Pencarian

Jumat, 27 Agustus 2021

Menemukan Jalan Kebenaran

Dunia merupakan ujung ciptaan Allah yang paling jauh dari cahaya-Nya. Dengan keadaan itu, kebenaran yang dapat dilihat seseorang di alam dunia sebenarnya bersifat nisbi, dan bahkan kadang bercampur-campur dengan kebathilan. Kebenaran yang dilihat manusia di dunia seringkali bukan merupakan kebenaran mutlak, atau bahkan bisa jadi sebenarnya tercampur kebatilan yang terlihat sebagai kebenaran. Di alam yang demikianlah setiap manusia diciptakan. Manusia diciptakan untuk menjadi masterpiece ciptaan Allah yang paling cerdas, yang harus menempuh resiko yang paling besar untuk tertimpa kesesatan karena berada di lingkungan dengan kebenaran yang paling nisbi.

Kebanyakan manusia di bumi akan menyesatkan manusia lainnya dari jalan Allah. Tidak banyak orang-orang yang mengetahui kebenaran dengan sungguh-sungguh. Kebanyakan manusia di bumi hanya mengikuti persangkaan mereka terhadap kebenaran, dan mereka hanya menduga-duga kebenaran berdasarkan persangkaan mereka. Sebagian mengikuti persangkaan dan dugaan-dugaan mereka dengan tulus untuk mencari kebenaran, sebagian mengikuti persangkaan mereka disertai dengan keinginan duniawi, sebagian membentuk waham-waham yang sangat kuat berdasarkan persangkaan dan dugaan-dugaan mereka, dan sangat banyak bentuk-bentuk lain dalam mengikuti persangkaan dan dugaan.

﴾۶۱۱﴿وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (QS Al-An’aam : 116)

Demikianlah kebenaran dalam kehidupan di bumi. Di bumi, manusia hanya mengikuti persangkaan-persangkaan dan kadangkala hanya kedustaan. Bila seseorang mengikuti seruan rasulullah SAW dengan berjalan ke langit, maka ia akan dapat memperoleh kejelasan tentang jalan yang benar kembali kepada Allah. Sebenarnya manusia mempunyai aspek langit berupa nafs-nya. Manusia secara individu diciptakan berpasangan dalam wujud jasadiah dari bumi dan wujud malakutiyah berupa nafs mereka. Bila seseorang peduli dengan kebutuhan nafs mereka untuk berjalan kembali kepada Allah, maka ia akan bergerak ke langit dan mengetahui secara bertahap jalan kebenaran yang harus ditempuh. Bila seseorang tidak peduli dengan keadaan jiwa mereka, mereka sebenarnya hanya menduga-duga dan mengikuti persangkaan tentang kebenaran.

Bila seseorang berjalan menuju langit, maka akan tumbuh dalam dirinya indera-indera bathiniahnya. Akan tumbuh dalam dirinya qalb yang menjadi pondasi kecerdasan jiwanya, bashirah yang merupakan penglihatan bagi jiwa, dan tumbuh pula pendengaran jiwa. Itu adalah indera-indera bathiniah agar seseorang dapat mengenali kebenaran yang diperuntukkan bagi dirinya. Keseluruhan indera itu harus digunakan untuk mengenali kebenaran dari Allah. Kebanyakan manusia bersikap tidak tepat ketika tumbuh indera bathiniah mereka. Bahkan sebagian manusia menginginkan tumbuhnya indera-indera itu karena motivasi yang keliru, sejak sebelum indera itu tumbuh dalam diri mereka.

Batin Sebagai Langit

Sebenarnya, orang-orang yang diberi karunia indera bathin menunjukkan dirinya telah berusaha untuk tidak berdiam di bumi saja, setidaknya ia memperhatikan anak-anak yang terlahir dari nafsnya. Tetapi hal itu tidak menjamin keselamatan baginya. Seseorang yang diberi karunia bashirah atau pendengaran dapat tersesat karena bashirah atau pendengarannya. Demikian pula orang yang diberi karunia qalb dalam berbagai tingkatannya dapat tersesat bila tidak digunakan sebagaimana kehendak Allah.

﴾۹۷۱﴿وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sungguh Kami jadikan untuk (isi neraka) Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (QS Al-A’raaf : 179)

Setiap orang harus bersikap tepat dalam perkara indera-indera jiwa. Indera tersebut merupakan modal yang diberikan kepada setiap orang agar mereka kembali kepada Allah dengan benar. Indera batin bukanlah media untuk menampilkan kehebatan-kehebatan dalam diri. Setiap orang harus berusaha memahami kebenaran dari Allah dengan indera-indera yang diberikan kepadanya. Seringkali seseorang terjebak bersikap kufur dengan cara menunjukkan kehebatannya berdasarkan indera bathin yang diberikan kepadanya. Kadangkala seseorang justru memperturutkan apa-apa yang sampai kepada inderanya tidak mencari kebenaran yang dihadirkan Allah baginya.

Indera-indera bathin adalah sarana untuk bertafaqquh dalam agama, tidak boleh digunakan untuk kepentingan yang lain. Alam langit diciptakan lebih luas daripada alam mulkiyah, dan kesesatan di alam langit bisa mengakibatkan kesesatan yang lebih jauh daripada kesesatan di alam mulkiyah. Orang yang tersesat di alam langit dalam banyak kasus lebih sesat daripada sesatnya orang-orang di bumi. Karena itu setiap orang hendaknya berhati-hati dengan indera yang diberikan kepada dirinya. Indera-indera bathin itu hendaknya digunakan untuk bertafaqquh terhadap agama.

Tafaqquh dalam agama adalah menselaraskan pikiran dan perbuatan dengan kehendak Allah. Dalam tataran praktis, tafaqquh dalam agama adalah menemukan kedudukan diri dalam alquran dan sunnah rasulullah SAW, dan kemudian melaksanakan tuntunan yang sesuai yang ditemukan dalam Alquran dan sunnah rasulullah SAW untuk kembali kepada Allah. Hal ini sangat penting diperhatikan. Seseorang tidak boleh mengaku perbuatannya sebagai perintah Allah tanpa mempunyai landasan dari Alquran dan sunnah rasulullah SAW, karena hal itu bisa saja sebenarnya sebuah kesesatan yang jauh dari kebenaran. Allah telah menurunkan panduan dalam kehidupan di bumi dalam bentuk Alquran dan sunnah rasulullah SAW. Kedua hal itu adalah indikator seberapa banyak seseorang bertafaqquh dalam agama.

Tafaqquh (pemahaman) seseorang terhadap Alquran dan sunnah rasulullah SAW harus dilakukan seseorang dengan hati (qalb)nya. Bila tidak tumbuh qalb seseorang, sangat mngkin sebenarnya ia hanya mengikuti persangkaan dan dugaan karena mungkin seseorang tidak berhijrah dari bumi. Salah satu tanda keadaan itu adalah bilamana Alquran dan sunnah rasulullah SAW hanya merupakan petunjuk tanpa kaitan dengan kehidupan nyata dirinya, hanya menumbuhkan pohon khabitsah. Tanda ini berlaku untuk mengukur keadaan diri, tidak boleh digunakan untuk menghakimi keadaan orang lain bila tidak sama dengan keadaan dirinya. Barangkali seseorang melihat keterkaitan yang erat suatu ayat bagi dirinya, tetapi orang lain tidak melihatnya. Akan tetapi di sisi lain, harus diperhatikan tentang keberadaan kaum khawarij yang memanfaatkan Alquran tetapi mereka melemparkan seseorang keluar dari islam sejauh-jauhnya. Kaum khawarij hanya membaca Alquran dengan persangkaan-persangkaan mereka tanpa membangun qalb mereka, sehingga mereka terlempar sejauh-jauhnya dari islam.

Sebagian manusia telah tumbuh qalb mereka karena memperhatikan jiwanya. Tetapi bila qalb itu tidak digunakan untuk bertafaqquh dengan berpedoman pada Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, boleh jadi sebenarnya ia tersesat dengan kesesatan yang sangat jauh. Demikian pula bila pemahaman qalb seseorang bertentangan dengan Alquran dan sunnah rasulullah SAW, hal itu menunjukkan ia tersesat dan barangkali ia lebih sesat dari orang yang tidak berhijrah dari urusan buminya. Untuk bertafaqquh dengan benar, Qalb dan perbuatan harus diusahakan benar-benar selaras Alquran, sunnah rasulullah SAW. Alam langit jauh lebih luas daripada bumi, sehingga perjalanan di alam langit sangat menakutkan bila tidak menggunakan pedoman yang menuntun. Alquran dan sunnah rasulullah SAW lah pedoman yang akan menuntun seseorang ke tujuan yang benar.

Kesesatan Di Langit

Dahulu Iblis merupakan makhluk di alam yang tinggi. Pada saat itu, Iblis merasa bahwa dirinya adalah makhluk yang paling mengenal kebenaran. Di sisi lain, ia tidak mengenal rasulullah SAW. Ia melakukan kesalahan yang tampak hanya kecil di matanya tetapi hal itu tidak diperkenankan terjadi di alam yang tinggi. Secara prinsip, ia merasa benar bahwa ia hanya mau bersujud kepada Allah, tidak mau diperintahkan untuk bersujud kepada Adam. Kenyataannya, dalam tingkatan prinsip ia salah secara mendasar. Di alam-nya pada waktu itu, ia harus mengenal wasilahnya untuk mengikuti kebenaran, dan ia menolak mengikuti wasilah itu. Mengikuti khalifatullah adalah wasilah bagi alam malakut Iblis dan yang setara bersamanya untuk mengikuti rasulullah SAW sebagai pembawa kebenaran tertinggi.

Perintah bersujud kepada Adam bagi Iblis adalah media yang diberikan Allah agar iblis kembali ke dalam barisan/shaff untuk mengikuti kebenaran. Pengetahuan Iblis tentang kebenaran sebenarnya terpisah dari kebenaran rasulullah SAW. Kesalahan itu adalah kesesatan yang harus dibetulkan dengan peristiwa perintah bersujud kepada Adam. Shaf bagi Iblis adalah mengikuti dan mentaati khalifatullah untuk mengikuti rasulullah SAW. Iblis seharusnya mengetahui bahwa tidak ada kebenaran yang terpisah dari kebenaran yang dibawa rasulullah SAW dan makhluk yang mengikuti beliau. Khalifatullah a.s adalah makhluk yang mengikuti rasulullah SAW dengan benar dan berkedudukan sebagai wasilah Iblis kepada rasulullah SAW.

Demikian pula kebenaran yang bisa dikenal oleh seluruh makhluk lainnya. Bahwa tidak ada jaminan kebenaran bagi apa yang dikenalnya bila tidak ada landasan dari Alquran dan sunnah rasulullah SAW. Boleh jadi sebenarnya ia telah mengalami kesesatan yang sangat jauh walaupun ia merasa bahwa ia mengikuti kebenaran. Iblis telah berada di alam yang sangat tinggi dalam mengenal kebenaran dibandingkan kebanyakan manusia ataupun makhluk lainnya. Hanya sedikit manusia yang mungkin lebih tinggi dari Iblis, karena dahulu Iblis bersahabat dekat dengan para malaikat muqarrabun seperti Jibril a.s ataupun Mikail a.s. Pemahaman kebenaran yang sangat banyak itu tidak menjamin ia berada tidak tersesat.

Mengenal kebenaran melalui Alquran dan pengenalan pada rasulullah SAW dan orang-orang yang mengikuti beliau dengan benar akan membuat seseorang memasuki kelompok al-jamaah. Mereka adalah orang-orang yang mengikuti rasulullah SAW dengan pemahaman qalb dalam shaff-shaff yang ditentukan Allah. Orang-orang yang memiliki pemahaman terpisah dari rasulullah SAW menunjukkan dirinya belum benar-benar memasuki shaff yang benar, walaupun mungkin telah memasuki shaff yang benar. Kadangkala syaitan duduk bagi orang-orang yang berada pada shirat al-mustaqim.

﴾۶۱﴿قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ
Iblis menjawab: "Maka dengan apa-apa yang Engkau telah menghukumi aku tersesat, aku benar-benar akan duduk bagi mereka pada jalan Engkau yang lurus (QS Al-A’raaf : 16)

Iblis dalam ayat tersebut bersumpah untuk duduk bagi orang-orang yang berada pada shirat al-mustaqim. Mereka akan menyesatkan orang-orang di shirat al mustaqim mereka dengan apa-apa yang dihukumkan Allah bagi Iblis sebagai kesesatannya. Dalam satu sisi, keluarnya pemahaman Iblis dari pemahaman kebenaran al-jamaah adalah kesesatannya. Dengan kebenaran yang terpisah itu ia akan menyesatkan manusia di shirat al-mustaqim.

Rabu, 18 Agustus 2021

Mengikuti Tauladan Uswatun Hasanah

Rasulullah SAW dan Ibrahim a.s adalah dua sosok manusia mulia yang dijadikan Allah sebagai uswatun hasanah bagi seluruh manusia. Sebagai uswatun hasanah, kedua insan tersebut memberikan tauladan yang sempurna bagi manusia untuk kembali kepada Allah. Rasulullah SAW menjadi tauladan perjalanan manusia kembali kepada Allah secara keseluruhan, yaitu sebagaimana beliau SAW dimi’rajkan ke hadapan rabb-nya di ufuk yang tertinggi. Sedangkan Ibrahim a.s menjadi tauladan perjalanan manusia dalam kehidupan di bumi.

Puncak millah Ibrahim a.s merupakan sasaran tertinggi yang dapat dicapai manusia dalam langkah taubat manusia di kehidupan dunia. Sampai kepada puncak millah Ibrahim a.s lah upaya yang dapat diusahakan manusia untuk kembali kepada-Nya. Lebih dari puncak millah Ibrahim a.s merupakan hak Allah untuk memberi atau tidak memberi kesempatan seorang hamba untuk berjalan lebih dekat kepada-Nya. Kadangkala seorang hamba yang mengharap Allah diperkenankan untuk mengenal kehidupan di luar kehidupan dunianya, sebelum kiamat tiba atau sebelum kematiannya. Kadangkala Allah memberikan pahala seorang hamba hingga diperkenankan bertemu dengan-Nya sebagaimana rasulullah SAW.

Pertemuan dengan-Nya dicontohkan oleh rasulullah SAW bagi orang-orang yang mengharapkan Allah, tidak bagi orang-orang yang hanya menginginkan imbalan-imbalan kenikmatan. Barangkali orang semacam ini termasuk yang jarang ada. Tidak banyak orang yang mempunyai harapan terhadap Allah, bahkan mungkin tidak banyak orang yang memiliki sekadar imajinasi tentang apa yang dimaksud mengharapkan Allah. Kebanyakan manusia memiliki harapan tentang balasan-balasan kehidupan akhirat, memperoleh rasa takut terhadap hukum-hukum Allah, tetapi belum tumbuh harapan terhadap Allah. Ketika harapan itu mulai tumbuh, seseorang akan merasa takut dan tidak layak untuk itu tetapi harapan itu semakin bertumbuh. Tanpa ada rasa takut itu, seseorang sebenarnya tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan kalimat ‘mengharapkan Allah’.

﴾۱۲﴿لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap Allah dan hari akhirat dan dia banyak menyebut Allah. (QS Al-Ahzaab : 21)

Millah Ibrahim a.s adalah prasyarat dalam mengikuti seruan rasulullah SAW kepada Allah. Millah itu adalah tahapan-tahapan yang harus dibangun seseorang untuk ibadahnya yang murni kepada Allah. Seseorang tidak dapat dikatakan sempurna mengikuti seruan rasulullah SAW tanpa mengikuti millah Ibrahim a.s. Mungkin seseorang tidak sempurna menempuh perjalanan kepada Allah dalam keikhlasan, atau mungkin seseorang sebenarnya tersesat dari jalan yang lurus. Setiap orang harus menghisab dirinya dalam millah Ibrahim untuk mengetahui kadar perjalanannya memenuhi seruan rasulullah SAW kepada Allah dengan keikhlasan.

Benar-benar harus disadari bahwa syaitan sangat berkeinginan menyesatkan manusia dalam perjalanan kepada Allah. Para syaitan mengamplifikasi adanya ketidak-ikhlasan yang ada dalam hati seseorang. Intensitas penyesatan syaitan terhadap manusia yang kembali kepada Allah berbeda dengan orang kebanyakan. Orang yang tidak kembali kepada Allah dalam banyak hal hanya dibiarkan syaitan untuk mengikuti hawa nafsu mereka atau syahwat mereka sendiri, tanpa banyak diberikan tipuan-tipuan. Sedangkan orang yang kembali kepada Allah mengikuti millah Ibrahim a.s akan diberi tipuan-tipuan yang menyesatkan. Kadangkala syaitan memberikan kecerdasan kepada seseorang dalam bidang tertentu, akan tetapi kecerdasan itu kemudian menyesatkannya, sebagaimana dahulu syaitan dahulu memberikan petunjuk kepada Adam tentang pohon khuldinya. Tanduk syaitan akan terbit manakala matahari terbit bagi seseorang, tidak terbit sebelumnya.

Baitullah Sebagai Tujuan Millah Ibrahim

Puncak sasaran millah Ibrahim a.s adalah terbentuknya baitullah. Kakbah di tanah suci makkah merupakan monumen fisik representasi puncak millah Ibrahim a.s yang diabadikan bagi manusia sebagai baitullah. Nama itu tidak menunjukkan bahwa Allah berdiam dalam bangunan itu, tetapi lebih merujuk pada puncak millah Ibrahim berupa membangun bait untuk keikhlasan ibadahnya kepada Allah. Allah menurunkan barakah-barakah di sekitar monumen-monumen yang ditinggalkan beliau a.s bagi umat manusia, dan ittiba’ terhadap millah itu dijadikan syiar agama yang harus ditegakkan oleh umat manusia. Barakah dan syiar itu akan menjadi media transformasi manusia untuk mengikuti langkah beliau a.s kembali kepada Allah, memenuhi seruan rasulullah SAW kepada Allah dengan jiwa dan raganya sepenuhnya.

Sasaran utama millah nabi Ibrahim a.s adalah tegaknya bait. Bait tersebut harus ditegakkan seseorang sebagai sarana untuk meninggikan asma Allah dan untuk berdzikir kepada-Nya. Bait tersebut hanya dapat terbentuk atas ijin Allah, dan bait itu hanya dapat ditegakkan seseorang dalam kehidupannya di dunia, tidak akan terbentuk setelahnya. Tidak ada seseorang dapat mengaku telah mendirikan bait, karena hanya Allah yang menentukan bait-bait yang diijinkan-Nya untuk ditinggikan dan disebutkan asma-Nya dalam bait itu. Manusia hanya dapat berusaha membangun bait untuk meninggikan asma-Nya.

﴾۶۳﴿فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ
Di dalam rumah-rumah yang telah Allah ijinkan untuk ditinggikan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang (QS An-Nuur : 36)

Untuk membina bait demikian, seseorang harus mengikuti millah Ibrahim a.s. Seseorang harus berhijrah menemukan tanah suci berupa pengenalan diri, melakukan penyembelihan agar jiwanya dimurnikan dari jejak-jejak syaitan melalui pijakan hawa nafsu dan syahhwat dalam dirinya, membina keshiddiqan dalam wujud akal dan pikiran-pikiran yang selaras dengan kehendak Allah hingga dapat mengenali kebenaran-kebenaran dari sisi Allah, dan pada puncaknya membangun bait untuk meninggikan dan menyebut asma-Nya di dalamnya. Keseluruhan itu merupakan millah yang dicontohkan nabi Ibrahim a.s.

Keluarga Sebagai Bait

Bait itu adalah rumah tangga. Hanya dengan rumah tangga yang baik seseorang dapat meninggikan asma Allah. Tidak ada seseorang dapat meninggikan asma Allah tanpa rumah tangga yang baik. Hal inilah yang dicontohkan oleh nabi Ibrahim a.s bersama ahlul bait beliau. Uswatun hasanah terdapat dalam diri nabi Ibrahim a.s dan keluarganya, tidak hanya dalam diri beliau a.s. Kisah ini menggaris bawahi sasaran puncak millah Ibrahim a.s berupa terbentuknya bait dalam wujud rumah tangga.

﴾۴﴿قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia (QS Al-Mumtahanah : 4)

Proses-proses dalam millah nabi Ibrahim a.s dilaksanakan bersama keluarganya. Keluarga adalah perpanjangan entitas diri seseorang dalam fungsi sebagai makhluk sosial, entitas diri yang sekaligus terpisah dari diri. Keluarga merupakan gerbang seseorang terhadap masyarakat, sebagai gerbang fungsi sosial dirinya di antara masyarakat. Hal ini terkait dengan fungsi penciptaan manusia dari nafs wahidah untuk beribadah kepada Allah, dan bahwa ibadah harus mewujud dalam fungsi sosial berupa pemakmuran bumi. Pengenalan tentang penciptaan diri menjadi kunci pemakmuran bumi, dan pengenalan diri itu akan lebih sempurna dengan pengenalan tentang pasangan dirinya sebagai bagian dari dirinya. Dengan hal itu, maka ibadah seseorang akan mempunyai bobot nilai yang baik.

Dalam pembentukannya, keseluruhan komponen millah Ibrahim a.s itu berproses saling mendukung dan memperkuat antara satu dengan yang lain. Pernikahan, penyembelihan, pembinaan jiwa dengan shidq, semua akan mentransformasi jiwa seseorang secara sinergis. Akan tetapi ada fase-fase penguatan atau pengesahan status yang terjadi dalam urutan. Ada fase Allah membuka pengenalan seseorang terhadap dirinya sendiri, ada fase penyembelihan yang harus dilakukan seseorang setelah pengenalan diri, ada fase tashdiq (pembenaran) yang akan menjadikan seseorang mengenal kebenaran dari Allah sebagai seorang shiddiq, dan ada fase tegaknya bait untuk meninggikan dan disebut asma-Nya di dalamnya. Keseluruhan proses itu harus dilaksanakan dengan sujud ketaatan kepada Allah, yang itu akan menentukan datangnya ijin Allah atas bait yang dibentuk sebagai bait untuk meninggikan dan disebut asma Allah di dalamnya.

Proses transformasi akan lebih mudah dan lebih baik bila seseorang menempuh pernikahan. Pernikahan menjadi setengah bagian dari agama seseorang. Hal itu terkait dengan sasaran final millah Ibrahim a.s dalam wujud membentuk bait. Pernikahan menjadi bayangan dasar bait yang harus dibentuk seseorang untuk mengikuti langkah beliau sebagai uswatun hasanah. Melalui pernikahan, seseorang berada dalam bayangan millah Ibrahim a.s sehingga dapat berproses menuju kesempurnaan kehidupan sesuai kehendak Allah, memperoleh kejelasan tentang segala sesuatu yang menjadi takdir dirinya, hingga dapat mengenal hakikat penciptaan dirinya di tingkatan nafs wahidah. Ini merupakan puncak pengenalan seseorang tentang diri sendiri. Awal pengenalan diri seseorang adalah pengenalan tentang amal-amal yang ditentukan bagi dirinya, sedangkan puncaknya adalah pengenalan tentang nafs wahidah. Ini akan terjadi bila seseorang berhasil membina baitnya, mengenal pasangannya.

Setelah Allah memberi ijin terhadap baitnya, seseorang harus terus beramal melayani para manusia agar memperoleh jalan untuk kembali kepada Allah dengan cara yang ditentukan Allah baginya, sebagaimana nabi Ibrahim a.s diperintahkan untuk melayani orang-orang yang berkunjung ke baitullah. Dengan melakukan itu, seseorang mungkin diijinkan untuk mengikuti rasulullah SAW mengenal jalan kembali kepada Allah melampaui kehidupan dunianya. Rasulullah SAW melakukan mi’raj hingga ufuk yang tertinggi di alam semesta, demikian pengikutnya mungkin diijinkan Allah untuk mi’raj hingga ufuk yang ditentukan baginya.

Dewasa ini, kadangkala dijumpai umat islam saling berbantah-bantah karena perbedaan pendapat di antara mereka. Masing-masing merasa bahwa pendapat mereka adalah kebenaran yang mengikuti rasulullah SAW, karena ada hadits ataupun ayat yang seolah-olah mendukung pendapat mereka dalam perdebatan. Sebenarnya kebenaran dengan sudut pandang demikian bukanlah kebenaran yang diajarkan rasulullah SAW, dan hal itu akan memecah-belah manusia. Ayat dan sunnah tidak dijadikan tuntunan bagi akal, akan tetapi sebenarnya menjadi hidangan bagi hawa nafsu. Alquran dan sunnah rasulullah SAW hendaknya menjadi sarana transformasi seseorang untuk mengetahui kehendak Allah atas dirinya. Proses transformasi itu harus ditempuh sebagaimana millah nabi Ibrahim a.s.

Senin, 09 Agustus 2021

Millah Ibrahim a.s dan Pemakmuran Bumi

Allah menciptakan manusia sebagai makhluk bumi dan memberikan amanah kepadanya untuk memakmurkan bumi yang dijadikan tempat berdiamnya selama belajar dalam kehidupannya di bumi. Pemakmuran itu merupakan jalan ibadah yang harus dimengerti oleh setiap manusia. Tidak ada arti ibadah yang dilakukan seseorang dengan melakukan pujaan dan pujian kepada Allah bila dirinya melupakan tugasnya untuk memakmurkan bumi. Pujaan dan pujian yang dilakukannya hanyalah perbuatan kosong tanpa isi karena ketetapan Allah bagi manusia tidaklah untuk melakukan pujian dengan cara demikian. Pujaan dan pujian yang dilakukan seseorang harus memiliki isi yang dapat diperoleh dengan cara memakmurkan bumi.

﴾۱۶﴿ وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلٰهٍ غَيْرُهُ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُّجِيبٌ
Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat lagi memperkenankan ". (QS Huud : 61)

Pada ayat di atas, nabi Shalih a.s mengingatkan kepada kaumnya untuk beribadah kepada Allah SWT, dan mengingatkan kedudukan mereka dalam penciptaan mereka di bumi sebagai pemakmur bumi. Kedua hal itu mempunyai keterkaitan yang sangat erat, bahwa ubudiyah yang benar harus dilakukan dengan cara yang ditentukan Allah, sesuai dengan fitrah penciptaan dirinya sebagai pemakmur bumi. Tidak bisa salah satu hal ditinggalkan untuk melakukan yang lain. Pemakmuran bumi harus dilakukan untuk penghambaan diri kepada Allah, dan ibadah kepada Allah harus disertai perbuatan melakukan pemakmuran di bumi. Kedua hal itu merupakan satu kesatuan yang harus dilaksanakan manusia.

 

Pemakmuran Bumi

Cara pemakmuran bumi yang harus dilakukan seseorang sangat terkait dengan penciptaan diri masing-masing. Sebenarnya Allah telah menciptakan setiap manusia dengan suatu ketetapan tertentu yang harus ditemukan oleh masing-masing manusia. Ketentuan itu adalah fitrah yang tidak akan berubah semenjak awal penciptaan hingga tanpa batas waktu. Setiap manusia harus berusaha menemukan fitrah dirinya masing-masing dan berusaha menjalani kehidupan sesuai dengan fitrah dirinya itu. Akan tetapi kebanyakan manusia jaman ini tidak mengetahui ketetapan itu, dan tidak berusaha menemukannya, dan tentu saja tidak terbersit keinginan untuk menjalani ketentuan itu karena tidak mengetahuinya.

Untuk hal itulah nabi Shalih a.s mengingatkan kaumnya agar memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya. Memohon ampunan dan bertaubat kepada Allah adalah langkah pertama agar seseorang memperoleh jalan untuk mengetahui fitrah dalam penciptaan dirinya. Nabi Shalih tidak mengingatkan kaumnya untuk melakukan suatu usaha ekonomi atau usaha yang konkret sebagai sesuatu yang harus dilakukan terkait pemakmuran bumi. Beliau menyeru untuk memohon ampun dan bertaubat kepada Allah. Tentu saja upaya konkret itu harus dilakukan, akan tetapi syarat utama dalam melakukan pemakmuran bumi harus dilakukan terlebih dahulu adalah memohon ampunan dan bertaubat kepada Allah.

Ada jalan (mungkin) panjang yang harus ditempuh seseorang sebelum upaya konkretnya dalam pemakmuran bumi menjadi upaya pemakmuran yang benar sebagaimana kehendak Allah. Seseorang tidak harus meninggalkan upaya konkret yang dikerjakannya pada saat upayanya belum sejalan dengan pemakmuran sebagaimana kehendak Allah. Upaya pemakmuran itu hendaknya tetap dilaksanakan ketika memulai kehidupan dengan memohon ampun dan bertaubat kepada Allah. Perjalanan taubat itu atas kehendak Allah akan mengubah apa yang ada dalam diri seseorang dan pada akhirnya akan ikut mengubah dengan sendirinya kualitas dan/atau bentuk upaya konkrit pemakmuran, sedemikian hingga tercapai bentuk pemakmuran yang sesuai dengan kehendak Allah.

Dalam kehidupan di dunia, banyak metode dapat digunakan oleh seseorang untuk memakmurkan bumi. Ada pemakmuran bumi yang sifatnya benar-benar memakmurkan, dan banyak pemakmuran bumi yang sifatnya hanya semu. Pembangunan suatu negara jaman modern ini kebanyakan merupakan pemakmuran yang sifatnya semu. Apa yang tampak dalam pandangan masyarakat sebagai kemakmuran sebenarnya hanya merupakan tumpukan hutang yang menjerat leher. Sebagian tidak peduli jeratan itu dan terus melakukan pemakmuran dengan cara demikian. Demikian pula ketika berusaha mengatasi masalah, mereka terus menjerat diri dengan hutang. Banyak bentuk-bentuk yang tampak sebagai pemakmuran tetapi hanya bersifat semu. Hal demikian terjadi karena manusia tidak menempuh upaya memohon ampunan kepada Allah dan tidak menempuh jalan taubat kepada Allah dalam upayanya memakmurkan bumi sesuai dengan ayat di atas.

 

Millah Ibrahim a.s

Perjalanan taubat seseorang di bumi dicontohkan dalam millah nabi Ibrahim a.s. Taubat yang demikian itulah yang mengantarkan seseorang pada pemakmuran bumi. Beliau sejak kecil berkeinginan untuk mengetahui kebenaran yang mengantarkannya pada sikap hanif untuk kembali kepada Allah. Pada akhirnya Allah memperkenalkan diri-Nya kepada Ibrahim a.s. Beliau dijadikan sebagai uswatun hasanah bagi manusia seluruhnya. Untuk hal itu, beliau a.s diperintahkan untuk memberikan contoh langkah untuk kembali kepada Allah, amal yang merupakan karakter menonjol beliau sejak masa kecilnya. Langkah kembali kepada Allah itu beliau laksanakan dengan baik, di antaranya berhijrah menuju tanah suci, melakukan penyembelihan, melempar jumrah, dan sasaran akhirnya mendirikan baitullah.

(hampir) Keseluruhan millah beliau laksanakan bersama ahlul bait beliau. Hal ini menunjukkan adanya fungsi sosial dalam taubat kepada Allah. Taubat kepada Allah harus dilakukan seseorang bersamaan dengan memperhatikan fungsi sosialnya, setidaknya fungsi sosial terhadap keluarganya, dan bersama keluarganya. Taubat bukanlah suatu tindakan yang sepenuhnya bersifat personal tanpa kaitan dengan masyarakat sosial. Nabi Musa a.s menghadap kepada rabb-nya di bukit Sinai mendahului umatnya, maka itu menjadi penyesalan besar bagi beliau karena umatnya disesatkan oleh Samiri. Itu merupakan ayat yang menunjukkan peran penting fungsi sosial dalam proses taubat.

Terkait dengan pemakmuran bumi, demikianlah taubat yang diserukan nabi Shalih terhadap kaumnya untuk kembali kepada Allah terkait dengan pemakmuran bumi dan ibadah kepada Allah. Taubat itu harus dilakukan dengan mengikuti sepenuhnya millah Ibrahim a.s. Seseorang harus berhijrah ke tanah suci menemukan fitrah dirinya agar ia bisa memberikan fungsi dirinya bagi masyarakatnya. Ia harus membersihkan amr yang di amanahkan baginya agar bisa memberikan sumbangan yang bersih dari syaitan kepada masyarakat. Pada ujungnya, ia harus membina keluarganya sebagai bait untuk meninggikan dan menyebut asma Allah di dalamnya.

Ketuntasan dalam mengikuti millah nabi Ibrahim a.s menjadi kunci dalam pemakmuran bumi. Kadangkala seseorang berhasil membina dirinya dalam taubat untuk ibadah yang bersih kepada Allah, tetapi tidak berhasil memberikan sumbangsih kepada masyarakatnya karena tidak terbentuk keluarga sebagai bait untuk meninggikan dan disebut asma Allah di dalamnya, sebagaimana nabi Nuh a.s dan nabi Luth a.s terlihat gagal dalam memakmurkan bumi mereka, terlihat gagal memberikan sumbangsih kepada kaumnya. Karena hal ini, seluruh syaitan hingga iblis yang tertinggi sangat berkepentingan untuk menjatuhkan keberhasilan seseorang dalam mengikuti millah Ibrahim a.s. Pemimpin para Iblis menjadikan syaitan yang mempunyai kelicikan untuk memisahkan seseorang dengan isterinya sebagai syaitan yang didekatkan kepada dirinya, karena keberhasilan membentuk keluarga sebagai bait yang diijinkan untuk ditinggikan dan disebut asma Allah di dalamnya sebagai musuh besarnya.

 

Bayangan Millah Ibrahim a.s dan Fitnah Syaitan

Memisahkan seseorang yang berkeinginan membentuk bait demikian dengan isteri-isterinya adalah metode syaitan mendatangkan fitnah paling besar bagi umat manusia dalam seluruh sejarah kehidupan manusia. Tidak ada fitnah yang disebabkan syaitan bagi alam semesta ini yang lebih besar dari cara ini. Dalam tataran praktis, metode ini digunakan syaitan untuk mencegah timbulnya kesadaran manusia tentang upaya mereka membentuk sebuah kerajaan syaitan di bumi.

﴾۲۰۱﴿وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُوا الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُم بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan atas kerajaan Sulaiman, padahal Sulaiman tidak kafir, tetapi syaitan-syaitan lah yang kafir. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya fitnah, sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dapat menceraikan antara seseorang dengan isterinya. Dan mereka itu (para syaitan) tidak memberi mudharat kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka (para manusia) mempelajari sesuatu yang mendatangkan mudharat kepada mereka dan tidak memberi manfaat. dan sesungguhnya mereka telah mengetahui bahwa barangsiapa yang membelinya tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengannya, kalau mereka mengetahui. (QS Al Baqarah : 102)

Para syaitan itu bermaksud mendirikan sebuah kerajaan syaitan di bumi dengan konsep sebagaimana kerajaan Sulaiman a.s. Banyak di antara kaum Yahudi dan yang bersama mereka mengikuti konsep demikian padahal itu merupakan konsep syaitan, bukan sebagaimana Sulaiman a.s.

Untuk merealisasikan hal itu, para syaitan mengajarkan sihir dan ilmu dua malaikat Harut dan Marut kepada manusia. Ilmu dua malaikat Harut dan Marut itu berfungsi untuk memisahkan seseorang dengan isterinya. Kehalusan ilmu kedua malaikat itu sangat sesuai untuk memisahkan suami isteri yang mempunyai kualitas sangat baik, atau bahkan mungkin seseorang yang hampir membentuk keluarga sebagai bait untuk meninggikan dan disebut asma-Nya di dalamnya, bukan (hanya) untuk orang-orang yang menginginkan harta, kecantikan ataupun kedudukan. Dengan agenda besar kerajaan itu, para syaitan tentu sangat berkepentingan menghancurkan bait yang akan dibentuk.

Tidak hanya keluarga demikian yang dihancurkan syaitan. Semua keluarga yang baik merupakan benteng pertahanan dari seluruh infiltrasi syaitan. Keluarga yang sangat buruk pun sedikit banyak merupakan cermin dari puncak sasaran millah Ibrahim a.s, dan itu pasti akan menjadi sasaran perusakan oleh syaitan. Barangkali syaitan tidak menggunakan ilmu Harut dan Marut untuk keluarga demikian, akan tetapi pasti syaitan menyusup di antara suami dan isteri untuk merusak keluarga itu. Suami digoda dengan perempuan lain yang diharamkan baginya, isteri dijadikan tidak mau taat kepada suami tanpa alasan yang benar, kadang dalam keadaan yang paling buruk syaitan memadamkan keinginan dan upaya memikirkan langkah yang baik, bahkan kadang dengan memadamkan keinginan bercerai dalam buruknya rumah tangga. Sangat banyak kelicikan-kelicikan yang lain untuk menghancurkan keluarga.

Keluarga adalah bayangan dari sasaran millah Ibrahim a.s. yang paling utama, yaitu bait yang diijinkan untuk disebutkan asma Allah dan ditinggikan asma Allah di dalamya. Keluarga yang baik merupakan modal untuk memakmurkan bumi. Demikian pula keluarga merupakan benteng pertahanan bagi umat manusia terhadap fitnah-fitnah syaitan. Tanpa pembinaan pernikahan, pemakmuran bumi hanya merupakan angan-angan yang dengan mudah dihembus kabur oleh syaitan. Seringkali umat manusia melupakan pembinaan pernikahan, dan konsep-konsep yang baik untuk pembinaan pernikahan hanya dianggap tanpa makna. Ini merupakan kesalahan besar yang diakibatkan sihir syaitan. Apapun upaya manusia yang dilakukan manusia, syaitan dengan mudah menjatuhkan bila cerminan sasaran utama millah Ibrahim a.s ini diabaikan di antara mereka.



Jumat, 06 Agustus 2021

Penyembelihan, Shidq dan Alquran

Nabi Ibrahim a.s dan keluarganya adalah uswatun hasanah bagi umat manusia. Dalam perjalanan kehidupan nabi Ibrahim a.s, beliau pernah diperintahkan Allah untuk melakukan penyembelihan terhadap putra beliau Ismail. Hal itu beliau lakukan ketika Ismail telah mencapai perkembangan tertentu yang ditandai dengan kemampuannya berusaha bersama ayahnya. Perintah penyembelihan itu terjadi melalui penglihatan dalam tidur beliau a.s yang berulang beberapa kali.

Tentu penglihatan itu adalah penglihatan yang benar. Beliau adalah seorang nabi yang harus menjadi panutan bagi seluruh umat manusia dalam bertaubat kembali kepada Allah. Millah beliau adalah millah yang benar dan paripurna sebagai tauladan bagi umat manusia kembali kepada Allah. Bila seseorang mengikuti millah Musa a.s menemukan tanah yang dijanjikan, maka millah itu sebenarnya merupakan bagian dari millah Ibrahim a.s. Salah satu tahapan dalam millah yang harus ditempuh manusia adalah penyembelihan sebagaimana yang dilakukan Ibrahim a.s, sedangkan sempurnanya millah adalah berdirinya bait untuk disebut dan ditinggikan asma Allah di dalamnya.

Bukan hanya penyembelihan yang menjadi millah Ibrahim a.s, dan bukan hanya beliau a.s yang menjadi uswatun hasanah dalam millah beliau, tetapi juga keluarga beliau. Beliau dan keluarga berhijrah menemukan tanah suci dari negeri Syam menuju lembah tandus Bakkah di Arabia, melakukan penyembelihan terhadap putera sendiri yang diperintahkan Allah melalui penglihatan yang benar ketika sang putera telah mencapai usia mampu berusaha, hingga mendirikan baitullah di tanah suci. Keseluruhan itu adalah millah Ibrahim a.s yang harus dijadikan tauladan perjalanan kehidupan manusia kembali kepada Allah, sedangkan Ibrahim a.s dan ahlul baitnya merupakan uswatun hasanah.

Untuk kembali kepada Allah, setiap manusia harus menempuh millah Ibrahim. Setiap orang harus berhijrah menemukan tanah suci bagi dirinya, berupa pengenalan terhadap jati diri. Kemudian perjalanan itu harus dilanjutkan dengan melakukan penyembelihan terhadap semua waham diri dan pengetahuan yang tidak selaras dengan kehendak Allah sehingga jiwanya termurnikan untuk melaksanakan perintah Allah. Dari penyembelihan, seseorang harus berusaha membentuk bait berupa keluarga sakinah untuk meninggikan asma Allah dan disebut asma-Nya dalam bait itu.

 

Membenarkan Penglihatan

Dengan penyembelihan, maka Ibrahim a.s telah membenarkan penglihatannya.

﴾۵۰۱﴿قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
Sesungguhnya kamu telah membenarkan penglihatan itu. sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS As-shaffat : 105)

Pembenaran (shaddaqa) penglihatan itu adalah balasan Allah bagi orang-orang yang telah melakukan penyembelihan. Pembenaran yang dilakukan nabi Ibrahim a.s itu bukanlah menunjuk pada semata-mata usaha yang dilakukan nabi Ibrahim a.s saja, tetapi juga sekaligus terjadi penguatan kebenaran yang ada dalam diri beliau sebagai balasan dari Allah. Hal ini berlaku bagi seluruh umat manusia. Bila seseorang melakukan kebenaran yang dipahami, maka Allah akan memberikan balasan berupa penguatan kebenaran dalam dirinya. Dalam fase tertentu, terjadi pengesahan terhadap status shiddiq bagi seseorang, dan penyembelihan itu adalah segel bagi status shiddiq nabi Ibrahim a.s. Mungkin ini tidak terlihat nilainya bagi orang yang mencari kenikmatan lain, tetapi ini adalah balasan yang bernilai sangat tinggi bagi orang yang mencari kebenaran.

Dalam kehidupan manusia, penyembelihan adalah pembersihan pikiran agar sepenuhnya selaras dengan kehendak Allah terbebas dari kendali hawa nafsu. Ibrahim a.s dan puteranya dalam kisah penyembelihan tersebut merupakan gambaran tentang entitas inti seseorang berupa nafs wahidah dan anak-anak yang terlahir darinya berupa hawa nafsu. Ketika seseorang mengenal amr Allah bagi dirinya, hendaknya seluruh hawa nafsu ditundukkan sepenuhnya bagi jiwa yang mengenal amr Allah. Tidak ada hawa nafsu yang boleh mengendalikan seseorang dalam melaksanakan amr Allah walaupun hawa nafsu itu telah tampak dewasa menyertai jiwa di jalan Allah. Dengan pikiran terbebas dari kendali hawa nafsu, seseorang dapat melakukan qurban mendekat kepada Allah dengan benar.

Penyembelihan merupakan bagian dari keseluruhan millah Ibrahim a.s dengan sasaran mendirikan baitullah agar seseorang memperoleh pijakan yang kokoh dalam melakukan ibadah kepada Allah. Penyembelihan dalam millah Ibrahim a.s tidak hanya berhenti pada penyembelihan itu sendiri, tetapi harus disempurnakan dengan mengikuti millah yang lain. Penyembelihan ini merupakan fase penting yang harus diperhatikan setelah seseorang mencapai tanah suci, mengenal untuk apa dirinya diciptakan. Iblis besar menunggu setiap manusia ketika mencapai tanah suci pengenalan diri. Sebagaimana matahari bilamana terbit disertai tanduk syaitan, demikian pula pengenalan diri akan disertai terbitnya syaitan. Dalam upaya nabi Ibrahim a.s melakukan penyembelihan, beliau melakukan lempar jumrah untuk mengusir syaitan. Tanpa penyembelihan, syaitan akan selalu merongrong perjalanan manusia menuju Allah sedangkan orang itu tidak mempunyai penguatan dari Allah.

Pembenaran (shaddaqa) yang dilakukan Ibrahim a.s dapat terjadi karena ada kebenaran yang terbangun dalam diri Ibrahim a.s. Perintah penyembelihan merupakan sebuah perintah yang terlihat sangat tidak baik, akan tetapi nabi Ibrahim a.s mengenali bahwa perintah itu kebenaran (shidq) yang berasal dari Allah. Hal ini dapat terjadi karena ada shidq dalam diri beliau a.s. Keadaan nabi Ibrahim a.s pada saat menerima perintah tersebut tidaklah kosong tanpa pengetahuan dari Allah tentang arti penyembelihan yang harus dilakukannya. Beliau a.s mengenal benar bahwa Allah berkehendak menjadikannya sebagai panutan bagi generasi berikutnya, dan salah satu millah yang harus ditegakkan adalah penyembelihan.

﴾۳۳﴿وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُولٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Dan orang yang datang dengan kebenaran (shidq) dan membenarkan (shaddaqa) dengannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS Az-Zumar : 33)

Ibarat yang lebih mudah dapat digambarkan dalam peristiwa seorang mekanik berpengalaman yang bermaksud mengganti komponen tertentu dalam sistem mekanis. Mekanik itu dapat membenarkan komponen baru yang diserahkan kepadanya sebagai pengganti yang tepat, atau meminta komponen baru lain yang lebih tepat. Ia bisa bertindak demikian karena ia mengetahui sistem yang diperbaikinya, mengetahui bagaimana ia harus membongkar sistem dan memasang kembali komponen-koponen yang tepat dengan benar, serta memastikan sistem bekerja kembali dengan baik sebagaimana yang diharapkan. Dengan seluruh pengetahuannya, dia dapat membenarkan komponen yang diserahkan kepadanya, atau menyalahkan. Seorang ibu rumah tangga tidak dapat melakukan pembenaran yang sama dengan mekanik tersebut. Itu adalah keadaan yang dapat menggambarkan terminologi “membenarkan (shaddaqa)”.

Dalam shaddaqa yang dilakukan nabi Ibrahim a.s, pengetahuan yang dimiliki beliau adalah pengetahuan tentang Allah dan ketentuan yang digariskan Allah bagi umat manusia melalui dirinya. Dengan pengetahuan itu, maka beliau dapat membenarkan penglihatan yang diterimanay sebagai ketentuan Allah yang harus dilaksanakan dirinya. Beliau memiliki shidqan yang menjadikan dirinya dapat membenarkan penglihatan itu. Tanpa shidq dalam dirinya, ia tidak dapat membenarkan penglihatan itu. 

 

Alquran dan Keshiddiqan

Di jaman modern ini, agama telah disempurnakan. Tidak akan ada orang yang menerima sebuah millah ataupun agama selain yang telah dicontohkan nabi Ibrahim a.s atau telah ditetapkan dalam Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Kebenaran (shidq) itu dengan mudah dapat ditemukan manusia dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak perlu bersusah payah menimbang dan mencari sendiri kebenaran. Tidak ada jaminan kebenaran dalam upaya mencari kebenaran melalui jalan kebenaran sendiri. Dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW itulah hendaknya membina kebenaran dalam dirinya, tidak dengan cara yang lain. Dengan Alquran, akan ditemukan di dalamnya seluruh shidq yang dibutuhkan seluruh umat manusia untuk mengenali urusan Allah bagi dirinya.

﴾۵۱۱﴿ وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا لَّا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kebenaran (shidq) dan keadilan. Tidak ada yang mengubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS Al-An’aam : 115)

Alquran merupakan mujizat yang sangat besar bagi umat manusia. Kadangkala seorang yang lemah memperoleh penglihatan yang meragukan bahkan bagi dirinya sendiri, padahal mungkin saja penglihatan itu mengandung shidq yang akan mendatangkan balasan Allah berupa kekuatan untuk berbuat kebenaran. Tentu hal ini sangat jauh dari keadaan shiddiqnya nabi Ibrahim a.s ketika memperoleh penglihatan untuk menyembelih puteranya. Bila penglihatan yang lemah itu merupakan penglihatan yang benar, Alquran dapat mengubah keadaan orang yang mengikutinya hingga memperoleh keadaan yang baik atau mendekati keadaan shodiq dan kemudian mampu melaksanakan kebenaran dalam petunjuk yang lemah itu.

Alquran dapat menunjukkan keadaan seseorang hingga dirinya dapat menuju keadaan shiddiq setelah kesesatannya. Kadangkala kesesatan tampak sebagai sesuatu yang baik karena syaitan menghiasnya sebagai kebaikan bagi pandangan manusia. Bila seseorang membaca dan mengikuti sepenuhnya Alquran, ia akan dapat mengubah keadaannya menuju keadaan shidiq. Bilamana Alquran tidak lagi dapat mengubah kesadaran seseorang menuju kebenaran, maka tidak ada lagi yang dapat mengubah keadaan orang itu. Allah mungkin berkehendak menyesatkan orang itu. Sekalipun tidak ingin tersesat, tidak ada makhluk yang dapat mencegah kesesatan bila Allah menyesatkannya.

Seseorang akan dapat menemukan momentum yang akan mengantarkannya pada keadaan shiddiq sebagaimana nabi Ibrahim a.s melakukan penyembelihan sebagai momentum untuk memperoleh keadaan shiddiq bagi beliau. Tentu hal ini hanya akan dikenali bila kebenaran (shidq) telah terbina dengan baik dalam dirinya. Tanpa membina shidq dalam dirinya, seseorang tidak akan dapat menemukan keadaan shiddiq. Bila seseorang menemukan momentum ini dan ia melaksanakannya, Allah akan memberikan balasan berupa penguatan diri dalam shidq, bisa termasuk dalam golongan shiddiqin. Bila ia tidak melaksanakannya, pengetahuan tentang kebenaran mungkin tidak kokoh, bergoyang dalam shidq. Mungkin pengetahuannya bercampur-campur dengan pengetahuan yang tidak selaras dengan kebenaran dari Allah. Hal yang berbahaya dalam perkara itu bahwa syaitan akan selalu menunggu kelengahan dirinya agar dapat menyesatkannya.


Senin, 02 Agustus 2021

Cinta dalam Iman

Allah melarang setiap mukmin untuk menjadikan orang-orang yang lebih memilih kekufuran daripada iman sebagai wali bagi mereka, sekalipun mereka adalah bapak-bapak mereka ataupun saudara-saudara mereka. Bila seorang mukmin menjadikan orang-orang yang lebih menyukai kekufuran daripada keimanan sebagai wali, maka mereka akan termasuk dalam kelompok orang-orang yang dzalim.

﴾۳۲﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَأُولٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih menyukai kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS At-Taubah : 25)

Kekufuran dan iman dalam hal ini bukan hanya perbedaan keyakinan di antara orang kafir atau muslim, tetapi juga menunjukkan pada landasan seseorang dalam bertindak. Orang-orang kafir sudah jelas, mereka tidak memilih antara keimanan dibandingkan kekufuran. Hanya orang-orang muslim yang dapat dinilai apakah ia memilih keimanan dibandingkan kekufuran, atau sebaliknya. Bagi setiap muslim ada standar keimanan dan kekufuran yang berlaku baginya, sedangkan orang kafir tidak dikenai standar demikian. Orang yang berbuat buruk demi kepentingannya sendiri adalah kekufuran, dan yang berbuat untuk kebaikan adalah bagian dari iman. Kekufuran akan menyebabkan seorang muslim berjalan menuju kedzaliman.

Setiap muslim harus mengasah diri untuk memilih keimanan di atas kekufuran diri, bahwa kekufuran itu adalah kegelapan dan keimanan itu akan mengantarkan manusia menuju cahaya Allah. Kadangkala iman atau kufur bersifat relatif bagi seseorang. Seseorang dengan akal yang kuat karena terlatih mengasah diri akan dapat menemukan sifat kufur dirinya dalam perbuatan-perbuatan kecil dan ringan, sedangkan orang yang tidak berakal akan menemukan sifat kufur dirinya hanya dalam hal-hal yang fundamental. Kufur dan iman bukanlah daerah abu-abu yang boleh digunakan untuk menuduh orang lain atau menimbulkan perselisihan satu dengan yang lain. Orang yang menggunakan labelisasi iman dan kafir untuk melakukan hal demikian sebenarnya melakukan perbuatan kafir. Kekufuran dan keimanan adalah landasan seseorang bertindak, apakah keikhlasan atau hanya untuk kepentingan sendiri.

Dalam hal memilih wali, bilamana bapak-bapak mereka atau saudara mereka bertabiat lebih memilih langkah buruk untuk kepentingan egoistik, hendaknya seorang muslim tidak menjadikan mereka sebagai wali karena akan menuntun dirinya menuju kedzaliman. Hendaknya seseorang yang menjadi wali mempunyai akal yang lebih kuat daripada anak walinya. Demikian pula seseorang hendaknya mengangkat wali dari orang yang akalnya lebih kuat.

Cinta dan Jihad

Membangun bentuk hubungan yang keliru dengan orang-orang dalam tingkatan di atasnya akan menyebabkan seseorang terjebak dalam kedzaliman. Dalam bentuk hubungan kecintaan di antara manusia dan hal-hal lain, kesalahan seseorang dalam membangun hubungan akan menjadikan dirinya mengarah pada kefasikan.

Setiap orang beriman harus membina jiwanya untuk mencintai Allah dan Rasulullah SAW sebagai pusat dari kecintaan kepada segala sesuatu. Hal ini hanya dapat terjadi dengan membina jiwanya dengan akhlak al-karimah. Tanpa mempunyai akhlak al-karimah, seseorang tidak mempunyai landasan cinta kepada Allah dan Rasulullah SAW. Besarnya cinta seseorang kepada Allah dan Rasulullah SAW ditentukan kemuliaan akhlak seseorang, dan kemuliaan akhlak seseorang akan terlihat dari kecintaan kepada Allah. Kemuliaan akhlak adalah kemampuan seseorang memahami kehendak Allah dan berbuat sesuai dengan hal itu. Perlu diperhatikan bahwa tidak semua hal yang menyenangkan seseorang adalah kemuliaan akhlak, dan tidak semua kemuliaan akhlak menyenangkan bagi hawa nafsu.

Dengan jiwa yang mencintai Allah dan Rasulullah SAW itu, maka seseorang dapat berjihad di jalan Allah dengan benar.

﴾۴۲﴿قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS At-Taubah : 24)

Jihad di jalan Allah akan dapat dilakukan dengan benar bila seseorang telah membangun kecintaan kepada Allah dan Rasulullah SAW di atas akhlak al-karimah. Tanpa upaya membentuk akhlak al-karimah, jihad di jalan Allah dapat melenceng sejauh-jauhnya dari jalan Allah. Orang-orang khawarij merupakan orang-orang yang keliru dalam memaknai jihad di jalan Allah. Mereka mengangkat senjata kepada para muslimin sendiri atau membunuh orang-orang tanpa alasan yang dibenarkan dengan dalih berjihad. Demikian jihad tidak akan dapat dilakukan dengan benar tanpa membangun akhlak al-karimah.

Bila jihad yang benar di jalan Allah telah tampak bagi seseorang, tidak sah baginya mencintai segala sesuatu melebihi kecintaan kepada Allah, Rasulullah SAW dan jihad di jalan Allah. Hal ini tidak mensyaratkan akhlak al-karimah terbentuk dalam diri seseorang. Bila seseorang melihat orang lain mempunyai akhlak al karimah melakukan jihad di jalan Allah, ia boleh mengikuti jihad itu dan mencintai jihad itu. Hanya saja, seseorang akan lebih mudah mengenali akhlak al karimah bila dirinya mempunyai hasrat membentuk diri dalam akhlak al-karimah, atau dirinya mempunyai akhlak al-karimah. Setidaknya seseorang harus mempunyai keinginan untuk menjadi baik ketika mengikuti jihad, tidak mengikuti jihad berdasarkan kebencian terhadap orang lain atau sesuatu yang tidak bersesuaian dengan dirinya.

Cinta dan Fasik

Hubungan kecintaan seseorang terhadap apa-apa yang ada di sekitarnya dapat menjadikan seseorang terjebak dalam kefasikan. Tanpa membangun kecintaan kepada Allah dan Rasulullah SAW, kecintaan seseorang akan tumbuh tidak terarah. Semua kecintaan itu harus ditumbuhkan atas dasar kecintaan kepada Allah dan Rasulullah SAW serta jihad di jalan-Nya, dan diarahkan untuk hal itu. Bila kecintaan terhadap semesta mereka mengalahkan kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya, keimanan seseorang tidaklah sempurna, dan kecintaan itu akan mengarah pada kefasikan.

Dalam kehidupan dan kegiatan yang dilakukan seseorang, akan tumbuh rasa cinta terhadap sesuatu. Orang-orang yang dekat akan menimbulkan rasa cinta dalam diri seseorang. Bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri dan kaum keluarga akan membangkitkan rasa cinta. Demikian pula harta kekayaan, rumah tempat tinggal, perniagaan yang dilakukan dapat menumbuhkan rasa cinta seseorang kepada benda-benda dan pekerjaan yang dilakukan. Kecintaan terhadap hal-hal demikian merupakan sesuatu yang sewajarnya terjadi. Akan tetapi semua kecintaan itu boleh jadi mengarah pada sesuatu yang keliru berupa kefasikan. Bagi seorang mukmin, harus dibangun pondasi kecintaan berupa kecintaan kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.

﴾۴۱﴿زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS Ali Imran : 14)

dengan pondasi kecintaan kepada Allah dan Rasulullah SAW, maka kecintaan kepada segala yang ada di sekitarnya akan menjadi bekal perjalanan kembali kepada Allah. Tanpa pondasi kecintaan kepada Allah dan Rasulullah SAW, segala kecintaan itu akan justru mengikat seseorang kepada kehidupan duniawi.

Dalam tingkatan praktis, seringkali kecintaan kepada hal-hal yang diinginkan manusia harus ditinggalkan sementara. Ini bukanlah keadaan akhir yang dikehendaki Allah atas manusia, tetapi sekadar untuk mengingatkan manusia terhadap segala kesenangan yang ada di sisi Allah. Bila seseorang lemah dalam mengingat tempat kembali yang baik di sisi Allah, maka ia hendaknya berusaha melupakan kesenangan-kesenangan duniawi yang diinginkannya untuk membangun kesenangan terhadap segala sesuatu dari sisi Allah. Dengan akal yang semakin menguat, suatu saat seseorang akan mengetahui bahwa segala sesuatu yang bersifat duniawi itu juga merupakan pemberian dari sisi Allah. Seringkali Allah mengingatkan hal demikian dengan jelas, dengan mencabut banyak hal duniawi dari seseorang.

Dalam perkembangan jiwa seseorang, akan tumbuh kecintaan terhadap sesuatu mengikuti kecintaan kepada Allah dan Rasulullah SAW. Hal ini akan terjadi bila seseorang telah berhasil menumbuhkan kecintaan kepada Allah dan Rasulullah SAW dengan pertumbuhan akhlak mulia. Yang akan tumbuh terlebih dahulu barangkali kecintaan kepada manusia-manusia yang dekat dengan dirinya, yaitu isteri-isteri, anak-anak, bapak-bapak dan kaum keluarganya. Hal yang diusahakan seseorang juga akan menimbulkan kesenangan dalam dirinya. Bila kecintaan seseorang terhadap segala sesuatu tumbuh dengan mengikuti kecintaannya terhadap Allah dan Rasulullah SAW, maka orang itu akan merasakan manisnya iman.

dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Nabi Muhammad SAW bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ مَنْ كَانَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ» [أخرجه البخاري و مسلم]
Tiga perkara, barangsiapa yang mempunyainya maka ia akan merasakan lezatnya iman; dirinya menjadikan Allah dan Rasul –Nya lebih ia cintai dari segala sesuatu. Dia mencintai seseorang yang kecintaannya tidak didasari kecuali karena Allah. Dan dirinya benci kembali pada kekufuran seperti halnya dia benci dilempar kedalam api neraka”. [HR Bukhari no: 16. Muslim no: 43].

Kelezatan iman ini ditandai dengan tiga karakteristik sekaligus, bukan tumbuh hanya salah satu saja. Pertumbuhannya akan terjadi secara berurut dari kecintaan kepada Allah dan Rasulullah SAW, mencintai orang lain karena kecintaan kepada Allah dan membenci kembali kepada kekufuran sebagaimana kebenciannya dilempar ke neraka. Tanpa kecintaan kepada Allah dan Rasulullah SAW, dua karakteristik yang lain tidak akan tumbuh.

Kecintaan yang tumbuh tanpa kecintaan kepada Allah dapat mengarahkan seseorang pada kefasikan. Bapak-bapak dan kaum kerabat yang lebih mencintai kekufuran tidak boleh dijadikan wali bagi dirinya karena tidak akan tumbuh kecintaan kepada Allah dengan cara tersebut. Perempuan yang menyukai sifat-sifat kufur tidak boleh menjadi isteri kecintaan karena jiwa tidak akan tumbuh mencintai Allah dengan kecintaan terhadap bagian diri yang kufur. Isteri yang kufur akan menjadi media ujian/fitnah bagi para laki-laki shalih yang menjadi suami mereka, dan suami harus membina isterinya itu ke jalan Allah.

Kadangkala tumbuh dalam diri seorang laki-laki terhadap isterinya berupa kecintaan melebihi kecintaan kepada Allah, Rasulullah SAW dan jihad di jalan-Nya. Demikian pula kecintaan kepada harta, perniagaan dan rumah tinggal melebihi pondasi kecintaan yang seharusnya. Hal itu bisa menjadi indikasi kefasikan yang tumbuh dalam diri seseorang. Bila seseorang terlena dengan kecintaan yang menggiringnya pada kefasikan, maka Allah pasti akan mendatangkan perintah keputusan atas dirinya. Orang beriman yang terlena dalam hal itu sebenarnya menunggu keputusan Allah atas dirinya.

Setiap orang beriman harus berusaha memperhatikan jihad yang harus dilakukannya sebagai indikasi kecintaan dirinya kepada Allah dan Rasulullah SAW. Di sisi lain, jihad itu bisa menjadi parameter yang menunjukkan seberapa banyak kefasikan ada dalam dirinya. Tanpa mengenali jihad yang harus dilakukan, seseorang tidak mempunyai indikator untuk mengukur kefasikan diri, dan juga untuk mengukur kecintaannya kepada Allah dan Rasulullah SAW.