Pencarian

Selasa, 31 Oktober 2023

Prinsip Dasar Pengharaman : Mensekutukan Allah

 Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Untuk menemukan jalan yang lurus, Allah telah memberikan khabar tentang pokok-pokok pengharaman, yaitu : kekejian baik yang dzahir maupun yang bathin, dosa, pelanggaran terhadap kemanusiaan tanpa alasan yang benar, melakukan syirik kepada Allah tanpa suatu hujjah, dan membuat perkataan tentang Allah tanpa mempunyai pengetahuan. Kelima hal itu merupakan pokok-pokok pengharaman yang akan memberi kabar pada seseorang adanya penyimpangan dari jalan Allah.

﴾۳۳﴿قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku hanyalah mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang dzahir ataupun yang bathin, dan perbuatan dosa, dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan perkataan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui". (QS Al-A’raaf : 33)

Hendaknya setiap manusia mempertimbangkan setiap langkah mereka berdasarkan pokok pengharaman tersebut agar tidak menyimpang dari jalan kembali kepada Allah. Manakala mereka menemukan salah satu hal dari pokok pengharaman itu dalam langkah mereka, hendaknya mereka segera mencari langkah yang lebih baik karena itu mungkin adalah jalan yang menyimpang. Bila tidak memperhatikan peringatan pokok berupa yang haram, maka seseorang akan berada di jalan kesesatan. Sangat banyak orang yang memiliki keimanan kepada Allah tetapi tersesat karena tidak memperhatikan peringatan Allah melalui ketentuan halal dan haram.

Mempersekutukan Allah

Mempersekutukan Allah merupakan perbuatan yang sangat buruk dan menjadikan seseorang tidak diampuni Allah. Mempersekutukan Allah secara nyata dapat dilihat pada orang-orang yang memperturutkan keinginan duniawi dan keinginan hawa nafsu mereka hingga mereka melakukan perbuatan menjadi pelayan bagi para syaitan agar memperoleh keuntungan yang dijanjikan syaitan kepada mereka. Syaitan menjadikan mereka sebagai pelaksana program syaitan dengan melakukan perbuatan merusak umat manusia dengan imbalan-imbalan duniawi secara semu. Seringkali imbalan-imbalan yang diberikan kepada mereka tidak dapat memberikan manfaat sedikitpun, hanya sekadar memperoleh sesuatu yang semu bagi diri mereka sendiri.

Selain orang-orang yang melakukan syirik secara nyata, banyak orang-orang yang melakukan syirik secara tersamar. Mempertuhankan hasrat duniawi dan hasrat hawa nafsu merupakan contoh kesyirikan yang tersamar. Allah mengharamkan seseorang melakukan syirik dengan firman : “mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu”. Hal ini menunjukkan adanya suatu kesyirikan yang mungkin tersamar. Allah menurunkan suatu jalan sebagai jalan ibadah manusia yang mungkin bisa dipandang sangat berdekatan dengan kesyirikan manakala seseorang tidak menimbang keadaan dirinya dengan benar. Bila seseorang tidak memperhatikan perintah Allah dengan seksama dan lebih memperhatikan ketentuan yang lain, ia boleh jadi akan terjatuh pada suatu kesyirikan karena melakukan perbuatan tertentu. Kesyirikan demikian itu merupakan kesyirikan yang diharamkan bagi orang yang menempuh jalan taubat. Kesyirikan yang nyata jauh lebih berat sama sekali tidak akan memperoleh ampunan.

Di sisi lain, banyak pula amal-amal seseorang yang bisa dianggap orang lain sebagai pelaku syirik akan tetapi sebenarnya tidak melakukan syirik. Hal ini dapat dilihat secara tersirat dalam ayat di atas, yaitu kalimat : “mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan shultan untuk itu”. Dalam kasus tertentu, Allah memperkenalkan diri kepada hamba-Nya dalam bentuk tajalli-Nya sebagaimana Musa a.s bertemu pohon api di thursina, maka ketaatan kepada bentuk tajalli-Nya tidak dapat dikatakan syirik kepada Allah, walaupun bentuk tajalli-Nya tidaklah menggambarkan diri-Nya secara menyeluruh. Tajalli demikian hanya akan diperkenalkan kepada orang-orang yang telah diberi shultan (kemampuan) untuk mengenal Allah. Sangat banyak macam bentuk kemampuan yang diberikan Allah kepada seseorang untuk mengenal Allah dan melakukan sesuatu kekhususan tanpa melanggar syariat, lebih sebagai penjelas syariat. Syaitan dapat menyaru layaknya tajalli-Nya kepada orang-orang yang belum diberi kemampuan (shultan), maka orang itu bisa jadi akan bertindak melanggar syariat agama karena samaran syaitan itu.

Bentuk-bentuk hubungan kepada Allah tidak hanya berupa hubungan secara langsung kepada-Nya. Banyak perbuatan dalam bentuk dzahir yang harus terlahir sebagai konsekuensi membina hubungan kepada Allah. Bersikap taat sepenuhnya kepada Rasulullah SAW merupakan bentuk ketaatan kepada Allah yang harus diwujudkan, dan hal itu tidak berarti syirik. Seseorang yang bersujud kepada Allah dengan menghadap pada baitul-haram sebagai kiblat tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan syirik, karena Allah telah menurunkan hujjah untuk perbuatan itu. Perbuatan dzahir yang sama bisa mempunyai bobot yang berbeda karena suatu dorongan keinginan yang berbeda. Bila seseorang bersujud kepada ka’bah tanpa landasan keinginan bersujud kepada Allah, maka ia dapat berbuat syirik. Bentuk hubungan turunan kepada Allah demikian tidak merupakan syirik, dan justru harus ditemukan dan dilaksanakan oleh setiap orang beriman. Banyak variasi bentuk keinginan yang mungkin menjadi latar belakang manusia bersujud, dan hal itu menentukan hujjah yang diturunkan Allah kepada seseorang.

Syirik di Antara Jalan Allah

Di antara kesyirikan yang tersamar di antara jalan yang diturunkan Allah adalah menjadikan para alim dan rahib-rahib sebagai tuhan selain Allah. Hal demikian terjadi manakala suatu umat mengikuti para alim dan para rahib mereka dalam menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah. Hal demikian termasuk dalam kesyirikan yang tersamar, terjadi karena suatu umat kurang memperhatikan kehendak Allah atas diri mereka, tetapi lebih memperhatikan perkataan-perkataan para alim dan para rahib mereka. Suatu umat tidak serta-merta mengikuti para rahib dan para alim mereka dalam perkara demikian kecuali telah terjadi sebelumnya kelalaian dalam memperhatikan kehendak Allah.

﴾۱۳﴿اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلٰهًا وَاحِدًا لَّا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS At-Taubah : 31)

Para alim (الاحبار ) menunjuk pada orang-orang cendekia yang bertugas melakukan penyebaran dan penerapan nilai-nilai agama kepada masyarakat, dan para rahib (الرُهْبَانَ) lebih menunjuk pada orang-orang alim yang menterjemahkan atau menyampaikan kehendak Allah bagi manusia. Para rahib dapat dibayangkan sebagai perpanjangan dari peran para nabi, seperti nabi Isa dijadikan tuhan oleh sebagian manusia. Para alim dapat dibayangkan seperti para raja dan pengikutnya, seperti Sri Krisna yang dijadikan tuhan oleh sebagian pengikutnya. Pembagian demikian merupakan warna manusia dalam melaksanakan urusan Allah. Munculnya dualitas pembawa urusan itu bisa dirunut kepada hakikat Rasulullah SAW dan Khalifatullah Almahdi a.s. Hanya saja di kalangan umat, kedudukan masing-masing antara rahib dan ahbar tidak ditentukan seperti kedudukan antara Rasulullah dan khalifatullah, tetapi ditentukan oleh ketakwaan masing-masing. Khalifatullah adalah umat bagi Rasulullah, dan hubungan demikian tidak selalu terjadi di kalangan umat. Para rahib harus memperingatkan para ahbar yang menyimpang, dan para ahbar dapat menghukum para rahib yang salah.

Pada dasarnya para pengikut para alim dan rahib adalah orang-orang yang ingin mentaati Allah melalui ketaatan kepada panutan mereka. Hal itu benar merupakan tuntunan setiap agama, yaitu tuntunan untuk mentaati para pemegang urusan Allah. Hal itu benar-benar menjadi jalan untuk kembali kepada Allah. Akan tetapi sebagian manusia melupakan tujuan pokok dalam melakukan ketaatan hingga menyimpang dengan menjadikan manusia sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Manusia yang menjadikan tuhan-tuhan selain Allah adalah orang yang tidak memperhatikan tuntunan Allah dengan baik. Sebagian manusia silau dengan keajaiban yang diperlihatkan oleh para alim atau rahib mereka. Pada kasus lainnya, tanpa suatu keajaiban-pun manusia bisa mangangkat tuhan-tuhan selain Allah. Umat manusia bisa saja meninggalkan kitabullah dan sunnah Rasulullah dan lebih memperhatikan panutan mereka, hingga manakala rahib atau alim mereka menghalalkan sesuatu yang haram mereka menghalalkannya, dan manakala mengharamkan sesuatu yang halal, mereka mengharamkannya. Hal demikian ini menunjukkan bahwa seseorang telah menjadikan manusia sebagai tuhan-tuhan selain Allah.

Hal ini juga merupakan bentuk kesyirikan tersamar yang mungkin terjadi pada kaum muslimin. Terlepas dari segenap keinginan berupaya untuk beramal, setiap muslimin harus memperhatikan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW lebih daripada yang lain dengan menggunakan akal masing-masing. Akal seseorang yang benar adalah akal yang akan menyatukan diri dalam jalan bersembah kepada Yang Maha Esa bersama akal sahabatnya walaupun berbeda urusannya. Bila mengabaikan prinsip demikian, sama saja umat nasrani pun sebenarnya berupaya keras untuk beramal shalih sesuai kehendak Allah, tetapi mereka secara nyata mengangkat tuhan-tuhan selain Allah. Kaum muslimin tidak boleh mengulang kesalahan dengan memperhatikan benar-benar tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW hingga tidak terjatuh mengangkat manusia sebagai tuhan-tuhan selain Allah.

Hal ini tidak harus ditunjukkan dengan sikap membangkang hingga muncul pertengkaran, tetapi setiap orang harus teguh dalam berpegang kepada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Manakala mampu memerintahkan dengan al-ma’ruf hendaknya ia melakukannya. Bila ia tidak mampu mencegah kemunkaran, ia tidak boleh mengikuti kemunkaran itu, setidaknya bila dipaksa untuk mengikuti menghalalkan yang diharamkan dan sebaliknya ia dapat menyampaikan sikapnya menolak. Bila tidak menolak ketika dipaksa mengikuti, maka Allah Maha Mengetahui keadaan diri mereka, tetapi hal itu merupakan lemahnya keimanan.

Seringkali umat islam tidak menyadari syirik yang mungkin terjadi atas mereka karena lemah dalam berpegang pada tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW hingga terjatuh ikut menghalalkan apa yang diharamkan dan mengharamkan apa yang dihalalkan. Sebagian orang membenarkan tindakan demikian tanpa ikut melakukan perbuatan yang sama. Sebagian orang membenarkan tindakan demikian dan ikut berbuat untuk diri mereka sendiri, dan sebagian hingga memaksakan kepada orang lain. Hal ini merupakan fenomena fanatisme yang umum timbul di antara orang-orang yamg menjadikan manusia sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Orang yang dapat menolak paksaan bersikap demikian tidak termasuk dalam kelompok menghalalkan yang haram dan sebaliknya, dan tidak termasuk orang yang menjadikan manusia sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Bila tidak menolak, belum tentu mereka termasuk sebagai orang yang membenarkan perbuatan tersebut.

Pemaksaan sikap demikian dapat meletupkan perselisihan di antara masyarakat, setidaknya di antara orang yang memaksa dan orang yang dipaksa. Sekalipun dua orang melihat suatu amal shalih yang sama bagi mereka, langkah memaksakan pandangan itu akan menimbulkan masalah yang akan menghambat amal shalih. Kadangkala suatu amal shalih harus dikerjakan bersama, maka amal shalih itu kemudian tidak dapat dikerjakan karena landasan yang berbeda. Ada batas yang harus dihormati oleh seseorang terhadap orang lain terkait sikap kepada Allah, tetapi tidak boleh melupakan nasihat. Ada kebenaran yang harus dipahami oleh masing-masing pihak dari orang lain manakala terjadi perbedaan sikap kepada Allah. Hendaknya perbedaan sikap itu menjadi media untuk lebih meningkatkan sikap ihsan kepada Allah. Dalam upaya meningkatkan keihsanan, manusia perlu menyampaikan perkataan yang tegak (qaulan sadiidan). Perkataan yang tegak akan menjadikan manusia memahami kehendak Allah, sehingga dapat menemukan shirat al-mustaqim.

Syirik Tersamar Menutup Petunjuk Allah

Sesungguhnya Allah benar-benar memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman untuk mencapai jalan yang lurus. Hal ini akan diketahui oleh orang-orang yang memperoleh ilmu tentang kehendak Allah. Mereka akan menyaksikan bahwa hal-hal yang mereka temukan dalam kehidupan yang dahulu tampak kecil merupakan petunjuk Allah menuju jalan yang lurus, yaitu bila seseorang benar-benar ingin mengetahui kehendak Allah.

﴾۴۵﴿وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَيُؤْمِنُوا بِهِ فَتُخْبِتَ لَهُ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ اللَّهَ لَهَادِ الَّذِينَ آمَنُوا إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini bahwasanya (Al Quran) itu adalah alhaq dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan Sungguh Allah benar-benar memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus (QS Al-Hajj : 54)

Sebelum memperoleh ilmu, hal itu mungkin tampak seperti perkara kecil yang terhubung hanya secara mengambang dengan keinginannya mengenal Allah. Walaupun mungkin kecil, ia dapat melihat bahwa itu sebuah petunjuk arah kehidupannya yang tidak dapat diabaikan. Sebenarnya hal itu merupakan petunjuk yang sangat bermanfaat karena mengarah pada shirat al-mustaqim. Setelah menginjak usia 40 tahun atau setelahnya, dan setelah masa penggembalaan 10 atau 12 tahun, petunjuk-petunjuk kecil itu akan menyatu menunjukkan suatu jalan ibadah bagi seseorang yang menginginkannya berupa shirat al-mustaqim.

Keinginan untuk mengenal kehendak Allah menjadi landasan bagi seseorang untuk memahami makna petunjuk-petunjuk kehidupannya. Bila keinginan itu jernih, semakin jelas pula makna petunjuk itu baginya. Bila bercampur dengan kesyirikan walaupun tersamar, maka seseorang tidak akan mengetahui adanya petunjuk-petunjuk Allah yang terhampar bagi dirinya. Boleh jadi ia berangan-angan dengan suatu bentuk petunjuk yang diinginkan hawa nafsunya sedangkan ia terlupa untuk memahami ayat-ayat Allah yang terhampar baginya, atau boleh jadi ia terhijab dari ayat Allah karena adanya sesuatu yang dipertuhankan. Maka ia tidak menemukan shirat almustaqim hingga akhir kehidupannya. Bila demikian, ia tidak boleh menyangkal bahwa Allah tidak benar-benar memberi petunjuk bagi orang beriman menuju shirat almustaqim.

Allah benar-benar memberikan petunjuk kepada orang beriman menuju shirat almustaqim. Bila tidak menemukan shirat al-mustaqim, sebenarnya diri orang-orang beriman yang tidak memahami petunjuk Allah karena tidak berusaha memahami ayat-ayat Allah dengan akal yang diberikan kepadanya. Dalam hal ini, adanya suatu kesyirikan yang tersamar benar-benar akan menutup seseorang untuk melihat petunjuk Allah. Hendaknya setiap orang beriman berusaha menjauhkan diri dari kesyirikan yang tersamar, baik berupa hawa nafsu dan syahwat ataupun orang-orang lain yang dijadikan tuhan-tuhan selain Allah.

Kamis, 26 Oktober 2023

Prinsip Dasar Pengharaman : Dosa dan Melanggar Hak Manusia

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Untuk menemukan jalan yang lurus, Allah telah memberikan khabar tentang pokok-pokok pengharaman, yaitu : kekejian baik yang dzahir maupun yang bathin, dosa, pelanggaran terhadap kemanusiaan tanpa alasan yang benar, melakukan syirik kepada Allah tanpa suatu hujjah, dan membuat perkataan tentang Allah tanpa mempunyai pengetahuan. Kelima hal itu merupakan pokok-pokok pengharaman yang akan memberi kabar pada seseorang adanya penyimpangan dari jalan Allah.

﴾۳۳﴿قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku hanyalah mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang dzahir ataupun yang bathin, dan perbuatan dosa, dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui". (QS Al-A’raaf : 33)

Hendaknya setiap manusia mempertimbangkan setiap langkah mereka berdasarkan pokok pengharaman tersebut agar tidak menyimpang dari jalan kembali kepada Allah. Manakala mereka menemukan salah satu hal dari pokok pengharaman itu dalam langkah mereka, hendaknya mereka segera mencari langkah yang lebih baik karena itu mungkin adalah jalan yang menyimpang. Bila tidak memperhatikan peringatan pokok berupa yang haram, maka seseorang akan berada di jalan kesesatan. Sangat banyak orang yang memiliki keimanan kepada Allah tetapi tersesat karena tidak memperhatikan peringatan Allah melalui ketentuan halal dan haram.

Dosa (اْلإِثْم)

Dosa (اْلإِثْم) adalah jejak dalam hati yang menjadikan seseorang merasa tidak tenang, dan menjadikan nafs tidak memperoleh urusan tempat berdiam. Hati merupakan ruang kendali manusia yang kadangkala menghadap kepada Allah dan kadangkala harus berbalik menghadap ke arah dunia dan hawa nafsu. Manakala menghadap kepada dunia, seringkali hati terlalaikan dari mengingat Allah dan berbuat sesuatu yang salah karena dorongan hati. Dorongan dalam hati yang terlalaikan dari Allah seringkali merupakan keburukan yang tidak mendatangkan manfaat bagi orang lain atau dirinya sendiri, dan seseorang merasa tidak tenteram dengan dorongan dalam hati itu. Dorongan dalam hati semacam itu merupakan dosa, baik ia terlahir dalam perbuatan atau tidak terlahirkan.

عَنْ ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، أَخْبِرْنِـيْ بِمَـا يَـحِلُّ لِـيْ وَ يَـحْرُمُ عَلَيَّ ؟ قَالَ : فَصَعَّدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَوَّبَ فِيَّ النَّظَرَ ، فَقَالَ : اَلْبِرُّ مَا سَكَنَتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ ، وَاْلإِثْمُ مَا لَـمْ تَسْكُنْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَلاَ يَطْمَئِنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ ، وَإِنْ أَفْتَاكَ الْـمُفْتُوْنَ
Dan dari Abu Tsa’labah al-Khusyani, ia berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullâh! Beritahukan kepadaku apa yang halal dan haram bagiku.” Beliau SAW mengangkat wajah dan mengarahkan pandangan kepadaku kemudian bersabda, “Kebajikan ialah apa saja yang menjadikan jiwa berdiam dan hati menjadi tenteram. Dan dosa ialah apa saja yang menjadikan jiwa tidak berdiam dan hati tidak tenteram kendati para pemberi fatwa berfatwa kepadamu.” [HR. Ahmad]

Pada prinsipnya, hati merupakan ruang dalam dada manusia yang seharusnya dipersiapkan untuk menghadap kepada Allah. Hati orang-orang beriman seharusnya dipersiapkan untuk menjadi tempat Allah bertajalli, karena hati orang beriman-lah yang mencukupi bagi-Nya. Di sisi lain, hati juga berfungsi untuk melihat ayat-ayat kauniyah di alam dunia. Dalam fungsi demikian, banyak orang terlupa untuk kembali menghadapkan hatinya kepada Allah karena lebih terhijab oleh kebathilan yang ada pada dunia. Hijab kebathilan dari dunia inilah yang mendatangkan dosa kepada manusia.

Pada hati yang relatif bersih, suatu dosa akan mendatangkan keresahan dalam hati. Bila seseorang tidak memperhatikan kebersihan dalam hati, ia barangkali akan kehilangan rasa terhadap keresahan ini karena tidak mengetahui bandingannya pada masa hatinya bersih. Bila hati dipenuhi dosa, seseorang tidak akan mengetahui makna keresahan dalam hati ini. Sebaliknya orang-orang yang bersih hatinya akan mengetahui datangnya suatu dosa walaupun hanya berupa kilasan dalam hatinya.

Kebersihan hati berkorelasi dengan berdiamnya nafs pada suatu urusan tertentu. Hal ini terkait dengan tumbuhnya akal untuk memahami kehendak Allah. Nafs orang-orang beriman yang bersih hatinya pada dasarnya akan mengarah kepada jalan Allah. Sekalipun belum mengetahui secara pasti jalan Allah, nafs mereka akan mempunyai suatu rasa keingintahuan atau penasaran tentang jalan yang ditentukan Allah baginya, dan ia dapat merasakan kilasan pada momen-momen tertentu bahwa ia berada pada keadaan dan arah benar. Keadaan itu dapat berupa amal, pikiran atau hal lain yang memberikan stimulasi terhadap pengetahuan jalan ibadahnya kepada Allah. Itu adalah akal yang tumbuh dalam hati. Bila ia mengikuti pertumbuhan akalnya, ia akan dapat memahami kehendak Allah pada urusan itu sesuai kitabullah walaupun mungkin samar-samar, dan nafsnya akan menemukan tempat berdiam pada urusan itu.

Rasa berdiam pada suatu urusan itu tidak dapat ditumbuhkan dengan perkataan dari orang lain. Sekalipun ribuan fatwa diberikan oleh para pemberi fatwa, seseorang tidak akan menemukan rasa berdiam itu tanpa menggunakan akalnya. Seringkali pikiran manusia membuat tebakan dan dugaan berdasarkan fatwa yang diterima bahwa jalan ibadahnya adalah demikian dan demikian, sedangkan ia tidak membina pengetahuan tentang kehendak Allah. Tebakan dan dugaan itu sama sekali tidak akan menumbuhkan rasa berdiam dalam hatinya, dan bila ada rasa berdiam yang tumbuh, rasa itu hanya sebuah angan-angan yang tidak kokoh. Tidak jarang seseorang menjadi sesat karena angan-angan demikian. Setiap orang harus berusaha mengenali kehendak Allah sebagai dasar untuk menemukan urusan tempat berdiam bagi nafs mereka masing-masing. Ribuan fatwa dari para pemberi fatwa tidak akan dapat menjadikan seseorang dapat mengenali urusan tempat berdiam dirinya bila tanpa disertai keinginan mengenali kehendak Allah selaras dengan kitabullah. Dalam adabnya, seorang syaikh tidak boleh memberitahukan jalan ibadah muridnya karena terkait dengan rasa ubudiyah yang harus ditumbuhkan dalam diri murid sebagai syarat berdiam dalam urusannya.

Tumbuhnya akal hanya terjadi pada hati yang bersih. Setiap orang harus berusaha menggunakan hatinya untuk memahami kehendak Allah. Tidak ada manfaatnya hati bersih tanpa keinginan untuk memahami kehendak Allah. Hanya dengan dzikir kepada Allah maka hati akan merasa tenang, sedangkan kebersihan saja tidak mencukupi bagi qalb. Di sisi lain, bila seseorang tidak memperhatikan dosa-dosa yang hinggap dalam hatinya, dan tidak berusaha menjadikan hatinya bersih, maka pertumbuhan akal akan terganggu. Hati yang bersih akan mengurangi atau menghilangkan distorsi pemahaman terhadap kehendak Allah. Sekalipun rasa berdiam dalam suatu urusan tidak dapat ditumbuhkan dengan fatwa para pemberi fatwa, kehadiran para pembimbing akan sangat bermanfaat dalam membantu seseorang menjaga hati mereka sehingga distorsi pemahaman terhadap kehendak Allah dapat dihindari, dan para pembimbing memudahkan seseorang menemukan urusan tempat berdiam muridnya.

Manakala seseorang tidak dapat merasakan urusan tempat berdiamnya, boleh jadi banyak dosa yang menyebabkan hal demikian. Ada beberapa syarat yang menjadi antara sebelum seseorang memahami urusan Allah tempatnya berdiam. Bersihnya hati menjadi syarat pertama. Kepedulian seseorang terhadap semestanya dan keinginan mengikuti firman Allah akan menentukan kemampuan untuk memahami urusan-Nya. Bila seseorang tidak peduli dengan ayat-ayat Allah, sulit baginya untuk dapat merasakan urusan tempat berdiam dirinya. Hatinya tidak akan tenang tanpa berdzikir kepada Allah dan nafsnya tidak akan menemukan urusan tempatnya berdiam. Tidak boleh ada hijab di antara seseorang terhadap ayat-ayat Allah, karena ayat-ayat Allah itu yang akan memperkuat akalnya dalam mengikuti kehendak Allah.

Pelanggaran Terhadap Hak Manusia (الْبَغْيَ)

Pelanggaran terhadap hak manusia (الْبَغْيَ) merupakan perbuatan melanggar hak manusia, baik dirinya sendiri maupun orang lain. Perempuan atau laki-laki yang melakukan perzinahan dikatakan sebagai pelanggar ( بَغِيّ) karena mereka melanggar hak diri mereka sendiri yang seharusnya diperoleh melalui hubungan pernikahan. Demikian pula orang-orang yang melakukan penyerangan terhadap orang lain hingga orang lain kehilangan haknya disebut sebagai pelanggar (بَغِيّ). setiap perbuatan yang menghilangkan suatu hak dari seseorang disebut pelanggaran terhadap hak manusia (الْبَغْيَ).

Banyak hak manusia yang dapat dilanggar oleh orang lain, baik karena suatu kesalahan atau berdasarkan suatu alasan yang dibenarkan. Yang diharamkan bagi manusia adalah melanggar hak tanpa suatu alasan yang dibenarkan. Misalnya seorang pemegang amr pada saat tertentu mungkin saja dapat melarang umat untuk berbicara sesuatu karena maslahat atau madlarat tertentu, maka hal itu dapat dibenarkan. Dalam hal berbicara, tidak semua pembicaraan menjadi hak manusia. Berbicara salah atau sembarangan bukanlah hak manusia. Hanya berbicara benar saja yang bisa menjadi hak manusia, tetapi hak itu bisa dikendalikan oleh pemegang urusan manakala diperlukan. Dalam beberapa kasus khusus lain, melepaskan hak dari seorang manusia dapat dibenarkan, sedemikian hingga suatu perang boleh dilakukan untuk alasan tertentu yang benar sedangkan perang itu mungkin menyebabkan kematian yang banyak terhadap manusia.

Ada hak yang tidak boleh dilanggar yaitu hak untuk bertaubat. Allah mengungkapkan terjadinya kasus pelanggaran terhadap hak bertaubat bagi umat manusia. Pelanggaran demikian itu tidak mempunyai alasan yang benar untuk dilakukan. Setiap orang berhak untuk menempuh perjalanan kembali kepada Allah sesuai jenjang-jenjang yang dapat mereka capai. Hak taubat ini seringkali dilanggar oleh manusia. Banyak orang yang menghalangi manusia dari jalan Allah dan melanggar hak taubat manusia hingga menjadi bengkok, dan tidak jarang mereka melakukannya dengan merasa mengikuti petunjuk.

Sebagian orang-orang yang bertaubat memperoleh petunjuk tentang jalan Allah yang harus mereka tempuh akan tetapi mereka tidak diperbolehkan melaksanakan petunjuk yang benar itu oleh orang-orang yang menghalangi. Tidak berhenti hanya pada masalah pelarangan itu, mungkin saja petunjuk Allah yang benar kepada orang-orang yang bertaubat itu justru dilanggar oleh suatu kaum sehingga jalan Allah menjadi bengkok. Manusia kemudian mengambil jalan yang bengkok itu menjadi pedoman bagi mereka bukan jalan Allah yang lurus, sedangkan jalan yang lurus itu disia-siakan.

﴾۹۱﴿الَّذِينَ يَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ وَيَبْغُونَهَا عِوَجًا وَهُم بِالْآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ
(yaitu) orang-orang yang menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan menghendaki (supaya) jalan itu bengkok. Dan mereka itul bersikap kufur terhadap hari akhirat (QS Huud : 19)

Menjadikan jalan Allah menjadi jalan yang bengkok merupakan perbuatan melanggar (يَبْغُونَ) hak manusia untuk bertaubat. Jalan Allah yang paripurna adalah jalan yang ditempuh oleh kedua uswatun hasanah Rasulullah SAW dan nabi Ibrahim a.s. kedua insan mulia tersebut menjadi hamba yang didekatkan kepada Allah hingga ufuk alam semesta. Sangat banyak insan lain yang menempuh jalan Allah dengan benar walaupun tidak mencapai ufuk alam semesta. Mereka mengikuti kedua uswatun hasanah hingga kedudukan yang mampu dicapai masing-masing tidak melewati jalan yang keliru. Mereka itu berada di jalan Allah dalam menempuh taubatnya sekalipun tidak mencapai kedudukan yang sama dengan kedudukan kedua uswatun hasanah.

Secara umum, ada jenjang-jenjang perjalanan yang dapat dijadikan tolok ukur jarak perjalanan manusia. Jenjang itu hendaknya dijadikan peta dan pedoman bagi setiap manusia dalam menempuh perjalanan taubat menuju Allah. Jenjang tertinggi adalah fase muqarrabun dimana seorang hamba didekatkan kepada Allah sebagaimana Rasulullah SAW dan nabi Ibrahim a.s dimi'rajkan. Itu sepenuhnya merupakan karunia Allah bagi hamba yang dikehendaki-Nya. Tidak ada manusia yang dapat mengusahakannya. Jenjang tertinggi yang dapat diusahakan oleh setiap manusia di dunia adalah terbentuknya bayt yang diijinkan Allah untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah di dalamnya, sebagaimana bayt nabi Ibrahim a.s, nabi Ismail a.s dan siti Hajar. Bayt tersebut merupakan basis pelaksanaan fungsi sosial seseorang, di mana seseorang tidak akan mampu melaksanakan dengan baik fungsi sosial yang ditentukan Allah baginya tanpa bayt berupa keluarga. Dari sisi lain, bayt merupakan basis bagi seseorang untuk didekatkan kepada Allah melalui suatu mi’raj dalam ibadahnya kepada Allah. Jenjang prasyarat sebelum terbentuknya bayt adalah fase penemuan tanah suci yang dijanjikan, yaitu pengenalan diri seseorang terhadap penciptaan nafs masing-masing. Dan jenjang awal yang mengawali semua fase taubat adalah pengucapan 2 kalimat syahadat. Banyak hal yang ada di antara masing-masing fase yang akan ditemukan dan diketahui oleh seseorang manakala ia benar-benar menempuh perjalanan taubat kembali kepada Allah.

Membengkokkan arah dan peta perjalanan taubat sebagaimana fase-fase jalan Allah di atas merupakan perbuatan melanggar hak manusia (الْبَغْيَ). Hal ini merupakan salah satu prinsip munculnya pengharaman. Dampak dari perbuatan ini lebih besar daripada menghalangi manusia dari jalan Allah. Menghalangi manusia dari jalan Allah akan menjadikan langkah orang tersebut terhambat atau terhenti pada fase tertentu, sedangkan ia sangat mungkin tidak menyimpang dari jalannya. Demikian pula secara keumatan, kemajuan umat manusia dalam langkah menuju Allah akan terhenti, tidak menyimpang. Bila seseorang melakukan pelanggaran terhadap jalan Allah, bengkoknya jalan Allah akan dapat menyimpangkan banyak umat manusia dari jalan Allah menuju tempat yang tidak diketahui. Akan muncul kekacauan dalam tatanan kemasyarakatan, dan bukan tidak mungkin banyak di antara mereka yang akan tersesat menuju neraka.



Selasa, 24 Oktober 2023

Prinsip Dasar Keharaman

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Rasulullah SAW menyeru manusia untuk kembali kepada Allah melalui jalan yang lurus (shirat al-mustaqim). Itu adalah jalan terdekat yang tersedia bagi setiap manusia untuk sampai kepada Allah Setiap orang dapat menemukan jalan itu dalam kehidupan dunia, akan tetapi hanya sedikit yang menemukannya. Sebagian orang menempuh perjalanan yang berliku-liku hingga akhirnya dapat kembali kepada Allah dengan selamat, sebagian menempuh jalan yang menyimpang hingga terjerumus ke dalam neraka, dan sebagian orang hanya berkutat dalam kehidupan jasmaniah mereka tanpa terpikir hakikat kehidupan mereka.

Untuk mengarahkan manusia ke jalan yang lurus, Allah memberikan ketentuan halal dan haram bagi manusia. Manusia hidup di alam yang terjauh dari sumber cahaya, sangat banyak kepalsuan yang dapat menyimpangkan manusia manakala mereka berkeinginan untuk menempuh jalan kembali kepada Allah. Segala sesuatu yang diharamkan Allah menunjukkan adanya penyimpangan terhadap jalan Allah yang akan menjadikan seseorang celaka. Keadaan di sisi Allah sangat jauh dari keadaan yang menjadi pokok-pokok yang diharamkan. Manakala seseorang melanggar pokok-pokok pengharaman, maka ia telah menyentuh jalan yang menyimpang.

Allah telah memberikan khabar tentang pokok-pokok pengharaman, yaitu : kekejian baik yang dzahir maupun yang bathin, perbuatan dosa, pelanggaran terhadap hak manusia tanpa alasan yang benar, melakukan syirik kepada Allah tanpa suatu hujjah, dan membuat perkataan tentang Allah tanpa mempunyai pengetahuan. Kelima hal itu merupakan pokok-pokok pengharaman yang akan memberi kabar pada seseorang adanya penyimpangan dari jalan Allah. Hendaknya setiap manusia mempertimbangkan setiap langkah mereka berdasarkan pokok pengharaman tersebut agar tidak menyimpang dari jalan kembali kepada Allah. Manakala mereka menemukan salah satu hal dari pokok pengharaman itu dalam langkah mereka, hendaknya mereka segera mencari jalan yang lebih baik karena itu adalah jalan yang menyimpang.

﴾۳۳﴿قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku hanyalah mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang dzahir ataupun yang bathin, dan perbuatan dosa, dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan shulthan untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan perkataan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui". (QS Al-A’raaf : 33)

bila tidak memperhatikan peringatan pokok yang haram, maka seseorang akan berada di jalan kesesatan. Sangat banyak orang yang memiliki keimanan kepada Allah tetapi tersesat karena tidak memperhatikan peringatan Allah melalui ketentuan halal dan haram. Sebagian di antara orang yang beriman kepada Allah menjadi orang-orang-orang yang menjadikan manusia sebagai tuhan-tuhan selain Allah, yaitu para ulama dan rahib di antara mereka.

Dari Adiy bin Hatim at-Tha’i berkata :
أتيتُ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ وفي عنقي صليبٌ من ذَهبٍ. فقالَ يا عديُّ اطرح عنْكَ هذا الوثَنَ وسمعتُهُ يقرأُ في سورةِ براءةٌ اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ قالَ أما إنَّهم لم يَكونوا يعبدونَهم ولَكنَّهم كانوا إذا أحلُّوا لَهم شيئًا استحلُّوهُ وإذا حرَّموا عليْهم شيئًا حرَّموه.
Aku (‘Adiy bin Hatim ath-Tha’i) datang kepada Nabi SAW sedangkan di leherku terdapat salib dari emas. Maka Nabi menasehatiku, ‘Wahai ‘Adiy jatuhkan berhala ini dari lehermu’. Dan aku mendengar Nabi Saw membaca ayat dari surat Bara’ah (ayat 31): Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahibnya sebagai tuhan selain Allah. (‘Adiy berkata) : sebenarnya mereka tidak menyembahnya, (Rasulullah SAW bersabda): tapi ketika mereka (ulama dan rahib) itu menghalalkan sesuatu maka mereka (umat) ikuti, dan ketika mereka (ulama dan rahib) itu mengharamkan sesuatu mereka (umat) ikuti. (HR At-Tirmidzi no. 3095 dalam Kitab Shahih At-Tirmidzi)

Setiap orang harus berusaha memahami kehendak Allah dengan pemahaman yang benar. Manakala mereka tidak memperhatikan ketentuan halal dan haram, pemahaman yang terbina dalam diri mereka akan cenderung menyimpang hingga mengalami kesesatan yang sangat jauh menjadi penyembah tuhan-tuhan selain Allah, sedangkan mereka menyangka hanya menyembah Allah. Tentu sangkaan mereka keliru, karena bahkan akal mereka sebenarnya tidak dapat membedakan antara halal dan haram yang ditentukan Allah, maka perlu dipertanyakan apakah pemahaman mereka tentang kehendak Allah bernilai benar, sehingga penyembahan mereka bernilai benar. Demikian pula mereka akan tidak mengetahui bahwa mereka telah menjadikan manusia sebagai tuhan selain Allah.

Manakala seseorang berada di antara umat yang demikian, hendaknya mereka tidak mengikuti pemahaman dan tindakan mereka. Bila ia mempunyai pengetahuan yang lebih baik, ia harus melakukan amar ma’ruf nahy munkar dengan sebaik-baiknya, tanpa menimbulkan pertengkaran di antara umat. Ia tidak perlu mengharapkan hasil yang segera karena sangatlah sulit memberikan pengetahuan al-ma’ruf kepada orang yang merasa mempunyai pengetahuan. Penyimpangan yang terjadi di antara umat akan menjadi urusan yang berat terutama antara Allah dengan orang yang dijadikan tuhan selain Allah. Bahkan nabi Isa a.s pun akan menghadapi perkara itu di hadapan Allah, walaupun beliau tidak mempunyai salah sedikitpun. Perkara itu juga akan menjadi urusan Allah dengan orang-orang yang menjadikan tuhan-tuhan selain Allah, tidak bagi orang lain. Tanggung jawab seseorang hanyalah menyampaikan amar ma’ruf nahy munkar.

Adapun bila seseorang dipaksa untuk mengikuti pemahaman atau langkah menjadikan tuhan-tuhan selain Allah, maka ia harus menghindari atau menolak paksaan itu. Hal ini terutama pada urusan menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah. Dalam banyak hal, urusan yang dikerjakan orang yang berusaha mengikuti petunjuk Allah bukan perbuatan yang salah, hanya saja tidak memperhatikan kehendak Allah dengan benar. Hanya sebagian perbuatan yang salah, tetapi seringkali dampaknya sangat berat. Setelah menolak pemaksaan paham dan tindakan, hendaknya ia lebih memperhatikan dengan seksama tuntunan kitabullah untuk memperhatikan kehendak Allah daripada membuta mengikuti pemahaman dan perbuatan orang lain.

Kekejian ( الْفَوَاحِشَ )

Kekejian adalah penyimpangan yang terjadi dari jalan yang ditentukan. Allah berada di tempat yang Maha Tinggi, dan Dia menurunkan jalan-jalan itu hingga kehidupan manusia di dunia. Setiap orang dapat kembali kepada Allah dengan menempuh jalan Allah yang diturunkan-Nya. Bila ia menempuh jalan yang keliru, maka ia akan menyimpang dari jalan Allah. Seorang perempuan yang menempuh jalan kembali melalui selain suaminya dan meninggalkan suaminya akan terjatuh pada perbuatan keji karena itu bukan jalan yang ditentukan Allah baginya. Pada dasarnya demikian pula bagi setiap laki-laki yang meninggalkan isterinya. Pada tingkatan yang lebih tinggi, setiap laki-laki harus mengikuti akalnya tidak boleh meninggalkannya untuk mengikuti orang lain, karena akalnya itulah jalan yang diturunkan Allah bagi dirinya. Ia boleh meninggalkan pemahaman yang lama mengikuti orang lain bila akalnya telah memahami kebenaran yang lebih baik.

Perbuatan keji mencakup keadaan dzahir maupun bathin. Kekejian tidak hanya berupa perbuatan keji yang terwujud secara dzahir. Suatu kekejian yang tersimpan dalam bathin tanpa didzahirkan termasuk dalam hal yang diharamkan karena mempunyai pengaruh besar yang membuat seseorang menyimpang jalannya. Seorang isteri yang menyimpan rasa cinta kepada laki-laki selain suaminya, atau seorang laki-laki yang menyimpan rasa cinta kepada isteri orang lain merupakan perbuatan keji yang diharamkan sekalipun tidak diwujudkan. Mewujudkan rasa cinta itu menjadi perbuatan yang lebih berat keharamannya, dan benar-benar melanggar pokok yang diharamkan.

Setiap orang harus menghindari kekejian hingga akar yang ada dalam hatinya. Bila seseorang tidak membersihkan hatinya dari suatu kekejian, ia akan tersimpangkan langkahnya ketika berjalan menuju Allah. Sangat sulit bagi seseorang untuk berbuat dengan benar manakala tertanam suatu kekejian di dalam hatinya. Setiap orang harus dibersihkan dari kekejian walaupun kekejian itu boleh jadi bukan penyakit yang ditumbuhkannya sendiri. Seseorang dapat terkena qadzaf berupa guna-guna atau ilmu pengasihan yang membuat kekejian bathin itu tertancap dalam hati, maka ia akan kesulitan untuk dapat berbuat dengan benar sekalipun ia menginginkan berbuat benar. Tidak jarang persepsi orang yang ada kekejian dalam bathinnya terbalik-balik dari realitasnya. Apa yang benar dinilai salah dan apa yang salah dinilai benar, dan lain-lain. Kekejian itu harus dilepaskan terlebih dahulu dari hatinya agar ia dapat berbuat benar.

Kekejian tersebar pada setiap tingkatan. Dikhabarkan bahwa suatu cahaya datang kepada syaikh Abdul Qadir Jailani dalam suatu ibadahnya, dan cahaya itu mengatakan bahwa dirinya adalah Allah. Syaikh merasa gembira dengan kedatangan cahaya itu karena dalam pandangannya menjadi tanda tibanya ridla Allah kepada dirinya. Dalam perjalanan taubat, ada sebuah fase di mana Allah memperkenalkan diri-Nya sesuai kemampuan hamba-Nya berupa tajalli Allah, sebagaimana nabi Musa a.s bertemu pohon api suci di thur Sina. Yang diperkenalkan Allah tentang diri-Nya hanyalah yang mampu dikenal sang hamba tersebut. Kegembiraan syaikh Abdul Qadir Jailani saat itu sirna manakala cahaya tersebut kemudian menghalalkan bagi syaikh apa-apa yang dahulu diharamkan, dan syaikh kemudian mengetahui bahwa cahaya itu hanyalah Iblis yang menyaru. Itu adalah potensi penyimpangan yang bisa terjadi di tingkatan yang tinggi.

Sangat banyak kemungkinan penyimpangan di tingkat yang lebih samar. Dalam hal ini samar menunjukkan bobot yang ringan, tidak menunjuk pada jenis dzahir atau bathin. Misalnya (tidak terbatas pada) manakala seorang isteri mengeluhkan suaminya yang dipandang terlalu berkeinginan melaksanakan amal shalih, isteri tersebut memperoleh dukungan umat dan umat mencegah suaminya melakukan amal shalih dan menghakimi suaminya sebagai orang tidak adil, tanpa berusaha memahami terlebih dahulu apa yang diperjuangkan suaminya. Atau boleh jadi ada orang mengeluhkan kepada manusia tentang suatu petunjuk Allah, maka umat kemudian merusak jalan-jalan untuk mencegah terwujudnya petunjuk itu tanpa berpegang pada landasan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Hal demikian dapat menjadi contoh penyimpangan yang samar.

Para mukminat pada dasarnya berbakti kepada Allah melalui bakti kepada suaminya, tidak mencari jalan yang lain. Bila suaminya orang yang kafir, hendaknya ia dapat memberikan imbangan terhadap suaminya sebagaimana Asiyah r.a binti Muzahim terhadap Fir’aun. Bila suaminya beriman, amal shalih suaminya adalah sumber amal shalih bagi dirinya. Bila seorang suami berusaha beramal shalih dan isteri mengadukan suaminya kepada orang lain, tindakan itu menyalahi jalan yang ditentukan Allah. Orang yang melakukan hal demikian dan orang yang menyambut pengaduannya pada dasarnya hanyalah orang-orang yang mengalami kebingungan dalam menempuh jalan Allah, dan ini adalah tanda kekejian yang samar. Bukan mustahil ada kekejian yang nyata menjadi latar belakang kebingungan demikian. Bila pengaduan seorang isteri kepada orang lain adalah kedzaliman suaminya, maka hal demikian harus ditindaklanjuti dengan meminta pertanggungjawaban suaminya, tidak hanya dihukumi berdasarkan pengaduan sepihak.

Demikian pula bila seseorang mengeluhkan suatu petunjuk Allah kepada manusia, itu adalah gejala kekejian yang samar. Allah menurunkan petunjuk agar manusia dapat memperoleh jalan dan arah untuk kembali kepada Allah. Tidak ada alasan bagi manusia untuk mengeluhkan petunjuk Allah. Bila ia bergembira dengan suatu petunjuk, petunjuk itu sangat mungkin berasal dari hawa nafsunya atau bahkan syaitan. Secara umum, syaitan tidak menyesatkan manusia dari apa yang tidak disukai manusia. Bila ia merasa berat mengikuti petunjuk yang datang, itu sangat mungkin adalah petunjuk Allah. Ia tidak boleh mengeluhkan kepada makhluk lain tentang petunjuk yang datang.

Tidak jarang makhluk lain akan memberikan reaksi yang salah terhadap keluhan seseorang, hingga merusak petunjuk Allah atau membuka jalan bagi syaitan. Syaitan dapat memunculkan petunjuk baginya untuk menggantikan petunjuk Allah. Manusia dapat merusak jalan-jalan untuk mengikuti petunjuk sehingga seseorang menimbulkan kesulitan yang besar untuk mengikuti petunjuk. Dengan kesulitan mengikuti petunjuk, seseorang akan terhambat atau terhenti dalam perjalanan kembali kepada Allah, atau tersimpangkan langkahnya hingga tersesat. Mengeluhkan petunjuk Allah merupakan tanda adanya kekejian yang tersamar. Manakala seseorang mengeluhkan petunjuk Allah, ia harus menyadari bahwa sangat mungkin dirinya menghadap pada suatu qiblat yang salah, dan ia mungkin akan berjalan menyimpang.

Sangat banyak contoh bentuk-bentuk kekejian yang tersamar. Hal ini akan jelas bagi orang-orang yang benar-benar ingin kembali kepada Allah dengan benar melalui jalan-jalan yang diturunkan-Nya. Ini adalah jalan orang yang ikhlash, tidak ada keinginan lain dalam upayanya kembali kepada Allah. Kadangkala seseorang melihat dirinya ikhlas, tetapi ada hembusan kesombongan yang dinikmati ketika kembali kepada Allah, maka ia akan bisa celaka karena menikmatinya di dunia. Barangkali ia tidak melihat itu sebagai kesombongan tetapi nikmat Allah yang dikaruniakan. Bagi orang yang ikhlas, ia akan tetap menginginkan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW sekalipun dihembus dengan berbagai kenikmatan yang besar.

Selasa, 17 Oktober 2023

Ilmu dalam Perjalanan Taubat

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Menyatukan langkah hanya dapat dilakukan seseorang bila ia mempunyai kerangka ilmu. Setiap orang harus membina kerangka ilmu dalam diri mereka agar dapat melakukan tafaquh terhadap tuntunan Allah. Tanpa ilmu, seseorang tidak akan mempunyai referensi untuk menyatukan langkah terhadap langkah Rasulullah. Ilmu walaupun sedikit tetap merupakan bayang-bayang cahaya Allah, dan dari yang sedikit itu setiap orang harus mencari jalan memperoleh yang lebih baik. Bila seseorang membuang cahaya yang sedikit, ia akan terjatuh pada kegelapan.

﴾۶۳﴿وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولًا

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS Al-Isra : 36)

Ayat di atas bukan berarti melarang seseorang untuk mengikuti, tetapi melarang manusia untuk tidak mempunyai ilmu. Terhadap Rasulullah SAW, larangan itu tidak muncul karena Rasulullah SAW memberikan tauladan dalam setiap aspek kehidupan. Selama seseorang mempunyai keimanan bahwa nabi Muhammad SAW adalah Rasulullah, maka hendaknya ia mengikuti Rasulullah SAW. Seandainya seseorang hanya mengetahui kebaikan adab Rasulullah SAW terhadap orang lain, ia boleh mengikuti kebaikan adab yang diketahuinya. Apabila seseorang mempunyai pengetahuan tentang Allah dan kedudukan Rasulullah SAW di sisi Allah, maka hendaknya ia mengikuti Rasulullah SAW dengan pengetahuannya. Setiap orang hendaknya mengikuti Rasulullah SAW dengan pengetahuan terbaiknya. Tidak mengikuti Rasulullah SAW untuk suatu pengetahuan lain hanyalah sebuah kebodohan, bukan suatu pengetahuan yang benar.

Terhadap selain Rasulullah SAW, larangan itu harus benar-benar diperhatikan. Setiap orang bisa menjumpai keadaan yang bermacam-macam. Ada syaitan yang dapat menipu manusia baik yang bodoh maupun yang pandai, ada orang-orang jahat yang berkeinginan menyesatkan. Ada orang-orang alim tetapi ilmu mereka tidak meliputi segenap aspek. Bila seseorang tidak memperhatikan jalannya dalam mengikuti orang lain, maka ia dapat terperosok dalam kesalahan yang berbahaya.

Selain keadaan di atas, ada orang-orang yang dapat benar-benar memberi petunjuk kepada manusia untuk menuju kebenaran, tetapi hendaknya umat lebih memperhatikan kaitan seruan mereka terhadap firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak mengikuti secara bebas apa yang mereka sampaikan tanpa mencari pijakannya dari kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Firman Allah dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW lebih memberikan pijakan yang kokoh bagi orang-orang yang berusaha memahami kebenaran daripada perkataan seluruh manusia.

Bertuhan Selain Allah

Dalam sebuah hadits diceritakan tentang suatu bahaya yang dapat menimpa orang-orang yang tidak berpegang pada ilmu dalam kehidupan mereka, sebagaimana hadits berikut :

Dari Adiy bin Hatim at-Tha’i berkata :
أتيتُ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ وفي عنقي صليبٌ من ذَهبٍ. فقالَ يا عديُّ اطرح عنْكَ هذا الوثَنَ وسمعتُهُ يقرأُ في سورةِ براءةٌ اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ قالَ أما إنَّهم لم يَكونوا يعبدونَهم ولَكنَّهم كانوا إذا أحلُّوا لَهم شيئًا استحلُّوهُ وإذا حرَّموا عليْهم شيئًا حرَّموه.
Aku (Adi bin Hatim ath-Tha’i) datang kepada Nabi SAW sedangkan di leherku terdapat salib dari emas. Maka Nabi menasehatiku, ‘Wahai Adi jatuhkan berhala ini dari lehermu’. Dan aku mendengar Nabi Saw membaca ayat dari surat Bara’ah (ayat 31): Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahibnya sebagai tuhan selain Allah. (‘Adiy berkata) : sebenarnya mereka tidak menyembahnya, (Rasulullah SAW bersabda): tapi ketika mereka (ulama dan rahib) itu menghalalkan sesuatu maka mereka (umat) ikuti, dan ketika mereka (ulama dan rahib) itu mengharamkan sesuatu mereka (umat) ikuti. (HR At-Tirmidzi no. 3095 dalam Kitab Shahih At-Tirmidzi)

Adiy bin Hatim merupakan seorang sahabat yang masuk islam dari sebelumnya mengikuti agama kristiani. Kristiani yang tersebar di jazirah Arab lebih diwarnai kristen tauhid semacam kristen arian. Mereka adalah pengikut kristiani yang tidak mengakui trinitas ketuhanan sebagaimana kristiani yang lain, dan tersebar ke jazirah arabia karena nubuwah tentang nabi akhir jaman yang akan turun di wilayah Arabia. Demikian ‘Adiy bin Hatim merupakan penganut kristen yang bertauhid, walaupun dalam kacamata modern tampak sebagai kristen yang tercampur dengan agama shabiiyah. Sekalipun bertauhid, bukan jaminan bahwa penganut agama itu berjalan dengan lurus. Kristen di Arabia tidak terlepas dari praktek menjadikan orang-orang alim dan para rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.

Rasulullah SAW menerangkan keadaan mereka termasuk kepada ‘Adiy bin Hatim, dan Adiy bin Hatim menyanggah penjelasan Rasulullah SAW tersebut. Dalam pandangan ‘Adiy bin Hatim, orang-orang kristen semacam dirinya tidaklah menjadikan orang-orang alim dan rahib mereka, juga nabi Isa a.s sebagai tuhan-tuhan yang mereka sembah. Rasulullah SAW mengetahui pendapat ‘Adiy dan menjelaskan lebih lanjut bahwa cara mereka menjadikan para alim dan rahib sebagai tuhan tidaklah dengan cara menyembah mereka, akan tetapi dengan mengikuti mereka secara berlebih tanpa pengetahuan, sedemikian manakala para alim dan rahib mereka menghalalkan apa yang diharamkan, maka mereka mengikutinya menghalalkan apa yang diharamkan. Demikian pula manakala para alim dan rahib mengharamkan apa yang dihalalkan, maka mereka mengikuti mengharamkan apa yang dihalalkan. Hal demikian itu adalah bentuk penyembahan terhadap para alim dan rahib di antara mereka.

Dengan pernjelasan Rasulullah SAW demikian, Adiy bin Hatim mengetahui keutamaan yang besar dalam jalan ibadah kaum muslimin, yaitu beribadah dengan dasar akal yang memahami kehendak Allah. Sekalipun sama-sama bertauhid, umat yang mengikuti Rasulullah SAW mempunyai derajat yang berbeda dengan kristiani yang sebelumnya diikutinya karena adanya penekanan terhadap penggunaan akal dalam beribadah. Menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal merupakan gejala pokok yang menunjukkan jatuhnya umat beragama pada penyembahan kepada selain Allah, dalam hal ini penyembahan terhadap para ulama dan rahib. Gejala tersebut hanya terjadi pada umat yang akalnya lemah, atau tumbuh secara menyimpang dari kehendak Allah, hingga bahkan hal-hal pokok yang diharamkan dan dihalalkan dapat saling tertukar dalam pandangan umat. Gejala itu tidak akan terjadi pada umat yang menggunakan akalnya dengan benar.

Rasulullah SAW barangkali tidak menyebut mereka sebagai orang-orang musyrik karena tidak ada keinginan untuk menyembah selain Allah. Akan tetapi mereka bukanlah kaum yang dapat tumbuh dengan baik karena akal yang terberangus dalam penyembahan kepada selain Allah. Dalam beberapa kategori, mereka dapat dikatakan sebagai kafir karena mendustakan ayat-ayat Allah. Beberapa ayat Allah yang tidak dipilih oleh para alim dan rahib di antara mereka menjadi tidak berfungsi karena digantikan dengan sabda-sabda para alim dan rahib di antara mereka sedangkan sabda itu bertentangan dengan firman Allah.

Memperbaiki Keadaan

Mendukung para ulama dan rahib dalam menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah merupakan tanda yang nyata bahwa umat telah menjadikan para ulama dan rahib sebagai tuhan selain Allah. Tanda demikian tidak berdiri sendiri, tetapi sebenarnya disertai dengan keburukan yang banyak yang mendahuluinya. Memperbaiki ubudiyah kepada Allah di antara umat yang demikian harus disertai dengan memperbaiki keburukan-keburukan yang terbina sebelumnya, tidak hanya dengan langkah kembali mengharamkan yang haram dan menghalalkan yang halal. Ada hal fundamental pada umat yang tidak dapat mendukung perbaikan, yaitu sikap umat dalam menggunakan akal. Setiap orang harus mempunyai kemampuan menggunakan akal dengan benar.

Di antara buruknya keadaan mereka adalah keadaan semacam orang yang tidak mempunyai akal untuk memahami kehendak Allah. Mereka hanya mengenal kebenaran dari apa yang dikatakan sebagai kebenaran, dan mengenal keburukan dari apa yang dikatakan sebagai keburukan. Ketika suatu keburukan dikatakan sebagai kebaikan, mereka menyangka itu sebagai kebaikan. Ketika suatu kebaikan dikatakan sebagai keburukan, mereka menyangka itu sebagai keburukan. Mereka tidak dapat menemukan jalan yang disediakan Allah bagi masing-masing untuk melangkah mendekat kepada Allah melalui kebenaran. Ketika Allah memberikan petunjuk, mereka tidak mengenal kandungan petunjuk tersebut. Bahkan manakala kitabullah berbicara secara fasih tentang keadaan mereka, mereka boleh jadi akan mendustakan firman Allah atas diri mereka tersebut. Itu gejala yang timbul bahwa mereka menjadikan para alim dan rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.

Seringkali tampak adanya sikap fanatik pada kaum demikian. Barangkali ada orang-orang yang mengeluhkan ketetapan yang diturunkan Allah dan justru mendapatkan dukungan umat. Masyarakat tidak mengembalikan keadaan mereka menuju jalan Allah tapi justru menjauhkannya dalam bentuk dukungan. Misalnya manakala seorang isteri mengeluhkan suaminya yang dipandang terlalu berkeinginan melaksanakan amal shalih, isteri tersebut memperoleh dukungan umat dan umat mencegah suaminya melakukan amal shalih dan menghakimi suaminya sebagai orang tidak adil, tanpa berusaha memahami terlebih dahulu apa yang diperjuangkan suaminya. Atau boleh jadi ada di antara mereka orang mengeluhkan kepada manusia tentang suatu petunjuk Allah, maka umat kemudian merusak jalan-jalan asbabnya untuk mencegah terwujudnya petunjuk itu tanpa berpegang pada landasan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Fanatisme demikian ini merupakan bentuk kekufuran yang sangat merusak umat manusia. Seharusnya setiap orang diarahkan untuk kembali mencari kehendak Allah dalam kehidupan mereka, dan itulah bentuk keislaman yang sesungguhnya. Dalam hal semacam ini, sebenarnya masyarakat mengabaikan atau tidak ingin mengetahui kehendak Allah, tetapi lebih cenderung hanya mengikuti persangkaan atau perkataan orang-orang alim dan rahib di antara mereka.

Secara sosial, keburukan yang mungkin muncul antara lain prasangka buruk terhadap orang-orang yang berusaha beramal shalih, suatu prasangka tertentu yang termasuk dalam kategori perkataan yang paling dusta. Sebagian prasangka di antara umat demikian (terutama terhadap orang-orang yang menemukan bentuk amal shalih) merupakan bagian dari perkataan yang paling dusta hingga dapat menghilangkan kekuatan untuk terlahirnya amal shalih. Prasangka itu kemudian menyebar sebagai perkataan yang kokoh di antara masyarakat. Manakala seseorang di antara mereka menemukan perintah Allah bagi diri mereka, mungkin muncul tuduhan-tuduhan buruk yang mengakibatkan kekuatan untuk beramal mengempis. Barangkali perkataan itu tidak berpengaruh besar dalam motivasi personal, tetapi akan mempengaruhi kekuatan beramal yang membutuhkan dukungan sosial. Hal ini akan berpengaruh terhadap umat. Amal shalih yang seharusnya menjadi inspirasi bagi yang lain hanya akan dianggap keburukan, dan umat akan lebih senang beramal dengan persangkaan mereka sendiri daripada mengenal amal shalih yang menjadi kehendak Allah. Persangkaan buruk demikian harus diredakan atau diganti dengan tumbuhnya sikap supportif terhadap orang yang berusaha menunaikan amal shalih mereka.

Karena keadaan demikian, apa yang menjadi kehendak Allah bagi umat manusia menjadi terbengkalai tidak dijadikan sebagai amal shalih. Mereka tidak menghambakan diri kepada Allah walaupun menginginkannya, tetapi menghambakan diri kepada para ulama dan rahib di antara mereka. Urusan para ulama dan rahib menjadi lebih utama daripada apa-apa yang dikehendaki Allah untuk ruang dan jaman mereka. Mereka menyangka bahwa mereka menghambakan diri kepada Allah sedangkan mereka mengabaikan kehendak Allah atas mereka. Sebenarnya Allah dan Rasulullah SAW memandang bahwa mereka telah mengabdi kepada para ulama dan rahib di antara mereka, sedangkan mereka menyangka mengabdi kepada Allah.

Jalan utama agar umat yang demikian bisa kembali ke jalan Allah adalah membina umat agar menggunakan akal dengan benar. Perlu dilakukan pelatihan dan bimbingan terhadap kekuatan jiwa dalam mengamati ayat-ayat Allah baik kauniyah maupun dalam kitabullah, dan hubungan di antara keduanya. Tidak semua orang yang kuat pikirannya mempunyai akal yang kuat. Kekuatan akal seseorang diukur dari pemahaman seseorang terhadap hubungan ayat dalam kitabullah dan kauniyah secara sinergis. Kekuatan akal tidak diukur berdasarkan kemampuan lisan menceritakan ulang apa yang diceritakan kepada mereka. Dalam ibarat misykat, kekuatan akal itu diukur dari kualitas bayangan pohon thayibah yang terbentuk dalam bola kaca mereka. Kekuatan akal itu yang akan memurnikan penghambaan sesseorang kepada Allah, membersihkan penghambaan kepada selain Allah termasuk kepada para ulama dan rahib di antara mereka.

Keikhlasan tidak akan terbentuk pada diri seseorang dengan usaha mereka sendiri, tetapi akan terbentuk karena terbinanya akal. Para ulama khawarij membina keikhlasan manusia dengan pengajaran memerangi bid’ah dan mereka merasa diri paling suci. Kalaupun mereka suci, kesucian itu tidak akan membina akal mereka untuk memahami ayat Allah. Cara itu tidaklah membina keikhlasan kecuali hanya khayalan saja. Sebagian orang menempuh jalan tazkiyatun-nafs, maka tazkiyatun-nafs itu membantu tumbuhnya akal, dan tumbuhnya akal menumbuhkan keikhlasan. Tazkiyatun-nafs tidaklah dilakukan untuk mencapai kesucian diri, tetapi untuk menumbuhkan keikhlasan, dan hal itu akan terjadi melalui tumbuhnya kekuatan akal dalam memahami ayat-ayat Allah, berupa pemahaman terhadap ayat kauniyah bersama dengan ayat kitabullah. Nafs mereka menjadi peka dan membutuhkan ayat-ayat Allah. Manakala seseorang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, atau mengikutinya, kekuatan akal yang ada sebenarnya hampir runtuh. Langit hampir runtuh dan bumi hampir-hampir terbelah manakala seseorang mengatakan bahwa Allah mengambil anak, apalagi bila mereka menjadikan sesuatu sebagai tuhan selain Allah.





Kamis, 12 Oktober 2023

Tafakuh terhadap Kitabullah dan Sunnah

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Di antara cara mengikuti langkah Rasulullah SAW adalah memanfaatkan karunia Allah untuk memahami kehendak-Nya. Allah memberikan kepada setiap manusia qalb, mata hati dan pendengaran agar dimanfaatkan manusia untuk memahami kehendak-Nya dan berbuat sesuai dengan kehendak yang dipahami sesuai dengan ayat-ayat Allah yang ditunjukkan kepada mereka, yaitu kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW serta kauniyah yang digelar bagi mereka.

﴾۹۷۱﴿وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka) Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS Al-Israa’ : 179)

Allah menjadikan kebanyakan dari kalangan manusia dan jin yang mempunyai hati tetapi tidak digunakan untuk bertafaqquh terhadap ayat-ayat Allah, mempunyai mata tetapi tidak digunakan untuk melihat ayat-ayat Allah, dan mempunyai telinga tetapi tidak digunakan untuk mendengarkan ayat-ayat Allah sebagai isi neraka jahannam. Mereka termasuk orang-orang yang lalai dari nikmat Allah, tidak menggunakan nikmat Allah sebagaimana yang Allah kehendaki, dan kelalaian itu akan menjadikan mereka sebagai ahli neraka.

Bertafaqquh adalah upaya membentuk pemahaman dan mewujudkan tindakan (hingga tingkatan dzahir) yang tepat dalam upaya mengikuti tuntunan Allah. Tuntunan dalam hal ini tidak terbatas pada aspek-aspek syariah saja. Kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW sebenarnya memberikan tuntunan kepada manusia tentang visi kehidupan yang hakiki dan juga tuntunan amal yang harus diwujudkan untuk mencapai visi tersebut. Orang yang bertafaqquh dengan kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW seharusnya menemukan visi kehidupan mereka dan juga langkah praktis yang harus dilakukan untuk merealisasikan visi tersebut.

Banyak bahaya yang dapat terjadi pada orang-orang yang berada pada kriteria ayat di atas dan tidak berusaha menemukan visi kehidupan berdasarkan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Mereka dapat tertimpa fitnah melalui karunia-karunia yang diperolehnya. Manakala yang diperoleh seseorang melalui indera mereka bernilai benar, hendaknya ia menyusun pemahamannya sesuai kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, maka ia akan memperoleh visi dan langkah yang sesuai dengan mengikuti tuntunan tersebut. Manakala pemahaman itu berlebih dari tuntunannya hendaknya dicukupkan berpegang pada tuntunan, apabila pemahamannya rapuh, hendaknya ia mengokohkan, dan manakala pemahamannya bertentangan, maka hendaknya ia merombak pemahamannya mengikuti kitabullah dan sunnah Rasulullah tidak mengikuti indera mereka sendiri. Selain memberikan informasi yang bermanfaat, indera bathiniah dapat membuat fitnah yang banyak bila tidak digunakan dengan tepat. Segala sesuatu yang diperoleh melalui qalb, pendengaran dan penglihatan bathin dapat dipersepsi secara salah oleh seseorang, dan tidak sedikit pula merupakan tipuan syaitan.

Bahaya Bila Menyimpang

Bila seseorang tidak mengikuti tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, ia akan tersesat dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya, lebih sesat daripada hewan-hewan ternak yang hanya mementingkan syahwat dan hawa nafsu masing-masing. Bila orang-orang hanya mengikuti hawa nafsu dan syahwat masing-masing, maka perselisihan mereka dengan orang yang berkeinginan kembali kepada Allah hanya akan berkisar pada kepentingan mereka di alam dunia saja. Bila orang-orang tersesat dalam jalan taubatnya, mereka akan bisa berselisih dengan orang yang kembali kepada Allah dalam banyak langkah-langkah mereka untuk kembali kepada Allah, menimbulkan kekacauan pada setiap tingkatan yang dicapai oleh masing-masing.

Kekacauan yang terjadi akan berpengaruh hingga alam dunia, tidak hanya kekacauan pada tingkatan pemahaman. Misalnya ketika menghadapi fitnah, hingga fitnah yang terbesar berupa Dajjal. Orang-orang yang benar-benar ingin kembali kepada Allah menginginkan semua orang selamat dengan menempuh langkah berdasarkan tuntunan Allah. Dalam pandangan mereka, pertahanan terhadap fitnah Dajjal yang paling baik bagi setiap orang salah satunya adalah rumah tangga yang baik, dan mereka mengetahui sistem Dajjal akan merusak pernikahan hingga konsep-konsep elementernya. Para laki-laki dan perempuan bahkan akan dibingungkan syaitan hingga kebingungan terhadap identitas elementer diri mereka masing-masing berupa jenis kelamin sendiri yang sebenarnya sangat mudah dikenali. Hal ini bertujuan agar manusia tidak dapat mengenali sedikitpun apalagi mengikuti agama sesuai millah dan sunnah uswatun hasanah membina bayt berupa rumah tangga. Sangat banyak langkah syaitan yang membuat manusia menjadi kebingungan dalam langkah mereka, tidak mampu membedakan jalan yang lurus dengan jalan yang keji dan buruk, atau merasakan perkataan yang hak tentang Allah.

Orang-orang yang mengikuti tuntunan Allah akan benar-benar berusaha menyeru umat manusia untuk membina bayt sebagai sarana pertahanan diri mereka dari fitnah dan sarana beribadah kepada Allah berdasarkan tuntunan yang benar. Orang-orang yang mengikuti syahwat dan hawa nafsu akan memperoleh sebagian yang menguntungkan dengan seruan mereka, karena terbukanya jalan kemakmuran duniawi dan kemegahannya melalui seruan itu, apabila mereka mendengar. Hal ini mungkin berbeda bagi sebagian orang. Bagi orang-orang yang hanya mengikuti indera mereka tanpa berpegang pada tuntunan Allah, seruan ini boleh jadi akan memperoleh hambatan dan penentangan. Seruan ini bisa saja dianggap tidak penting karena indera mereka mengatakan tidak penting untuk dilakukan, sedangkan mereka tidak memahami tuntunan Allah bahwa setengah bagian agama adalah pernikahan. Lebih sulit lagi, bisa jadi mereka menghalang-halangi orang-orang untuk berusaha membina rumah tangga sesuai tuntunan Allah, atau merusak tuntunan Allah dalam urusan pernikahan, atau bahkan merusak rumah tangga orang-orang yang berusaha menyeru umat untuk membina pernikahan mereka sesuai tuntunan Allah. Banyak hal yang mungkin dilakukan bertentangan dengan kitabullah.

Syaitan akan bergembira dengan kerusakan melalui orang yang tidak bertafaquh. Mereka dijadikan syaitan pintu untuk merusak umat manusia hingga mencapai orang-orang yang mempunyai kualifikasi terbaik. Seandainya orang yang baik itu tidak mengikuti syaitan, maka keadaannya akan menjadi sulit untuk melaksanakan amal-amal shalih mereka. Ini adalah kesesatan yang lebih jauh karena tidak bertafaquh yang menimpa orang-orang yang hanya mengikuti indera mereka.

Kerangka Ilmu Sebagai Acuan

Menyatukan langkah sesuai tuntunan Allah hanya dapat dilakukan seseorang bila ia mempunyai kerangka ilmu. Setiap orang harus membina kerangka ilmu dalam diri mereka agar dapat melakukan tafaquh terhadap tuntunan Allah. Tanpa ilmu, seseorang tidak akan mempunyai referensi untuk menyatukan langkah terhadap kehendak Allah. Sedikit atau banyaknya, ilmu harus menjadi acuan bagi setiap orang untuk melangkah, yaitu ilmu yang benar. Ilmu walaupun sedikit tetap merupakan bayang-bayang cahaya Allah, dan dari yang sedikit itu setiap orang harus mencari jalan memperoleh yang lebih baik. Bila seseorang membuang cahaya yang sedikit, ia akan terjatuh pada kegelapan. Sebenarnya sama saja bagi mereka sekalipun akal telah menjadi kuat, wajib tetap berpegang pada ilmu, atau ia akan tersesat.

﴾۶۳﴿وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولًا

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS Al-Isra : 36)

Ayat di atas melarang orang beriman untuk mengikuti sesuatu yang ia tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Maksudnya adalah bahwa seseorang tidak boleh terus mengikuti orang lain tanpa menambah pengetahuannya, atau tidak boleh terus mengikuti sedangkan tidak bertambah pengetahuannya ketika mengikutinya. Hal itu agar seseorang tidak terus-menerus mengikuti langkah yang salah atau sia-sia. Seseorang boleh mengikuti orang lain tanpa lebih dahulu mempunyai pengetahuan, tetapi ia harus berusaha memperoleh pengetahuan segera setelah ia mengikutinya, tidak boleh terus mengikuti tanpa dibekali dengan pengetahuan tentang apa yang diikutinya.

Secara umum, setiap orang harus melangkah untuk menambah pengetahuan, dan hal itu akan lebih mudah dilakukan dengan mengikuti orang lain yang mempunyai pengetahuan. Umat manusia akan sulit berkembang atau justru akan rusak bila setiap orang mengandalkan dan hanya mempercayai pengetahuan masing-masing. Melangkah bersama dalam jamaah akan lebih memudahkan seseorang menambah pengetahuannya. Bila tidak bertambah pengetahuannya dengan mengikuti, hendaknya ia tidak terus mengikuti langkah orang lain itu. Ia harus berhenti sejenak, memeriksa keadaan ilmunya dan kesertaannya mengikuti jamaahnya. Ia boleh meneruskan langkah apabila telah mengetahui keadaannya dan jalan menambah ilmunya. Dalam keadaan tertentu, boleh jadi seseorang harus berpaling kepada orang yang lebih mendekati tafakuh terhadap tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.

Setiap orang harus memfokuskan diri dengan dasar konstruksi keilmuan dirinya sebelum mengikuti orang lain. Ini lebih penting daripada mengikuti orang lain. Yang tidak kalah penting untuk diperhatikan ketika mengikuti manusia adalah banyak orang jahat yang diberi pengetahuan dengan tujuan menjebak manusia terjerumus pada kejahatan. Para pengikut syaitan memperoleh banyak pengetahuan dari syaitan, tetapi pengetahuan itu digunkaan untuk kejahatan. Sedikit ilmu kebenaran yang terbina pada dirinya lebih baik daripada kemilau keilmuan yang tidak dipahami. Setiap orang harus mengkonstruk kerangka ilmu yang paling sesuai dengan tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, karena itulah yang akan menjadi bekal untuk bertafakuh. Walaupun harus dengan melihat kepada orang lain agar mudah membina, ia harus mengawasi konstruk keilmuan dirinya agar dapat tetap bertafaquh pada tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak membiarkannya menyimpang dari keduanya.

Membina diri dengan cara demikian akan menjadikan suatu umat menjadi kuat dalam melaksanakan kehendak Allah. Bila tidak, suatu masyarakat yang mengikuti kebenaran akan mengalami kejumudan terhenti pada suatu fase dan kemudian menyimpang dari jalan yang lurus. Telah banyak umat yang lemah dan menyimpang sekalipun mereka berkeinginan mengikuti kebenaran. Umat kristiani menjadikan para cendekia dan rahib mereka sebagai sembahan-sembahan selain Allah karena lemah dalam membina ilmu. Demikian pula kaum muslimin sebenarnya dapat berubah seperti kaum yang lain menjadikan sembahan-sembahan selain Allah berupa para wali mereka, yaitu manakala mereka mengikuti para wali mereka dalam menghalalkan yang diharamkan dan mengharamkan apa yang dihalalkan. Hal ini sebagaiana dijelaskan Rasulullah SAW kepada sahabat Adiy bin Hatim.

Orang yang berhati-hati dalam mengikuti ilmu seringkali akan dipandang masyarakat umum sebagai orang yang keras kepala. Hal ini merupakan tantangan awal yang harus dihadapi oleh orang yang ingin beribadah kepada Allah dengan sebenarnya, bahwa ia lebih memperhatikan perintah Allah daripada pendapat manusia. Hal ini tidak berarti seseorang boleh mengabaikan semua perkataan manusia. Hanya ketika perkataan manusia tidak selaras atau bertentangan dengan firman Allah maka ia boleh tidak sejalan dengan manusia. Bila suatu perkataan lebih baik daripada konstruk ilmu dirinya maka ia harus membina kembali konstruk keilmuannya mengikuti yang lebih baik, dan kebaikan dalam cara ini lebih banyak ditemukan. Sebenarnya boleh jadi banyak pengetahuan dirinya juga tidak selaras dengan firman Allah maka hendaknya ia tetap memperhatikan perkataan manusia untuk membantu lebih menselaraskan diri dengan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW.

Ada saatnya seseorang harus melakukan amar ma’ruf nahy munkar dengan pengetahuan yang telah diberikan kepadanya. Derajat yang sebenarnya tercapai ketika seseorang mengenal Allah, ditandai dengan pengenalan seseorang terhadap nafs diri mereka. Ketika seseorang mengenal untuk apa dirinya diciptakan, mereka akan mengenal Allah sebagai rabb mereka, mengenal kehendak Allah dengan benar. Boleh jadi mereka tidak mempunyai informasi yang terinci tentang sesuatu, tetapi mereka memahami kehendak Allah terkait dengan urusan yang harus mereka kerjakan. Sebagian orang mempunyai pemahaman lebih luas daripada orang lain dan lebih cepat menerima petunjuk, tetapi yang harus diikuti setiap orang adalah pemahaman yang lebih terkait dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Itu lebih mendekatkan pada sikap tafakuh terhadap ayat-ayat Allah. Sebelum mencapai derajat yang sebenarnya, setiap orang harus berusaha beramar ma’ruf nahy munkar terhadap masyarakat mereka, akan tetapi tidak boleh memaksakan pemahaman mereka untuk diterima. Manakala suatu kemunkaran terjadi, ia harus berusaha mencegah dengan sebaik-baiknya berdasarkan ilmu yang diketahui.