Pencarian

Kamis, 29 Desember 2016

Kesempurnaan Akhlak

”Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak”. (HR: Bukhari dalam shahih Bukhari kitab adab, Baihaqi dalam kitab syu’bil Iman dan Hakim).

Rasulullah SAW merupakan nabi terakhir yang membawa agama yang sempurna. Tidak ada ajaran agama baru setelah rasulullah diutus di dunia ini. Sebagai pembawa kesempurnaan agama, pengutusan rasulullah SAW tidak lain adalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak. Hal ini menunjukkan bahwa kesempurnaan agama adalah kesempurnaan akhlak, atau  dapat dikatakan bahwa  akhlak merupakan parameter derajat kesempurnaan agama seseorang.

Kisah nabi Ibrahim a.s adalah sebuah kisah awal pencarian seseorang kepada tuhannya, sedangkan  nabi Muhammad SAW adalah cerita tentang kesempurnaan ciptaan-Nya yang layak berada di sisi tuhannya. Nabi Ibrahim a.s memberikan contoh kepada seluruh makhluk tentang tatacara berhijrah dari alamnya kepada tuhannya, sedangkan nabi Muhammad SAW memberikan tauladan tentang bentuk ciptaan mulia yang layak berada di sisi-Nya, berupa akhlak yang mulia. Rasulullah SAW diutus hanyalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.

Alquran telah bercerita tentang keagungan akhlak rasulullah SAW sebagai berikut :

 Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berada di atas akhlak  yang agung (QS Al-Qalam :4)

Keagungan akhlak dalam ayat tersebut terkait dengan kedudukan rasulullah SAW dalam ayat-ayat sebelumnya. Penyaksian rasulullah SAW terhadap Alqalam dan apa yang dituliskannya menunjukkan kedudukan rasulullah SAW di alam yang tinggi. Untuk kedudukan yang tinggi itulah rasulullah SAW diciptakan, dan kedudukan yang tinggi itu menunjukkan keagungan akhlak rasulullah SAW.

Kemuliaan akhlak hanya dapat diperoleh bila seseorang berperilaku baik, tetapi kemuliaan akhlak tidak semata-mata diperoleh dengan berperilaku baik. Kemuliaan akhlak berhubungan erat dengan pengetahuan tentang kehendak Allah SWT, hasil musyahadah seseorang atas segenap ciptaan Allah dan risalah rasulullah SAW.

Untuk mencapai kemuliaan akhlak, makhluk dituntut untuk mengembangkan akal yang akan menuntun mengenal Allah, sumber segala kebaikan. Mengembangkan akal berawal dari sikap hanif sebagaimana dicontohkan oleh Ibrahim a.s yang berusaha keras untuk mengenal tuhannya. Tanpa sebuah sikap hanif, akal makhluk tidak akan berkembang untuk memahami ayat-ayat Allah, tetapi jahalah.yang akan berkembang menjadi pintar dan  menjebak makhluk pada hawa nafsu dan syahwat yang mengikat jiwa pada dunia.

Akhlak  mempunyai arti bentuk ciptaan. Ibnul Atsir berkata dalam An-Nihayah 2/70: “Al-Khuluq dan Al-Khulq berarti dien, tabiat dan sifat. Maksudnya adalah manusia dalam aspek bathin, yaitu jiwa dan bentuknya” Manusia yang telah mencapai derajat kesempurnaan akan menduduki tempat yang mulia.  Tidak setiap manusia menjadi makhluk yang mulia, karena tidak semua manusia berusaha bertaubat menyempurnakan dirinya.

Manusia adalah makhluk yang diciptakan dengan kedua tangan Allah. Jasad manusia hanyalah terbuat dari tanah yang dihinakan oleh iblis, namun iblis tidak mengetahui bahwa ada tangan Dia yang lain yang melengkapi penciptaan manusia. Manusia tidak semata-mata diciptakan dari tanah, tetapi ada aspek-aspek lain yang disertakan dalam diri manusia, sehingga manusia yang terbuat dari tanah itu bisa menjadi makhluk-Nya yang paling sempurna.

Allah berfirman   kepada iblis ketika dia menolak bersujud kepada adam yang telah diciptakan dengan kedua tangan-Nya. Hal itu tertulis dalam surat al-ahqaaf : 75.
 “Dia  berfirman : wahai iblis, apakah yang menghalangi kamu bersujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua tanganku? Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu termasuk orang-orang yang lebih tinggi?”
Ayat di atas bercerita tentang kesempurnaan penciptaan adam, berupa penciptaan makhluk dengan kedua tangan-Nya. Dengan kesempurnaan itu, makhluk-makhluk muqarrabun yang hadir pada saat penciptaan itu diperintahkan untuk bersujud maka seluruh makhluk bersujud kecuali iblis.

Nafs manusia merupakan pasangan dari jasadnya. Dengan kedua unsur itulah manusia diciptakan sebagai makhluk-Nya yang paling sempurna. Alquran surat attiin ayat 4-5 disebutkan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, namun kemudian diturunkan ke tempat serendah-rendahnya.

Sungguh benar-benar telah Kami ciptakan manusia  dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan  dia ke tempat serendah-rendahnya (QS Attiin 4-5)

dimaksud oleh ayat tersebut bukanlah bentuk jasad manusia, karena bentuk jasad manusia relatif tetap,  tidak berubah menjadi bentuk makhluk yang terendah. Jasad manusia berfungsi sebagai wadah bagi nafs, sedangkan inti dari kemanusiaan adalah jiwanya. Jiwa manusia lah yang berubah dari bentuk yang sebaik-baiknya menjadi bentuk yang seburuk-buruknya. Dan jiwa manusia pula yang harus kembali mencapai bentuk yang sebaik-baiknya kembali berupa akhlak al-karimah.

Bentuk manusia terbaik adalah sebagai citra arrahman. Rasulullah SAW bersabda dalam hadits qudsi,
“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dengan citra Ar-Rahman.”
Citra arrahmaan bukanlah citra Allah, tidak sama. Arrahman adalah asmaul husna yang terbesar. Seluruh alam semesta diciptakan untuk satu tujuan, yaitu memperkenalkan rahmaniah Allah SWT.  Yang dimaksud dengan “diciptakan dengan citra Arrahman” adalah bahwa manusia diciptakan untuk mampu mengenali dengan sempurna rahmaniah Allah bagi dirinya, sebagaimana cermin mampu memantulkan objek di hadapannya. Itulah yang dimaksudkan dalam ayat 11 surat al-a’raaf sebagai berikut :

Sungguh kami telah menciptakan kalian kemudian kami memberikan citra kepada kalian kemudian kami katakan kepada para malaikat : bersujudlah kamu kepada adam. Maka merekapun bersujud kecuali iblis, dia tidak termasuk mereka yang bersujud. (QS 7:11)

Ketika manusia bertaubat kepada Allah,  jiwa manusia akan diubah dari bentuk ciptaan yang rendah menjadi bentuk yang lebih baik, hingga mencapai bentuk yang sebaik-baiknya. Bila Allah SWT menghendaki,  Dia akan menyempurnakan jiwa manusia tersebut menjadi sesuai dengan citra arrahman dan akan meniupkan kepadanya ruh-Nya. Allah SWT berfirman :

“maka apabila Aku telah menyempurnakannya (sesuai citra arrahman) dan Aku tiupkan kepadanya ruh-Ku, maka hendaklah kalian tersungkur bersujud kepadanya” (QS 38:72)

Tiupan ruh dalam konteks ayat di atas bukanlah ruh yang memberikan kehidupan bagi jasad manusia ketika berada dalam kandungan. Ruh yang dimaksudkan adalah ruh qudus sebagaimana ruh yang datang kepada Maryam a.s setelah beliau mencapai bentuk jiwa yang sebaik-baiknya.

Kesesuaian jiwa manusia dengan citra Arrahman serta peniupan ruh-Nya kepada manusia itulah kesempurnaan kemuliaan akhlak yang diajarkan oleh Rasulullah. Manusia seperti itulah bentuk ciptaan Allah yang paling sempurna, sehingga apabila Allah SWT meniupkan kepadanya ruh-Nya, para malaikat muqarrabun harus bersujud kepada manusia.

Akhlak yang mulia hanya dapat dicapai dengan bertaubat. Hampir setiap manusia yang terlahir ke dunia akan terjatuh dalam bentuk yang  buruk karena tarikan hawa nafsu dan keinginan terhadap dunia. Taubat adalah berjalan kembali menuju akhlak yang mulia, dengan selalu memohon ampun atas semua kesalahan-kesalahan yang diperbuat, dan menjalankan amal-amal shalih yang mampu dikerjakan.  Manusia akan diuji dengan berbagai masalah yang akan menghampiri kehidupannya agar jiwanya menjadi suci dan akal menjadi lebih kuat.

Rabu, 28 Desember 2016

Berselisih dalam Membaca Kitab Suci

Dan orang-orang Yahudi berkata: "Orang-orang Nasrani itu tidak berada di atas sesuatu (dasar)", dan orang-orang Nasrani berkata: "Orang-orang Yahudi tidak berada di atas sesuatu (dasar)," padahal mereka (sama-sama) membaca Al Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili diantara mereka pada hari Kiamat, tentang apa-apa yang mereka berselisih padanya. (QS Al-Baqarah :113).

Ayat tersebut bercerita tentang kaum yang berselisih padahal membaca kitab yang diturunkan kepada nabi-nabi, yaitu kaum yahudi dan nasrani dan kaum (muslimin) yang tidak mempunyai pengetahuan yang mengikuti Yahudi dan Nasrani. Kaum yahudi mengatakan bahwa kaum nasrani tidak berada di atas sesuatu dasar yang benar. Demikian pula kaum nasrani mengatakan bahwa kaum yahudi tidak berada di atas suatu dasar yang benar. Hal demikian terjadi padahal kedua kaum itu masing-masing membaca alkitab yang diturunkan kepada nabi-nabi.

Demikian pula hal tersebut akan menimpa kaum yang tidak mempunyai pengetahuan, padahal kaum itu membaca alquran. Perselisihan dalam memahami kitab suci adalah sebuah indikasi bahwa kaum itu merupakan kaum yang tidak mengetahui maksud yang terkandung dalam kitab suci, sehingga  saling menuduh satu dengan yang lain sebagai orang-orang yang tidak mempunyai dasar dalam menentukan pendapatnya. Allah kelak akan menghakimi perselisihan yang terjadi  di antara mereka.

Umat rasulullah SAW akan mengalami hal buruk yang telah menimpa umat-umat sebelum rasulullah diutus. Mereka akan mengikuti sunnah orang-orang sebelum rasulullah datang sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga seandainya orang-orang sebelum islam itu masuk ke dalam lubang biawak maka umat islam akan mengikutinya. Orang-orang yang diikuti umat muslim adalah yahudi dan nashara.

Dari Abu Sa'id Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:  Sungguh kalian pasti akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kamu, jengkal demi jengkal, hasta demi hasta sehingga seandainya mereka masuk kedalam lubang biawak, kalian pasti akan memasukinya (juga). Para shahabat bertanya : "Wahai Rasulullah, Yahudi dan Nashara-kah?". Beliau menjawab : "Siapa lagi ?" [HR  Bukhari dan Muslim no. 2669]

Kaum muslimin saat ini boleh dikatakan telah ditimpa penyakit yang menimpa kaum yahudi dan nashara. Suatu kaum menganggap kaum yang lain tidak berpegang pada kitab suci dengan benar, atau kaum yang lain menyelisihi kitab suci, atau kaum yang lain tidak memahami kitab suci dan tuntunan rasul dengan benar. Masing-masing golongan merasa bahwa mereka merupakan orang yang paling benar dalam mengikuti tuntunan agama berupa kitab alquran dan sunnah rasulullah SAW. Mereka itulah yang dikatakan sebagai kaum yang mengikuti umat sebelum mereka, yaitu yahudi dan nashara.

Hal itu menunjukkan satu hal yang dengan tegas dikatakan oleh alquran dengan kalimat : Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti ucapan mereka itu. Alquran menjelaskan bahwa mereka yang mengikuti perilaku perselisihan orang-orang yahudi dan nashara itu adalah orang-orang yang tidak mengetahui. Golongan yang merasa paling benar dan paling memahami dan mengikuti sunnah dan kitab suci hanya dapat muncul karena tidak adanya pengetahuan yang dimiliki.

Bahkan bila kelak umat yahudi dan nashara memasuki liang biawak, mereka akan mengikutinya. Itu salah satu penyakit yang akan diikuti oleh sebagian umat islam, sebagaimana telah diceritakan oleh rasulullah SAW. Ketika dunia semakin memburuk tidak berketuhanan, sebagian umat muslimin yang tidak mempunyai pengetahuan bakal mengikuti perilaku kaum yahudi dan nashara, bahkan bila mereka masuk ke lubang biawak sekalipun.

Kaum yang membaca kitab tetapi tidak mempunyai pengetahuan dapat muncul karena kelemahan akal yang menimpa kaum muslimin. Kelemahan akal yang menimpa sebagian umat rasulullah ini telah beliau ceritakan dalam sebuah hadits. Rasulullah SAW menyampaikan tentang akan bangkitnya kaum yang keluar dari islam walaupun kaum itu merupakan kaum yang membaca alquran, yang karenanya banyak manusia akan tertipu menjadi pengikut Dajjal.

Dari Ali r.a berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : di akhir zaman akan muncul kaum yang muda usia dan lemah akal. Mereka berbicara dengan pembicaraan yang seolah-olah berasal dari manusia terbaik. Mereka membaca alquran tetapi tidak melampaui kerongkongannya. Mereka keluar dari islam sebagaimana anak panah terlepas dari busurnya. Apabila kalian bertemu dengan mereka maka perangilah mereka, karena memerangi mereka berpahala di sisi Allah pada berdirinya as-sa’ah (HR Muslim)

Pembicaraan di antara kaum yang lemah akal itu adalah pembicaraan yang seolah-olah berasal dari manusia terbaik. Mereka membaca alquran tetapi bacaan alquran itu tidak melampaui kerongkongan mereka, tidak mengubah keadaan hati yang berada di dalam dada. Tanpa akal yang baik, perkataan dari manusia terbaik menjadi bermakna tidak sesuai dengan yang diajarkan agama. Begitu pula bacaan Alquran tanpa akal yang baik hanya akan menjadi hiasan di kepala, tidak mengubah yang di dalam dada.

Dengan bacaan kitab tanpa mengetahui isinya, suatu kaum membuat perselisihan dengan kaum yang lain berdasarkan bacaan kitabnya. Kadangkala perselisihan itu hingga membawa suatu kaum mengatakan bahwa suatu kaum yang lain keluar dari islam, mengatakan demikian tanpa suatu petunjuk yang benar. Hendaknya setiap kaum berhati-hati untuk mengatakan hal yang demikian karena tuduhan itu akan kembali kepada dirinya bila ternyata tuduhan itu tidak benar.

Dari Abdullah bin 'Umar Radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Siapa yang berkata kepada saudaranya : “Wahai kafir”, berarti telah kembali kepada salah satu dari keduanya” [Hadits Riwayat Bukhari- Muslim]

Bila hal demikian terjadi, hendaknya setiap orang memeriksa keadaan dirinya apakah dirinya hanya mengikuti orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan, atau bahkan dirinya termasuk kaum yang keluar dari islam sebagaimana telah disampaikan rasulullah SAW, sementara dirinya merasa telah mengikuti perkataan orang-orang terbaik dan membaca alquran dengan benar.

Sikap Hanif merupakan pangkal dari tumbuhnya akal untuk memahami alquran dan petunjuk para nabi dan Rasulullah SAW dengan benar. Hanya dengan sikap hanif sebagaimana dicontohkan oleh nabi Ibrahim seseorang dapat mempunyai pengetahuan yang benar tentang kitab yang diturunkan kepada para nabi. Fanatisme buta terhadap sebuah ajaran boleh jadi bakal menyeret seseorang mendekati atau menjadi kaum khawarij.

Pemahaman dalam beragama harus berangkat dari sikap hanif, berupa sikap tulus dalam berusaha sungguh-sungguh  mengenal kebenaran dan melakukan amal berdasar kebenaran dari segala sesuatu yang hadir dalam semesta dirinya. Ayat-ayat qauliyah harus dipahami dengan hati bersih, dipahami selaras dengan ayat-ayat kauniyah yang hadir. Doktrin-doktrin kebenaran yang diterima tanpa sebuah sikap hanif boleh jadi akan melontarkan seseorang keluar dari Islam sebagaimana anak panah terlempar dari busurnya, sementara dirinya merasa sebagai seorang pejuang untuk agama.

Alquran merupakan kitab semesta dari sang Khalik yang menjangkau alam jasadiah, diturunkan kepada Rasulullah SAW agar menjadi pedoman bagi seluruh makhluk untuk mengenal Allah SWT dan beramal sesuai kehendak-Nya. Tidak ada makhluk yang dapat memahami secara sempurna isi Alquran kecuali Rasulullah SAW. Setiap makhluk mempunyai bagian tersendiri dari ayat-ayat alquran dalam setiap waktu yang menjelaskan seluruh aspek kehidupan dirinya dan memberikan petunjuk bagi amal-amal dirinya. Perselisihan dalam memahami alquran hanya terjadi karena tidak adanya pengetahuan tentang kandungan Alquran yang sebenarnya. Perbedaan pengetahuan alquran oleh setiap hambanya hanya menunjukkan perbedaan sudut pandang setiap hamba, tidak menunjukkan perselisihan kandungan Alquran.

Alquran merupakan tali Allah  yang salah satu ujungnya berada di tangan manusia, sedangkan ujung lain berada dalam genggaman Allah. Allah menarik hamba yang dikehendaki-Nya menuju kepada-Nya dengan Alquran. Manusia yang ditarik kepada-Nya akan mendapatkan pembersihan dari dosa-dosa, perbaikan sifat-sifat sesuai dengan asma Allah, dan akalnya akan disempurnakan sehingga dapat memahami kitab Allah. Pemahaman dan pembacaan Alquran oleh manusia yang akalnya disempurnakan akan dapat menyatukan hati-hati para manusia hingga mereka berkasih sayang satu dengan yang lain sebagai saudara.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : 'Sesungguhnya Al-Qur'an ini ujungnya ada di tangan Allah dan ujung satunya lagi ada di tangan kalian. Maka berpegang teguhlah kalian dengan Al-Qur'an, sebab kalian tidak akan sesat dan tidak akan binasa selama-lamanya selama kalian berpegang teguh dengannya" [Shahih Targhib wa Tarhib 1/93/35]


Kaum yang bercerai berai memperselisihkan alquran merupakan pertanda bahwa pembacaan alquran bagi mereka itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan, atau orang-orang yang menjual kebenaran dengan harga yang sedikit. Pembacaan ayat alquran yang datang dari Allah akan membangun persatuan umat manusia dan persaudaraan. Walaupun mungkin orang-orang yang mendengarnya harus melalui pembersihan hati, akan tetapi akan tetap terlihat bahwa pembacaan ayat itu akan mengarah pada persatuan umat manusia.

Dalam memahami alquran, perselisihan tidak boleh dilakukan. Seseorang diperintahkan untuk mengamalkan apa yang diketahuinya dan meninggalkan apa yang tidak diketahuinya, hingga dirinya mengetahuinya. Tidak perlu seseorang mendebat pemahaman yang berbeda dengan pemahaman dirinya terhadap alquran. Perintahnya adalah mengamalkan apa yang telah dirinya ketahui dan meninggalkan apa yang belum diketahuinya, hingga datang pengetahuan tentang ayat itu.


beberapa Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang duduk-duduk di dekat rumah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallm, tiba-tiba di antara mereka ada yang menyebutkan salah satu dari ayat al-Qur-an, lantas mereka bertengkar sehingga semakin keras suara mereka, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar dalam keadaan marah dan merah mukanya, sambil melemparkan kerikil dan bersabda: Tenanglah wahai kaumku! Sesungguhnya cara seperti ini (bertengkar) telah membinasakan umat-umat sebelum kalian, yaitu mereka menyelisihi para Nabi mereka serta mereka ber-pendapat bahwa sebagian isi kitab itu bertentangan sebagian isi kitab yang lain. Ingat! Sesungguhnya al-Quran tidak turun untuk mendustakan sebagian dengan sebagian yang lainnya, bahkan ayat-ayat al-Quran sebagian membenarkan sebagian yang lainnya. Karena itu amalkanlah apa yang telah kalian ketahui darinya, dan tinggalkanlah apa yang kalian tidak ketahui darinya hingga kalian mengetahuinya.” HR. Ahmad (II/195, 196)

Senin, 26 Desember 2016

Hanif dan Kejumudan Beragama

Menegakkan Wajah bagi Agama

Dalam terminologi Alquran   yang dimaksud sebagai agama (addiin) adalah sebuah jalan hidup sempurna sesuai dengan fitrah diri yang telah digariskan oleh Allah SWT. Untuk mencapai agama, manusia harus menempuh perjalanan panjang menaklukkan diri sendiri dan ujian yang menghadang dalam perjalanan hidupnya. Perjalanan hidup untuk mencapai agama (Addiin) itu disebut hijrah.  
Pengertian agama didefinisikan dalam Alquran sesuai dengan ayat di bawah :

“Maka tegakkanlah wajahmu bagi addiin secara hanif, yaitu fitrah Allah yang manusia diciptakan di atasnya. Tidak ada penggantian bagi ciptaan Allah. Itulah agama (addiin) yang tegak, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS 30 : 30).

Manusia diperintahkan menegakkan kehidupan untuk agama (addiin) secara hanif, yaitu pelaksanaan fitrah diri yang telah digariskan Allah bagi setiap manusia. Tidak ada perubahan dalam penciptaan Allah, bahwa fitrah yang telah digariskan_Nya bersifat tetap. Dengan pelaksanaan fitrah diri itulah agama menjadi tegak.

Beberapa point yang dapat kita ambil dari ayat tentang agama di atas :
- Allah telah menciptakan manusia atas sebuah fitrah tertentu
- Fitrah manusia telah ditetapkan, dan tidak berubah
- Manusia diperintahkan untuk menegakkan wajah kehidupan dirinya bagi agama
- Menegakkan wajah bagi agama hanya dapat dilakukan dengan bertindak hanif
- Agama yang tegak adalah pelaksanaan fitrah diri oleh setiap manusi

Terminologi hanif diterangkan dalam kisah Ibrahim sebagaimana disebutkan dalam alquran. Ibrahim  telah berlaku hanif dan tidaklah termasuk golongan musyrikin semenjak kecil. Tindakan beliau bersembah kepada bintang, bulan dan matahari bukanlah sebuah kemusyrikan, karena beliau mencari apa yang sebenar-benarnya patut menjadi tuhan. Dalam semua tindakan beliau mencari kebenaran yang sejati itu, beliau bertindak secara hanif. 

“Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku bagi yang telah menciptakan langit-langit dan bumi secara hanif, dan aku bukanlah termasuk golongan orang musyrik.”(QS 6:79).

Dengan ketulusan hati mencari kebenaran dan dengan segenap kemampuan akalnya, Ibrahim mencari pengetahuan tentang ayat-ayat Allah dari alam,  ayat-ayat tentang bintang, bulan dan matahari. Namun dengan segenap usaha yang telah dilakukan, beliau merasa bahwa apa yang bisa dicapai dan dimengerti oleh dirinya hanyalah bagian kecil dari kebenaran yang sesungguhnya, maka beliau mengatakan sebagaimana ayat tersebut. Dari ayat tersebut, gambaran tentang hanif adalah sebagai berikut :
- Mencari pengetahuan kebenaran, dan mengikuti kebenaran yang lebih tinggi.
- Tidak berhenti dalam mencari pengetahuan kebenaran.
- Tidak merasa bahwa apa yang diperolehnya adalah kebenaran yang mutlak

kejumudan dalam beragama

Dengan tuntutan sikap hanif dalam menegakkan wajah bagi agama, setiap orang yang berusaha menegakkan agama seharusnya berkembang akalnya dan berpikiran  terbuka terhadap hal-hal yang mengandung kebenaran. Tetapi di jaman modern ini,  hal sebaliknya terjadi  ketika beberapa umat berselisih atas nama agama. Di kalangan umat Islam sendiri berkembang sebuah fenomena perselisihan yang kuat antar kelompok-kelompok. Fenomena itu bahkan berkembang kadang hingga taraf salah satu fihak tidak  mengakui bahwa pihak lain bukan merupakan bagian dari Islam hanya berdasarkan pikiran sendiri tanpa berdasarkan petunjuk dari Alquran maupun hadits nabi.

Fenomena perselisihan yang sering terjadi menunjukkan bahwa seseorang seringkali tidak berusaha mencari perkataan yang lebih baik, dan  lebih berkeinginan untuk membuktikan  bahwa lawan bicaranya dalam posisi salah. Orang yang berbeda pendapat cenderung tidak berusaha memahami frase kalimat yang diucapkan lawan bicaranya dengan lebih komprehensif, dan lebih berusaha menekankan pemahaman atas apa yang diucapkan dirinya. Tentu hal itu sama sekali berkebalikan dengan tuntutan sikap hanif untuk menghadapkan wajah bagi agama. Perselisihan itu tidak membawa manfaat karena semangat mengalahkan pihak lawan, dan tidak mempunyai ujung penyelesaian karena masing-masing tidak berusaha mencari perkataan yang terbaik.

Kelemahan akal yang menimpa sebagian umat rasulullah ini telah beliau ceritakan dalam sebuah hadits. Rasulullah SAW menyampaikan tentang akan bangkitnya kaum yang keluar dari islam walaupun kaum itu merupakan kaum yang membaca alquran, yang karenanya banyak manusia akan tertipu menjadi pengikut Dajjal. Salah satu ciri yang disebutkan oleh rasulullah adalah adanya kelemahan akal pada kaum tersebut.

Dari Ali r.a berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : di akhir zaman akan muncul kaum yang muda usia dan lemah akal. Mereka berbicara dengan pembicaraan yang seolah-olah berasal dari manusia terbaik. Mereka membaca alquran tetapi tidak melampaui kerongkongannya. Mereka keluar dari islam sebagaimana anak panah terlepas dari busurnya. Apabila kalian bertemu dengan mereka maka perangilah mereka, karena memerangi mereka berpahala di sisi Allah pada berdirinya as-sa’ah (HR Muslim)

Kaum itulah yang dimaksudkan sebagai Khawarij.  Rasulullah telah menerangkan bahwa akan muncul suatu kaum yang keluar dari islam (khawarij), walaupun mereka mengikuti ajaran islam. Bahkan dalam sebagian riwayat dikatakan bahwa para sahabat akan merasa minder bila membandingkan shalat, puasa dan ibadah-ibadah mereka terhadap ibadah kaum itu, tetapi kaum itu keluar dari islam sebagaimana anak panah terlepas dari busurnya.  Hal yang mereka tegakkan berdasarkan pemahaman mereka terhadap agama pada dasarnya keliru sehingga mereka dikatakan keluar dari agama.

Pemahaman dalam beragama harus berangkat dari sikap hanif, berupa sikap tulus dalam berusaha sungguh-sungguh  mengenal kebenaran dan melakukan amal berdasar kebenaran dari segala sesuatu yang hadir dalam semesta dirinya. Doktrin-doktrin kebenaran yang diterima tanpa sebuah sikap hanif boleh jadi akan melontarkan seseorang keluar dari Islam sebagaimana anak panah terlempar dari busurnya, sementara dirinya merasa sebagai seorang pejuang untuk agama. Hal itulah yang menimpa kaum khawarij yang harus diperangi oleh  umat rasulullah.

Pendidikan agama harus diarahkan untuk pembentukan karakter hanif sebelum diberikan indoktrinasi ajaran agama. Ketiadaan sikap hanif pada tahap awal akan menjadikan seseorang menjadi lemah akal, dan pada akhirnya akan menjadikan seseorang menghayati pendidikan agama secara salah. Seorang anak yang diberi doktrin-doktrin agama tanpa sikap hanif boleh jadi akan mudah menjadi orang yang merasa sebagai pemilik kebenaran tanpa mengetahui kebenaran secara menyeluruh dan akhirnya malah melontarkannya menjauh dari agama.

Hal itulah yang menimpa hampir seluruh umat manusia jaman modern, sehingga keberagamaan dipandang sebagai sesuatu kelompok yang menjadi pemilik kebenaran yang membawa perselisihan terhadap klaim benar dan salah. Umat manusia tidak bergerak untuk mengenal kebenaran yang lebih tinggi tetapi terjebak dalam kebenaran yang statis, atau bahkan mungkin sebenarnya bisa dikatakan terjebak dalam waham kebenaran. Dalam jebakan waham kebenaran, satu orang berselisih dengan orang lain,  satu kaum berselisih dengan kaum yang lain dan satu umat berselisih dengan umat yang lain. Masing-masing merasa sebagai pemilik kebenaran sehingga perbedaan pendapat itu tidak membawa manfaat.

Keber-agama-an harus dilihat sebagai usaha untuk menjalankan perintah sang Pencipta, yang mempunyai nama-nama baik dan sifat yang baik. Segala cela dan kekurangan berasal dari makhluk sedangkan tidak ada cacat dan cela sedikitpun dalam segala kehendak-Nya. Dengan menyadari hal itu, seseorang yang berusaha menjalankan perintah-Nya dengan ikhlas harus juga berusaha mengenali dan menghindari segala cela dalam usahanya, karena syaitan akan menjadikan manusia memandang baik segala usaha  manusia termasuk keburukan dan cacat yang ada dalam usaha itu.


Pada jaman ini bersikap hanif tidaklah seperti perbuatan Ibrahim muda  yang bersembah kepada bintang, bulan dan matahari. Agama pada jaman ini telah diturunkan kepada para nabi hingga akhirnya disempurnakan kepada rasulullah Muhammad SAW. Bersikap hanif pada jaman ini adalah berusaha dengan tulus memahami kebenaran dan menjalankannya sesuai dengan tuntunan nabi. Kebenaran demi kebenaran harus dipahami hingga akhirnya mengantarkan setiap diri  bersaksi bahwa Rasululllah SAW adalah makhluk yang paling mulia, membawa kebenaran paling tinggi.