Pencarian

Minggu, 30 Mei 2021

Ampunan dan Surga Bagi Para Muttaqin

Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk bersegera kepada ampunan Allah dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Maghfirah Allah dan surga tersebut diperuntukkan bagi orang-orang yang termasuk dalam orang-orang yang bertakwa (al-muttaqin).

﴾۳۳۱﴿ وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (QS Ali Imran : 133)

Terdapat dua kelompok karakteristik yang menjadikan seseorang termasuk dalam golongan orang-orang bertakwa, yaitu muhsinin dan orang yang ingat kepada Allah dan memohon ampunan atas dosa-dosa mereka ketika mereka berbuat keji. Dengan dua karakteristik demikian seseorang dikatakan sebagai al-muttaqin.

Kaum Muhsinin

Karakteristik pertama sebagai al-muttaqin adalah muhsinin.

﴾۴۳۱﴿الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS Ali Imran : 134)

Para muhsinin adalah orang-orang yang menafkahkan hartanya pada waktu lapang dan sempit, menahan amarahnya serta mudah memaafkan orang lain. Mereka adalah orang-orang yang disukai Allah.

Menahan amarah dalam kalimat الْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ menunjukkan arti tidak menampakkan amarah kepada orang lain. Jadi yang dimaksudkan adalah menyembunyikan amarah dalam hati agar tidak menyakiti hati orang lain. Mungkin marah itu ada dalam hatinya, tetapi ia berusaha menahannya dalam hati dan memperbaiki permasalahan dengan cara sebaik-baiknya, tidak mengungkapkan dengan kemarahan.

Memaafkan orang lain dalam kalimat الْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ menunjukkan arti tidak ada keinginan berusaha melakukan pembalasan suatu kesalahan yang dilakukan orang lain atas dirinya, baik dirinya mampu untuk membalasnya atau tidak mampu membalasnya. Hal ini tidak bertentangan dengan upaya untuk memperbaiki keadaan bilamana orang lain melakukan suatu kesalahan atas dirinya, akan tetapi keinginan dalam hatinya untuk melakukan balasan kesalahan itu tidak muncul atau dihapus hingga tidak ada keinginan membalas. Hal itu yang dimaksud sebagai memaafkan orang lain.

Ketiga karakter di atas menunjukkan seseorang sebagai golongan muhsinin yang disukai Allah.



Memohon Ampunan

Selain muhsinin, ada syarat lain yang menjadikan seseorang termasuk dalam kategori sebagai orang-orang yang bertakwa sebagaimana disebutkan ayat berikut.

﴾۵۳۱﴿وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (QS Ali Imran : 135)

Ayat tersebut bercerita tentang orang beriman yang membalik kesalahan dalam berbuat keji dan mendzalimi diri sendiri menjadi pengetahuan sebagai ciri orang yang bertakwa. Seseorang yang beriman bisa jadi terjatuh untuk melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri. Itu merupakan perbuatan buruk yang terjadi karena tipuan syaitan. Ketika seseorang yang beriman kemudian mempunyai pengetahuan tentang keadaan dirinya setelah melakukan perbuatan keji dan mendzalimi diri sendiri kemudian memohon ampunan Allah, maka boleh jadi ia termasuk sebagai orang yang bertakwa (muttaqin).

Untuk membalik perbuatan keji dan kedzaliman yang dilakukan menjadi pengetahuan, perlu dilakukan berbagai langkah perbaikan, tidak serta merta perbuatan itu kemudian menjadi pengetahuan karena sikap memohon ampunan. Perlu banyak proses yang mengubah seseorang yang melakukan perbuatan keji menjadi orang yang bertakwa. Bila seseorang berubah menjadi orang yang bertakwa, ia akan mengetahui bahwa perbuatan keji dan mendzalimi diri sendiri yang dilakukannya mengantarkan dirinya pada tingkat pengetahuan yang baru daripada keadaannya dahulu. Tanpa hal itu, boleh jadi Allah sebenarnya belum memberikan ampunan kepada dirinya.

Hal pertama yang harus dilakukan adalah ia mengingat Allah atas dosa-dosa yang mereka lakukan. Mengingat Allah dalam upaya itu disebut dalam istilah ذَكَرُو (dzakaru - mengingat/menyebut). Hal ini menunjukkan suatu usaha untuk mengenal Allah sebaik-baiknya dengan mengingat asma dan shifat Allah, serta berusaha mengetahui kehendak Allah atas dirinya. Dalam hal ini, usaha mengingat asma Allah itu sebaiknya dilakukan terkait dengan dosa-dosa yang dilakukannya. Allah sebenarnya berkehendak memperkenalkan dirinya pada suatu bentuk kehendak-Nya melalui kesalahan perbuatan yang dilakukannya.

Hal berikutnya yang harus dilakukan adalah memohon ampunan atas perbuatan yang dilakukan. Hal ini dapat terjadi bilamana seseorang menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah suatu dosa. Syaitan dapat mengubah pandangan seseorang tentang perbuatan yang dilakukan sebagai perintah Allah, sekalipun orang itu adalah orang beriman. Dengan cara pandang demikian, mustahil seseorang dapat meminta ampunan dengan benar. Setiap orang harus berhati-hati atas tipuan syaitan yang dapat mengubah cara pandang dirinya terhadap perbuatannya.

Hanya Allah yang dapat mengampuni dosa-dosa orang yang berbuat keji dan melakukan perbuatan dzalim atas dirinya. Dosa perbuatan keji dan mendzalimi diri sendiri tidak diampuni oleh selain Allah. Hal itu terjadi karena perbuatan keji dan mendzalimi diri sendiri terkait dengan tujuan perjalanan bertaubat kepada Allah, sehingga hanya Allah yang memberikan ampunan bagi seseorang. Bahkan keberadaan kekejian dalam hati dalam wujud bathin merupakan sesuatu hal yang haram karena hal ini akan membelokkan manusia dari jalan taubatnya. Hanya Allah yang mengampuni dosa perbuatan keji dan mendzalimi diri sendiri.

Misalnya orang yang berbuat keji bersama-sama mungkin menganggap bahwa perbuatan mereka dilakukan atas dasar suka sama suka. Hal itu tidak menunjukkan bahwa dosa itu diampuni karena suka sama suka. Demikian pula bilamana masing-masing keluarga dan orang-orang yang terkait dengan orang yang berbuat keji telah merelakan dan menyukai perbuatan keji mereka, hal itu tidak menunjukkan dosa tersebut diampuni. Yang dapat mengampuni dosa perbuatan keji dan mendzalimi diri sendiri adalah Allah SWT. Bila Allah tidak mengampuni, maka tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa tersebut.

Tanda Terkabulnya Ampunan Allah

Tanda dari diampuninya dosa perbuatan keji dan perbuatan mendzalimi diri sendiri adalah mereka menghentikan perbuatan mereka dan mereka mempunyai pengetahuan perihal keadaan mereka dalam perbuatan keji dan mendzalimi diri sendiri tersebut.

Orang-orang yang berbuat keji dan mendzalimi diri sendiri harus menyadari bahwa perbuatan mereka merupakan dosa, dan mereka harus menghentikan perbuatan mereka. Banyak tingkatan pengetahuan orang tentang dosa yang mereka lakukan. Sebagian orang merasa bahwa mereka melakukan perbuatan baik ketika melakukan perbuatan dosa. Ini merupakan tipuan syaitan. Sebagian orang merasa perbuatan yang mereka lakukan sebagai perbuatan yang buruk akan tetapi mereka tidak mengetahui seberapa buruk perbuatan itu sehingga tidak meminta ampunan kepada Allah. Sebagian orang merasakan perbuatan buruk dan mereka merasakan akibat dari perbuatan buruk mereka dalam tingkatan masing-masing sehingga mereka memohon ampunan kepada Allah. Memohon ampunan hanya mungkin terjadi bagi mereka yang mengetahui bahwa perbuatan mereka buruk.

Seseorang yang menyesal atas perbuatannya dan memohon ampunan tidak dikatakan meminta ampunan kepada Allah bilamana dirinya kemudian melakukan kembali perbuatan mereka. Allah belum akan memberikan ampunan bagi pemohon ampunan atas dosa yang melakukannya dengan cara demikian. Hal itu menunjukkan bahwa kesadaran tentang dosa yang dilakukan tidak benar-benar tumbuh dengan pengetahuan. Ini tidak berarti permohonan ampunan dan penyesalan itu tidak berguna bagi mereka. Permohonan dan penyesalan yang demikian berguna untuk menjaga dirinya agar tidak melenceng lebih jauh. Akan tetapi bilamana seseorang masih melakukan perbuatan demikian setelah memohon ampunan sebenarnya dirinya belum mengetahui kesalahan yang terjadi dan Allah belum memberikan maghfirah kepadanya atas dosanya itu.

Seseorang yang terpaksa menghentikan perbuatan keji dan mendzalimi diri sendiri karena dihentikan orang lain tidak termasuk dalam kategori orang yang memohon ampunan Allah ketika memohon ampunan. Dirinya harus benar-benar menyadari bahwa perbuatan itu adalah dosa yang diperbuat oleh syaitan, dan dengan pengetahuan itu ia menghentikan perbuatannya. Tanpa mengetahui tipu daya syaitan ketika mendorongnya untuk melakukan perbuatan keji, seseorang tidak akan mempunyai ilmu perihal keadaan dirinya dalam melakukan perbuatan keji, dan tentu saja tanda-tanda bahwa Allah akan memberikan ampunan baginya tidak akan muncul. Bagi orang-orang yang mengharap ampunan Allah, pengetahuan tentang perbuatan keji ini harus benar-benar diperoleh karena itulah tanda akan munculnya ampunan Allah baginya.

Dengan sikap-sikap yang benar dalam memohon ampunan Allah, seseorang akan memperoleh pengetahuan melalui perbuatan keji yang dilakukannya. Pengetahuan itu akan mengantarkan dirinya pada suatu keadaan baru bagi dirinya, berbeda dengan keadaan pengetahuan yang terdahulu sebelum diampuni. Kadangkala pengetahuan itu harus mengubah hal yang fundamental dalam struktur pengetahuan dirinya. Tanpa memperoleh pengetahuan yang baru tersebut menjadi tanda bahwa Allah belum melimpahkan maghfirah atas dosa-dosanya.

Keadaan seperti itu mungkin dapat digambarkan melalui ibarat sebuah perusahaan layanan jaringan yang harus menyediakan jaringan perangkat keras komputer yang layak dengan platform perangkat lunak yang memadai. Seringkali penyedia layanan semacam itu mengalami ketinggalan zaman karena cara pandang lama sehingga operasional perusahaan tidak lagi sesuai dengan zamannya. Suatu kejadian yang tidak diharapkan mungkin terjadi manakala perusahaan itu sudah tidak sesuai lagi dengan jamannya. Mungkin aplikasi-aplikasi yang diharapkan oleh pelanggan tidak lagi dapat dioperasikan melalui layanan perusahaan itu, atau mungkin sering terjadi gangguan mesin atau perangkat lunak sehingga tidak lagi dapat beroperasi dengan baik dalam melayani pelanggan. Penanggung jawab perusahaan harus mengetahui tingkat layanan yang dibutuhkan oleh keadaan jaman baru melalui kejadian-kejadian gangguan dan kegagalan. Demikian gambaran pengetahuan yang harus diperoleh orang beriman yang mengharapkan maghfirah Allah karena melakukan perbuatan keji dan mendzalimi diri sendiri.

Kamis, 27 Mei 2021

Kitab Diri Sebagai Sumber Hakikat

 Allah menciptakan manusia di bumi dan menetapkan bagi masing-masing amal perbuatan yang harus dilaksanakan. Amal-amal itu telah dituliskan dalam kitab diri setiap manusia. Amal-amal seseorang yang bersesuaian dengan ketetapan dalam diri itulah yang merupakan amal shalih yang sesungguhnya baginya. Dengan beramal sesuai dengan kitab diri, maka akan terbuka pengetahuan kitabullah bagi dirinya. Pengetahuan kitabullah itulah pengetahuan hakikat yang akan dibawa hingga kelak menghadap kepada Allah, dan menjadi pemberat timbangan di hadirat Allah.

﴾۳۱﴿وَكُلَّ إِنسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ وَنُخْرِجُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كِتَابًا يَلْقَاهُ مَنشُورًا
Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. (Q Al-Israa’ : 13)

Kesabaran dalam berserah diri dalam mencari kehendak Allah merupakan pangkal dari keterbukaan kitab diri seseorang, suatu hal yang lebih penting daripada pengetahuan tentang kitab diri itu sendiri. Bila seseorang tidak mampu tegak dalam mencari kebenaran, pengetahuan tentang isi kitab diri itu akan menjatuhkannya untuk mengaku pemilik kebenaran dan hal itu akan menutupinya dari kebenaran yang lebih baik. Ia mungkin tidak lagi mencari dan menemukan kebenaran dalam realitas yang ada di sekitarnya, merasa bahwa dirinya adalah pemilik kebenaran. Kitab diri seseorang akan dibukakan Allah kepada setiap manusia pada hari kiamat.

Manusia harus bijak mensikapi kitab diri masing-masing. Kitab ini hampir-hampir seperti pohon khuldi yang diperuntukkan bagi Adam, tetapi justru menjatuhkannya bermaksiat kepada Allah. Adam diperintahkan untuk memakan buah-buah dari pohon di sekitar pohon khuldi sebagai makanannya. Setara demikian, seseorang akan dimudahkan untuk membaca ayat-ayat Alquran yang berdekatan dengan kitab dirinya, dan Alquran itu akan membukakan hakikat-hakikat yang diperuntukkan baginya. Hakikat-hakikat yang dikenal dari alquran itulah yang harus diperhitungkan seseorang. Setiap orang harus memfokuskan diri dalam ibadah kepada Allah. Demikian pula dalam membaca kitab diri harus lebih memperhatikan kepada Alquran daripada kitab dirinya. Kesesuaian dengan semesta yang ada harus dipertimbangkan karena ada hubungan cinta kasih yang harus terbina di antara mereka.

Allah melarang seseorang untuk mendekati pohon khuldi, sedangkan syaitan menunjukkan Adam kepada pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa. Ada kesamaan objek pada larangan Allah dan tipuan syaitan, yaitu pohon khuldi. Itu merupakan sumber kebenaran bagi manusia kelak di akhirat, sebagaimana kitab diri sebagai kitab kebijaksanaan. Walaupun merupakan sumber-sumber kebenarann, keduanya harus disikapi dengan kehalusan sehingga Allah memberikan larangan mendekati pohon khuldi, sedangkan syaitan mendorong manusia kepadanya.

Larangan Allah bukan bertujuan menahan manusia dari kebijaksanaan, dan petunjuk syaitan tidak menunjukkan manusia pada kebijaksanaan. Allah mencegah seseorang untuk terburu-buru menempati kedudukan diri dan mewujudkan semesta berdasarkan pohon khuldinya, sedangkan syaitan mendorong manusia untuk terburu-buru dengan fokus yang buram. Segala kebijaksanaan yang terkandung dalam pohon khuldi harus diperhatikan berdasarkan kehendak Allah dalam wujud ketakwaan, dan harus diperhatikan kesesuaian dengan segala yang terjadi pada alam sekitarnya dalam hubungan kasih sayang, tidak dibaca dengan keinginan diri sendiri tanpa melihat keadaan lingkungannya. Syaitan mendorong manusia untuk memfokuskan tujuan pada eksistensi diri manusia.

Seseorang yang memperoleh pengetahuan dari kitab diri akan mengerti kehendak Allah berdasarkan ketakwaan. Sedikit perbedaan akan terjadi bila seseorang mengenal pohon khuldinya. Ia tampak mengenal kehendak Allah, akan tetapi terlihat ceroboh dalam bersikap kepada hukum kitabullah dan semesta dirinya. Seseorang akan mudah melanggar larangan Allah dan melakukan perbuatan aniaya karena mengenal pohon khuldi, sedangkan ia memandang hal itu sebagai kebaikan. Kehalusan dan perincian masalah yang ada dalam kitabullah tidak tampak dalam pandangan orang yang mengenal pohon khuldi, dan akan terlihat orang yang ikhlas berusaha mengenal kitabullah.

 

Kitab Diri Sebagai Alat Hisab

Allah memerintahkan manusia untuk membaca kitab dirinya ketika kitab diri itu terbuka sebagai alat hisab bagi dirinya. Seseorang dinyatakan telah mampu melakukan hisab diri ketika kitab diri terbuka kepada dirinya. Kitab diri itu hendaknya tidak diperlakukan untuk perbuatan yang salah, karena tujuan utama keterbukaan kitab diri adalah agar seseorang melakukan hisab diri berdasarkan ketetapan Allah. Kadangkala seseorang bertindak bagai orang paling pandai karena kitab diri yang terbuka kepadanya, atau seolah-olah dirinya pemangku kuasa Allah tanpa memiliki kebijaksanaan.



﴾۴۱﴿اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَىٰ بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا
"Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu" (QS Al-Israa’ :14)

Hisab diri harus dilakukan untuk menghitung hakikat yang diperoleh dalam kehidupannya. Hakikat itu tidak terbaca semata-mata dalam kitab diri. Seseorang harus melihat realitas yang terjadi disekitarnya berdasarkan kitab diri, dan membaca hakikat segala sesuatu yang terjadi berdasarkan kitabullah Alquran. Kitab diri berfungsi sebagai visi untuk menentukan sudut pandang masalah, sedangkan sumber hakikat berasal dari kitabullah Alquran.

Alquran itu akan menjadi sumber hakikat manakala seseorang mempunyai sifat kasih sayang kepada semestanya. Tanpa sifat itu, Alquran bisa terlihat bersifat kering tanpa makna yang dapat diperoleh. Sifat kasih sayang itu mengharuskan seseorang untuk memahami objek yang di sekitarnya, dan kemudian berusaha memberikan khazanah Allah kepada yang membutuhkan yang mengalir melalui dirinya.

Hubungan tiga hal tersebut harus terbentuk sebagaimana mestinya. Kitab diri menjadi kedudukan untuk melihat peristiwa-peristiwa pada semestanya sesuai dengan cara pandang Alquran.  Alquran menjadi sumber hakikat, dan semesta menjadi objek kasih sayangnya. Ketiga hal itu harus dijadikan alat hisab diri. Kitab diri harus menjadi alat hisab diri, tidak boleh dijadikan alat untuk berbesar diri dan alat legitimasi perbuatan diri. Dengan hakikat yang diperoleh, dirinya harus mengalirkan khazanah Allah kepada semestanya. Itulah kebenaran yang akan dibawa pada hari penimbangan di hadirat Allah kelak.

Tidak ada kasih sayang tanpa berusaha memahami orang lain. Kadangkala seorang laki-laki memaksakan pendapat kepada isteri dan anak-anaknya tanpa memahami kebutuhan mereka. Itu lebih menunjukkan obsesi diri, bukan memberikan khazanah yang terbaik. Sebaliknya bukan semua tuntutan anak istri yang merupakan kebutuhan mereka, karena itu lebih menunjukkan keinginan mereka. Demikian pula seorang pemimpin tidak boleh memaksakan kehendak tanpa memahami anak buahnya, dan bukan pula keinginan anak buahnya yang merupakan kebaikan bagi mereka. Seorang laki-laki harus berusaha melihat dan memahami kebaikan untuk masyarakat melalui sudut pandang yang dikehendaki Allah.

Pengetahuan kitab diri tidak boleh digunakan untuk menghakimi orang lain dengan semena-mena. Khazanah Allah yang mengalir melalui seseorang seharusnya diberikan kepada orang yang berhak, akan tetapi bila orang yang bersangkutan tidak merasa membutuhkan khazanah itu maka tidak perlu dipaksakan untuk memperolehnya. Ia cukup memancing orang itu untuk mengenal khazanah Allah. Dirinya dapat berbagi khazanah itu kepada masyarakat luas bila memang dibutuhkan oleh orang lain. Dalam beberapa kasus, khazanah itu berbahaya bila tidak diberitahukan kepada masyarakat, maka ia tidak boleh menyimpan khazanah itu tanpa memberitahukan kepada masyarakat. Bila seseorang memiliki kuasa, ia harus menggunakan kuasanya untuk menegakkan amar ma’ruf nahy munkar berdasar khazanah Allah yang mengalir kepada dirinya.

Kadangkala seseorang yang mengetahui kitab dirinya tidak dapat memberikan kebutuhan khazanah orang lain yang datang kepada dirinya, sedangkan orang itu membutuhkan khazanah yang seharusnya mengalir melalui dirinya. Sebaliknya, seseorang dapat melakukan hal-hal buruk terhadap orang lain berdasarkan kitab dirinya. Hal demikian dapat terjadi bilamana seseorang salah dalam mensikapi kitab diri. Kitab diri, kitabullah Alquran dan semesta yang ada di sekitarnya harus disikapi dengan tepat. Dalam keadaan apapun, Alquran adalah kitabullah yang harus paling diutamakan bukan yang lain. Setiap amal yang dilakukan harus berlandaskan rasa kasih sayang, bukan sikap mementingkan diri sendiri walaupun dengan membaca kitab diri. Kitab diri berfungsi untuk menentukan sudut pandang masalah.

Sikap demikian sebenarnya tidak memperkenalkan hakikat secara utuh kepadanya. Fungsi dirinya tidak berjalan dengan sempurna. Pohon diri, kitab diri dan segala hal yang menjadi sumber kebenaran bagi seseorang harus disikapi dengan tepat dan halusnya dapat dirasakan. Seseorang tidak boleh mendekati pohon khuldi sebagai klaim terhadap urusan Allah bagi dirinya, dan diperintahkan untuk membaca kitab dirinya untuk hisab diri, bukan untuk klaim pohon dirinya. Melanggar hal demikian seringkali memunculkan sikap-sikap kufur di mata Allah.

Selasa, 25 Mei 2021

Amal Shalih dan Tawakkal

 Allah menciptakan manusia di bumi dan menetapkan bagi masing-masing amal perbuatan yang harus dilaksanakan. Amal-amal itu telah dituliskan dalam kitab diri setiap manusia. Sebagian manusia menemukan dan mengenali amal-amal itu dalam kehidupannya di dunia kemudian mereka beramal dengan amal-amal yang ditetapkan baginya, sebagian tidak dapat melaksanakan dengan baik. Sebagian manusia berusaha mencari dengan sungguh-sungguh untuk menemukan amal yang ditentukan baginya. Sebagian manusia tidak mengetahui adanya ketetapan tersebut dan berusaha memberikan amal-amal baiknya, dan sebagian beramal untuk kehidupan dunia yang diinginkannya.



﴾۳۱﴿وَكُلَّ إِنسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ وَنُخْرِجُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كِتَابًا يَلْقَاهُ مَنشُورًا
(13)Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. (Q Al-Israa’ : 13)

Amal-amal itu merupakan ketetapan Allah dalam kitab diri masing-masing manusia. Amal-amal seseorang yang bersesuaian dengan ketetapan dalam diri itulah yang merupakan amal shalih yang sesungguhnya baginya. Dengan beramal sesuai dengan kitab diri, maka akan terbuka pengetahuan kitabullah bagi dirinya. Pengetahuan kitabullah itulah pengetahuan hakikat yang akan dibawa hingga kelak menghadap kepada Allah, dan menjadi pemberat timbangan di hadirat Allah.

Sebagian orang bersungguh-sungguh berusaha berserah diri dengan mencari kehendak Allah yang harus dikerjakan dirinya dalam setiap saat. Dengan cara itu seseorang dapat mendekati atau bahkan menemukan amal shalih walaupun belum mengetahui catatan yang ditetapkan baginya. Bila Allah menghendaki, boleh jadi Allah akan membukakan baginya kitab dirinya sehingga ia merasa yakin dengan amal yang dikerjakannya, akan tetapi seringkali Allah tidak membukakan kitab dirinya agar ia selalu membangun sikap pencarian terhadap kehendak Allah. Allah akan membukakan kitab diri itu baginya kelak di hari kiamat.

Setiap orang harus bersabar dalam berserah diri tidak mudah melakukan klaim bahwa dirinya adalah pemilik kebenaran. Kesabaran dalam berserah diri itu merupakan pangkal dari keterbukaan kitab diri seseorang, suatu hal yang lebih penting daripada pengetahuan tentang kitab diri itu sendiri. Ketika seseorang mampu tegak dalam bersikap mencari kebenaran maka kitab diri itu mungkin terbuka. Bila seseorang tidak mampu tegak dalam mencari kebenaran, pengetahuan tentang isi kitab diri itu akan menjatuhkannya untuk mengaku pemilik kebenaran dan hal itu akan menutupinya dari kebenaran yang lebih baik. Ia mungkin tidak lagi mencari dan menemukan kebenaran dalam realitas yang ada di sekitarnya, merasa bahwa dirinya adalah pemilik kebenaran.

Barangkali hanya satu makhluk yang mampu menjadi sandaran kebenaran, sedangkan makhluk lain tidak akan mampu menanggung beban sebagai sandaran kebenaran. Beliau adalah Rasulullah SAW. Hal ini tidak menunjukkan tidak adanya kebenaran pada makhluk yang lain. Setiap orang dapat mengenali kebenaran dan menyampaikan kebenaran, dan mampu menahan beban kebenaran itu, dengan syarat bila ia memperoleh sandaran kepada Rasulullah SAW, atau memperoleh wasilah kepada rasulullah SAW. Tanpa wasilah dan sandaran kepada Rasulullah SAW, seseorang tidak akan memperoleh pijakan yang kuat, atau bahkan sebenarnya kebenaran yang dikenalnya hanya melayang tanpa pijakan.

Beramal Shalih di Dunia

Amal yang ditetapkan itu merupakan perbuatan yang harus dilaksanakan seseorang untuk mendekat kembali kepada Allah. Amal itu disebut dalam Alquran dengan terminologi طَائِرَ (thairun) yang berarti burung. Amal itu menjadi alat bagi seseorang untuk terbang di langit menuju Allah. Sebagaimana burung mempunyai dua sayap, setiap orang harus membangun dua sayap secara seimbang agar mengetahui amal-amal yang telah ditetapkan baginya untuk kembali kepada Allah. Kedua sayap itu harus dibangun dalam dua aspek dirinya secara sinergis, yaitu pengetahuan pada jiwanya dan pengetahuan pada raganya.

Seseorang akan mengetahui bahwa dirinya memiliki sayap manakala pengetahuannya tentang dunianya terbangun selaras dengan pengetahuannya tentang kitabullah. Ia akan tersadar bahwa dirinya akan dapat terbang dengan kedua pengetahuan itu, walaupun belum mengetahui bagaimana ia akan terbang, sebagaimana seekor anak elang menyadari bahwa dirinya akan dapat terbang. Ia mengetahui bahwa kedua pengetahuan itu dua hal yang sama yang dapat menjaganya seimbang ketika ia terbang.

Kedua sayap itu adalah pengetahuan duniawi dan pengetahuan kitabullah yang seimbang. Seseorang harus terbang di alam dunia dengan kedua sayap itu, karena seorang manusia diciptakan sebagai khalifatullah di bumi. Kadangkala seseorang terpaksa mengetahui bahwa dirinya tidak dapat terbang dengan sayap pengetahuannya saja. Itu terjadi bila ia tidak membangun rumah tangga yang baik. Untuk bisa beramal shalih di bumi, seorang laki-laki harus memanjangkan wujud dirinya dalam struktur sosial, berupa rumah tangga yang baik dengan perempuan shalihah. Seseorang akan dapat terbang dengan pengetahuannya dalam wujud amal shalih yang kongkret dengan membangun rumah tangga sebagai perpanjangan wujud jiwa-raganya.

Pernikahan merupakan perpanjangan wujud jiwa dan raga seorang manusia dalam struktur sosial. Interaksi seseorang dalam pernikahan akan menunjukkan dinamika jiwanya. Seorang suami yang memperhatikan istrinya menunjukkan jiwa laki-laki yang baik. Demikian pula seorang istri yang penuh cinta kasih bagi suaminya menunjukkan jiwa perempuan yang baik. Perbaikan akhlak menuju akhlakul karimah sangat ditentukan perilaku seseorang dalam rumah tangga. Sikap seseorang di dalam pernikahan dapat menjadi parameter kualitas jiwa sepasang manusia dalam perjalanannya kembali kepada Allah.

Kadangkala seseorang terlihat sangat baik bagi orang luar, akan tetapi tidak bisa mengerti apa khazanah dan kebaikan yang dibawa pasangannya. Hal itu tidak menunjukkan kebaikan akhlaknya. Kadangkala seseorang terlihat buruk bagi orang lain, akan tetapi dirinya mengerti hal yang diperlukan untuk kebaikan rumah tangga mereka. Hal itu menunjukkan keluhuran akhlaknya. Keluhuran akhlak ini tidak dapat dinilai oleh orang lain. Pernikahan akan menuntun langkah seseorang untuk menuju keluhuran akhlak, bila ia menginginkan. Seseorang dapat mengetahui akhlak dirinya menurut kualitas sikap hatinya kepada suami atau isterinya. Suami dapat menjadi pelurus bagi isteri, dan isteri dapat menjadi pelurus bagi suaminya walaupun kadangkala seorang suami keliru dalam menilai istrinya, dan demikian pula kadang seorang isteri keliru dalam menilai suaminya.

Terbentuknya dua sayap itu merupakan parameter tumbuhnya akhlak al karimah pada diri seseorang. Suami dan isteri harus menumbuhkan bersama-sama akhlak al karimah hingga tumbuh kedua sayap mereka untuk terbang menuju Allah. Apapun keadaan rumah tangga seseorang, setiap orang dapat mengasah seseorang untuk menumbuhkan akhlak al karimah. Seorang suami dapat tumbuh akhlak al karimahnya, yaitu akalnya untuk memahami dunianya selaras dengan kitabullah walaupun keadaan rumah tangga mereka sangat buruk. Demikian pula seorang isteri dapat tumbuh sebagai wanita dengan sifat ahli surga walaupun beristerikan fir’aun, akan tetapi ada aspek yang tidak muncul bilamana rumah tangga tidak dibangun sebagai rumah tangga yang baik.

Tawakkal Yang Benar

Dengan kedua sayap itulah seseorang dapat memperoleh rezeki at-thayyibat dengan sikap tawakkal yang sebenar-benarnya. Tawakkal yang sebenar-benarnya dapat dilihat pada sepasang manusia yang telah mengerti amal-amal yang ditentukan bagi mereka dan mereka mengerjakan amal-amal tersebut. Kadangkala pasangan suami isteri tidak dapat terbang berdasarkan amal yang ditetapkan bagi mereka sehingga harus mencari rezeki berdasarkan upaya duniawi yang lain.

dari Umar bin Khaththab r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda:
لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَ كَّلُوْنَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرُزِقْتُم كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا “
Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang”.[HR Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Al-Mubarak]

Pasangan yang dapat mengerjakan amal-amal yang ditentukan bagi mereka akan memperoleh rezeki dalam setiap upaya mereka mengerjakan amal-amal shalih mereka. Seandainya pagi hari mereka dalam keadaan lapar, mereka akan pulang dari amal mereka dalam keadaan kenyang. Mereka itulah orang-orang yang menunjukkan sikap tawakkal dengan sebenarnya.

Allah akan memberikan rezeki kepada setiap orang yang berusaha bersikap tawakkal. Proses turunnya rezeki bagi orang-orang yang mengerjakan amal-amal shalih dapat ditiru oleh setiap orang hingga seolah-olah mereka memperoleh rezeki karena mengerjakan amal yang ditetapkan bagi mereka. Hal yang perlu diperhatikan oleh orang yang meniru adalah sikap keberserahan diri untuk mencari kehendak Allah bagi dirinya setiap saat sebagai amal. Sikap tawakkal tidak dapat diperoleh tanpa sikap batin yang benar. Bila seseorang tidak berusaha untuk mengerti kehendak Allah bagi mereka, maka tidak akan terbangun sikap tawakkal yang benar.

Sabtu, 22 Mei 2021

Amal Shalih dan Fitnah Dalam Petunjuk

Manusia diciptakan sebagai makhluk paling sempurna dalam pandangan Allah. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang mempunyai wujud kasar akan tetapi mempunyai kecerdasan sebagaimana makhluk di alam yang tinggi, bahkan dapat melampaui segenap kecerdasan makhluk-makhluk di alam yang tinggi. Dalam sejarahnya, penciptaan manusia yang pertama dilakukan di surga yang tinggi. Karena suatu peristiwa, manusia pertama tersebut bersama pasangannya diperintahkan untuk meninggalkan surga menuju ke bumi. Karena pengusiran dari surga, maka umat manusia menjadi berpecah-belah. Sebagian manusia menjadi musuh bagi manusia lainnya

Untuk kembali ke tempat tinggalnya di surga, setiap manusia diperintahkan untuk mencari jalan kembali dengan mengikuti petunjuk Allah. Allah akan mendatangkan kepada manusia petunjuk untuk kembali kepada Allah. Dengan mengikuti petunjuk tersebut, maka seseorang akan memperoleh jalan yang selamat dan tidak mengalami celaka.

﴾۳۲۱﴿قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ
﴾۴۲۱﴿وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ
(123)Allah berfirman: "Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.(124)Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". (QS Thaha : 123-124)

Hidayah secara bahasa berarti petunjuk atau bimbingan, Secara istilah, Hidayah ialah penjelasan dan petunjuk jalan yang akan menyampaikan kepada tujuan di sisi Allah. Hidayah mempunyai banyak tingkatan, dari hidayah bayan wal irsyad (penjelasan dan petunjuk) hingga hidayah yang diberikan bagi setiap makhluk. Penerima hidayah bayan wal irsyad wajib menyampaikan dan menjelaskan hal tersebut kepada umat yang ada bersama mereka. Kemudian ada hidayah yang merupakan hidayah yang Allah turunkan kepada siapa saja, yang mempunyai kemauan dan kesungguhan untuk mendapatkan hidayah Allah. Selain itu, Allah sebenarnya juga memberikan petunjuk kepada setiap ciptaan setelah Dia memberikan bentuk kepada makhluk tersebut.

Manusia sebagai makhluk paling sempurna diciptakan dari dua tangan Rabbul Alamiin. Ini menunjukkan keberadaan dua entitas berbeda dalam satu diri manusia. Dalam setiap bentuk ciptaan, Allah memberikan hidayah dalam wujud yang berbeda. Dengan adanya dua bentuk ciptaan dalam diri manusia, setiap manusia dapat mencari petunjuk sesuai keadaan masing-masing. Sebagian cenderung dengan bentuk-bentuk duniawi, sebagian dapat mencari petunjuk dalam bentuk-bentuk kehidupan jiwa.

Membentuk Akhlak Al Karimah Dengan Hidayah

Hidayah yang harus diusahakan seseorang adalah hidayah untuk mendapatkan shirat al mustaqim agar dapat kembali kepada Allah dengan selamat. Pencarian hidayah Allah untuk menemukan shirat al mustaqim demikian itu merupakan salah satu bentuk pemurnian ubudiyah bagi Allah semata-mata. Dalam kehidupan manusia di bumi, banyak bentuk-bentuk petunjuk yang diberikan oleh selain Allah untuk membuat seseorang bingung dalam kehidupannya di dunia. Petunjuk itu merupakan upaya pencampuran agar manusia melakukan seruan kepada selain Allah. Syaitan selalu mengupayakan agar seseorang tergelincirkan untuk menyeru pada selain Allah. Mencari hidayah shirat al mustaqim merupakan pemurnian ubudiyah bagi Allah semata-mata.

﴾۱۷﴿قُلْ أَنَدْعُو مِن دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنفَعُنَا وَلَا يَضُرُّنَا وَنُرَدُّ عَلَىٰ أَعْقَابِنَا بَعْدَ إِذْ هَدَانَا اللَّهُ كَالَّذِي اسْتَهْوَتْهُ الشَّيَاطِينُ فِي الْأَرْضِ حَيْرَانَ لَهُ أَصْحَابٌ يَدْعُونَهُ إِلَى الْهُدَى ائْتِنَا قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ وَأُمِرْنَا لِنُسْلِمَ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
(71)Katakanlah: "Apakah kita akan menyeru selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemanfaatan kepada kita dan tidak (pula) mendatangkan kemudharatan kepada kita dan (apakah) kita akan kembali ke belakang, sesudah Allah memberi petunjuk kepada kita, seperti orang yang telah dibimbangkan oleh syaitan di pesawangan di bumi dalam keadaan bingung. dia mempunyai kawan-kawan yang memanggilnya kepada petunjuk (dengan mengatakan): "Marilah ikuti kami". Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk; dan kita disuruh agar menyerahkan diri kepada Tuhan semesta alam, (QS Al-An’aam : 71)

Salah satu parameter hidayah dari Allah adalah terbentuknya akhlak mulia dalam diri seseorang. Itu mensyaratkan pemurnian hati. Dengan keikhlasan, seseorang akan terbentuk sebagai makhluk yang mengerti jalan kehidupannya, sebagaimana seekor anak elang menemukan jalannya untuk terbang dengan kedua sayapnya. Hidayah Allah akan memberi petunjuk kepada seseorang hingga seseorang mengerti bahwa pengetahuan Alquran dan pengetahuan kehidupannya di bumi menyatu. Pengetahuan tentang ayat alquran itu ibarat sayap kanan dan pengetahuan kehidupan bumi ibarat sayap kiri, dan kedua sayap itu menyatu dalam diri seseorang untuk terbang mendekat kapada Allah. Amal-amal yang dikalungkan Allah di leher setiap insan adalah sayap untuk terbang mendekat kepada Allah. Itu adalah shirat al mustaqim baginya.

Untuk mewujudkan hal itu, manusia diciptakan berpasangan. Setiap manusia diciptakan berpasangan sebagai jiwa dan raga. Keberpasangan itu akan membentuk pengetahuan tentang kitabullah dalam jiwanya, dan pengetahuan kehidupan dunia dalam raganya. Dengan hidayah dari Allah, akan terbentuk pengetahuan jiwa dan pengetahuan raga secara setimbang sebagaimana terbentuknya sepasang sayap pada elang. Dengan kedua sayap itu seorang manusia dapat menemukan jalannya untuk kembali kepada Allah.

Wujud akhlak demikian harus dapat termanifestasi bagi semesta seseorang hingga wujud-wujud fisik. Untuk memanifestasikan di alam dunia, setiap manusia diciptakan berpasangan dengan isteri-isteri mereka. Hubungan fungsional antara seorang isteri dengan suami dalam upaya manifestasi akhlak seorang laki-laki dapat dilihat dalam gambaran fisik berupa harus hadirnya telur untuk benih laki-laki untuk melahirkan seorang bayi. Syaitan selalu berusaha memotong manifestasi akhlak yang baik hingga terlahir di semesta seseorang dengan upaya memisahkan seorang isteri dari suaminya. Dengan memisahkan seorang isteri dari suaminya, seorang suami yang telah memiliki kedua sayap setimbang untuk terbang mendekat kepada Allah tidak akan mampu mewujudkan amal shalihnya di alam dunia. Keberpasangan suami dan isteri harus menjadi perpanjangan dari keberpasangan jiwa dan raga suami, atau suami isteri, sebagai sepasang sayap untuk mendekat kepada Allah.

Petunjuk yang demikian yang akan mengantarkan seseorang untuk kembali kepada Allah dengan keselamatan, dan menjadi jalan untuk menghilangkan permusuhan di antara manusia. Itu adalah sunnah yang diajarkan oleh rasulullah SAW. Sebagian orang yang memperoleh petunjuk di alam dunia menjadi buta ketika dikumpulkan di alam makhsyar. Hal itu membuat mereka bertanya, apakah yang menyebabkan mereka dikumpulkan dalam keadaan buta, padahal dahulu mereka orang yang mendapatkan petunjuk ketika berada dalam kehidupan di dunia. Setiap orang harus berusaha menemukan petunjuk Allah yang sebenarnya, hingga dapat mengenali bahwa petunjuk yang diperoleh tidak hilang dalam kehidupan akhirat, hingga dirinya mengetahui jalan kehidupan yang harus ditempuh di dunia untuk mendekat kepada Allah.

Petunjuk-petunjuk yang dikatakan oleh teman-teman seseorang di bumi boleh jadi merupakan petunjuk yang akan hilang di alam akhirat bila dirinya tidak memperteguhnya dengan pengetahuan dari Allah. Itu merupakan wujud petunjuk yang bersifat kurang manfaatnya dalam kategori ringan. Sebagian petunjuk merupakan petunjuk yang dibangkitkan untuk menimbulkan kebingungan manusia dalam perjalanan di muka bumi. Dengan petunjuk itu, seseorang justru mengalami kebingungan untuk menempuh jalan kembali kepada Allah. Itu adalah petunjuk yang sifatnya membingungkan dalam kategori sedang. Sebagian petunjuk bersifat menyesatkan karena berasal dari syaitan. Itu adalah petunjuk yang membingungan dalam kategori berat.

Rasulullah SAW menjadikan pernikahan sebagai sunnah yang membimbing manusia untuk memperoleh petunjuk yang benar. Suami dan isteri harus membentuk keluarga dengan sebaik-baiknya. Setiap isteri hendaknya patuh kepada suaminya karena suaminya mengerti keadaan mereka. Seorang suami akan mengetahui keadaan rumah tangga mereka dengan menimbang keadaan dirinya. Ia dapat mengetahui apa yang salah dengan keadaan mereka dengan melihat jiwanya. Ketika keadaan bumi mereka tidak selaras dengan keadaan jiwa, suami akan mengetahui ketidakselarasan yang terjadi, dan barangkali ia dapat mengupayakan perbaikan yang bagi keadaan mereka. Isteri yang tidak mau mengikuti suaminya dalam upaya itu akan menghambat perbaikan yang harus dilakukan.

Fitnah Syaitan Dalam Keberpasangan

Syaitan akan berupaya memisahkan setiap perjodohan yang baik. Memisahkan seorang perempuan yang berjodoh baik bagi seorang laki-laki tertentu merupakan kemenangan pertama bagi syaitan. Ini berlawanan dengan parameter kemenangan seorang pembimbing agama. Menikahkan seorang laki-laki dengan jodoh yang terbaik merupakan langkah kemenangan pertama bagi seorang syaikh. Seorang syaikh bahkan kadangkala bermain siasat untuk memaksa terjadinya pertemuan dan pernikahan seorang laki-laki dengan jodohnya dalam upayanya melangkah di antara basyiran (berita baik) dan nadziran (peringatan) yang harus diemban bagi umatnya. Siasat demikian harus beliau lakukan sebagai upaya meredam, mengimbangi atau memusnahkan fitnah syaitan yang berupaya dengan cara sebaliknya memisahkan isteri dari suaminya. Siasat ini kadang harus diaksanakan, tidak dapat ditempuh seorang syaikh dengan cara lain.

Seorang syaikh tidak akan terjebak untuk mengejar berita baik (basyiran) dari Allah saja, tetapi pasti juga akan memperhatikan peringatan (nadziran) yang akan menghancurkan mereka. Kadangkala seorang syaikh mengerti bahwa syaitan akan melakukan langkah yang akan berakibat sangat buruk untuk umat yang menjadi tanggung jawabnya, hingga kadang mengerti bahwa umatnya kelak harus kembali bangkit dari debu kekalahan mereka. Sebuah langkah strategis harus dilakukan, dan seringkali hal itu dengan menikahkan seseorang laki-laki dengan jodohnya. Langkah itu adalah kemenangan sang syaikh yang tertunda. Tanpa langkah itu, umatnya akan berantakan dan hisab baginya di alam akhirat akan berjalan berat.

Bersiasat dengan cara demikian hanya dapat dilakukan bila seseorang mengenal realitas yang terjadi, yang menjadi dasar suatu peristiwa lain yang mungkin terjadi. Syaikh itu harus mengenal hakikat (Al-Haqq) yang menjadi landasan suatu peristiwa yang mungkin akan terjadi. Tanpa mengenal Al-Haqq, seseorang tidak diperkenankan untuk memaksakan sesuatu terjadi. Bahkan seorang nabi Nuh a.s tidak diperkenankan untuk sekadar memohon sesuatu tanpa mengetahui apa yang diminta, tentu lebih dilarang bila memaksakan sesuatu untuk terjadi. Di jaman sekarang, pengenalan hakikat (Alhaqq) hanya benar bila dapat divalidasi dengan kitabullah Alquran.

Upaya syaitan untuk memisahkan orang yang berjodoh sangatlah besar. Suatu perjodohan yang baik dapat diubah menjadi suatu bencana besar bagi manusia dengan hembusan-hembusan pada hawa nafsu manusia. Suatu rencana pernikahan dapat diubah syaitan menjadi perang bubat yang memisahkan umat manusia. Demikian syaitan selalu hadir untuk melakukan tipuan-tipuan untuk memisahkan dalam setiap proses perjodohan yang baik.

Sepasang manusia yang menerima petunjuk perjodohan yang sama dapat menjadi sumber malapetaka bagi umat manakala ada pihak-pihak terlena oleh tipuan syaitan. Dalam hal semacam itu, setiap pihak harus berusaha berlindung dan menghindar dari tipuan syaitan hingga tidak menjadi sumber malapetaka bagi manusia. Dalam tingkatan tertentu, memohon petunjuk pun tidak diperkenankan tanpa berusaha mengetahui hakikatnya terlebih dahulu, sebagaimana nabi Nuh a.s tidak diperkenankan memohon tanpa mengetahui hakikatnya. Petunjuk yang benar yang turun kepada masing-masing pasangan kadangkala tidak dapat dibatalkan dengan permohonan petunjuk oleh orang lain tanpa berusaha mengetahui terlebih dahulu hakikat dari perjodohan mereka. Syaitan dalam tingkatan yang sangat tinggi akan berusaha untuk hadir bagi semua pihak yang dilibatkan sebagai upaya membuat fitnah bagi manusia.

Syaitan tidak hanya hadir dalam perjodohan yang baik. Ketika perjodohan yang dipandang seseorang tidak baik terjadi, semua pihak tidak boleh melakukan tindakan secara gegabah karena syaitan hadir di antara mereka. Tidak boleh suatu pihak melakukan hinaan terhadap pihak lainnya. Ada hati dan cinta yang terlibat dalam perjodohan itu, walaupun mungkin hanya sepihak. Sebuah hinaan yang ditujukan pada pihak lain akan membangkitkan pikiran dan kalimat buruk dalam pikiran pihak yang dihina, padahal ada hati dan cinta dalam diri mereka. Seringkali hal buruk menimpa seseorang sebagai qishas hinaan yang dilakukannya kepada jodoh yang datang kepadanya, dan hanya dapat dihilangkan atas ijin Allah dengan meminta maaf atas hinaan yang dilakukannya. Syaitan memanfaatkan jiwa-jiwa manusia dan hukum-hukum Allah untuk menimbulkan fitnah di antara manusia.

Orang-orang beriman tidak boleh merasa aman dari melakukan tindakan buruk semacam ini. Syaitan yang hadir justru akan semakin tinggi pangkatnya ketika berurusan dengan orang-orang beriman, dan setiap pihak akan didorong untuk melakukan tindakan buruk dalam proses demikian. Orang beriman seringkali melakukan hal yang buruk ini dan justru merasa bahwa mereka melakukan perbuatan yang baik.

Sekalipun seseorang benar-benar ikhlas untuk agama dalam perjodohan harapannya, sebuah hinaan dalam menolaknya akan membangkitkan dalam dirinya pikiran dan kalimat buruk tentang jodoh yang diharapkan. Seseorang yang ikhlas dalam agama mungkin akan berusaha menahan kalimat itu untuk tidak keluar dari mulutnya, tetapi kalimat buruk itu pasti akan bangkit dalam pikirannya. Boleh jadi ia tidak bisa menahan rembesan sebagian kalimat buruk itu dalam munajatnya kepada Allah. Itu merupakan sumber fitnah yang mungkin timbul dari proses perjodohan. Dalam perjodohan secara umum, Rasulullah SAW menyarankan umatnya untuk menerima pinangan orang lain untuk menghindari fitnah. Beberapa kriteria perjodohan secara khusus lebih utama atau harus dilakukan hingga memungkinkan untuk tidak menerima pinangan seseorang.

Setiap orang harus memperhatikan batas yang dapat dilakukan dalam interaksinya tentang perjodohannya. Dalam suatu perjodohan terkandung batas-batas keimanan, dimana seseorang dapat tergolong kepada orang yang kufur terhadap nikmat Allah dan beriman kepada yang bathil bilamana bersikap salah dalam tindakannya ketika berinteraksi dalam perjodohan. Masalah rejeki, paras wajah, nasab dan agama mengandung batas-batas keimanan yang harus dipatuhi. Seseorang harus mempertimbangkan perjodohan yang datang dengan sebaik-baiknya, boleh menerima atau menolak, tetapi tidak boleh menghina persoalan rezeki, paras wajah, nasab ataupun agama seseorang karena itu terkait langsung dengan kehendak Allah. Menerima atau menolak jodoh yang datang harus dilakukan dengan cara dan kalimat yang sebaik-baiknya, tidak menimbulkan fitnah di antara masyarakat. Seringkali fitnah itu kembali kepada orang yang melakukan tindakan tidak baik.


Selasa, 18 Mei 2021

Ruh dan Keterbukaan Amanah

Dalam perjalanan kembali kepada Allah, ada sebuah fase dimana Allah akan mewahyukan kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya ruh yang membawa perintah-Nya. Dengan ruh tersebut, seseorang akan mengerti tentang kitab diri yang harus dipatuhinya dalam kehidupan di dunia. Bila orang itu memenuhi ketetapan dalam kitab dirinya, maka ia akan memperoleh hakikat-hakikat kebenaran (alhaqq) yang akan menjadi pemberat timbangan pada hari akhir. Kesesuaian amal dengan kitab diri itulah yang mendatangkan pengertian tentang kebenaran. Kadangkala seseorang sangat banyak beramal akan tetapi tidak mendatangkan pengertian tentang kebenaran. Hal itu menjadi tanda bahwa kehidupan dirinya melenceng jauh dari kitab yang telah ditentukan baginya.

﴾۲۵﴿وَكَذٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِّنْ أَمْرِنَا مَا كُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلٰكِن جَعَلْنَاهُ نُورًا نَّهْدِي بِهِ مَن نَّشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh dengan (membawa) perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS As-Syuura : 52)

Ruh merupakan entitas yang menurunkan amr Allah kepada seseorang yang dikehendaki Allah, sehingga orang tersebut mengerti amanah yang harus ditunaikan di alam dunia. Dengan turunnya amr Allah ke dalam hati, maka orang itu mengerti untuk apa dirinya diciptakan. Tanda bahwa ruh telah diwahyukan ke dalam hati seseorang adalah keterbukaan pemahamannya tentang alkitab bagi dirinya, dan pemahamannya akan iman dalam hatinya. Alkitab itu adalah bagian dirinya dari Alquran. Orang itu akan mengerti ayat-ayat Alquran yang diperuntukkan bagi dirinya, ayat yang menjelaskan segala sesuatu terkait kehidupan dirinya dan semua amanah yang harus ditunaikan dalam kehidupan di dunia. Sebelum pewahyuan ruh, seseorang hanya dapat menyentuh permukaan ayat-ayat alquran dan barangkali ayat-ayat itu tidak bercerita secara jelas dan khusus tentang kehidupan dirinya. Setelah pewahyuan ruh, maka ruh itu membacakan alkitab kepada dirinya sehingga dirinya mengerti alkitab dan imannya.

Pewahyuan ruh ke dalam hati seseorang akan membuka pengetahuan dalam dirinya, berupa pengetahuan yang menjelaskan. Seseorang akan mengalami keterbukaan yang sangat jelas tentang kehidupan dirinya, dari berupa pengetahuan tentang kitab dirinya hingga pada pengetahuan yang membuat dia mengenal rabb-nya, setelah mengenal nafs-nya. Pengenalan seseorang tentang rabb-nya itu merupakan pengetahuan tentang keimanan. Pengetahuan keimanan seseorang yang memperoleh pewahyuan ruh kepada rabb-nya terjadi berdasarkan pada pengenalan tentang dirinya. Pengetahuan itu membuatnya mengenal keimanan.

Pencarian Jati Diri Berdasarkan Alquran

Pewahyuan ruh kepada seseorang akan terjadi bila seseorang bersungguh-sungguh mencari jalan kembali kepada Allah melalui Alquran. Allah menjadikan Alquran sebagai cahaya yang memberikan petunjuk kepada orang-orang yang dikehendaki Allah. Tidak ada yang memberi seseorang petunjuk sebagaimana Alquran memberikan petunjuk, sehingga orang itu bisa memperoleh pewahyuan ruh. Alquran akan menunjukkan segala yang harus dilakukan seseorang untuk menemukan jalan kembali, sejak awal pencarian hingga seterusnya. Alquran selalu menjadi cahaya bagi orang yang mencari jalan kembali kepada Allah, tanpa ada batas perjalanan yang ditempuh. Kesesatan yang mungkin terjadi ketika seseorang mengikuti Alquran tidak terjadi karena Alquran, tetapi lebih diakibatkan karena kesalahan orang itu dalam bersikap terhadap Alquran.

Perjalanan menuju Allah merupakan perjalanan sangat panjang dan sangat banyak kesamaran yang dapat menyesatkan seseorang ke jalan yang salah. Dalam banyak kasus, tidak menggunakan Alquran untuk kembali kepada Allah akan membuka celah kesesatan yang sangat besar. Banyak tipuan terbentang bagi manusia baik yang halus ataupun tipuan yang kasar. Semakin jauh perjalanan seseorang, semakin halus ilusi dan tipuan yang menghampiri mereka. Tanpa berpegang teguh pada Alquran, celah kesesatan akan terbuka semakin besar. Seseorang harus selalu berpegang kepada Alquran sejak awal mula perjalanan. Hal ini tidak boleh dihentikan ketika seseorang memperoleh pewahyuan ruh bagi mereka. Setiap pembacaan ruh terhadap kehidupannya harus diperiksa berdasarkan Alquran.

Dalam beberapa kasus, seseorang mungkin saja dikehendaki Allah untuk memperoleh jalan yang lurus, sehingga timbul kecintaannya terhadap Alquran setelah pewahyuan ruh. Kecintaan terhadap Alquran dengan cara semacam ini merupakan perbuatan yang benar. Manusia boleh mengikuti pembacaan Alquran oleh seseorang yang dikehendaki Allah dengan cara demikian untuk memperoleh petunjuk pada jalan yang lurus. Sebaliknya sebagian manusia meninggalkan Alquran setelah mendapatkan petunjuk. Ini menunjukkan perbuatan yang tidak benar, dan menunjukkan ada kesalahan dalam pencariannya. Setiap orang tidak boleh meninggalkan Alquran dalam keadaan apapun, baik sebelum ataupun setelah pewahyuan ruh kepada dirinya. Tidak boleh seseorang mengikuti perkataan yang meninggalkan Alquran untuk memperoleh petunjuk kepada jalan yang lurus.

Keterbukaan Jati Diri

Keterbukaan seseorang terhadap jati dirinya merupakan sebuah pertanda tentang datangnya urusan (amr) Allah bagi seseorang. Allah mempunyai hadiah besar yang akan diberikan kepada orang itu bilamana melaksanakan amanah yang diberikan kepada dirinya dengan sebaik-baiknya. Amanah itu merupakan gambaran shirat al-mustaqim yang harus ditempuh untuk kembali kepada Allah.

Hadiah itu berupa pengampunan Allah bagi dirinya atas dosa-dosa yang telah lalu ataupun dosa-dosa yang akan datang, dan Allah berkehendak menyempurnakan nikmat-Nya bagi dirinya, dan Allah berkehendak memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus. Amanah yang dilihatnya merupakan petunjuk yang harus dilaksanakan. Bila seseorang melaksanakan amanah Allah, Allah akan memberikan petunjuk lebih banyak sehingga ia akan benar-benar melihat bahwa jalan itu adalah jalan yang lurus untuk kembali kepada Allah.


﴾۱﴿إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِينًا
﴾۲﴿لِّيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُّسْتَقِيمًا


(1)Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, (2)supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus, (QS Al-Fath :1-2)

Keterbukaan yang diberikan Allah itu merupakan fenomena yang terjadi mengikuti pewahyuan ruh kepada seseorang. Ruh itu merupakan cahaya di atas cahaya yang diperkenalkan Allah kepada hamba-Nya yang dikehendaki. Hal ini bersifat universal di seluruh alam, fenomena yang menunjukkan bahwa seseorang telah mengenal shirat al-mustaqim bagi dirinya.

Setiap manusia yang mengenal fenomena ini dapat mengenali hal itu, walaupun diungkapkan dalam bahasa yang berbeda. Dalam khazanah jawa, cahaya di atas cahaya ini dikenal sebagai Nurcahya, dan definisi ini sama persis dengan khazanah dari Alquran, walaupun dalam sudut pandang yang berbeda. Seorang ulama menjelaskan dalam seratnya sebagai berikut :

SS Sinom no 193

Nurcahya iku rawuhnya

nur cahaya (cahaya di atas cahaya) itu datangnya

tan ana kang bisa ngerti

tidak ada yang bisa mengetahui

nanging bisa dipun rasa

tapi bisa dirasakan

kinanthi kang jiwa resik

melalui jiwa yang bersih

arsa pirsa ingkang ghaib

akan mengetahui yang ghaib

winuruk kabeh kang ilmu

diajar semua ilmu

yaiku tandha ingkang nyata

Itulah tanda yang nyata

lamun sira sampun panggih

jika engkau sudah bertemu

jiwanira rinengga kang nur lan cahya.

jiwamu yang dihiasi nur dan cahaya


Pupuh sinom tersebut di atas menjelaskan dan menegaskan bahwa peristiwa keterbukaan bagi seorang laki-laki itu merupakan tanda yang nyata bahwa laki-laki itu telah bertemu dengan jiwanya yang berhias cahaya-cahaya. Cahaya di atas cahaya itu akan hadir tanpa ada yang mengetahui. Peristiwa kehadiran cahaya di atas cahaya ini adalah peristiwa seorang laki-laki mengenal diri sendiri, dimana dengan mengenal diri sendiri maka dirinya mengenal rabb-nya. Cahaya di atas cahaya itu adalah cahaya pengenalan seseorang terhadap cahaya Allah.

Ini merupakan standar yang pasti tentang pengenalan diri seorang laki-laki terhadap cahaya Allah, sebagaimana disebutkan dalam surat al-fath ataupun As-Syuura di atas. Dalam banyak kisah, peristiwa semacam itu ditandai dengan pertemuan seseorang dengan jiwanya, akan tetapi penulis tidak menemukan teks tertulis yang menjelaskan demikian, dan sebaliknya teks sinom tersebut menjelaskan tentang standar yang lebih pasti tentang pengenalan terhadap cahaya di atas cahaya. Hal yang pasti terjadi, Allah membukakan kesadaran tentang dirinya yang sebenarnya.

Barangkali tidak semua orang yang mengenal jiwanya mengalami pertemuan dengan jiwanya, atau ada hal-hal khusus yang menyebabkan perbedaan peristiwa demikian. Seorang laki-laki yang mengenal cahaya Allah boleh jadi akan bertemu dengan jiwanya, tetapi bisa juga cahaya di atas cahaya itu datang tanpa diketahui oleh seorangpun, bahkan boleh jadi laki-laki yang bersangkutan tidak mengetahui kehadiran cahaya di atas cahaya itu, tetapi hanya bisa merasakan melalui jiwanya.


Kamis, 13 Mei 2021

Ruh, Amr Allah dan Bacaan Alquran

Rasulullah SAW menyeru umat manusia untuk kembali kepada Allah. Ini adalah perjalanan panjang yang harus ditempuh setiap manusia sejak kehidupannya di bumi hingga kelak bertemu Allah di alam makhsyar. Sebagian manusia bertemu Allah dalam ridha-Nya, sebagian bertemu dengan murka-Nya, dan sebagian besar manusia digiring untuk bertemu Allah setelah kesesatan mereka dalam semua fase kehidupan yang berjalan ribuan tahun.

Untuk memperoleh jalan kehidupan yang selamat, setiap orang hendaknya berusaha benar-benar mengikuti apa-apa yang diturunkan kepada mereka berupa kitabullah dan tidak mengikuti apa-apa yang selain itu dengan menjadikannya sebagai wali. Hal ini seringkali tidak mudah dilakukan karena kehidupan di bumi. Manusia seringkali lebih mempercayai apa yang ada ditangannya daripada ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam kitabullah.

Dalam perjalanan kembali kepada Allah, ada sebuah fase dimana Allah akan mewahyukan kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya ruh yang membawa perintah-Nya. Dengan ruh tersebut, seseorang akan mengerti tentang kitab diri yang harus dipatuhinya dalam kehidupan di dunia. Bila orang itu memenuhi kitab dirinya, maka dirinya akan memperoleh hakikat-hakikat kebenaran (alhaqq) yang akan menjadi pemberat timbangan pada hari akhir. Kesesuaian amal dengan kitab diri itulah yang mendatangkan pengertian tentang kebenaran. Kadangkala seseorang sangat banyak beramal akan tetapi tidak mendatangkan pengertian tentang kebenaran. Hal itu menjadi tanda bahwa kehidupan dirinya melenceng jauh dari kitab yang telah ditentukan baginya.

 

﴾۲۵﴿وَكَذٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِّنْ أَمْرِنَا مَا كُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلٰكِن جَعَلْنَاهُ نُورًا نَّهْدِي بِهِ مَن نَّشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh dari amr (urusan) Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami telah menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS As-Syuura : 52)

Ruh pada dasarnya merupakan entitas yang menurunkan amr Allah kepada seseorang yang dikehendaki Allah, sehingga orang tersebut mengerti amanah yang harus ditunaikan di alam dunia. Seringkali orang tersebut melihat turunnya ruh kepada dirinya dalam wujud yang dikehendaki Allah, kemudian dirinya mengerti tentang urusan Allah bagi kehidupannya. Akan tetapi bukan tidak mungkin hanya terjadi tiba-tiba hatinya mengerti tentang urusan Allah yang harus ditunaikan dalam kehidupan dunia. Dengan turunnya amr Allah ke dalam hati, maka orang itu mengerti untuk apa dirinya diciptakan.

Amr Allah yang diturunkan kepada seorang hamba merupakan bagian dari amr yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. Amr itu akan mengantarkan seseorang untuk mengerti tentang amr jami’ Rasulullah SAW, dimana ia akan mengerti peran dirinya dalam perjuangan Rasulullah SAW. Visi besar Rasulullah SAW akan dimengerti orang tersebut, walaupun dirinya hanya diberi kemampuan pada sebagian kecil dari amr jami’ Rasulullah SAW. Tidak ada amr yang diturunkan Allah kepada seseorang yang terpisah dari amr jami’ Rasulullah SAW. Hal ini perlu diperhatikan, karena iblis pun sebenarnya juga mendorong seseorang untuk mengenal diri, akan tetapi terlepas dari amr jami’ Rasulullah SAW.

Tanda bahwa ruh telah diwahyukan ke dalam hati seseorang adalah pemahamannya tentang alkitab bagi dirinya, dan pemahamannya akan iman dalam hatinya. Alkitab itu adalah bagian dirinya dari Alquran. Orang itu akan mengerti ayat-ayat Alquran yang diperuntukkan bagi dirinya, ayat yang menjelaskan segala sesuatu terkait kehidupan dirinya dan semua amanah yang harus ditunaikan dalam kehidupan di dunia. Sebelum pewahyuan ruh, seseorang hanya dapat menyentuh permukaan ayat-ayat alquran dan barangkali ayat-ayat itu tidak bercerita secara jelas dan khusus tentang kehidupan dirinya. Setelah pewahyuan ruh, maka ruh itu membacakan alkitab kepada dirinya sehingga dirinya mengerti alkitab dan imannya.

Walaupun pemahaman seseorang terhadap Alkitab dirinya baru terjadi bilamana ada pewahyuan ruh, akan tetapi Allah selalu menjadikan Alquran sebagai cahaya terang yang menerangi kehidupan hamba-hamba yang dikehendaki. Alquran itu selalu memberikan petunjuk kepada hamba-hamba yang dikehendaki Allah untuk menerima petunjuk-Nya. Orang-orang yang memperoleh terangnya cahaya Alquran adalah hamba-hamba yang dikehendaki Allah untuk menerima petunjuk-Nya walaupun mungkin belum menerima pewahyuan ruh. Bilamana seseorang dapat membaca Alquran dengan membawa cahaya, manusia tidak boleh menganggap pembacaan itu sebagai hal remeh karena status orang yang membacanya.

Orang yang telah menerima pewahyuan ruh itu dijadikan Allah sebagai orang-orang yang dapat memberikan petunjuk bagi manusia menuju shirat al-mustaqim. Mereka benar-benar memberikan petunjuk menuju shirat al-mustaqim karena mereka telah mengikuti Rasulullah SAW dengan benar, dalam urusan masing-masing. Tidak semua hal dilakukan dengan benar oleh orang yang telah menerima pewahyuan ruh, tetapi dibatasi oleh urusan Allah yang diturunkan bagi masing-masing. Dalam tingkatan berikutnya, orang-orang yang telah memperoleh terangnya Alquran dapat dikatakan sebagai orang yang dapat menunjukkan kepada shirat al-mustaqim, walaupun mungkin saja masih ada kesalahan yang bisa dilakukan dalam mengikuti rasulullah SAW.

Tidak boleh ada kerancuan dalam melibatkan ruh dalam memahami Alquran. Kadangkala seseorang menganggap bahwa pemahaman tentang Alquran harus divalidasi oleh ruh. Hal ini merupakan cara pandang yang terbalik. Cara pandang yang benar adalah apa yang diturunkan oleh ruh ke dalam hati manusia harus divalidasi dengan Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW. Yang menjadi amanah bagi seseorang adalah bacaan ruh yang dapat divalidasi dengan Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW, dan turunannya yang jelas. Ini harus diperhatikan karena boleh jadi syaitan juga melemparkan bisikan tentang amr. Alquran merupakan panduan menyeluruh yang diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW sebagai penghulu segenap makhluk, petunjuknya meliputi segenap hal yang dibutuhkan oleh segenap makhluk yang menginginkan kebenaran, sedangkan ruh merupakan pembawa bagian dari Alquran untuk perseorangan. Alquran lebih menyeluruh dibandingkan pembacaan ruh.

 

Ruh dan Jamaah

Ruh menjelaskan ayat Alquran bagi perseorangan, dan bagi tiap-tiap orang terdapat ruh yang akan membacakan bagian Alquran bagi dirinya. Ruh bersifat personal bagi perseorangan. Dalam jamaah, ruh-ruh berkumpul bersama berdasarkan kesamaan yang mereka kenal. Sebagian ruh berkumpul karena mengenal ruh lain yang membawa urusan berdekatan, sedangkan satu ruh dengan ruh lain yang urusannya berjauhan akan berpisah.

Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda :
الأرواحُ جنودٌ مجنَّدةٌ . فما تعارف منها ائتَلَف . وما تناكَر منها اختلف
Ruh-ruh itu bagaikan pasukan yang dihimpun dalam kesatuan. Jika saling mengenal di antara mereka maka akan bersatu. Dan yang saling merasa asing di antara mereka maka akan berpisah.” (HR. Muslim 6376)

Ruh bukanlah entitas yang maha mengetahui. Walaupun jauh lebih berpengetahuan daripada jasmani manusia, pengetahuan yang dibawa satu ruh mempunyai batas-batas tertentu, tidak mencakup semua hal. Tidak ada manusia yang menjadi segel kebenaran kecuali rasulullah SAW, dan mungkin beberapa manusia yang dipilih Allah. Satu ruh belum tentu mengenal ruh orang lain. Demikian pula berlaku dalam pembacaan Alquran. Satu ayat yang dibacakan satu ruh kepada seseorang belum tentu bisa dibaca oleh ruh yang diperuntukkan bagi orang lain. Masing-masing orang akan mengetahui pembacaan Alquran oleh ruh dirinya, dan belum tentu mengetahui pembacaan Alquran oleh ruh orang lain yang terpisah dengan ruh-nya. Dengan demikian, seseorang belum tentu bisa melakukan validasi terhadap bacaan Alquran oleh ruh orang lain.

Validasi Alquran bisa dilakukan dalam struktur kesatuan. Rasulullah SAW bisa melakukan validasi terhadap semua bacaan Alquran, dan bahkan beliau harus dijadikan pedoman kebenaran pembacaan Alquran setiap manusia. Tidak ada pembacaan Alquran yang benar yang bertentangan dengan penjelasan Rasulullah SAW. Pemahaman suatu ayat Alquran satu orang dengan orang lain bisa berbeda, akan tetapi tidak pernah pemahaman yang benar bertentangan dengan penjelasan rasulullah SAW. Dalam struktur kesatuan yang sama, satu orang pemimpin urusan mungkin dapat melakukan validasi pemahaman terhadap ruh yang ada dalam kesatuannya, akan tetapi tidak ada jaminan bahwa pemahaman pemimpin lebih baik daripada anak buahnya dalam urusan anak buahnya. Ketakwaan masing-masing menentukan kualitas pemahaman seseorang terhadap Alquran.

Pada sudut pandang sebaliknya, tidak ada orang yang bisa melakukan validasi atas apa yang diajarkan rasulullah SAW. Para ahli hadits dan ulama lain tidak mempunyai hak untuk menghukumi salah atau benar suatu isi hadits. Ilmu mereka tidak akan meliputi pengetahuan rasulullah SAW. Mereka hanya menentukan kategori hadits sebagai shahih, dlaif atau kategori lain berdasarkan kriteria periwayatan hadits. Demikian pula pada masyarakat junud al mujannadah berdasarkan ruh, seorang anak buah tidak akan dapat melakukan validasi terhadap pemimpinnya, dan seorang pemimpin tidak akan dapat melakukan validasi terhadap ruh dari kesatuan yang lainnya. Hal ini harus dimengerti orang yang mendapatkan wahyu ruh tentang ruh mereka, bahwa mereka mempunyai batasan yang tidak boleh dilampaui. Penting bagi mereka mengenal pemimpin mereka sebagai jalan untuk mengenal Rasulullah SAW. Tanpa wasilah, boleh jadi mereka tersesat.