku, tidak ada yang tinggal dari Islam melainkan namanya dan dari Al-Quran melainkan kata-katanya, mesjid-mesjid mereka indah dan ramai  tetapi kosong dari petunjuk. Ulama (‘alim-‘alim) mereka seburuk-buruk makhluk di kolong langit, dari mulut mereka keluar fitnah-fitnah yang akan kembali kepada mereka”( HR. Al Baihaqy, Syu’ab-ul-iman).
Seburuk-buruk makhluk di kolong langit adalah kaum khawarij, yaitu kaum yang membaca alquran tetapi tidak melampaui kerongkongan mereka. Ibadah mereka membuat para shahabat nabi berkecil hati tetapi mereka keluar dari Islam (Khawarij) sebagaimana terlepasnya anak panah dari busurnya. Mereka selalu ada dari generasi ke generasi, hingga dajjal muncul dari kalangan khawarij. Mereka bukan kaum yang saat ini telah hilang dari muka bumi.
“Akan muncul suatu kelompok yang membaca Al-Qur’an tetapi tidak melampaui  kerongkongan mereka. Setiap kali muncul, mereka dibasmi habis hingga keluar dalam pasukan besar mereka Dajjal.” (HR. Ibnu Majah 174)
"dari Abu Umamah Al-Bahili r.a berkata : Mereka (khawarij) adalah anjing-anjing neraka, seburuk-buruknya makhluk yang terbunuh di kolong langit, sedang sebaik-baiknya makhluk yang terbunuh adalah yang dibunuh oleh mereka." [HR. At-Tirmidzi (3000), Ibnu Majah (176), Ahmad (V/253).

Dari mulut para ulama mereka-lah keluar fitnah-fitnah yang menimpa umat islam, sedangkan fitnah itu menunjukkan keadaan diri mereka sendiri. Dari mulut mereka keluar tuduhan khawarij terhadap sebagian kaum yang lain dari umat islam, kaum fulan bukan islam, dan tuduhan-tuduhan lain terhadap umat islam selain kelompok mereka,  maka sebenarnya tuduhan itu pasti kembali kepada salah satu di antara yang menuduh atau yang dituduh. Rasulullah SAW dengan jelas menunjukkan bahwa khawarij itu adalah kaum yang bangkit dari keturunan Dzul Khuwaisirah, dari keluarga At-tamimi.

Minggu, 05 Maret 2017

Akidah Al-wasithiyah ; Sebuah Komentar

Dalam sebuah pertunjukan pada tahun 1931, Albert Einstein bercakap-cakap dan memuji penampilan Charlie Chaplin, bahwa Chaplin telah membuat sebuah bahasa universal tanpa batasan bangsa. Charlie Chaplin membalas pujian Einstein mengatakan : “Anda lebih menakjubkan tuan Einstein. Masyarakat di seluruh dunia memuji anda tanpa mereka mengetahui akan apa yang anda bicarakan”. 

Einstein adalah sosok jenius yang telah merumuskan beberapa teori fisika modern.  Masyarakat di dunia memuji kejeniusan dirinya walaupun mereka tidak mengetahui apa yang diceritakan oleh Einstein. Teori Einstein  adalah teori yang bisa dipahami oleh para fisikawan, bukan sebuah teori yang tidak bisa dijangkau oleh manusia. Para fisikawan yang mempelajari dan memahami teori-teori Einstein merupakan para saksi yang benar terhadap kejeniusan Einstein, dan  masyarakat kebanyakan yang memuji kejeniusannya hanyalah massa mengambang yang dipengaruhi oleh pendapat-pendapat para fisikawan. Para fisikawan mempunyai platform berpikir yang sama dengan platform berpikir Einstein sehingga mereka mengetahui benar ketelitian dan terobosan berpikir yang dilakukannya. Para fisikawan mengenal dengan benar kejeniusan Einstein.

AKIDAH ISLAM


Ajaran akidah dalam islam bukanlah indoktrinasi kalimat-kalimat tentang Allah yang tidak bisa dipahami. Alquran telah menceritakan kerangka akidah bagi setiap orang, yaitu sebagaimana diterangkan dalam ayat berikut :
Tidakkah engkau perhatikan bagaimana Allah mengambil permisalan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Memberikan buahnya setiap saat dengan ijin tuhannya. Dan Allah mengambil pemisalan itu bagi manusia  agar mereka selalu berdzikir. Dan permisalan kalimat yang buruk adalah seperti pohon yang buruk, tercerabut akarnya dari bumi tanpa dapat tegak. (QS Ibrahim 24-26)
Ayat di atas menetapkan platform akidah, yaitu kalimah thayyibah,  yang bisa membuat seseorang mampu mengenal Allah SWT sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Tanpa platform akidah itu, seseorang tidak akan mampu mengenal Allah, karena kalimat yang diperolehnya adalah kalimat yang buruk. Seseorang tidak akan memuji Allah dengan sebenarnya tanpa berada di atas platform itu. Hal itu bisa diibaratkan sebagaimana seorang yang tidak mengenal fisika memuji kejeniusan Einstein, pujian itu hanyalah pujian yang kosong.

Platform akidah dalam ayat itu mensyaratkan muslim untuk menumbuhkan jiwanya, dengan membaca ayat-ayat qauliyah di langit dan ayat-ayat kauniyah di bumi secara selaras kemudian menghasilkan buah-buahan yang berguna bagi sesama makhluk agar  dirinya bisa mengenal Allah. Pertumbuhan jiwa ditunjukkan dengan pertumbuhan akal yang telah diberikan sejak awal, yaitu akal jiwa yang berguna untuk mengenal Allah, yang bisa dikenali dengan tumbuhnya akhlak yang baik, baik ditingkat rasa, kehendak, pemikiran hingga perbuatan. Kecerdasan yang tidak disertai tumbuhnya akhlak merupakan kecerdasan jahalah, yaitu kecerdasan jasadiah yang dikendalikan hawa nafsu.

Kalimat tauhid yang baik adalah seperti pohon yang baik, akarnya teguh ke bumi dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon adalah makhluk yang hanya bisa melakukan proses apabila mendapatkan cahaya, dan pohon tidak mampu mendefinisikan cahaya.  Pengetahuan pohon tentang cahaya hanyalah sebatas proses yang bisa dilakukan dirinya ketika mendapatkan cahaya. Kalimat thayyibah berfungsi menumbuhkan jiwa seseorang untuk mengenal dan mencintai Allah SWT sebagai sumber cahaya bagi langit dan bumi, sehingga bisa memberikan manfaat bagi orang lain dengan buahnya. Jiwa itu mencari rizki dari cahaya Allah dengan cabangnya yang menjulang ke langit, sedangkan pengetahuannya berakar teguh di bumi. Apa yang terjadi di bumi merupakan ayat Allah yang dipahaminya selaras dengan ayat alquran. 

Sedangkan kalimat yang buruk adalah seperti pohon yang buruk, akarnya tercerabut dari bumi tidak dapat tegak. Itu permisalan bagi pengetahuan tauhid yang tidak terkait dengan ayat-ayat Allah di bumi, sehingga jiwanya tidak mampu mencari rizki dari cahaya Allah. Ayat-ayat Alquran yang dipersepsi hanya berupa doktrin ideologi dan tata aturan tidak akan menumbuhkan jiwa yang kokoh yang mempu mencari cahaya Allah dan tidak  mempunyai keterkaitan dengan kehidupan di bumi.

AKAL, AYAT QAULIYAH DAN AYAT KAUNIYAH


Dzat Allah adalah sesuatu yang tidak bisa dikenal oleh siapapun kecuali diri-Nya sendiri.  Dia (Huwa) adalah dzat yang maha wujud, tidak berawal dan tidak berakhir yang telah menciptakan segala sesuatu.  Tidak ada yang bisa mengenal atau menggambarkan tentang  Huwa sedikitpun, baik wujud-Nya, keagungan-Nya, shifat-Nya, kecuali diri-Nya sendiri.
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. (QS As-Syuura : 11)
Huwa (Dia) berkehendak untuk dikenal. Kehendak-Nya adalah untuk dikenal dengan asma “Allah”.  Surat al-ikhlas  ayat 1 menjelaskan tentang perintah  kepada makhluk untuk berkata : “Dia (Huwa) adalah Allah yang Esa (Ahad)”. Maksud perintah-Nya berupa  “katakanlah” bukanlah sekadar untuk berkata, tetapi untuk berkata-kata dengan pengetahuan. Maka perintah itu dijabarkan rasulullah SAW sebagai kalimat syahadat (persaksian) yaitu : “Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah”. Persaksian tidak akan  bermanfaat dan tidak sah tanpa disertai dengan pengetahuan.

“Allah”  adalah nama yang dikehendaki-Nya untuk dikenal makhluk, sebagai aspek dzahir Huwa (Dia)  yang bisa dikenal oleh makhluk. Tidak ada satupun makhluk yang mengenal aspek bathin Huwa (Dia)  karena tidak ada sesuatupun yang bisa menjadi misal bagi-Nya. Dia (Huwa) berkehendak agar nama “Allah” dikenal sebagai ilah, yaitu  sesuatu yang menjadi puncak kecintaan makhluk.

Untuk memperkenalkan diri-Nya itulah alam semesta ini diciptakan. Alam ini adalah perwujudan kehendak-Nya yang berupa perkataan : Kun (jadilah) maka semua kemudian terjadi. Perkataan-Nya mewujud sebagai alam semesta raya yang hampir tidak berhingga besarnya. Seluruh alam semesta ini adalah perwujudan dari ilmu-Nya yang hendak diperkenalkan-Nya kepada makhluk, sedangkan makhluk tidak mampu mengetahui ilmu-Nya  yang tidak hendak Dia katakan. Makhluk hanya mampu mengerti sebatas kemampuan dirinya.

Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah SWT sebagai makhluk paling sempurna. Manusia diciptakan dengan kedua tangan-Nya dan diajarkan kepada manusia nama-nama seluruhnya yang menjadikan manusia menjadi makhluk yang paling berpengetahuan. Jasad manusia diciptakan dari tanah, dan Dia menciptakan pasangannya berupa jiwa (nafs) dari tangan-Nya yang lain.  Di dalam jasad manusia terdapat nafs yang mempunyai akal membawa kecerdasan langit  hingga bisa mengenal Allah SWT melebihi para makhluk surga. 

Selain diberikan indera dan akal, manusia diberi bekal dan sarana yang ada di luar dirinya. Allah SWT menghadirkan kalimat-kalimat-Nya di alam semesta dan alquran yang menjadi panduan untuk membaca ayat-Nya di alam semesta. Dengan bekal itu, manusia dapat berjalan menuju tuhan dengan memperkuat akalnya. Dengan semakin sempurna akalnya, akan semakin mulia akhlak dirinya dengan kemampuan membaca kehendak Allah.

Akal tidak dapat dikontradiksi dg alquran. Alquran dan petunjuk nabi merupakan cahaya yang diturunkan untuk menyinari akal agar berjalan, sedangkan akal adalah instrument dalam diri untuk berjalan. Akal yang memahami adalah akal yang pengetahuannya selaras dengan alquran dan sesuai keadaan alam, karena keduanya adalah kalimat Allah yang tidak saling bertentangan Pengetahuan akal yang berbeda dengan tuntunan alquran dan petunjuk nabi menunjukkan suatu ketidakpahaman akan ayat. Orang yang memahami agama akan mengetahui kedudukan alquran di semesta dirinya, dan mengetahui bahwa itu adalah firman Allah bagi dirinya.

AKIDAH AL-WASITHIYAH


Seorang Qadhi dari negeri Wasith yang sedang melaksanakan haji datang kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan memohon beliau untuk menulis tentang Aqidah Salafiyah yang diyakininya . Maka, Ibnu Taimiyah menulisnya dalam tempo sekali jalsah, (sekali duduk), seusai shalat 'Ashar. Tulisan Ibn Taimiyah ini dikenal sebagai Aqidah Al-Wasithiyah.  Banyak muncul syarah/penjelasan tentang tulisan beliau yang ditulis secara berlebihan. Beberapa hal diantara penjelasan itu  adalah kerangka akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah terkait sifat-sifat Allah SWT .

Tidak ada jalan bagi seorang muslim untuk mengetahui sifat Rabbnya yang Maha Tinggi dan Asma'-Nya yang Maha Indah, melainkan sebagaimana yang diwahyukan. Asma' dan Sifat-sifat Allah itu bersifat tauqifiyah. Maka, apapun yang ditetapkan oleh Allah bagi diri-Nya, atau oleh Rasulullah SAW, kita harus meyakininya. Demikian pula, apa yang dinafikan oleh Allah dari diri-Nya, atau oleh Rasulullah SAW, kita menafikannya. Cukuplah bagi manusia informasi yang datang dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. 

Ahlus Sunnah wal Jama'ah menetapkan sifat-sifat Allah Ta'ala, tanpa ta'thil (penafian), tamtsil (pemisalan), tahrif (pengubahan), dan takyif (menetapkan bentuk). Mereka mempercayainya sebagaimana tersebut dalam nash Al-Qur'an dan Al-Hadits. Semua nama dan sifat yang telah ditetapkan oleh Allah bagi diri-Nya atau oleh Rasulullah SAW mereka tetapkan untuk Allah, sesuai dengan keagungan sifat-Nya. Sebaliknya, Ahlus Sunnah wal Jama'ah menafikan apa yang telah dinafikan oleh Allah dari diri-Nya, atau oleh rasul-Nya, dengan penafian secara ijmal,

KOMENTAR ATAS AKIDAH AL WASITHIYAH 


Untuk kalangan umum, terdapat sedikit kesulitan dalam memahami akidah alwasitiyah. Akidah bertujuan mengenal Allah, yang tidak bisa dijelaskan, tetapi di sisi lain fungsi alamiah akal dibatasi, sedangkan akal itu sendiri merupakan instrument utama untuk pemahaman. Fungsi akal secara alamiah tidak akan bisa menerima pengetahuan baru yang tinggi tanpa mendapatkan informasi lain yang mendukungnya, sedangkan pengetahuan ketuhanan adalah pengetahuan yang tinggi. Akidah Al-wasithiyah tidak menjelaskan bahwa mengenal Allah SWT hanya bisa dilakukan dengan mengenal ayat-ayat yang ada pada ciptaan-Nya. Sebagai ilustrasi, para fisikawan bisa mengenal Einstein hanya dengan cara membaca karya yang dihasilkannya.

Dalam platform akidah islam, penyempurnaan akal  merupakan syarat utama untuk mendapatkan pengetahuan tentang Allah,  sedangkan syarah akidah alwasithiyah lebih menekankan pemahaman terhadap sifat-sifat Allah ditetapkan tanpa melakukan ta’thil, tahrif, tamtsil maupun takyif., mempercayainya sebagaimana tersebut dalam nash Al-Qur'an dan Al-Hadits.  Akidah al wasithiyah  tampak layaknya indoktrinasi suatu faham terhadap pengikutnya. Walaupun telah membatasi fungsi akal dari sifat alamiahnya dalam memahami asma dan sifat Allah, akidah alwasitiyah tidak berusaha menghindarkan asma dan sifat Allah sebagai objek pembahasan akal manusia. Pembahasan itu menghasilkan kontradiksi yang sulit untuk di pahami karena keterbatasan akal. Hal ini berbeda dengan yang tersirat dalam platform akidah islam yang menempatkan sifat-sifat dan asma Allah sebagai subjek yang diharapkan melakukan transformasi jiwa manusia.  

Akidah alwasithiyah terlihat menjadikan alquran dan hadits sebagai suatu monumen kebenaran, tetapi tidak menjadikannya sebagai alat transformasi jiwa. Hal itu berbeda dengan akidah islam yang menjadikan Alquran dan hadits sebagai panduan transformasi jiwa untuk mencapai akidah yang benar. Ayat-ayat Alquran merupakan kalam Allah bagi seluruh makhluk sebagai penjelasan alam semesta. Mustahil pemahaman satu orang disamakan dengan pemahaman yang lain, karena makhluk satu berbeda dengan makhluk yang lain.

Kamis, 02 Maret 2017

ISLAM DAN POLITIK

Islam adalah agama tauhid,  jalan  untuk mengenal Allah. Dalam fase penciptaan dan setelahnya, “Allah” dikenal dengan martabat Rabbul-‘alamiin.  Sebelum ada penciptaan, tidak ada pangkat rabb disematkan bagi-Nya.  Martabat  Rabbul ‘alamiin menunjukkan bahwa Allah menciptakan dan memelihara ciptaan-Nya. Tanpa  martabat-Nya sebagai rabb, alam semesta akan lenyap tidak ada yang menjaga.

Mengenal rububiyah-Nya merupakan salah satu aspek tauhid, jalan untuk mengenal Allah, sehingga seseorang dapat memuji Allah dengan sebenarnya. Tanpa mengenal rububiyah-Nya, seseorang  tidak mengenal dan memuji Allah dengan sebenarnya. Hanya dengan mengenal rububiyah-Nya manusia dapat mengenal Allah dan memujinya sebagai rabbul ‘alamiin. Manusia dikatakan mengenal Allah, walaupun sebenarnya makhluk pada dasarnya tidak akan mampu mengenal Allah, seberapapun kemampuan makhluknya. Iblis adalah makhluk yang sangat kuat dan cerdas namun tidak mampu mengenal Allah dengan benar. Makhluk bisa mengenal Allah SWT hanya bila Allah memperkenalkan diri kepada makhluk, sebagaimana Dia memperkenalkan dirinya kepada Ibrahim a.s. Pengenalan itu hanyalah sebatas yang Dia kehendaki untuk diperkenalkan.

Ayat ke 2 hingga ke 4 surat al-fatihah bercerita tentang pengenalan terhadap rububiyah Allah. Dalam aspek rububiyah, Allah memperkenalkan diri-Nya salah satunya sebagai Malik (raja).  Nama Maalik disebutkan  sebagai  nama ketiga bagi rububiyah Allah SWT setelah Ar-rahman dan Ar-rahiim.sebagaimana tercantum dalam surat al-fatihah ayat 4.  Hal ini menunjukkan bahwa aspek maalikiyah (ke-raja-an-Nya) merupakan salah satu jalan utama yang dapat mengantarkan makhluk mengenal rububiyah Allah.

Setiap orang yang bertauhid harus bersifat rahmaniah untuk mengenal nama Arrahman, dan bersifat rahimiyah untuk mengenal nama Ar-rahiim, dan setiap orang harus mengenal fitrah diri untuk mengenal-Nya sebagai Maalik. Bertauhid hanya dapat dilakukan dengan cara menjalani sunnah, menempuh perjalanan untuk mencapai kedudukan masing-masing di hadapan rabb. Nama-nama itu tidak dapat dikenal hanya dengan menghafalkan nama-nama dan sifat-sifat yang diajarkan, tetapi harus dijalani dengan sungguh-sungguh dengan ikhlas hingga Allah memperkenalkan diri-Nya kepada masing-masing. 

Malik adalah sebuah kedudukan politik, dimana malik menunjukkan pemimpin tata aturan bermasyarakat. Umat islam adalah umat yang harus berpolitik sebagai jalan bertauhid untuk mengenal  sang Maalik,  mengenal salah satu aspek tauhid rububiyah agar mengenal rabbul ‘alamin.

POLITIK DALAM ISLAM


Umat islam harus senantiasa bersikap sebagaimana hamba yang selalu mengharapkan titah dari Rabbul ‘alamin sebagai raja. Raja merupakan kedudukan politik tertinggi dalam sebuah tatanan bermasyarakat. Tanpa seorang raja, masyarakat akan terpecah belah tanpa arah yang menyatukan masyarakat. Umat islam harus senantiasa berusaha berjamaah dengan menjadikan Rabbul ‘alamin sebagai raja yang mempersatukan umat, kendati maalikiyah-Nya baru akan dikenal pada hari agama. 

Dengan potensi yang dimiliki manusia, masyarakat yang tidak memiliki raja  cenderung akan berselisih dan bertikai satu dengan yang lain. Potensi yang dimiliki setiap individu di masyarakat justru akan menjadi faktor perusak bila masyarakat tidak mempunyai raja. Setiap potensi yang dimiliki individu harus diarahkan untuk tujuan bersama agar terbentuk masyarakat yang beradab.

Nama maalik yang hendak diperkenalkan Allah SWT kepada manusia akan terjadi pada hari agama, atau yaum ad-diin. Di alam makrokosmos, pada hari agama itu khalifatullah al-mahdi akan diberi kekuasaan atas bumi, dan pada hari itu iblis seharusnya tidak lagi diberi kuasa atas bumi. Allah akan menjadi raja dan mengangkat  khalifatullah di bumi. Secara tersirat, ke-raja-an-Nya di bumi saat ini belum termanifestasi dengan sempurna, karena baru dijanjikan kelak pada hari agama. Di level mikrokosmos,  Allah berkehendak memperkenalkan nama itu pada  setiap individu yang mencapai agama. Setiap orang yang mengenal fitrah dirinya berarti menemukan hari agama dirinya, dan akan mendapatkan rububiyah Allah sepenuhnya dan syaitan akan kehilangan kekuasaan atas dirinya. Itu adalah hari agama bagi individu.

Setiap muslim harus berusaha mengenal rububiyah Allah atas diri masing-masing, dan semesta alam secara umum. Salah satu cara mengenal rububiyahnya adalah dengan berpolitik sesuai dengan tatanan yang diajarkan dalam kitab-Nya, baik berpolitik untuk diri sendiri maupun berpolitik dalam konteks masyarakat luas. Tanpa berusaha berpolitik sesuai dengan rububiyah-Nya, umat muslimin akan tercerai berai menjadi santapan musuh, baik musuh berupa syaitan dari kalangan jin maupun manusia.

Politik merupakan jalan kehidupan setiap muslim. Setiap manusia  mempunyai peran yang telah ditentukan sebelum dilahirkan ke dunia. Setiap muslimin dituntut untuk menjalankan fitrah dirinya sebagai sumbangsih politik kepada masyarakat besar. Dengan mengenal dan menjalankan fitrah diri, seseorang bisa menegakkan agama dalam dirinya, dan memberikan sumbangsih paling penting yang dibutuhkan manusia dalam menciptakan struktur masyarakat yang kuat.

INDIVIDU SEBAGAI POLITIKUS


Menurut agama, seluruh insan merupakan makhluk politik yang harus berperan aktif menciptakan masyarakat beradab. Setiap manusia adalah penggembala yang akan ditanya tentang gembalaannya. Penggembalaan itu harus dilakukan dengan melakukan politik terhadap diri sendiri dan politik terhadap masyarakat. Politik pada diri sendiri menjadi pondasi agar bisa berpolitik dalam masyarakat. Tanpa melakukan politik pada diri sendiri, berpolitik dalam masyarakat hanya akan menghasilkan madlarat bagi masyarakat. Berpolitik terhadap masyarakat harus dibangun di atas politik terhadap diri sendiri.

Setiap insan diciptakan sebagai politikus yang harus berperan dengan fungsi yang telah ditetapkan oleh rabbul ‘alamiin. Namun tidak setiap orang mampu menjadi politikus yang baik karena tidak mengenal fitrah dirinya, sehingga belum mampu memberikan perannya bagi manusia sesuai kehendak Allah. Setiap insan diciptakan dengan membawa urusan yang telah ditentukan oleh rabbul ‘alamiin,
Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. (QS 17:13)
Setiap insan telah ditetapkan amal perbuatannya sebagai salah satu fitrah diri. Ketika seseorang mengenal fitrah dirinya, dia mengenal untuk urusan apa dirinya diciptakan. Apabila  menjalankan urusan yang telah ditetapkan untuk dirinya, maka orang itu menjadi seorang ulul ‘amr yang harus ditaati oleh segenap muslimin  dalam lingkup urusannya.  Apabila sedang berurusan dalam hal sepatu, seorang raja harus mentaati orang yang mempunyai urusan (ulil amr) sebagai tukang sepatu. Tidak ada kedudukan yang lebih tinggi antara satu orang terhadap orang lain dalam hal menjalankan urusan. Orang yang menjadi ulul amri harus ditaati oleh yang lain dalam lingkup urusannya.

Fitrah diri menjadi sarana setiap orang untuk mencari pengetahuan tentang rububiyah Allah. Setiap ulil amr menjalankan fungsi dirinya dengan pengetahuan tentang tuhan. Dengan cara itu, dia menjalankan amar ma’ruf dan mencegah kemunkaran. Dengan cara itu pulalah umat terbaik bisa terbentuk.  Apabila setiap orang dalam masyarakat mengerti untuk apa dirinya diciptakan maka masyarakat akan sangat makmur, berkah melimpah akan dikaruniakan oleh rabbul ‘alamiin melalui orang-orang yang mengenal rububiyah-Nya, dan akan terbentuk masyarakat yang sangat beradab, makmur lahir dan bathin.

KEADAAN UMAT ZAMAN MODEREN


Umat islam zaman ini berada dalam keadaan jauh dari umat terbaik. Kitab suci tidak dipahami sebagaimana tuntunan nabi sehingga masyarakat kehilangan pemahaman terhadap arti agama. Sebagian cendekiawan merumuskan obat bagi kemunduran umat islam tanpa memahami makna alquran sesuai tuntunan rasulullah SAW. Dengan hal itu, umat islam semakin terperosok dalam perselisihan.

Sebagian besar muslimin saat ini terpengaruh dengan dakwah yang menyeru untuk menjadi muwahidun sebagai metode untuk menggerakkan muslimin mencapai kemajuan. Hal itu sebenarnya jauh dari islam, dan justru menjerumuskan umat pada kebodohan. Apabila diteliti dengan baik, tauhid yang diajarkan oleh rasulullah SAW tidak seperti yang dipahami oleh kaum muwahidun. Tauhid kaum muwahidun merupakan half truth dari tauhid nabi.

Kaum muwahidun mencela orang-orang yang berpolitik tanpa mempunyai solusi bagi masalah politik umat.  Mereka menetapkan solusi bagi segala problem yang menimpa umat ini dengan sebuah metode  berupa tashfiyah dan tarbiyah. Meskipun dalam beberapa ratus tahun metode itu terbukti hanya membuat kekacauan di negara berpenduduk muslim, dan dicurigai menjadi sumber akar terorisme internasional,  mereka tetap meyakini bahwa metode itu adalah obat segala masalah. Dalam bidang politik, solusi politik dan keumatan yang ada dalam alquran tidak dipahami, dan hanya mencela orang-orang yang berpolitik tanpa memberikan masukan, arahan dan metode praktis yang dapat diimplementasikan dalam praktek politik.

Di sisi lain, sebagian kaum muslimin yang menjadi  pelaku politik praktis telah berusaha bersungguh-sungguh untuk menjadikan umat mempunyai kekuatan untuk tegak di atas agama. Akan tetapi perlu pemahaman lebih fundamental terhadap alquran dan sunnah agar kaum muslimin dapat tegak mencapai umat terbaik yang berakhlak mulia. Saat ini, petunjuk-petunjuk alquran untuk menuju tegaknya umat terbaik tampak belum terumuskan dengan baik selaras dengan petunjuk nabi. Hal itu menjadi salah satu sebab umat islam dipandang sebagai kaum yang tidak mempunyai pengaruh. Juga tidak terfilternya komunitas politisi dari masuknya orang-orang yang bergabung dengan motivasi memperoleh kekuasaan di antara masyarakat. Tidak dipungkiri bahwa tidak sedikit muslimin yang berpolitik termotivasi oleh pencapaian kekuasaan dan harta semata.

Peran politik tertinggi setiap orang adalah bila mencapai agama, yaitu menjalankan fitrah diri yang telah ditetapkan sebelum penciptaan dirinya sebagaimana ayat berikut : 
Maka hadapkanlah wajahmu dengan hanif kepada agama; (yaitu) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada penciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS 30:30)
Melaksanakan fitrah diri merupakan jalan untuk menegakkan agama, dan itu merupakan peran politik tertinggi yang tidak ada bandingannya karena peran itu digariskan oleh Allah SWT sang Maha Pencipta. Peran politik itu adalah amal shalih yang sebenarnya. Itu adalah ibadah yang sebenarnya bagi setiap insan, dan di jalan itulah pertolongan Allah akan selalu mengalir. Itu merupakan jawaban bagi harapan : Hanya kepada Engkau kami bersembah, dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan

Tidak setiap insan mengenal untuk apa diciptakan, tetapi setiap orang harus berusaha untuk melaksanakan peran politiknya sesuai batas pengetahuan dan kemampuannya. Setiap orang sebenarnya selalu diberi keadaan terbaik untuk  melakukan amal shalih, akan tetapi seringkali orang tidak melihat amal shalihnya karena tertutup oleh keinginan dan/atau ketakutan dirinya. Perlu kejernihan dan keteguhan hati serta rasa syukur agar manusia melihat amal shalih dirinya. Setiap orang dimudahkan untuk apa diciptakan. Dengan berserah diri dan memohon kepada Allah SWT, Allah akan menggerakkan kecenderungan hatinya pada amal terbaik yang perlu dilakukan. Bila kecenderungan hatinya itu telah diperoleh, langkah berikutnya adalah berjihad melaksanakan amalnya.

Harapan utama seorang muslim adalah mendapatkan petunjuk menuju jalan yang lurus. Setiap saat seorang muslim selalu memohon petunjuk kepada Allah agar diberi petunjuk jalan bagi dirinya, sebagaimana ayat 6 surat alfatihah : berilah kami petunjuk kepada jalan yang lurus. Seorang yang sudah mengenal fitrah dirinya dan selalu berusaha beramal sesuai fitrah diri akan diubah menjadi orang yang selalu berada di atas petunjuk sebagaimana ayat 5 surat albaqarah : Mereka itulah orang-orang yang berada di atas petunjuk rabb-nya.dan mereka itulah orang yang beruntung. Orang orang yang selalu berada di atas petunjuk itulah orang-orang yang beruntung.

Umat islam saat ini jauh dari keadaan ideal sebagai  umat terbaik, namun bukan berarti merupakan keadaan buruk. Tidak ada keadaan lain yang bisa diandai-andaikan karena semua telah ditentukan oleh sang Pencipta. Keadaan setiap saat adalah keadaan terbaik  bagi setiap muslimin untuk mencari dan melaksanakan amal shalihnya. Setiap orang harus cermat melihat keadaan dirinya dan lingkungannya, dan bertanya kepada hatinya tentang amal shalih yang dapat dikerjakan. Alquran dan sunnah nabi menjadi petunjuk yang terang bagi umat manusia yang ingin mewujudkan peran politik tertinggi dirinya.  Hal itulah yang akan mengantar umat ini menuju umat terbaik.

Rabu, 01 Maret 2017

Ibadah Kepada Allah

MANUSIA MAKHLUK YANG PALING SEMPURNA


Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah SWT sebagai makhluk paling sempurna di segenap ciptaannya. Manusia diciptakan dengan kedua tangan-Nya dan diajarkan kepada manusia nama-nama seluruhnya yang menjadikan manusia menjadi makhluk yang paling berpengetahuan. Allah berfirman: 
"Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Aku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?" (QS Albaqarah : 34)
Ayat di atas merupakan fragmen kisah penciptaan adam di surga. Allah SWT menciptakan adam dan mempertunjukkan kesempurnaan ciptaan-Nya itu di hadapan para malaikat muqarrabun. Tidak semua malaikat mampu hadir dalam peristiwa itu, hanya malaikat muqarrabun yang hadir dalam dalam peristiwa tersebut. Rabbul ‘alamin mempertunjukkan kelebihan adam yang diciptakan dengan kedua tangan-Nya yang tidak dimiliki oleh para malaikat,  yaitu Adam dapat menyebutkan nama-nama seluruhnya sedangkan malaikat mengetahui hanya apa yang diajarkan kepada mereka. Hal itu menunjukkan bahwa manusia adalah paling sempurna dari segenap ciptaan-Nya. Tidak ada ciptaan yang lebih sempurna daripada manusia.

Ternyata bukan hanya khalifatullah saja yang diciptakan-Nya dalam bentuk manusia. Rasulullah SAW diciptakan dari kalangan manusia. Khalifatullah merupakan makhluk paling sempurna di bumi, sedangkan rasulullah merupakan makhluk paling sempurna di seluruh alam semesta yang jauh lebih besar daripada bumi. Khalilullah dan sekian banyak  nabi-nabi diciptakan dari kalangan manusia. Betapa manusia yang diciptakan dari tanah ini mendapatkan perhatian begitu besar dari Allah SWT. Manusia adalah makhluk yang menjadi pusat perhatian Allah SWT, bukan malaikat, jin maupun ciptaan-Nya yang lain.

Tidak ada makhluk yang lebih diperhatikan Allah SWT daripada manusia. Manusia dijadikan penghulu-penghulu di alam-alam. Semua makhluk harus mengikuti manusia karena manusia yang paling mampu mengenal Allah SWT. Manusia diciptakan Allah SWT dengan kedua tangan-Nya yang membuat manusia mampu mengenal Allah SWT lebih daripada makhluk-makhluk yang lain. Hal ini tidak disadari oleh kebanyakan makhluk, termasuk iblis (yg dahulu) di alam yang tinggi  dan kebanyakan manusia di alam jasad. 

Manusia diciptakan dengan kedua tangan-Nya. Aspek fisik manusia  diciptakan dari tanah di bumi, sehingga bentuknya menyerupai makhluk di bumi. Banyak makhluk di bumi yang diciptakan mendekati keserupaan bentuk manusia. Tidak banyak perbedaan  badan manusia dengan makhluk-makhluk bumi itu. Hal itulah salah satu yang membuat makhluk-makhluk tinggi di surga bertanya-tanya tentang manusia.

Tetapi manusia tidak sepenuhnya  seperti makhluk bumi. Dengan keserupaan bentuk, perbedaan manusia dengan makhluk bumi yang lain sangat besar. Kecerdasan manusia tidak bisa ditandingi oleh makhluk yang lain. Ada tangan-Nya yang lain yang membuat manusia menjadi ciptaan-Nya yang paling diperhatikan oleh-Nya. Ada aspek kesempurnaan yang disembunyikan dalam jasad manusia.

Jasad manusia diciptakan dari tanah, dan Dia menciptakan pasangannya berupa jiwa (nafs) dari tangan-Nya yang lain.  Di dalam jasad manusia terdapat nafs yang membawa kecerdasan langit  hingga bisa mengenal Allah SWT melebihi para makhluk surga. Kecerdasan itu  ada dalam jiwa yang kemudian dibenamkan ke dalam jasad manusia, maka jasad manusia itu mendapatkan pancaran kecerdasan hingga manusia terlihat sebagai makhluk cerdas bumi sebagaiman terlihat di dunia saat ini. 

Ada potensi kecerdasan manusia yang jauh lebih besar daripada yang tampak saat ini bila manusia mau kembali kepada Allah SWT, bertaubat kepada Allah hingga menempati kedudukan yang mulia di hadapan-Nya. Manusia dapat berkembang dari makhluk jasadiah di bumi hingga mencapai ciptaan-Nya yang mulia dengan akhlakul karimah. Manusia dapat kembali kepada Allah SWT dengan mensucikan diri dan beramal shalih untuk memperbaiki keadaan diri. Jiwa yang terbenam di alam jasadiah harus bersuci agar bisa tumbuh akalnya dengan beramal shalih.
Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur (QS al Mu’minun : 78)
Allah SWT menciptakan jiwa manusia dengan akal jiwa selain akal jasadiahnya. Akal jiwa hanya dapat ditumbuhkan dengan menjalankan kehendak-kehendak Allah yang dihadirkan ke dalam kehidupan manusia dalam setiap momen kehidupannya. Setiap orang harus memilih perbuatan terbaik yang dapat  dilakukan setiap saat, karena dengan melakukan perbuatan terbaik itulah akal jiwanya bisa tumbuh untuk menghadap Allah SWT. Menentukan pilihan perbuatan terbaik itu hanya dapat dilakukan dengan jiwa yang suci sehingga pengaruh hawa nafsu dan syahwat tidak terlalu besar.

Selain diberikan indera dan akal, manusia diberi bekal dan sarana yang ada di luar dirinya. Allah SWT menghadirkan kalimat-kalimat-Nya di alam semesta dan alquran yang menjadi panduan untuk membaca ayat-Nya di alam semesta. Dengan bekal itu, manusia dapat berjalan menuju tuhan dengan memperkuat akalnya. Dengan semakin sempurna akalnya, akan semakin mulia akhlak dirinya dengan kemampuan membaca kehendak Allah.

Alquran dan petunjuk nabi merupakan cahaya yang diturunkan untuk menyinari akal untuk berjalan, sedangkan akal adalah instrument dalam diri untuk berjalan. Akal tidak dapat dikontradiksikan terhadap alquran, karena akal merupakan subordinat alquran. Pengetahuan akal yang berbeda dengan tuntunan alquran dan petunjuk nabi menunjukkan suatu ketidakpahaman akan ayat. Akal yang memahami adalah akal yang pengetahuannya selaras dengan alquran dan sesuai keadaan alam, karena keduanya adalah kalimat Allah yang tidak saling bertentangan. Orang yang memahami agama akan mengetahui kedudukan alquran di semesta dirinya, dan mengetahui bahwa itu adalah firman Allah bagi dirinya.
Sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim. (QS Al-‘ankabut : 49)

MANUSIA SEBAGAI HAMBA ALLAH


Manusia diciptakan semata-mata untuk beribadah kepada Allah. Yang dimaksud sebagai ibadah adalah penghambaan dengan melaksanakan urusan-urusan yang berikan Allah, yang telah ditetapkan sebelum manusia dilahirkan ke dunia.  Allah telah memberikan qadla bagi setiap manusia sebelum dilahirkan ke dunia, di antaranya berupa amal-amal yang harus dikerjakannya selama hidup di dunia.

Kebanyakan manusia terlupa akan perjanjian itu. Untuk mengerti ketetapan itu, seseorang harus berusaha  memahami amr yang setiap saat diturunkan Allah, dan memberikan dedikasi pada amr itu. Rasulullah SAW adalah makhluk yang paling faham dan berdedikasi pada amr Allah SWT.  Beliau adalah  hamba Allah yang paling sempurna memahami dan melaksanakan urusan-urusan  yang diberikan Allah di seluruh alam semesta.

Dalam sebuah perusahaan, pemilik perusahaan akan memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada orang yang paling memahami dan berdedikasi untuk menjalankan perusahaan itu sebagai pemimpin perusahaan. Selanjutnya pemimpin perusahaan akan mempercayakan urusan-urusan perusahaan kepada orang-orang yang mempunyai  pemahaman dan dedikasi sesuai dengan kemampuan masing-masing. Pemimpin perusahaan tidak akan memberikan tanggung jawab pada orang yang tidak mempunyai pemahaman dan dedikasi pada perusahaan.

Di alam semesta, rasulullah SAW adalah pemimpin yang ditentukan Allah SWT. Di bumi, kelak khalifatullah al-mahdi merupakan pemimpin yang menjalankan urusan rasulullah SAW di lingkup bumi. Beliau adalah orang yang menyempurnakan akhlak dirinya hingga akalnya bisa memahami semua urusan yang diturunkan Allah SWT di muka bumi. Khalifatullah merupakan orang yang memiliki pemahaman terhadap kehidupan di bumi dan memiliki dedikasi penuh untuk urusan rasulullah. Jabatan khalifatullah adalah bentuk ibadah yang sebenarnya bagi beliau, dengan kata lain bentuk ibadah yang telah ditetapkan bagi beliau adalah menjalankan fungsi khalifatullah di muka bumi.

SYARIAT UNTUK IBADAH


Untuk mencapai bentuk ibadah masing-masing manusia, Allah SWT membentangkan jalan syariat agar manusia  mampu menempuh perjalanan taubat. Manusia dapat menemukan bekal  bagi jiwanya dalam perjalanannya dan kehidupannya yang abadi  dalam syariat-syariat yang diberikan kepada nabi-nabi. Syariat itu merupakan  sarana untuk memperoleh makanan dan minuman bagi jiwa, Jiwa tidak dapat bangun bila tidak mendapatkan bekal berupa syariat yang harus dilakukan, dan manusia akan menjadi makhluk yang tidak lengkap karena jiwanya tertidur.

Syariat merupakan bagian dari agama. Tanpa syariat tidak akan dapat tegak agama seseorang.  Akan tetapi syariat tidak mewakili  keseluruhan agama yang  diajarkan rasulullah SAW dan nabi-nabi. Agama adalah menjalankan fitrah diri dan amal-amal yang telah ditentukan bagi setiap manusia sebelum dilahirkan ke dunia. Agama itulah bentuk ibadah yang sesungguhnya bagi manusia, sedangkan syariat merupakan sarana untuk menunjang kehidupan jiwa. Tanpa menjalankan syariat, jiwa manusia tidak akan mendapatkan penopang kehidupannya, sebagaimana badan tidak mendapatkan makanan dan minuman. 

Sebagian kaum berlebih-lebihan dalam memperlakukan syariat sebagai suatu hal yang mewakili keseluruhan agama dan ibadah manusia. Mereka beranggapan bahwa agama akan tegak bila umat islam melakukan pemurnian syariat islam dan melakukan pembentukan manusia berdasarkan syariat yang telah dimurnikan. Hal itu merupakan hal yang berlebihan, karena syariat merupakan sebuah sarana yang diberikan bagi kehidupan jiwa manusia untuk menempuh perjalanan menuju Allah SWT. Allah SWT sama sekali tidak membutuhkan pelaksanaan syariat dari manusia, tetapi makhluk-lah yang membutuhkan syariat bagi dirinya sendiri.

Nabi Muhammad SAW diutus ke dunia  untuk menyempurnakan kesempurnaan akhlak. Beliau diutus dengan  membawa agama yang sempurna, dengan kitab suci yang terjaga kemurniannya langsung  oleh Allah SWT. Tidak terdapat keraguan bahwa agama ini tidak akan terhapus dari dunia kecuali dunia akan lenyap. Nabi SAW membimbing seluruh manusia agar mencapai kesempurnaan akhlak yang mulia dengan sunnah-sunnahnya. Sunnah itu harus ditempuh setiap manusia dengan menyempurnakan akalnya. Penyempurnaan akal dilakukan dengan melaksanakan amal shalih, sedangkan jiwa akan hidup dengan melaksanakan syariat agar jiwanya kuat. 

Urusan pemurnian syariat islam itu bukanlah sebuah urusan yang terdapat dalam ajaran nabi Muhammad SAW. Allah SWT lebih memperhatikan makhluknya yang berupa manusia daripada syariat yang diberikannya sebagai hadiah bagi manusia. Allah tidak membutuhkan syariat, tetapi manusia-lah yang membutuhkan syariat untuk kembali kepada Allah. Manusia harus menjalankan syariat untuk kembali kepada Allah.
Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim)(QS Al-an’aam : 52)

Ayat itu adalah perintah kepada Rasulullah SAW, bukan kepada orang sembarangan. Allah tidak memberikan hak kepada rasulullah SAW untuk mengusir orang-orang yang datang ke masjid kemudian menyeru Allah mengharapkan wajah-Nya. Tentu apabila urusan pemurnian syariat itu ada, maka rasulullah SAW yang paling berhak untuk memurnikannya.

Syariat merupakan pemberian Allah kepada manusia dan Dia lah yang akan menerima amal syariat itu dari hambanya. Manusia tidak perlu membuat kriteria-kriteria diterimanya syariat karena Allah lah yang berhak menerima atau menolak amal syariat itu, kecuali Allah memberikan perintah untuk membuat kriteria. Manusia hanya  perlu menjalankan syariat yang dihadiahkan oleh-Nya bagi manusia, tidak perlu membuat aturan-aturan tentang syariat-Nya. Allah SWT telah memberikan syariat itu kepada nabi-nabi dan orang-orang yang dipilih-Nya dengan sempurna, tanpa perlu penambahan peraturan-peraturan dan kriteria-kriteria baru.