Pencarian

Selasa, 29 Maret 2022

Kewajiban Mengajarkan Kitabullah

Allah akan mengajarkan kandungan kitabullah kepada orang-orang yang bertaubat dengan ketakwaan. Kandungan kitabullah yang diberikan Allah kepada seseorang yang dikehendaki-Nya bermanfaat agar orang tersebut tumbuh lebih kuat dalam perjalanannya, dan agar ia dapat memberikan manfaat kepada orang lain. Seseorang yang memperoleh pengajaran dari kitabullah hendaknya menyadari bahwa apa yang diberikan Allah kepada mereka bukanlah hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi hendaknya mereka juga memberikan pengajaran itu bagi orang lain agar mereka mengetahui jalan untuk kembali kepada Allah bersama dirinya sesuai dengan kitabullah.

Orang-orang yang menerima pengajaran kitabullah terikat pada sebuah perjanjian dengan Allah berupa kewajiban untuk menjelaskan kandungan kitabullah kepada manusia dan tidak menyembunyikannya dari manusia. Itu adalah kewajiban yang harus disampaikan oleh orang yang menerima pengajaran kitabullah.

﴾۷۸۱﴿وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ
Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya," lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima (QS Ali Imran : 187)

Kewajiban itu bukanlah hal yang ringan. Jalan untuk kembali kepada Allah akan terlihat dalam pandangan orang yang menerima pengajaran kitabullah, sekaligus terlihat pula keadaan berupa kesalahan dan keburukan di antara kaumnya yang perlu diperbaiki. Memperbaiki kesalahan dan keburukan merupakan tugas yang akan menimbulkan penentangan dari kaum yang diseru.

Seseorang yang harus mengajarkan kitabullah secara prinsip tidak boleh berdamai untuk menerima kesalahan dan keburukan yang terjadi pada masyarakat. Apa yang Allah berikan kepada mereka harus dijelaskan kepada manusia dengan jelas tanpa ada yang disembunyikan baik sebagian atau seluruhnya. Dalam prakteknya, pengajaran itu harus disampaikan dengan cara sebaik-baiknya menghindari timbulnya perbantahan-perbantahan di masyarakat. Sangat penting untuk menyampaikan penjelasan tentang jalan menuju tujuan sebagaimana seruan Rasulullah SAW, dan baru kemudian diikuti dengan menunjukkan kesalahan dan keburukan yang perlu diperbaiki. Mengumbar kesalahan dan keburukan sembarangan akan menimbulkan banyak perbantahan menyerupai orang-orang yang mengikuti kaum musyrikin.

Menunjukkan kesalahan dan keburukan merupakan pekerjaan yang berat. Penentangan terhadap hal ini pasti akan terjadi, walaupun bila telah dilakukan dengan cara sebaik mungkin. Selama tidak ada maksud untuk membuat masalah atau membuat perbantahan, seseorang harus menyampaikan bagian kitabullah yang harus disampaikan sekalipun seluruh manusia di kaumnya menentang. Menyampaikan kandungan kitabullah tanpa ada yang disembunyikan merupakan perjanjian seseorang yang menerima bagian kitabullah dengan Allah yang tidak dapat dibatalkan oleh siapapun.

Sebagian orang memilih berdamai dengan keadaan untuk memperoleh kenyamanan. Ini menyalahi perjanjian dengan Allah. Mereka menyembunyikan sebagian dari kitabullah tidak mengajarkannya kepada manusia, dan melemparkan sebagian kitabullah ke belakang punggung mereka. Lebih buruk lagi, sebagian dari mereka menukar pengajaran kitabullah dengan bayaran dari umat manusia. Amat buruklah penjualan yang mereka lakukan, dan buruk pula yang diterima masyarakat dari orang yang menjual kitabullah demikian.

Penyakit Bagi Pengajar

Seseorang yang menerima bagian kitabullah dan harus mengajarkannya harus memperhatikan keadaan dirinya agar selamat. Ada penyakit umum yang menghampiri orang-orang yang memberikan pengajaran kitabullah kepada orang lain. Kebanggaan dan pujian menjadi godaan bagi orang-orang yang mengajarkan kitabullah. Ada potensi kebanggaan tumbuh pada orang yang memperoleh pengajaran kitabullah dan mengajarkan kitabullah kepada orang lain. Hendaknya orang yang mengajarkan kitabullah menghindari perasaan berbangga terhadap apa-apa yang mereka ajarkan kepada orang lain. Setiap orang harus berusaha mengatasi keadaan demikian, bukan kemudian menghindari kewajiban menyampaikan kitabullah kepada kaumnya.

﴾۸۸۱﴿لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوا وَّيُحِبُّونَ أَن يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُم بِمَفَازَةٍ مِّنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang berbangga dengan apa yang telah mereka berikan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka membawa keselamatan dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih. (QS Ali Imran : 188)

Kebanggaan adalah perasaan lebih unggul dibandingkan dengan orang lain, dan perasaan itu berpotensi menutupi akalnya untuk mengetahui kebaikan yang ada pada orang lain. Hal ini merupakan kejadian umum pada orang-orang yang mengajarkan kitabullah karena kebenaran yang ada pada mereka. Hendaknya orang-orang yang mengajarkan kandungan kitabullah menghindari sikap bangga. Sifat bangga sebenarnya selalu mendatangi orang-orang yang mengajarkan kitabullah. Sebagian takjub dirinya memahami sesuatu, tetapi disertai sikap tidak memperhatikan keadaan umat untuk dapat memberikan hal yang sesuai bagi umatnya dan agar dapat berjamaah bersama lainnya. Sebagian melihat keburukan umatnya tanpa berusaha mengetahui jalan keluarnya dari kitabullah, sedangkan ia berbangga dengan baiknya keadaan dirinya.

Sikap bangga yang tumbuh pada seseorang yang mengajarkan kandungan kitabullah setidaknya akan menutup mereka untuk mengenal kedudukan diri dalam al-jamaah. Manakala seseorang merasa bangga, ia merasa bahwa setiap orang seharusnya mengikuti dirinya tanpa menyadari bahwa Allah pun sebenarnya memberikan fadhilah kepada orang lain dalam warna berbeda. Orang yang mengajarkan kitabullah harus berusaha mengajak orang lain mengikuti uswatun hasanah bersama dirinya, tidak menjadikan dirinya panutan secara mandiri tanpa bersandar pada kedua uswatun hasanah. Ia harus menyadari bahwa orang yang diajari akan memiliki kedudukan tertentu dalam jihad Rasulullah SAW, bisa jadi kedudukan setara dirinya sebagai sahabat, atau mungkin pula justru seharusnya menjadi imam bagi dirinya, atau memang ia harus mengikuti dirinya. Hal ini akan dapat mencegah kebanggaan, dan dapat diketahui manakala seseorang menghilangkan perasaan berbangga dan berusaha menemukan kedudukan diri dalam al-jamaah yang dipimpin Rasulullah SAW.

Alih-alih memperoleh rahmat Allah, sikap bangga dapat menjerumuskan seseorang pada keadaan yang menyebabkan dirinya ditimpa adzab Allah. Kadangkala seseorang merasa senang dengan pujian oleh orang lain karena apa yang diajarkannya. Kadangkala rasa senang itu tetap muncul walaupun ia mengetahui bahwa apa yang diajarkan belum mengubah keadaan dirinya sendiri. Seseorang dapat mendustakan kebenaran yang disampaikan orang lain karena kebanggaannya. Manakala seseorang mengajarkan kitabullah merasa senang dengan pujian orang lain sedangkan ia mengetahui keadaan dirinya belum sebagaimana yang diajarkannya, maka sebenarnya ia berada dalam ancaman adzab Allah. Mendustakan kebenaran dari orang lain karena kebanggaan merupakan keadaan yang lebih buruk dari keadaan senang demikian.

Setiap orang harus berusaha menyandarkan segala pujian dalam urusan demikian kepada Allah melalui Rasulullah SAW. Segenap pujian hanyalah bagi Allah, dan sifat-sifat terpuji itu dilimpahkan kepada Rasulullah SAW. Seseorang akan menerima sifat terpuji itu melalui Rasulullah SAW bila mengikuti beliau SAW, bukan sifat terpuji yang tumbuh dengan sendiri dalam dirinya. Sifat terpuji yang tumbuh sendiri tanpa mencari wasilah kepada Rasulullah SAW tidak akan membuat seseorang memperoleh pengajaran kitabullah kecuali hanya mengikuti kata-kata orang lain. Manakala seseorang menerima pujian karena mengajarkan kitabullah sedangkan ia belum dalam keadaan yang diajarkannya, hendaknya ia mengembalikan pujian itu kepada Allah melalui Rasulullah SAW. Ia harus menyadari bahwa apa-apa yang dipujikan itu sebenarnya hanya kembali melalui Rasulullah SAW tidak melalui dirinya.

Bilamana ia telah mengikuti sebagaimana apa yang diajarkannya, ia harus mengetahui bahwa ia hanya memperoleh bagian melalui Rasulullah SAW, bukan sifatnya sendiri. Kebanggaan seringkali tumbuh manakala seseorang tidak mengetahui sandaran pujian yang diberikan kepadanya. Kadangkala seseorang menyangka bahwa apa yang diberikan Allah kepada dirinya adalah karena seharusnya Allah berbuat demikian kepada dirinya. Ini merupakan kebodohan yang menunjukkan seseorang tidak mempunyai sandaran pujian. Banyak sikap lain yang menunjukkan seseorang tidak bersandar cukup kuat kepada sunnah Rasulullah SAW, baik sikap yang terlihat jelas maupun sikap yang terlihat halus.

Senang dipuji orang lain tanpa berusaha mencari sandaran pujian itu akan membuat seseorang celaka. Orang yang mempunyai sandaran pujian akan menunjukkan kepada orang lain dengan mudah dan tegas bahwa pujian itu bagi Allah melalui Rasulullah SAW. Ketika ia melakukan kesalahan, ia tetap menunjukkan dengan benar ke mana pujian itu harus diarahkan, tidak mengarahkan pujian kepada keburukan dirinya. Orang yang tidak mempunyai sandaran pujian, mungkin ia dapat menunjukkan orang lain sifat terpuji akan tetapi bercampur pula dengan upaya menampakkan kesalahan dirinya sebagai sesuatu yang terpuji. Manakala ia melakukan kesalahan, ia berupaya menjadikan kesalahannya sebagai sesuatu yang terpuji dalam pandangan manusia. Kadangkala seseorang merasa harus memberikan contoh suatu perbuatan yang akan menjadi tauladan, sedangkan perbuatan itu sebenarnya buruk. Hal itu merupakan kesalahan lebih lanjut dari senang pujian. Dengan keadaan demikian itu, pandangan manusia untuk mengikuti hal yang terpuji tercampur baur dengan keburukan. Hal ini akan membuat dirinya, dan manusia lainnya bisa celaka manakala mengikuti.

Kebanggaan dan suka pujian merupakan penyakit bagi orang yang diberi bagian dari kitabullah dan harus menyampaikannya. Batas penyakit itu adalah kebanggaan dan menyukai pujian. Lebih dari itu, mungkin seseorang mengalami kesesatan. Hal ini harus diperhatikan oleh setiap orang yang menerima bagian dari kitabullah dalam menyampaikan pengajaran kepada manusia. Seseorang yang menerima bagian dari kitabullah dan harus menyampaikan kepada orang lain tidak sepenuhnya mendapatkan jaminan keselamatan. Kebanggaan dan senang dipuji akan menghantui amal yang mesti dikerjakan, dan mereka harus berusaha memperoleh keselamatan dari penyakit itu.

Allah melarang manusia untuk menyangka bahwa seseorang yang mengajarkan kitabullah, - tetapi mempunyai kebanggaan dan kesenangan dipuji untuk keadaan yang tidak ada dalam dirinya-, sebagai orang yang selamat. Mereka tidak membawakan keselamatan bagi kaumnya dengan ajaran mereka, bahkan mereka akan diberi adzab yang pedih. Larangan persangkaan ini perlu diperhatikan agar setiap orang berusaha menemukan keselamatan bagi dirinya, tidak terjebak mengikuti orang yang mengajarkan kitabullah tanpa kehati-hatian dalam mengikuti sesuatu yang buruk. Orang yang mengajarkan kitabullah dalam keadaan berbangga dan senang dipuji sebenarnya mencampuradukkan hal yang terpuji dengan sesuatu yang tercela, kemudian menjadikan campuran itu sebagai hal yang terpuji. Banyak hal baik yang diberikan oleh orang yang mengajarkan kitabullah sekalipun dalam keadaan demikian, akan tetapi orang yang mencari pengajaran harus tetap berpegang pada kitabullah tidak sepenuhnya mengikuti semua pendapatnya tanpa menggunakan akal.

Minggu, 27 Maret 2022

Ibadah Kepada Allah

Allah menciptakan manusia dan jin semata-mata hanyalah agar mereka beribadah kepada Allah. Tidak ada tujuan penciptaan lain bagi manusia dan jin kecuali agar mereka menjadi hamba Allah. Manusia dan jin yang tidak melakukan ibadah kepada Allah sebenarnya telah menyimpang dari tujuan penciptaan mereka, dan demikianlah keadaan kebanyakan manusia dalam kehidupan mereka di bumi. Sebagian manusia menghamba kepada hawa nafsu mereka sendiri, sebagian menghamba kepada materi, dan sebagian menghamba kepada Allah dengan penuh keikhlasan.

﴾۶۵﴿وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
﴾۷۵﴿مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ
﴾۸۵﴿إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
(56)Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.(57)Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan.(58)Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh. (QS Adz-Dzariyaat : 56-58)

Ibadah عِبَادَةِ berasal dari kata عِبَدَ yang mempunyai arti melayani. Yang dimaksud dengan ibadah adalah sikap merendahkan hati untuk menjadi pelayan bagi kehendak Allah. Seorang abdi (hamba) Allah adalah seseorang yang memberikan dedikasi kehidupannya untuk melaksanakan kehendak Allah yang menjadi amanah bagi dirinya. Manakala seseorang tidak memberikan dedikasinya untuk melaksanakan kehendak Allah, maka ia bukan termasuk seorang hamba Allah.

Hamba Allah yang sebenarnya adalah hamba yang mengetahui kehendak Allah atas dirinya. Dengan mengetahui kehendak Allah atas dirinya dan melaksanakannya, seseorang dapat mengatakan tanpa keraguan bahwa ia adalah hamba Allah. Tanpa mengetahui kehendak Allah, seseorang tidak akan mempunyai keyakinan untuk mengatakan bahwa dirinya adalah hamba Allah. Boleh jadi amal baik yang dilakukannya bukan sepenuhnya kehendak Allah, atau boleh jadi sebenarnya semua amalnya yang tampak baik hanya dilakukan semata karena keinginannya sendiri. Sebagian orang berbuat untuk keinginan mereka sendiri tetapi mengatakan bahwa mereka adalah hamba Allah.

Orang yang berusaha untuk mengetahui dan melaksanakan kehendak Allah atas dirinya adalah golongan yang berharap untuk menjadi hamba-hamba Allah. Mereka tidak menyalahi tujuan penciptaan mereka. Niscaya Allah akan membimbing mereka untuk menjadi hamba-hamba Allah yang sebenarnya. Akan tetapi seseorang tidak boleh lengah. Syaitan akan selalu berusaha untuk menyimpangkan perjalanan mereka dari jalan Allah. Setiap orang harus berpegang dengan sungguh-sungguh pada firman Allah untuk mengetahui dan melaksanakan kehendak Allah, tidak menyimpang dari jalan yang benar. Seluruh kehendak Allah bagi makhluk telah tertuliskan dalam Alquran tanpa terlewatkan, sehingga seseorang tidak perlu mencari kehendak Allah pada apa-apa yang tidak ada pada Alquran atau justru bertentangan dengan Alquran.

Ibadah mencakup amalan-amalan yang harus dilakukan seseorang hingga amal-amal yang terkait dengan kehidupan duniawi, bukan semata-mata bentuk-bentuk amal yang menjadi syariat saja. Manusia diciptakan untuk menjadi pemakmur bumi, dan pemakmuran bumi merupakan bagian dari jalan ibadah seseorang kepada Allah. Pemakmuran bumi yang dilakukan seseorang untuk ibadahnya tidaklah dimaksudkan agar Allah memperoleh rezeki atau agar Allah memperoleh makanan. Allah tidak menghendaki manusia memberikan rezeki atau memberikan makanan bagi-Nya melalui ibadah seseorang. Sebenarnya para makhluk-lah yang membutuhkan rezeki dan membutuhkan makanan, maka rezeki dan makanan itu akan mudah diberikan manakala ada orang-orang yang menjadikan diri sebagai hamba Allah. Para hamba Allah itu merupakan hamba yang diberi amanah memanifestasikan firman Allah untuk mewujudkan kemakmuran di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Memberi Rezeki, pemilik Kekuatan dan Maha Kokoh.

 

Akidah dan Ibadah

Kemakmuran bumi yang sebenarnya akan mengalir dari Allah melalui para hamba-Nya manakala terbentuk kalimah thayyibah dalam diri mereka. Kalimah thayyibah merupakan pemahaman yang tumbuh dalam diri seorang hamba terhadap kehendak Allah atas dirinya. Kalimah thayyibah itu merupakan bagian dari Alquran yang tumbuh dalam diri seseorang hingga ia mengetahui kehendak Allah dalam kesatuan jamaah bersama hamba-hamba Allah yang lain, walaupun mungkin mempunyai ragam berbeda dengan hamba lainnya. Ciri utama seseorang yang kalimah thayyibahnya tumbuh sempurna adalah tumbuhnya pemahaman terhadap ayat Alquran bagi dirinya sebagai bagian dari perjuangan Rasulullah SAW. Bilamana seseorang tidak mengetahui kedudukannya dalam perjuangan Rasulullah SAW, boleh jadi kalimah thayyibahnya belum sempurna.

Allah memberikan permisalan bagi manusia tentang kalimah thayyibah agar manusia mudah mengingatnya dan mudah memperoleh pengajaran untuk menumbuhkan kalimah thayyibah dalam dirinya. Kalimah thayyibah dimisalkan seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya setiap saat dengan izin tuhannya. Kalimah thayyibah ini merupakan akidah yang harus dipahami oleh setiap orang.

﴾۴۲﴿أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
﴾۵۲﴿تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
﴾۶۲﴿وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِن فَوْقِ الْأَرْضِ مَا لَهَا مِن قَرَارٍ
(24)Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,(25) pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.(26)Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. (QS Ibrahim : 24-26)

Banyak pengajaran yang dapat diperoleh manusia melalui perumpamaan pohon thayyibah. Pohon thayyibah merupakan pohon yang berada di bumi dan mempunyai cabang di langit. Ini merupakan gambaran diri manusia yang memiliki aspek bumi jasadiah dan aspek langit nafs. Demikian kalimah thayyibah dalam diri manusia harus tumbuh menyatu pada dua alam dalam satu diri manusia, yaitu alam bumi jasadiahnya adan alam langit jiwanya. Kalimah thayyibah tidak tumbuh terpisah hanya berupa pengetahuan tentang alam mulkiyah saja atau pengetahuan di alam nafs saja. Tumbuhnya kalimah thayyibah dalam diri seseorang ditandai dengan tumbuhnya kesatuan pengetahuan mulkiyah dan pengetahuan malakutiyah.

Akidah bukanlah semata-mata keyakinan dalam dada. Akidah yang benar merupakan keyakinan ayat-ayat kitabullah dalam dada sekaligus terkait dengan pengetahuan ayat-ayat Allah di alam kauniyah kebumian. Seorang beriman harus menumbuhkan pengetahuan terkait dengan alam kebumian mereka berdasarkan keyakinan terhadap ayat-ayat kitabullah. Boleh jadi proporsi setiap orang dalam pertumbuhan pengetahuan langit dan bumi berbeda-beda, tetapi setiap orang harus menyatukan pengetahuan langit dan bumi mereka. Dengan cara demikian maka kalimah thayyibah akan tumbuh dalam dirinya. Kitabullah itu merupakan bagian cahaya Allah bagi jiwa yang harus dimanfaatkan untuk pertumbuhan manusia di bumi. Demikian wujud akidah bila ditinjau dari sudut kalimah thayyibah.

Bilamana seseorang mengerti kesatuan ayat-ayat kitabullah dengan alam kauniyahnya, ia akan dapat memberikan buah dirinya dengan izin Allah. Untuk memahami kesatuan ayat demikian, setiap orang harus membangun sifat-sifat baik, misalnya ridha menerima ketetapan Allah dalam kehidupan sehari-hari. Kesabaran akan menjadi media untuk memahami kesatuan ayat Allah. Pohon thayyibah akan tumbuh dengan tumbuhnya sifat baik. Bilamana tumbuh, boleh jadi seseorang belum berada dalam keadaan yang diijinkan Allah untuk memberikan buahnya, walaupun telah tumbuh kalimah thayyibah dalam dirinya. Hal ini hendaknya dijadikan motivasi agar ia terus berusaha memahami kehendak Allah secara lebih teliti dengan penuh ketakwaan. Hendaknya ia bermohon kepada Allah dan berusaha untuk memenuhi keadaan yang menjadi media turunnya ijin Allah agar dirinya dapat memberikan buahnya.

Akidah yang Buruk

Akidah yang tumbuh hanya berupa keyakinan terhadap ayat-ayat kitabullah saja tidak sepenuhnya menunjukkan tumbuhnya kalimah thayyibah. Keyakinan itu merupakan bekal yang harus dijadikan pegangan dalam menumbuhkan kalimah thayyibah, tapi tidak menunjukkan tumbuhnya kalimah thayyibah. Dalam beberapa kasus, keyakinan tanpa terhubung aspek kebumian dapat diibaratkan bagaikan pohon yang tercerabut dari bumi menjadi permisalan bagi kalimah khabitsah. Setiap orang hendaknya berusaha untuk menumbuhkan pengetahuan kebumiannya berdasarkan cahaya Allah yang tersebar dalam ayat-ayat kitabullah. Bilamana tumbuh, seseorang kelak akan dapat mengeluarkan buah pohon thayyibah dengan ijin Allah. Bilamana tidak tumbuh, boleh jadi keyakinannya merupakan bagian dari pohon khabitsah. Setiap orang harus berusaha memeriksa akidah masing-masing dengan ketakwaan.

Kaum khawarij merupakan contoh kelompok manusia yang tumbuh bagaikan pohon khabitsah. Mereka menumbuhkan keyakinan hanya berupa doktrin-doktrin yang tidak terhubung dengan alam duniawi mereka. Doktrin akidah mereka tidak mengubah akhlak orang-orang yang mengikuti menjadi mulia tetapi justru menjadi makhluk-makhluk celaka sebagai anjing neraka. Mereka menjadikan keindahan syariat sebagai bahan untuk berbantah-bantahan dengan orang-orang lain, tidak menjadikannya sebagai fasilitas untuk kembali kepada Allah. Rasulullah SAW menjelaskan keindahan dzahir syariat mereka bahkan bila dibandingkan dengan syariat para sahabat r.a, tetapi beliau SAW menggolongkan mereka sebagai kaum yang keluar dari islam. Hal ini di antaranya karena keindahan syariat itu mereka jadikan bahan untuk berbanggaan terhadap yang lain, tidak digunakan sebagaimana tuntunan Rasulullah SAW untuk membangun agama dalam diri mereka.

Akidah yang difirmankan Allah adalah kalimah thayyibah yang diibaratkan sebagaimana pohon thayyibah. Akidah itulah yang akan menjadikan umat islam dapat mengikuti Rasulullah SAW mengubah diri menuju akhlak mulia. Akidah yang benar semacam ini dipotong oleh kaum khawarij digantikan dengan akidah yang mereka rumuskan sendiri. Akidah mereka bersifat sangat elementer namun dikatakan sebagai akidah yang sempurna dan murni. Tentulah ajaran akidah yang benar sebagaimana kalimah thayyibah tidak akan hilang, akan tetapi kebanyakan manusia tidak menyadari bahwa kaum khawarij berusaha mengganti akidah kalimah thayyibah dengan akidah yang mereka buat, dan umat mengikuti mereka mengganti akidah dengan perkataan mereka tanpa menyadarinya. Kerusakan akidah ini sangat besar pengaruhnya bagi umat untuk memiliki akhlak mulia.

Dengan akidah yang buruk, umat islam sulit untuk tegak dengan kokoh di muka bumi. Banyak di antara umat islam tersesat mengikuti keburukan akhlak kaum khawarij membangga-banggakan keindahan syariat mereka untuk menghakimi muslimin lain, sedangkan mereka tidak membangun akhlak mereka menjadi mulia. Karena pengaruh akidah yang buruk, sebagian besar umat islam akan terjangkiti penyakit wahn, yaitu kecintaan kepada dunia dan takut akan kematian. Umat islam menjadi lemah dan tidak dapat tegak karena pengaruh akidah yang mereka buat. Hanya sebagian kecil umat islam akan mengetahui akidah yang semestinya dipegang erat dalam mengikuti Sunnah Rasulullah SAW.


Minggu, 20 Maret 2022

Islam dan Iman Sebagai Tahapan Bertaubat

Manusia diciptakan di bumi untuk menjadi pemakmurnya. Hal ini merupakan amanah yang sangat berat bagi makhluk akan tetapi manusia menyanggupinya. Hal ini tidak masuk akal bagi kebanyakan makhluk, karena manusia diciptakan dari bumi yang mempunyai karakteristik sangat rendah. Walaupun demikian Allah tidaklah mendzalimi sedikitpun terhadap manusia. Allah memberikan jalan bagi manusia untuk memikul amanahnya. Untuk menjadi pemakmur bumi, setiap manusia harus berjuang untuk memperkuat akal hingga menemukan jalan kembali kepada Allah dan dapat berbuat sesuai dengan kehendak Allah, dan dengan demikian ia dapat menjadi pemakmur bumi.

Setiap orang harus berjalan menempuh tahapan-tahapan yang mendekatkan diri kepada Allah. Ditinjau dari keadaan bathin, awal perjalanan seorang manusia kepada Allah dimulai dari sikap berserah diri (islam). Dari keberserahdirian kepada Allah, manusia dapat berharap untuk memperoleh keimanan berupa cahaya dari Allah, sehingga ia termasuk dalam golongan orang beriman. Dari keimanan yang diberikan Allah, akan tumbuh akal yang menuntun seseorang untuk dapat memahami kehendak Allah. Akal yang tumbuh berdasarkan cahaya Allah ini adalah modal untuk memperoleh keyakinan.

﴾۵۱﴿إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (QS Al-Hujuraat : 15)

Seseorang yang akalnya tumbuh karena memperoleh cahaya Allah akan dapat berjuang dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah dengan pengetahuan. Pengetahuan itu adalah pengetahuan kebenaran yang berada di dalam dada tumbuh di hati sesuai dengan tuntunan Alquran dan sunnah nabi. Pengetahuan demikian tidaklah dapat diperoleh hanya dengan mengikuti perkataan orang lain, tetapi benar-benar tumbuh dalam hati yang tulus. Pernyataan orang lain hanya berfungsi untuk memberikan stimulasi tumbuhnya dalam hati. Manakala telah mencukupi kadar pengetahuan dan keyakinannya dalam hati, mereka tumbuh sebagai orang yang tidak merasa ragu-ragu.

Dengan keyakinan demikian, mereka berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Jihad yang demikian merupakan jihad dengan derajat paling utama. Sebagian orang berjihad tanpa pemahaman dengan akalnya tetapi hanya mengikuti hawa nafsu dan pengetahuan yang salah, bahkan kadang-kadang pengetahuan itu hanya berdasarkan logika orang lain. Sebagian orang berjuang untuk membina diri memperoleh pemahaman dan keyakinan yang benar dengan langkah yang benar, maka ini adalah jihad yang sangat baik. Sebagian berjihad dengan pemahaman dan keyakinan yang benar dalam hatinya, maka ini adalah jihad dalam derajat yang paling utama. Dalam hal ini, orang yang berjihad mengikuti hawa nafsu dan pengetahuan yang salah harus berusaha membangun hati mereka sesuai kehendak Allah dengan mengganti jihad yang dilakukan pada jalan yang salah.

Dalam derajat tertentu, orang yang berjihad di jalan Allah dengan keyakinan akan mencapai keadaan sebagai al-mukminun dimana Allah memahat keimanan dalam hati mereka dan hati mereka membenarkan seluruh firman Allah tanpa ada sedikitpun pemahaman yang berselisih dengan kitabullah. Orang yang tidak mempunyai pemahaman, atau mempunyai pemahaman yang berselisih atau bertentangan dengan kitabullah tidak termasuk dalam golongan al-mukminun. Barangkali ada firman Allah yang tidak atau belum dimengerti al-mukminin, tetapi manakala datang keterangan tentang hal itu mereka membenarkan keterangan yang datang. Mereka itu termasuk dalam golongan shadiqin, yaitu orang-orang yang benar keimanan dan pemahaman mereka.

 

Menghindari Kebodohan

Seseorang tidak boleh berjihad dengan mengikuti hawa nafsu. Salah satu pondasi yang perlu dibangun untuk menghindari perjuangan mengikuti hawa nafsu dan pengetahuan yang salah adalah mencari tujuan kehidupan yang mulia, dan menselaraskan kehidupannya dengan tujuan-tujuan mulia dengan menghindari perkataan-perkataan yang keras. Kadangkala seseorang tidak menetapkan tujuan mulia dalam kehidupannya, atau terlupa untuk menselaraskan langkah hidupnya dengan suatu tujuan mulia, maka ia akan mudah dipengaruhi atau bahkan disesatkan dengan kata-kata yang seolah-olah merupakan kebenaran. Maka hendaknya mereka berusaha untuk menetapkan tujuan mulia kehidupan dan menselaraskan langkah mereka untuk tujuan itu.

﴾۹۱﴿وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِن صَوْتِكَ إِنَّ أَنكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
Dan (tetapkanlah) maksud dalam kamu berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (QS Luqman : 19)

Hal yang sering menjadikan orang lalai dari tujuan mulia adalah seruan-seruan yang mengajak pada sesuatu yang tidak selaras dengan kemuliaan. Kadangkala suara itu terlahir dalam diri sendiri karena kesalahan dalam mengenali kemuliaan, atau salah dalam menentukan tujuan dan langkah kehidupan. Kadangkala seruan itu berasal dari orang lain yang mengajak pada tujuan yang bukan merupakan kemuliaan.

Maka hendaknya seseorang berusaha untuk merendahkan suaranya tidak berusaha meninggikan diri dengan perkataan-perkataan yang dibuat-buat, dan berusaha mengenali perkataan-perkataan mulia dan memisahkan dari perkataan buruk yang seolah-olah merupakan perkataan mulia. Perkataan buruk sebenarnya tidak menunjukkan pada suatu kemuliaan walaupun tampak baik dalam pandangan seseorang.

Permisalan perkataan yang terburuk adalah suara keledai. Hal itu menunjuk pada perkataan-perkataan yang diserukan tanpa mempunyai kandungan tujuan mulia. Seringkali suara keledai itu berasal dari orang-orang yang membawa kitab-kitab yang tebal. Dalam Alquran, ahli kitab yang tidak membawakan kemuliaan dari ajaran alkitab dikatakan sebagai keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Demikianlah realitas yang sebenarnya, bahwa setiap perkataan dari kitabullah yang disampaikan seseorang tanpa kandungan maksud menyeru pada kemuliaan akhlak dan tujuan mulia merupakan bagian dari suara keledai. Kadang suara itu hanya berupa kebodohan yang menjadikan pengikutnya menjadi bagaikan keledai, kadang suara itu menggiring manusia menuju kejahatan.

Suara keledai akan dikenali oleh seseorang bila ia menggunakan akalnya, yaitu kecerdasannya untuk mengenali kehendak Allah. Akal yang disebut dalam Alquran bukanlah kecerdasan logika jasadiah, tetapi kecerdasan hati seseorang untuk mengetahui kehendak Allah. Perkataan-perkataan berdasarkan kitabullah dengan tujuan mengajak pada kemuliaan akan dapat dirasakan oleh orang-orang yang menggunakan akalnya. Demikian pula perkataan-perkataan yang disampaikan dengan tujuan buruk untuk merusak akhlak dapat dikenali olehnya walaupun dibuat dengan dalil-dalil kitabullah. Hal ini dapat terjadi bilamana seseorang mempunyai tujuan mulia dalam kehidupannya, sehingga mempunyai timbangan yang dapat menilai perkataan yang mengajak pada kemuliaan atau bukan.

Seringkali suara keledai dibuat untuk mematikan akal pada manusia. Itu adalah suara yang terburuk yang menyeru umat manusia pada kebodohan agar tidak mampu berusaha mengenali kehendak Allah. Dibuat suatu akidah yang membuat manusia tidak mampu memperoleh akal yang dapat tumbuh menuju akhlak mulia, sedangkan perkataan itu dikatakan sebagai akidah yang terbaik. Hasil dari suara keledai yang demikian adalah kelompok manusia yang gemar berbantah-bantahan dan merasa paling benar tanpa mau berpikir untuk kembali pada tujuan kemuliaan akhlak dalam kehidupan. Ibarat membangun, mereka meletakkan satu atau beberapa batu pondasi pada tempatnya, kemudian menyatakan diri bahwa mereka pemilik gedung yang paling baik, dan kemudian mengganggu orang lain dengan material bangunan yang mereka miliki. Ibarat tidak mempunyai gambar rencana gedung, mereka tidak mempunyai tujuan kemuliaan sehingga mudah diombang-ambing dengan kebenaran palsu yang tidak menuntun pada kemuliaan.

 

Syaitan Menghalangi Manusia dari Jalan

Perjalanan kembali kepada Allah bukanlah perjalanan yang mudah. Setiap orang harus berpegang dengan kitabullah agar dapat menempuh perjalanan taubat dengan selamat. Kadangkala terjadi tiupan syaitan yang membuat kesadaran seseorang yang bertaubat menjadi bertentangan dengan kitabullah. Syaitan selalu berusaha meniupkan tipuannya bagi setiap orang yang berusaha bertaubat, oleh karena itu setiap orang harus berpegang pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW untuk memperoleh keselamatan.

﴾۶۳﴿وَمَن يَعْشُ عَن ذِكْرِ الرَّحْمٰنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ
﴾۷۳﴿وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَّبِيلِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُم مُّهْتَدُون
(36)Barangsiapa yang hidup bertentangan dari pengajaran Ar-rahmaan, kami sertakan baginya syaitan maka syaitan itulah yang menjadi teman yang menyertainya.(37) Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk. (QS Az-Zukhruf : 36-37)

Manakala seseorang lebih mempercayai pendapatnya sendiri dibandingkan firman Allah, maka ia akan mudah terjatuh pada tipuan. Bila ia menempuh kehidupan berdasarkan pendapatnya sendiri yang bertentangan dengan kitabullah, Allah akan memberikan kepadanya syaitan yang menjadi teman penyertanya. Setiap orang harus berusaha berpegang pada kitabullah karena kitabullah Alquran itu merupakan pengajaran dari Ar-rahman bagi setiap makhluk yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. Tidak ada seorang insan-pun yang dapat memahami pengajaran Ar-rahman dengan benar seluruhnya selain Rasulullah SAW, karena itu tidak ada perbuatan yang benar manakala bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW.

Ar-rahman adalah tajalli Allah dalam derajat yang tertinggi di atas Arsy, tidak ada tajalli Allah yang lebih tinggi dari asma tersebut. Keseluruhan tajalliat yang lain merupakan bagian dari Ar-rahman. Hanya Rasulullah SAW yang mengenal sepenuhnya tajalliat tersebut, tidak ada makhluk yang lain, sedangkan makhluk lain mengenal tajalliat Allah sebagai bagian dari pengenalan Rasulullah SAW. Tidak ada ajaran lain yang berselisih dengan ajaran Alquran dan sunnah Rasulullah SAW dapat dikatakan sebagai ajaran yang benar. Juga tidak ada seseorang yang menerima ajaran atau wahyu Allah yang bertentangan dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW.

Wahyu dan ajaran yang diterima seseorang dan bertentangan dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW merupakan wahyu dari syaitan. Syaitan berkeinginan menghalang-halangi manusia dari jalan Allah dengan wahyu-wahyu mereka. Wahyu dan ajaran syaitan bagi orang yang bertaubat bukanlah petunjuk yang sepenuhnya bertentangan dengan firman Allah. Bentuk wahyu bagi orang bertaubat seringkali berbeda dengan dorongan syaitan bagi orang kebanyakan. Wahyu syaitan demikian itu akan menunjukkan kepada seseorang yang bertaubat kebenaran-kebenaran dalam firman Allah, namun ditunjukkan secara tidak sempurna disertai dengan selipan-selipan secara tersamar namun membahayakan.

Setiap orang harus berhati-hati terhadap semua bentuk pengajaran dalam hatinya dengan menimbangnya berdasarkan Alquran. Wahyu syaitan bukanlah perkara yang dapat dibedakan dari ajaran Ar-rahman dengan mudah oleh setiap manusia. Orang-orang yang memperoleh wahyu dari syaitan akan memandang diri mereka sebagai orang-orang yang mendapatkan petunjuk Allah karena wahyu itu. Lebih sulit lagi, Allah akan menyertakan syaitan itu sebagai qarin yang memberikan pengajaran bagi dirinya, sehingga orang itu akan menyangka bahwa ia mendapatkan petunjuk secara terus menerus. Setiap orang harus menimbang semua wahyu dan ajaran yang diterima dalam hatinya dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW agar memperoleh keselamatan dalam taubatnya.

Langkah yang perlu ditempuh seseorang yang memperoleh wahyu demikian untuk kembali adalah berpegang sepenuhnya kepada Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Kadang seseorang perlu meninggalkan ajaran yang diterimanya manakala tidak memperoleh ayat Alquran yang benar-benar berbicara tentang hal itu. Seseorang mungkin saja memperoleh wahyu Allah sebagaimana lebah-pun menerima wahyu Allah, akan tetapi tidak semua wahyu benar. Ia harus mengutamakan amr yang disebutkan dalam Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, menyusun pemahaman dan prioritasnya terhadap amr sesuai Alquran dan sunnah Rasulullah, hingga seringkali harus mengabaikan apa-apa yang tidak berkaitan dengan Alquran dalam hubungan yang benar-benar jelas. Mencari jamaah yang benar-benar mengikuti rasulullah SAW akan membantu proses kembali kepada Alquran.

Tujuan dari selipan-selipan syaitan itu adalah menghalangi manusia dari jalan perjuangan yang ditentukan Allah untuk suatu zaman bagi umat manusia. Manusia akan dihalangi dari amr Allah untuk zamannya bagi mereka. Apa yang menjadi jalan perjuangan bagi manusia akan dihindarkan dari mereka oleh syaitan. Kadang umat disibukkan dengan hal-hal yang bukan merupakan jalan perjuangan yang sesungguhnya, kadang seseorang dibiarkan mengerjakan amalnya tanpa menyentuh inti masalah yang menjadi amanah rabb-nya, kadangkala seseorang benar-benar dihalangi untuk dapat mengerjakan amanahnya. Banyak cara dapat digunakan syaitan untuk menghalangi manusia dari jalan-Nya. Dengan cara bermacam itu, syaitan bermaksud menghalangi terwujudnya amr Allah untuk suatu zaman, dan menghalangi manusia dari jalannya kembali kepada Allah.

Selasa, 15 Maret 2022

Keadilan dan Ketakwaan

Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk tegak menjadi saksi bagi Allah secara setimbang. Menjadi saksi Allah merupakan tujuan tertinggi penciptaan setiap manusia sebagai makhluk yang paling sempurna yang diciptakan Allah. Setiap manusia diciptakan untuk mampu menjadi saksi Allah dengan cara yang lebih sempurna dibandingkan dengan makhluk lain selain manusia. Bilamana seorang manusia menempuh jalan kembali kepada Allah, ia akan menjadi makhluk yang bersaksi tentang Allah secara sempurna, namun kebanyakan manusia tidak menempuh jalan itu

Untuk menjadi saksi Allah, setiap orang beriman dituntut untuk mengetahui keadilan dan berbuat dengan adil. Keadilan merupakan timbangan segala sesuatu di sisi Allah. Orang yang berbuat adil adalah orang-orang yang memberikan timbangan sesuatu kepada yang berhak sesuai dengan, atau mendekati kesetimbangan segala sesuatu di sisi Allah.

﴾۸﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang menegakkan (qawwamun) kesaksian bagi Allah dengan setimbang. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berbuat dosa tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Maidah : 8)

Orang-orang yang berbuat adil memperoleh bekal untuk mendekati ketakwaan. Keadilan menjadi pendahulu bagi ketakwaan kepada Allah. Ketakwaan yang sesungguhnya kepada Allah mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada keadilan, karena ketakwaan bisa ditemukan setelah seseorang berbuat adil. Ketakwaan merupakan kedudukan mulia di sisi Allah, di mana seorang manusia yang bertakwa berusaha untuk memahami kehendak Allah atas diri mereka dengan benar, dan kemudian berusaha menjalankan kehendak itu. Bila demikian, boleh jadi Allah akan memberikan bayaan dan Allah memberikan ketakwaan yang sebenarnya kepada orang tersebut.

Keadilan merupakan pendahuluan ketakwaan. Orang yang berusaha mengetahui keadilan dan berbuat adil dapat berharap untuk menemukan ketakwaannya. Seringkali manusia dipengaruhi hawa nafsu berupa rasa suka atau benci terhadap orang lain, dan hal itu mempengaruhi perbuatannya bagi orang lain. Rasa tidak suka terhadap suatu kaum seringkali merusak seseorang dalam melakukan perbuatan yang adil. Hendaknya ia berusaha mengalahkan rasa benci terhadap suatu kaum dan memilih berbuat dengan adil, karena dengan berbuat adil tersebut lebih mendekatkan kepada ketakwaan.

Kerancuan seringkali terjadi pada seseorang, dimana seseorang merasa dirinya bertakwa, sedangkan Allah belum memberikan ketakwaan yang haqq kepada orang itu, dan ia tidak termasuk dalam golongan al-muttaqin. Seseorang dapat mengukur ketakwaan dirinya dengan pengetahuan keadilan di sisi Allah. Tanpa mengetahui keadilan di sisi Allah, maka sangat mungkin perasaan ketakwaan itu hanya mempunyai bobot ringan, yang belum atau tidak memasukkan dirinya dalam golongan al-muttaqin. Seseorang tidak mempunyai hak untuk mengatakan bahwa apa yang ada pada dirinya atau dilakukannya merupakan hal yang sepenuhnya menjadi kehendak Allah, terutama bagi seseorang di luar golongan al-muttaqin. Golongan Al-muttaqin yang telah mengerti keadilan di sisi Allah mungkin dapat mengatakan demikian, walaupun seringkali lebih diwarnai dengan rasa takut daripada mengatakannya.

Ketakwaan dapat diukur berdasarkan kitabullah. Setiap orang harus mengukur dirinya dan mengukur segala sesuatu untuk dirinya dengan kitabullah agar dapat membangun ketakwaan, dan membangun keadilan. Apa-apa yang sesuai dengan kitabullah sangat mungkin merupakan buah ketakwaan, dan segala sesuatu yang bertentangan dengan kitabullah tidak mungkin merupakan buah ketakwaan. Banyak hal-hal yang barangkali tidak terlihat kaitannya dengan kitabullah secara langsung namun merupakan cabang yang terlahir dari ketakwaan, dan banyak hal-hal yang tampak merupakan buah ketakwaan tetapi sebenarnya bukanlah bagian ketakwaan, bahkan menjadi racun bagi seseorang. Kaum khawarij membuat perkataan-perkataan yang indah berdasar kitabullah tapi perkataan itu merupakan racun bagi akidah dalam beribadah kepada Allah. Setiap orang harus mengukur dengan hatinya berdasarkan kitabullah.

Hendaknya setiap orang bertakwa kepada Allah. Ketakwaan ini merupakan bekal yang paling baik bagi manusia. Perbuatan-perbuatan manusia hendaknya diusahakan terlahir dari upaya ketakwaan, termasuk dalam hal melakukan keadilan. Melakukan perbuatan adil tanpa suatu tujuan ketakwaan akan membuat perbuatan itu terhenti tidak mendorong seseorang tumbuh sesuai dengan kehendak Allah. Dengan landasan ketakwaan, maka perbuatan-perbuatan seseorang akan menjadi bekal tumbuhnya jiwa sesuai dengan kehendak Allah. Dengan ketakwaan dan keadilan, seseorang akan tumbuh menjadi saksi Allah yang setimbang.



Keluarga Sebagai Basis Keadilan

Untuk mencapai keadaan tegak sebagai saksi Allah, seseorang diciptakan berpasangan sebagai laki-laki dan perempuan. Allah menjadikan pernikahan sebagai setengah bagian dari agama salah satunya karena pernikahan menjadi sarana bagi sepasang manusia untuk berproses sebagai saksi yang tegak bagi Allah. Seorang laki-laki akan menjadi saksi Allah yang tegak bilamana ia hidup bersama dengan isterinya dan berhasil membangun sakinah bersama-sama.

﴾۴۳﴿الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Kaum laki-laki adalah penegak (qawwamun) di atas kaum wanita, dengan apa-apa yang Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka wanita yang salihah ialah yang tenang lagi memelihara yang ghaib dirinya dengan apa-apa yang Allah pelihara. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS An-Nisaa’ : 34)

Salah satu hal utama yang mendukung tegaknya seorang laki-laki dalam agamanya adalah keshalihan para wanita. Keshalihan para wanita ditunjukkan dengan indikator ketenangan dalam mengikuti suami dan penjagaan terhadap hal ghaib dalam dirinya bagi suaminya. Seorang perempuan yang tidak dapat tenang bersama suaminya atau tidak menjaga hal ghaib dalam dirinya tidak termasuk dalam kategori wanita shalihah sekalipun tampak melakukan banyak ibadah nawafil. Ibadah nawafil seharusnya akan membantu seorang wanita untuk memperoleh ketenangan bersama suaminya dan menjaga hal ghaib dalam dirinya bagi suaminya, tetapi bila seorang perempuan tidak mempunyai sifat demikian, ibadah nawafil yang dilakukannya mungkin tidak memberikan manfaat yang baik.

Tegaknya seorang laki-laki bersama istrinya di hadapan Allah terkait dengan hal ghaib yang harus dipelihara untuk tumbuh memahami kehendak Allah. Hal ghaib ini terdapat dalam nafs wahidah mereka. Nafs seorang perempuan merupakan bagian dari nafs wahidah seorang laki-laki. Nafs perempuan-lah yang membawa bagian duniawi bagi pasangan yang menikah, sedangkan nafs wahidah seorang laki-laki merupakan nafs yang membawa amr Allah. Nafs wahidah laki-laki mempunyai kelebihan berupa akal yang kuat untuk mememahami kehendak Allah. Kedua nafs tersebut harus disatukan dalam suatu pernikahan yang penuh mawaddah dan sakinah. menghindari adanya keresahan ataupun pengkhianatan dan nusyuz dari salah satu atau kedua pihak.

Hal ghaib dalam diri manusia ini tergambar dalam turunan berupa wujud fisik mereka. Seorang perempuan diberi rahim yang menghadirkan sel telur bagi suaminya. Mungkin seorang perempuan tidak mengetahui kehadiran sel telur mereka, akan tetapi mereka dapat mengetahui bahwa mereka mengalami haidh yang menandai siklus kehadiran sel telur. Sel telur merupakan gambaran fisik wujud khazanah duniawi yang dikandung dalam sisi ghaib setiap perempuan. Itu merupakan gambaran bahwa setiap perempuan membawa suatu khazanah duniawi dalam diri ghaib mereka, di mana khazanah itu seharusnya diolah oleh suaminya untuk mereka tumbuh bersama-sama.

Kefahaman seorang laki-laki terhadap khazanah yang dibawa dalam sisi ghaib isterinya merupakan bibit pengenalan seseorang terhadap keadilan di sisi Allah. Keadilan seorang laki-laki bagi isterinya ditunjukkan dengan pengenalannya terhadap khazanah yang ada dalam nafs isterinya. Kadangkala sikap adil itu harus ditunjukkan dalam wujud yang terlihat tidak adil dalam pandangan manusia. Nabi Ibrahim a.s bertindak adil terhadap isterinya siti Hajar r.a dengan menempatkannya di lembah Bakkah, karena keadilan dari sisi Allah menunjukkan bahwa amanah bagi siti Hajar r.a dan Ismail harus hidup di lembah Bakkah yang sangat jauh dari tempat tinggal nabi Ibrahim a.s. Perbuatan beliau a.s merupakan keadilan walaupun terlihat tidak adil dalam pandangan kebanyakan manusia.

Itu merupakan contoh keadilan yang ditunjukkan oleh sang uswatun hasanah. Barangkali tidak semua harus melakukan bentuk keadilan sedemikian, akan tetapi harus dipahami bahwa keadilan merupakan kesetimbangan di sisi Allah yang harus diturunkan seseorang bagi semesta mereka. Dalam hal ini, pernikahan merupakan gerbang bagi pasangan manusia untuk dapat memberikan keadilan.

Para perempuan harus berusaha mengikuti suaminya dengan ketenangan dan menjaga hal ghaib daalam dirinya bagi suaminya. Siti Hajar r.a mengikuti langkah nabi Ibrahim a.s dengan tenang, dan beliau r.a menjaga diri bagi suaminya sekalipun berada di tempat yang jauh. Ketenangan dan penjagaan diri perempuan menjadi kunci keterbukaan bagi mereka untuk menurunkan keadilan kepada masyarakat. Bila seorang perempuan menyerahkan hal ghaib dalam dirinya bagi laki-laki lain, suaminya akan kehilangan khazanah yang harus terlahirkan bagi masyarakat mereka. Bila seorang perempuan tidak mengikuti suaminya dengan tenang, maka suaminya akan terhalang dari masyarakatnya, tidak dapat mengolah dan menurunkan khazanah yang dibawa perempuan itu bagi semesta mereka.

Kadang sepasang suami isteri mengalami kesulitan untuk melahirkan khazanah bagi mereka karena berbagai sebab, walaupun mereka telah berhasil mengetahui urusan Allah bagi mereka. Kesatuan nafs pada umumnya menjadi sumber masalah demikian. Kadangkala sepasang suami-isteri harus memperbaiki keadaan pernikahan mereka, atau kadangkala harus membentuk kesatuan nafs dalam hubungan pernikahan ta’addud sebagai landasan yang mendukung mereka untuk tegak dalam keadilan, tidak dapat dilakukan hanya dengan pernikahan monogami. Kadangkala syaitan merusak salah satu pihak hingga kehilangan kemampuan menyatukan nafs walaupun mereka menginginkan penyatuan itu. Banyak motif kegagalan dalam melahirkan keadilan yang bersumber dari kegagalan penyatuan nafs. Seringkali masalah satu berkelindan dengan masalah lainnya.

Dalam urusan pernikahan ta’addud, harus terpenuhi aspek keadilan. Keadilan yang menjadi parameter perlu atau tidaknya ta’addud adalah pengenalan seseorang terhadap diri mereka dan khazanah pasangannya. Bila tidak ada pengenalan terhadap diri mereka dan pasangannya, maka sebenarnya mereka belum mengenali keadilan. Seorang laki-laki yang adil akan mengenali bentuk kesatuan nafs yang harus dibangun, agar mereka memperoleh landasan untuk melahirkan keadilan. Laki-laki adil juga akan mengenali masalah terkait nafs yang terjadi pada mereka. Dengan keadaan ini, sangat mungkin sepasang suami isteri benar-benar membutuhkan pernikahan ta’addud. Isteri harus berusaha memahami dan mengikuti suaminya dan ini merupakan bentuk ketakwaan seorang isteri melalui suaminya. Manakala Allah menetapkan suatu urusan, ketaatan orang-orang yang terkait dengan kehendak Allah tersebut merupakan ketakwaan.

Tidak banyak orang yang berhasil mengenali diri dan khazanah dalam nafs isterinya, dan tentu lebih sedikit lagi orang yang berhasil menegakkan urusan mereka bagi Allah. Peran perempuan dalam menjadikan suami mereka mampu tegak menjadi saksi bagi Allah akan menjadi kunci terbukanya rahmat Allah bagi semesta mereka. Hal ini tentu tidak akan mudah, dimana syaitan akan mendatangi setiap pihak untuk menggagalkan urusan mereka. Seorang laki-laki akan dipertakuti untuk melaksanakan ta’addud manakala Allah menetapkan demikian. Demikian pula setiap perempuan akan dibuat tidak bisa menerima keadaan mereka. Urusan menegakkan keadilan ini merupakan urusan yang besar dari sisi Allah yang tidak akan dapat terlaksana bila tidak ada kemauan berkorban dari setiap pihak.



Senin, 14 Maret 2022

Membina Diri Sebagai Qawwam

Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk menjadi saksi Allah yang tegak hingga terbentuk kaum yang memperoleh manfaat dari musyahadahnya tentang Allah. Orang beriman hendaknya membina diri hingga menjadi saksi Allah, dan dengan kesaksiannya itu hendaknya ia memberikan manfaat kepada masyarakat. Dengan manfaat yang diberikan kepada masyarakatnya berdasar kesaksiannya tentang Allah, akan tegaklah suatu kaum karena musyahadah dirinya. Dengan demikian, maka ia menjadi seorang qawwam (orang yang menegakkan).

Orang-orang yang menjadi saksi Allah merupakan ar-rijaal, yaitu orang-orang yang berjalan kepada Allah. Tidak semua manusia berjenis kelamin laki-laki (dzakarun) termasuk dalam golongan ar-rijaal (laki-laki) sebagaimana yang dimaksudkan alquran. Ar-rijaal adalah laki-laki yang mempunyai tekad kembali kepada Allah dengan keyakinannya, sehingga ia memahami kehendak-kehendak Allah dan mempunyai kesaksian tentang ilahiyah-Nya. Orang yang berkutat sepenuhnya dengan kepentingan-kepentingan duniawi tidak akan memperoleh kesaksian tentang uluhiyah-Nya. Keadaan sebagai ar-rijal akan diperoleh manakala seseorang memperoleh keterbukaan (al-fath) tentang penciptaan dirinya. Golongan ar-rijaal inilah yang diperintahkan untuk menegakkan kaum dalam kesaksian kepada Allah.


﴾۴۳﴿الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Kaum laki-laki adalah penegak (qawwamun) di atas kaum wanita, dengan apa-apa yang Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, dan dengan apa yang telah dinafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka wanita yang salihah ialah yang tenang lagi memelihara yang ghaib dirinya dengan apa-apa yang Allah pelihara. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS An-Nisaa’ : 34)
Tegaknya suatu kaum di atas kesaksian kepada Allah dapat terjadi melalui dua hal, yaitu berdasarkan fadhilah Allah yang diberikan kepada seorang laki-laki, dan atau karena peran ekonomi yang dapat disumbangkan oleh seorang laki-laki bagi kaumnya. Seorang ulama boleh jadi tidak mempunyai banyak harta yang dapat diberikan kepada kaumnya, akan tetapi ia memiliki fadhilah Allah berupa ilmu yang dapat diberikan kepada umatnya. Seorang pengusaha dapat memberikan peran yang penting bagi masyarakat dengan kemampuan membangkitkan ekonomi masyarakat. Kedua hal tersebut dapat dibina seseorang melalui pernikahan mereka. Seorang laki-laki bisa memperoleh jalan mencari fadhilah Allah dengan memperhatikan isterinya, dan memperoleh kemampuan memberikan nafkah berdasarkan kesuburan isteri baginya.
Seorang ar-rijaal hanya akan mampu tegak dalam musyahadah kepada Allah bagi umatnya (sebagai qawwam) manakala berpasangan dengan wanita yang tepat, yaitu wanita yang shalihah. Yang dimaksud wanita shalihah adalah wanita yang merasa tenang mengikuti suaminya dan menjaga hal ghaib yang ada pada dirinya. Hal ghaib dalam diri seorang perempuan itu merupakan sumber fadhilah Allah bagi mereka, dan kesuburan seorang isteri merupakan sumber nafkah bagi mereka. Bila sepasang suami isteri berhasil membangun pernikahan dengan baik, rumah tangga mereka merupakan sumber kekuatan bagi mereka untuk menegakkan suatu kaum di atas musyahadah kepada Allah.

Membangun Keshalihan Wanita

Ketenangan seorang perempuan dalam mengikuti suami akan terwujud manakala ia memahami suaminya. Bilamana suaminya memperoleh fadhilah Allah, seharusnya isteri mengetahui keadaan itu atau mengujinya karena akan menambahkan ketenangannya dalam mengikuti suaminya. Demikian pula dalam hal harta suami, hendaknya ia menerima nafkah dengan rasa syukur tidak menuntut lebih dari kemampuan suaminya memberikan nafkah. Dengan rezeki yang diperoleh suaminya baik berupa fadhilah Allah ataupun kemampuan memberi nafkah, seorang isteri harus dapat mengikuti suaminya dengan rasa tenang, tidak merongrong dengan penyangkalan dan perbantahan terhadap fadhilah Allah yang diterima suaminya ataupun merongrong dengan nafkah yang kurang.
Syaitan akan berusaha merusak perempuan untuk mengikuti suaminya, hingga seorang isteri akan terpisah dari suaminya. Pada prinsipnya, seorang isteri harus berusaha memahami suaminya dengan hati yang bersih berdasarkan hubungan dan interaksi mereka berdua, tidak mengikuti pihak ketiga yang akan merusak rumah tangga. Hal ini tidak menuntut seorang isteri untuk menutup mata terhadap kekurangan dan kelemahan suaminya, tetapi hal itu tidak boleh menjadikan ketaatannya kepada suami memburuk. Bilamana bisa, ia harus memberikan kebaikan untuk menutup kekurangan suaminya dengan cara yang baik. Menghakimi suami berdasarkan penilaian orang lain merupakan sumber bencana bagi rumah tangga. Syaitan akan memasuki rumah tangga mereka dengan menyertai orang lain untuk menghakimi suaminya.
Membangun keshalihan pada perempuan harus dimulai sebelum pernikahan. Seorang perempuan harus siap untuk mengikuti suaminya dengan tenang dan harus mampu menjaga hal ghaib dalam dirinya bagi suaminya. Kecenderungan untuk menganggap remeh calon suaminya tidak boleh ada atau muncul pada seorang perempuan, karena itu akan mengganggu proses membentuk ketenangan dalam mengikuti suaminya. Demikian pula kegamangan untuk memilih laki-laki lain selain calon suaminya tidak boleh ada, karena itu akan menjadi pintu godaan untuk tidak menjaga hal ghaib yang ada dalam dirinya. Keshalihan itu harus dibangun sejak sebelum pernikahan.
Pertanyaan yang bersifat meremehkan calon suami tidak boleh muncul ataupun disampaikan. Demikian pula pertanyaan tentang kemuliaan martabat calon suaminya ataupun pertanyaan tentang kemampuannya memberi nafkah. Pertanyaan tentang kemampuan memberikan nafkah barangkali masih relevan disampaikan terkait kedewasaan muda-mudi, akan tetapi harus disampaikan dengan cara yang baik tanpa menghakimi. Pertanyaan tentang martabat calon suami dan kemampuan memberi nafkah tidak dapat disampaikan pada calon mempelai dewasa mendahului pernikahan. Hal itu justru akan merusak citra perempuan dalam pandangan calon suaminya, karena alih-alih berkeinginan menjawab, calon suami akan meragukan kemampuan perempuan itu untuk menjadi wanita shalihah bagi dirinya.
Kedua hal tersebut, martabat dan nafkah, sebenarnya merupakan inti proses sepanjang pernikahan sepasang mukminin. Kemampuan memberi nafkah laki-laki beriman seringkali lebih tergantung pada kesuburan seorang isteri daripada upaya suami sendiri. Dengan kemampuan ala kadarnya, seorang mukmin bisa memperoleh keberhasilan duniawi bilamana isterinya subur. Atau sebaliknya, pendidikan tinggi mungkin tidak mengantarkan seorang mukmin untuk memperoleh tempat sesuai pendidikannya. Terkait martabat, fadhilah Allah yang diperoleh seorang laki-laki beriman akan meninggikan martabat mereka di masyarakat bila istrinya shalihah. Bila wanita tidak shalihah, fadhilah Allah itu akan terpendam dalam diri seorang laki-laki. Seorang laki-laki shalih akan mengetahui khazanah yang dikandung isterinya, dan perempuan shalihah akan subur melahirkan hasil duniawi terhadap upaya suaminya dalam mengolah khazanah dirinya.
Dalam hal ta’addud atau pernikahan kedua dan seterusnya, keadaan pernikahan sebelumnya tidak dapat menjadi pegangan baku menilai seseorang. Boleh jadi seseorang mengalami kegagalan dalam suatu pernikahan tetapi bisa berhasil membangun pernikahan dengan yang lain. Kualitas keshalihan kadangkala tidak tampak pada diri seseorang pada suatu pernikahan, dan baru akan tampak pada pernikahan yang lain. Kadangkala masalah seseorang pada suatu pernikahan disebabkan oleh pasangannya, atau bahkan sebenarnya masalah itu disebabkan oleh pihak lain ataupun fitnah syaitan, tetapi tidak terlihat oleh orang lain. Seorang calon suami atau calon isteri dalam pernikahan demikian harus benar-benar berusaha menilai pasangannya berdasarkan pengetahuan yang diperoleh secara langsung, tidak melakukan prejudice serampangan.
Laki-laki harus berusaha mempertimbangkan keadaan calon isterinya dengan baik. Seandainya ia bisa melihat khazanah yang dikandung calon isterinya, hal itu bukan hal satu-satunya yang akan mendukung keberhasilannya dalam menegakkan musyahadah terhadap Allah bagi umatnya. Manakala seorang perempuan terlihat memandang remeh dirinya, atau terlihat kegamangan untuk memilih laki-laki lain, hal itu bisa menjadi masalah besar yang tidak mendukungnya dalam menegakkan musyahadahnya bagi umatnya. Laki-laki harus mempertimbangkan apakah ia dapat memimpin istrinya menegakkan musyahadah mereka kepada Allah bagi umatnya dengan keadaan calon isterinya, tidak hanya berpegang pada pengetahuan khazanah yang dikandung oleh calon isterinya saja.
Kadangkala seseorang memperoleh petunjuk tentang calon suami atau isterinya. Petunjuk itu sangat mungkin bernilai benar bila kedua pihak memperoleh petunjuk. Manakala hanya satu pihak yang memperoleh, boleh jadi petunjuk itu hanya obsesi. Bila petunjuk itu benar, hendaknya pasangan itu berusaha mengikutinya. Pernikahan berdasarkan petunjuk mempunyai bobot kethayyiban yang paling tinggi dibandingkan dengan cara yang lain, hingga kadang-kadang seseorang menemukan jodoh yang diciptakan dari nafs wahidah yang sama. Keingkaran terhadap petunjuk jodoh ini seringkali termasuk dalam perbuatan kufur terhadap nikmat Allah.
Seringkali petunjuk yang benar terlihat tidak sesuai dengan keinginan hawa nafsu, maka keinginan hawa nafsu itu harus dikesampingkan. Bilamana petunjuk itu tidak sesuai dengan parameter keshalihan di antara keduanya, hendaknya mereka mengamati barangkali ada perubahan di antara mereka, atau ada kekeliruan penilaian dari dirinya. Tidak boleh seseorang berharap adanya penggantian atau perubahan petunjuk jodoh. Hal ini tidak berarti menutup kemungkinan adanya perubahan petunjuk jodoh bagi seseorang, karena perubahan jodoh dapat terjadi manakala terjadi perbedaan keshalihan sedemikian hingga merusak perjodohan, misalnya manakala salah seorang murtad dari agamanya.

Pentingnya Menjadi Qawwam

Setiap ar-rijal harus berusaha untuk menjadi seorang qawwam bersama isterinya. Demikian pula setiap perempuan harus berusaha menjadi shalihah bagi suaminya dan membantu menjadikannya seorang qawwam. Manakala suaminya seorang ar-rijal yang mengenal Allah, hendaknya seorang isteri berusaha menjadikan suaminya sebagai seorang qawwam bagi umatnya. Dirinya harus melapangkan hati bagi pemahaman yang diterima suaminya, dan kemudian mengikuti petunjuk yang dipahami suaminya. Perbantahan atau penyangkalan terhadap suami ar-rijal mempunyai bobot kerusakan lebih besar daripada bersuami laki-laki biasa.
Banyak kerusakan yang terjadi manakala seorang ar-rijal tidak berhasil menjadi qawwam di antara umatnya. Secara tersirat Rasulullah SAW menerangkan paket kerusakan yang akan terjadi bilamana ada kegagalan membangun qawwam  dalam sebuah hadits tentang tanda-tanda as-sa’ah.
Rasulullah SAW bersabda :
:مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَقِلَّ الْعِلْمُ وَيَظْهَرَ الْجَهْلُ وَيَظْهَرَ الزِّنَا وَتَكْثُرَ النِّسَاءُ وَيَقِلَّ الرِّجَالُ حَتَّى يَكُونَ لِخَمْسِينَ امْرَأَةً الْقَيِّمُ الْوَاحِدُ
Di antara tanda-tanda as-sa’ah adalah berkurangnya ilmu dan dzahirnya kebodohan, tampak zina dan wanita menjadi banyak, sedangkan lelaki menjadi sedikit, hingga terjadi bagi lima puluh wanita hanya memperoleh satu laki-laki yang menegakkan. (Mutafaqun ‘alaihi).
Fenomena berkurangnya ilmu, mendzahirnya kebodohan, menampaknya zina, sedikitnya ar-rijal dan banyaknya perempuan merupakan fenomena-fenomena yang terkait dengan kegagalan seorang ar-rijal menjadi qawwam di antara umatnya.
Sedikitnya ilmu dapat terjadi karena kegagalan seorang ar-rijal menjadi qawwam. Mungkin terjadi kegagalan dalam mengolah khazanah yang dibawa oleh isterinya karena kegagalan dalam penyatuan nafs mereka, yang menyebabkan ilmu menjadi sedikit. Bilamana seorang ar-rijal berhasil mengetahui khazanah itu, mungkin terjadi kegagalan menyampaikan khazanah itu kepada umatnya karena isteri yang gemar membantah suaminya. Kadangkala syaitan merusak seorang isteri dengan cara yang keji. Dalam kasus demikian, kesuburan isterinya mengalami kerusakan. Mungkin saja kerusakan itu hanya terjadi pada kesuburannya tanpa merusak integritas atau keshalihan seorang perempuan, tetapi tetap menyebabkan kegagalan seorang ar-rijal menjadi qawwam. Akan sedikit orang yang mengetahui dan meyakini ilmu yang terbuka pada ar-rijal tersebut bilamana kesuburan seorang isteri rusak. Dengan sedikitnya orang dari umatnya atau sedikitnya keyakinan dari umatnya terhadap ilmu dari seorang ar-rijal, maka ilmu itu akan menjadi sedikit dan mudah tenggelam sulit ditemukan oleh umatnya.
Mendzahirnya kebodohan juga terkait dengan keadaan di atas. Manakala masyarakat sulit menemukan ilmu, atau tidak mempunyai keyakinan terhadap suatu ilmu, mereka akan mudah ditipu dengan kebodohan-kebodohan yang tampak seperti ilmu. Orang-orang bodoh dengan leluasa menggantikan kedudukan orang-orang yang mempunyai ilmu. Masyarakat akan mudah tergiring untuk mengikuti kebodohan-kebodohan yang dipandang sebagai ilmu. Ini merupakan sumber kerusakan yang besar. Hal minimal yang terjadi dengan tampaknya kebodohan adalah tidak adanya kemajuan dalam berjalan kembali kepada Allah. Yang lebih buruk, mungkin akan terjadi kemunduran dalam beragama atau justru umat tersesat.
Merebaknya zina terjadi berkaitan dengan hilangnya semangat penjagaan diri bagi pasangannya menikah. Manakala masyarakat kehilangan ilmu, mereka akan terjatuh memandang kehidupan mereka hanyalah kehidupan jasmaniah tanpa aspek ghaib yang membuat kehidupan menjadi bernilai. Dengan cara pandang keji, manusia akan mudah terjatuh pada hal-hal yang keji sebagaimana merebaknya zina. Cara pandang masyarakat akan menjadikan mereka seperti perempuan-perempuan yang menuntut kemakmuran duniawi, dan semakin sedikit orang yang menempuh jalan kembali kepada Allah.
Seorang rijal harus berusaha menjadi seorang qawwam bersama keluarganya. Demikian pula seorang isteri harus berusaha menjadikan ar-rijal suaminya berhasil menjadi seorang qawwam, yaitu dengan tenang mengikuti langkah yang ditempuh suaminya manakala suaminya memperoleh pengetahuan untuk melangkah menuju keadaan sebagai seorang qawwam. Perbantahan dan penyangkalan seorang isteri akan menjadi hambatan bagi terbentuknya seorang qawwam di antara masyarakat, dan hal itu akan menimbulkan kerusakan yang besar di antara masyarakat.
Menjadi seorang qawwam merupakan langkah lebih lanjut seseorang menuju Allah setelah pengenalan terhadap penciptaan dirinya. Langkah menuju Allah tidak boleh terhenti pada pengenalan penciptaan diri karena dapat menyeret seseorang kembali kepada kekufuran. Bila dikorelasikan dalam millah nabi Ibrahim a.s, pengenalan diri adalah hijrah menuju tanah haram di lembah bakkah, dan menjadi seorang qawwam adalah membangun bayt dan memakmurkannya. Perjalanan menuju Allah akan sempurna manakala Allah memberikan hadiah mi’raj sebagaimana rasulullah SAW mi’raj ke ufuk yang tertinggi. Hal itu akan terjadi manakala seseorang memakmurkan bayt dirinya.

Sabtu, 05 Maret 2022

Kesesatan dalam Perjalanan Taubat

Allah memberikan petunjuk kepada manusia untuk berjalan pada shirat al-mustaqim. Shirat al-mustaqim merupakan jalan yang paling dekat yang disediakan bagi manusia untuk kembali kepada Allah dengan benar, tidak mengalami celaka hingga kelak memperoleh tempat tinggal di dalam surga yang kudus. Perjalanan setiap manusia kembali kepada Allah merupakan jalan panjang yang sangat berat untuk ditempuh kecuali bagi orang-orang yang dimudahkan Allah untuk menempuhnya.

Kebanyakan manusia tidaklah menempuh jalan kembali kepada Allah tetapi lebih suka mengarahkan pandangan mereka kepada makhluk. Sebagian manusia berkeinginan untuk kembali kepada Allah. Bagi orang-orang yang dimudahkan, mereka kembali kepada Allah dengan selamat dengan menemukan shirat al-mustaqim dan berjalan di atasnya. Namun sebagian di antara orang-orang yang kembali, mereka menemukan kesesatan dalam perjalanan mereka. Kesesatan menimpa sebagian orang-orang yang kembali kepada Allah, sedangkan kemurkaan menimpa orang-orang yang tidak menggunakan akalnya untuk kembali kepada Allah.

Kesesatan seringkali tidak tampak sebagai suatu kejahatan sebelum Allah menampakkannya. Kesesatan seringkali tersembunyi dalam diri seseorang tanpa terlihat oleh orang lain, atau bahkan dirinya sendiri. Kesesatan seringkali hanya berwujud pengetahuan yang keliru, dan hanya akan terlahir manakala Allah berkehendak menampakkan kesalahan pengetahuan itu baik untuk dirinya ataupun untuk umat manusia. Tokoh kesesatan paling utama dalam sejarah ditunjukkan oleh Iblis. Dahulu, Iblis merupakan makhluk yang dekat dengan Allah namun mengalami kesesatan dalam pengetahuannya. Iblis tidak menumbuhkan dirinya sesuai dengan kehendak Allah tetapi mengikuti keinginannya sendiri, karena itu Iblis mengalami kesesatan. Allah kemudian menampakkan kesesatan Iblis melalui perintah bersujud kepada Adam.

Sebagaimana kesesatan dialami oleh Iblis, manusia dapat mengalami kesesatan dalam perjalanannya kembali kepada Allah. Kesesatan itu seringkali tidak tampak bagi dirinya atau orang lain, tersembunyi dalam dirinya tanpa disadari hingga kelak mereka berada di sisi rabb mereka. Barangkali seorang manusia yang tersesat tidak akan membantah Allah secara langsung sebagaimana dahulu Iblis membantah perintah Allah, akan tetapi kesesatan itu akan mewujud setidaknya kelak di sisi Allah, di mana manusia sesat akan berbantah-bantahan tentang kebenaran di hadapan Allah di hari kiamat. Sebenarnya seringkali kesesatan itu ditampakkan Allah sebelum akhir hidupnya agar seseorang memperbaiki, dalam wujud perbuatan membantah kebenaran, tetapi mungkin seseorang melihatnya atau tidak melihatnya. Bila tidak melihatnya, mereka akan berbantah-bantahan terus hingga kelak ketika berada di sisi rabb mereka.

﴾۱۳﴿ثُمَّ إِنَّكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عِندَ رَبِّكُمْ تَخْتَصِمُونَ
Kemudian sesungguhnya kamu pada hari kiamat akan berbantah-bantah di hadapan Tuhanmu. (QS Az-Zumar : 31)

Kesesatan dapat terjadi pada setiap makhluk walaupun ia menjadi makhluk yang dekat dengan Allah. Setiap orang harus bertakwa dengan berpegang teguh pada firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Seseorang yang dekat dengan Allah belum tentu tidak mengalami kesesatan. Segala sesuatu terkait perjalanan kembali kepada Allah harus diukur dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, karena kedua hal itulah yang menjadi jaminan keselamatan perjalanan manusia, tidak dengan yang lain. Seorang yang dekat dengan Allah dapat menunjukkan jalan kembali kepada Allah kepada orang lain, tetapi tidak ada jaminan bahwa yang ditunjukkannya adalah benar. Manakala jalan kembali itu bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, maka jalan itu merupakan kesesatan.

 

Tanda Kesesatan

Gejala yang menandai kesesatan seseorang yang kembali kepada Allah adalah sifat membantah kebenaran. Orang yang tersesat akan membantah dengan hawa nafsunya sendiri walaupun seorang shiddiq mengatakan suatu kebenaran dari sisi Allah. Sifat ini akan terbawa hingga seseorang berada di sisi Allah sebagaimana syaitan dahulu merupakan makhluk yang dekat tetapi sesat. Manakala seseorang yang tersesat sampai pada tempat yang dekat dengan rabb, mereka akan tetap membantah kebenaran di sisi Allah, dan hanya mengikuti kebenaran yang dibangunnya sendiri. Seringkali hal ini menyeret orang lain untuk mengikuti kesesatannya. Kedekatan dengan rabb akan membuka pengetahuan yang sangat banyak, namun kebenaran dan pengetahuan orang sesat bercampur dengan kesalahan dari hawa nafsunya dan dari tipuan syaitan.

Perbantahan oleh orang yang sesat seringkali dilakukan hingga menyangkut kandungan kitabullah. Ketika kebenaran (ash-shidq) suatu ayat dalam kitabullah dibacakan dengan benar, orang yang sesat dapat membantah dengan mengatakan kebenaran itu dari syaitan, dan ia lebih mempercayai kebenaran hawa nafsunya sendiri dengan bersumpah bahwa ia berserah diri kepada Allah dalam kebenaran. Boleh jadi Allah-lah yang menyesatkannya sehingga ia dan orang lain tidak mengetahui kesesatannya. Boleh jadi orang tersebut tertipu oleh syaitan dengan lebih mempercayai dirinya sendiri daripada firman-Nya dalam kitabullah.

﴾۲۳﴿ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن كَذَبَ عَلَى اللَّهِ وَكَذَّبَ بِالصِّدْقِ إِذْ جَاءَهُ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِّلْكَافِرِينَ
Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? Bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir? (QS Az-Zumar : 32)

Bahkan manakala ayat Allah dibacakan, seseorang yang sesat dapat mengatakannya sebagai bacaan yang berasal dari syaitan tanpa mempunyai dasar perkataan yang benar. Hal itu adalah kedustaan yang dibuat-buat terhadap Allah. Dalam tingkatan lebih halus, mereka menjadikan ra’yu mereka sebagai hakim yang lebih tinggi daripada kitabullah. Ada keterkaitan kesalahan dalam aqidah kepada Allah dengan pendustaan yang dilakukannya terhadap kebenaran firman Allah. Kadangkala seseorang kesulitan membedakan tuntutan ketaatan kepada kepada Allah dengan tuntutan ketaatan pada diri sendiri. Mereka tidak meletakkan pengenalan kedudukan dirinya dalam kerangka ketaqwaan kepada Allah, tetapi lebih menjadikan kedudukan diri itu sebagai status di antara masyarakat. Kesalahan ini bisa sangat berbahaya bilamana seseorang kemudian mengikuti tipuan syaitan, sedangkan syaitan selalu mencari kelengahan manusia.

Orang yag berada pada shirat al-mustaqim tidak akan berbantah-bantah tentang kebenaran karena adanya keinginan mengikuti kebenaran. Orang yang berada pada shirat al-mustaqim akan melihat kitab dirinya, bahwa kitab itu sebagai bagian dari Alquran. Ia akan mudah melihat kebenaran bahkan manakala dilihatnya dari orang lain. Sedangkan orang sesat mengikuti hawa nafsu. Hawa nafsu-lah yang akan membuat seseorang melihat dirinya sendiri selalu benar tanpa mempunyai sandaran, atau bersandar tetapi dengan cara yang salah. Hawa nafsu ini seringkali membuat seseorang berbantah-bantahan dengan orang lain karena hanya dapat melihat kebenaran relatif menurut dirinya tidak melihat kebenaran yang ditunjukkan Allah pada selain dirinya.

Sikap membantah kebenaran semacam ini tidak tumbuh tanpa disertai tumbuhnya sifat dari syaitan berupa kesombongan. Ketika seseorang lebih menekankan pengenalan diri sebagai status daripada sarana ketakwaan, sangat mungkin kesombongan akan tumbuh. Menolak kebenaran dan meremehkan orang lain merupakan ciri yang mutlak adanya kesombongan. Kesombongan tidak dapat dilihat dari tampilan kemegahan atau kesederhanaan seseorang, atau bentuk tampilan-tampilan yang lain, tetapi sepenuhnya dapat dilihat dari sikapnya menolak kebenaran dan sikap merendahkan orang lain. Orang yang menolak kebenaran dan merendahkan orang lain adalah orang yang sombong, walaupun tampak sikap sederhana atau sikap yang baik dalam kehidupannya. Itu adalah sifat syaitan yang mengawali tumbuhnya sifat buruk lainnya.

dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُوْنَ ثَوْبُهُ حَسَناً وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قاَلَ: إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan seberat biji debu. Ada seorang yang bertanya, “Sesungguhnya seseorang suka (memakai) baju yang indah, dan alas kaki yang bagus, (apakah ini termasuk sombong?). Rasulullâh bersabda: “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. (HR. Muslim (no. 91))

 

Ash-Shidq Sebagai Tanda Kebenaran

Orang yang berbantah tentang kebenaran (ash-shidq) berada pada keadaan yang buruk dalam tingkatan lebih lanjut daripada tingkatan menolak kebenaran (al-haqq). Iblis merupakan makhluk yag mengetahui banyak realitas kebenaran (al-haqq) tetapi tidak membangun keshidiqan. Ash-shidq merupakan kebenaran yang menjadikan seseorang memiliki sifat-sifat kebaikan sebagaimana yang dikehendaki Allah. Bila seseorang mempunyai sedikit ash-shidq dalam hatinya, ia akan mengenali ash-shidq lainnya yang datang berdasar keshidiqan yang ada. Syaitan akan berusaha mencampur keshidiqan yang dibangun seseorang dengan kebathilan. Bila seseorang keliru dalam membangun ash-shidq dalam dirinya, itu akan mengundang kesalahan yang lain hingga akhlaknya akan tumbuh menjadi buruk dalam pandangan Allah sebagaimana Iblis berakhlak buruk dalam pandangan Allah karena kesalahan dalam membangun ash-shidq. Bila seseorang tidak dapat merasakan ash-shidq, orang itu akan melenceng jauh dari kebaikan.

﴾۳۳﴿وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُولٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Dan orang yang membawa kebenaran dan membenarkan dengannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS Az-Zumar : 33)

Alhaqq dapat mengarahkan seseorang kepada ash-shidq. Seseorang yang mendustakan al-haqq tidak akan bisa membangun keshidiqan, tetapi belum tentu seseorang yang mempunyai pengetahuan alhaqq dapat membangun keshidiqan. Orang yang berhasil membangun keshidiqan akan dapat mengenali keshidiqan yang universal, sedangkan syaitan akan mencampur kesesatan dengan keshidiqan. Seseorang yang tidak membangun keshidiqan yang benar dalam dirinya tidak akan mengenali keshidiqan yang ada di dalam Alquran. Seseorang tidak akan berhasil membina umatnya bila lebih meyakini ilmu yang ada pada dirinya daripada apa yang diajarkan Allah dalam Alquran.

Sebagai contoh, seorang pengusaha yang memperturutkan keinginannya menipu tidak akan menjadi pengusaha yang berhasil karena ia tidak mengetahui dan tidak berjalan selaras dengan hakikat dalam berusaha. Kadangkala syaitan mengajarkan tips dan trik kepada penyembahnya agar sukses dalam kehidupan duniawi dengan sedikit hakikat, tetapi syaitan mencegahnya untuk membangun keshidiqan. Kadangkala iblis melihat seseorang mulai memahami suatu hakikat, kemudian Iblis memelintir ash-shidq yang seharusnya dipahami orang itu. Kerusakan yang ditimbulkan Iblis dalam perkara ini tidak dapat dianggap kecil. Seseorang yang harus membina umat tidak akan berhasil melakukannya tetapi justru terbalik menimbulkan kerusakan yang akan terjadi.

Musyahadah terhadap risalah nabi Muhammad SAW dapat dikenali oleh orang yang berhasil membangun keshidiqan. Hal ini menjadi segel kebenaran yang ditempuh oleh setiap makhluk terutama manusia. Tidak ada kebenaran yang bertentangan atau merusak sunnah Rasulullah SAW, kecuali hanya kebenaran relatif bagi dirinya sendiri tanpa sandaran yang benar. Beberapa orang selamat dari perbantahan tentang kebenaran ketika di sisi Allah dan diijinkan melanjutkan perjalanan ke surga setelah dilakukan hisab dan timbangan, tetapi mereka harus disingkirkan ke neraka ketika mereka berada di telaga Al-kautsar. Ini adalah wujud kegagalan dalam membangun keshidiqan terhadap risalah nabi Muhammad SAW. Segel tertinggi benarnya perjalanan seseorang dalam menuju Allah adalah musyahadah terhadap risalah nabi Muhammad SAW.