Pencarian

Sabtu, 30 Oktober 2021

Penyempurnaan Nikmat Allah

Manusia diciptakan di muka bumi sebagai makhluk yang paling sempurna di antara seluruh makhluk Allah, melampaui kedudukan para malaikat mulia yang diciptakan dari cahaya. Allah berkenan memberikan kesempurnaan nikmat-Nya kepada makhluk berwujud manusia. Jalan untuk memperoleh kesempurnaan nikmat itu berada di dalam diri manusia sendiri. Hal itu akan diketahui oleh seseorang manakala ia diijinkan Allah untuk memperoleh keterbukaan terhadap dirinya sendiri. Dengan keterbukaan terhadap dirinya sendiri, ia akan mengetahui di antaranya amal-amal yang mendatangkan ampunan Allah bagi seluruh dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang. Dengan melaksanakan amal-amal itu, Allah akan memberikan ampunan yang dijanjikan, dan akan memberikan kesempurnaan nikmat-Nya dan memberikan petunjuk kepada shirat al-mustaqim.

﴾۲﴿لِّيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُّسْتَقِيمًا
supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus, (QS Al-Fath : 2)

Amal-amal itu adalah amal-amal yang ditentukan Allah bagi setiap orang sebelum kelahirannya di bumi. Dengan keterbukaan itu, ia mengenal perintah dan urusan Allah bagi dirinya.   

Keterbukaan seseorang terkait pengetahuan tentang nafs diri akan mengantarkan suatu keterbukaan lain berupa suatu pemahaman dalam diri seseorang tentang risalah Rasulullah SAW.  Seorang laki-laki yang benar dalam mengenal perintah dan urusan Allah akan mengenali perintah bagi dirinya itu dalam wujud bagian dari urusan rasulullah SAW. Tidak ada perintah dan urusan Allah yang terpisah dari urusan rasulullah SAW. Bila seseorang tidak menemukan perintah itu dalam urusan rasulullah SAW, ia harus berusaha benar-benar untuk mengenali urusan rasulullah SAW untuk ruang dan waktu dirinya, kemudian mencari hubungan perintah bagi dirinya dengan urusan rasulullah SAW.

﴾۱۵۱﴿كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
(Kami menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.(QS Al-Baqarah : 151)

Keterbukaan kesadaran tentang risalah Rasulullah SAW adalah salah satu bentuk penyempurnaan nikmat Allah yang paling utama kepada manusia. Ayat ini sangat terkait dengan penyempurnaan nikmat Allah yang lain berupa keterbukaan terhadap jiwa yang disebut sebagai al-fath. Seseorang yang menerima penyempurnaan nikmat Allah akan dimulai dengan suatu keterbukaan terhadap jiwa dan sebagian ketetapannya, kemudian akan mengenal kedudukan dirinya dalam perjuangan rasulullah SAW.

Akal Untuk Mengikuti Sunnah

Struktur manusia telah diciptakan sedemikian hingga cukup mewadahi setiap orang untuk mampu mengenal peran dirinya dalam perjuangan rasulullah SAW, yaitu bila seseorang mengikuti langkah rasulullah dengan benar. Kelengkapan yang membuat seseorang mengerti kedudukan diri dalam perjuangan rasulullah SAW adalah akal. Akal bukanlah, dan tidak sama dengan kemampuan logika. Akal merupakan wujud kemampuan manusia untuk mengerti dan terhubung dengan kehendak Allah. Akal itu bagian dalam jiwa manusia yang akan mampu membaca Alquran sesuai dengan kehendak Sang Pemberi Firman, hingga seseorang mengerti apa yang diajarkan rasulullah SAW. Akal berbeda dengan kemampuan logika seseorang.

Akal merupakan kelengkapan manusia pada tingkatan bathin, sedangkan kemampuan logika hanya merupakan bayangan akal pada tingkat jasadiah manusia yang seringkali tidak serupa dengan akalnya. Kekuatan akan sangat terkait dengan tingkat kesucian jiwa manusia, sedangkan kekuatan logika tergantung pada kekuatan pengamatan terhadap alam fisik. Tidak ada seseorang yang bisa memahami ayat-ayat Allah tanpa akalnya, atau dengan jiwa yang tidak disucikan. Seseorang dengan akal yang kuat kadangkala diberi bayangan logika tidak sama panjang dengan akalnya, sebaliknya akal yang lemah kadangkala mempunyai bayangan yang panjang dan menakjubkan.

Sekelompok umat yang terlalu berlebihan dalam menjalankan agama mengatakan bahwa mereka tidak mendahulukan akal dalam mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Perkataan demikian ini sebenarnya tidak pada tempatnya, karena mengikuti rasulullah SAW hanya dapat dilakukan dengan menggunakan akal. Orang-orang yang berlebihan seringkali tidak mengetahui keberadaan akal dalam diri mereka, sedangkan yang mereka maksud dengan akal adalah kekuatan logika. Dengan cara demikian ini, ayat-ayat alquran dan sunnah yang berbicara tentang akal sebenarnya tidak dapat dimengerti sesuai dengan kehendak Allah. Selanjutnya banyak kesalahan yang ditimbulkan ajaran kaum yang berlebihan sehingga agama tidak dapat dipahami oleh umat manusia dengan jernih, fitnah-fitnah bertaburan mencoreng agama.

Hanya dengan akal manusia dapat mengikuti sunnah Rasulullah SAW dengan benar, dan akal hanya terdapat pada orang-orang yang berusaha mensucikan dirinya. Akal yang sempurna terdapat pada orang-orang yang disucikan Allah, bukan orang yang sekadar mensucikan dirinya. Sebagian kelompok umat melakukan klaim sebagai pengikut sunnah nabi yang paling benar, tetapi mereka membuang akal mereka dalam mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Tanpa melakukan tazkiyatun nafs, sekelompok orang membaca tuntunan yang ditinggalkan rasulullah SAW secara acak dengan hawa nafsu, dan kemudian mereka mengaku sebagai orang yang paling benar dalam mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Kaum khawarij sebenarnya bangkit dari golongan yang demikian, bahkan mereka adalah orang-orang yang membaca Alquran dan beribadah dengan cara yang menakjubkan para sahabat Rasulullah SAW.

Mencari ilmu dengan cara demikian merupakan cara mencari ilmu yang tidak benar, karena akal hanya ada pada orang-orang yang mensucikan jiwanya. Meninggalkan pensucian jiwa dalam mencari ilmu sebenarnya menunjukkan pencarian ilmu hanya dilakukan atas dasar hawa nafsu. Mungkin hawa nafsu akan menjadi baik, tetapi hawa nafsu selalu ada kecenderungan untuk melenceng. Hawa nafsu dapat berkembang dengan baik bila dipimpin oleh nafs. Orang yang ingin belajar agama dengan benar harus mengikuti orang yang mengajarkan tatacara mensucikan jiwa, bukan hanya membahas ayat-ayat atau sunnah saja. Tentu ayat-ayat Allah dan sunnah Rasulullah merupakan pembahasan utama dalam majelis ilmu yang benar, tetapi seseorang tidak boleh meninggalkan tahap pensucian diri dalam mencari ilmu agama.

Hanya dengan mensucikan jiwa-lah akal akan tumbuh hingga terjadi pelimpahan keterbukaan pemahaman sepenuhnya terhadap risalah Rasulullah SAW, pelimpahan keterbukaan terhadap amal-amal yang menjadi jalan turunnya maghfirah Allah bagi dosa-dosanya yang telah lampau ataupun dosa yang akan datang, dan pelimpahan keterbukaan pemahaman tentang shirat al-mustaqim bagi dirinya. Ini adalah tatacara yang benar dalam mengikuti rasulullah SAW. Orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dalam mengikuti rasulullah SAW hanya akan terjebak (sebenarnya : dijebak), dalam klaim-klaim sebagai pengikut sunnah yang paling benar, sedangkan mereka terpuruk dalam hawa nafsu mereka saja. Akal mereka terpuruk mengikuti taghut.

Di sisi lain, sekelompok umat manusia berusaha mensucikan jiwa mereka, tetapi terlalai menumbuhkan akal untuk memahami kehendak Allah melalui firman-Nya dalam kitabullah dan alam kauniyah. Hal ini berpotensi menjadikan mereka tersesat. Mereka mungkin akan mempunyai hati tapi tidak digunakan untuk memahami firman-Nya, mempunyai mata tetapi tidak digunakan untuk melihat, mempunyai pendengaran tetapi tidak digunakan untuk mendengar. Dengan keadaan ini, mereka dapat tersesat dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya. Mereka dapat melihat dan mendengar tetapi tidak tahu harus menuju ke arah mana kehidupan mereka dilangkahkan. Tidak jarang mereka menjadikan makhluk lain sebagai taghut, menyangka bahwa apa yang keluar darinya adalah jejak suci tuhan. Sedangkan akal mereka tidak digunakan untuk memahami firman Allah dan kadangkala bahkan mendustakan firman-Nya untuk mengikuti taghutnya.

Pembinaan akal harus dilakukan pada diri setiap manusia, yaitu dengan melakukan pensucian jiwa dan memberikan pengetahuan tentang ayat-ayat Allah. Termasuk dalam pensucian jiwa adalah berlatih untuk mengenali hawa nafsu dan perbedaannya dengan nafs muthmainnah, menguasai hawa nafsu dan mengendalikannya untuk ibadah yang sebenarnya kepada Allah. Tidak ada pensucian jiwa dapat dilakukan dengan hanya mempermainkan emosi hawa nafsu, tetapi harus bisa menyentuh jiwa yang tenang. Akal manusia akan tumbuh manakala nafs yang bersih berupaya memahami ayat-ayat Allah di dalam kitabullah dan alam kauniyah.

Amal Sebagai Penyempurnaan Nikmat Allah

Kesempurnaan nikmat Allah yang paling utama bagi manusia berwujud keterbukaan pemahaman seseorang tentang risalah Rasulullah SAW melalui akal dalam jiwanya. Kesempurnaan itu seharusnya tidak berdiri sendiri. Ada penyempurnaan nikmat dalam bentuk lain berupa kemampuan mendzahirkan pengetahuan dalam jiwanya dalam wujud amal shalih bagi lingkungannya. Ada beberapa faktor yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk memperoleh keadaan demikian. Faktor pertama, kualitas jiwa seseorang harus dibina untuk mencapai akhlak mulia berupa akal yang memahami kehendak Allah. Hal ini harus dilakukan dengan pensucian jiwa. Selain faktor itu, jiwa dan raga seseorang harus dibina untuk dapat melahirkan amal-amal shalih bagi lingkungannya. Pembinaan jiwa dengan akhlak mulia dan pembinaan jiwa dan raga melahirkan amal shalih adalah dua pilar yang mendukung keterbukaan pemahaman seseorang terhadap risalah Rasulullah SAW.

Untuk memperoleh keadaan itu, dua langkah harus ditempuh seseorang bersama-sama. Membangun akal harus dilakukan bersama-sama dengan membangun bayt. Itu dua langkah satu tujuan. Kedua hal itu merupakan sarana agar Allah mengaruniakan kesempurnaan nikmat-Nya. Terbentuknya bayt berfungsi agar seseorang dapat melahirkan pengetahuan dalam jiwanya. Walaupun dua jalan, sebenarnya keduanya saling bergantung satu dengan yang lainnya, yang hampir tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Membina akal akan jauh lebih mudah dilakukan bersama dengan membangun bayt, dan membangun bayt akan dapat dilakukan dengan benar bila akal terbina. Kedua hal itu disebut dalam Alquran sebagai sarana untuk menyempurnakan nikmat Allah bagi manusia.

﴾۰۵۱﴿وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). Dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk. (QS Al-Baqarah : 150)

Masjid al-haram dijadikan qiblat akhir kehidupan umat manusia. Masjid al-haram merupakan representasi bentuk ubudiyah yang ideal bagi umat manusia, sebuah monumen bayt yang diijinkan Allah untuk disebut dan ditinggikan asma-Nya di dalamnya, dibangun oleh uswatun hasanah Ibrahim a.s yang menjadi tauladan bagi manusia. Perintah menghadapkan wajah menuju masjid al-haram adalah perintah kepada setiap orang beriman untuk mengarahkan kehidupan diri untuk membentuk bayt yang diijinkan Allah untuk disebut dan ditinggikan asma-Nya di dalamnya, mengikuti langkah perjalanan uswatun hasanah Ibrahim a.s dalam mendzikirkan asma Allah dan meninggikan asma-Nya melalui keluarga sakinah, yaitu Ibrahim a.s dan para ahlul bayt yang berjihad dalam perjuangan bersama beliau a.s.

Keluarga sakinah sebagai bayt tersebut merupakan wujud turunan dari seorang insan kamil yang harus terbentuk dalam struktur sosial. Bayt demikian merupakan lanjutan perjalanan seseorang manusia setelah sampai ke tanah haram. Seorang insan tidak mempunyai kepentingan untuk menjadi kamil kecuali untuk mendzikirkan asma Allah dan meninggikan asma-Nya, dan hal itu hanya dapat terbentuk melalui keluarga sakinah. Keluarga sakinah itu merupakan wujud nikmat Allah paling sempurna yang dilimpahkan Allah bagi seorang manusia, nikmat paling sempurna di antara seluruh makhluk.


Rabu, 27 Oktober 2021

Syafaat

Setiap manusia diciptakan dari suatu nafs wahidah yang mengenal kesatuan penciptaan. Dengan mengenal nafs wahidah dirinya, seseorang akan mengenal washilah dirinya dalam perjuangan kebenaran yang dipimpin oleh Rasulullah SAW. Bila orang itu menempati kedudukan dirinya dan berjuang untuk mengamalkan apa yang dijadikan amr bagi dirinya, ia akan memperoleh syafaat dari Rasulullah SAW, baik secara langsung ataupun syafaat melalui orang-orang yang memperoleh ijin Allah. Orang yang memperoleh ijin Allah untuk bersyafaat sebenarnya adalah orang yang telah memperoleh syafaat dari Rasulullah SAW, secara langsung ataupun dalam silsilah yang tidak terputus.

﴾۳۲﴿وَلَا تَنفَعُ الشَّفَاعَةُ عِندَهُ إِلَّا لِمَنْ أَذِنَ لَهُ حَتَّىٰ إِذَا فُزِّعَ عَن قُلُوبِهِمْ قَالُوا مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
Dan tiadalah bermanfaat syafa'at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya baginya, sehingga apabila telah dihilangkan keterperanjatan dari hati mereka, mereka berkata "Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhan-mu?" Mereka menjawab: “kebenaran", dan Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS Saba : 23)

Tidak ada manfaat di sisi Allah mencari syafaat kepada orang-orang yang tidak diijinkan untuk bersyafaat. Hadirnya syafaat menentukan perbedaan kedudukan seseorang sebagai orang yang benar-benar berada di atas petunjuk,  atau ia tidak termasuk dalam kategori itu hingga termasuk orang yaang berada dalam kesesatan. Kadangkala semua golongan demikian mengatakan sebagai orang yang berada di atas petunjuk. Persoalan ini seringkali tidak mudah untuk dilihat, hingga sebagaimana dahulu makhluk-makhluk langit yang tinggi tidak dapat melihat kesesatan dalam diri Iblis sebelum Allah menyatakannya dengan perbuatan-Nya. Menyaksikan perbantahan antara makhluk-makhluk yang tinggi merupakan hal yang menggetarkan bagi kebanyakan makhluk, karena mungkin saja tidak ada yang mengetahui kesalahan di antara keduanya. Hanya yang lebih tinggi yang mengetahui duduk persoalan sebenarnya. Dalam hal ini, syafaat yang bersambung kepada Rasulullah SAW dapat membedakan kedudukan di antara mereka.

Dasar dari silsilah ini adalah nafs wahidah. Pengenalan seseorang terhadap nafs wahidah diri menunjukkan kemungkinan keterhubungan silsilah seseorang terhadap Rasulullah SAW. Ia akan mengenal silsilah wasilahnya kepada Rasulullah SAW. Indikasi ini tidak berdiri sendiri. Seseorang yang memperoleh syafaat demikian akan mengenal kebenaran dalam definisi “al-haqq”. Hal ini menunjukkan adanya suatu pengenalan terhadap realitas yang benar. Sebagai ilustrasi, Allah berfirman ketika pengusiran Iblis : “maka (inilah) alhaqq dan tentang Al-haqq-lah Aku berfirman”. Ketika iblis terusir dari surga, Allah sebenarnya memperkenalkan suatu bentuk realitas kebenaran tentang diri Iblis itu, baik kepada Iblis ataupun kepada seluruh makhluk. Realitas Iblis tidaklah sebagaimana persangkaan Iblis tentang dirinya, atau sebagaimana persangkaan makhluk lain tentang Iblis pada waktu itu. Sebelumnya, Iblis ditampakkan bagai pemimpin hamba Allah yang menjalankan perintah-Nya dengan penuh ketaatan, sedangkan sifatnya mengikuti kebenarannya sendiri tersembunyi dari pengetahuan para makhluk.

Keterbukaan tentang realitas yang benar (al-haqq) kepada seseorang akan membuat seseorang terperanjat. Itu adalah titik perubahan paradigma kehidupan menuju paradigma yang benar dalam diri seseorang, dan itu akan membuat mereka terkejut. Keterperanjatan seseorang dalam peristiwa ini akan dapat dikurangi atau ia dapat memperoleh landasan bilamana ia berpegang pada Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, dan hanya dengan cara ini seseorang akan memperoleh keselamatan. Masa keterperanjatan ini adalah masa yang berbahaya bagi setiap orang, karena keterbukaan itu disertai dengan terbitnya tanduk syaitan. Seseorang harus benar-benar memilah apa yang benar-benar alhaqq dan apa yang terbit dari tanduk syaitan. Tanpa berpegang pada Kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, seseorang akan mudah terjerumus mengikuti kebenarannya sendiri terpisah dari kebenaran yang bersumber dari Allah.

Pengenalan terhadap Al-haqq itu akan bernilai benar ketika masa keterperanjatan itu berlalu. Tanda berlalunya masa keterperanjatan ini adalah manakala seseorang memperoleh semua landasan pengetahuannya dari kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW tanpa cacat atau takalluf di dalamnya. Indikasi lain benarnya pengenalan terhadap alhaqq ditunjukkan oleh syafaat yang bersambung kepada Rasulullah SAW, tidak terputus pada salah satu washilah. Washilah kepada orang lain yang hidup pada jamannya akan membantu mengenali cacat dalam pemahamannya. Kedua tanda ini akan muncul bersama, di mana seseorang mengenal kedudukan dirinya dalam perjuangan Rasulullah SAW dan mengenal kedudukannya dalam Alquran, walaupun tentu hanya sebagian dari Alquran. Seseorang tidak boleh bersikeras pada pemahamannya sendiri karena mungkin saja terdapat cacat dalam pemahaman itu. Sikap keras kepala syaitan menjadikannya tidak memahami kebenaran firman Allah.

Sulit untuk menemukan apa yang dapat dilakukan oleh seseorang yang berbantah dalam keadaan demikian. Dalam perkara itu, hal paling baik yang dapat dilakukan orang yang benar adalah bersumpah : “sesungguhnya kami atau kamu, pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata”. Sumpah demikian menyiratkan kesulitan yang tinggi dalam membedakan petunjuk dibandingkan kesesatan di tingkatan tertentu. Seseorang mungkin berada di atas keyakinan benarnya kedudukannya, tetapi tidak dapat menunjukkan bukti kesalahan kepada lawannya, baik karena takut terperangkap jebakan keadaan, karena perkaranya yang sulit atau karena tertutupnya hati seseorang dari kebenaran, karenanya ia hanya dapat bersumpah demikian. Tersirat pula adanya ketakwaan berupa rasa takut pada orang yang benar untuk melakukan klaim benar walaupun ia mengetahui kebenaran, sedangkan mungkin ia bisa terjatuh pula dalam kesalahan.

﴾۴۲﴿ قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَىٰ هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
Katakanlah: "Siapakan yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?" Katakanlah: "Allah", dan sesungguhnya kami atau kamu, pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. (QS Saba’ : 24)

Kadangkala dalam kasus demikian seseorang mengangkat orang lain untuk menjadi saksi terhadap sumpah yang dikatakannya dalam perbantahan, sedangkan ia (yang diangkat) belum mempunyai kemampuan bersaksi atas kebenaran di antara keduanya itu. Selama ia belum mempunyai kemampuan bersaksi, ia tidak mempunyai kewajiban atas permintaan kesaksian itu, dan akan tiba masa ia harus menyampaikan atau menegakkan kesaksian itu manakala ia mempunyai kemampuan bersaksi.

Kemampuan bersaksi akan datang setelah masa keterperanjatan berlalu, dan setelah seseorang mengenal alhaqq dalam firman Allah. Ia akan mengerti firman-firman Allah, dan ketika orang-orang bertanya tentang firman Allah, maka ia dapat mengatakan realitas kebenaran sesuai dalam firman Allah. Ia hanya dituntut untuk memberikan kesaksian dalam batas kemampuan yang diberikan kepadanya. Hendaknya ia tidak menginginkan kebinasaan dirinya karena kesedihan. Sesedikitnya upaya yang dapat dilakukan adalah amal shalih, sedangkan mengharapkan kebinasaan karena kesedihan tidak mendatangkan kebaikan bagi siapapun termasuk dirinya, dan itu bukanlah jalan keluar yang dikehendaki Allah.

 

Menemukan Syafaat

Sangat penting bagi setiap orang untuk menemukan washilah yang bersambung kepada Rasulullah SAW. Washilah yang sebenarnya itu dapat ditemukan bila seseorang mengenali nafs wahidah dirinya. Dari kehidupan dunia yang gelap, seseorang harus mengenali nafs wahidah dirinya di alam yang tinggi. Hal ini sebenarnya mempersyaratkan seseorang untuk dapat bertindak sesuai tuntunan Allah. Seseorang tidak akan mengenal hakikat penciptaan dirinya yang tinggi tanpa suatu landasan kemampuan bersikap dengan benar sesuai tuntunan Allah. Pengenalan terhadap hakikat yang tinggi tanpa kemampuan bersikap sesuai tuntunan Allah hanya akan menjadikan manusia bersikap sombong sebagaimana kesombongan iblis. Pengenalan dengan cara itu akan mencelakakan. Iblis dahulu sangat taat menjalankan perintah Allah yang ditetapkan bagi dirinya, tetapi tanpa berlandaskan sikap yang benar. Seseorang harus benar-benar mempunyai kemampuan bersikap sesuai dengan tuntunan Allah.

Allah menurunkan wahana belajar mengenali nafs wahidah melalui pernikahan. Pasangan suami dan isteri merupakan representasi jiwa dan raga yang ada dalam pasangan itu. Sikap yang harus dilakukan seorang isteri terhadap suami adalah representasi sikap yang harus diperbuat oleh raga seseorang terhadap nafs wahidah, sedangkan sikap yang harus dilakukan seorang suami terhadap isteri merupakan representasi sikap jiwa terhadap raga. Hawa nafsu harus dibangun sesuai dengan atau mendekati sifat hubungan yang ideal pernikahan sesuai tuntunan agama. Bila seseorang berhasil belajar bersikap dengan benar dalam ikatan suami isteri, ia akan mendapat kesempatan mengenal nafs wahidah dirinya. Tanpa terbangun landasan sikap yang benar, pengenalan terhadap nafs wahidah yang tinggi bisa menjerumuskan seseorang dalam celaka.

﴾۱﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari nafs wahidah, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling bertanya satu sama lain, dan (bertakwalah) dalam al-arham. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS An-Nisaa : 1)

Mengenal nafs wahidah adalah jalan untuk menyatukan diri dengan perjuangan rasulullah SAW. Itu adalah sebuah aspek yang merupakan turunan utama dari tauhid. Untuk mencapai tujuan itu, ayat-ayat terkait nafs wahidah menjadi pijakan utama untuk pengenalan nafs wahidah. Logika manusia tidak akan bisa dibandingkan dengan Alquran, dan Alquran tidak akan tergantikan dengan logika manusia. Ketika Alquran mengkaitkan nafs wahidah dengan keberpasangan, keturunan, ketakwaan dan al-arham, hal-hal yang disebutkan itu merupakan petunjuk yang paling efektif untuk mencari jalan mengenal nafs wahidah, dan harus disikapi dengan benar. Banyak hal yang dapat mendukung seseorang mengenal nafs wahidah, tetapi jalan utamanaya adalah aspek yang disebutkan dalam ayat tersebut, sedangkan yang lain itu akan mengarah pada aspek-aspek dalam ayat tersebut.

Belajar bersikap benar harus mulai dilakukan sebelum terjadi pernikahan. Pada dasarnya, ada kaidah berupa petunjuk yang seharusnya diperhatikan seseorang untuk memulai pernikahan. Mekanisme petunjuk dalam menentukan jodoh ini menjadi awal pelajaran mengungkap keberadaan hal ghaib yang menjadi bagian diri seseorang. Ada orang yang memperhatikan kaidah itu dan memperoleh petunjuk, ada yang tidak memperhatikan tetapi memperoleh petunjuk, ada yang melewatkan petunjuk itu tetapi bersikap benar dalam menentukan pilihan pasangan dan banyak sikap-sikap lain termasuk sikap yang salah dalam menentukan jodoh. Semua hal terkait pemilihan pasangan akan mempengaruhi perjalanan seseorang untuk mengenal nafs wahidah.

Hal yang harus dihindari adalah bersikap kufur terhadap nikmat Allah dan bersikap takabbur. Kadangkala seseorang menentukan jodohnya di atas dasar kasta. Dalam beberapa hal, ini adalah bentuk kekufuran terhadap nikmat Allah. Bila petunjuk diabaikan dan mengutamakan kasta yang dibuatnya sendiri, itu merupakan bentuk kekufuran terhadap nikmat Allah. Takabbur seringkali sulit dirasakan kehadirannya di hati. Reaksi seseorang mensikapi jodoh yang datang dapat menunjukkan adanya kesombongan, dan ini harus diperhatikan oleh yang bersangkutan. Banyak bentuk-bentuk kekufuran dan kesombongan yang mungkin terjadi dalam pemilihan jodoh untuk pernikahan yang menutup jalan seseorang untuk mengenal nafs wahidah.

Sikap kufur dan takabbur yang tidak ditaubati akan menutup jalan seseorang untuk mengenal nafs wahidah. Bila ia bertaubat sedangkan ia berjodoh dengan orang lain yang juga bertaubat dengan benar, garis kehidupan mereka akan berjalan berdekatan atau berimpit hingga salah seorang atau keduanya meninggalkan jalan taubat. Hal ini dapat menimbulkan kerepotan tersendiri. Cedera dalam silaturahmi karena sikap kufur dan takabbur yang pernah dilakukan akan menjadi sumber masalah yang tidak boleh disikapi dengan keliru. Bila memungkinkan, solusi terbaik adalah melakukan pemaafan dan kemudian menikah hingga mereka dapat berjalan dalam jalan taubat hingga jalan yang lurus bersama-sama. Bila tidak memungkinkan, setidaknya setiap pihak harus berusaha memaafkan pihak yang lain dengan hatinya.

Mengarahkan haluan hidup pada arah yang sama dalam pernikahan menjadi pangkal tumbuhnya atmosfir yang baik dalam kasih sayang. Haluan bersama itu seharusnya mulai dibangun sejak sebelum pernikahan. Haluan itu adalah untuk mengenal nafs wahidah, agar menemukan jalan ibadah mereka kepada Allah. Bila hanya salah satu yang mengarah pada haluan itu, akan banyak perselisihan terjadi dan mengganggu munculnya atmosfir yang baik untuk mengenal etika dalam ibadah kepada Allah. Haluan yang bertentangan akan membuat bahtera tercabik-cabik. Seseorang yang hidup mencari jalan ibadahnya akan banyak mengalami kesulitan bila menikah bersama seseorang yang loba mengejar harta duniawi. Iktikad yang tidak bulat baik pada diri salah satu ataupun kedua pihak dalam mengarahkan haluan masing-masing akan mempengaruhi atmosfir rumah tangga yang terbentuk.

Hal berikutnya yang harus dipelihara adalah sikap ketakwaan yang terwujud dalam perhatian kepada pasangan sehingga bisa menjalankan bahtera dengan baik. Banyak hambatan dan tantangan yang akan mendidik manakala pernikahan dilakukan dengan haluan yang benar. Syaitan dapat merusak suatu urusan melalui prasangka-prasangka ataupun usaha memunculkan perbuatan manusia hingga merusak urusan. Fitnah demikian hanya dapat diimbangi dengan ketakwaan. Dalam tingkatan praktis, setiap orang harus berusaha mendengarkan dan memahami perkataan dan penjelasan pihak lain dengan benar, dan tidak menutupi atau menyembunyikan sesuatu yang merugikan atau tidak diinginkan dengan maksud buruk.

Kemampuan dan usaha menyampaikan sesuatu dengan tepat akan membantu mengurangi prasangka yang timbul, terutama tentang informasi yang dibutuhkan pihak lainnya. Demikian pula keterampilan dalam menyampaikan kebutuhan informasi dengan cara yang baik akan membantu mengurangi prasangka. Keterampilan menyampaikan informasi yang diinginkan sendiri tanpa mengindahkan kebutuhan informasi pihak lain seringkalai hanyalah wujud hawa nafsu. Hal ini tidak berarti membatasi jumlah informasi yang perlu disampaikan karena barangkali pasangannya membutuhkan stimulasi informasi. Yang perlu diperhatikan, hendaknya seseorang tidak mengumbar informasi berdasarkan keinginan sendiri, tetapi harus dengan landasan memikirkan kebutuhan informasi pihak lainnya. Semakin serupa haluan kedua pihak yang menikah atau akan menikah, semakin luas rentang informasi yang bebas dipertukarkan. Bila tidak terbentuk haluan yang sama, banyak pembicaraan yang harus dibatasi termasuk untuk bertanya. Syaitan lebih leluasa memasuki rumah tangga demikian.

Dalam bentuk lain, hasrat untuk mempertanyakan semua hal terkait kekurangan pihak lain merupakan wujud hawa nafsu. Kekurangan yang tidak dapat diterima saja yang harus sampaikan atau dipertanyakan kepada pasangannya, sedangkan kekurangan yang tidak menonjol ada baiknya bisa diterima dan dipahami dalam proses yang lebih panjang dengan semua proses yang mendidik kesabaran dan sifat baik lainnya.

Mewujudnya ketakwaan dalam komunikasi demikian akan menjadi pijakan bagi pasangan suami isteri untuk dapat melangkah mengenal hakikat yang lebih tinggi hingga mengenal nafs wahidah. Hal ini harus dimulai sejak memilih jodoh. Adanya ketakwaan menjadi pijakan seseorang melangkah, yang tidak dapat dilakukan di atas pijakan prasangka-prasangka. Ketakwaan adalah pijakan yang benar walaupun mungkin bentuk yang terwujud tidak sempurna. Sebaliknya, wujud-wujud yang indah tidak selalu menunjukkan adanya ketakwaan kepada Allah. Ketakwaan tidak terwujud dari sikap-sikap semu walaupun mungkin tampak indah. Hendaknya semua sikap terlahir dari landasan ketakwaan, tidak menjadi menara gading tentang ketinggian budaya yang menjadi bahan kesombongan.

Dengan memberikan perhatian pada pasangannya, seseorang akan memperoleh cermin diri yang akan menunjukkan jalan mengenal nafs wahidah. Ada aspek kasih sayang yang akan tumbuh dengan perhatiannya kepada pasangan, di mana kasih sayang itu akan memperkuat nafs wahidah dalam menemukan bagian dirinya, sehingga perjalanan itu tidak dilakukan sepihak oleh raganya. Dengan tumbuh bersama pasangan, pengetahuan tentang etika kepada yang Maha Tinggi akan terbentuk dalam diri melalui pergaulan pernikahan mereka dalam rasa kasih sayang. Ada persiapan yang baik untuk mengenal alam tinggi nafs wahidah mereka bila seseorang menikah. Bila seseorang memperhatikan diri sendiri untuk mencari jalan mengenal diri, hawa nafsu akan memperoleh tempat untuk melakukan aksi menipu. Kecintaan diri akan memperkuat hawa nafsu bila seseorang memperhatikan dirinya sendiri.



Jumat, 15 Oktober 2021

Memasuki Islam Secara Kaaffah

Setiap manusia diciptakan di alam mulkiyah berdasarkan suatu nafs wahidah tertentu yang mengenal kesatuan penciptaan. Setiap raga manusia yang seringkali bertengkar dan berbantah-bantahan di permukaan bumi sebenarnya diberi potensi untuk mengenal nafs wahidah. Dengan nafs wahidah, seseorang dapat mengenal kedudukan dirinya dalam Al-jamaah berdampingan bersama sahabat-sahabat yang dekat dengan diri mereka masing-masing, ataupun harus menjadi bagian seseorang yang dekat dengan dirinya dalam hubungan vertikal. Yang dimaksud sebagai orang yang dekat dalam hubungan al-jamaah yaitu kedekatan yang ditetapkan semenjak sebelum penciptaan mereka. Dalam hubungan secara transenden, seseorang akan menemukan puncak silsilahnya dalam wujud Rasulullah Muhammad SAW, yaitu bila ia mengenal nafs wahidah dirinya.

Hanya dengan mengikuti rasulullah SAW seseorang akan menemukan agama secara menyeluruh. Manusia ditempatkan di alam mulkiyah yang paling jauh dari sumber cahaya Allah, dan diberikan kepada mereka jalan untuk kembali kepada sumber cahaya asal keberadaan mereka. Jalan itu hanya terdapat pada satu titik yang ditentukan, yaitu dengan mengikuti rasulullah SAW secara kaaffah. Mengerti cara mengikuti rasulullah SAW secara kaaffah ini adalah gerbang memasuki agama.

Seseorang tidak akan memperoleh jalan kembali kepada Allah dengan menempuh perjalanan tanpa mengikuti rasulullah SAW. Mungkin seseorang bisa selamat walaupun belum menemukan jalannya kembali kepada Allah, tetapi perjalanannya untuk menuju Allah harus dilanjutkan di alam-alam berikutnya. Kehidupan dunia ini secara umum bersifat tanzih, yaitu kehidupan tanpa jalan pulang ke tempat yang tinggi menuju Allah. Mungkin ada jalan ke tempat yang tinggi, tetapi tidak kembali kepada Allah. Allah memberikan jalan kembali kepada-Nya bagi manusia pada titik-titik tertentu dalam kehidupan mereka. Titik-titik yang ditentukan untuk kembali kepada Allah itu dapat disebut jalan tasbih yang memungkinkan seseorang berjalan kembali kepada Allah.

Menempuh jalan tasbih itu adalah mengikuti rasulullah SAW secara menyeluruh (kaaffah) hingga terwujudnya amal-amal, karena beliau adalah rasul Allah yang menyeluruh (kaaffah) bagi seluruh umat manusia. Ini adalah sebuah standar kecukupan agama seseorang. Agama seseorang akan bernilai kurang bila tidak atau belum mengerti dan mengikuti keislaman secara kaaffah. Untuk memperoleh kecukupan ini, secara tersirat dipersyaratkan kepada orang beriman untuk mengetahui amr rasulullah SAW untuk ruang dan waktu dirinya, dan mengetahui urusan yang harus dikerjakannya bagi amr rasulullah SAW. Dengan beramal berdasarkan pengetahuan itu maka seseorang dapat memasuki islam secara menyeluruh. Itu adalah keislaman yang menyeluruh, tidak ada bagian diri yang tertinggal mengikuti dorongan atau tarikan yang lain, baik keinginan jasmaniah, hawa nafsu ataupun petunjuk-petunjuk syaitan.

﴾۸۰۲﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS Al-Baqarah : 208)

Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk masuk ke dalam Islam secara menyeluruh. Ketika seseorang mulai memahami perintah untuk memasuki islam secara menyeluruh (kaaffah), tantangan besar yang akan dihadapi adalah tipuan-tipuan syaitan. Mereka mungkin tidak lagi berhadapan dengan dorongan duniawi dan hawa nafsu sendiri, tetapi tipuan itu bergeser pada tipuan syaitan. Secara tersirat, orang yang dapat memasuki islam secara menyeluruh (kaaffah) adalah seseorang yang telah menguasai keinginan jasmaniah dan hawa nafsu. Jalan ini tidak akan diketahui oleh orang-orang yang masih mempunyai iktikad untuk mengikuti keinginan jasmaniah dan hawa nafsu, karena kedua hal itu akan menutupi akalnya untuk melihat jalan tasbih mereka. Hanya orang-orang yang bersih dari iktikad mengikuti keinginan jasmani dan hawa nafsu yang dapat melihat jalan untuk memasuki islam secara menyeluruh (kaaffah).

Hal ini tidak selalu menunjuk pada seseorang yang tidak mempunyai keinginan jasmaniah dan hawa nafsu, tetapi menunjukkan bahwa orang itu telah terlatih untuk dapat menguasai diri mereka untuk mengikuti kehendak Allah. Mereka mungkin belum mempunyai kekuatan, tetapi akan diberi kekuatan untuk melaksanakan kehendak-Nya itu. Ada faktor lain  yang bisa memperkuat kedudukan seseorang selain bersihnya iktikad memperturutkan keinginan duniawi dan hawa nafsu, yaitu dengan memahami islam secara kaaffah, dan hal itu dapat diperoleh bila seseorang memahami amr jami’ Rasulullah SAW dalam ruang dan waktu mereka. Dalam hal ini, syafaat rasulullah SAW mungkin mendahului kualitas diri seseorang. Hal ini mungkin terjadi atas orang-orang yang memiliki hati yang ikhlas.

Bagi orang yang memperoleh syafaat sedangkan keadaan mereka tidak benar-benar kokoh, mereka harus berlatih untuk kuat dalam mengendalikan diri dan beribadah. Amanah yang dilimpahkan kepada mereka seringikali akan benar-benar terasa berat tidak dapat ditanggung tanpa menjalin hubungan yang baik dengan Allah. Aspek jasadiah hingga aspek jiwa harus ditata dengan sebaik-baiknya menurut tatanan Alquran, karena dengan tatanan itu amanah Allah dapat ditanggung. Seringkali tatanan demikian tidak dapat dimulai dari diri sendiri, tetapi harus dimulai dengan menata pernikahan sebagai bentuk penyatuan jiwa yang terserak. Tatanan itu seringkali harus dimulai dengan menjadikan seseorang utuh terlebih dahulu melalui penyatuan jiwa dalam pernikahan mereka.

Walaupun telah menguasai syahwat dan hawa nafsu, tidak ada jaminan bagi seseorang akan selamat dalam tipuan syaitan. Tanduk syaitan akan terbit bagi seseorang ketika matahari mulai terbit dan ketika matahari akan tenggelam. Terbitnya matahari itu salah satunya berupa awal keterbukaan pemahaman seseorang tentang amr jami’ Rasulullah SAW. Seseorang yang mengalami keterbukaan pemahaman tersebut harus sangat berhati-hati dengan berpegang teguh kepada Alquran dan sunnah rasulullah SAW tidak melanggarnya sedikitpun, karena tipuan syaitan sangatlah lihai. Tanpa berpegang pada kedua tuntunan itu, seseorang hanya menjadi makhluk bodoh yang bisa dipermainkan oleh syaitan dengan mudah.

Syaitan adalah musuh bagi manusia. Apa yang dikerjakan seseorang yang tertipu oleh syaitan sebenarnya akan menyebabkan kerusakan yang besar di antara umat manusia. Seseorang tidak boleh memandang ringan dalam melakukan perbuatan yang melanggar syariat ketika pemahaman tentang amr diri terbuka, karena itu adalah tipuan syaitan yang berakibat (sangat) buruk bagi umat manusia. Upaya tipuan syaitan bagi orang-orang demikian akan dilakukan untuk menimbulkan kerusakan yang sangat besar bagi umat manusia bila memungkinkan, dan akan tetap dilakukan hingga setidaknya seseorang merusak dirinya sendiri saja. Cara yang paling efektif digunakan syaitan dalam hal itu adalah merusak jalan seseorang membentuk bayt untuk meninggikan asma-Nya, yaitu merusak pernikahan memisahkan antara seorang laki-laki dari isterinya.

 

Tipuan Syaitan

Boleh jadi seseorang tergelincir mengikuti syaitan ketika terbuka pemahaman tentang islam kaaffah bagi dirinya. Ada kerusakan yang akan menghadang mereka karena perbuatan syaitan yang terlaksana melalui mereka, karena syaitan adalah musuh yang nyata yang sangat ingin merusak umat manusia seluruhnya dari jalan Allah. Keinginan syaitan bertentangan dengan kehendak Allah yang menghendaki kebaikan bagi makhluk-Nya, karena itu perbuatan mengikuti syaitan sebenarnya juga bertentangan dengan kehendak Allah.

﴾۹۰۲﴿فَإِن زَلَلْتُم مِّن بَعْدِ مَا جَاءَتْكُمُ الْبَيِّنَاتُ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Tetapi jika kamu tergelincir (dari jalan Allah) sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran, maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Al-Baqarah : 209)

Hendaknya seseorang yang tergelincir berusaha mengetahui hal yang demikian. Akan datang keterangan yang nyata baginya tentang perbuatannya tersebut, memberikan peringatan tentang kesalahan yang dilakukannya. Keterangan itu bahkan seringkali mendahului peristiwa ketergelincirannya, menandakan bahwa seseorang benar-benar tergelincir, bukan melakukan perbuatan akibat kesalahan manusiawi. Ketergelinciran terjadi karena mengikuti syaitan yang menjadikannya memandang indah perbuatannya. Peristiwa ketergelinciran itu bisa dikatakan pengesahan atas keadaan dirinya. Seseorang sebenarnya harus memperhatikan setiap keterangan yang datang bagi dirinya, agar ia terhindar tidak termasuk orang-orang yang tergelincir. Ketergelinciran seringkali terjadi karena kurang memperhatikan keterangan Allah, sedangkan ia memandang indah apa yang ada pada dirinya karena sihir syaitan.

Di pihak lain, seseorang tidak boleh mengharap akan menemukan bukti ketergelinciran orang lain, karena sebenarnya Allah memberikan keterangan ketergelinciran kepada diri seseorang sebelum ia tergelincir. Bila seseorang memperhatikan keterangan yang didatangkan Allah kepadanya, ia akan tidak tergelincir. Seseorang tidak boleh menunggu untuk membuktikan orang lain tergelincir. Bukti ketergelinciran seseorang harus dirunut pada peristiwa sebelum ia tergelincir, tidak ditunggu datangnya bukti tergelincir. Bila seseorang menduga orang lain akan tergelincir, ia harus berusaha menemukan penyebab ketergelincirannya dan memberikan peringatan kepadanya tentang hal itu. Barangkali Allah berkehendak menyampaikan keterangan itu melalui dirinya.  Seseorang hanya boleh menganggap orang lain tergelincir bila telah melihat ketergelinciran orang itu, tidak boleh berprasangka orang lain tergelincir tanpa mengetahui ketergelincirannya.

Bilamana  seseorang meneruskan perbuatannya yang tergelincir, maka ia akan berhadapan dengan asma Allah yang Maha Perkasa. Syaitan pada dasarnya tidak akan berhenti mempergunakan seseorang yang tergelincir untuk menimbulkan kerusakan yang sebesar-besarnya bagi umat manusia. Syaitan akan memperkuat waham seseorang yang membuatnya tergelincir dan menjadikannya alat untuk terus menimbulkan kerusakan di antara manusia. Hal itu harus disadari sebagai awal jalannya meluruskan langkahnya kembali kepada Allah. Bila ia terus mengikuti salah satu waham yang salah itu, ia akan terus menjadi alat syaitan untuk merusak manusia, dan pada akhirnya akan berhadapan dengan asma Allah yang Maha Perkasa, tidak akan terkalahkan oleh tipuan syaitan apapun.

Bilamana ia menyadari dan ingin kembali kepada jalan Allah, maka ia akan menemukan asma Allah yang Maha Bijaksana. Ia harus menyadari kesalahan waham yang diikutinya dan memperbaiki waham yang menjadi pijakan syaitan dan perbuatannya dengan ilmu berdasarkan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Allah telah menurunkan seluruh petunjuknya dalam kedua tuntunan itu, dan seseorang hendaknya tidak mengambil kesumiran yang dihembuskan syaitan ketika membaca kedua tuntunan itu. Hendaknya ia berlindung kepada Allah dari syaitan ketika membaca Alquran. Dengan pemahaman yang benar terhadap Alquran dan sunnah rasulullah SAW, ia harus memperbaiki dan mengawasi segenap waham pengetahuannya, sehingga syaitan tidak mempunyai tempat berpijak pada dirinya.

Usaha yang dapat dilakukan untuk menghindari kesumiran itu adalah dengan berusaha memahami Alquran dalam konteks yang lebih utuh, tidak mengambil salah satu ayat atau potongan ayat untuk membenarkan kebenaran versinya sendiri. Hampir tidak mungkin seseorang dapat memahami seluruh kandungan Alquran kecuali rasulullah SAW, tetapi semakin banyak ayat yang dipahami, akan semakin berkurang cacat pemahaman seseorang terhadap Alquran dan semakin indah pemahaman itu. Seseorang akan menemukan asma Allah yang Maha Bijaksana bila ia kembali ke jalan Allah.

Kamis, 07 Oktober 2021

Takwa dalam Mengikuti Rasul

Untuk menemukan washilah kepada Rasulullah SAW, setiap orang harus mempelajari ayat-ayat Allah. Memahami ayat Allah menjadi syarat utama bagi setiap orang untuk dapat mengikuti Rasulullah SAW dengan benar. Tidak ada orang yang benar dalam mengikuti Rasulullah SAW tanpa memahami ayat-ayat-Nya, dan tidak ada yang dapat memperoleh washilah hingga kepada beliau SAW tanpa memahami ayat-ayat Allah. Hanya orang yang memahami ayat-ayat-Nya dengan benar yang dapat mengikuti Rasulullah SAW dan memperoleh washilah beliau SAW.

Ayat-ayat Allah digelar dalam beberapa wujud, dan masing-masing saling berhubungan. Alquran adalah ayat qauliyah yang berwujud firman, sedangkan ayat kauniyah digelar Allah bagi makhluk dalam wujud alam semesta beserta seluruh proses yang terjadi. Setiap manusia diciptakan di atas dasar sebuah kitab diri, kitab yang merupakan bagian dari Alquran yang harus dipahami oleh setiap orang. Seluruh kitab-kitab itu adalah ayat-ayat Allah yang tidak ada perselisihan antara satu dengan yang lainnya.

Allah mengutus kepada umat manusia rasul-rasul dari kalangan mereka sendiri untuk membacakan ayat-ayat Allah kepada mereka. Pengutusan itu merupakan rahmat bagi umat manusia, agar manusia dapat mengerti tentang ayat-ayat Allah. Apa yang diajarkan oleh rasul bagi umatnya adalah ayat-ayat Allah dalam setiap bentuknya, sehingga seseorang dapat mengerti keterkaitan antara ayat alquran dengan ayat kauniyah pada semesta mereka, juga keterkaitan dengan ayat dalam kitab dirinya.

﴾۵۳﴿يَا بَنِي آدَمَ إِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ رُسُلٌ مِّنكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ آيَاتِي فَمَنِ اتَّقَىٰ وَأَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Hai anak-anak Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul dari kalangan kamu yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku, maka barangsiapa yang bertakwa dan mengadakan ishlah, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS Al-A’raaf : 35)

Allah telah mengutus kepada setiap umat rasul-rasul dari kalangan mereka sendiri. Sebagian dari rasul diceritakan kepada manusia dalam kitabullah, dan sebagian tidak diceritakan. Para rasul yang diceritakan dalam kitabullah Alquran menjadi kisah dan tauladan bagi umat manusia di setiap jaman dan tempat, tidak terbatas pada umat mereka saja, sedangkan para rasul yang tidak diceritakan adalah orang-orang yang diberi amanah dan tugas untuk membacakan ayat-ayat Allah kepada umat mereka saja.

Setiap orang yang diberi tugas untuk membacakan ayat Allah kepada manusia sebenarnya termasuk dalam kategori orang yang memperoleh tugas kerasulan. Hal ini perlu disadari oleh orang-orang yang berusaha mencari jalan washilah, sehingga ia tidak mengabaikan ketika petunjuk menuju jalan dibukakan Allah. Rasulullah SAW adalah khatamun nabiyyin, sedangkan para ulama yang bertugas membacakan ayat Allah kepada manusia sebenarnya menjadi bagian dari kerasulan beliau SAW.

Dalam hal ini, ulama yang memperoleh tugas membacakan ayat Allah adalah ulama yang dapat membacakan seluruh ayat dalam berbagai wujudnya secara terintegrasi, baik ayat qauliyah, ayat kauniyah dan ayat dalam kitab diri seseorang. Kadangkala seseorang berusaha membaca ayat-ayat Allah dengan kebebasan hawa nafsu mereka, sedangkan mereka tidak mengetahui isi kitabullah kecuali hanya menduga-duga. Ulama yang tidak dapat memahami integritas ayat-ayat Allah tidak termasuk dalam kategori orang yang mengemban tugas kerasulan. Ulama yang dapat membacakan ayat-ayat itu tetapi tidak ditugaskan Allah untuk hal itu tidak termasuk dalam kategori yang memperoleh tugas kerasulan. Ulama yang memperoleh tugas bagian dari kerasulan akan mengerti integralitas ayat-ayat Allah baik qauliyah maupun kauniyah, dan seringkali Allah mengijinkan dan membukakan kepadanya kitab diri seseorang yang hadir mencari pengetahuan dari dirinya.

Ketika seseorang menemukan seseorang yang dapat membacakan ayat-ayat Allah, ia harus membangun ketakwaan dan berbuat sesuai dengan ayat-ayat Allah yang dimengerti dan diajarkan. Ketakwaan bisa dikatakan sebagai upaya membangun entitas jiwa dan raga agar tumbuh sesuai dengan kehendak Allah atas dirinya. Ada sifat-sifat mulia Allah yang harus ditumbuhkan setiap manusia di dalam dirinya. Parameter ketakwaan antara lain adalah tumbuhnya pohon thayyibah untuk memahami cahaya Allah. Dengan tumbuhnya ketakwaan, maka Allah akan mengajari seseorang, sedangkan tanpa ketakwaan tidak ada bagian diri manusia untuk memahami apa yang Allah ajarkan.

Ketakwaan merupakan bekal yang paling esensial dalam diri setiap manusia. Seseorang yang bertemu dengan seorang rasul harus membangun ketakwaan agar ia dapat memahami ayat-ayat Allah bagi dirinya dengan benar, tidak hanya membangun ketergantungan kepada rasul yang mengajarinya. Rasul yang benar akan membina muridnya menuju ketakwaan, tidak menjadikan mereka bergantung kepada dirinya. Namun upaya ini harus diperhatikan dengan baik dan hati-hati, karena banyak tipuan yang dihadapi oleh seseorang yang mencari ilmu, baik hawa nafsu maupun syaitan ataupun tumpang tindih upaya syaitan berdasarkan hawa nafsu.

Berdasarkan ketakwaan yang terbangun, seseorang harus berusaha untuk mewujudkan amal-amal shalih. Amal-amal shalih mereka akan mengalirkan kebaikan dari sisi Allah menuju objek-objek yang membutuhkan amal shalih mereka. Pada puncaknya, seseorang akan melihat bahwa Allah telah menetapkan bagi dirinya amal-amal yang harus dilaksanakan di dunia, tertulis dalam kitab dirinya. Itu adalah amal shalih yang sebenarnya.

 

Ahli Neraka dan Pendustaan Ayat Allah

Sebagian orang mendustakan ayat-ayat Allah. Orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan menyombongkan diri terhadapnya adalah ahli neraka. Mereka akan menjadi penghuni tetap neraka tidak akan berpindah ke surga, bukan orang-orang yang terpaksa singgah di neraka. Mereka itulah yang dikatakan sebagai ashabu an-naar. Hal ini terutama terkait dengan pendustaan pembacaan ayat Allah oleh seorang rasul, tetapi setiap pendustaan terhadap ayat-ayat Allah merupakan barometer kedudukan seseorang di akhirat kelak. Pendustaan terhadap Alquran sama saja dengan mendustakan Rasulullah SAW.

Perbuatan ini sebenarnya merupakan indikasi kerusakan yang sangat parah pada jiwa seseorang. Fenomena pendustaan semacam ini menunjukkan bahwa jiwa seseorang telah kehilangan rasa terhadap kebenaran dalam ayat-ayat Allah. Kerusakan ini berkelindan dengan kesombongan yang tumbuh membuat jiwa mengalami kerusakan yang sangat parah, hingga Allah mengganjar kerusakan itu dengan menjadikannya penghuni tetap neraka.

Tidak semua orang yang tidak menerima kebenaran termasuk dalam golongan ini. Kadangkala seseorang masih perlu berpikir dalam menerima kebenaran. Barangkali Allah tidak menempatkannya dalam neraka selamanya karena dosanya itu, dan boleh jadi suatu saat yang dekat ia akan berubah menerima ayat-ayat Allah. Golongan pendusta dan sombong ini menunjukkan gejala secara bersamaan, yaitu mendustakan ayat Allah, dan menganggap remeh orang yang menyampaikannya. Kadang kesombongan ini ditunjukkan dengan menganggap orang yang menyampaikan ayat-ayat Allah sebagai orang gila, atau orang yang terobsesi, atau hanya mengikuti syaitan, baik anggapan itu tersampaikan atau tidak tersampaikan.

﴾۶۳﴿وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا أُولٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, mereka itu penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS Al-A’raaf : 36)

Banyak sebab yang menjadikan seseorang bersikap mendustakan ayat-ayat Allah dan menyombongkan diri terhadap ayat-ayat tersebut. Memperturutkan keinginan terhadap hal-hal duniawi dan mempertuhankan hawa nafsu merupakan penyebab awal yang dapat menyebabkan seseorang kehilangan rasa terhadap kebenaran. Jiwanya akan menjadi tidak mampu berpikir secara komprehensif tentang dirinya dan alam semesta, dan bersikap pragmatis hanya mencari materi yang menguntungkan aspek jasmaniah saja. Dalam perjalanan, sikap demikian dapat berkelindan dengan tumbuhnya sifat sombong.

Selain itu, bentukan jiwa seseorang dapat mengarah pada jalan yang keliru. Syaitan dapat menipu hingga kehidupan seseorang mengarah pada jalan yang salah. Dalam hal ini, kesombongan akan tumbuh pada jiwanya. Seseorang memandang indah apa-apa yang dilakukannya padahal perbuatannya sangat merusak. Orang yang tidak berpegang teguh pada Alquran dan sunnah Rasulullah SAW dapat tertipu mengikuti suatu waham kebenaran dan mendustakan ayat-ayat Allah yang sebenarnya dengan sikap penuh kesombongan. Seorang perempuan dapat tertipu menganggap salah dan buruk segala sesuatu dalam diri suaminya dan memilih mengikuti laki-laki selain suaminya dengan kesombongan. Hal itu merupakan contoh bentuk-bentuk kesombongan yang dapat menjadikan seseorang mendustakan kebenaran. Pada dasarnya mereka mengikuti syaitan dalam tipuan-tipuannya. Mereka bisa menjadi ahli neraka yang tidak akan keluar dari neraka itu.

Rabu, 06 Oktober 2021

Memasuki Lubang Jarum

Setiap manusia diciptakan dari satu nafs wahidah, kemudian ia tumbuh menjadi makhluk yang bisa memiliki kepribadian yang banyak karena tumbuhnya hawa nafsu yang sangat banyak seiring dengan pertumbuhan raganya. Dengan tumbuhnya banyak hawa nafsu yang menyerupai nafs wahidah, seseorang akan mengalami kesulitan untuk mengenali nafs wahidah dirinya, yang merupakan wujud blue print diri yang sebenarnya. Pandangannya terhadap diri sendiri terhijab oleh hawa nafsu-hawa nafsunya, dan sulit untuk mengenali nafs wahidah yang sebenarnya.

Hanya dengan mengenali nafs wahidah seseorang akan memperoleh wasilah kepada Allah. Ia akan mengenali kesatuan penciptaan melalui pengenalan kepada rasulullah SAW. Dirinya akan mengenali kedudukan dan peran dirinya dalam umatan wahidah. Umatan wahidah hanya akan terbentuk oleh orang-orang yang mengenali nafs wahidah. Umatan wahidah itu adalah Al-jamaah, umat yang melaksanakan amr dirinya sebagai bagian dari amr jami’ yang diberikan kepada rasulullah SAW. Hanya orang-orang yang mengenali nafs wahidah yang memperoleh kedudukan dalam al-jamaah yang sebenarnya.



﴾۰۴﴿إِنَّ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّىٰ يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ وَكَذٰلِكَ نَجْزِي الْمُجْرِمِينَ
Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan. (QS Al-A’raaf : 40)

Untuk memperoleh kedudukan dalam al-jamaah, seseorang harus menghindari sifat mendustakan ayat-ayat Allah dan kesombongan. Kedua sifat itu harus dapat diuji dan dibuktikan dengan ibarat memasuki lubang jarum, dan memasuki lubang jarum berfungsi agar memperoleh sarana untuk bersatu dalam jalinan kain. Kesombongan adalah kebesaran diri yang menghambat seseorang untuk dapat memasuki lubang jarum, sehingga tidak memungkinkan seseorang untuk masuk dalam pintalan kain yang menjadi ibarat sebagai jamaah. Selain harus memasuki lubang jarum, ayat-ayat Allah harus dibaca dengan akalnya. Ayat-ayat Allah akan menentukan kemampuan seseorang untuk mengenali kedudukan dirinya dalam al-jamaah, sehingga ia dapat masuk ke dalam al-jamaah. Tanpa kedua hal tersebut, tidak ada orang yang dapat memasuki kedudukannya dalam al-jamaah.

 

Rasulullah SAW Sebagai Puncak Washilah

Setiap orang sebenarnya dituntut untuk menemukan peran dirinya dalam amr jami’ bersama rasulullah SAW, karena hal itu merupakan bentuk ibadah yang sebenarnya. Dalam bahasa lain, menemukan peran diri demikian itu dikatakan sebagai menemukan jati diri. Itu merupakan ungkapan dalam tingkatan yang lebih umum. Ungkapan yang lebih kuat adalah menemukan peran diri dalam risalah rasulullah SAW, karena puncak kebenaran adalah musyahadah terhadap uluhiyah Allah dan musyahadah terhadap nabi Muhammad SAW dan risalah yang diemban. Menemukan jati diri itu akan bernilai benar bilamana seseorang menemukan kesaksian bahwa beliau SAW adalah rasulullah yang membawa amr Allah, sedangkan kesaksian itu terjadi bilamana seseorang menemukan peran dirinya dalam amr jami’ rasulullah SAW.

Seseorang tidak akan dibukakan langit baginya dan tidak akan memasuki surga bila tidak ada keinginan untuk menemukan peran dirinya dalam al-jamaah. Orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan menyombongkan diri terhadapnya termasuk dalam golongan orang-orang yang tidak mempunyai keinginan untuk memasuki golongan al-jamaah mengikuti amr rasulullah SAW. Al-jamaah itu ibarat suatu kain yang terbuat dari benang-benang yang berjalin rapi antara satu benang dengan benang yang lain, yang disusun dengan cara yang benar. Satu benang bersanding dan berkelindan dengan benang yang lain secara tepat dan rapi. Demikian orang-orang yang ingin menemukan kedudukan diri dalam jamaah harus bersanding dengan yang lain dengan baik. Seringkali seorang sahabat atau washilah menjadi cermin yang baik bagi seseorang untuk menempatkan dirinya dalam kedudukan yang tepat dalam jamaah.

Hubungan fungsional yang terbentuk dalam al-jamaah tidak hanya membentuk hubungan horizontal antar makhluk saja, tetapi yang lebih utama adalah membentuk hubungan transenden hingga seseorang dikatakan mengenal Allah. Allah adalah zat yang tidak serupa dengan apapun, tetapi Dia berkehendak memperkenalkan diri-Nya kepada makhluk, maka Dia mengutus Rasulullah SAW. Tidak ada seseorang yang dapat dikatakan sebagai mengenal Allah tanpa mengenal melalui rasulullah SAW, atau mengenal Allah dengan cara yang tidak diajarkan rasulullah SAW. Seseorang harus mengenal terlebih dahulu peran dirinya dalam amr jami’ rasulullah SAW, maka ia akan dapat dikatakan mengenal Allah.

Ada beberapa bentuk hubungan transenden yang harus dikelola seseorang dalam hidupnya, sebagian bersifat permanen dan sebagian bersifat sementara. Washilah kepada rasulullah SAW adalah hubungan transenden yang bersifat tetap. Hubungan antara jiwa dan raga bersifat tetap kecuali ketika di alam barzakh. Ikatan pernikahan dapat bersifat abadi bagi suatu pasangan hingga di akhirat kelak, dan dapat pula berakhir bagi pasangan lain ketika salah seorang meninggal atau pernikahan berakhir. Hubungan antara murid dan guru bersifat tetap, tetapi mungkin saja berubah bentuk ketika seseorang menemukan kedudukan dirinya dalam al-jamaah.

Setiap orang harus berusaha membangun hubungan transenden hingga menemukan washilah kepada Rasulullah SAW. Seorang perempuan harus berusaha menemukan laki-laki yang terbaik bagi dirinya dan mengikat pernikahan berdasarkan tujuan memperoleh washilah kepada rasulullah SAW. Setiap laki-laki harus mencari ilmu melalui guru-guru yang benar yang dapat mengantarkan dirinya mengenal rasulullah SAW, dan memperoleh washilahnya. Hal-hal yang diupayakan itu dapat dikatakan bernilai benar bila ada hasil berupa menjauhkan dirinya dari pendustaan terhadap ayat Allah dan menjauhkan dirinya dari sifat kesombongan. Bila terjadi sebaliknya, maka upaya yang dilakukannya kemungkinan besar salah, baik salah dalam dirinya sendiri atau salah dalam mengambil jalan mencari washilah. Ia harus mencari jalan yang benar untuk membangun hubungan itu.

Hubungan transenden yang harus dibangun seseorang dapat dilihat sebagaimana ikatan pernikahan. Suami dan isteri merupakan perpanjangan wujud entitas diri manusia sebagai jiwa dan raga. Hubungan seseorang dengan washilahnya mempunyai banyak keserupaan dengan hubungan seorang isteri terhadap suaminya. Jiwa adalah washilah bagi raganya untuk mengenal Allah sebagaimana seorang suami merupakan washilah bagi isteri untuk beribadah kepada Allah. Jiwa-lah entitas yang dapat mengenal washilah di langit dalam wujud jiwa-jiwa yang harus diikuti. Demikian pula suami-lah yang dapat mengenal jiwanya. Bila suami yang shalih tidak meridhai seorang isteri, tertutup jalan isteri itu untuk mengenal jalan ibadahnya kepada Allah. Di alam yang tinggi, tidak sujudnya Azazel kepada Adam menyebabkan jalannya kepada Allah tertutup.

Seseorang tidak memperoleh jalan bila washilahnya terputus, baik karena pengkhianatan, pembangkangan atau menyalahi urusan pemegang washilah. Pemegang washilah mengetahui kedudukan orang yang harus mencari washilah melalui dirinya, dan pencari washilah harus mengikuti pemegang washilah. Kadangkala terputusnya washilah ini tidak disadari oleh pelakunya, sebagaimana syaitan tetap menganggap bahwa pendapatnya benar ketika menolak bersujud kepada Adam. Karena kesalahannya, iblis dan pengikutnya dari kalangan jin tidak memperoleh jalan untuk kembali ke langit. Tidak ada seseorang dapat masuk surga mendahului rasulullah SAW. Sebagian orang kelak akan disingkirkan dari haudh al-kautsar menuju neraka karena berbuat sesuatu menyalahi amr rasulullah SAW, padahal ia telah mengenal banyak kebenaran. Iblis pun sebenarnya mengenal sangat banyak kebenaran, tetapi ia menjadi penghulu bagi makhluk-makhluk yang terputus washilahnya. 

﴾۳﴿إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ

Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (QS Al-Kautsar : 3)

Dalam hubungan sebaliknya, seseorang juga tidak akan memperoleh washilah tanpa memperhatikan dengan baik orang-orang yang mengikutinya. Washilah itu berfungsi untuk saling menghubungkan tali shilaturrahmi, tidak sekadar untuk mencari kedudukan. Seorang suami tidak akan memperoleh washilah tanpa memperhatikan dengan baik keadaan isterinya. Bila seseorang memperhatikan dengan baik suaminya atau isterinya, ia akan dapat mengenali jiwanya sendiri selayaknya seseorang melihat dirinya dalam cermin. Seorang laki-laki tidak akan mengenal kedudukan dirinya tanpa memperhatikan lingkungannya. Di tingkatan berikutnya setelah mengenal jiwa, ia akan mengenal peran diri dalam al-jamaah dengan mengenal washilah-washilah bagi jiwanya. Dengan jalan demikian, seseorang akan dapat mengenal rasulullah SAW melalui washilah-washilahnya.

Iblis merupakan contoh makhluk yang tidak dapat memasuki lubang jarum. Ia adalah makhluk tinggi yang diciptkan dari api dan ia mempunyai banyak pengetahuan. Tetapi ia menolak bersujud kepada Adam karena diciptakan dari tanah, sedangkan ia diciptakan dari api. Itu adalah kebesaran iblis yang menyebabkan dirinya tidak mau bersujud kepada Adam. Sebagian makhluk menjadi besar karena hal-hal dari sisi Allah yang diperolehnya baik kedudukan, ilmu, atau hal lain yang diberikan kepadanya. Hal itu tidak boleh menyebabkan dirrinya menjadi sombong. Sekalipun kebesaran itu ada dalam bahan penciptaannya, iblis tidak berhak untuk menyombongkan diri atas makhluk yang lain. Demikian pula makhluk lain yang diberi kebesaran tidak boleh menyombongkan diri. Seluruh kebesaran yang dilimpahkan Allah kepada seorang makhluk tidak boleh menyebabkan timbulnya kesombongan hingga tidak dapat memasuki lubang jarum.

Manusia harus dapat mendengarkan kebenaran ayat-ayat Allah dengan menghilangkan kesombongan diri hingga diibaratkan sebagaimana unta yang memasuki lubang jarum. Kesombongan akan menjadikan seseorang tidak peka terhadap kebenaran. Unta adalah makhluk jasadiah yang berfungsi untuk menempuh perjalanan di muka bumi. Raga manusia adalah ibarat unta yang membawa jiwanya dalam menempuh perjalanan di muka bumi. Bila seseorang berkeinginan untuk memasuki golongan al-jamaah, ia harus dapat menghilangkan kesombongan hingga tingkatan raganya. Sebuah pengakuan seseorang di tingkat jiwa saja tanpa manifestasi di tingkat raga, yaitu pengakuan terhadap kebenaran ayat-ayat Allah yang sampai kepada dirinya, hal itu tidak menjadikan dirinya bagaikan unta yang memasuki lubang jarum. Bila pengakuan itu termanifestasi dalam wujud raga, maka itulah yang akan menjadikannya bagaikan unta memasuki lubang jarum.