Pencarian

Jumat, 22 November 2019

Riba dan Bibit-Bibitnya



Riba sangatlah terlarang dalam islam. Orang-orang yang memakan riba dan dapat hidup tegak di atas riba sebenarnya adalah orang-orang yang tegak karena kekuasaan syaitan. Mereka berada dalam pengaruh syaitan, bukan sekadar pengaruh tetapi tergenggam erat dalam kekuasaan syaitan. Orang yang demikian telah kehilangan dirinya, tenggelam dalam harta benda, dan tidak mampu melihat beban kehidupan yang ditanggung orang lain karena perbuatannya. 

ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمۡرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَنۡ عَادَ فَأُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ ٢٧٥
Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu berhenti, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu; dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. [Al Baqarah:275] 

Perbuatan memakan riba merupakan pekerjaan yang sangat merugikan orang lain. Pemakan riba menghisap darah orang lain sehingga orang lain tidak dapat hidup dengan baik, selalu dalam penyakit kehidupan. Kelak para pemakan riba akan tenggelam dalam sungai darah dan para korbannya akan mencegah mereka keluar dari sungai darah itu, sesuai dengan pekerjaan mereka di bumi dalam menghisap darah orang lain. 

عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِى ، فَأَخْرَجَانِى إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ ، فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ رَجُلٌ قَائِمٌ ، وَعَلَى وَسَطِ النَّهْرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ ، فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِى فِى النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِى فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ ، فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِى فِيهِ بِحَجَرٍ ، فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ ، فَقُلْتُ مَا هَذَا فَقَالَ الَّذِى رَأَيْتَهُ فِى النَّهَرِ آكِلُ الرِّبَا
Dari Samurah bin Jundub, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tadi malam aku bermimpi ada dua laki-laki yang mendatangiku, keduanya membawaku ke kota yang disucikan. Kami berangkat sehingga kami mendatangi sungai darah. Di dalam sungai itu ada seorang laki-laki yang berdiri. Dan di pinggir sungai ada seorang laki-laki yang di depannya terdapat batu-batu. Laki-laki yang di sungai itu mendekat, jika dia hendak keluar, laki-laki yang di pinggir sungai itu melemparkan batu ke dalam mulutnya sehingga dia kembali ke tempat semula. Setiap kali laki-laki yang di sungai itu datang hendak keluar, laki-laki yang di pinggir sungai itu melemparkan batu ke dalam mulutnya sehingga dia kembali ke tempat semula. Aku bertanya, “Apa ini?” Dia menjawab, “Orang yang engkau lihat di dalam sungai itu adalah pemakan riba’”. [HR. al-Bukhâri] 


Bibit-bibit Riba 


Keadaan mereka semacam itu bermula dari memandang bahwa riba sama saja dengan mengambil keuntungan dalam jual beli. Riba tidaklah sama dengan jual beli. Jual beli merupakan salah satu bentuk pertukaran barang atau harta yang memberikan kebaikan bagi setiap pihak yang melakukan pertukaran. Masyarakat merupakan kumpulan manusia yang hidup bersama saling bekerja sama untuk memperoleh kebaikan antara satu terhadap yang lain. Masing-masing pihak yang melakukan jual beli harus mendapatkan keuntungan dari pihak lain. Sedangkan riba merupakan bentuk pertukaran yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak yang lain. 

Riba dapat tumbuh subur ketika masyarakat kehilangan rasa adil dalam perdagangan, sedemikian bahwa perdagangan itu menguntungkan hanya salah satu pihak dan merugikan pihak yang lain. Hal ini dapat tumbuh bila paradigma perdagangan dan jual beli semata-mata untuk mencari keuntungan saja tanpa mempertimbangkan asas manfaat.  Dengan kebiasaan jual beli demikian, seseorang, atau malah masyarakat, akan memiliki anggapan bahwa jual beli semisal dengan riba dan riba semisal dengan jual beli. Bila cara pandang demikian telah terbentuk, masyarakat akan mudah terbelit dalam sistem riba. Sebagian masyarakat menjadi orang-orang kuat yang mengeruk keuntungan dengan riba, dan sebagian besar masyarakat menjadi korban riba yang harus memberikan keuntungan bagi pemakan riba. 

Banyak bentuk-bentuk perdagangan yang dilarang rasulullah SAW dan beliau menggolongkan perdagangan tersebut sebagai riba. Ini menunjukkan adanya zona abu-abu yang memungkinkan kejadian campuraduknya antara jual beli dengan riba. Bila fenomena perdagangan dengan jenis yang dilarang rasulullah SAW marak terjadi, maka sebenarnya masyarakat tersebut telah terbelit dalam sistem riba. Boleh jadi syariat masih dipegang oleh masyarakat, tetapi sebenarnya masyarakat telah kehilangan pemahaman terhadap jual beli dan riba. Sendi-sendi kehidupan dalam masyarakat demikian sebenarnya berada dalam tekanan, dan akan semakin berat dari waktu ke waktu bila tidak dibenahi. 

Memberantas Riba Memakmurkan Bumi 


Setiap orang hendaknya menghentikan perbuatan riba, baik yang jelas ataupun yang tersamar dalam bentuk-bentuk perdagangan. Boleh jadi seorang muslim tidak melakukan riba secara jelas, tetapi terpeleset dalam melakukan perdagangan ribawi. Umat islam hendaknya berusaha merumuskan sebuah panduan (mauidzhah) dalam ekonomi perdagangan yang dapat diterapkan sesuai keadaan masyarakat saat itu, berdasarkan petunjuk Allah. Dengan mauidzah yang telah terumuskan, masyarakat harus dicegah untuk melakukan riba hingga yang tersamar. Masyarakat harus menghentikan praktik riba dan mengambil hanya bagian pokoknya saja. Barang siapa tetap melakukan riba setelah mauidzah ditetapkan, maka orang tersebut termasuk golongan ahli neraka. 

Allah akan memusnahkan riba, dan akan menyuburkan shadaqah. Ekonomi masyarakat akan tumbuh dengan baik oleh shadaqah-shadaqah yang dilakukan di antara masyarakat, dan Allah akan mempersulit kehidupan bermasyarakat bilamana riba tumbuh berkembang. 

يَمۡحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰاْ وَيُرۡبِي ٱلصَّدَقَٰتِۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ ٢٧٦ [ البقرة: 276] 

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. [Al Baqarah:276] 



Menolak mengakhiri riba merupakan bentuk kekafiran dan perbuatan dosa. Allah tidak menyukai orang-orang yang menolak untuk menghentikan perbuatan riba yang mereka lakukan, karena hal itu merupakan bentuk kekafiran dan perbuatan dosa yang melekat kuat bagi orang yang melakukannya. 

Orang-orang beriman harus berusaha menghentikan seluruh praktik riba yang terjadi di masyarakat dengan seluruh usaha, dimulai dengan perumusan mauidzah yang baik. Hal itu harus disertai dengan menegakkan diri dalam syariat agama berupa perbuatan shalih, penegakan shalat, dan menunaikan zakat agar pahala dari Allah mengalir. Hal itu akan membuat masyarakat dapat hidup dengan baik. Bilamana riba itu tetap terjadi di antara masyarakat, maka hendaknya diumumkan bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangi mereka. 

فَإِن لَّمۡ تَفۡعَلُواْ فَأۡذَنُواْ بِحَرۡبٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَإِن تُبۡتُمۡ فَلَكُمۡ رُءُوسُ أَمۡوَٰلِكُمۡ لَا تَظۡلِمُونَ وَلَا تُظۡلَمُونَ ٢٧٩ [ البقرة-279] 

Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [Al Baqarah:279] 

Memasuki zaman akhir, akan ada masa peperangan besar antara kebenaran dengan para pendosa. Allah akan menunjukkan sebuah tajalliat-Nya dalam martabat rabbul ‘alamin yang dapat dilihat oleh makhluk di bumi, yaitu tajalliat-Nya berupa Malik. Tajalliat tersebut akan lebih besar daripada tajalliat-Nya ketika menuntun Bani Israel lari dari negeri Mesir. Peperangan akhir jaman itu akan terjadi antara orang beriman terhadap para pendosa, dan orang-orang beriman akan dituntun oleh tajalliat-Nya sebagai Malik. Para penguasa dunia dengan sistem riba, hingga para pelaku riba yang kecil akan diperangi hingga tuntas. 

Kamis, 14 November 2019

Ta’addud/Poligami dan Amal Shalih

Pernikahan merupakan media bagi seseorang untuk menumbuhkan pohon thayibah dalam dirinya. Seorang laki-laki adalah benih pohon thayyibah dan perempuan menjadi ladang tempat pertumbuhan jiwa suaminya. Untuk menjadi pohon thayyibah, seorang laki-laki harus menikah dengan perempuan. Pertumbuhan pohon thayyibah seorang laki-laki akan menjadikan laki-laki tersebut dapat memperoleh jalan kehidupan yang telah ditentukan baginya. Dirinya akan mengerti amal-amal yang harus dikerjakannya sebagai amal shalih. 

Amal shalih itu adalah buah-buahan yang harus dihasilkannya bagi orang lain. Dengan demikian dirinya menjadi orang yang mendapatkan nikmat Allah. Dengan menikah, dirinya akan mengerti buah yang harus dihasilkan. Hal ini bisa terjadi bila sebuah pohon tertanam pada media ladang. Tanpa media ladang, sebuah pohon akan kesulitan memperoleh bahan-bahan untuk menghasilkan buah. Hal itu adalah permisalan pernikahan. 

Untuk urusan demikianlah petunjuk jodoh dari jiwa dihadirkan. Kadang-kadang seorang laki-laki sedemikian dipaksa untuk menikah lagi dengan seorang perempuan. Surah An-Nisaa menyebutkan pernikahan ta’addud mendahului perintah menikah dengan satu perempuan. Ada urgensi tertentu menyangkut keumatan yang harus ditunaikan terkait seorang laki-laki yang menyebabkan perintah menikah ta’addud tersebut datang. 



وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ ٣ [ النساء:3-]3

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku setimbang terhadap perempuan yatim, maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. [An Nisa":3] 


Kadangkala seorang laki-laki harus melakukan pernikahan ta’addud. Menikah ta’addud merupakan fungsi pelaksanaan keadilan. Setiap laki-laki mempunyai amanah dari Allah yang harus ditunaikan bagi kepentingan orang lain. Untuk melaksanakan amanah tersebut, terdapat pasangan perempuan pembawa khazanah yang menjadi representasi amanahnya, yang menuntun laki-laki tersebut melaksanakan amanahnya. Jika seorang laki-laki mampu melihat khazanah seorang perempuan, dan melihat bahwa khazanah itu bagi dirinya, maka laki-laki itu dikatakan laki-laki adil. Bila tidak, seorang laki-laki belum termasuk dalam kategori adil, maka hendaknya laki-laki tersebut menikah hanya dengan satu isteri saja sebagai media untuk pertumbuhan jiwa. 

Jodoh, Rezeki dan Iman 


Perjodohan merupakan salah satu kunci dalam mencari nikmat Allah. Jodoh yang berasal dari nafs seorang laki-laki akan dapat mewujudkan wahana untuk mengantarkan laki-laki itu mencapai kedudukan sebagai orang yang diberi nikmat Allah, yaitu termasuk dalam golongan shalihin, syuhada atau shiddiqin. Setiap mukmin atau mukminat hendaknya memperhatikan calon pasangan dengan sebaik-baiknya agar menemukan jodoh yang berasal dari satu jiwa. 

Perjodohan yang tepat juga akan membuka jalan rezeki bagi pasangan yang menikah. Allah membukakan sebuah jalan rezeki tertentu bagi setiap pasangan. Jalan rezeki ini juga merupakan nikmat Allah. Perjodohan jiwa adalah gerbang nikmat Allah bagi setiap manusia, demikian pula jalan rezeki dari keberpasangan ini merupakan nikmat Allah. Jalan rezeki ini acapkali terkalahkan oleh perhitungan-perhitungan yang bathil. 


وَٱللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا وَجَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَزۡوَٰجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةٗ وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِۚ أَفَبِٱلۡبَٰطِلِ يُؤۡمِنُونَ وَبِنِعۡمَتِ ٱللَّهِ هُمۡ يَكۡفُرُونَ ٧٢ [ النحل:72-72] 

Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jiwa kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?" [An Nahl:72] 

Kadangkala jodoh yang diciptakan dari jiwa tidak sesuai dengan selera hawa nafsu seseorang. Satu sama lain tidak mau menerima pasangan jiwanya. Hal ini sebenarnya dipermasalahkan dalam beragama. Allah menyindir keimanan orang-orang yang menolak jodoh yang diciptakan dari jiwanya, atau orang yang ragu dengan rezeki untuk menikah, dengan firman-Nya : Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?" [An Nahl:72] 

Mengetahui jodoh yang diciptakan dari satu jiwa tidak terjadi pada banyak orang. Orang-orang tertentu dapat mengenali jodoh dari satu jiwa melalui keimanannya. Akan tetapi hal itu tidak menjamin keimanannya, karena bisa jadi dia terpeleset karena menolak jodoh jiwanya. Orang-orang demikian hampir-hampir terjebak pada keimanan kepada hal bathil dan kufur terhadap nikmat Allah. Allah mempertanyakan keimanan orang-orang yang berbuat demikian. 

Barangkali tidak seluruh fenomena terpisahnya seseorang dengan jodoh jiwanya setelah mengetahuinya termasuk dalam kekufuran, sehingga Allah menggunakan kalimat pertanyaan. Setiap pihak harus mengevaluasi dengan sebaik-baiknya seluruh perbuatannya yang terkait dengan penolakan atas jodoh jiwanya dan memperbaiki kesalahan tersebut. Bila Allah masih berkenan memperbaiki kesalahan, boleh jadi Allah menimpakan beberapa musibah agar seseorang mau menempuh jalan yang dikehendaki-Nya. Bila Allah tidak berkenan, maka akan dibiarkan orang itu bergelimang dalam kebathilan. 

Misalnya bila seorang yang shalih yang berhasil dalam kehidupannya, dan merasa nyaman dan tenteram dengan istrinya, kemudian memperoleh berita tentang jodoh jiwanya. Hal ini mungkin membuat tidak nyaman dan laki-laki tersebut boleh jadi cenderung untuk mengabaikan berita, menduga bahwa berita itu berasal dari hawa nafsu. Jika Allah berkenan, berita itu akan diulang kembali dengan intensitas lebih kuat. Bila tidak meyakini kebenaran beritanya, boleh jadi Allah akan membuat laki-laki tersebut mengetahui secara nyata hingga jasadiah bahwa perempuan tersebut adalah jodoh jiwanya. Bila merasa berat juga, boleh jadi Allah akan menghilangkan hijab yang menutup hatinya dengan paksa sehingga jodoh jiwa itu masuk ke dalam hatinya. Misalnya bila hijabnya adalah kenyamanan berumah tangga dengan istrinya, maka Allah dapat membuat seolah-olah istrinya meninggalkan dirinya, sehingga jodoh jiwanya masuk ke dalam hatinya. Mungkin ada hukuman-hukuman atas seluruh tindakan yang dilakukan seseorang dalam menolak jodoh jiwanya, bila Allah masih berkenan mengampuninya. Bila Allah tidak berkenan atas tindakan penolakan seseorang atas jodoh jiwanya, boleh jadi Allah membiarkannya dalam kebathilan. 

Tanda-Tanda Jodoh Jiwa 


Menemukan jodoh jiwa adalah gerbang keselamatan dari kedzaliman. Hal ini terkisahkan dalam peristiwa Musa ketika memberikan minum bagi puteri Syuaib a.s di Madyan. Beberapa tanda keberjodohan jiwa dapat kita temukan pada kisah tersebut. 

فَجَآءَتۡهُ إِحۡدَىٰهُمَا تَمۡشِي عَلَى ٱسۡتِحۡيَآءٖ قَالَتۡ إِنَّ أَبِي يَدۡعُوكَ لِيَجۡزِيَكَ أَجۡرَ مَا سَقَيۡتَ لَنَاۚ فَلَمَّا جَآءَهُۥ وَقَصَّ عَلَيۡهِ ٱلۡقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفۡۖ نَجَوۡتَ مِنَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلظَّٰلِمِينَ ٢٥ [ القصص:25-25

Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan malu-malu, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu untuk memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum kami". Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu". [Al Qasas:25] 

Seorang laki-laki pasangan jiwa adalah laki-laki yang dapat memberikan minuman pengetahuan bagi jiwa pasangannya. Seorang puteri pasangan jiwa akan datang dengan malu-malu, membawa harapan terpendam terhadap sang laki-laki untuk menumbuhkan jiwa mereka bersama-sama. Dengan kemampuan Musa memberikan minum, puteri Syuaib a.s sangat berharap agar Musa menggembalakan ternak-ternak mereka. Tentu hal ini hanya bisa terjadi bila telah terjadi interaksi atau ta’aruf antara seorang laki-laki dan perempuan. Tanpa ta’aruf, seringkali hanya prasangka yang timbul di antara seorang laki-laki dan perempuan, bukan pengenalan yang benar antara satu pihak terhadap yang lain. 

Tingkat keberpasangan jiwa antara seorang laki-laki dan perempuan dapat diukur berdasarkan nilai khazanah jiwa wanita yang dapat ditimba dan diberikan oleh seorang laki-laki kepada pasangannya. Ini merupakan parameter utama dalam mencari keberjodohan. Ada keberpasangan yang rapi dalam jodoh jiwa, dimana kemampuan laki-laki menimba khazanah akan setimbang dengan kehausan wanita akan kebenaran. Wanita yang kuat dalam keinginan mencari makna kehidupan, haus akan kebenaran, seharusnya berpasangan laki-laki yang kuat menimba khazanah pengetahuan dalam diri istrinya. Haus dan kekuatan menimba adalah hal yang sama dalam peran yang berbeda. Kemampuan menimba ilmu pada diri laki-laki tergantung ukuran timba, yang selaras dengan tingkat kehausannya. Musa yang haus kebenaran menjadi kuat dan terpercaya, harus dipasangkan dengan putri Syuaib a.s. 

Hal ini harus dimengerti oleh wali sang perempuan. Wali harus mempertimbangkan keberjodohan jiwa puterinya, dan melakukan komunikasi kepada jodoh yang puterinya cenderung kepadanya. Mekanisme penemuan jodoh harus berjalan oleh, atau setidaknya melibatkan masing-masing pasangan, sedangkan mengukur perjodohan seorang puteri dan menikahkan, termasuk menanyakan pada pihak laki-laki, harus dilakukan oleh wali karena banyak hambatan psikologis dan hawa nafsu pada perempuan. Harta, kedudukan dan keelokan acapkali memburamkan pandangan seseorang dalam mencari keberjodohan. Dewasa ini bahkan banyak manusia sangat terampil untuk menebarkan pesona bagi lawan jenis, dengan tujuan jahat ataupun agar mendapatkan sekadar simpati dalam pergaulan. Hal ini tidak boleh membuyarkan pandangan dalam mencari jodoh. Keberpasangan itu pada jiwa yang haus akan kebenaran, sedangkan keterpesonaan mungkin terjadi pada hawa nafsu. Laki-laki yang thayyib harus mendapatkan perempuan thayyibat, dan laki-laki khabits harus dipasangkan dengan perempuan khabitsat.

Minggu, 10 November 2019

Menemukan Bumi Diri


Allah menciptakan manusia untuk menjadi pemakmur bumi. Allah menjadikan bumi sebagai tempat beredar dan menjadikan langit sebagai bangunan. Dengan bumi dan langit yang benar, Allah berkehendak untuk memberikan shurah kepada manusia dengan shurah yang sebaik-baiknya dan memberikan rezeki melalui ath-thayyibat agar manusia mengenal Allah. 

ٱللَّهُ ٱلَّذِي جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَرۡضَ قَرَارٗا وَٱلسَّمَآءَ بِنَآءٗ وَصَوَّرَكُمۡ فَأَحۡسَنَ صُوَرَكُمۡ وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِۚ ذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ رَبُّكُمۡۖ فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
QS Ghafir : 64. Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai bangunan, dan memberikan kamu shurah (citra) lalu membaguskan shurahmu serta memberi kamu rezeki dari yang baik-baik (Ath-Thayibaat). Yang demikian itu adalah Allah Tuhanmu, Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam. 

Bumi adalah alam jasadiah manusia. Di alam jasadiah itulah manusia ditempatkan agar menjadi pemakmurnya. Akan tetapi manusia bukanlah sepenuhnya makhluk jasadiah. Ada aspek langit yang merupakan jati diri manusia, yaitu jiwa manusia. Jiwa manusia adalah langit yang harus dibangun oleh setiap manusia agar mengenal Allah. Allah menjadikan jiwa sebagai lokus pembangunan/pembinaan setiap manusia, sedemikian jiwa itu akan terbina sesuai dengan shurah (citra) yang dikehendaki Allah dalam citra yang sebaik-baiknya. 

Untuk pembinaan jiwa yang sebaik-baiknya, setiap orang harus menemukan bumi yang tepat sebagai tempat tinggal. Bumi diri yang tepat akan mengantarkan manusia untuk membangun jiwanya hingga memperoleh shurah yang sebaik-baiknya. Jiwa itu adalah jati diri manusia yang dapat mengenal Allah. Terdapat qalb dalam jiwa manusia yang dapat menjadi tempat bagi bangunan baitullah. 

Ismail a.s telah menggambarkan bagaimana seseorang berproses untuk membangun baitullah. Ketika masih bayi, beliau bersama ibunya Hajar r.a harus menempati bumi yang tepat. Mereka berdua adalah representasi dari seorang manusia yang harus berjalan menuju Allah dengan membangun baitullah. Bayi Ismail adalah representasi jiwa yang terdapat dalam diri seorang manusia, dan Hajar r.a merupakan representasi raga manusia. Raga yang membawa jiwa yang masih bayi itu harus menempati bumi diri yang tepat agar seseorang dapat membangun baitullah dalam dirinya. 

Demikian pula setiap manusia harus berusaha untuk menemukan, menempati dan memakmurkan bumi diri untuk membangun baitullah di dalam dirinya. Setiap manusia harus mengusahakan dengan sepenuh jiwa raga pemakmuran bumi diri sehingga muncul sumber-sumber kehidupan dalam ruang buminya. Hal itu tergambar dalam upaya Hajar r.a mencari sumber mata air dengan tujuh kali bolak-balik melakukan pencarian pada bukit Shafaa dan Marwa, hingga muncul sumber air pada jejak kaki bayi Ismail. 

۞إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلۡمَرۡوَةَ مِن شَعَآئِرِ ٱللَّهِۖ فَمَنۡ حَجَّ ٱلۡبَيۡتَ أَوِ ٱعۡتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَاۚ وَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرٗا فَإِنَّ ٱللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ 

QS Al-Baqarah : 158. Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber'umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebaikan dengan ketaatan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui. 

Peristiwa tersebut diabadikan dalam ibadah sa’I, yaitu melakukan thawaf pada kedua bukit Shafaa dan Marwa. Bagi setiap manusia yang hendak membangun baitullah dalam dirinya, atau menjalankan urusan pemakmuran bumi, hendaknya dirinya mencontoh Hajar r.a menemukan bumi diri dan mengusahakan sumber-sumber kehidupan padanya. Shafaa dan Marwa merupakan syi’ar Allah yang menjadi monumen panduan bagi yang ingin mengikutinya. Berhaji dan umrah adalah membangun baitullah dalam diri, dan berupaya memakmurkan bumi. 

Membangun baitullah dalam jiwa dan pemakmuran bumi adalah ketaatan dalam mencari kebaikan. Barangsiapa mengerjakan ketaatan dalam mencari kebaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri dan Maha Mengetahui. Allah akan memberikan rizki melalui Ath-Thayyibaat bagi orang-orang yang memakmurkan buminya dan membangun jiwanya hingga terbentuk baitullah dalam dirinya. 


Bumi Diri Umat 



Agama telah diturunkan secara sempurna bagi manusia. Syiar-syiar telah dipancangkan agar manusia mengikuti langkah-langkah para panutan umat dalam mencari jalan bagi masing-masing untuk berjalan menuju Allah. Jalan-jalan itu telah diletakkan Allah bagi masing-masing manusia di bumi saat ini, lengkap dengan segala petunjuknya dalam kitabullah. Manusia hendaknya mencari jalan bagi masing-masing sesuai dengan agama. 

Allah telah meletakkan kiblat bagi kehidupan manusia. Ka’bah adalah monumen baitullah yang dijadikan kiblat bagi manusia. Demikian pula tabut Musa dijadikan monumen baitullah bagi bani Israel. Keduanya adalah monumen yang dijadikan kiblat bagi umat. Akan tetapi baitullah yang sebenarnya harus dibangun adalah baitullah yang ada di dalam hati. Untuk membangun baitullah itu, seseorang harus menemukan bumi diri. Bumi diri bagi pohon thayyibah adalah pasangan yang diciptakan dari jiwanya. Wanita itu adalah ladang bagi laki-laki, 

Menemukan bumi diri adalah menemukan sumber air. Hal ini dikisahkan oleh Musa ketika pergi dari mesir ke negeri Madyan. Hajar r.a dan bayi Ismail menemukan sumber air di lembah Bakkah, demikian pula Musa muda menemukan sumur di negeri Madyan. Itu adalah sumber air bagi mereka masing-masing. Ada kesamaan cerita pada kedua kisah tersebut, yaitu adanya laki-laki dan perempuan sebagai representasi jiwa dan raga. Bayi Ismail bersama Hajar r.a sedangkan Musa muda menemukan calon pasangan hidupnya, yaitu puteri sulung Syuaib a.s. 

Perjodohan merupakan sebuah ayat yang besar. Pernikahan menjadi setengah bagian dari agama. Pernikahan berdasarkan perjodohan yang tepat akan menjadi setengah bagian dari agama seseorang, sedangkan memilih perjodohan berdasarkan pertimbangan lain dengan mengalahkan perjodohan jiwa merupakan kebathilan. Perjodohan yang tepat adalah gerbang untuk mencapai nikmat Allah, yaitu shirat al-mustaqim. Dengan perjodohan yang tepat itulah seseorang akan memperoleh bumi diri yang tepat, tempat dimana sumber air bagi jiwanya muncul, tempat baitullah dapat terbina dengan baik di dalam hati karena jiwa yang memperoleh bagian dirinya secara tepat. 

وَٱللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا وَجَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَزۡوَٰجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةٗ وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِۚ أَفَبِٱلۡبَٰطِلِ يُؤۡمِنُونَ وَبِنِعۡمَتِ ٱللَّهِ هُمۡ يَكۡفُرُونَ 

QS An-Nahl : 72. Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jiwa kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?" 

Pasangan jiwa merupakan bagian diri dari seseorang. Menikah dengan pasangan jiwa adalah mengumpulkan bagian diri yang terserak. Kesatuan jiwa seseorang akan sempurna hanya dengan menikah dengan pasangan jiwanya. Dengan jiwa yang sempurna, maka bangunan jiwa itu akan dapat mencapai sempurna sebagai shurah yang sebaik-baiknya. 

Memilih pasangan wanita merupakan cerminan sikap seseorang terhadap dunia. Seseorang yang mencintai dunia akan mudah terombang-ambingkan oleh waham dunia dalam memilih pasangan wanita. Seseorang yang hatinya tulus ikhlas menuju Allah akan mudah melihat dan memilih pasangan yang diciptakan dari jiwanya, sedangkan hati yang masih bercampur-campur akan membuat proses pemilihan pasangan akan berganti-ganti, sesuai dengan keadaan dirinya. 

Seseorang yang ikhlas seringkali dapat menentukan pasangan jiwanya di antara banyak pilihan para wanita yang baik dan menarik hatinya, atau kadang Allah menutup pilihan terhadap para wanita dan membuka pilihan pada jodoh jiwanya saja, atau kadangkala Allah menghadirkan berita wanita pasangan jiwanya tanpa sebuah keinginan sedikitpun. Keikhlasan hati akan mewarnai proses pemilihan bagi dirinya. Ibarat Musa yang harus memilih, atau hajar r.a yang tidak mempunyai pilihan, dirinya akan mendapatkan bumi diri yang tepat. 

Seseorang yang mencintai dunia akan mendapatkan pilihan yang banyak sesuai dengan keadaan dirinya. Seringkali tidak satupun di antara para wanita yang menjadi pilihannya adalah pasangan jiwanya, tetapi hanya wanita-wanita yang sesuai dengan hawa nafsu ataupun malah hanya syahwatnya semata. 

Banyak di antara manusia yang berusaha mencari pasangan jiwa untuk kebaikan dirinya, akan tetapi masih ada kecintaan-kecintaan pada dunia yang melekat dalam hati. Ini akan mempengaruhi proses pemilihan pasangan. Banyak wanita yang baik datang dalam pikirannya dengan berbagai variasi kriteria dan bermacam-macam kombinasi. Ada kecantikan, kekayaan, kedudukan dan keshalihan calon-calon yang ingin dipilihnya. Bila datang berita tentang pasangan, berita itu kadang datang banyak dan berganti-ganti. Mungkin di antara yang datang ada pasangan yang diciptakan dari jiwanya. Semua proses pemilihan pasangan itu tergantung bagaimana keikhlasan hati seseorang. 

Pada masalah berita tentang jodoh, Allah menyindir keimanan seseorang yang lebih memilih kebatilan daripada nikmat Allah. Bila seseorang telah mendapatkan berita tentang jodoh jiwanya, hendaknya dirinya memilih jodoh jiwanya. Menolak atau memilih pasangan yang lain adalah kebatilan. Jodoh dari jiwa adalah suatu hal yang besar untuk membangun baitullah dalam diri seseorang, sehingga tidak pantas seseorang lebih beriman pada kebatilan daripada nikmat Allah. Jodoh jiwa adalah bumi diri bagi seseorang. Kehidupannya akan bergerak mengarah pada penyempurnaan jiwanya dengan shurah yang sebaik-baiknya dengan menikahi jodoh jiwanya.

Kamis, 07 November 2019

Menemukan Rezeki dalam Pernikahan


Menikah akan mendatangkan rezeki. Seorang laki-laki atau perempuan hendaknya tidak menunggu memiliki kekayaan yang banyak untuk menikah, atau merasa ragu untuk menikah ketika sedang tidak memiliki harta yang banyak. Allah akan memberikan suatu jalan rezeki kepada orang-orang yang menikah bila terbentuk suatu ikatan tertentu di antara mereka. Ikatan tersebut adalah at-thayyibaat. 

وَٱللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا وَجَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَزۡوَٰجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةٗ وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِۚ أَفَبِٱلۡبَٰطِلِ يُؤۡمِنُونَ وَبِنِعۡمَتِ ٱللَّهِ هُمۡ يَكۡفُرُونَ

QS An-Nahl : 72. Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jiwa-jiwa kalian sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberi kalian rezeki dari yang baik-baik (atthayyibaat). Maka apakah mereka beriman terhadap yang bathil dan kufur terhadap nikmat Allah?"

Ath-thayyibaat dalam ayat tersebut menunjuk pada suatu bentuk hubungan yang tumbuh di antara seorang suami dengan istrinya. Ikatan suami istri akan membuat seorang laki-laki terhubung secara bathin terhadap istrinya sebagaimana suatu pohon terhubung dengan ladang tempat tumbuhnya. Ada hakikat-hakikat kebenaran yang terkandung dalam diri seorang istri yang dapat diperoleh oleh suaminya. Dengan pernikahan, seorang laki-laki akan tumbuh bagaikan pohon. Seorang istri adalah bagian dari diri suaminya, dan suami merupakan asal penciptaan dari seorang istri. 

Mengusahakan Jalan Rezeki


Untuk memperoleh jalan rezeki itu, harus terbentuk hubungan yang baik di antara suami istri, ibarat perakaran harus terbentuk oleh pohon pada sebuah ladang. Sebagai langkah awal, masing-masing harus berusaha memilih dan mengenali dengan sebaik-baiknya calon pasangan menikahnya. Pohon dengan ladang harus bersesuaian. Setiap perempuan diciptakan dari nafs laki-laki tertentu, yang diberi amanat tertentu diantara jamaah manusia. Hendaknya laki-laki dan perempuan berusaha menemukan pasangan jiwanya, atau berusaha menemukan setidaknya yang urusannya mendekati pasangan jiwanya. Langkah berikutnya, seorang suami harus berusaha meningkatkan akhlak al karimah dalam dirinya, dan istri harus berusaha menjadi wanita yang penuh cinta kasih, subur dan selalu berusaha kembali kepada suaminya. Dengan memperbaiki keadaan diri masing-masing, akan tumbuh ikatan yang baik di antara keduanya berupa ath-thayyibat. Ikatan itu yang akan membentuk sebuah jalan rezeki dari Allah. 

Keterbukaan jalan rezeki semacam itu mungkin tidak terasakan jelas pada awal-awal pernikahan, karena ikatan ath-thayyibat belum terbentuk kuat. Seorang suami harus berusaha memperhatikan istrinya dengan hatinya, dan isteri harus memperhatikan perkembangan suaminya dan mengikutinya. Perlahan-lahan akan terbentuk suatu jalan rezeki yang baik bagi keduanya. Sumber rezeki duniawi bagi keduanya akan tampak pada isteri, dan suami dapat melihatnya. Bila telah terbentuk, kadang-kadang jalan rezeki ini terbuka dengan lebar dan deras melampaui kemampuan suaminya menangani. Demikian pula jalan rezeki bagi jiwa mereka akan terbuka dari langit. 

At-thayyibat merupakan bentuk hubungan yang memunculkan keharuman-keharuman asma Allah dalam bentuk-bentuk keadaan, bagi seseorang yang berjalan menuju Allah. Selain terbentuk dari hubungan yang baik di antara suami-istri, keterbukaan jalan rezeki melalui ath-thayyibat juga harus diusahakan secara bersamaan dengan memperhatikan keadaan bumi dan langit, alam jasadiah dan jiwa. Ikatan pernikahan dan memperhatikan langit dan bumi akan membentuk Ath-thayyibaat. Keduanya merupakan jalan parallel yang harus ditempuh bersamaan oleh seorang laki-laki untuk menemukan jalan munculnya rezeki, yaitu dengan memperhatikan istrinya dan memperhatikan keadaan bumi dan langitnya. Mengabaikan satu hal akan berpengaruh terhadap jalan lainnya. 

ٱللَّهُ ٱلَّذِي جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَرۡضَ قَرَارٗا وَٱلسَّمَآءَ بِنَآءٗ وَصَوَّرَكُمۡ فَأَحۡسَنَ صُوَرَكُمۡ وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِۚ ذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ رَبُّكُمۡۖ فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ

QS Ghaafir : 64. Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kamu sebagai tempat menetap dan langit sebagai bangunan, dan memberikan kalian shurah (citra) lalu membaguskan shurah (citra) kalian serta memberi kamu rezeki dari yang baik-baik (at-thayyibaat). Yang demikian itu adalah Allah Tuhanmu, Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam.

Ath-thayyibat dalam ikatan pernikahan mempunyai makna yang sama dengan ath-thayyibaat dengan memperhatikan langit dan buminya. Hal itu berkaitan dengan pengenalan terhadap citra (shurah) yang diberikan Allah terhadap seseorang. Citra diri (Shurah) tersebut akan dikenali seseorang melalui pengamatan terhadap keadaan bumi dan langit. Seseorang akan mengenali citra dirinya dengan mengenali fungsinya bagi bumi dan langitnya. Seiring dengan hal itu, dirinya juga dapat mengenali shurahnya melalui diri istrinya sebagai cermin. Pengenalan citra diri tersebut tidak akan diperoleh bila seseorang tidak memperhatikan bumi dan langitnya, atau mensia-siakan istrinya. Rezeki bagi jiwa mereka akan mengantarkan seorang laki-laki untuk mengenal citra diri yang diberikan Allah. Dia akan mengenal untuk apa dirinya diciptakan. Bila istrinya berjalan seiring bersama suami, istri juga akan mengenal bahwa dirinya adalah pendamping yang membantu suaminya dalam menjalankan urusan Allah. Istri akan menemukan sumber mata airnya pada diri suaminya. Dengan kesepahaman ini maka seorang laki-laki akan menjadi khalifatullah yang bertugas untuk menjadi pemakmur bumi. 

Menjaga Jalan Rezeki

Banyak hal yang akan menghambat perkembangan hubungan antara suami istri. Setiap pihak harus mempunyai niat yang ikhlas dalam hubungan pernikahan mereka. Perbedaan-perbedaan cara pandang antara suami istri pasti akan terjadi. Hal ini seharusnya menjadi sarana untuk mempertajam citra diri mereka dan mengarahkan tujuan kehidupan mereka pada tujuan yang lebih tepat. Akan tetapi tidak jarang perbedaan ini justru menjadi kerikil yang menghancurkan sarana turunnya rezeki bagi mereka, atau malah dapat menghancurkan pernikahan. Setiap pihak harus berusaha memperhatikan satu sama lain agar kehidupan mereka berjalan baik. 

Bentuk perhatian antar pihak harus tumbuh dari hati. Namun demikian bentuk-bentuk ekspresi perhatian tetaplah diperlukan. Kadangkala cara berkomunikasi menjadi kendala. Beberapa orang memperhatikan pasangannya bagaikan silent reader yang menelaah bacaannya secara komprehensif. Hal ini bisa menjadi masalah, seolah-olah dirinya tidak memperhatikan pasangannya, padahal dirinya sangat mengerti pasangannya. Bila diperhatikan dengan menggunakan hati, mungkin masalah itu tidak terjadi, namun kebanyakan orang membutuhkan ekspresi yang bisa dipersepsi dengan jelas. 

Kadangkala kerusakan muncul dari luar karena ulah syaitan yang berusaha memisahkan seorang laki-laki dari istrinya. Dengan kerusakan pernikahan, jalan rezeki berupa ath-thayyibaat itu pun menjadi rusak sehingga sepasang suami istri tidak mendapatkan rezeki melaluinya. Syaitan mempunyai banyak cara dan tipuan untuk memisahkan suami istri. Beberapa cara syaitan memisahkan suami dan istri membutuhkan campur tangan manusia lain agar tipuan itu berguna. 

Syaitan tidak hanya mengandalkan keahlian mereka sendiri berupa sihir untuk menipu manusia. Syaitan juga mempelajari ilmu dari malaikat, di antaranya ilmu malaikat Harut dan Marut, untuk memisahkan seorang laki-laki dengan istrinya. Bila sihir mempunyai aroma syaitan yang kuat, tidak demikian dengan ilmu malaikat Harut dan Marut. Ilmu itu tampak seperti ilmu yang membina kasih sayang antara laki-laki dan perempuan, tetapi sebenarnya itu sebuah fitnah yang dapat digunakan oleh syaitan untuk memisahkan antara seorang suami dengan istrinya. 

Qadzaf merupakan suatu contoh pekerjaan syaitan merusak pernikahan melalui tangan manusia, yaitu menanamkan sesuatu di dalam hati orang lain. Sihir, pengasihan dan guna-guna merupakan bentuk contoh qadzaf. Seorang mukminat yang shalihah dan benar-benar menjaga kehormatan diri dalam rumah tangganya dapat tertimpa qadzaf, sehingga tumbuh dalam hatinya suatu perasaan tertentu kepada seorang laki-laki selain suaminya sedemikian sehingga tingkah lakunya terpengaruh oleh laki-laki lain tersebut. Hal ini bukan kesalahan dari wanita tersebut. Dalam hal qadzaf, seorang mukmin atau mukminat tidak selalu terlindungi karena ada ilmu malaikat yang bisa digunakan oleh seseorang yang melakukan qadzaf, tidak semata-mata ilmu sihir dari syaitan. 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اِجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوْا: وَمَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ.

“Jauhilah tujuh dosa besar yang membinasakan.” Para Sahabat bertanya, “Apa itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan qadzaf terhadap wanita mukminat yang lalai serta menjaga kehormatannya.” (HR. Bukhari, no. 2766)

Melakukan qadzaf merupakan sebuah dosa besar yang diberi istilah al-mubiqaat. Dosa akibat qadzaf dapat disetarakan dengan dosa besar lain semacam syirik, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan, memakan riba, memakan harta anak yatim dan lari dari medan perang. Qadzaf dapat menghancurkan kehidupan bermasyarakat, dimulai dengan menghancurkan sepasang laki-laki dan perempuan dalam pernikahan mereka. Suaminya akan merasakan hal yang aneh dengan istrinya, dan pernikahannya, dan istrinya mengetahui lebih jelas keanehan dalam dirinya ketika tertimpa qadzaf, tetapi untuk mengatakan atau berterus-terang kepada suaminya sangat memalukan. Dengan qadzaf, jalan rezeki dari ath-thayyibaat di antara keduanya akan hancur sehingga rezeki mereka terhambat. 

Dalam hal bathin, seorang laki-laki masih mungkin mendapatkan rezekinya walaupun keluarganya tertimpa qadzaf dari orang lain. Khazanah bathiniyah istrinya masih dapat dibaca oleh suaminya bila suaminya bertaubat menuju Allah, tetapi itu tidak merembes hingga jasadiahnya. Istri merupakan sarana agar keberhasilan terlahir secara dzahir. Khazanah untuk rezeki dzahir mereka melalui jalan ath-thayyibaat akan tertutup. Suasana dalam rumah tangga relatif sangat panas, dimana hawa nafsu kemarahan sangat mudah tersulut. Istri tidak akan dapat berjalan dengan benar untuk menjadi wanita yang penuh cinta kasih, subur dan selalu kembali kepada suaminya, sebaliknya akan tajam dan peka dalam melihat kekurangan dan kesalahan-kesalahan suaminya, sedangkan suaminya akan secara nyata melakukan banyak kesalahan karena wahana jiwanya buruk. Walaupun secara dzahir mungkin menampakkan ibadah yang baik, seorang wanita yang tertimpa hal demikian akan sangat sulit menumbuhkan sifat-sifat wanita ahli surga dalam dirinya. 

Dalam hal ini, kesalahan tidak disebabkan oleh salah satu pihak dalam pernikahan, tetapi karena syaitan berhasil menimpakan madlaratnya kepada mereka melalui orang lain. Bilamana pasangan tersebut berhasil keluar dari qadzaf, keduanya harus berusaha membangun kembali hubungan ath-thayyibat di antara mereka. Jalan rezeki itu tidak akan berhasil dibangun oleh salah satu pihak saja. Suami dan istri harus bersama-sama kembali menjalin hubungan yang baik di antara mereka, seperti memulai rumah tangga. 

Ath-thayyibat Sebagai Bagian Dari Iman

Jalan rezeki at-thayibat ini akan membuat seseorang selalu menyadari bahwa Allah lah yang memberikan rezeki kepada mereka, bukan hanya perkataan yang diucapkan. Seseorang dapat tumbuh sebagai pelaku ekonomi atau tokoh pada bidangnya yang tidak tergoyahkan oleh kekacauan-kekacauan yang terjadi pada lingkungan sekitarnya bila telah menemukan jalan rezeki demikian. Jalan rejeki ini merupakan jalan rezeki yang tumbuh berdasarkan keimanan. 

Allah mempertanyakan keimanan orang yang meragukan hal ini. Maka apakah mereka beriman terhadap yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?". (QS An-Nahl : 72) 

Perjodohan jiwa manusia adalah nikmat Allah, sedangkan kedudukan, harta, kecantikan dan hawa nafsu lain adalah kebathilan bila dijadikan prioritas lebih utama dalam memilih suami atau istri daripada perjodohan jiwa. Jalan rejeki dari ath-thayyibaat adalah nikmat Allah bagi umat manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman kepadanya, justru kebanyakan beriman kepada jalan-jalan rezeki yang lain yang boleh jadi merupakan jalan kebatilan. Jalan rezeki ini terdapat dalam pernikahan, bila disertai dengan kepedulian dalam memperhatikan kepada bumi dan langit mereka. 

Menolak jodoh jiwanya setelah Allah memberikan berita adalah kekufuran terhadap nikmat Allah. Ini bisa terjadi pada orang yang sebenarnya telah bertaubat menuju Allah. Jodoh jiwa merupakan tangga awal untuk mengenal Allah. Pengenalan dan pernikahan terhadap jodoh jiwa akan mengantar seseorang untuk mengenal nafs, dan mengenal nafs merupakan gerbang pengenalan kepada Allah. Jodoh jiwa adalah gerbang orang yang akan diberi nikmat, sehingga dirinya melihat shirat al-mustaqim.