Pencarian

Senin, 27 Juni 2022

Menolong Allah

Allah menyeru orang-orang beriman untuk menolong Allah. Barang siapa menolong Allah maka Allah akan menolongnya dan meneguhkan kedudukannya. Hal ini tidak berarti Allah membutuhkan pertolongan dari orang-orang beriman. Firman Allah memberikan petunjuk tentang sebuah kondisi yang ditentukan bagi orang-orang beriman tentang cara yang perlu dilakukan agar Allah memberikan pertolongan kepada mereka dan meneguhkan kedudukan mereka.

﴾۷﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَنصُرُوا اللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS Muhammad : 7)

Kondisi yang ditetapkan Allah bagi orang-orang beriman adalah menolong Allah. Hal ini menuntut kepada setiap orang beriman untuk berusaha memahami kehendak Allah atas diri mereka. Orang yang berbuat atas dasar keinginannya sendiri tidak dikatakan sebagai menolong Allah, baik perbuatan baik apalagi perbuatan buruk. Perbuatan baik tanpa landasan pengetahuan tentang kehendak Allah tidak dikatakan sebagai perbuatan menolong Allah, karena boleh jadi perbuatan demikian tidak sesuai dengan amal yang ditentukan Allah bagi dirinya sesuai dengan ruang dan jamannya. Tentu Allah tidak akan mensia-siakan perbuatan baik setiap makhluk, akan tetapi belum tentu perbuatan baik itu merupakan perbuatan yang masuk dalam kategori perbuatan menolong Allah.

Pertolongan seorang beriman kepada Allah akan dapat dipahaminya melalui firman dan makhluk-Nya. Sebenarnya Allah tidak membutuhkan pertolongan hamba-Nya, dan seorang hamba tidak akan memahami kehendak Allah dengan dirinya sendiri. Seorang mukmin yang berkeinginan menolong Allah harus memperhatikan firman-Nya dan makhluk-Nya yang lain, maka ia akan dapat memahami kehendak Allah sehingga menemukan bentuk pertolongannya bagi Allah. Harus terbentuk kepahaman dalam tiga aspek secara selaras, yaitu pemahaman tentang ayat Alquran, tentang ayat kauniyah, dan tentang ayat Allah dalam dirinya. Hal ini akan menjadi bekal yang membuahkan pertolongan Allah dan Allah memberikan kekokohan pijakan kakinya. Tanpa memahami hal ini, seseorang tidak akan menemukan bentuk pertolongannya kepada Allah.

Allah menciptakan semesta alam wujud berdasarkan hakikat-hakikat dari sisi-Nya dalam suatu kesatuan yang tidak terpisah. Hal ini harus diperhatikan oleh orang-orang beriman. Seorang mukmin tidak boleh berhenti mencari jalannya menolong Allah hanya pada bentuk-bentuk di alam wujud. Manakala menolong seorang manusia misalnya, seorang mukmin harus memperhatikan kebutuhan dasar mulai di alam wujud mulkiyah hingga kebutuhan di alam nafs mereka. Tanpa memperhatikan kesatuan penciptaan, seorang beriman dapat tertipu dalam langkah mereka menolong Allah.

Ketika seorang mukmin menolong aspek duniawi orang lain, boleh jadi orang yang ditolong kemudian celaka karena pertolongan yang diberikan tidak memperhatikan aspek bathiniahnya. Sebaliknya manakala menolong aspek bathin, seorang mukmin harus memperhatikan pula aspek duniawi yang mungkin muncul karena pertolongan yang diberikannya. Dalam keseluruhan upaya tersebut, setiap orang harus berusaha menghubungkan dengan firman Allah. Misalnya ketika seseorang menolong orang lain di alam bathin, ia tidak boleh mencomot suatu petunjuk di hati tanpa mempedulikan dasar pijakan yang jelas dari firman Allah dan kemudian bersikeras bahwa itu petunjuk yang benar, karena petunjuk yang demikian bisa bersifat menggantung.

Menolong Sampai ke Jiwa

Di alam nafs, hal yang paling dibutuhkan seseorang adalah menyatunya nafs dalam langkah selaras dengan firman Allah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Sebagian insan benar-benar membutuhkan pertolongan dalam hal demikian. Sebagian orang yang mengalami keterbukaan Alquran akan terkejut dengan keterbukaannya, dan mungkin akan mengira dirinya tidak dalam keadaan tidak benar. Tidak semua orang dapat membantu, dan hanya orang tertentu yang dapat memberikan bantuan dalam perkara demikian. Manakala seorang mukmin tidak dapat membantu, hendaknya mereka tidak mencela sesuatu yang tidak diketahuinya dari orang-orang demikian karena barangkali orang tersebut keadaannya lebih baik daripada dirinya.

Kadangkala seseorang yang berjalan kepada Allah berada dalam ancaman tipuan syaitan. Manakala seorang mukmin lain mempunyai kewajiban membantu karena kemampuannya, hendaknya ia membantu dengan bersungguh-sungguh memperhatikan atau bahkan dengan meneliti keadaannya. Hendaknya ia tidak memberikan komentar yang tidak berguna bagi orang yang perlu dibantu. Seorang mukmin tidak boleh terjebak bersikap menunggu kejatuhan atau ketergelinciran orang lain yang membutuhkan bantuan untuk berjalan sesuai dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, karena tidak ada gunanya seorang mukmin membuktikan kebenaran dirinya terhadap orang lain. Telah jelas bahwa sandaran kebenaran adalah Rasulullah SAW. Melakukan amar ma’ruf nahy munkar merupakan sikap yang benar, sama sekali orang-orang mukmin tidak perlu berusaha membuktikan kebenaran masing-masing sebaliknya berusaha menemukan kebenaran. Dosa yang dilakukan oleh orang yang berkewajiban membantu lebih besar daripada orang yang tidak dapat memberikan bantuan kepada orang lain.

Kebutuhan makhluk tidak terbatas pada aspek langit saja. Sangat banyak hal duniawi dan hal yang tingkatannya berada di atasnya yang dijadikan kebutuhan bagi para makhluk. Hal ini harus diperhatikan secara integral oleh orang yang berkeinginan menolong Allah. Bila seseorang berusaha melihat masalah secara integral, maka ia akan dapat menemukan jalannya untuk menolong Allah.

Di antara pokok yang menyatukan aspek langit (samawi) dan bumi adalah pernikahan. Pernikahan menjadi setengah bagian dari agama karena ia menyatukan aspek langit dengan pemakmuran aspek bumi yang dapat diturunkan oleh seorang manusia. Bila seseorang menemukan jalan ketakwaannya, dan pernikahannya dalam keadaan baik, maka ia akan diijinkan untuk menurunkan kemakmuran di muka bumi berdasarkan aspek langit yang dikenalinya. Pernikahan yang baik akan membentuk kerajaan-kerajaan di alam mulkiyah bagi orang-orang beriman.

dari ‘Aisyah r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda:
من زوج بنتا توّجه الله يوم القيامة تاج الملوك
Barang siapa menikahkan anak perempuannya maka ia akan menghadap kepada Allah pada hari kiamat dengan mahkota kerajaan-kerajaan. (HR. Ibnu Syahin).

Menikahkan anak perempuan akan mendatangkan mahkota kerajaan-kerajaan bagi orang tua mereka di hari kiamat. Hal itu merupakan wujud yang terbentuk dari fungsi pernikahan anaknya yaitu mewujudkan kerajaan-kerajaan bagi pasangan mukmin-mukminat. Kerajaan tersebut merupakan wujud mulkiyah yang terbentuk dari pengetahuan ilahiyah yang diperoleh oleh pasangan mukmin-mukminat. Manakala orang tua menikahkan anak perempuannya agar muncul pengetahuan ilahiyah dari seseorang dan pengetahuan itu terwujud di alam mulkiyahnya, mereka akan memperoleh mahkota kerajaan-kerajaan. Manakala orang tua menikahkan anak perempuannya untuk kekayaan dunia atau kehormatan, maka ia merusak terwujudnya alam mulkiyah berdasarkan pengetahuan ilahiyah.

Seseorang yang merusak pernikahan atau memisahkan pasangan-pasangan yang menemukan jodohnya, hal itu berimplikasi merusak terwujudnya kemakmuran di alam mulkiyah, dan boleh jadi ia menjadi perpanjangan tangan syaitan dalam urusan yang sangat dipentingkan oleh syaitan yang bertahta di atas ‘arsy mereka. Syaitan sangat menyukai perbuatan demikian. Syaitan sangat berkeinginan merusak pernikahan di antaranya karena hal ini. Bobot perbuatan merusak atau memisahkan keberpasangan di antara mukminin dan mukminat sangat besar dalam pengetahuan iblis besar yang dahulu menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Adam. Nilai bobot pernikahan terhadap agama sangat besar dalam pandangan Allah, sedangkan iblis mengikuti Allah dengan caranya yang terbalik.

Mencintai Kebenaran

Perbuatan menolong Allah tidak dapat dinilai bobotnya berdasarkan besar atau kecilnya suatu perbuatan. Kadangkala sebuah perbuatan kecil mempunyai nilai yang sangat besar karena menolong Allah, dan sebaliknya perbuatan yang terlihat sangat mengagumkan manusia tidak mempunyai bobot yang cukup untuk dinilai sebagai amal baik. Pada masa perang misalnya, sekadar menyampaikan berita yang benar seringkali bernilai jauh lebih besar daripada keberhasilan menghasilkan keuntungan perdagangan. Hal ini terkait dengan pengetahuan tentang kehendak Allah melalui semesta mereka. Apa yang terlihat mengagumkan di mata manusia seringkali dapat musnah tertiup angin bagaikan debu karena tidak mempunyai bobot di mata Allah. Bila seseorang tidak mengetahui atau tidak peduli keadaan ruang dan jamannya, ia tidak akan dapat mengenali amal yang tepat dan bersifat menolong Allah.

﴾۸﴿وَالَّذِينَ كَفَرُوا فَتَعْسًا لَّهُمْ وَأَضَلَّ أَعْمَالَهُمْ
﴾۹﴿ذٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
(8)Dan orang-orang yang kafir, maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menyesatkan amal-amal mereka. (9)Yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Quran) lalu Allah menghapuskan amal-amal mereka. (QS Muhammad : 9)

Orang-orang yang menolak untuk mencari jalan menolong Allah termasuk dalam golongan kafir. Orang-orang demikian akan celaka dan amal-amal mereka akan tersesat karena Allah menyesatkan amal mereka.

Kekufuran tersebut terjadi bukan tanpa suatu sebab. Orang-orang yang mencari jalan kembali kepada Allah akan menyukai apa-apa yang diturunkan Allah kepada mereka, sedangkan orang-orang yang kafir tidak menyukai apa-apa yang diturunkan Allah. Orang-orang yang lebih mencintai hal-hal duniawi dan hawa nafsu mereka lebih dari kecintaan mereka terhadap kebenaran, akan timbul dalam diri mereka perasaan tidak suka kepada apa-apa yang diturunkan Allah kepada mereka. Sebagian orang dalam keadaan setengah-setengah, mereka menyukai kebenaran dan menyukai hal-hal duniawi dan hawa nafsu sekaligus. Hanya orang-orang yang mencintai kebenaran yang akan menyukai segala sesuatu yang diturunkan Allah kepada mereka.

Banyak hijab yang mungkin menutupi seseorang untuk mencintai kebenaran. Kepentingan duniawi, hawa nafsu, kebencian atau kecintaan yang berlebihan terhadap sesuatu atau seseorang dan banyak hal lain dapat menutupi sikap seseorang. Kecintaan terhadap kebenaran hanya dapat benar-benar ditumbuhkan dalam diri seseorang dengan menumbuhkan kecintaan terhadap firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Kecintaan (atau kebencian) terhadap hal-hal lain yang terlihat benar selain terhadap firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW dapat bersifat nisbi, belum tentu menunjukkan tumbuhnya kecintaan yang sebenarnya terhadap kebenaran, atau kadangkala justru menyesatkan. Kadangkala kecintaaan demikian akan berbenturan dengan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW, maka ukuran yang sebenarnya adalah bagaimana seseorang mengikuti firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW.

Firman Allah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW merupakan puncak kebenaran yang dapat dipahami oleh makhluk. Orang yang memahami kebenaran Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW akan mengenali seluruh kebenaran yang pernah diturunkan Allah dalam keadaan aslinya. Secara natur, orang yang mengikuti suatu agama akan mudah untuk memahami Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, akan tetapi banyak hal dapat menghambat pemahaman itu. Banyak bias kebenaran bisa terjadi bila seseorang belum memahami Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, dan syaitan mempunyai banyak celah untuk menyesatkan manusia.

Manakala seseorang tidak menyukai apa-apa yang diturunkan Allah kepada mereka, mereka akan menjadi orang-orang kufur yang tidak akan menemukan jalan untuk menolong Allah. Hal ini berlaku di setiap tingkatan manusia, baik akal mereka, atau pikiran mereka, atau hawa nafsu mereka. Semakin tinggi keadaan mereka yang menolak, semakin besar keburukan yang dapat ditimbulkan. Orang yang menolak kebenaran dengan hawa nafsu mempunyai keburukan yang lebih kecil daripada menolak dengan pikiran, lebih kecil dari orang yang menolak dengan akalnya. Para Iblis menolak kebenaran dengan pikiran dan akal mereka sedangkan mereka tidak mempunyai hawa nafsu. Amal-amal orang yang tidak menyukai apa yang diturunkan Allah kepada mereka akan terhapus, tidak ada pahala bagi mereka dari amal yang diperbuat dan amal-amal mereka akan dilupakan oleh manusia tanpa ada yang memperoleh manfaat darinya.

Rabu, 22 Juni 2022

Syura dan Amr Jami’

Di antara orang-orang beriman, terdapat segolongan orang yang benar-benar beriman yang disebut sebagai al-mu’minuun. Mereka adalah orang-orang beriman kepada Allah dan rasul-Nya yaitu Rasulullah Muhammad SAW, dan mereka mengetahui adanya suatu urusan Allah yang dilimpahkan kepada Rasulullah SAW sebagai suatu urusan bersama yang harus ditunaikan bagi alam semesta, serta mereka ikut terlibat dalam urusan tersebut.

﴾۲۶﴿إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ عَلَىٰ أَمْرٍ جَامِعٍ لَّمْ يَذْهَبُوا حَتَّىٰ يَسْتَأْذِنُوهُ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَأْذِنُونَكَ أُولٰئِكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ فَإِذَا اسْتَأْذَنُوكَ لِبَعْضِ شَأْنِهِمْ فَأْذَن لِّمَن شِئْتَ مِنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمُ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka bersama-sama Rasulullah dalam amr jami’, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sebagian keperluan mereka, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS An-Nuur : 62)

Amr Allah yang dilimpahkan kepada Rasulullah SAW disebut sebagai Amr Jami’. Amr tersebut berlaku dalam setiap jaman bagi seluruh alam semesta, dan setiap orang mempunyai bagian dari amr tersebut. Sebagian orang mengenal amr jami’ untuk jamannya sebagai induk amr untuk dirinya, dan sebagian besar orang tidak mengenal amr bagi dirinya. Orang yang tidak mengenal amr jami’ tersebut tidak termasuk dalam golongan al-mukminuun. Barangkali seseorang telah beriman, tetapi boleh jadi belum mencapai kedudukan sebagai al-mukminun.

Mengenal amr jami’ didahului dengan musyahadah yang sebenarnya, bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. Hal ini dapat dicapai melalui pintu pengenalan terhadap diri sendiri (ma’rifat an-nafs). Musyahadah seseorang yang belum mengenal tujuan penciptaan dirinya merupakan musyahadah permulaan yang harus ditindaklanjuti untuk mengetahui musyahadah yang sebenarnya melalui pengenalan diri. Terdapat reaksi timbal balik dalam setiap aspek pembentuk musyahadah. Seseorang akan lebih mudah memperoleh pengenalan diri dengan berusaha sungguh-sungguh untuk mengenali amr jami’ bagi jamannya, dan amr jami’ akan dikenali lebih luas oleh seseorang ketika mengenal diri. Tanpa berpegang pada amr jami’, seseorang yang berusaha mencari pengenalan diri seringkali harus menempuh perjalanan yang sangat jauh tanpa rambu-rambu yang dapat mengakibatkan kesesatan.

Sabilillah adalah jalannya orang-orang yang bersama dengan Rasulullah SAW menyeru manusia kepada Allah, dan Aljama’ah adalah orang-orang yang bersama dengan Rasulullah SAW dalam amr jami’. Orang-orang yang berjuang dalam amr jami’ adalah orang-orang yang bersama Rasulullah SAW dalam jihad fi sabilillah. Mereka menyeru umat manusia kembali kepada Allah agar urusan mereka dapat terlaksana dengan benar. Musyahadah terhadap risalah beliau SAW akan memperkuat pengetahuan seseorang sehingga lubang kebodohan yang ada dalam diri akan berkurang, kesalahan yang mungkin terjadi dalam menyeru manusia kepada Allah akan berkurang, dan musyahadah itu menambah kekuatannya dalam penyampaian kebenaran.

Musyahadah akan dapat diperkuat bila seseorang berusaha memahami seluruh tuntunan bersesuaian dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW. Pintu pemahaman terhadap pengajaran Rasulullah SAW adalah pengenalan diri. Pengenalan diri adalah pintu. Tidak semua orang yang mengenal diri kemudian berusaha memahami maksud tuntunan Rasulullah SAW sebagaimana yang diinginkan Rasulullah SAW, tetapi kadang hanya mengikuti pemahaman menurut dirinya sendiri. Bila seseorang berusaha memahami maksud Rasulullah SAW, pengetahuannya akan meluas dan/atau memanjang, dan menjadi rinci hingga dapat dijadikan pedoman operasional. Bila mengikuti pemahaman diri, seseorang mungkin memperoleh pengetahuan tetapi hanya berupa potongan pengetahuan yang benar, tidak mempunyai pengetahuan rinci, dan seringkali syaitan membengkokkan pemahamannya dengan cara halus.

Pengenalan terhadap amr jami’ membawa konsekuensi seseorang untuk masuk dalam al-jamaah. Al-jamaah merupakan kumpulan orang-orang yang berjihad fi sabilillah. Salah satu adab seseorang ketika berada dalam al-jamaah adalah tidak meninggalkan amr jami’ tersebut untuk keperluannya sendiri tanpa izin Rasulullah SAW. Mereka menjadi orang-orang yang terikat dalam sabilillah tidak dapat meninggalkannya tanpa ijin Rasulullah SAW. Kadangkala kehidupan mereka terlihat tidak mudah karena tidak bisa menentukan jalan kehidupan yang dipilihnya sendiri, terikat pada suatu amr yang harus dikerjakan.

 

Syura para Mukminin

Amr jami’ mempunyai satu akar yaitu amr Rasulullah SAW. Setiap insan memperoleh bagian dari amr jami dalam wujud yang mungkin berbeda satu sama lain, akan tetapi semuanya mempunyai washilah masing-masing hingga sampai kepada amr Rasulullah SAW. Satu amr dari suatu washilah tertentu akan berjalin dengan dengan amr dari washilah yang lain. Mukmin yang termasuk golongan Al-jamaah harus berusaha memahami dan memberikan bantuan bagi mukmin lain dalam hal yang dibutuhkan melalui suatu syura.

﴾۸۳﴿وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
Dan (bagi) orang-orang yang menjawab seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, urusan mereka dimusyawarahkan di antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (QS As-Syuura : 38)

Syura dalam ayat ini menunjuk pada upaya untuk memberikan pemahaman tentang amr jami’ bagi kaum mukminin sehingga mereka menemukan jalan mengikuti jihad fi sabilillah. Dalam syura, setiap al-mukminun memberikan sudut pandangnya terhadap amr jami’ jamannya bagi kaum mukminin lainnya, dan orang lain mengambil dan/atau mengikuti langkah yang dapat disumbangkan bagi amr tersebut. Dengan demikian, setiap mukmin dapat melihat jalan untuk jihad fi sabilillah untuk ruang dan jamannya.

Syura demikian diperintahkan bagi orang-orang yang menjawab seruan rabb-nya. Seruan itu adalah seruan untuk kembali kepada Allah. Dalam kehidupan manusia di dunia, seseorang dapat terjebak dalam berbagai seruan dari seruan jasadiah untuk memuaskan hasrat badaniah, seruan hawa nafsu untuk memperoleh kedudukan yang terhormat di antara manusia, seruan orang-orang lain yang dianggap suatu kebenaran, hingga seruan rabb agar kembali kepada-Nya dengan memberikan amal-amal shalih bagi orang lain. Syura diperintahkan kepada orang-orang yang menjawab seruan rabb mereka untuk kembali kepada Allah.

Sangat penting diperhatikan bahwa suatu syura seharusnya dapat menghubungkan diri mereka dengan amr jami’. Nilai amr jami’ lebih baik daripada segala urusan yang lain. Kadang suatu amal terlihat hebat di mata manusia, tetapi sebenarnya bernilai bagaikan debu yang mudah tertiup angin. Ketika manusia mengerjakan amal-amal yang hebat tanpa mengetahui kedudukannya dalam suatu jaman, apa yang dikerjakan itu tidak memberikan nilai manfaat yang baik bagi orang lain dan semesta mereka. Sebaliknya suatu amal yang terlihat remeh dapat memberikan manfaat yang sangat besar manakala hal itu merupakan bagian dari amr jami’.

Setiap orang yang memahami bagian jihadnya dari Alquran merupakan bagian dari almukminun pada dasarnya, yaitu orang-orang yang memahami keadaan semesta mereka sesuai dengan kitabullah. Mereka menemukan kesesuaian ayat kauniyah, ayat kitabullah dan ayat-ayat dalam nafs mereka. Akan tetapi masing-masing orang mempunyai kedudukan yang berbeda. Sebagian benar-benar berusaha memahami maksud ajaran Rasulullah SAW, sebagian kemudian terputus mengikuti pemahamannya sendiri. Beberapa insan menjadi washilah bagi yang lain, hingga ada seseorang yang dijadikan oleh rasulullah SAW sebagai mitsal bagi beliau SAW, dan sebagian insan menjadi pelaksana yang berbuat dalam urusan lahiriah untuk pemakmuran bumi. Kaum beriman hendaknya dapat melihat kesatuan amr dalam tatanan yang tepat, yang menjadikan amr mereka terhubung dengan amr jami’.

Sangat penting bagi setiap orang untuk menemukan jalannya terhubung dengan amr jami’ yang menandai bahwa mereka bersama-sama dengan Rasulullah SAW kembali kepada Allah. Sangat banyak orang yang merasa berbuat baik sedangkan mereka berbuat kerusakan, merasa orang yang memperoleh petunjuk sedangkan mereka menghalangi manusia dari sabilillah, dan banyak keadaan yang menipu lainnya. Keadaan orang yang menemukan keterhubungannya dengan amr jami’ adalah keadaan yang lebih aman karena menjadi karakteristik kebersamaan dengan Rasulullah SAW.

Pada umumnya, syura melibatkan interaksi antara satu orang dengan orang lain. Dalam keadaan tertentu, mungkin saja seseorang melakukan syura hanya secara monolog. Ia membagi amr jami’ yang dikenalinya, dan ia mengetahui amr yang menjadi bagian orang lain, tetapi tidak ada orang yang mau mengambil bagian amr dari dirinya. Kadangkala terjadi kekeliruan di masyarakat di mana suatu syura tidak memperoleh jalan kepada amr jami sedangkan orang yang mengetahui amr jami’ tidak diperhatikan oleh kaum mukminin. Boleh jadi syaitan akan membelokkan jalan mereka perlahan-lahan hingga tersesat menuju neraka.

 

Mengenali Amr Jami’

Amr jami’ akan dikenal berdasarkan kemuliaan akhlak yang meliputi keadaan bathin masing-masing orang hingga lahirnya amal-amal perbuatan, serta apa yang ada di antaranya berupa hawa nafsu, pikiran jasadiah dan akal. Banyak amal-amal yang terlihat baik, akan tetapi tidak berdasarkan keikhlasan atau kebaikan dalam hati. Kadang seseorang mengikuti suatu seruan yang dianggap baik tetapi tidak mendidik hawa nafsu, atau tidak membina dirinya untuk menggunakan pikiran atau akalnya. Kadang-kadang terdapat selipan buruk dalam ajaran yang sebenarnya baik. Hal itu tidak akan mengantarkan seseorang untuk mengenal amr jami’ karena Allah tidak akan menerima amalan demikian. Hal itu menjadi amal-amal yang tertolak dari sisi Allah. Setiap orang harus memperhatikan keadaan dirinya agar dapat terhubung kepada amr jami’ Rasulullah SAW.

Dari umul mukminin A’isyah r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang tidak ada padanya urusan (amr) kami maka ia tertolak“. ( HR Bukhari no: 2697. Muslim no: 1718 ).

Barangkali tidak setiap orang mengenali amr jami’ Rasulullah SAW. Amr jami’ merupakan pokok amr dalam agama. Banyak amr yang dapat menjadi pengantar bagi seseorang untuk menemukan amr jami’, dari perbuatan yang sederhana sekadar tersenyum kepada sahabat, hingga berupa amal-amal shalih yang ditentukan Allah. Keseluruhan amal tersebut dapat menjadi pengantar bagi seseorang untuk mengenal amr jami’ hingga menjadi bentuk jihad fi sabilillah selama seseorang mempunyai keikhlasan.

Selain memperhatikan keadaan diri, setiap orang harus berhati-hati terhadap amal-amal yang tidak tersambung dalam mengikuti Rasulullah SAW. Syaitan membuat urusan-urusan bagi manusia yang sebenarnya tidak menghubungkan manusia kepada amr jami’, baik berupa perbuatan-perbuatan yang jelas terlihat kufur maupun perbuatan-perbuatan yang terlihat baik tetapi menyesatkan. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan mengikuti syaitan tidak akan dapat menghubungkan seseorang kepada amr jami’ ataupun jihad fi sabilillah. Perbuatan-perbuatan demikian merupakan perbuatan yang tertolak.

Setiap orang harus memperhatikan keadaan dirinya dan mencari tuntunan dari Rasulullah SAW agar memperoleh pengenalan terhadap amr jami’ dan jihad mereka fi sabilillah. Keadaan jiwa seseorang yang dipenuhi dengan keinginan jasadiah ataupun hawa nafsu akan memburamkan pandangan seseorang terhadap kebenaran dalam mengikuti Rasulullah SAW. Menemukan seseorang yang berbagi (melakukan syura) amr jami’ dan sabilillah yang dikenalinya merupakan kemudahan yang sangat berharga, akan tetapi setiap orang harus tetap memperhatikan tuntunan Rasulullah SAW. Banyak amal-amal terlahir dari bisikan syaitan yang membelokkan seseorang dalam menempuh perjalanan bersama Rasulullah SAW yang mengakibatkan seseorang tertolak dari sisi Allah.

Secara umum, orang yang bersyura mengetahui kedudukan amr orang lain sebagai bagian dari amr jami’ tidak menafikannya. Orang yang tersesat akan mempunyai kecenderungan menafikan amr yang tidak menjadi bagiannya. Setiap orang harus berusaha mengenali orang lain dan memberikan bantuan dalam upaya mereka menyatukan diri dalam amr jami’ dalam segala tingkatannya, baik yang baru bertaubat ataupun yang telah memiliki banyak pengetahuan dan amal. Bila ia tidak mengenali amr orang lain sebagai bagian amr jami’, boleh jadi benar orang lain tidak peduli terhadap amr jami’ atau boleh jadi dirinya sendiri-lah yang disesatkan syaitan. Hal ini harus diperhatikan seseorang agar ia mengenali dorongan syaitan untuk tidak menyatu dalam amr jami’.

Senin, 13 Juni 2022

Kembali Kepada Allah dengan Alquran

 

Setiap manusia diciptakan di bumi untuk menjadi pemakmurnya dengan fadhilah yang diberikan Allah kepadanya. Pemakmuran bumi itu akan benar-benar terwujud hanya bila manusia berusaha kembali kepada Allah. Namun banyak orang yang terlupa dengan tujuan penciptaannya, atau tidak terbentuk iktikad untuk mengetahuinya. Dan banyak manusia kemudian tidak membentuk diri untuk menjadi pemakmur buminya.

Kembali kepada Allah merupakan seruan Rasulullah SAW dan orang-orang yang bersama dengan beliau SAW sebagai cara untuk mewujudkan pemakmuran bumi. Untuk mengikuti seruan dan langkah Rasulullah SAW, seseorang perlu berhijrah ke tanah yang dijanjikan sebagaimana Musa a.s berhijrah ke tanah yang dijanjikan, kemudian mengikuti millah nabi Ibrahim a.s membangun bayt di tanah haram setelah hijrah dilaksanakan. Dengan bayt yang terbangun, maka seseorang harus memberikan pelayanan bagi umat manusia agar kembali kepada Allah.  Dengan amal itu, maka ia dapat berharap mengikuti jalan Rasulullah SAW.

Hal di atas merupakan beberapa langkah yang menjadi gambaran milestone perjalanan manusia yang harus dicapai dalam membina nafs mereka. Semakin lanjut langkah yang ditempuh, semakin besar pemakmuran yang dapat diturunkan bagi buminya. Pemakmuran bumi dengan kembali kepada Allah itu adalah sabil (jalan) yang ditempuh oleh Rasulullah SAW. Semakin lanjut langkah yang ditempuh seseorang, semakin besar potensi pemakmuran yang dapat diturunkan bagi buminya.

﴾۸۰۱﴿قُلْ هٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah: "Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan bashirah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik" (QS Yusuf : 108)

Mengikuti Rasulullah SAW menempuh sabilillah harus dilakukan dengan mengikuti sepenuhnya Alquran, tidak mengikuti pendapat sendiri. Alquran itu adalah bashirah yang nyata yang menuntun langkah seseorang untuk sampai kepada Allah tanpa menyimpang. Seseorang mungkin mempunyai bashirah yang tajam terhadap banyak hal, akan tetapi bila bashirah tersebut tidak terhubung dengan Alquran, maka itu tidak termasuk dalam bashirah yang berguna untuk menempuh jalan Allah mengikuti Rasulullah SAW. Sebaliknya, tanpa penglihatan yang banyak tetapi terbuka makna-makna Alquran yang menuntun seseorang menempuh kehidupannya untuk mengikuti Rasulullah SAW, maka tuntunan Alquran itu merupakan bashirah yang nyata.

Kaum ‘Aad dan tsamud merupakan contoh kaum yang mempunyai pandangan yang tajam. Dengan pandangan tajam itu, syaitan menjadikan mereka kaum yang memandang baik perbuatan-perbuatan mereka, dan syaitan menghalangi mereka dari jalan Allah. Pandangan yang tajam tidak dapat dijadikan pedoman untuk menempuh jalan Allah (sabilillah), kecuali pandangan itu merupakan penjelasan atau clue terhadap Alquran.

﴾۸۳﴿وَعَادًا وَثَمُودَ وَقَد تَّبَيَّنَ لَكُم مِّن مَّسَاكِنِهِمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ فَصَدَّهُمْ عَنِ السَّبِيلِ وَكَانُوا مُسْتَبْصِرِينَ
Dan (juga) kaum 'Aad dan Tsamud, dan sungguh telah nyata bagi kamu dari tempat tinggal mereka. Dan syaitan menjadikan mereka memandang baik perbuatan-perbuatan mereka, lalu ia menghalangi mereka dari jalan (Allah), sedangkan mereka adalah orang-orang berpandangan tajam, (QS Al-Ankabuut : 38)

Di sisi lain, pandangan yang tajam itu dapat menjadi jalan bagi syaitan untuk menjadikan manusia memandang baik perbuatan-perbuatan mereka, lalu pandangan baik itu dijadikan syaitan sebagai sarana untuk menghalangi manusia dari jalan Allah.

Sekiranya perbuatan-perbuatan yang dijadikan indah dalam pandangan mereka itu menghasilkan kebudayaan yang megah, hal itu tidak menunjukkan kebaikan di dalamnya. Kaum ‘Aad dan Tsamud telah menghasilkan peradaban yang terlihat sangat megah di tempat mereka tinggal. Akan tetapi tidak hanya bangunan dan peninggalan yang indah itu yang dibutuhkan oleh manusia. Ada ketimpangan dalam diri manusia manakala mereka tidak dibina sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan Allah.

Ada kekosongan dalam diri manusia yang harus diisi dengan mengikuti ajaran Allah sepenuhnya. Manakala kekosongan itu tidak diisi, maka hal itu akan mendatangkan kehancuran bagi kemajuan fisik yang dibina oleh manusia. Nabi Shalih a.s dan nabi Huud a.s berusaha menyampaikan kekosongan dalam pembinaan manusia yang menjadi umatnya, akan tetapi umatnya mendustakan seruan nabi-nabi tersebut dan hanya mengikuti pandangan mereka sendiri yang sangat tajam. Manakala hal itu terjadi, maka kehancuran akan menanti umat tersebut.


Berpegang Pada Alquran

Pelajaran dari kaum ‘Aad dan Tsamud tidak boleh dilupakan oleh umat manusia, termasuk umat Rasulullah SAW. Di antara umat Rasulullah SAW akan ada orang-orang yang merasa sebagai orang-orang yang memperoleh petunjuk, akan tetapi sebenarnya mereka menjadi perpanjangan tangan syaitan untuk menghalangi manusia dari jalan Allah.

﴾۷۳﴿وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَّبِيلِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُم مُّهْتَدُونَ
Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk. (QS Az-Zukhruf : 37)

Jalan Allah adalah jalan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW bersama orang-orang yang mengikuti beliau. Hal ini harus berusaha difahami dengan benar oleh setiap insan, tidak boleh berhenti dipahami dengan setengah-setengah. Tipuan syaitan yang paling sulit dikenali adalah penggunaan kebenaran secara setengah-setengah. Syaitan yang paling penipu tidak menggunakan kesesatan sebagai alat tipuan mereka, tetapi menggunakan setengah dari kebenaran. Dahulu iblis menggunakan pohon khuldi sebagai alat tipuan kepada Adam. Ini adalah contoh penggunaan setengah kebenaran sebagai alat menipu.

Demikian pula syaitan dapat menggunakan seseorang atau sekelompok manusia untuk menghalangi dari jalan Allah, sedangkan mereka mungkin merasa sebagai kelompok yang menerima petunjuk. Hal ini sangat mungkin terjadi karena syaitan menggunakan tipuan berupa kebenaran setengah. Membuktikan kesalahan kelompok demikian sangat sulit, hanya bisa dilihat dalam kerangka besar ajaran yang meliputinya.

Dalam hal ini, ajaran Rasulullah SAW adalah ajaran sempurna yang tidak dapat digunakan syaitan untuk menipu. Tetapi syaitan dapat menggunakan sebagian dari ajaran untuk menipu. Rasulullah SAW mengajak umat manusia kembali kepada Allah. Langkah di jalan ini meliputi seluruh langkah yang dicontohkan oleh para nabi. Hal ini harus berusaha dipahami secara komprehensif oleh umat yang ingin mengikuti Rasulullah SAW agar tidak dibengkokkan oleh syaitan untuk menghalangi manusia dari jalan Allah.

Syaitan bisa memperkenalkan manusia pada sebagian jalan (sabil) Rasulullah SAW untuk menghalangi bagian jalan (sabil) yang lain. Ini sebagian langkah syaitan dalam menghalangi manusia dari jalan Allah. Misalnya boleh jadi seseorang mencapai tanah yang dijanjikan berupa pengenalan diri, tetapi ia digunakan untuk merusak bayt yang seharusnya dibina, baik bayt dirinya ataupun bayt orang lain yang berpotensi manjadi bayt yang diijinkan Allah untuk berdzikir dan meninggikan asma-Nya. Ketika hal ini terjadi, maka masing-masing pihak akan merasa sebagai orang yang mendapatkan petunjuk, karena semua pihak berada pada bagian dari jalan Rasulullah SAW, sedangkan sebenarnya satu pihak menghalangi yang lain dari jalan Allah karena syaitan menggunakannya.

Masalah ini timbul karena seseorang mengabaikan pengajaran Ar-Rahmaan dalam kitabullah. Pengetahuan sebagian dari jalan Rasulullah SAW tidak menjadikan seseorang tertipu syaitan. Berpaling dari kitabullah-lah yang menjadi penyebabnya. Gejala berpaling ini dapat dilihat dengan keberanian menghukumi bacaan Alquran dengan pendapatnya sendiri ataupun pendapat golongannya. Ketika Alquran menerangkan tentang sesuatu dan seseorang atau sekelompok orang menghukumi bacaan Alquran itu salah atau mungkin salah, maka hal itu mungkin gejala berpaling dari kitabullah, baik berpaling kepada dirinya sendiri atau berpaling kepada orang/hal lain bahkan mungkin kepada syaitan.

Seseorang tidak boleh berhenti belajar memahami Alquran. Hanya Rasulullah SAW yang mengetahui sepenuhnya kandungan Alquran, sedangkan orang lain hanya diberi sebagian dari Alquran, dan ia harus mengerti bahwa orang lain mungkin saja diberi bagian Alquran yang berbeda dari dirinya. Ia harus beramal dengan bagian dirinya, dan membuka diri bagi pengetahuan Alquran yang dibukakan kepada orang lain agar dapat bersinergi dalam Al-jamaah. Merasa telah memahami seluruh kandungan Alquran akan menyebabkan seseorang berhenti berusaha memahami Alquran. Bila seseorang merasa memahami seperti komprehensifitas Rasulullah SAW memahami, ia akan berhenti memahami Alquran. Bila demikian, ia akan dapat dimanfaatkan oleh syaitan untuk menghalangi dari jalan Allah (sabilillah).

Alquran harus dijadikan imam bagi setiap orang, sama sekali tidak boleh dijadikan pendukung pendapatnya. Seseorang harus mengikuti atau setidaknya menimbang setiap bacaan Alquran tanpa pernah mengatakan salah kecuali jelas kesalahannya. Kesalahan dalam pembacaan Alquran harus dapat dibuktikan kesalahannya, tidak boleh hanya menuduh pembacaan yang salah karena tidak sesuai dengan pendapatnya sedangkan Alquran telah mengatakan dengan fasih. Keseluruhan ilmu yang dibutuhkan seseorang untuk kembali kepada Allah ada di dalam Alquran, dan hal ini bisa dipelajari sebagian demi sebagian selama seseorang tidak merasa menjadi pemilik kebenaran.

Tidak sekadar berhenti, kadang syaitan membuat manusia melenceng dari sunnah Rasulullah SAW. Melencengnya langkah seseorang dari millah Ibrahim a.s dan sunnah Rasulullah SAW akan menyebabkan seseorang terjatuh dalam bid’ah. Taubat dan tanggung jawab seseorang dalam hal melencengnya dari langkah kedua uswatun hasanah itu relatif agak berat dari sisi banyaknya pengikut. Seseorang mungkin dapat menyadari kesalahan dan kembali mengikuti Alquran sepenuhnya, tetapi tidak selalu demikian orang yang mengikutinya. Kesadaran itu harus pula diupayakan pada para pengikutnya tidak hanya bagi dirinya sendiri. Tanpa upaya yang sungguh-sungguh, di akhirat kelak para pengikutnya yang tersesat boleh jadi akan menyeretnya kembali ketika dihalau dari alhaudh menuju neraka.

Bid’ah akan menyebabkan dua gejala bersamaan. Ketika seseorang melenceng dari millah Ibrahim a.s maka ia dan pengikutnya akan melenceng dari sunnah Rasulullah SAW. Melencengnya bentuk bayt akan menyerongkan sikap pengikutnya terhadap Alquran, dan sebaliknya. Setiap orang hendaknya dibina agar dapat memahami Alquran dengan akalnya masing-masing, tidak sekadar mengikuti. Mereka masing-masing harus memiliki kesadaran bahwa ada bagian Alquran yang diperuntukkan bagi diri mereka, dan bagian itu adalah amanah Allah yang harus ditunaikan dalam kehidupannya. Satu orang dengan orang lain mungkin mempunyai bagian yang sama dari Alquran, tetapi cara pandang masing-masing seringkali berbeda-beda dan dan saling melengkapi. Harus dimunculkan sikap menghormati Alquran yang dibacakan dengan benar oleh siapapun. Hal ini adalah sasaran utama dalam mengikuti langkah Rasulullah SAW di jalan Allah. Bila hanya sekadar mengikuti, maka para pengikutnya mungkin akan melenceng dan berpaling dari kitabullah, dan itu sangat berpotensi untuk menyeretnya kembali ketika pengusiran dari alhaudh terjadi, sedangkan mungkin ia telah bertaubat dari langkah melenceng dari jalan Rasulullah SAW.

Pemakmuran bumi yang sebenarnya akan terjadi dengan mengikuti jalan Rasulullah SAW, yaitu dengan kembali kepada Allah. Hendaknya setiap orang berusaha mengikuti langkah beliau SAW di sabilillah dengan berpegang teguh kepada Alquran dan memahami dengan sungguh-sungguh.

Kamis, 09 Juni 2022

Berdzikir di Kehidupan Dunia

Agar dapat menjadi mitsal bagi cahaya Allah, setiap laki-laki harus berusaha membina diri sebagai orang-orang yang berdzikir kepada Allah, mendirikan shalat dan memberikan zakat. Upaya membina diri demikian itu akan mendapat banyak godaan yang melalaikan seseorang hingga terlupa dari tujuannya. Di antara godaan yang melalaikan laki-laki adalah perdagangan dan jual beli. Bila seseorang menginginkan dirinya menjadi mitsal bagi cahaya Allah, hendaknya perdagangan dan jual beli tidak melalaikan mereka dari berdzikir kepada Allah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat.

﴾۷۳﴿رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ
laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari berdzikir kepada Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (QS An-Nuur : 37)

Tijarah (perniagaan) menunjukkan upaya seseorang untuk memperoleh keuntungan melalui pergaulan bersama orang-orang lain dengan berdagang atau mengerjakan suatu bidang. Jual beli menunjukkan pertukaran barang atau harta yang dilakukan dengan cara tertentu dengan suatu akad di antara pihak yang menukarkan. Tijarah dan jual beli secara umum mendatangkan keuntungan bagi setiap pihak dimana satu orang memperoleh apa yang dibutuhkan atau diinginkan dengan jasa atau upaya pihak lain. Satu orang dapat mengupayakan dengan lebih baik yang menjadi keahliannya tanpa direpotkan mengupayakan apa yang dibutuhkan, sedangkan ia cukup membeli apa yang dibutuhkan.

Kehidupan di dunia akan selalu menuntut manusia melakukan perniagaan dan jual-beli untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Semakin banyak orang melakukan perniagaan, secara umum semakin banyak jual beli yang dapat dilakukan sehingga ia dapat memperoleh manfaat yang banyak dari orang lain. Akan tetapi tidak setiap keahlian atau pengetahuan memperoleh penghargaan yang sepantasnya dari orang lain. Orang yang mengetahui cara mengupayakan perniagaan yang dihargai tinggi oleh orang lain akan relatif lebih mudah memperoleh keuntungan bagi dirinya, sedangkan sebagian orang lebih memilih memberikan manfaat dirinya bagi orang lain tanpa menjadikan keuntungan dan penghargaan orang lain yang akan diterima dirinya sebagai pertimbangan utama.

Sebagian manusia menghadapkan wajah sepenuhnya kepada Allah untuk melakukan amal-amal shalih yang menjadi amanahnya, sedangkan amal-amal itu mungkin tidak mempunyai penghargaan yang selayaknya dalam pandangan manusia. Dalam hal ini, seseorang yang mengharapkan untuk menjadi mitsal bagi cahaya Allah tidak boleh berpaling memilih amal-amal yang lebih mendatangkan penghargaan manusia  dibandingkan dengan amal yang paling baik memberikan manfaat bagi umat. Ia harus menghadapkan wajahnya untuk mengerjakan amal-amal yang memberikan manfaat paling baik kepada umat manusia, tidak memilih pekerjaan yang hanya lebih menguntungkan dirinya sendiri. Hal itu akan mengantarkannya untuk mengetahui amal-amal shalih yang ditetapkan Allah baginya. Tanpa hal itu, sangat sulit bagi seseorang untuk mengetahui amal-amal shalihnya.

Melupakan Keuntungan Duniawi

Allah akan menguji manusia dalam penghambaannya kepada Allah. Ada orang-orang yang menjadi faqir karena terikat pada jalan Allah (sabilillah). Hal ini tidak menunjukkan bahwa setiap orang yang mencari amal shalihnya akan menjadi fakir, atau setiap orang yang tidak fakir merupakan orang yang tidak mencari amal shalih, tidak demikian. Allah menjadikan orang-orang yang beramal shalih menurut kehendak-Nya. Sebagian orang menemukan amal shalih yang menjadikan kehidupannya di dunia mudah, dan sebagian yang lain menemukan amal shalih yang menjadikannya fakir karena tatacara kehidupan manusia umumnya.

﴾۳۷۲﴿لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat oleh jalan Allah (sabilillah); mereka tidak dapat berusaha di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. (QS Al-Baqarah : 273)

Ayat tersebut terletak dalam rangkaian panjang ayat tentang mengelola harta, yaitu untuk shadaqah dan infaq. Pendahuluan ayat itu adalah tentang infak dan penutup ayatnya juga tentang infak. Infak di jalan Allah adalah hal terbaik yang dapat dilakukan seseorang terhadap hartanya. Infak dilakukan untuk membiayai perjuangan di jalan Allah. Infak sedikit berbeda dengan shadaqah yang dapat diberikan kepada siapa saja yang layak untuk menerimanya. Infak hendaknya diberikan dari bagian harta yang terbaik, sedangkan shadaqah dapat dilakukan dari bagian harta manapun. Di antara kriteria yang berhak menerima infak dari orang-orang beriman adalah orang-orang fakir yang terikat di jalan Allah. Mereka seharusnya diberi infak dari harta yang baik, bukan harta pemberian dalam kriteria shadaqah atau zakat.

Ayat tersebut lebih diperuntukkan bagi orang-orang yang berharap dapat mengelola harta dengan jalan infak. Allah memperkenalkan salah satu kriteria orang yang berhak menerima infak, sedangkan manusia mungkin tidak mengetahuinya. Bagi pemilik harta, menemukan orang yang demikian dan memberinya infak akan mengantarkannya untuk bersentuhan dengan sabilillah. Jalan untuk mengenal sabilillah akan lebih dekat bagi orang yang memberikan infak demikian. Bagi pengelola infak, memberikan infak untuk yang demikian akan mendatangkan manfaat yang besar atau terbesar bagi umat manusia. Orang yang fakir dalam cara demikian itu merupakan orang yang berhak atas infak dari bagian yang baik dari harta manusia.

Ayat tersebut secara tidak langsung bercerita tentang keberadaan orang-orang fakir yang terikat di jalan Allah (sabilillah). Mereka tidak meminta-minta kepada manusia karena kekurangan mereka, kecuali karena kebutuhan yang sangat diperlukan. Ketika mereka meminta, mereka tidak pernah mendesak untuk diberikan kebutuhannya. Ketika mereka diberi mereka akan berterima kasih karena pemberian itu, dan bila mereka tidak diberi mereka tidak akan meninggalkan jejak buruk bagi orang yang menolaknya. Barangkali tidak terlalu penting baginya pemberian seseorang atas permintaan itu, sedangkan yang lebih diharapkannya adalah kesertaan orang yang dimintai infaqnya untuk berjalan mendekati atau menempuh sabilillah.

Sabil mempunyai arti jalan, yaitu jalan terkait terwujudnya sesuatu. Kadang sabil diartikan sebagai sebab. Sabilillah merupakan jalan untuk mewujudkan kehendak Allah bagi manusia di bumi. Allah menyimpan suatu kehendak dalam penciptaan setiap manusia agar mereka menjadi pemakmur bumi. Hal ini tidak selalu bersifat mesianistik, namun ada keterkaitan antara seseorang dengan yang lain, dan seluruhnya terhubung dengan amr Rasulullah SAW dan Alquran. Tidak ada jalan Allah (sabilillah) yang tidak terkait dengan Alquran dan amr Rasulullah SAW. Di jaman sekarang, bentuk sabil itu mungkin terlihat berbeda-beda antara satu dengan yang lain, tetapi sebenarnya menyatu. Ini berbeda dengan jaman Rasulullah SAW dimana seluruh Amr Allah dapat dilihat nyata menyatu pada beliau SAW.

Terikat pada jalan Allah (sabilillah) menunjuk pada komitmen yang kuat untuk tidak meninggalkan perjuangan di jalan Allah. Ada kefahaman yang kuat dalam diri orang-orang demikian tentang jalan kehidupan masyarakat sesuai petunjuk Allah sehingga mereka memperjuangkan dengan sungguh-sungguh tidak ingin meninggalkan jalan itu. Mereka mengetahui bahaya yang menimpa umat manakala mereka meninggalkan kedudukan mereka. Derajat mereka lebih baik daripada ibnu sabil yang bersifat mengikuti orang lain di sabilillah. Kefahaman yang kuat terjadi manakala seseorang mengerti penciptaan dirinya, maka kemudian ia mengerti keadaan masyarakatnya. Sekalipun masyarakat tidak memandang apa yang diperjuangkan, dan barangkali menyuruhnya untuk hidup layaknya yang lain, mereka tidak akan meninggalkan jalan itu kecuali ada yang menunjukkan secara memadai bahwa sabilillah yang dipahaminya salah.

Tanda kefahaman demikian adalah terjadinya kesatuan kefahaman dalam hati mereka terhadap Alquran dan kauniyah semesta mereka bersama-sama. Kadangkala seseorang mencoba menggali Alquran dengan pikirannya sendiri, atau seseorang memahami kauniyah semesta tanpa terkait dengan Alquran, dan kadang seseorang mempunyai keterbukaan hati terhadap segala sesuatu. Upaya tersebut mungkin tidak salah selama tidak berniat yang tidak baik. Akan tetapi syaitan sangat mungkin menyelipkan sisipan yang berbahaya. Menemukan sabil ditandai dengan kefahaman yang selaras dalam tiga hal, yaitu keselarasan ayat secara bersama-sama yaitu ayat di dalam diri, ayat kauniyah pada semesta dan ayat yang ada dalam Alquran dan sunnah Rasulullah SAW.

Mereka tidak dapat berusaha di bumi karena komitmen mereka terhadap jalan Allah yang difahaminya. Barangkali mereka tidak mempunyai sumber penghidupan duniawi, maka boleh jadi mereka mengambil usaha yang paling sedikit meninggalkan kedudukannya di sabilillah sekadar untuk mencukupi kehidupannya. Seandainya dibukakan baginya pilihan kesempatan berniaga untuk keuntungan yang lebih baik dengan meninggalkan sabilillah, mereka memilih tidak menjalaninya karena tanggung jawabnya terhadap sabilillahnya. Mereka tidak dapat mengusahakan kehidupan duniawi yang paling menguntungkan bagi mereka karena sabilillah.

Bagi orang-orang yang tidak mengetahui, mereka akan tampak seperti orang-orang yang kaya. Mereka tampak mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk berusaha dalam niaga dan mendatangkan keuntungan bagi diri mereka di dunia. Mereka tampak berkecukupan dan mereka menjaga harkat diri mereka dengan baik. Seandainya tampak kefakirannya, maka kefakiran itu diketahui bukan dari diri mereka sendiri. Mereka menjadi fakir karena mereka mengetahui jalan Allah (sabilillaah) yang menjadi jalan perjuangan dirinya. Barangkali di jaman Rasulullah SAW dan jaman terang kejayaan islam, orang-orang demikian diketahui pemimpin mereka, atau mereka hanya ada sedikit. Di jaman kegelapan, barangkali orang-orang demikian berjumlah lebih banyak dan akan terlihat bagai orang yang aneh di antara masyarakat umum.

Secara tidak langsung, ayat tersebut menjelaskan keadaan yang mungkin terjadi bagi orang-orang yang ingin membina diri untuk menjadi mitsal bagi cahaya Allah. Bagi mereka, pertimbangan keuntungan duniawi tidak boleh mengalahkan keselamatan umat, apalagi mengalahkan apa yang menjadi kehendak Allah. Mungkin seseorang harus melupakan keinginan terhadap keuntungan duniawi sepenuhnya, dan seterusnya dalam menapaki jalan Allah, tidak berharap bahwa suatu saat kehidupan duniawi mereka akan cerah. Hal ini dapat terbantu bila seseorang berdzikir kepada Allah dengan benar hingga timbul cinta kepada Allah. Sebenarnya kondisi dalam hal itu adalah sebaliknya, yaitu menganggap ringan dunia akan membantu seseorang berdzikir kepada Allah dengan benar. Kedua hal itu akan terwujud secara sinergis dalam diri seseorang.

Allah menetapkan bahwa seorang fakir di jalan Allah menjadi salah seorang yang bisa menerima infak dari bagian yang baik harta seseorang. Hal ini tidak boleh menjadi alasan untuk menarik infak secara paksa dari umat. Bila seseorang mengetahui sabilillah bagi dirinya, ia harus terikat pada sabilillah itu tidak mencari keuntungan dunia dengan bebas meninggalkan sabilillah, dan tidak meminta kepada orang lain dengan paksaan.

Senin, 06 Juni 2022

Menyatukan Yang Terserak

Dalam perjalanan untuk mengenal Allah, manusia diperintahkan untuk membina bait bagi dirinya, yaitu bait yang diijinkan Allah untuk berdzikir dan meninggikan asma Allah di dalamnya. Bait merupakan sasaran yang harus dicapai dalam mengikuti millah Ibrahim a.s.

Nabi Ibrahim a.s memberikan tauladan bagi manusia langkah membangun bayt bersama keluarganya. Bayt merupakan wujud manifestasi kecintaan seseorang kepada Allah dengan membina diri dalam hubungan sosial sebagai bayangan dari sikap ubudiyah yang ada dalam hati. Kecintaan kepada Allah dalam sikap ubudiyah hati harus dimanifestasikan dalam kecintaan kepada makhluk lain melalui terbentuknya bayt bersama keluarganya, sehingga kecintaan itu tidak hanya tersimpan dalam hati. Dengan manifestasi rasa cinta kepada Allah dalam hubungan sosial, maka seseorang akan dapat memahami dengan benar kehendak-kehendak Allah, tidak hanya berupa sikap dalam hati saja yang kadang-kadang sebenarnya hanya merupakan bayang-bayang dan ilusi mencintai Allah. Iblis merasa merindukan Allah tetapi tidak mau memahami kehendak-Nya.

Menyelisihi millah Ibrahim a.s merupakan bid’ah dalam tingkatan kedua setelah bid’ah menyelisihi Alquran dan sunnah yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Orang yang menjadikan sesuatu selain Alquran dan sunnah Rasulullah SAW sebagai sumber utama agamanya, menjadikannya setara dengan atau lebih utama dari Alquran dan sunnah, maka orang tersebut telah melakukan bid’ah. Demikian pula orang yang membina bayt yang menyelisihi millah Ibrahim a.s berarti telah melakukan bid’ah. Boleh jadi orang-orang yang melakukan bid’ah dapat berjalan hingga ke surga, tetapi sejauh-jauhnya ketika tiba di haudh, mereka akan dihalau menuju neraka.

Manusia jaman ini banyak yang menjadikan gaduh masalah bid’ah, tetapi dapat diibaratkan bagaikan anak-anak sekolah yang mempermasalahkan kesalahan tesis seorang dosen. Mereka tidak mengetahui tujuan millah Ibrahim a.s, dan/atau sunnah Rasulullah SAW menuju al-haudh, dan tidak mengetahui implementasi amaliah yang terkait dengan millah dan sunnah tersebut, kemudian mempermasalahkan banyak hal sebagai masalah bid’ah. Hal ini tidaklah berdasar. Masalah bid’ah terjadi manakala seseorang tiba pada sebuah tahapan tertentu yang berselisih dengan tujuan millah Ibrahim a.s yaitu membentuk bayt, atau menjadi orang yang mengetahui jalan ke surga tetapi berselisih dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Sebagai pembanding, Iblis mengetahui jalan ke surga tetapi tidak mengerti kehendak Allah. Keadaan seseorang yang melakukan bid’ah berada pada tahap perjalanan sunnah yang lebih lanjut daripada kebanyakan manusia yang meributkan masalah bid’ah. Sayangnya ahli bid’ah tidak teliti menempuh perjalanan mereka.

Bayt merupakan kumpulan penyatuan nafs wahidah bersama dengan bagian-bagian dirinya. Manakala seseorang mengenal nafs wahidah dirinya, ia akan mengetahui nafs-nafs yang menjadi bagian dirinya berupa pasangan-pasangannya dan jalinan al-arham yang menjadi kedudukan dirinya di antara al-jamaah lainnya. Bila ia berusaha menyatukan bagian-bagian dirinya, ia dapat mengharapkan terbentuknya bayt yang diijinkan Allah untuk berdzikir dan meninggikan asma-Nya.

Nusyuz ; Masalah Dalam Penyatuan

Salah satu hal yang menghambat terbentuknya bayt adalah masalah nusyuz. Nusyuz dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Bagi perempuan, nusyuz mempunyai batasan yang jelas yaitu manakala seorang perempuan tidak dapat sejalan dengan keshalihan suaminya. Bagi laki-laki, persoalan nusyuz perlu dilihat dengan akal yang lebih kuat. Terjadinya nusyuz pada laki-laki akan menyesatkan seseorang pada masalah bid’ah.


﴾۸۲۱﴿وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنفُسُ الشُّحَّ وَإِن تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan ishlah yang sebenar-benarnya, dan ishlah itu lebih baik (bagi mereka) sedangkan nafs-nafs mereka akan menjadi kekurangan. Dan jika kamu berbuat ihsan dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS An-Nisaa’ : 128)

Seorang isteri dapat merasakan munculnya nusyuz atau keberpalingan pada diri suaminya, terutama isteri yang bersih hatinya. Nusyuznya seorang laki-laki tidak sepenuhnya ditandai dengan perhatian atau ketertarikannya pada perempuan lain. Tidak setiap laki-laki yang memperhatikan perempuan lain berarti melakukan nusyuz. Hal ini harus diperhatikan oleh perempuan. Nusyuznya seorang laki-laki ditandai dengan kurangnya atau berkurangnya perhatian terhadap urusan Allah dalam urusan bersama istrinya. Seorang suami berkewajiban untuk mensejahterakan isteri dengan melaksanakan urusan-urusan Allah yang berkaitan dengan kebersamaan mereka. Manakala seorang suami tidak memperhatikan hal tersebut, boleh jadi ia terjatuh pada sebuah nusyuz.

Nusyuz dan sikap tidak acuh seorang suami disebabkan oleh masalah kurangnya kesesuaian langkah kehidupan di antara suami dan isteri. Persoalan tersebut dapat dikurangi atau diatasi dengan membuat ishlah dalam langkah bersama menempuh kehidupan. Ishlah merupakan langkah yang dilakukan antara satu pihak dengan pihak yang lain untuk mencapai kebersamaan dan kebersesuaian. Ishlah dapat terjadi bila satu pihak dengan pihak yang lain dapat saling memahami keadaan mereka. Suami harus berusaha memahami isterinya, dan isteri harus berusaha memahami suaminya, kemudian mereka menempuh langkah bersama.

Ishlah hendaknya dilakukan hingga tercapai ishlah yang sebenar-benarnya, yaitu keshalihan di hadapan Allah. Tujuan yang harus dicapai bersama adalah keshalihan bersama, dimana seorang suami dapat memahami kehendak Allah dan beramal shalih berdasarkan pemahamannya, dan seorang isteri memahami dan mendampingi suaminya untuk melangkah di jalan Allah.

Langkah ishlah akan dibayangi persoalan berupa perasaan kekurangan pada nafs-nafs pasangan tersebut. Hendaknya hal ini disadari dan tidak dijadikan penghalang ishlah. Pasangan yang mengalami keadaan atau gejala nusyuz dan tidak acuh akan terjatuh pada banyak masalah kekurangan sehingga satu dengan yang lain kesulitan untuk saling memberi. Satu pihak akan memandang pihak lainnya memiliki (banyak) kekurangan bagi dirinya. Hal demikian harus disikapi dengan benar, tidak menghalangi ishlah.

Terwujudnya ishlah antara suami dan isteri bernilai lebih baik daripada mempermasalahkan atau menyelesaikan kekurangan yang dirasakan antara satu pihak dengan pihak yang lain. Kekurangan yang terjadi ataupun kekurangan yang dirasakan oleh pihak lain tidak boleh dijadikan penghalang untuk ishlah. Namun di sisi lain, harus diperoleh kesepahaman antara satu pihak dengan pihak lain agar terjadi ishlah. Kedua hal ini harus dikompromikan bersama. Satu pihak dengan pihak lain harus membangun pemahaman bersama, dan setiap pihak mengurangi atau tidak menuntut pihak lain untuk memberikan apa yang diinginkan.

Mengangkat hakam

Kadangkala nusyuz di antara suami dan isteri mencapai keadaan sedemikian sehingga terlihat tanda-tanda akan terjadi perpisahan. Seandainya hal itu terjadi, maka hendaknya mereka mengangkat hakam-hakam dari keluarga mereka untuk menggali kemungkinan ishlah kembali atau memang harus terjadi perpisahan tanpa ada jalan ishlah.

﴾۵۳﴿وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
Dan jika kamu khawatirkan ada perpisahan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS An-Nisaa’ : 35)

Harus diperhatikan oleh setiap pihak bahwa hakam yang mereka pilih bertugas untuk menggali kemungkinan ishlah. Hakam harus memegang prinsip bahwa ishlah adalah lebih baik walaupun banyak kekurangan terjadi di antara nafs-nafs mereka yang berpolemik. Hakam tidak boleh mengikuti hawa nafsu menjadi bala kurawa yang merasa senang ikut bertengkar memihak kelompoknya melawan pihak lain. Hakam harus berusaha mengetahui masalah yang terjadi di antara keduanya dengan benar berdasarkan cara pandang masalah dari kedua pihak yang berpolemik. Bila telah berusaha dan tidak menemukan jalan untuk melakukan ishlah, hal itu tidak menjadi beban kesalahan bagi hakam.

Menjadi hakam adalah tugas yang tidak mudah. Ia mungkin akan mengetahui masalah yang seringkali tidak terduga yang terjadi di antara pasangan. Seringkali syaitan merayap di antara pasangan suami isteri melalui berbagai cara yang tidak terpikirkan oleh kebanyakan manusia. Seorang suami atau isteri yang baik seringkali menyimpan masalah rumah tangga mereka tanpa mengabarkan kepada orang lain. Prasangka buruk dalam rumah tangga yang baik akan dapat terbongkar sebagai makar syaitan yang kadangkala bukan hanya masalah biasa rumah tangga saja, tetapi bahkan mungkin merupakan masalah umat manusia seluruhnya. Hal ini berbeda dengan prasangka buruk dalam pergaulan biasa, dimana walaupun mungkin merupakan makar syaitan tetapi hanya akan terlihat sebagian ujung ekornya saja tanpa bisa membongkar masalah yang sebenarnya.

Seseorang yang diangkat salah satu pihak sebagai hakam tidak boleh bermudah-mudah mengambil keputusan tanpa berusaha mengetahui cara pandang masalah dari sudut pandang pihak lainnya. Hakam demikian itu akan mudah terjatuh menjadi perpanjangan tangan syaitan untuk membuat makar bagi umat manusia dengan memutuskan mitsaqan ghalidzan. Seringkali persoalan rumah tangga seseorang merupakan amanah yang menjadi sumbangsih orang tersebut bagi masyarakat manakala mereka dapat mengenali makar syaitan dalam rumah tangganya. Seorang hakam yang menggampangkan cara pandang masalah tidak layak menjadi hakam.

Keputusan yang diambil oleh kedua hakam itu akan mempengaruhi hal yang akan diturunkan Allah kepada pasangan suami isteri. Bila keduanya berkesimpulan untuk selayaknya melakukan ishlah bagi kedua pihak, maka Allah akan menurunkan taufik kepada suami dan isteri untuk ishlah. Bila salah seorang atau kedua hakam mengikuti hawa nafsu untuk bertengkar, tidak disebutkan konsekuensi turunnya taufik bagi suami isteri tersebut. Bila ada keinginan salah satu pihak untuk mempertahankan pernikahan, ia harus berjuang sendiri melawan syaitan-syaitan yang berusaha memisahkan pernikahan mereka. Bahkan bila kedua pihak ingin melakukan ishlah tetapi mereka mengangkat hakam yang senang bertengkar dengan pihak lainnya, maka syaitan akan hilir mudik di antara mereka menghembuskan permusuhan. Hendaknya seseorang yang diminta menjadi hakam oleh salah satu pihak benar-benar berusaha mempertimbangkan masalah dengan benar. Tanpa hal itu, ia harus menyadari bahwa ia mungkin tidak layak menjadi hakam.

Minggu, 05 Juni 2022

Membina Kesatuan Nafs Wahidah

 Manusia diciptakan sebagai khalifatullah di bumi. Tidak semua manusia kemudian menjadikan dirinya sebagai makhluk yang pantas menjadi wakil Allah, dan jauh lebih banyak orang yang menjadi sebagaimana pandangan para malaikat ketika diperintahkan bersujud kepada Adam. Sangat sedikit manusia yang menjadi mitsal bagi cahaya Allah. Hanya sedikit laki-laki yang tidak terlalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari berdzikir kepada Allah, dan lebih sedikit lagi mereka yang berhasil membangun bayt yang diijinkan Allah untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah di dalamnya.

Laki-laki harus menjadi penegak kaumnya dengan memberikan sumbangsih berupa fadhilah Allah yang diberikan kepada dirinya dan/atau memberikan infak kepada kaumnya. Hal itu hanya dapat dilakukan seorang laki-laki yang shalih bilamana ia hidup bersama isteri yang shalihah. Hanya bersama isteri yang shalihah seorang laki-laki yang shalih dapat menegakkan kaumnya dengan hal yang menjadi kelebihan dirinya dan/atau dengan infak hartanya. Tanpa isteri yang shalihah, seseorang tidak akan dapat memberikan fadhilah dirinya dan/atau infak berupa harta bagi kaumnya.

﴾۴۳﴿الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Kaum laki-laki itu adalah penegak kaum di atas para wanita dengan apa-apa yang telah dilebihkan Allah sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, dan dengan apa-apa yang telah mereka nafkahkan dari harta mereka. Maka wanita yang salehah ialah yang tenang mengikuti lagi memelihara yang ghaib dengan apa-apa yang Allah jaga. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS An-Nisaa’ :34)

Ayat tersebut menjelaskan tentang fungsi rumah tangga dalam memberikan sumbangsih bagi kaum mereka. Seorang laki-laki harus menjadi shalih agar mengenal fadhilah Allah dan memperoleh infaq hingga mampu memberikan apa yang harus diberikan kepada kaumnya. Perempuah harus menjadi perempuan shalihah yaitu bersikap tenang dalam mengikuti suaminya dan menjaga hal ghaib dalam dirinya bagi suaminya. Dengan kedua keshalihan itu, maka suatu kaum akan memperoleh sumbangsih terbaik yang terlahir dari suatu rumah tangga di antara mereka.

Tidak semua laki-laki shalih memperoleh isteri shalihah, dan tidak semua perempuan shalihah memperoleh suami yang shalih. Sebagian perempuan tidak bersyukur atas suami mereka hingga mereka tidak dapat merasa tenang hidup bersama dan mengikuti suaminya. Sebagian perempuan berkhianat kepada suaminya baik secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, atau hanya sekadar menyimpan kecenderungan menyukai laki-laki lain dalam hatinya. Hal-hal demikian merupakan sikap nusyuz seorang perempuan yang menghambat mereka untuk menjadi wanita shalihah.

Bila seorang perempuan berbuat nusyuz, hendaknya suaminya mendidiknya agar ia kembali kepada jalan yang benar. Nusyuz seorang isteri akan menjadikannya mudah tergelincir pada jalan keji (al-fakhsya) yang membengkokkan jalannya kembali kepada Allah. Bila seorang isteri berbuat nusyuz yang dzahir maka seorang suami harus menasihati, atau memisahkan tidur isterinya, atau memukul agar isterinya kembali kepada dirinya sebagai jalan yang benar untuk kembali kepada Allah. Bila seorang isteri tidak mempunyai niat dan keinginan mewujudkan rasa kesukaannya pada laki-laki lain, hendaknya seorang laki-laki dapat menerima isterinya dengan baik tanpa mencari jalan untuk menyusahkan isterinya. Isteri yang keadaannya demikian sebenarnya mengalami kesulitan yang besar, dan dengan jalan demikian seorang isteri dapat berharap untuk bisa kembali kepada suaminya dengan seutuhnya.

Fadhilah Allah dan kemampuan infaq adalah atribut yang diberikan terutama kepada laki-laki, sedangkan kesuburan rumah tangga yang terwujud melalui sikap tenang dan menjaga hal ghaib dirinya merupakan atribut yang terwujud melalui perempuan. Kedua hal itu merupakan faktor utama yang mempengaruhi fungsi rumah tangga bagi kaumnya, dan keduanya harus ada bersama-sama. Atribut yang terbentuk dalam diri seorang laki-laki tidak akan mewujud tanpa ada isteri shalihah, dan isteri shalihah saja tidak akan menyentuh fadhilah Allah.

Akan tetapi fungsi rumah tangga bagi suatu kaum tidak sepenuhnya bergantung 2 atribut tersebut. Ada hal-hal lain yang mempengaruhi fungsi suatu rumah tangga bahkan kadang disebabkan oleh orang lain tanpa keterlibatan pasangan yang menikah tersebut sama sekali. Kadangkala suatu masalah menyebabkan gangguan fungsi rumah tangga bahkan untuk fungsi dasar internal rumah tangga sekalipun, hingga kadang pasangan tertentu mengalami kesulitan penghidupan. Misalnya seorang mukminat yang menjaga diri dapat terkena qadzaf yang dilakukan orang lain yang merusak fungsi rumah tangga. Qadzaf terhadap mukminat yang menjaga diri merupakan dosa besar yang dosanya setara dengan dosa pembunuhan dan dosa-dosa besar lain.

Kadangkala suatu nusyuz dilakukan oleh pihak laki-laki. Hal ini akan mempengaruhi pula manfaat yang dapat diperoleh suatu kaum dari rumah tangga di dalamnya. Nusyuz yang dilakukan oleh seorang laki-laki sedikit berbeda dengan nusyuz seorang perempuan. Setiap perempuan yang mempunyai kesukaan pada laki-laki lain merupakan kebengkokan yang termasuk dalam nusyuz, sedangkan bengkoknya laki-laki adalah manakala rasa suka itu tidak selaras dengan suatu syariat atau mempengaruhi sikapnya kepada salah satu atau seluruh isteri yang lain. Itu merupakan nusyuz yang dilakukan oleh seorang laki-laki.

﴾۸۲۱﴿وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنفُسُ الشُّحَّ وَإِن تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan ishlah yang sebenar-benarnya, dan ishlah itu lebih baik, sedangkan nafs-nafs akan menjadi kekurangan. Dan jika kamu berbuat ihsan dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS An-Nisaa’ : 128)

Perbuatan nusyuz oleh seorang suami lebih sulit untuk diketahui. Seorang laki-laki harus mempunyai akal yang kuat untuk dapat merasakan batas-batas yang menyebabkan kebengkokan dirinya dalam hubungan bersama isteri-isterinya atau perempuan lain. Hal ini berbeda dengan batas yang jelas bagi seorang perempuan yang dituntut untuk menjaga dirinya bagi seorang suami saja, tidak bagi yang lain. Tingkat kesulitan ini akan menjadi bobot yang besar bagi akal laki-laki yang ingin berjalan secara lurus di shirat al mustaqim. Tetapi hal ini mungkin akan tampak bagai sebuah kemudahan bagi laki-laki yang memperturutkan keinginannya sendiri. Lebih mudah bagi akal seorang laki-laki untuk menempuh shirat al-mustaqim bersama satu isteri, tetapi kadangkala Allah tidak berkehendak demikian. Allah seringkali menghendaki seorang laki-laki tertentu mempunyai akal yang kuat dengan beban isteri yang banyak untuk memberikan manfaat yang sesuai bagi masyarakat.

Istilah al-ba’lu pada ayat di atas menunjuk pada suami dalam kedudukan sebagai pemberi kesejahteraan sebagaimana seseorang yang memelihara tanaman memberikan pengairan pada ladang dan tanamannya. Seorang perempuan dapat merasakan nusyuznya seorang suami manakala suami tidak memberikan rasa sejahtera secara adil kepada dirinya. Perasaan demikian itu tidak selalu benar karena dipengaruhi hawa nafsu, tetapi sangat mungkin seorang isteri mengetahui nusyuz suaminya. Hal ini dapat membantu suami untuk mengetahui batas keadaannya. Setiap perempuan harus selalu mengendalikan hawa nafsunya tidak hanya menuntut kesejahteraan saja. Kesejahteraan harus diukur berdasarkan nilai lahir dan bathin, dan harus diukur dengan timbangan yang benar tidak tertutupi oleh hawa nafsu.

Nafs laki-laki harus dididik hingga memahami ayat kauniyah, ayat qauliyah dan ayat di dalam dadanya. Nafs setiap perempuan harus dididik hingga ia dapat memahami keadaan suaminya sesuai kehendak Allah. Hal ini merupakan turunan keshalihan laki-laki yang keshalihannya adalah memahami kehendak Allah pada semesta mereka. Kepahaman seorang isteri akan ditandai dengan pengenalan terhadap nafs wahidah yang menjadi jati diri suaminya. Kefahaman itu bisa terjadi sedemikian hingga seorang perempuan mengerti kesatuan nafs mereka manakala mereka harus membentuk pernikahan ta’addud. Seorang isteri bisa saling mengerti dan saling bekerja sama dengan isteri yang lain untuk urusan satu nafs wahidah mereka bersama, satu nafs wahidah yang menjadi asal-usul cetak biru penciptaan mereka. Di kasus lain ta’addud kadangkala terjadi untuk membentuk akal para isteri agar bisa memahami kesatuan nafs mereka, mendahului pemahaman terhadap kesatuan nafs mereka. Hal demikian harus diperhatikan dalam pembinaan para perempuan.

Para perempuan tidak boleh mengikuti hawa nafsu mereka tanpa mengendalikannya. Memahami kesatuan nafs wahidah harus diutamakan mengalahkan keinginan hawa nafsu. Di lain pihak, suami hendaknya tidak memaksakan sesuatu tanpa mau mengerti pertumbuhan nafs dalam membina isterinya. Ketika seorang laki-laki mengenal nafs wahidahnya, kadangkala ia menemukan kesatuan nafs wahidahnya dalam bentuk ta’addud. Seorang istri harus berusaha memahami hal itu mengikuti pemahaman suaminya. Hal itu merupakan bentuk mengutamakan nafs wahidah daripada hawa nafsu. Bila seorang isteri bersikeras menolak hal itu dan meminta perpisahan, hal itu bertentangan dengan arah perjalanan manusia untuk menemukan jalan kembali kepada Allah.

dari Tsauban radhiyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda :
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
Siapa saja wanita yang menuntut cerai kepada suaminya tanpa ada alasan yang benar, maka haram atasnya aroma Surga” [Abu Dawud (no. 2226), at-Tirmidzi (no. 1187), Ibnu Majah (no. 2055), ad-Darimi (II/162), Ibnul Jarud (no. 748), Ibnu Hibban (no. 1320), ath-Thabari dalam Tafsiir-nya (no. 4843-4844), al-Hakim (II/200), al-Baihaqi (VII/316), ]

Memahami kesatuan nafs wahidah diri merupakan anak tangga pertama bagi seseorang untuk melangkah dalam shirat al mustaqim. Allah berada di atas shirat al-mustaqim dimana seseorang dapat berharap untuk mengenal wajah-Nya. Menolak kesatuan nafs wahidah yang ditetapkan Allah mengikuti hawa nafsu merupakan perbuatan berbalik jalan. Seorang perempuan yang memilih menuntut cerai kepada suaminya tanpa alasan yang benar akan diharamkan baginya aroma surga. Hal itu menunjukkan sikap memperturutkan hawa nafsu. Bila perempuan itu menolak kesatuan nafs wahidah mereka dan justru memilih meminta perceraian, hal itu menunjukkan berbaliknya jalan perempuan itu.

Kesatuan nafs antara seorang laki-laki dan para perempuan pasangannya akan dikenali oleh masing-masing pihak, baik secara terpisah maupun mengenali bersama-sama. Seorang laki-laki akan mengenali jati diri isterinya, dan mungkin pula ia juga memperoleh berita atau mengenali perempuan lain yang juga menjadi jodohnya. Idealnya, seorang isteri akan ikut mengenali jati diri suaminya, dan mungkin memperoleh berita pula tentang jodoh suaminya yang lain. Perempuan lain yang berjodoh itu juga akan memperoleh berita tentang laki-laki yang merupakan jodohnya. berita ini mungkin benar bilamana perempuan itu belum bersuami. Dengan jalan demikian, mereka akan bisa mengenali kesatuan nafs mereka dan melangkah bersama untuk menempuh shirat almustaqim kembali kepada Allah dipimpin oleh suaminya.

Kesatuan nafs wahidah merupakan modal yang sangat penting bagi seseorang untuk membangun bayt hingga dapat menjadi mitsal bagi cahaya Allah. Seringkali Allah tidak membiarkan suatu nafs wahidah tumbuh sempurna hanya pada sebagian dari kesatuan nafs wahidah. Manakala kesatuan nafs itu berupa ta’addud, kesempurnaan agama orang itu seringkali tidak akan terjadi dengan beristri satu. Seorang laki-laki mungkin akan merasakan terjadinya ketidak-seimbangan pertumbuhan agama dalam nafsnya, atau keanehan tentang keadaannya, hingga tidak dapat melangkah di shirat al-mustaqim, dan seorang isteri merasa banyak hal duniawi terlepas dari mereka dan juga harta yang seharusnya mereka peroleh. Allah seringkali menunjukkan hingga sangat jelas kelemahan yang tidak akan tertutupi, kecuali mereka membangun bayt melalui kesatuan nafs wahidah berupa ta’addud. Hal ini harus dipahami oleh masing-masing pihak. Allah menghendaki tumbuhnya nafs seseorang pada seluruh bagian dirinya, hingga setiap orang mempunyai rasa kasih sayang kepada pihak lain dengan lebih sempurna. Penyempurnaan penciptaan yang dikaruniakan Allah sangatlah bernilai bagi setiap makhluk. Allah kadang menghendaki demikian, hingga terjadi seorang isteri bisa menyayangi madunya sebagai bagian dari dirinya sendiri.