Pencarian

Kamis, 24 Oktober 2019

Penyatuan yang Terserak


Pernikahan adalah awal dan proses pengumpulan apa yang terserak bagi manusia, berupa penyatuan jiwa, pengumpulan rezeki, pengetahuan dan banyak hal lain yang diperuntukkan bagi setiap manusia. Semua proses pengumpulan yang terserak bagi setiap individu itu dimulai dan dilakukan dengan pernikahan. 

Hal pertama yang harus dikumpulkan dalam pernikahan adalah terkumpulnya jiwa. Keberpasangan manusia itu ada dalam tingkatan jiwa. Seorang laki-laki harus berkumpul jiwanya dengan jiwa wanita yang menjadi istrinya. Seorang wanita adalah belahan jiwa seorang laki-laki. Ketika belum terjadi pernikahan, maka setiap pihak hanyalah sebuah bagian dari jiwa yang utuh. 

Pengumpulan jiwa dalam pernikahan itu akan membuka banyak hal bagi setiap individu yang terlibat dalam pernikahan. Hal pertama yang terbuka bagi setiap pihak adalah rasa mawadah dan rahmah. Rasa mawadah dan rahmah itu akan menjadi bekal yang luar biasa dalam mengarungi kehidupan untuk mengumpulkan hal-hal lain yang masih terserak di alam semesta yang diperuntukkan bagi mereka. Mawadah dan rahmah itu bakal menjadi bahan bakar dan katalisator dalam kehidupan mereka, dan dunia mereka akan ditundukkan kepada mereka. 

Kendala Penyatuan 


Tetapi tidak setiap pernikahan berhasil mempersatukan jiwa-jiwa yang terlibat dalam pernikahan. Kadangkala pernikahan hanya mempersatukan jasad dua insan dalam satu rumah tangga, tetapi jiwa mereka masih terpisah. Bila salah seorang dalam pernikahan atau keduanya tidak mau menerima pernikahan mereka, maka jiwa kedua orang itu masih akan merasa sebagai single. Tidak muncul sifat mawadah dan rahmah dalam pernikahan semacam itu, tetapi mereka terikat secara syariat. Jiwa wanita yang telah menikah tidak bisa menikah dengan orang lain walaupun mendambakannya, atau dirinya didambakan pria lain. Hal itu akan berlaku hingga terjadi perceraian. Penyatuan jiwa terhadap wanita bersuami merupakan tindakan melampaui batas yang bisa dilakukan terhadap wanita yang tidak mensyukuri pernikahannya. 

Dalam hal pernikahan cinta sepihak, maka yang mendapatkan manfaat pernikahan adalah pihak yang mencintai. Pihak yang tidak mencintai tidak akan mengerti arti pasangannya bagi dirinya, dan yang mencintai akan mengerti. Jalan untuk mencapai agama akan terbuka bagi pihak yang mencintai, sedangkan pihak yang tidak mencintai akan terpuruk dalam berbagai masalah sebagai manifestasi dari masalah yang ada dalam dirinya. Tentu kehidupan mereka berdua akan terpengaruh, tetapi yang paling merasakan bebannya adalah yang tidak mencintai. Seorang laki-laki yang mencintai istrinya akan memperoleh jalan mengenal dirinya melalui pernikahannya, begitu juga seorang wanita yang mencintai suaminya akan mudah untuk menemukan sifat wanita ahli surga berupa sifat alwaduud, alwaluud dan keinginan kembali kepada suaminya. 

Penyatuan jiwa akan dapat dilakukan bila masing-masing pihak mempunyai iktikad yang sama, dan bisa saling menerima. Keadaan jiwa yang sama dan tujuan bersama akan menyatukan kehidupan jiwa mereka. Seorang laki-laki harus mengenal Tuhannya. Jalan untuk mengenal Tuhannya adalah dengan mengenal dirinya. Pengenalan kepada tuhan akan menampakkan hal-hal terserak yang diperuntukkan bagi mereka. Istri berusaha untuk menerima dan mendukung pencarian suaminya dalam ketakwaan. Ini adalah perjuangan besar bagi seorang wanita, karena hawa nafsu wanita mendesak untuk ingin dimengerti, tapi justru dirinya yang diperintahkan untuk mengerti. 

Kadangkala pernikahan di tingkat jiwa itu mudah terjadi. Bila seorang laki-laki dan wanita telah saling mengenal dan saling mencintai di jalan Allah, sangat mungkin terjadi pernikahan di taraf jiwa. Mereka menjadi dua insan yang jiwanya menyatu, satu pihak merasakan apa yang dirasakan pihak lainnya. Itu merupakan gambaran ideal wanita sebagai belahan jiwa laki-laki, gambaran turunan tentang wali Allah yang diberikan bagian dari pendengaran dan penglihatan Allah. Dan penyatuan jiwa itulah yang seharusnya dicapai dalam pernikahan. 

Tetapi pernikahan hanya di tingkatan jiwa seperti itu tidak menghalalkan batas-batas syariat dzahir. Akad dan pernikahan harus terjadi di tingkat dzahir agar terjadi pernikahan yang sebenarnya. Apa yang telah terkumpul dalam jiwa oleh pernikahan seperti itu mudah terurai kembali, harus diuji dalam kehidupan jasadiah, maka pernikahan di tingkat jasadiah akan meneguhkan pernikahan di tingkat jiwa. Pernikahan di tingkat jasadiah akan meresapkan penyatuan jiwa itu ke tataran jasadiah. Kehidupan pernikahan jasadiah yang menindaklanjuti pernikahan jiwa semacam itu belum tentu akan berjalan semudah pernikahan di tingkatan jiwa saja, dan bisa jadi akan tercerai ketika pasangan jiwa wanita itu mengenal diri dan menjalankan amal shalihnya. Pernikahan jiwa tidak selalu menunjukkan keberpasangan sejati. Penyatuan jiwa semacam itu adalah hal yang sangat mungkin, dan seharusnya dicapai dalam pernikahan. 

Kadangkala penyatuan jiwa itu sulit terjadi walaupun pernikahan telah dilaksanakan. Bila suami isteri keduanya berjalan menuju Tuhan, secara alami akan tumbuh penyatuan di antara keduanya. Namun beberapa faktor eksternal mungkin menghambat penyatuan jiwa. Banyak hal yang membuat jiwa sulit menyatu. Faktor yang paling berat menghambat adalah pengkhianatan, baik pengkhianatan masing-masing individu ataupun adanya pihak luar yang menyeret terjadinya pengkhianatan dalam rumah tangga. Setiap orang harus menjaga hatinya bagi pasangannya. Banyak hal yang akan menahan seseorang untuk menyatukan jiwa, dari pengetahuan dan waham hingga konflik kecil dengan pasangannya. 

Penyatuan yang Terserak dan Tauhid: Mitsaqan Ghalidza 


Penyatuan jiwa itu merupakan bentuk turunan dari jalan tauhid. Allah berkehendak untuk dikenal sebagai Ar-rahman Ar-rahiim, yang bisa dikenal oleh orang-orang yang bersifat rahmaniah dan rahimiah. Maka diberikan jalan berupa pernikahan untuk mengenal rahmaniah dan rahimiah itu. Masalah akan datang dan pergi menguji pernikahan sepasang insan untuk menunjukkan permasalahan yang harus diselesaikan dalam diri seseorang untuk mengenal rahmaniah dan rahimiah Tuhannya. Hambatan penyatuan itu untuk memperkenalkan kelemahan dalam diri. Kelemahan yang tidak teratasi akan mendatangkan masalah yang setara berulang ulang. 

Seseorang bisa mencari pengenalan pada Tuhannya melalui pernikahannya karena pernikahan itu merupakan setengah dari agama. Pernikahan adalah perjanjian yang sangat kuat yang disebut sebagai mitsaqan ghalidza, sebagaimana sebutan perjanjian Allah dengan para rasul. Setiap orang harus mengasah diri dalam pernikahan untuk menjadikan diri sebagaimana yang dikehendaki Allah. 

Jalan paling cepat untuk mengenal diri adalah berjihad bersama Rasulullah SAW. Beliau adalah makhluk yang paling mengenal Allah. Dengan berusaha mengenal Rasulullah SAW dan urusan beliau untuk ruang dan zamannya, seorang laki-laki akan mendapatkan kilasan-kilasan informasi dirinya. Istrinya menjadi cermin yang sangat baik bagi pencarian identitas dirinya. Bilamana Allah menghendaki pada waktunya, kilasan-kilasan informasi dirinya yang diperoleh hanya sebagian dan terserak akan tiba-tiba saling terhubung, meluas dan menyatu sehingga dirinya melihat kedudukannya dalam perjuangan Rasulullah SAW. 


وَإِذۡ أَخَذَ ٱللَّهُ مِيثَٰقَ ٱلنَّبِيِّ‍ۧنَ لَمَآ ءَاتَيۡتُكُم مِّن كِتَٰبٖ وَحِكۡمَةٖ ثُمَّ جَآءَكُمۡ رَسُولٞ مُّصَدِّقٞ لِّمَا مَعَكُمۡ لَتُؤۡمِنُنَّ بِهِۦ وَلَتَنصُرُنَّهُۥۚ قَالَ ءَأَقۡرَرۡتُمۡ وَأَخَذۡتُمۡ عَلَىٰ ذَٰلِكُمۡ إِصۡرِيۖ قَالُوٓاْ أَقۡرَرۡنَاۚ قَالَ فَٱشۡهَدُواْ وَأَنَا۠ مَعَكُم مِّنَ ٱلشَّٰهِدِينَ 

QS 'Āli `Imrān:81 - Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian (mitsaqan) dari para nabi: "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya". Allah berfirman: "Apakah kamu ber-ikrar dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?" Mereka menjawab: "Kami ber-ikrar". Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah dan Aku menjadi saksi bersama kamu". 

Ayat tersebut menjelaskan perjanjian antara Allah dengan para nabi, yang disebut sebagai mitsaqan ghalidza, yaitu perjanjian untuk beriman dan menolong Rasulullah SAW. Pernikahan merupakan mitsaqan ghalidza dalam bentuk yang lain. Seorang laki-laki akan mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya dengan pernikahan, maka dirinya bisa menolong Rasulullah Saw dengan pengetahuan rahmaniah dan rahimiah yang benar. Seorang wanita akan memiliki sifat-sifat wanita ahli surga untuk menolong Rasulullah Saw dengan membantu suaminya berdasarkan rahmaniah dan rahimiah. Kedua perjanjian itu pada dasarnya adalah untuk memperkenalkan makhluk pada nama Ar-rahman Ar-rahiim. Ketika ikrar seorang hamba diterima, Allah akan membukakan pengetahuan tentang jati dirinya, mempersatukan dan meluaskan kepingan-kepingan pengetahuan identitas dirinya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar