Pencarian

Minggu, 30 Juli 2023

Shirat Al-Mustaqim dan Syukur

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan. Jalan untuk didekatkan kepada Allah tersebut dikenal sebagai shirat al-mustaqim.

Jalan itu adalah jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang bersyukur terhadap nikmat Allah. Mereka telah memperoleh nikmat Allah, dan mereka bersyukur terhadap nikmat yang telah diberikan-Nya. Nikmat Allah dalam kehidupan di dunia adalah bentuk-bentuk kehidupan yang telah ditetapkan Allah bagi setiap orang sejak sebelum penciptaan mereka di dunia. Orang yang memperoleh nikmat Allah adalah orang-orang yang mengenali bentuk kehidupan yang ditentukan Allah bagi diri mereka. Hal itu merupakan karunia Allah, sedangkan seseorang hanya dapat berharap untuk memperolehnya.

Di antara manusia, ada orang-orang yang berkeinginan untuk hidup sesuai kehendak Allah dan kemudian mereka mengetahui kehendak Allah, maka mereka itulah orang yang memperoleh nikmat. Sebagian manusia hidup di dunia dengan sepenuhnya mengikuti keinginan jasmaniah dan hawa nafsu mereka, maka mereka tidak mengetahui keberadaan jalan kehidupan yang telah ditentukan bagi mereka, mengira kehidupan hanyalah apa yang mereka inginkan. Sebagian besar manusia berkeinginan hidup mengikuti kehendak Allah akan tetapi tidak bersungguh-sungguh dengan keinginan tersebut. Allah tidak akan mendzalimi manusia sedikitpun. Orang yang bersungguh-sungguh berharap akan ditunjukkan kepada nikmat itu. Dengan harapan dan usaha, sedikit demi sedikit, seseorang akan menapak mendekat kembali kepada ketentuan itu hingga kemudian ia melihat jalan yang telah ditentukan bagi dirinya berupa shirat al-mustaqim.

Syukur dan Nikmat Allah

Bersyukur menjadi dasar agar seseorang bisa memperoleh nikmat Allah. Bila seseorang mengeluhkan kehidupan dirinya, hal itu akan melepaskannya dari petunjuk Allah hingga kehidupannya tidak akan mengarah pada shirat al-mustaqim. Kendali Allah bagi dirinya barangkali akan dilepaskan hingga ia bebas memilih bentuk kehidupan yang diinginkan hawa nafsunya, dan kemudian ia akan menemukan adzab yang pedih.

﴾۷﴿وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS Ibrahim :7)

Orang-orang yang beriman akan berurusan dengan bentuk kehidupan yang diinginkannya dan bentuk kehidupan yang diberikan Allah, maka hendaknya ia mengutamakan bentuk kehidupan yang dikehendaki Allah dan mengarahkan keinginannya agar selaras dengan kehendak Allah. Setidaknya, ia harus bisa menerima dengan ridha bentuk kehidupan yang diberikan manakala ia belum memperoleh pengetahuan tentang kehendak Allah. Mengeluh adalah bentuk kekufuran seseorang terhadap nikmat Allah. Manakala seseorang bersikap tidak ridha dengan bentuk kehidupan yang diberikan, maka ia bersikap kufur terhadap nikmat Allah. Hal demikian menunjukkan bahwa seseorang memiliki bagian sifat dari mempertuhankan diri berupa hawa nafsunya. Bila seseorang ikhlas dalam beribadah kepada Allah, tidak akan muncul penolakan terhadap bentuk kehidupan yang diberikan Allah.

Dalam perjalanan yang benar, seseorang akan menguat akalnya untuk memahami kehendak Allah. Mereka barangkali akan berurusan dengan petunjuk yang diturunkan dalam hati mereka. Bagi orang-orang yang menerima petunjuk, bentuk kekufuran terhadap nikmat Allah mempunyai cakupan lebih luas daripada orang-orang biasa. Beberapa petunjuk yang diberikan kepada seseorang merupakan penjelasan kehendak Allah yang ditentukan bagi dirinya, sebagaimana nabi Ibrahim a.s memperoleh petunjuk. Orang yang menerima petunjuk dan tidak ridha dengan kandungan dalam petunjuk itu bisa terjerumus pada sikap kufur terhadap nikmat Allah.

Setiap orang beriman hendaknya berusaha membentuk sikap bersyukur kepada nikmat Allah. Syukur terhadap nikmat Allah akan mendatangkan tambahan yang sangat banyak, sedangkan sikap kufur akan mendatangkan adzab Allah yang sangat pedih. Ketentuan ini telah dipermaklumkan Allah kepada seluruh semesta, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". Ini adalah ketentuan yang harus diketahui oleh orang-orang yang berharap didekatkan kepada Allah.

Rasa syukur yang tumbuh dalam hati manusia dapat dilihat dari sifat kesuburan dan penuh kasih sayang sebagaimana kesuburan dan penuh kasih sayang dalam diri seorang perempuan terhadap suaminya. Pada diri seorang perempuan, sifat kesuburan nafs dan penuh kasih sayang nafs dalam pernikahan merupakan parameter pertumbuhan rasa kebersyukuran dirinya. Nafs mereka dapat menerima dan menumbuhkan benih yang diberikan suaminya hingga terwujud anak-anak berupa karya duniawi mereka. Bila tidak bersyukur, sifat ini sulit untuk tumbuh pada perempuan. Sifat bersyukur bagi orang-orang beriman harus ditumbuhkan dalam gambaran yang demikian.

Pernikahan merupakan wadah terbaik bagi pertumbuhan rasa bersyukur. Dengan menikah, seorang laki-laki dan perempuan saling menambatkan garis kehidupan mereka untuk mendapatkan nikmat Allah bersama-sama, dan mereka dapat bersyukur bersama-sama. Pada dasarnya kesuburan dan kasih sayang juga tumbuh pada laki-laki sebagaimana kesuburan dan kasih sayang seorang isteri kepada suaminya, tetapi bentuk-bentuk itu terwujud dalam hubungan lebih tinggi berupa hubungan dengan nafs wahidah mereka. Seorang laki-laki yang subur dan penuh kasih sayang akan memahami dan berusaha keras dengan dedikasi melahirkan kehendak Allah berupa amanat Allah yang ada pada nafs mereka, maka mawaddah itu diwujukan bagi semesta mereka. Bila menikah dan kedua pihak bersyukur, kehendak Allah itu akan terlahir dalam wujudnya di alam dunia.

Dari Abu Hurairah r.a berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِيْ, وَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ تَزَوَّجُوْا الْوَلُوْدَ الْوَدُوْدَ فَإنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
Nikah adalah sunnahku dan barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku maka bukan termasuk golonganku. Nikahilah wanita yang banyak anak (subur) dan penuh kasih sayang. Karena aku bangga dengan jumlah kalian yang banyak pada hari kiamat. [HR. Nasa’i]

Rasa bersyukur itu harus terbentuk dalam hubungan vertikal yang benar. Para perempuan harus membina kesuburan dan kasih sayang kepada suaminya, dan para laki-laki membinanya terhadap amr Allah. Bila seorang isteri membina kesuburan kepada laki-laki selain suaminya, ia berkhianat kepada suaminya dan kesuburan dan kasih sayangnya terhadap suaminya akan rusak. Demikian pula bila laki-laki tidak berhati-hati terhadap amr syaitan maka mereka akan menyimpang dari jalan yang lurus. Syaitan sangat menyukai penyimpangan yang dilakukan oleh manusia.

Kesuburan seseorang akan tumbuh selaras dengan rasa bersyukur yang tumbuh pada dirinya. Seseorang yang bersyukur akan mendatangkan banyak nikmat Allah bagi dirinya, dan sebaliknya kufur terhadap nikmat Allah akan menghapus nikmat Allah bagi mereka. Bila suatu pasangan menikah bersyukur bersama, mereka akan menemukan nikmat berupa jalan hidup yang terhubung antara duniawi dan ukhrawi mereka. Bila salah satu tidak bersyukur, maka akan tampak ketimpangan antara nikmat duniawi dan nikmat ukhrawi mereka. Hal demikian berlaku pula apabila seseorang keliru dalam membina rasa bersyukur.

Mawaddah yang Bathil

Rasa bersyukur akan tampak dalam parameter kesuburan dan penuh kasih sayang. Sebagian manusia keliru dalam membangun rasa mawaddah mereka, dan berimplikasi pada kesuburan mereka. Ini merupakan jalan yang keliru, dan kelak di akhirat rasa mawaddah itu akan hilang dan berganti dengan pengingkaran oleh satu terhadap yang lain, dan sebagian akan melaknat yang lain. Bila seorang isteri membina mawaddah dan kesuburan terhadap laki-laki selain suaminya, maka itu merupakan mawaddah yang keliru. Demikian pula bila kaum laki-laki membina rasa mawaddah dengan membuat pemujaan-pemujaan kepada selain Allah, mereka membangun mawaddah yang keliru.

﴾۵۲﴿وَقَالَ إِنَّمَا اتَّخَذْتُم مِّن دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا مَّوَدَّةَ بَيْنِكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُ بَعْضُكُم بِبَعْضٍ وَيَلْعَنُ بَعْضُكُم بَعْضًا وَمَأْوَاكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُم مِّن نَّاصِرِينَ
Dan (Ibrahim) berkata: "Sesungguhnya kalian membuat pemujaan-pemujaan selain Allah adalah untuk menimbulkan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini kemudian di hari kiamat sebahagian kamu mengingkari sebahagian (yang lain) dan sebahagian kamu melaknati sebahagian (yang lain); dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolongpun. (QS An-Nahl : 25)

Rasa mawaddah harus dibina terhubung dengan kehendak Allah. Rasa mawaddah di antara umat manusia tidak boleh terbentuk di atas asas pemujaan-pemujaan terhadap selain Allah, harus terbentuk dalam ubudiyah kepada Allah. Wujud mawaddah seorang laki-laki bagi kaumnya berbentuk upaya mendzikirkan dan meninggikan asma Allah bagi kaumnya tersebut. Berhasil atau gagal, upaya yang dilakukan dalam tujuan tersebut merupakan bentuk mawaddah seorang laki-laki terhadap amr Allah. Rasa mawaddah yang terbentuk karena pemujaan-pemujaan terhadap selain Allah hanya akan menjadi mawaddah di dunia ini saja, sedangkan di akhirat kelak mereka akan saling mengingkari dan saling melaknat.

Mawaddah pada perempuan terbentuk layaknya pemujaan terhadap laki-laki, akan tetapi laki-laki tersebut sebenarnya hanyalah perantara. Landasan rasa kasih pada perempuan harus dibentuk di atas landasan yang tepat dengan tujuan ibadah kepada Allah, tidak boleh hanya mengikuti hawa nafsu. Mawaddah demikian harus terbina dalam suatu ikatan pernikahan karena pernikahan itu yang dapat menumbuhkan rasa mawaddah yang haq hingga dapat membentuk bayt untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah. Mawaddah demikian merupakan bentuk bayangan pemujaan meninggikan asma Allah di alam jasmani, yang dapat menggelincirkan perempuan dengan mudah bila tidak disikapi dan diberi wadah yang benar. Tanpa wadah yang benar, umat manusia dapat celaka karena mawaddah yang tumbuh.

Mawaddah dalam rumah tangga tidak boleh dirusak sedikitpun karena itu merupakan parameter rasa syukur yang haq bagi para perempuan, dan merupakan bekal terbaik bagi para laki-laki untuk membina mawaddah di antara kaumnya. Suami dan isteri harus berusaha membina mawaddah di antara mereka bersama-sama. Seorang suami harus mengarahkan rumah tangganya untuk meninggikan asma Allah dan isteri mengikutinya. Bila suami tidak bisa menemukan arah, pasangan itu tidak akan bisa membentuk bayt untuk meninggikan asma Allah. Bila isteri menganggap remeh suaminya, atau meragukan kebenaran hakikat yang diperoleh suaminya, tidak akan terbentuk mawaddah di antara mereka dan tidak pula terbentuk bayt untuk meninggikan asma Allah.

Banyak pemujaan dilakukan di antara manusia. Dahulu umat manusia membuat pemujaan berupa patung-patung yang disembah. Dewasa ini banyak bentuk-bentuk pemujaan lain dilakukan untuk membentuk persaudaraan. Suatu klub olah raga dan banyak hal lain dapat menjadi sarana pemujaan yang menimbulkan persaudaraan di antara para pemuja mereka, dan hal itu bisa berubah kelak di akhirat hingga bisa saja mereka akan saling mengingkari dan melaknat satu dengan yang lain. Bentuk pemujaan demikian dapat terjadi hingga personal seperti para artis yang dijadikan pujaan manusia. Ada orang yang menjadikan diri pusat pemujaan bersekutu dengan syaitan, atau seorang laki-laki menjadikan dirinya pujaan di antara para perempuan secara bathil. Sekalipun dalam rumah tangga, seorang laki-laki yang menjadikan dirinya pujaan isteri-isterinya tanpa mengingat Allah merupakan pemujaan yang bathil.

Seorang perempuan karena agamanya dapat memuja seorang laki-laki yang tepat  hingga terbentuk mawaddah di antara mereka. Dalam perkara demikian laki-laki berposisi pasif, karena pujaan laki-laki yang benar adalah pujaan kepada Allah. Bila terjadi demikian, hendaknya mereka mengikatkan diri dalam suatu pernikahan agar rasa mawaddah mereka terhubung pada kehendak Allah. Hal ini tidak berlaku atas perempuan bersuami, di mana ia harus menjalin mawaddah hanya dengan suaminya. Bila suatu mawaddah di antara laki-laki dan perempuan tidak terwujud dalam pernikahan, akan banyak fitnah terjadi di antara masyarakat mereka. Itu adalah prinsip dasar pembentukan mawaddah. Dalam prakteknya, kasus demikian tidak terjadi secara hitam putih karena kebenaran dan kebatilan dalam kehidupan manusia bercampur baur hingga mempengaruhi warna-warna terbentuknya keberpasangan.

Rasa syukur sangat terkait dengan kesuburan dan rasa mawaddah, yaitu kesuburan dan rasa mawaddah yang haq. Bila kesuburan dan mawaddah yang terbentuk baik pada laki-laki maupun perempuan merupakan yang bathil, hal itu bukan rasa bersyukur, tetapi lebih merupakan rayuan syaitan yang berusaha menyimpangkan manusia dari nikmat Allah. Rasa mawaddah yang haq akan ditandai dengan pengenalan terhadap imam yang menjadi washilah amr dirinya kepada Rasulullah SAW. Bila seseorang menjadikan dirinya pujaan manusia, atau fanatik mengikuti pujaannya tanpa mempunyai landasan pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, maka ia akan mudah terlena oleh rayuan syaitan. Hanya kesuburan dan mawaddah yang haq yang merupakan parameter rasa bersyukur, dan rasa syukur itu akan mengantarkan seseorang memperoleh shirat al-mustaqim.


Selasa, 25 Juli 2023

Menemukan Petunjuk yang Haq

 Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Akhlak al-karimah akan diperoleh seseorang apabila ia membentuk akhlak al-quran dalam dirinya. Ia dapat mensikapi seluruh peristiwa yang terjadi di alam kauniyah sejalan dengan kitabullah Alquran.

Ada orang-orang yang mengikuti syaitan baik dengan keinginan sendiri ataupun tertipu.Tipu daya syaitan tidak hanya terjadi terhadap orang-orang munafik. Setiap manusia akan ditipu oleh syaitan. Orang-orang yang telah memperoleh petunjuk tidak terlepas dari sasaran usaha syaitan untuk menipu. Sebagian tidak tertipu, dan sebagian tertipu dengan kebodohan. Dalam beberapa kasus, kebodohan demikian itu bercampur dengan kebenaran untuk menyesatkan manusia karena tipu daya syaitan.

﴾۱۷﴿قُلْ أَنَدْعُو مِن دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنفَعُنَا وَلَا يَضُرُّنَا وَنُرَدُّ عَلَىٰ أَعْقَابِنَا بَعْدَ إِذْ هَدَانَا اللَّهُ كَالَّذِي اسْتَهْوَتْهُ الشَّيَاطِينُ فِي الْأَرْضِ حَيْرَانَ لَهُ أَصْحَابٌ يَدْعُونَهُ إِلَى الْهُدَى ائْتِنَا قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ وَأُمِرْنَا لِنُسْلِمَ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
Katakanlah: "Apakah kita akan menyeru selain daripada Allah sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemanfaatan kepada kita dan tidak (pula) mendatangkan kemudharatan kepada kita dan (apakah) kita kembali ke belakang sesudah Allah memberi petunjuk kepada kita, seperti orang yang telah disesatkan oleh syaitan di bumi kehilangan arah, dia mempunyai kawan-kawan yang memanggilnya kepada petunjuk (dengan mengatakan): "Marilah ikuti kami". Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk; dan kita diperintahkan agar berserah diri kepada Tuhan semesta alam, (QS Al-An’aam : 71)

Tanda orang yang terkena hembusan syaitan di antaranya adalah kehilangan arah dalam kehidupannya. Di antara mereka adalah orang-orang yang hanya mengikuti orang lain yang menyeru untuk mengikuti petunjuk, tanpa menyadari boleh jadi hal itu bukan atau belum benar-benar petunjuk. Mereka mempunyai sahabat-sahabat yang menyerunya untuk mengikuti petunjuk, dan ia mengikuti seruan itu tanpa berusaha menemukan pemahaman yang menghubungkan petunjuk itu dengan kitabullah dan sunnah. Petunjuk yang mereka ikuti boleh jadi tidak selalu salah, tetapi mereka tidak berusaha menemukan landasan dari kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, sedangkan mereka terlalu mengikuti itu hingga terlupa untuk mengikuti kitabullah dan sunnah.

Setiap orang beriman harus berusaha mengetahui makna kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW bagi kehidupan mereka. Setiap orang harus menemukan ayat kitabullah yang menjadi pokok perjuangannya, yaitu ayat yang tergelar pada semesta mereka dan sesuai dengan hasrat hatinya. Sahabat bisa membantu memperkenalkan kandungan kitabullah Alquran, maka kandungan kitabullah itulah yang menjadi penerang bagi mereka. Mengikuti petunjuk sahabat tanpa mengetahui kandungan kitabullah Alquran seringkali hanya merupakan seruan kosong tanpa makna bagi jiwa mereka. Petunjuk tanpa pemahaman terhadap kitabullah itu suatu saat akan menjadi bahan kebingungan bagi mereka terutama manakala sahabat tersebut berbuat salah. Bila seseorang berpegang pada kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, maka ia dapat tetap berpegang pada petunjuk Allah, dan manakala sahabatnya berbuat salah, hingga ia tidak mengalami kebingungan dalam menempuh kehidupan menuju Allah.

Durhaka dan Adzabnya

Orang yang kehilangan arah boleh jadi akan berjalan menuju ke neraka. Orang yang kehilangan arah dalam perjalanan mereka di bumi akan mudah terjatuh mengikuti syaitan, karena sebenarnya syaitan telah berhasil menghembuskan tabir pada mereka. Bila mereka tidak kembali kepada petunjuk Allah yang sebenarnya dan terus hanya mengikuti sahabatnya, mereka akan terseret ke neraka walaupun shabat itu panutan mereka dan para pembesar di antara mereka. Apabila mereka terjerumus ke dalam neraka, mereka akan termasuk dalam golongan orang-orang yang dibolak-balikkan wajah mereka di neraka, dan mereka akan mengatakan : "Alangkah baiknya, andaikata kami dahulu taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul". keadaan itu terjadi karena pada dasarnya mereka mempunyai bagian wajah menghadap ke surga tetapi bersikap mengikuti orang lain meninggalkan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW hingga tersesat ke neraka.

﴾۶۶﴿يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا
﴾۷۶﴿وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا
(66) Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul". (67) Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati panutan-panutan kami dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan. (QS Al-Ahzaab : 66-67)

Kekufuran tidak terbatas pada pendustaan kepada Rasulullah SAW. Kekufuran mencakup orang-orang yang tidak memenuhi ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada rasulnya, sedangkan mereka lebih memilih untuk taat kepada para panutan dan para pemimpin di antara mereka dengan meninggalkan ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasulullah SAW. Manakala seseorang meninggalkan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya untuk mengikuti para panutan dan pemimpin mereka, maka mereka termasuk dalam golongan orang-orang kafir.

Mereka akan menyesali bagian ketaatan kepada Allah dan kepada Rasulullah SAW yang telah mereka tinggalkan dahulu untuk mengikuti panutan dan para pembesar di antara mereka. Mereka barangkali mengakui kebenaran ayat kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tetapi tidak mengikuti karena mengikuti panutan mereka untuk meninggalkannya. Hal itu akan menjerumuskan mereka ke neraka, dan mereka akan benar-benar merasa celaka telah meninggalkan keduanya. Wajah mereka akan dibolak-balikkan di neraka menyesali apa yang telah mereka tinggalkan karena mengikuti petunjuk yang tidak mempunyai dasar yang kokoh.

Balasan bagi orang yang meninggalkan ketaatan kepada Allah dan kepada Rasulullah SAW demikian adalah adzab di neraka. Seringkali petunjuk merupakan pilihan antara mengikuti kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW atau mengikuti syaitan. Ada berbagai jenis petunjuk. Banyak petunjuk merupakan pemantik atau pemicu agar seseorang memahami kehendak Allah, beberapa petunjuk merupakan hamburan keinginan jasmaniah dan hawa nafsu, dan beberapa petunjuk merupakan pilihan yang disodorkan kepada seseorang untuk menguji pilihan mentaati Allah dan mentaati Rasulullah SAW atau ia lebih mengikuti syaitan. Petunjuk yang menjadikan seseorang meninggalkan ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasulullah SAW merupakan petunjuk untuk mengikuti syaitan, karenanya balasannya adalah adzab neraka.

Petunjuk demikian mendatangkan bahaya yang sangat besar bagi umat manusia. Tidak ada alasan sedikitpun bagi manusia untuk meninggalkan ketaatan kepada Allah dan kepada Rasulullah SAW untuk mengikuti petunjuk lain. Tidak boleh seseorang memilih mentaati seseorang yang meninggalkan ketaatan kepada Allah dan kepada Rasulullah SAW, sekalipun dengan memandang bahwa kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW mungkin benar. Bila seseorang mengetahui pertentangan di antara keduanya, tidak ada pilihan baginya selain mengikuti kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW atau ia akan tersesatkan dan dijerumuskan ke dalam neraka. Ketika tersesatkan, sebenarnya ia mendatangkan madlarat yang sangat besar bagi seluruh umat manusia.

Ketaatan kepada Allah dan kepada Rasulullah SAW tidaklah dibatasi zaman kehidupan beliau SAW. Ketaatan kepada segala ketentuan yang diturunkan Allah kepada para utusan setiap zaman merupakan bentuk ketaatan kepada Allah dan kepada Rasulullah SAW. Pada zaman setelah beliau SAW, segala penjelasan yang dapat disandarkan kepada Alquran dan sunnah Rasulullah SAW secara haq merupakan ketentuan yang menjadikan seseorang digolongkan mentaati atau durhaka kepada Allah dan kepada Rasulullah SAW. Ketaatan kepada Allah dan kepada Rasulullah SAW berlaku untuk sepanjang jaman, baik jaman sebelum Rasulullah SAW, jaman kehidupan beliau SAW di bumi dan jaman setelah beliau SAW hingga akhir zaman.

Ketaatan pada Kitabullah dan Sunnah

Kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW merupakan petunjuk induk yang menjadi parameter kebenaran petunjuk lainnya. Tidak ada petunjuk yang setara apalagi lebih tinggi, dan semua petunjuk yang benar merupakan turunan atau penjelasan terhadap keduanya. Tidak boleh seseorang mengikuti suatu petunjuk tanpa menimbang landasan dari keduanya, atau ia hanya akan kehilangan arah karena mengikuti hembusan syaitan yang menyeru pada petunjuk. Ada petunjuk yang datang kepada diri seseorang atau datang melalui sahabat-sahabatnya, maka hendaknya ia menemukan petunjuk Allah yang sebenarnya. Seruan petunjuk dari para sahabat harus digunakan untuk memahami petunjuk kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, maka ia akan memperoleh petunjuk Allah. Salah ataupun benar petunjuk melalui sahabatnya hendaknya petunjuk itu dijadikan media untuk memahami kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.

Penjelasan secara haq yang tidak sesuai dengan pendapat para panutan atau pembesar di antara manusia tidak menjadikan penjelasan itu boleh digugurkan sebagai parameter ketaatan kepada Allah dan kepada Rasulullah SAW. Orang yang mentaati penjelasan yang haq dari ayat kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW termasuk orang-orang yang mentaati Allah dan mentaati Rasulullah SAW sekalipun mereka bertentangan dengan para panutan dan para pembesar di antara mereka. Demikian pula orang yang meninggalkan penjelasan yang haq dari kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW termasuk dalam golongan orang yang durhaka kepada Allah dan kepada Rasulullah SAW sekalipun mereka mentaati para panutan dan para pembesar di antara mereka. Para panutan dan para pembesar tidak mempunyai kedudukan pasti dalam masalah agama, terutama manakala bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.

Banyak di antara manusia yang memilih mentaati para panutan dan para pembesar di antara mereka dengan meninggalkan ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasulullah SAW. Manakala terjadi hal demikian, para panutan dan para pembesar itu sebenarnya telah menjadikan mereka sebagai orang-orang yang tersesat. Orang-orang yang mentaati mereka hingga meninggalkan ketaatan kepada Allah dan kepada Rasulullah SAW akan menyesali perbuatan mereka dan kelak akan menyampaikan kepada Allah kutukan bagi para panutan dan pembesar itu, agar Allah melipat-gandakan siksaan bagi mereka.

Hendaknya setiap orang mengingat bahwa tidak setiap orang yang menyeru kepada petunjuk benar-benar menyeru pada petunjuk yang sebenarnya. Sebelum ia menemukan landasannya dari kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW secara haq, petunjuk itu belum menjadi petunjuk Allah. Syaitan juga akan memunculkan banyak petunjuk kepada orang-orang yang telah mendapat petunjuk sedang ia tidak berhati-hati dalam mengikutinya. Petunjuk yang sebenarnya adalah petunjuk yang mempunyai landasan dari kitabullah dan sunnah Rasulullah. Bila seseorang menyeru kepada petunjuk yang bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, maka ia akan menyesatkan umat mereka.

Minggu, 23 Juli 2023

Berhati-hati Terhadap Hawa Syaitan

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Akhlak al-karimah akan diperoleh seseorang apabila ia membentuk akhlak al-quran dalam dirinya. Ia dapat mensikapi seluruh peristiwa yang terjadi di alam kauniyah sejalan dengan kitabullah Alquran. Akhlak alquran yang paling sempurna adalah Rasulullah SAW.

Berbalik Langkah

Ada orang-orang yang mengikuti syaitan baik dengan keinginan sendiri ataupun tertipu. Tipu daya syaitan tidak hanya terjadi terhadap orang-orang munafik. Setiap manusia akan ditipu oleh syaitan. Tipuan untuk orang kafir berbeda dengan tipuan bagi orang beriman atau munafik. Orang-orang yang telah memperoleh petunjuk tidak terlepas dari usaha syaitan untuk menipu. Dalam beberapa kasus, kebodohan demikian itu seringkali bercampur dengan kebenaran karena tipu daya syaitan untuk menyesatkan manusia.

﴾۱۷﴿قُلْ أَنَدْعُو مِن دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنفَعُنَا وَلَا يَضُرُّنَا وَنُرَدُّ عَلَىٰ أَعْقَابِنَا بَعْدَ إِذْ هَدَانَا اللَّهُ كَالَّذِي اسْتَهْوَتْهُ الشَّيَاطِينُ فِي الْأَرْضِ حَيْرَانَ لَهُ أَصْحَابٌ يَدْعُونَهُ إِلَى الْهُدَى ائْتِنَا قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ وَأُمِرْنَا لِنُسْلِمَ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
Katakanlah: "Apakah kita akan menyeru selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemanfaatan kepada kita dan tidak (pula) mendatangkan kemudharatan kepada kita dan (apakah) kita kembali ke belakang sesudah Allah memberi petunjuk kepada kita, seperti orang yang telah disesatkan oleh syaitan di bumi kehilangan arah, dia mempunyai kawan-kawan yang memanggilnya kepada petunjuk (dengan mengatakan): "Marilah ikuti kami". Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk; dan kita diperintahkan agar berserah diri kepada Tuhan semesta alam, (QS Al-An’aam : 71)

Di antara orang yang tertipu syaitan adalah orang yang berbalik ke belakang setelah Allah memberikan petunjuk kepada mereka. Mereka orang yang beriman dan memperoleh petunjuk Allah yang membimbing jalan mereka untuk kembali, akan tetapi kemudian mereka berbalik ke belakang punggung mereka setelah mendapat petunjuk. Syaitan menipu orang-orang yang telah memperoleh petunjuk Allah dengan visi kehidupan dunia, dan mereka pada akhirnya menyeru pada sesuatu selain Allah yang tidak memberikan manfaat dan tidak mendatangkan madlarat. Barangkali mereka menuju pada hal yang semu dari kehidupan duniawi yang tidak bermanfaat dan tidak mendatangkan madlarat.

Hal yang menyebabkan mereka berbalik tidak semata-mata keinginan diri, akan tetapi syaitan memberikan hembusan-hembusan ke dada mereka. Ada keinginan dalam dada mereka dan syaitan memberikan hembusan yang menyuburkannya. Hembusan-hembusan itu menyuburkan visi-visi tentang kehidupan dunia yang hendak mereka wujudkan, dan visi kehidupan dunia itu menenggelamkan mereka hingga terlupa untuk melangkah menuju Allah. Manakala terlepas dari tuntunan Allah, mereka tidak menyadari karena telah tenggelam dalam suburnnya visi duniawi yang hendak mereka wujudkan.

Setiap orang hendaknya berpegang pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW agar tidak tenggelam dalam kesuburan visi yang bathil. Visi dunia yang haq adalah visi yang mempunyai landasan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Bila tenggelam hingga tidak menyadari lepasnya mereka dari petunjuk Allah, mereka mungkin akan berbalik ke belakang setelah mendapat petunjuk. Semua visi yang tumbuh terkait perjalanan mereka hendaknya diperiksa berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak membiarkan pemahaman mereka tumbuh tanpa landasan.

Kehilangan Arah

Di antara tanda tertipunya seseorang adalah kebingungan berupa kehilangan arah dalam melangkah. Orang yang tertipu akan kehilangan arah dalam melangkah, baik arah dalam mewujudkan visi-visi duniawi maupun arah melangkah mendekat menuju Allah. Visi mereka pada akhirnya tidak terhubung dengan kehendak Allah, dan mereka tidak menemukan amal yang selaras dengan kehendak Allah. Keselarasan amal dengan kehendak Allah dimulai dari visi yang benar terhadap ayat yang digelar Allah bagi mereka. Karena visi yang salah, amal yang diwujudkan tidak selaras dengan kehendak Allah. Mungkin mereka hanya meniru langkah orang-orang kebanyakan atau justru langkah orang kafir tanpa landasan pengetahuan tentang ayat yang digelar Allah. Dengan cara demikian, mereka tidak berjalan menuju Allah kecuali hanya prasangka, dan tidak menemukan jalan keluar dari masalah duniawi dan tidak dapat memakmurkan bumi mereka sesuai dengan kehendak Allah.

Perjalanan menuju Allah hanya dapat ditempuh seseorang dengan mengikuti sunnah Rasulullah SAW, tidak dapat ditempuh seseorang dengan membuat jalan sendiri. Ada orang-orang yang mengikuti Rasulullah SAW hingga didekatkan kepada Allah, dan kebanyakan orang beriman mengikuti mencapai langkah tertentu. Sebagian orang yang mengikuti sunnah Rasulullah berjalan menyimpang. Selama tidak menyimpang dari sunnah Rasulullah SAW, seseorang tidak memperoleh adzab. Namun hendaknya diingat bahwa perjalanan yang harus ditempuh sangat panjang. Seseorang harus berusaha agar memperoleh keselamatan hingga akhirat kelak, sedangkan godaan di jalan itu sangat banyak. Sangat sulit untuk memperoleh kesalamatan tanpa berpegang pada Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Orang yang kehilangan arah atau kebingungan adalah orang yang tidak mengetahui arah perjalanan yang seharusnya ditempuh yang dicontohkan Rasulullah SAW.

Sunnah Rasulullah SAW merupakan perjalanan di bumi hingga menembus langit ufuk tertinggi di sidratil muntaha. Perjalanan itu bukan sesuatu tidak mungkin bagi umat manusia, dapat diikuti oleh setiap manusia dengan mengikuti millah Ibrahim a.s membentuk bayt yang diijinkan Allah untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah di dalamnya. Bayt itu adalah manifestasi terbentuknya fungsi sosial seorang hamba terhadap semesta mereka sesuai dengan kehendak Allah. Fungsi demikian harus terwujud melalui kesatuan diri seseorang dengan segala yang terserak bagi dirinya, baik berupa isteri maupun hal-hal duniawi yang diperuntukkan baginya. Pada lingkup lebih besar, sebenarnya bayt demikian terbentuk karena penyatuan seseorang terhadap hakikat yang lebih tinggi bagi dirinya, ibarat seorang perempuan yang disatukan dengan suami sebagai entitas pembawa akal diri perempuan itu. Seorang laki-laki pun sebenarnya disatukan pula dengan entitas dirinya di alam yang lebih tinggi melalui bayt yang dibina. Dengan penyatuan itu, bayt itu memperoleh ijin untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah di dalamnya.

Ada syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang dalam membentuk bayt demikian berupa pengenalan terhadap penciptaan diri yang merupakan tanah haram yang dijanjikan baginya. Bayt demikian hanya dapat dibina di tanah haram dengan mengikuti petunjuk Allah dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Sangat banyak kebaikan yang terbentuk pada sebuah bayt yang dapat menjadi landasan untuk memanifestasikan kehendak Allah, yang tidak akan diperoleh melalui media yang lain. Bayt demikian itulah sarana yang dapat diusahakan oleh setiap manusia di dunia, sedangkan perjalanan menembus langit hingga ufuk tertingginya merupakan hadiah yang diberikan Allah kepada hamba-Nya.

Orang-orang yang tertipu syaitan akan kehilangan arah dalam perjalanan mereka hingga mereka mungkin melangkah berbalik setelah memperoleh petunjuk. Mereka berbalik menuju arah lain setelah petunjuk tahap tertentu tidak membentuk bayt sesuai tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Mereka tidak terus melangkah menuju Allah. Manakala tertipu, mereka akan kesulitan menemukan amal selaras tujuan perjalanan. Amal mereka sebenarnya mungkin hanya berdasarkan visi mereka sendiri, tidak mempunyai dasar kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Dengan keadaan demikian mereka melangkah tidak mengikuti langkah Rasulullah SAW menuju Allah.

Boleh jadi mereka berbuat sesuatu yang dipandang perbaikan, akan tetapi sebenarnya berbuat kerusakan. Mereka merasa berbuat baik tanpa mengikuti tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW hingga tidak menyadari bahwa perbuatan itu sebenarnya merusak. Kadangkala manusia merusak semesta diri mereka sendiri hingga kehilangan media yang baik untuk melangkah mendekat kepada Allah. Kadangkala manusia merusak pula semesta orang lain hingga sahabatnya tidak dapat mengikuti millah Ibrahim a.s dan sunnah Rasulullah SAW. Dengan demikian, manusia kehilangan jalan untuk mendekat kepada Allah karena dihalangi atau dirusak.

Dalam hal ini, fitnah terbesar akan terjadi manakala manusia menghasut perempuan shalihah untuk berkhianat dan/atau memberontak melawan suaminya yang shalih karena hal itu terkait dengan merusak bayt yang seharusnya dibentuk. Kadangkala seorang perempuan diarahkan untuk memperturutkan keinginan sendiri daripada mensyukuri nikmat Allah yang telah ditentukan baginya. Setiap perusakan terhadap akhlak perempuan merupakan perbuatan merusak bumi, karena setiap perempuan membawa khazanah duniawi yang seharusnya dibawakan kepada suaminya. Merusak akhlak perempuan merupakan perbuatan merusak bumi yang paling sering terjadi tanpa disadari oleh manusia, yang terjadi dengan memberikan nasihat yang salah kepada perempuan.

Mengikuti Shahabat Tanpa Landasan Haq

Sebagian di antara orang yang kehilangan arah adalah orang-orang yang hanya mengikuti orang lain yang menyeru mereka untuk mengikuti petunjuk, sedangkan sebenarnya hal itu bukanlah benar-benar petunjuk. Mereka mempunyai sahabat-sahabat yang menyerunya untuk mengikuti petunjuk, dan ia mengikuti seruan itu tanpa menimbang apakah seruan shahabatnya mempunyai dasar dari kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, dan mereka tidak berusaha menemukan pemahaman yang menghubungkannya. Petunjuk yang mereka ikuti boleh jadi tidak selalu salah, tetapi berupa petunjuk yang tidak mempunyai landasan dari kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, sedangkan mereka terlalu mengikuti itu hingga terlupa untuk mengikuti kitabullah dan sunnah.

Hal penting yang harus diperhatikan setiap orang beriman adalah mengetahui makna kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW bagi kehidupan mereka. Setiap orang harus menemukan ayat kitabullah yang menjadi pokok perjuangannya, yaitu ayat yang tergelar pada semesta mereka dan sesuai dengan hasrat hatinya. Sahabat bisa membantu memperkenalkan kandungan kitabullah Alquran, maka kandungan kitabullah itulah yang menjadi penerang bagi mereka. Mengikuti petunjuk sahabat tanpa mengetahui kandungan kitabullah Alquran hanyalah merupakan seruan kosong tanpa makna bagi jiwa mereka. Petunjuk tanpa pemahaman terhadap kitabullah itu suatu saat akan menjadi bahan kebingungan bagi mereka terutama manakala sahabat tersebut berbuat salah. Bila seseorang berpegang pada kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, maka ia dapat tetap berpegang pada petunjuk Allah manakala sahabatnya berbuat salah, hingga ia tidak mengalami kebingungan dalam menempuh kehidupan menuju Allah.

Terkait dengan keberjamaahan, tidak semua orang yang menyeru kepada petunjuk termasuk dalam al-jamaah. Al-jamaah adalah orang-orang yang menemukan kehidupan mereka sebagai bagian dari amr jami’ Rasulullah SAW yang tersurat dalam kitabullah Alquran. Petunjuk yang mereka serukan hanyalah bagian Alquran yang dapat dibagikan kepada sahabatnya, bukan sembarang petunjuk yang tidak mempunyai kaitan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Boleh jadi tidak semua petunjuk disampaikan dengan kitabullah, maka pendengar yang harus berusaha menemukan kaitan seruan kepada petunjuk itu dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW agar seruan itu mendatangkan manfaat bagi mereka. Boleh jadi pula suatu saat mereka tidak menyeru kepada kitabullah, maka mereka berbuat sesuatu yang tidak harus diikuti. Intinya, petunjuk adalah bahwa setiap orang harus menemukan makna kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW dalam kehidupan masing-masing, tidak hanya mengikuti seruan petunjuk sahabatnya tanpa memperhatikan hubungannya dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.

Dengan petunjuk Allah demikian, seseorang harus berusaha berserah diri. Berserah diri adalah berusaha dengan jiwa raga mewujudkan kehendak Allah yang dipahami setelah memperoleh petunjuk Allah. Berserah diri tidak dapat dilakukan tanpa mengikuti petunjuk Allah, walaupun boleh saja petunjuk itu berupa petunjuk paling dasar yang dapat diterimanya. Selama seseorang mengikuti petunjuk dengan memperhatikan pemahaman yang paling baik yang dapat diketahui, ia dapat dikatakan berserah diri. Bila seseorang mengabaikan pemahaman terbaik dan memilih pemahaman yang lebih longgar, ia tidak dikatakan berserah diri. Demikian pula manakala ia memilih untuk melanggar kehendak Allah, ia tidak berserah diri.



Selasa, 18 Juli 2023

Membina Akal yang Lurus

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Akhlak al-karimah akan diperoleh seseorang apabila ia membentuk akhlak al-quran dalam dirinya. Ia dapat mensikapi seluruh peristiwa yang terjadi di alam kauniyah sejalan dengan kitabullah Alquran. Akhlak alquran yang paling sempurna adalah Rasulullah SAW.

Terhadap seruan Rasulullah SAW, manusia terbagi dalam beberapa jenis, yaitu orang-orang beriman, orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Orang-orang beriman adalah orang-orang yang berusaha mengikuti seruan Rasulullah SAW untuk menuju akhlak mulia, dan orang-orang kafir adalah orang-orang yang tidak mengetahui kebaikan pada seruan Rasulullah SAW dan mereka mengikuti keinginan mereka sendiri tanpa peduli pada kebaikan dan tidak jarang menampakkan permusuhan pada seruan Rasulullah SAW. Di antara keduanya, terdapat satu golongan manusia yang menampakkan keimanan kepada manusia tetapi mereka hanya mengikuti keinginan mereka sendiri. Mereka adalah orang-orang munafik. 

Orang Munafik dan Syaitan 

Di antara orang-orang munafik, ada orang-orang yang mengikuti syaitan. Mereka bersekutu dengan syaitan-syaitan yang memberikan keuntungan duniawi dan bimbingan kepada mereka, dan mereka bergaul dengan orang-orang beriman dengan tujuan untuk melontarkan olok-olok kepada orang-orang beriman. Manakala mereka berada di antara orang-orang beriman, mereka menampakkan keimanan mereka dengan menunjukkan prinsip-prinsip yang sama dengan orang-orang beriman. Akan tetapi mereka melontarkan pula olok-olok terhadap orang beriman untuk mempermalukan orang-orang beriman.

﴾۴۱﴿وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَىٰ شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِؤُونَ
Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami beriman". Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami bersama dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok". (QS Al-Baqarah : 14)

Olok-olok yang mereka lontarkan terhadap orang-orang beriman berasal dari syaitan-syaitan yang menjadi sekutu-sekutu mereka. Olok-olok mereka itu dibuat berdasarkan pengetahuan sejarah yang panjang oleh para syaitan, dan syaitan mempunyai kelicikan yang seringkali tidak terpikirkan oleh manusia. Dengan olok-olok itu mereka menunjukkan ketinggian pengetahuan mereka yang berasal dari syaitan, dan mereka berusaha merendahkan orang-orang beriman dalam pandangan umat manusia seluruhnya. Dengan upaya yang mereka lakukan, mereka berusaha mengambil kedudukan yang baik dalam pandangan syaitan-syaitan mereka. Mereka adalah orang munafik yang bersekutu dengan syaitan.

Mereka mengatakan kepada orang beriman bahwa mereka termasuk orang yang beriman. Banyak prinsip-prinsip kebenaran bagi orang-orang beriman yang digunakan, akan tetapi dimanfaatkan dengan cara keliru oleh munafikin jenis demikian. Mereka menggunakan prinsip kebenaran untuk mengambil keuntungan duniawi dari orang beriman dan menerapkan prinsip syaitaniah secara terselubung hingga merusak agama. Sebenarnya mereka menempuh jalan syaitan untuk memperoleh keuntungan duniawi dengan menggunakan dasar-dasar dari agama.

Munafikin yang demikian itu menumbuhkan keimanan yang menyimpang dari tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Mereka membuat sistem yang menguntungkan bagi kehidupan duniawi mereka dan sekaligus merusak umat manusia dengan ajaran yang membingungkan. Seringkali melawan kemungkaran yang mereka perbuat tidak mudah karena ide-ide mereka berasal dari syaitan yang usianya jauh lebih tua daripada umat manusia. Pada masa kegelapan, dukungan secara duniawi terhadap upaya mereka seringkali telah terbentuk dengan kuat, bahkan boleh jadi hingga aparat negara tidak mempunyai kekuatan untuk mengendalikan langkah-langkah mereka. Orang munafik demikian barangkali tampak bagai kelompok kecil, tetapi syaitan di belakang mereka mengkonsolidasikan dukungan yang besar.

Olok-olok demikian tidak akan efektif dilakukan terhadap orang-orang yang kembali kepada Allah dengan berpegang pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW dan membentuk akhlak mulia. Allah akan membalik olok-olok mereka hingga mereka akan menjadi kaum yang diperolokkan. Semua keinginan dan harapan duniawi mereka akan menjadikan mereka melampaui batas hingga terlihat kebodohan mereka yang hanya mampu berangan-angan. Harta yang mereka miliki akan menunjukkan kebodohan mereka. Celah mereka di antara manusia adalah kebodohan, dan yang menghentikan mereka adalah pengenalan kepada Allah. Syaitan tidak akan dapat membantu mereka manakala Allah telah memperolokkan mereka. Cara menghadapi olok-olok syaitan melalui kaum munafiqin yang bersekutu dengan mereka adalah dengan kembali berpegang teguh pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.

Akan tetapi banyak orang beriman tidak benar-benar berpegang teguh pada kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Sebagaian manusia terlalai dari berpegang teguh pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, dan sebagian tidak mempunyai pengetahuan terhadap keduanya. Bila demikian, maka orang munafikin akan mempunyai celah untuk menimbulkan kekacauan pada orang beriman. Orang-orang beriman hendaknya melakukan amar ma’ruf nahy munkar untuk menutup celah kekacauan yang mungkin dimasuki oleh syaitan. Pengetahuan tentang kehendak Allah merupakan pengetahuan yang akan menutup jalan tipu daya dan makar syaitan terhadap umat manusia. Tidak ada pengetahuan lain yang dapat melampaui kelicikan yang ada pada syaitan. Kemunkaran manusia merupakan jalan dan sarana syaitan untuk melancarkan makar, maka hendaknya kemunkaran dicegah dari kehidupan umat manusia.

Penyimpangan Akidah

Setiap orang beriman harus menumbuhkan keimanan berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Tidak ada keimanan yang tumbuh tanpa landasan kitabullah kecuali keimanan itu sebenarnya merupakan kebodohan. Orang-orang yang keimanan mereka tumbuh secara keliru memandang orang lain sebagai orang bodoh, tetapi sebenarnya mereka sendiri itulah yang bodoh. Barangkali mereka memiliki banyak ilmu tanpa menyadari bahwa ilmu mereka adalah ilmu yang melenceng dari kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Bila ilmu yang diperoleh keliru, ilmu itu termasuk bagian dari kebodohan dan ilmu itu menimbulkan kerusakan.

﴾۳۱﴿وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلٰكِن لَّا يَعْلَمُونَ
Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman". Mereka menjawab: "Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?" Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu.( QS Al-Baqarah : 13)

Ayat tersebut berbicara tentang orang-orang dengan pemahaman menyimpang, bukan tentang orang yang mempunyai pengetahuan khusus dalam masalah agama. Orang yang menyimpang membina akidah yang menyimpang dari pemahaman orang-orang umum hingga tidak dapat dipahami oleh orang-orang beriman dengan akal yang benar. Boleh jadi mereka memperoleh pembenaran dari orang-orang kafir atau munafik, atau orang beriman yang memaksakan akalnya untuk paham, tetapi tidak dapat dipahami oleh orang beriman dengan akal yang lurus. Pemahaman menyimpang itu dapat diketahui dari tidak adanya landasan kitabullah atau dipaksakannya pemahaman atas suatu ayat kitabullah.

Orang yang menyimpang mempunyai kecenderungan melihat pemahaman mereka lebih unggul daripada orang-orang beriman yang akalnya lurus. Mereka memandang orang beriman yang lurus sebagai orang-orang yang bodoh. Bila dikatakan kepada mereka untuk beriman sebagaimana orang-orang beriman lainnya, mereka membantah : "Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?". Penyimpangan itu mereka pandang sebagai sebuah kekhususan yang diberikan kepada mereka. Dari sudut pandang sebaliknya, sebenarnya kekhususan berupa penyimpangan mereka itu sebenarnya kebodohan mereka, akan tetapi mereka tidak merasakannya. Mereka berbuat kerusakan dengan kebodohan itu. Semua kekhususan yang menyimpang dari akal yang lurus orang beriman dan merusak merupakan kebodohan. Dalam beberapa kasus, kebodohan demikian itu seringkali bercampur dengan kebenaran karena tipu daya syaitan untuk menyesatkan manusia.

Orang yang khusus harus dapat dikenali kekhususannya oleh orang beriman yang akalnya mampu menjangkau kekhususan itu. Seringkali orang beriman pada umumnya pun dapat memahami kekhususan itu bila bersikap hanif dan mau menggunakan akalnya untuk memahami lebih banyak ayat kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Kekhususan seseorang dalam agama tidak akan pernah keluar dari tali Allah yang dipanjangkan dari tangan-Nya hingga mencapai alam dunia berupa kitabullah Alquran, sehingga setiap orang dapat menggunakan akalnya untuk merasakan dan memahami kekhususan itu. Manakala akal orang beriman harus dipaksakan untuk memahami suatu kekhususan tertentu, sebenarnya kekhususan itu belum ada manfaatnya bagi mereka, atau boleh jadi kekhususan itu sebenarnya sebuah penyimpangan. Manakala mengikuti, seseorang harus mempunyai suatu landasan pengetahuan, tidak boleh semata percaya pada yang diikuti. Orang beriman tidak boleh mengikuti sesuatu tanpa landasan pengetahuan, dan mereka kelak akan ditanya Allah di akhirat tentang perbuatan mereka mengikuti orang lain tanpa dasar pengetahuan pada berbagai aspek dalam dirinya. 

Akal yang Lurus

Setiap manusia hendaknya kembali kepada Allah mengikuti Rasulullah SAW. Kembali kepada Allah tidak berarti meninggalkan alam dunia, karena alam dunia merupakan bagian dari ayat-ayat Allah yang akan mengantarkan seseorang untuk memahami kehendak Allah. Manusia diciptakan dari alam dunia agar menjadi khalifah di dalamnya. Ayat kauniyah merupakan penjabaran dari ayat dalam kitabullah, dan ayat kitabullah merupakan induk dari ayat kauniyah. Setiap orang hendaknya membaca kehendak Allah berdasarkan ayat kitabullah dan ayat kauniyah dan menemukan kesatuan dari kedua ayat itu, karena cara demikian itu akan menjadikannya mengerti kehendak Allah dengan benar. Dengan jalan memahami ayat-ayat tersebut secara sinergis, seseorang akan dapat mendekat kepada Allah melalui jalan yang ditentukan Allah dengan amal-amal shalihnya.

Tanpa keinginan kembali kepada Allah, seseorang tidak akan dapat membina pemahaman tentang kehendak Allah dengan lurus. Sebagian manusia tidak peduli dengan arah kehidupan mereka dan tidak mempedulikan ayat Allah. Sebagian orang munafik menggunakan ayat Allah untuk mencari keuntungan duniawi. Ayat-ayat kitabullah yang mereka pahami dengan hawa nafsu menjadi landasan mereka membina pemahaman menyimpang dengan memaksakan akal yang sakit. Ada di antara mereka yang bersekutu dengan syaitan untuk upaya mereka. Kadang ada orang yang ingin kembali kepada Allah tetapi ditipu syaitan hingga mereka keluar dari tali Allah atau bertentangan dengannya karena tidak lurus dalam menggunakan akal, hingga terbentuk suatu pemahaman yang menyimpang. Pemahaman menyimpang akan menunjukkan gejala yang sama, yaitu mereka merasa sebagai orang-orang yang khusus atau istimewa dan memandang orang lain sebagai orang yang bodoh. Kekhususan menyimpang itu adalah kebodohan, dan mereka akan berbuat kerusakan dengan kebodohan itu.

Orang-orang yang ingin kembali kepada Allah hendaknya benar-benar memperhatikan ayat-ayat Allah, melihat kesatuan antara ayat-ayat kitabullah dengan ayat-ayat kauniyah yang sedang digelar Allah pada semesta mereka. Bila menemukan seseorang yang menapaki pemahaman berupa kesatuan ayat-ayat demikian, manusia dapat mengikuti langkahnya dan itu jauh lebih memudahkan bagi mereka untuk memahami ayat Allah untuk kembali kepada-Nya. Orang yang mempunyai pemahaman ayat secara integral merupakan orang dari golongan al-jamaah, ahlus sunnah wal jamaah yang berjihad bersama dalam amr Rasulullah SAW. Mengikuti mereka menjadi jalan yang dimudahkan untuk mencapai kedudukan al-jamaah, yaitu bila mereka mengikuti dengan menggunakan akalnya untuk memahami kehendak Allah. Bila tidak menggunakan akal, mereka akan tetap menjadi orang tidak berakal walaupun tampak mengikuti langkahnya.

Sebaliknya, mengabaikan atau mendustakan akan memutus mereka dari al-jamaah. Orang-orang yang berada dalam al-jamaah sebenarnya telah membentuk ikatan di antara mereka, di mana satu dengan yang lain menjalankan satu urusan yang sama walaupun barangkali terinci dalam bentuk yang berbeda, yaitu amr jami’ Rasulullah SAW yang ada dalam Alquran. Hanya urusan yang mempunyai dasar dari kitabullah Alquran saja yang merupakan amr jami’ Rasulullah SAW. Landasan ayat dalam kitabullah Alquran itu yang dapat menuntun orang lain untuk menemukan jalan mereka menyatukan diri dengan Al-jamaah, bukan perkataan ahlus-sunnah itu sendiri atau perbuatan mereka. Ahlus sunnah wal jamaah hanya menjelaskan urusan mereka, sedangkan sumber urusan bagi setiap orang ada dalam kitabullah.

Akal merupakan kendali yang menghubungkan seseorang dengan Allah. Kendali tersebut harus terbangun dari diri seseorang di alam dunia hingga mencapai hadirat Allah. Membina akal harus dilakukan seseorang melalui segala sesuatu yang diturunkan Allah hingga mencapai alam duniawi secara haq, dan dalam hal ini yang paling utama adalah kitabullah Alquran dan Rasulullah SAW. Akal harus menghubungkan manusia dari alam jasmani hingga mencapai hadirat Allah. Alam dunia banyak membawa al-haq akan tetapi pikiran dan perhatian manusia sering teralihkan menuju hal yang semu dari dunia. Memahami ayat kauniyah secara haq hanya dapat dilakukan dengan melihat kesatuannya dengan ayat kitabullah, dan kesatuan pemahaman tersebut yang akan membina akal. Akal tidak dapat dibina dengan mengabaikan hakikat yang telah diturunkan Allah, walaupun misalnya dengan bertanya kepada Allah secara langsung tanpa terlebih dahulu memperhatikan hakikat-hakikat yang telah diturunkan. Hal demikian dapat menjadikan pemahaman seseorang menyimpang.

Selasa, 11 Juli 2023

Iman dan Amal dalam Taubat

Mengenal Allah (ma’rifatullah) merupakan tujuan akhir penciptaan manusia. Setiap manusia hendaknya mengenali kehendak Allah dengan benar. Al-ma’ruf adalah pengetahuan tentang kehendak Allah sedangkan kemunkaran merupakan lawan dari al-ma’ruf, yaitu kebodohan terhadap kehendak Allah. Pengetahuan yang paling utama yang diperkenalkan Allah kepada makhluk tentang diri-Nya adalah asma Ar-rahman dan Ar-rahiim. Kedua asma tersebut akan dapat dikenali seseorang bila berusaha membentuk dirinya dalam citra Ar-rahman Ar-rahim. Dengan membentuk diri dalam kedua citra Allah tersebut, akan terwujud perbaikan di alam semesta hingga mereka layak dikatakan sebagai khalifatullah.

Manakala manusia tidak mengenal Allah dengan benar, mereka tidak mempunyai timbangan yang baik bagi perbuatan-perbuatan mereka hingga tidak mengetahui bahwa perbuatan mereka menimbulkan kerusakan. Perbuatan merusak oleh orang-orang yang tidak mengenal Allah seringkali tidak berhenti manakala ada orang yang arif menunjukkan kerusakan yang mereka perbuat. Mereka hanya berpegang pada timbangan diri mereka sendiri tidak berusaha menimbang dengan neraca yang benar. Dengan timbangan mereka sendiri, mereka akan mengatakan : “sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan.”

﴾۱۱﴿وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ
Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan". (QS Al-Baqarah : 11)

Banyak orang yang memandang perbuatan dirinya baik manakala mereka berbuat kerusakan. Hal demikian terjadi karena kebodohan manusia dari pengenalan terhadap Allah. Selama seseorang tidak mengenal kehendak Allah, mereka mudah memandang amal mereka yang merusak sebagai amal yang baik. Sebagian manusia memandang amal-amal buruk mereka sebagai amr Allah, dan sebagian melakukan amal-amal yang baik bercampur dengan keburukan tanpa mengetahui keburukan yang dilakukannya. Seringkali mereka tidak bisa menerima nasihat manakala mereka perbuatan mereka sebenarnya menimbulkan kerusakan yang besar.

Cara menimbang demikian sangat dekat dengan tipuan syaitan terhadap manusia dengan menjadikan indah dalam pandangannya perbuatan buruk yang dilakukan. Sekalipun jelas kerusakan yang diperbuat, mereka tidak dapat melihat keburukan itu. Bahkan ketika ditunjukkan orang lain, mereka akan tetap memandang indah perbuatan itu dari sudut pandangnya sendiri. Bukan orang lain tidak dapat menunjukkan keburukan, tetapi mereka sendiri yang tidak bisa menimbang nasihat orang lain. Kadangkala sikap ini disertai perkataan agar orang lain menunjukkan kesalahan dirinya, sedangkan orang lain telah berusaha keras menunjukkan perbuatannya yang merusak tetapi ia tidak bisa mempertimbangkannya. Seringkali orang yang mereka hormati pun tidak mampu memberikan nasihat untuk menghentikan perbuatan merusak mereka.

Mereka menunjukkan kepada orang lain bahwa perbuatan merusak mereka adalah perbuatan yang mendatangkan perbaikan. Itu bukan perkataan lain di mulut lain di hati, tetapi benar-benar mereka memandang perbuatan mereka merusak itu sebagai perbuatan membuat perbaikan. Kesesuaian hati dan perkataan itu tidak dapat mengubah realitas bahwa perbuatan itu mendatangkan kerusakan, hanya saja mereka itu tidak merasa bahwa mereka telah membuat kerusakan. Allah bertanya kepada orang-orang lain yang beriman: “bukankah mereka itu orang-orang yang berbuat kerusakan?”. Manakala mendengar pertanyaan tersebut dan melihat hal demikian, hendaknya orang beriman menjawab dengan menimbang perbuatan itu dengan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak hanya mengikuti perkataan orang. Mereka itu berbuat kerusakan, akan tetapi mereka tidak merasakannya.

Iman yang Benar

Perbuatan merusak seringkali terjadi hingga merusak akidah atau keimanan. Atau sebaliknya perbuatan merusak itu muncul karena rusaknya keimanan. Mereka tumbuh menjadi kelompok dengan keimanan tersendiri secara keliru. Mereka memandang diri mereka sebagai orang-orang yang memiliki keimanan lebih dari yang lain, dan memandang orang-orang beriman sebagai orang-orang bodoh. Cara pandang itu sebenarnya terbalik. Keimanan-keimanan yang tumbuh secara khusus di antara mereka itu adalah kebodohan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa keimanan demikian itu adalah kebodohan. Keimanan mereka tumbuh tanpa tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Akal mereka tidak tumbuh dengan baik berdasar keimanan yang demikian.

﴾۳۱﴿وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلٰكِن لَّا يَعْلَمُونَ
Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman". Mereka menjawab: "Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?" Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu. (QS Al-Baqarah : 13)

Banyak masalah muncul dari keimanan yang tumbuh tanpa mempunyai landasan kitabullah. Bila dikatakan kepada mereka untuk beriman sebagaimana orang-orang beriman, mereka mengatakan "Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?". Mereka mempunyai bagian keimanan yang tumbuh tanpa landasan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW dan mereka memandang itu adalah kekhususan iman yang mereka peroleh. Karenanya, keimanan orang lain yang tumbuh berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW dipandang sebagai kebodohan. Bagian yang tumbuh itu sebenarnya bukanlah kekhususan mereka, tapi justru kebodohan mereka akan tetapi mereka tidak menyadarinya. Kadangkala keimanan khusus mereka itu menjadikan mereka mendustakan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.

Perselisihan itu terjadi pada masalah pertumbuhan akal. Akal merupakan kelengkapan pada manusia yang harus dimanfaatkan untuk memahami dan bertindak sesuai kehendak Allah. Bila akal tidak digunakan, manusia akan seperti binatang dengan kelengkapan pikiran lebih baik. Bila akal tumbuh baik, seseorang akan kuat dalam memahami kehendak Allah, dan bila akal salah tumbuh seseorang akan terbalik-balik dalam memahami kehendak Allah. Dalam hal ini, orang yang menumbuhkan akal tanpa landasan kitabullah dan sunnah Rasulullah akan salah tumbuh dan akan memandang orang lain sebagai orang-orang bodoh (السُّفَهَاءُ).

Setiap orang beriman harus menumbuhkan keimanan berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Allah telah menurunkan firman-Nya secara mencukupi, baik bagi orang-orang yang baru belajar ataupun orang-orang yang kuat akalnya untuk mengantarkan hingga pertemuan (liqa’) rabb-nya. Tidak ada keimanan yang tumbuh tanpa landasan kitabullah kecuali keimanan itu sebenarnya merupakan kebodohan. Demikianlah orang-orang yang keimanan mereka tumbuh secara keliru memandang orang lain sebagai orang bodoh, tetapi sebenarnya mereka sendiri itulah yang bodoh. Barangkali mereka memiliki banyak ilmu tanpa menyadari bahwa sedikit ilmu yang benar lebih baik daripada banyaknya ilmu yang melenceng dari kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Orang yang berilmu memperoleh kedudukan beberapa derajat lebih tinggi, yaitu ilmu yang benar tentang Allah. Bila ilmu yang diperoleh keliru, ilmu itu termasuk bagian dari kebodohan dan ilmu itu menimbulkan kerusakan. Semakin tinggi ilmu yang bodoh, semakin merusak amal yang ditimbulkannya.

Di antara timbangan kebenaran ilmu adalah dikenalinya ilmu oleh orang beriman pada umumnya dengan cara berpikir benar. Ilmu tertentu yang tidak dapat dipahami oleh orang beriman umum sangat mungkin merupakan bagian dari kebodohan. Ilmu yang benar secara umum harus dapat dipahami orang beriman umumnya dengan pikiran sehat, dan ilmu yang benar secara khusus harus dapat dipahami oleh orang-orang khusus dengan pikiran sehat. Manakala suatu ilmu yang khusus tidak dapat dipahami oleh orang-orang khusus dengan pikiran sehat, ilmu khusus itu merupakan kebodohan di alam yang tinggi. Seringkali tingginya ilmu yang benar dapat dipahami pula oleh cara pikir sehat orang-orang beriman umum bila disertai banyak waktu dan mencari banyak pedoman untuk memahami.

Ayat-ayat di atas bercerita tentang segolongan orang yang mengatakan beriman akan tetapi sebenarnya mereka mengikuti syaitan. Manakala berkumpul dengan orang beriman, mereka mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang beriman. Manakala mereka berkumpul dengan syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan bahwa mereka hanyalah berolok-olok terhadap orang beriman. Keimanan mereka tersusun secara kacau tanpa landasan yang benar. Mereka tidak termasuk orang beriman, akan tetapi sifat-sifat mereka dapat saja muncul di antara orang beriman karena syaitan juga berusaha menipu orang-orang beriman dengan sistem keimanan mereka. Hendaknya orang beriman berhati-hati terhadap sifat demikian dan tidak mengikuti tipuan syaitan manakala mereka melihatnya. Walaupun hanya bersifat selipan, keimanan demikian sangat berbahaya bagi kehidupan orang-orang beriman.

Ilmu tentang Allah

Ilmu yang benar akan mengantarkan manusia untuk mengenal Allah. Pada tingkatan tertinggi, pengenalan kepada Allah (ma’rifatullah) berbentuk pertemuan (liqa’) seorang hamba dengan wajah Allah yang diperkenalkan baginya. Rasulullah SAW dimi’rajkan hingga ufuk yang tertinggi di shidratil muntaha untuk bertemu dengan Ar-Rahman. Ar-Rahman merupakan wajah Allah dalam derajat yang paling tinggi yang diperkenalkan kepada makhluk. Tidak ada seseorang makhluk-pun dapat bertemu dengan Ar-Rahman sebagaimana pertemuan (liqa’) Rasulullah SAW di ufuk yang tertinggi. Para malaikat Hamalat Al-’arsy tidak dapat bertemu sebagaimana cara Rasulullah SAW bertemu. Ma’rifat Rasulullah SAW merupakan ma’rifatullah yang diberikan kepada makhluk dalam derajat yang tertinggi di semesta alam.

Ma’rifatullah tidak hanya diperoleh makhluk dalam derajat demikian. Banyak manusia dikatakan telah mengenal Allah, yaitu manakala mereka mengenal penciptaan diri mereka. Ma’rifat demikian merupakan bagian turunan dari marifat Rasulullah SAW. Tidak semua pengetahuan terbuka bagi seseorang yang berma’rifat kepada Allah, hanya saja pengetahuan tentang Allah yang mereka peroleh bernilai benar. Pada saat mengenal penciptaan diri, seseorang mengalami suatu penataan (dan penambalan) keping-keping pengetahuan tentang dirinya dan tentang rabb-nya yang sebelumnya berserak, sehingga ia memperoleh gambaran besar penciptaan dirinya di hadapan rabb-nya. Seseorang tidak dapat menyusun sendiri pengetahuan tersebut walaupun barangkali ia telah berjalan ke arah itu sebelumnya. Setelah terjadinya penataan dan penambalan pengetahuan itu, seseorang dapat mengenal dirinya dan mengenal rabb-nya. Selain penataan itu, ia akan menemukan suatu kitab yang menjelaskan bagian kitabullah Alquran bagi dirinya, dan ini merupakan bagian yang lebih penting.

Setelah pengenalan diri, seseorang akan mempunyai keinginan untuk liqa’ kepada Allah. Dan mungkin Allah kemudian memberikan kabar tentang jalannya untuk liqa’. Itu merupakan urutan yang akan terjadi pada seorang hamba Allah. Harapan liqa’ akan tumbuh manakala seseorang telah mengenal rabb-nya. Tidak mudah dibayangkan bahwa seseorang mengharap liqa’ tanpa mengenal rabb-nya sebelumnya. Keping pengenalan yang sedikit dan berceceran hanya akan mendatangkan sedikit keinginan liqa’. Bila pengenalan terbuka, ia akan mengetahui harapan liqa’. Apabila seseorang memperoleh berita tentang jalannya untuk liqa’ dengan wajah Allah, akan timbul rasa harap dan takut. Ia mempunyai harapan yang besar untuk dapat menempuh jalan itu, akan tetapi ia merasa takut apabila ada kekurangan yang tidak dipenuhi hingga Allah tidak ridla dengan kekurangan itu. Bukan kekurangan yang ditakuti karena dirinya seorang makhluk tidak akan bisa sempurna, tetapi tidak ridlanya Allah yang menjadikannya takut.

Pada kasus tertentu ma’rifat dan liqa’ tidak selalu berjalan beriring. Iblis dahulu sering bertemu dengan wajah Allah, akan tetapi iblis tidak mempunyai makrifat kepada Allah. Iblis kafir kepada Allah walaupun telah berada pada tempat yang tinggi. Hingga Rasulullah SAW diutus, iblis masih sangat berkeinginan untuk liqaa’. Keadaan demikian berkebalikan dengan keadaaan kebanyakan orang-orang yang takut kepada Allah. Mereka merasa takut untuk bertemu dengan wajah Allah walaupun mereka sangat mengharapkan pertemuan itu. Bilamana mereka memilih, banyak di antara mereka akan memilih untuk menunaikan apa yang diperintahkan Allah dengan sebaik-baiknya di alam yang jauh sebelum Allah menentukan waktunya. Mereka yang mempunyai makrifat seringkali lebih memilih untuk memperbaiki keadaan diri mereka sebelum bertemu (liqa’) dengan wajah Allah.

Hal mendasar bagi setiap orang dalam mencari pengetahuan tentang Allah adalah pembentukan citra rahmaniah dan citra rahimiah dalam diri. Kelayakan seseorang untuk bertemu dengan wajah Allah bergantung pada pembentukan kedua citra tersebut dalam dirinya. Banyaknya amal ataupun hal-hal lain tidak berbobot sama dengan terbentuknya kedua citra tersebut. Terbentuknya kedua citra tersebut haruslah terwujud hingga amal-amal jasmaniah seorang hamba.

Amal yang mencerminkan kedua citra utama Allah itu harus terwujud dalam amal yang mengikuti kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW berdasarkan suatu pemahaman akal. Amal sangat terkait dengan keimanan. Iman yang keliru akan menimbulkan amal yang merusak. Sebaliknya orang yang amalnya rusak akan merusak imannya. Misalnya, seseorang tidak boleh mengatakan bahwa ia beramal shalih manakala amalnya menyebabkan manusia berpecah-belah dan bercerai-berai dari jalan Allah. Alquran dan sunnah Rasulullah SAW memerintahkan orang-orang untuk bersaudara di jalan Allah, maka mencerai-beraikan dan memecah belah manusia dari jalan Allah bertentangan dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Amal itu harus mengikuti kehendak Allah dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW yang dipahami berdasarkan akal.



Kamis, 06 Juli 2023

Perintah Amar Ma’ruf Nahy Munkar

Allah memerintahkan kepada kaum mukminin agar ada umat yang menyeru manusia kepada kebaikan dan memerintahkan dengan al-ma’ruf dan mencegah dari kemunkaran. Al-ma’ruf adalah pengetahuan tentang kehendak Allah sedangkan kemunkaran merupakan lawan dari al-ma’ruf, yaitu kebodohan terhadap kehendak Allah. Pengetahuan yang paling utama yang diperkenalkan Allah kepada makhluk tentang diri-Nya adalah asma Ar-rahman dan Ar-rahiim. Kedua asma tersebut akan dapat dikenali seseorang bila berusaha membentuk dirinya dalam citra Ar-rahman Ar-rahim. Tanpa membentuk diri dalam kedua citra tersebut, seseorang tidak akan dapat mengenali kedua asma mulia Allah.

Mengenal Allah (ma’rifatullah) merupakan tujuan akhir penciptaan manusia. Setiap manusia hendaknya mengenali kehendak Allah dengan benar. Selain mengenal tajalliat Allah yang diperkenalkan dan perintah-perintah syariat, ma’rifat juga mengandung suatu pemahaman terhadap realitas hakiki yang terjadi pada semesta yang digelar. Pengetahuan terhadap realitas yang terkandung pada makrifat tidak bersifat sporadis layaknya hasil unduhan, tetapi bersifat terintegrasi terhadap hasrat dan keinginan, yaitu hasrat dan keinginan yang telah tertata untuk memberikan kebaikan bagi masyarakat. Walaupun demikian, tidak jarang pula seorang arif memperoleh pengetahuan tambahan yang baru dan tampak seperti unduhan, tetapi kemudian ia mengetahui kedudukan pengetahuan yang baru itu di antara pengetahuannya yang telah terintegrasi. Suatu pengetahuan yang tidak terintegrasi dalam ma’rifat dan penghambaan akan mengganggu ketenangan nafs mereka.

Tantangan beramar ma’ruf nahy munkar akan terlihat oleh orang-orang yang diperintahkan Allah beramar ma’ruf nahy munkar. Terdapat kaum yang menyerukan banyak hal yang tampak baik sedangkan mereka merusak umat manusia. Ada manusia yang menyeru persaudaraan sedangkan persaudaraan yang mereka serukan sebenarnya hanyalah tipuan yang akan menghancurkan manusia. Islam dipersaudarakan dengan Yahudi dan Nasrani tanpa mendudukkan dengan benar, sedangkan tujuan mereka hanyalah membuat orang Islam kehilangan pijakan untuk dapat mengenal Allah dengan benar. Di balik seruan itu, terdapat musuh umat manusia yang berniat menjadikan umat manusia bodoh dari realitas hakiki yang terjadi pada semesta mereka. Bila kaum mukminin tidak berusaha mengenal Allah dengan sungguh-sungguh, umat manusia akan kebingungan mengarungi kehidupan dunia.

Terdapat pula orang-orang munkar yang menginginkan kedudukan dan harta di antara manusia dengan menggunakan kemunkaran mereka. Mereka bersatu dengan orang munkar lainnya. Karena jalan yang dapat mereka tempuh adalah kemunkaran, maka umat manusia kemudian terbelit dengan kemunkaran-kemunkaran. Kebaikan-kebaikan yang telah terbina di antara masyarakat diruntuhkan dan dinafikan digantikan dengan kemunkaran-kemunkaran. Umat manusia tidak akan memperoleh kehidupan yang baik dan tenteram manakala kemunkaran membelit mereka. Dalam keadaan demikian, kebanyakan manusia tidak mengetahui letak kemunkaran yang membelit mereka, maka hendaknya orang beriman berusaha mengenal kehendak Allah dengan sungguh-sungguh agar dapat mencegah kemungkaran.

Demikian itulah keadaan kehidupan manusia di bumi. Allah memerintahkan kepada orang beriman hendaknya ada diantara mereka kaum yang menyeru pada kebaikan, memerintahkan dengan al-ma’ruf dan mencegah manusia dari kemunkaran. Orang-orang beriman merupakan umat terbaik di muka bumi manakala mereka melakukan amar ma’ruf dan mencegah kemunkaran karena mereka adalah orang yang bisa mengenal kehendak Allah dengan cara yang terbaik. Para ahli kitab dapat menjadi pelaku amar ma’ruf nahy munkar, akan tetapi mempunyai keterbatasan dalam menggali realitas hakiki yang terjadi di antara umat manusia, sedangkan orang-orang beriman seharusnya dapat mengenali realitas hakiki dari persoalan yang digelar pada semestanya.

Hendaknya ma’rifat yang tumbuh dalam hati seseorang dimanifestasikan hingga alam mulkiyah mereka, bukan hanya terwujud dalam konsep-konsep di alam malakut. Penataan alam mulkiyah demikian dapat dilakukan apabila seseorang telah menata nafs mereka. Penataan jasmani akan mengikuti penataan nafs, tetapi hendaknya tidak dilupakan bahwa penataan nafs dan jasmani merupakan satu kesatuan semesta bagi manusia.

Menghindari Perselisihan

Di antara tanda orang yang mengenali al-ma’ruf dan menghindari kemunkaran adalah menghindari percerai-beraian dan perselisihan di antara orang beriman. Mereka adalah orang yang selalu menghindari percerai-beraian dan perselisihan Ma’rifat kepada Allah akan menjadikan orang-orang beriman tersusun hatinya karena Allah menyusun mereka menuju persaudaraan. Manakala seseorang menempuh jalan perselisihan dan bercerai-berai, sebenarnya mereka tidak mengikuti jalan Allah tetapi mengikuti hawa nafsu sendiri.

﴾۵۰۱﴿وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat, (QS Ali Imran : 105)

Kadangkala mengikuti hawa nafsu dilakukan seseorang dengan cara menggunakan ayat-ayat Allah, tetapi melupakan prinsip membina kasih sayang dalam dirinya. Tidak hanya perorangan, syaitan membuat kelompok-kelompok manusia yang gemar menimbulkan perselisihan dengan menggunakan ayat Allah yaitu kaum khawarij. Bercerai berai dan perselisihan mengganggu pengenalan seseorang terhadap al-ma’ruf. Jalan Allah adalah jalan yang dibina di atas pembinaan kasih sayang dalam diri setiap manusia.

Pengetahuan realitas hakiki dari makrifat harus dimanfaatkan untuk membina kasih sayang di antara manusia, tidak digunakan untuk pembuktian kebenaran diri. Pembuktian kebenaran diri hanyalah hawa nafsu walaupun dikemas dalam bentuk kebenaran, dan hawa nafsu tidak akan menyentuh kebenaran. Kebenaran hanya akan disentuh oleh orang yang menginginkan kebaikan bagi umat manusia. Sumber-sumber kebenaran yang dapat diperoleh umat manusia yang menginginkannya terdapat dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.

Tidak sedikit orang beriman yang tidak memperhatikan tersusunnya hati di antara mereka. Mereka bersikap seperti orang yang bercerai-berai dan berselisih, bahkan bercerai berai dan berselisih (tidak sekadar menyerupai) dengan sesama orang beriman setelah datang kepada mereka keterangan yang jelas. Lebih rendah dari itu, kadangkala seseorang mencerai-beraikan manusia dan menjadikan berselisih hingga inti dalam diri manusia. Manusia dicerai-beraikan dengan isterinya dan dijadikan berselisih, hingga orang itu tercerai-berai dari segala yang terserak yang diciptakan Allah diperuntukkan bagi dirinya. Hal demikian merupakan jalan kehidupan munkar yang sangat disukai syaitan. Tidak ada makrifat dalam tindakan mencerai-beraikan manusia dan itu bertentangan dengan amar ma’ruf nahy munkar.

Membina sikap kasih sayang harus berlandaskan sikap hanif. Sikap hanif ditunjukkan sikap selalu berusaha mengikuti kebenaran dengan hati yang lurus. Sebagian orang berusaha mengikuti kebenaran tanpa menimbang nilai kebaikan dalam kebenaran yang diikutinya. Seringkali mereka mengikuti suatu seruan yang menekankan penegasan untuk mengikuti, sedangkan maksud penegasan itu adalah agar mereka tidak menggunakan akalnya. Sebagian orang mengikuti kebenaran hingga tingkatan tertentu kemudian melanggar had-had Allah sebagai pemilik kebenaran. Hal-hal demikian menunjukkan sikap tidak hanif. Orang yang bersikap hanif pada umat nabi Muhammad SAW akan mengikuti kitabullah dan berusaha memahami kehendak-Nya dengan sebaik-baiknya.

Batasan Kufur dan Iman

Ayat di atas adalah larangan untuk menyerupai orang yang bercerai-berai dan berselisih. Keadaan demikin tidak selalu menunjukkan adanya perselisihan dan percerai-beraian. Banyak hal yang dapat memunculkan fenomena penyerupaan dengan orang yang bercerai-berai dan berselisih, dan hal-hal demikian itulah yang dilarang ayat di atas. Keberadaan benih-benih percerai-beraian dan perselisihan akan memunculkan fenomena penyerupaan. Demikian pula akhlak yang mendorong pada percerai-beraian dan perselisihan akan memunculkan fenomena penyerupaan. Bercerai-berai dan berselisih larangannya berderajat lebih tinggi daripada larangan ayat di atas, apalagi menjadikan manusia tercerai-berai dan berselisih.

Orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah datang kepada mereka penjelasan yang nyata akan memperoleh adzab yang besar. Wajah mereka kelak akan menghitam. Mereka itu adalah orang-orang beriman yang hampir-hampir dan telah terjatuh pada kekufuran setelah beriman.

﴾۶۰۱﴿يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ
pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): "apakah kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu". (QS Ali Imran : 106)

Orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah datang penjelasan yang nyata termasuk dalam golongan orang yang kufur setelah keimanan. Mereka dahulu adalah orang-orang beriman dan tetap merasa beriman, tanpa merasakan kejatuhan mereka dalam sikap kufur. Dengan keadaan itu, Allah akan bertanya kepada mereka : "apakah kamu kafir sesudah kamu beriman?”. Hal itu akan menyadarkan mereka tentang sikap kufur yang telah terjadi yang dilakukannya, dan kemudian dinyatakan kepada mereka : Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu".

Batas kekufuran dalam urusan ini adalah menyerupai orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah datang kepada mereka keterangan yang nyata. Manakala timbul kecenderungan dalam diri untuk menyerupai orang yang berbantah dan berselisih, hendaknya orang beriman bersikap waspada terhadap dirinya sendiri. Bila ia melangkah lebih jauh hingga melakukan berbantah tentang keterangan yang nyata, ia akan jatuh dalam golongan orang kufur setelah beriman. Keserupaan dengan orang yang bercerai-berai dan berselisih merupakan batas kekufuran itu. Lebih dari itu akan menjadikan seseorang termasuk golongan orang yang kufur setelah beriman. Orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah datang keterangan yang nyata termasuk dalam kelompok orang yang kufur setelah beriman. Demikian pula orang yang mencerai-beraikan manusia dan memperselisihkan manusia, mereka akan menanggung adzab yang lebih besar dari orang yang bercerai-berai. Mereka akan menanggung sebagian beban orang yang mereka cerai-beraikan.

Setiap orang hendaknya berusaha menemukan kedudukan diri mereka di sisi Allah sebagai bagian dari umat Rasulullah SAW, dan menempatkan diri mereka bersama sahabat-sahabatnya dengan sebaik-baiknya. Kebersamaan dengan sahabat-sahabat itu hendaknya diupayakan untuk membentuk suatu jamaah mewujudkan urusan Allah untuk ruang dan jaman mereka. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh orang yang gemar berselisih dan bercerai-berai atau yang lebih dari itu. Bila setiap orang mengetahui kedudukan diri mereka di antara al-jamaah, maka penyerupaan terhadap orang yang bercerai-berai dan berselisih akan jauh dari mereka. Bilamana belum mengenal kedudukan diri, seseorang tidak akan mengenal sahabatnya, maka hendaknya mereka berusaha menemukan dan mengikuti orang yang paling mengetahui kandungan Alquran terkait urusan Allah untuk ruang dan jaman mereka.