Pencarian

Kamis, 24 Oktober 2019

Politik Islam

Naim Sobri
22 September 2018 · 

Politik islam menganut sistem Ulil amr, dimana setiap manusia diciptakan untuk mengerjakan urusan tertentu dari Allah. Setiap manusia yg mengenal dan mengerjakan urusan (amr) dirinya yg telah ditentukan Allah sebelum kelahirannya menjadi ulil amr yg harus ditaati orang lain dalam urusannya. Masyarakat yg ideal akan terwujud bila setiap individu mengenal untuk apa dirinya diciptakan tuhannya, dan mengerjakannya sehingga menjadi ulil amr.

وَكُلَّ إِنسَٰنٍ أَلۡزَمۡنَٰهُ طَٰٓئِرَهُۥ فِي عُنُقِهِۦۖ وَنُخۡرِجُ لَهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ كِتَٰبٗا يَلۡقَىٰهُ مَنشُورًا  
QS Al-'Isrā':13 - Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka.

Setiap manusia diciptakan dengan tugas tertentu dari Tuhannya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Itu adalah agama yang harus ditegakkan oleh setiap insan. Agama adalah pelaksanaan fitrah diri yang ditetapkan Allah sebelum penciptaan manusia. Pelaksanaan fitrah diri itu merupakan amal yang menghasilkan bobot terberat dalam timbangan di hari akhir. Kitab dirinya akan bernilai baik bila catatan amalnya bersesuaian dengan ketetapan amalnya.

Sistem politik islam yang semacam itu seolah-olah tidak pernah dikenal oleh masyarakat saat ini. Masyarakat kebanyakan tidak mengenal tugas yang telah ditetapkan bagi dirinya oleh Tuhannya. Masyarakat tenggelam dalam hegemoni sistem politik demokrasi yg telah terbukti menyeret masyarakat dalam bidang sempit yg memunculkan friksi tajam di antara masyarakat. Manusia tetap memandang indah sistem politik demokrasi walaupun terbukti menimbulkan friksi.

Tatanan masyarakat terbaik akan tercapai dengan sistem politik Ulil Amri. Setiap orang akan bekerja sangat produktif pada Amr dirinya, dan setiap orang merasa puas terhadap orang lain yang mengerjakan Amr dirinya, dan merasa ringan mematuhinya tanpa keterpaksaan.


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا  
QS An-Nisā':59 - Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.

Setiap orang wajib mentaati Ulil Amri. Al-Qur'an memerintahkan ketaatan kepada setiap Ulil Amri, dalam batas-batas urusan sang Ulil Amri. Hal ini sedikit berbeda dengan ketaatan mutlak terhadap rasul. Boleh jadi seseorang telah mengenal untuk apa dirinya diciptakan, sehingga menjadi Ulil Amri, tetapi belum mengetahui batasan dirinya, atau terpaksa berhadapan dengan urusan di luar urusan dirinya. Maka bisa jadi orang tersebut menyimpang dari kebenaran tanpa kesengajaan. Maka orang yang mengikuti bisa jadi ikut menyimpang dari kebenaran.

Setiap orang yang mengikuti Ulil Amri harus berpedoman kepada kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW. Dua hal itulah yang bisa menjamin keselamatan dalam segenap aspek kehidupan. Rasulullah SAW memiliki urusan dalam segenap alam, sehingga beliau maksum dalam setiap aspek, sedangkan setiap Ulil Amri memiliki batasan-batasan tertentu, sehingga tidak dijamin kebenarannya dalam semua aspek. Apabila terdapat perbedaan pendapat seseorang dengan seorang Ulil Amri, maka seseorang harus kembali kepada Allah dan Rasulullah SAW.

Panutan Politik Umat


Penghulu bagi manusia terdapat pada tiga manusia, yaitu Rasulullah SAW, Khalilullah Ibrahim a.s dan khalifatullah Al-Mahdi a.s. ketiganya adalah keluarga Ibrahim a.s yang diberi kitab, hikmah dan kerajaan yang besar. Kerajaan yang besar itu diberikan kepada khalifatullah a.s yang akan menjadi kerajaan yang sepenuhnya berdasarkan kitabullah dan hikmah dari Allah. Beliau merupakan pemimpin dan tauladan politik bagi seluruh alam.

أَمۡ يَحۡسُدُونَ ٱلنَّاسَ عَلَىٰ مَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۖ فَقَدۡ ءَاتَيۡنَآ ءَالَ إِبۡرَٰهِيمَ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَءَاتَيۡنَٰهُم مُّلۡكًا عَظِيمٗا  

QS An-Nisā':54 - Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepada mereka kerajaan yang besar.
Ketiga manusia tersebut merupakan orang-orang yang terpilih, disebut al-musthafa. Mereka mengenal rububiyah Allah yang mencakup seluruh alam semesta, yaitu mengenal Allah sebagai Ar-rahman, sebagai Ar-rahiim dan sebagai Maalik.

Maalik merupakan nama-Nya yang diperkenalkan secara temporer, yaitu pada hari agama (Yaum ad-diin). Nama itulah yang dikenal oleh Khalifatullah a.s sehingga beliau menjadi pemimpin politik tertinggi di alam semesta. Nama Maalik bukan sebuah nama mutlak bagi-Nya, berbeda dengan Ar-rahman dan Ar-rahiim sebagai nama yang melekat mutlak tanpa batasan waktu. Hal itu untuk menunjukkan bahwa nama Ar Rahman Ar-rahiim adalah nama-Nya yg mutlak dan melekat abadi, sedangkan Malik adalah sebuah nama hadiah yang diperkenalkan bagi khalifatullah karena pengabdian pada Ar-rahman Ar-rahiim. Dengan mengenal nama-Nya dalam martabat Rabb al-'alamin, beliau mengenal seluruh nama-nama yang diperkenalkan Allah.

Khalifatullah bukanlah seorang Uswatun Hasanah yang dijadikan tuntunan menuju Allah, karena nama Allah yang dikenalnya sebuah nama temporer. Beliau a.s adalah contoh tipe makhluk pemakmur bumi yang dikehendaki Allah. Uswatun Hasanah terdapat pada Rasulullah SAW dan Ibrahim a.s yang mengenal nama-Nya yang abadi. Seseorang dapat berjalan menuju Allah hanya dengan mengharapkan nama Ar-rahmaan dan Ar-rahiim bagi dirinya, tidak mengharapkan nama Maalik, menginginkan kekuasaan untuk dirinya.

Menuju Manusia Politik

Sebagaimana khalifatullah, seseorang hanya dapat mengenal urusan Allah yang ditetapkan bagi dirinya dengan mendedikasikan diri pada Ar-rahman dan Ar-rahiim. Pengenalan diri adalah hadiah atas pengabdian diri kepada Ar-rahman Ar-rahiim, bukan jawaban atas rasa penasaran atas jati dirinya atau jawaban bagi keinginan atas penguasaan terhadap alam. Pengenalan diri adalah barometer benar tidaknya pengabdian diri kepada Tuhannya.

Dengan demikian sistem politik yang ideal akan tercapai jika dan hanya jika setiap individu memberikan dedikasi untuk menghamba kepada Ar-rahman Ar-rahiim, dengan menghidupkan sifat rahman dan rahim dalam jiwanya. Tanpa keinginan mengabdi kepada Ar-rahman Ar-rahiim tidak akan pernah terlahir Ulil Amri di antara manusia. Sikap objektif akan sangat membantu untuk melangkah menuju pengenalan diri, tetapi pengabdian kepada Ar-rahman Ar-rahiim menjadi kuncinya, karena pengenalan diri adalah hadiah. Pengenalan diri adalah Rahmat dari Allah yang diberikan kepada hamba-Nya yang dikehendaki.

Mencapai Rahmat

Manusia politik adalah manusia yang telah mendapatkan Rahmat Allah berupa pengenalan terhadap diri sendiri. Pengenalan itu adalah sebuah segel atas pengabdian dirinya yang tulus berdasarkan keimanan kepada Ar-rahman Ar-rahiim. Dengan mengenal diri, seseorang melihat shirat al-mustaqim bagi dirinya.


وَإِسۡمَٰعِيلَ وَٱلۡيَسَعَ وَيُونُسَ وَلُوطٗاۚ وَكُلّٗا فَضَّلۡنَا عَلَى ٱلۡعَٰلَمِينَ وَمِنۡ ءَابَآئِهِمۡ وَذُرِّيَّٰتِهِمۡ وَإِخۡوَٰنِهِمۡۖ وَٱجۡتَبَيۡنَٰهُمۡ وَهَدَيۡنَٰهُمۡ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ ذَٰلِكَ هُدَى ٱللَّهِ يَهۡدِي بِهِۦ مَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦۚ وَلَوۡ أَشۡرَكُواْ لَحَبِطَ عَنۡهُم مَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ ءَاتَيۡنَٰهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحُكۡمَ وَٱلنُّبُوَّةَۚ فَإِن يَكۡفُرۡ بِهَا هَٰٓؤُلَآءِ فَقَدۡ وَكَّلۡنَا بِهَا قَوۡمٗا لَّيۡسُواْ بِهَا بِكَٰفِرِينَ  
QS Al-'An`ām :87- Dan Kami telah memilih mereka dan Kami menunjuki mereka ke jalan yang lurus.
Al-'An`ām:88 - Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.
al-An’âm 6:89 Mereka itulah orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka kitab, hukum dan kenabian. Jika orang-orang itu mengingkarinya, maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak mengingkarinya.

Shirat al-mustaqim merupakan petunjuk yang sangat jelas. Seorang mukmin mendapatkan petunjuk terbaik berupa shirat al-mustaqim yaitu dengan mengenal diri, mengenal untuk apa dirinya diciptakan Allah.

Untuk mencapai hal itu, seorang mukmin yang belum mengenal diri harus senantiasa berharap kepada Allah agar memberikan petunjuk untuk pengabdian dirinya. Demikian pula setelahnya. Seseorang tidak dapat melakukan pengabdian kepada Allah dengan hawa nafsunya, tanpa pernah meminta petunjuk kepada Allah.

Pengabdian bukan hanya dilakukan dengan ritual-ritual ibadah. Pengabdian diri kepada Allah harus dilakukan dengan amal-amal shaleh, yaitu amal-amal yang dikehendaki Allah bagi setiap individu dalam setiap waktu. Amal-amal itu hanya bisa diketahui bila seseorang selalu membiasakan diri meminta petunjuk, bersikap hanif, objektif mengikuti kebenaran yang dipahaminya. Hal itu akan mengantarkan seseorang hingga derajat keshalihan.

Hawa nafsu adalah tuhan selain Allah yang paling mudah menggelincirkan manusia untuk menyembahnya. Seseorang bisa jadi berkeinginan menyembah Allah, tetapi Allah yang dimaksudkan adalah Allah yang ada di pikiran dirinya, tanpa pernah memeriksa apa yang difirmankan Allah. Maka dirinya terjebak menyembah thaghut yang dia namakan Allah. Taghut itu akan mengeluarkan manusia dari cahaya menuju kegelapan. Setiap insan harus berusaha menyembah Allah dengan benar, sesuai dengan kehendak-Nya dengan meminta petunjuk-Nya. Thaghut membawa manusia dari cahaya menuju kegelapan, bukan dari kegelapan menuju kegelapan lain.

Kitabullah merupakan pedoman agar manusia dapat menyembah Allah dengan benar. Allah memberikan pemahaman terhadap kitabullah dan hikmah kepada orang-orang yang berada di atas shirat al-mustaqim.

Akan tetapi kitabullah tidak akan dapat dipahami kecuali oleh orang-orang yang dibersihkan hatinya. Hal yang harus dilakukan setiap orang untuk menjadi manusia politik adalah belajar mengendalikan diri. Setiap orang harus mengendalikan diri dari hawa nafsu dan syahwat dirinya, agar kemampuan akalnya selalu bertambah kuat. Akal yang menguat ditunjukkan oleh sifat-sifat baik yang menguat, berupa kesabaran, ketaqwaan keikhlasan dan lain sebagainya. Dengan akal yang menguat, seseorang dapat membaca kitabullah dan mengikuti kehendak Allah secara lebih baik.

Tanpa belajar mengendalikan diri seseorang tidak akan memahami kitabullah. Kitabullah bisa menjadi perisai untuk melindungi kebodohan orang-orang yang berhasrat kekuasaan dan kekayaan sebagaimana Rasulullah sabdakan:

يُوشِكُ رَجُلٌ شَبْعَانُ مُتَّكِئٌ عَلَى أَرِيكَتِهِ يَأْتِيْهِ الأَمْرُ مِن أَمْرِيْ فَيَقُولُ : بَيْنَنَا وبَيْنَكُمْ كِتَابُ اللهِ مَا وَجَدْتَنَا فِيهِ مِنْ شَيْئٍ اتَّبَعْنَاهُ، أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ

Hampir saja ada seseorang yang kenyang duduk bersandar di atas kursi empuknya, datang kepadanya perintah dari perintahku lalu ia berkata, ‘Antara kami dengan kalian ada kitabullah. Semua yang kami temukan padanya, maka kami mengikutinya. Ketahuilah sesungguhnya aku diberikan al-Qur`an dan yang semisalnya bersamanya [HR. Abu Dawud no. 4604)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar