Pencarian

Kamis, 28 Desember 2023

Membina Bayt Mengikuti Uswatun Hasanah

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Rasulullah SAW adalah tauladan yang tertinggi bagi semesta alam, sebagai makhluk yang diberi kemampuan mengenal tajalliat Allah di ufuk yang tertinggi. Allah juga menurunkan tauladan itu agar umat manusia merasa mudah untuk mengikuti langkah-langkah yang ditempuh. Nabi Ibrahim a.s merupakan tauladan yang menjelaskan lebih terinci dan nyata arah langkah yang perlu dilakukan oleh setiap manusia di bumi dalam mengikuti langkah Rasulullah SAW menjadi hamba yang didekatkan. Para nabi yang lain juga memberikan rincian langkah yang perlu dilakukan untuk mengikuti Rasulullah SAW, hanya saja kedudukan nabi Ibrahim a.s lebih khusus, merupakan segel yang mengesahkan keselamatan seseorang yang menempuhnya. Seseorang yang telah mengikuti nabi Ibrahim a.s akan dikatakan telah mengikuti Rasulullah SAW. Sebaliknya bila seseorang mengikuti langkah nabi yang lain dan mengingkari atau melenceng dari millah nabi Ibrahim a.s, maka orang tersebut akan celaka.

Millah yang dijadikan tauladan utama millah nabi Ibrahim a.s adalah membina bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah.

﴾۶۳﴿فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ
di dalam bayt-bayt yang telah diijinkan Allah untuk ditinggikan dan disebut asma-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang (QS An-Nuur : 36)

Bayt demikian berbentuk keluarga yang menempuh langkah bersama dalam meninggikan dan mewujudkan asma Allah yang dikenalnya. Nabi Ibrahim a.s bersama siti Hajar r.a dan nabi Ismail a.s yang berupaya meninggikan dan mewujudkan kehendak Allah bagi seluruh makhluk merupakan bayt al-haram, dan bayt tersebut kemudian dibuatkan monumennya dalam bentuk baytullah al-haram yang dijadikan sebagai kiblat bagi seluruh orang beriman. Bukan monumen itu yang dijadikan representasi baytullah tetapi keluarga nabi Ibrahim a.s.

Sangat banyak kebaikan yang akan terbina di dalam diri manusia dan di alam semesta manakala seseorang mengikuti millah nabi Ibrahim a.s membina bayt. Pengenalan terhadap asma Allah, pengenalan seseorang terhadap nafs wahidah dirinya, rasa mahabbah kepada Allah dan sikap kasih sayang terhadap sesama makhluk, akhlak yang baik terhadap imam sebagai representasi akhlak terhadap Allah, akhlak yang baik terhadap umat, dan banyak hal lain berupa kebaikan-kebaikan akan terbentuk mengiringi terbentuknya bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah. Dapat dikatakan bahwa seluruh kebaikan baik berupa kebaikan bathiniah ataupun kebaikan yang dzahir akan terbentuk manakala seseorang benar-benar mengikuti millah nabi Ibrahim a.s membina bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah.

Sebaliknya dapat dikatakan bahwa seluruh keburukan akan muncul manakala millah nabi Ibrahim a.s dirusak. Ada pula banyak bentuk-bentuk keshalihan semu atau palsu yang dapat terbentuk tanpa mempunyai kaitan dengan pembinaan bayt, maka bentuk-bentuk keshalihan demikian tidak mendatangkan kebaikan sebenarnya, seringkali hanya sesuatu ilusi tanpa isi. Segala sesuatu terkait kehidupan manusia hendaknya dipikirkan dalam kerangka membentuk bayt untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah. Millah nabi Ibrahim a.s merupakan keseluruhan arah kehidupan manusia, tidak ada hal lain yang perlu dipikirkan oleh seseorang di luar membina bayt. Hal-hal yang perlu dipikirkan manusia sebenarnya selalu terkait dengan bayt, dan hal yang di luar bayt hanya hal yang sia-sia. Ada hal-hal penting terkait kebaikan yang dipikirkan oleh manusia, tetapi sebenarnya merupakan cabang dari pembinaan bayt dan akan mudah diwujudkan manakala mengetahui kaitan masalahnya dengan pembinaan bait. Pengenalan diri misalnya, merupakan bagian dari membentuk bayt.

Pentingnya Tauladan Uswatun Hasanah

Pembinaan diri dapat diibaratkan membentuk kamera sebagai misykat cahaya, sedangkan pembinaan bayt dapat diibaratkan layaknya pembinaan rumah penyiaran bagi gambar yang terbentuk oleh kamera. Kamera itu berfungsi untuk membentuk mitsal bagi cahaya Allah, dan mitsal bagi cahaya Allah itu harus disiarkan melalui rumah penyiaran. Bila mitsal itu disiarkan dengan menunjukkan kamera pada setiap orang, akan sangat sedikit mitsal yang dapat dibentuk oleh kamera, dan sangat sedikit orang yang bisa melihat mitsal itu, dan bukan untuk hal demikian kamera itu diciptakan. Rumah penyiaran harus dibentuk untuk dapat memfasilitasi terselenggaranya pengambilan gambar dan penyiaran isi dari kamera itu dapat kepada umat mereka. Hanya dalam keadaan terpaksa maka suatu kamera harus dibawa ke setiap orang untuk menunjukkan mitsal cahaya Allah yang ada padanya. Dalam hal ini, rumah penyiaran itu hanya mempunyai hubungan khusus dengan satu kamera, tidak boleh digunakan untuk kamera yang lain. Bila suatu kamera asing bisa masuk, rumah penyiaran itu akan menimbulkan banyak bias informasi seperti pembajakan stasiun penyiaran.

Pembinaan bayt hendaknya mengikuti millah nabi Ibrahim a.s. Tata cara membentuk keluarga harus mengikuti tauladan nabi Ibrahim a.s dan nilai-nilai yang menjadi landasan dan yang tumbuh harus pula sesuai dengan tauladan nabi Ibrahim a.s berupa akhlak mulia. Tidak boleh ada kekejian masuk dalam suatu nilai di antara keluarga. Seorang suami membimbing keluarganya untuk melaksanakan perintah-perintah Allah, dan isteri memberikan baktinya bagi imam yang membimbingnya. Demikian pula anak-anak harus berusaha membantu pemimpin keluarga untuk terlaksananya perintah Allah. Seorang isteri tidak boleh mendahulukan urusan laki-laki lain mengalahkan urusan yang harus dikerjakan suaminya. Rasulullah SAW memerintahkan para perempuan untuk berbakti kepada kepada suaminya, tidak mengalahkannya dengan bakti kepada beliau SAW. Hal ini berlaku terhadap setiap mukminat. Bila menyangka bakti pada laki-laki tertentu lebih utama daripada kepada suaminya, rumah tangga itu telah menyimpang dari millah nabi Ibrahim a.s dan sunnah Rasulullah SAW.

Membina bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah merupakan amal yang menyentuh secara langsung setiap manusia sejak akal seseorang mencapai tahap akil baligh, kemudian menginjak masa pernikahan hingga terbentuknya suatu bayt yang memperoleh ijin Allah untuk mendzikirkan dan meninggikan asma-Nya. Sebelum itu, seseorang akan tumbuh dalam pengaruh suatu bayt orang tuanya atau orang lain yang mengasuhnya. Hampir setiap fase kehidupan manusia akan terkait pada suatu pembinaan bayt tertentu. Apabila rusak bayt itu, maka akan banyak hal dalam kehidupan dirinya yang terpengaruh kerusakannya.

Membentuk bayt harus dibina pada setiap orang sejak masa akil baligh. Pada fase awal, setiap orang yang menginjak usia akil baligh harus mengenal nilai kesetiaan sebagai lawan dari kekejian sebagai landasan membina bayt. Nilai kesetiaan itu akan menjadi landasan bagi pertumbuhan kebaikan yang lain. Bila seseorang terbina di atas akhlak keji, mudah tergoda pada hal-hal yang semu dan palsu, akhlak yang akan terbina di masyarakat akan sangat buruk. Pengkhianatan akan menjadi hal biasa yang terjadi di masyarakat. Sifat keji harus dijauhkan dari pertumbuhan. Pada fase berikutnya, setiap orang hendaknya dapat mengenali pertumbuhan dirinya melalui pengenalan terhadap pasangan hidup yang dipilih. Cara memilih pasangan akan mencerminkan pertumbuhan nafs seseorang dalam membina bayt, dan sebaliknya pertumbuhan nafs akan tercermin pada cara memilih pasangan. Pasangan yang dapat tumbuh hingga mencapai kualitas bayt terbaik dapat diperoleh bila seseorang dapat menemukan pasangan yang diciptakan dari nafs wahidah yang sama.

Setelah pernikahan terjadi, sepasang manusia akan mengarungi pelayaran mencari kehendak Allah yang diamanahkan bagi diri mereka. Nilai kesetiaan setiap orang dan pasangan terhadap kehendak Allah akan diuji. Seorang laki-laki yang membina dirinya akan merasakan hadirnya kehendak Allah melalui diri mereka, sedangkan isterinya pada dasarnya akan menghadirkan alam duniawi yang bermacam-macam dan dapat dipilih. Proses itu berjalan secara timbal balik karena interaksi pernikahan keduanya. Seorang isteri bisa menghadirkan semesta duniawi yang tepat dengan memahami suaminya, dan suami bisa mengenali kehendak Allah melalui isterinya. Bila proses memilih pasangan berantakan, interaksi ini akan terpengaruh. Kedua pihak harus dapat memahami pihak lainnya agar dapat memahami dan melaksanakan kehendak Allah. Bila mereka terseret untuk mengumpulkan harta benda sebanyak-banyaknya, maka tidak akan terbentuk bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah walaupun mungkin saja memperoleh pandangan demikian dari manusia. Setiap pasangan harus menentukan bentuk kehidupan terbaik bagi mereka untuk dapat melaksanakan kehendak Allah.

Setiap pasangan harus berusaha menjadi pakaian yang baik bagi pasangannya. Amal yang menjadi bahan ketakwaan akan muncul bagi mereka sebagai pasangan, dan masing-masing bisa mendapatkan ketakwaan melalui amal tersebut. Dalam setiap keadaan, setiap pihak dalam pernikahan harus berusaha menjadi pakaian yang baik bagi pasangannya. Isteri membawakan khazanah duniawi dan seorang suami membawakan perintah Allah yang harus mereka laksanakan sebagai pakaian ketakwaan bagi mereka semua. Bagian amal utamanya diperuntukkan bagi laki-laki sedangkan isterinya bisa memperoleh ketakwaannya dengan membantu memudahkan terlaksananya amal suaminya. Bila setiap pihak mengetahui amal itu dan mengerjakan dengan sebaik-baiknya, amal-amal itu akan menjadi pakaian ketakwaan bagi mereka. Sekalipun misalnya belum mengenali amal itu, setiap amal yang dilakukan dalam keberpasangan akan menjadi pakaian bagi mereka. Bila seseorang belum dapat melakukan dengan sebaik-baiknya, kekurangan itu hendaknya ditutupi oleh pasangannya. Apa yang kurang dari pasangannya hendaknya ditutup dengan baik oleh yang lain, tidak justru disebarluaskan. Sifat keberpakaian ini akan menguat bila terbina pernikahan yang baik, di mana setiap pihak akan tumbuh sifat menolong pihak lainnya.

Pembinaan diri melalui pernikahan dapat bersifat sangat intensif. Misalnya tuntutan menikah bagi seseorang kadangkala terjadi hingga dalam bentuk wajib ta’addud (poligami). Permasalahan dalam ta’addud akan menjadi sangat kompleks, dan kompleksitas dalam rumah tangga itu dijadikan Allah sebagai kekuatan dalam menyampaikan syiar agama kepada umatnya. Para isteri dituntut untuk dapat menerima madunya dengan baik. Hal ini adalah tuntutan besar yang membersihkan dan meningkatkan pertumbuhan nafs para isteri. Seorang suami tidak akan kalah sulit dalam mengatur diri dan rumah tangganya daripada isteri-isterinya. Ia harus benar-benar mengawasi keberadaan khianat dalam dirinya terhadap salah satu pihak dalam rumah tangganya, dan harus mengatur keadilan bagi setiap isterinya. Sekalipun ia telah berusaha adil dan jujur, belum tentu salah satu atau semua isterinya dapat menerima apa yang telah diusahakannya. Ia harus dapat menjaga seluruh rumah tangganya untuk dapat melaksanakan perintah Allah dengan sebaik-baiknya, dan hal itu akan menjadikan dirinya sebagai seseorang yang tumbuh akhlaknya dalam melaksanakan perintah Allah.

Kebersamaan dalam membentuk ketakwaan bersama tidak boleh dicederai oleh salah satu pihak. Seorang suami tidak boleh berkhianat pada salah satu pihak di antara mereka, dan seorang isteri tidak boleh membawakan khazanah dirinya kepada orang lain atau membuka celah masuk bagi musuh suaminya. Dalam hubungan ta’addud, satu isteri tidak boleh mengganggu rumah tangga isteri yang lain. Ia tidak boleh merusak sendiri atau mendatangkan orang lain untuk merusak hubungan suaminya dengan isteri yang lain. Kadangkala seorang isteri tanpa menyadari melibatkan pihak lain dalam hubungannya dengan suaminya, sedangkan pihak lain itu akan mendatangkan kerusakan terhadap hubungan suaminya dengan isteri yang lain. Hal demikian tidak dibolehkan, walaupun hal itu mungkin mendatangkan keuntungan. Kadangkala persangkaan keuntungan itu hanya merupakan ilusi, sedangkan keburukan yang akan diperoleh sangat banyak. Sekalipun misalnya hubungan suami dengan isteri yang lain rusak, belum tentu seorang isteri memperoleh keuntungan dari hal itu, justru lebih mungkin akan mendatangkan juga masalah hubungan dirinya dengan suaminya.

Perbedaan pendapat di antara dua laki-laki harus dianggap sebagai ancaman bersama oleh isterinya, tanpa harus memusuhi orang lain yang berbeda pendapat dengan suaminya. Ia tidak boleh membuka celah bagi orang lain itu membuka kelemahan atau keburukan suaminya. Bila melihat suaminya salah, hendaknya ia hanya memberikan nasihat kepada suaminya saja tidak mengumbar kesalahan itu kepada orang lain. Bila suaminya dalam kebenaran, ia harus memberikan dukungan yang dibutuhkan suaminya untuk menegakkannya tidak membantah atau mengekang langkah-langkahnya untuk mengikuti pihak lain. Hal demikian berlaku secara umum, tidak khusus hanya untuk kasus perselisihan. Bila salah satu pihak mencederai, ia sendiri akan memperoleh keburukan yang dilakukannya, atau setidaknya keluarganya akan tampak buruk dalam pandangan masyarakat. Perselisihan dalam hal ini lebih sering terjadi antara dirinya dengan suaminya.

Dengan semua adab yang telah dicontohkan dan diperintahkan kedua uswatun hasanah, seseorang dapat membina bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah. Pembinaan itu tidak boleh menyimpang dari tuntunan uswatun hasanah, karena hal itu membuka pintu bagi penyiaran ajaran syaitan. Akan sangat banyak madlarat yang terjadi bila sepasang manusia menyimpang dari tuntunan kedua uswatun hasanah tersebut. Walaupun misalnya terlihat baik, hal sebenarnya mungkin hanya dibantu oleh syaitan karena syaitan sangat berkepentingan. Kebaikan yang sebenarnya hanya ada pada bayt yang dibina mengikuti tuntunan kedua uswatun hasanah.

Menghindari Kerusakan

Syaitan akan berupaya keras untuk menghalangi atau menyimpangkan terbentuknya bayt. Seorang laki-laki dan perempuan yang telah saling mengenal nafs wahidah mereka bisa saja terhalang untuk bisa menyatukan diri dalam satu pernikahan karena syaitan, sedangkan mereka berkeinginan untuk bersama membentuk bayt. Bentuk-bentuk kerusakan bayt sangat bermacam-macam dan menjangkau seluruh jenjang langkah manusia. Sepasang remaja yang baru menginjak akil baligh dapat mengalami kerusakan besar dalam diri mereka manakala memperturutkan syahwat dan hawa nafsu, sedangkan pengetahuan tentang nafs wahidah dan keberpasangannya tidak terbangun dan justru rusak. Kasus lain, kerusakan dapat pula terjadi pada pasangan menikah yang telah melangkah jauh mengikuti millah nabi Ibrahim a.s untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah. Seorang isteri yang shalihah bisa tiba-tiba menjadi kebingungan tentang status pernikahan dirinya. Akalnya menjadi bengkok, dimana ia menyangka telah menikah dengan orang yang salah dan merasa bahwa suaminya yang seharusnya adalah laki-laki lain yang dikenalnya. Hal ini dapat terjadi secara tiba-tiba ataupun melalui proses panjang. Demikian pula seorang laki-laki dapat kehilangan orientasi dalam pernikahannya, tidak mengenal batas-batas pernikahan yang seharusnya dipatuhinya. Hal ini merupakan kerusakan yang bisa terjadi karena perbuatan syaitan. Sangat banyak bentuk kerusakan yang dapat terjadi pada pembinaan suatu bayt.

Kerusakan suatu bayt tertentu dapat memberikan pengaruh buruk bagi orang lain. Seorang gadis mukminat bisa saja menjadi sulit memperoleh jodoh karena orang lain yang tidak benar dalam membina baytnya. Demikian pula orang-orang yang beriman mungkin tidak bisa menemukan jalan untuk mengenali urusan Rasulullah SAW untuk ruang dan jaman mereka, terkurung oleh waham yang dibuat syaitan memandang diri mereka sebagai orang-orang baik. Suatu masyarakat besar dapat menjadikan pengkhianat mereka sebagai pemimpin, sedangkan pemimpin mereka itu menjual potensi dan sumber daya milik mereka kepada pihak lain demi keuntungan para penguasa dan orang-orang yang bersekutu dengan mereka. Masyarakat hanya memperoleh gula-gula yang sedikit dengan jerat hutang yang besar dan pajak-pajak yang mencekik, sedangkan potensi dalam diri mereka tidak dapat digunakan untuk mensyukuri karunia yang diberikan Allah. Orang-orang jahat bisa berkuasa dengan leluasa, sedangkan orang-orang shalih terkurung dalam waham pandangan buruk masyarakat. Hal-hal demikian merupakan contoh dampak yang dapat timbul dari kerusakan yang terjadi pada suatu bayt. Manakala menyimpang, kerusakan yang ditimbulkan akan sangat besar. Fitnah terbesar bagi umat manusia akan timbul karena hal demikian, mengalahkan dampak-dampak bencana karena hal yang lain.

Senin, 25 Desember 2023

Mengikuti Perkataan Terbaik

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Keikhlasan menjadi suatu syarat atas setiap hamba untuk menjadi hamba yang didekatkan. Keikhlasan adalah keinginan untuk mengenal Allah dengan benar agar dapat beribadah dengan amal yang sebersih-bersihnya tanpa suatu tindakan yang mencemari. Keikhlasan akan melahirkan keadaan berupa pemahaman yang benar terhadap kehendak Allah, dan pemahaman itu melahirkan akhlak yang mulia. Dengan keikhlasan, seseorang dapat melakukan amal ibadah yang bersih dari penyembahan kepada tuhan-tuhan selain Allah. Orang yang berusaha untuk mencapai keikhlasan disebut sebagai orang yang mukhlis.

Di antara syarat menjadi orang yang mukhlis adalah kemauan untuk mendengarkan perkataan-perkataan yang terbaik dan mengikutinya. Orang-orang yang memiliki keinginan untuk mendengarkan perkataan-perkataan yang baik dan mengikuti yang paling ihsan di antaranya termasuk sebagai golongan orang-orang yang diberi Allah petunjuk dan golongan ulul albab.

﴾۸۱﴿الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولٰئِكَ هُمْ أُولُوا الْأَلْبَابِ
yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS Az-Zumar : 18)

Di antara jalan yang dijadikan Allah sebagai sarana untuk menurunkan petunjuk adalah keinginan seseorang untuk mendengar perkataan yang baik dan mengikuti yang paling ihsan. Allah menurunkan petunjuk ke dalam hati setiap manusia agar setiap orang mengetahui kebenaran dan tujuan kehidupan mereka. Kesiapan hati seseorang untuk menerima petunjuk Allah dibentuk dari keinginan untuk mengetahui perkataan-perkataan yang baik dan mengikuti yang terbaik.

Sebagian kaum mungkin menganggap orang yang mencari petunjuk Allah dengan mendengarkan perkataan-perkataan yang baik dan mengikuti yang terbaik merupakan golongan orang-orang yang lemah dalam menerima petunjuk, sedangkan orang yang kuat dalam menerima petunjuk adalah orang-orang yang mengikuti petunjuk-petunjuk yang diperlihatkan secara langsung dalam hati mereka. Tidak sedikit masyarakat lebih suka mengikuti suatu perkataan orang yang memperoleh petunjuk dalam hatinya semacam mu’jizat walaupun mereka tidak mengetahui landasannya dengan jelas, sedangkan perkataan orang yang mendengar perkataan-perkataan yang baik dan mengikuti yang paling ihsan hanya dianggap kebenaran yang lemah. Hal demikian hanyalah penilaian berdasarkan hawa nafsu saja. Mendengarkan perkataan-perkataan yang baik dan mengikuti yang terbaik dapat menjadikan seseorang memperoleh petunjuk dalam hatinya secara jelas dan terarah, sama dengan atau lebih baik daripada orang yang hanya berharap petunjuk dengan hatinya saja.

Ulul Albab

Menerima petunjuk Allah dengan jalan mendengarkan perkataan-perkataan yang baik dan mengikuti yang terbaik merupakan jalan yang paling lembut dan selamat bagi setiap orang. Jalan demikian melibatkan setiap bagian diri manusia dari jasmani hingga akalnya. Karena komprehensifitas itu seseorang akan tumbuh dengan kokoh dan komprehensif dalam mencari kebenaran dengan keterlibatan setiap bagian dirinya. Telinga, mata, pkiran dan seluruh bagian badannya digunakan bersama dengan akal dan nafsnya untuk mengenali kebenaran, maka ia akan memperoleh petunjuk secara menyeluruh, lebih baik dari orang yang hanya berharap memperoleh petunjuk hanya dalam hatinya saja. Tidak jarang seseorang menempuh jalan demikian itu karena wujud rendah hati, ia tidak menempuh jalan singkat untuk memperoleh petunjuk secara langsung dan tidak ingin terlihat sebagai orang yang kuat dalam menerima petunjuk. Sikap rendah hati demikian tidak menunjukkan bahwa hatinya kurang dalam berharap petunjuk kepada Allah, bahkan boleh jadi ia lebih berharap kepada Allah dengan seluruh bagian dirinya.

Kebaikan orang yang menempuh jalan demikian terletak pada keinginan mengikuti apa yang paling ihsan dari yang diperolehnya. Keihsanan adalah pengetahuan seseorang terhadap Allah untuk dijadikan landasan beramal, dan hal ini terkait dengan penggunaan akal. Kebaikan dari mendengarkan perkataan-perkataan yang baik tidak berdiri sendiri, tetapi bersama dengan keinginan mengikuti yang paling ihsan. Setiap orang harus tegak dalam keinginan mengikuti perkataan yang paling dekat dengan kehendak Allah, tidak condong mengikuti pendapat orang lain manakala ia memahami suatu perkataan yang lebih dekat dengan kehendak Allah.

Allah akan memberikan petunjuk yang benar kepada orang-orang yang ingin mendengar perkataan-perkataan yang baik dan mengikuti yang paling ihsan, hingga orang-orang tersebut akan berubah menjadi ulul albab. Ini adalah keadaan yang sangat tinggi yang dapat diperoleh seseorang dengan mendengarkan perkataan-perkataan yang baik dan mengikuti yang paling ihsan, tidak boleh dianggap sebagai orang sepele dan remeh yang hanya memperoleh ilmu karena mengikuti perkataan orang lain. Allah menggolongkan mereka sebagai ulul albab, meskipun keunggulan itu mungkin tersembunyi bagi orang-orang bodoh yang mengharap mukjizat.

Setiap ulul albab selalu mendengarkan perkataan-perkataan yang baik, tidak tiba-tiba menjadi ulul albab tanpa peduli dengan perkataan yang baik. Allah mengubah mereka menjadi orang yang kuat akalnya dalam tingkatan ulul albab. Mengharapkan manifestasi kebenaran secara diskrit semacam mukjizat seringkali sebenarnya menunjukkan kelemahan akal seseorang. Sebaliknya, seringkali ulul albab yang menghadirkan kebenaran secara halus merupakan orang yang paling adil, mengetahui kekurangan dirinya dan orang lain yang perlu dan dapat diperbaiki dan mengetahui pula kebaikan yang tersembunyi pada hal-hal yang rendah, tanpa mengurangi kemampuannya mengetahui keajaiban di alam yang tinggi.

Sikap-sikap Yang Perlu Diperhatikan

Tidak sedikit orang yang terjebak dalam pandangan-pandangan ashabiyah dan hizbiyah dalam upaya mendengarkan perkataan-perkataan yang baik, maka keterjebakan itu merupakan perbuatan mengikuti hawa nafsu bukan menggunakan akal. Mereka kadang menjadi fanatik kepada suatu pendapat dari orang-orang tertentu dan kehilangan kemauan mempertimbangkan kebenaran perkataan yang paling dekat dengan kehendak Allah. Keihsanan harus diperoleh oleh setiap orang secara personal, tidak boleh hanya dengan mengikuti keihsanan orang lain. Boleh saja seseorang mengikuti orang lain dalam tataran perbuatan selama tidak melanggar ketentuan agama, tetapi keihsanan harus tetap dibangun secara personal pada diri setiap orang. Untuk itu hendaknya ia selalu memperhatikan dan mengikuti perkataan yang terbaik yang bisa diperolehnya.

Di sisi lain ada orang-orang yang lebih menekankan untuk berusaha menemukan keihsanaan dengan hatinya, dan di antara mereka melakukan metode itu dengan meninggalkan mendengarkan perkataan-perkataan yang baik. Hal itu tidak dapat dibenarkan. Meninggalkan sikap mendengarkan perkataan-perkataan yang baik sama sekali tidak boleh dilakukan. Suatu keihsanan harus dibangun hingga mempunyai akar di bumi, tidak boleh hanya dengan mencari petunjuk di langit dengan meninggalkan akar di bumi. Jasmani manusia harus ikut dibina untuk dapat memahami kebaikan dalam tuntunan Allah melalui kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW hingga suatu keihsanan tercerap oleh manusia secara utuh baik pada sisi nafs maupun jasmani diri mereka.

Pada tingkatan lanjut, perkataan yang baik dari orang lain bagi seseorang mungkin akan terdengar seperti perkataan yang biasa saja karena ia telah mengetahui kandungan dari perkataan itu. Bila hal itu tidak menambah keihsanan kepada Allah, ia hendaknya mendengarkan perkataan tersebut sebagai wujud kesabaran, atau ia berterus terang untuk menghindari percakapan yang panjang dan sia-sia. Tetapi setiap orang harus tetap berhati-hati bahwa sikap menghindar mendengar perkataan yang baik sangat dekat dengan pendustaan. Seringkali penjelasan orang lain pun sangat mungkin sebenarnya mengandung banyak hal yang dapat menambah keihsanan dirinya bila ia bisa bersabar mendengarnya. Bila pembicaraan orang lain bukan pembicaraan sia-sia, mungkin ia telah bersikap sombong. Bila terjatuh mendustakan kebenaran dari kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW karena sikap bosannya, sama saja ia terjatuh sebagai pendusta terhadap kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Keinginan setiap orang untuk mendengar perkataan-perkataan yang baik itu tidak boleh terkubur karena ilmu yang telah diperoleh.

Setiap orang harus menghindari sikap mengabaikan perkataan yang baik. Syaitan sangat mudah menyesatkan orang-orang demikian, karena salah satu prinsip untuk mendapatkan petunjuk adalah mendengarkan perkataan yang baik. Ada orang yang meninggalkan perkataan yang baik karena kejahatan dirinya, ada yang meninggalkan karena memandang dirinya tinggi, dan ada orang-orang yang meninggalkan karena mengikuti orang lain yang mereka pandang mempunyai kebenaran. Ketika seseorang meninggalkan sikap mendengarkan perkataan yang baik karena memandang dirinya tinggi, sebenarnya sifat syaitan berupa benih kesombongan telah tertanam dalam dirinya. Barangkali ia mempunyai benih merasa sebagai makhluk yang khusus atau terbaik di hadapan Allah hingga layak mengabaikan masukan dari makhluk yang lain berupa perkataan-perkataan yang baik dari mereka. Demikian pula para pengikut manusia yang mengabaikan perkataan yang baik sangat mudah untuk mengikuti langkah-langkah syaitan, maka mereka tidak akan memperoleh keihsanan. Hal ini tidak jarang ditandai dengan sikap bahwa mereka adalah orang-orang yang memperoleh petunjuk.

Fenomena demikian sebenarnya menunjukkan keadaan yang sebaliknya, dan keadaan itu sangatlah sulit. Dalam sebuah riwayat dari Ali bin Musa dituturkan bahwa Nabi Isa a.s pernah bersabda: “Sungguh aku telah mengobati orang-orang yang sakit, dan aku sembuhkan mereka dengan izin Allah. Aku sembuhkan orang buta dan orang berpenyakit lepra dengan izin Allah. Aku bangunkan orang-orang mati dan aku hidupkan kembali mereka dengan izin Allah. Lalu aku coba mengobati orang ahmaq (dungu) namun aku tidak mampu menyembuhkannya!” Maka beliau pun ditanya: “Wahai ruh Allah, siapakah orang dungu itu?” Beliau menjawab: “Yaitu orang yang kagum pada pendapatnya sendiri dan dirinya sendiri; yang memandang semua kebaikan ada padanya dan tidak melihat kekurangan pada dirinya; yang memastikan semua kebenaran untuk dirinya sendiri. Merekalah orang-orang dungu yang tidak ada jalan untuk mengobatinya.” (HR Al-Auzâ`i). Kaum yang mengikuti sifat demikian akan tertular dengan sifatnya.

Seringkali kekaguman terhadap kebenaran diri sendiri tidak tumbuh di atas sesuatu yang sama sekali salah. Ada suatu kebenaran yang menjadi landasan tumbuhnya kekaguman pada diri sendiri, dan kekaguman itu kemudian mengalahkan akal mereka dalam mempersepsi kebenaran yang lain. Boleh jadi perbuatan jasmaniah yang terlahir dari landasan itu berwujud perbuatan yang benar, tetapi sikap terhadap kebenaran yang lain secara keseluruhan yang tumbuh pada diri mereka keliru. Dengan kekaguman terhadap diri sendiri itu, mereka kemudian mengabaikan perkataan-perkataan yang baik dan kebenaran yang disampaikan oleh orang lain. Tidak sekadar mengabaikan perkataan sahabatnya, kadangkala mereka menuduh sahabatnya dengan pikiran buruk mereka sendiri, mengabaikan pula perkataan dari syaikh mereka atau bahkan dari firman Allah dalam kitabullah Alquran, mengikuti kebenaran mereka sendiri.

﴾۶۳﴿وَمَن يَعْشُ عَن ذِكْرِ الرَّحْمٰنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ
Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Ar-Rahmaan (Al Quran), kami adakan baginya syaitan maka syaitan itu menjadi teman dekat yang selalu menyertainya. (QS Az-Zukhruf : 36)

Ayat di atas merupakan firman Allah yang lebih ditujukan kepada orang-orang yang berusaha mengikuti kebenaran. Orang-orang kafir harus memperbaiki aqidah dalam diri mereka dahulu sebelum diperintahkan untuk memperhatikan pengajaran Ar-Rahman (Alquran) atau agar tidak berpaling darinya. Setiap orang yang berusaha mengikuti kebenaran hendaknya mengikuti kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, maka mereka akan tertuntun mengikuti jalan yang lurus. Apabila seseorang yang berusaha mengikuti kebenaran berpaling dari pengajaran Ar-Rahman (Alquran) karena mengikuti kekaguman terhadap kebenaran mereka sendiri, maka Allah akan mengadakan bagi mereka syaitan, maka syaitan itu akan menjadi qarin yang selalu menyertai mereka. Demikian efek kekaguman terhadap diri sendiri itu bisa mempengaruhi seseorang dalam melakukan ketaatan kepada Allah.

Perkara demikian bukan perbedaan akal dalam memahami perintah Allah, tetapi suatu kesalahan dalam memahami perintah Allah. Mereka mengikuti, atau setidaknya akan mengikuti langkah-langkah syaitan yang bertentangan dengan kehendak Allah. Seandainya yang mereka perbuat secara dzahir adalah baik, tetapi mereka menentang kehendak Allah yang paling utama dengan sebagian amal-amalnya yang mengikuti syaitan. Kekaguman terhadap diri sendiri atau kelompok menunjukkan tidak adanya suatu keihsanan. Suatu keihsanan akan diperoleh seseorang bila ia memperhatikan perkataan-perkataan yang baik dan ada kemauan untuk mengikuti perkataan yang paling ihsan sesuai dengan tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak hanya mengikuti pendapat sendiri.

Alquran merupakan perkataan yang paling ihsan. Kitabullah harus dijadikan standar pokok bagi setiap orang untuk memperoleh perkataan yang paling ihsan. Setiap orang yang berusaha memperoleh pemahaman yang selaras dengan ayat dalam kitabullah merupakan orang yang mendengarkan perkataan yang baik dan mengikuti yang paling ihsan, dan sebaliknya orang yang menentang ayat dalam kitabullah merupakan orang yang tidak mendengarkan. Kondisi demikian itu tidak boleh dikacaukan. Seseorang atau kaum tidak boleh menuduh orang atau pihak lain sebagai orang yang mengagumi kebenaran sendiri karena membaca(kan) ayat Alquran secara jelas. Sebaliknya bila diingatkan dengan suatu ayat Alquran yang jelas, seseorang tidak boleh membantah dengan menuduh balik atau menyangka pemberi peringatan sebagai orang yang kurang pengetahuan. Kadang suatu tuduhan disampaikan dengan menganggap perkataan yang benar selaras Alquran hanya pemahaman yang mengada-ada. Hal demikian merupakan sikap menafikan ayat Alquran sebagai perkataan yang paling ihsan.

Rabu, 20 Desember 2023

Menyimak Sebagai Landasan Keikhlasan

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Keikhlasan menjadi suatu syarat atas setiap hamba untuk menjadi hamba yang didekatkan. Keikhlasan adalah keinginan untuk mengenal Allah dengan benar agar dapat beribadah dengan amal yang sebersih-bersihnya tanpa suatu tindakan yang mencemari. Keikhlasan akan melahirkan keadaan berupa pemahaman yang benar terhadap kehendak Allah, dan pemahaman itu melahirkan akhlak yang mulia. Dengan keikhlasan, seseorang dapat melakukan amal ibadah yang bersih dari penyembahan kepada tuhan-tuhan selain Allah, baik yang disadari ataupun tidak disadari. Tidak jarang seseorang atau suatu kaum menjadikan sesuatu sebagai tuhan-tuhan selain Allah tanpa menyadarinya karena kurangnya pemahaman terhadap kehendak Allah. Orang yang berusaha untuk mencapai keikhlasan disebut sebagai orang yang mukhlis.

Di antara syarat menjadi orang yang mukhlis adalah kemauan untuk mendengarkan perkataan-perkataan yang terbaik dan mengikutinya. Mereka mempunyai keinginan untuk mendengarkan dengan sebaik-baiknya perkataan yang baik-baik dan menentukan perkataan terbaik untuk diikuti, dan kemudian mereka mengikuti. Keikhlasan tidak akan diperoleh oleh orang-orang yang tidak mempunyai kemauan untuk mendengar perkataan yang baik. Tidak sedikit manusia yang merasa terganggu dengan perkataan yang baik. Sangat banyak orang yang merasa berkeinginan untuk mendengarkan hal yang baik tetapi tidak sepenuhnya berusaha untuk menemukan perkataan yang terbaik. Yang akan menemukan keikhlasan adalah orang yang berkeinginan untuk mendengar hal yang baik-baik dan mampu menentukan perkataan yang terbaik untuk diikuti, dan kemudian mengikutinya.

﴾۸۱﴿الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولٰئِكَ هُمْ أُولُوا الْأَلْبَابِ
yang menyimak perkataan lalu mengikuti apa yang paling ihsan di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS Az-Zumar : 18)

Ayat di atas menyebutkan mendengar perkataan dengan istilah "يَسْتَمِعُونَ" yang lebih tepat diterjemahkan dengan istilah “menyimak”. Menyimak menunjukkan perbuatan mendengar dengan penuh perhatian untuk memahami. Ada suatu keinginan dalam diri orang yang ingin memperoleh keikhlasan untuk memahami perkataan yang baik-baik, maka mereka akan menyimak perkataan-perkataan yang baik agar dapat memahami. Dengan demikian mereka akan memahami perkataan-perkataan yang baik.

Tujuan dari keinginan memahami itu adalah agar dapat memperoleh keihsanan, yaitu mengenal kehendak Allah atas diri mereka. Keinginan itu tidak tumbuh dari keinginan terhadap pandangan manusia terhadap mereka. Banyak dorongan dalam diri manusia manakala menempuh perjalanan mencari ilmu, dan tidak akan memperoleh kedudukan sebagai orang ikhlas orang yang keinginannya bukan untuk memperoleh keihsanan kepada Allah. Manakala ada keinginan untuk dipandang sebagai orang pandai karena ilmu, maka seseorang tidak akan memperoleh keikhlasan karena ilmu tersebut.

Hal ini tidak menunjuk pada keinginan untuk berbagi pengetahuan dengan orang lain. Berbagi pengetahuan seringkali sulit untuk dinilai apakah termasuk keikhlasan atau tidak, maka setiap orang hendaknya mengukur kadar keikhlasannya sendiri. Perkataan yang baik-baik seringkali dapat diperoleh seseorang manakala ia berbagi pengetahuan dengan orang lain, terutama bersama orang-orang yang sama mencari keikhlasan. Di antara tanda keikhlasan seseorang dalam hal itu adalah keinginannya mendengar perkataan yang baik lebih besar dari keinginan untuk memberikan perkataan dirinya. Ia berkata kepada orang lain hanya manakala orang lain membutuhkan perkataan dirinya, atau ketika ia menilai perkataan dirinya dibutuhkan oleh orang lain, baik orang lain ingin mendengar atau ia berharap suatu saat sahabatnya bisa mendengar perkataannya. Manakala seseorang terlibat perdebatan yang memaksakan bahwa pendapat masing-masing lebih baik, tidak ada keikhlasan dalam perdebatan itu.

Menghindarkan Kebodohan

Suatu jamaah umat islam hendaknya menghindarkan perdebatan sejauh mungkin dari jamaahnya. Hal ini dapat dilakukan dengan membudayakan keikhlasan membangun keinginan mendengar perkataan yang baik dalam diri setiap orang. Bila suatu jamaah tidak lagi mempunyai kemampuan untuk mendengar perkataan yang baik, sulit untuk mengharapkan kebaikan dalam jamaah tersebut. Sangat mungkin jamaah itu hanya mengikuti taghut berupa sesuatu yang dipertuhankan selain Allah, menjadi penyembah bagi tahgut mereka. Kedua hal ini, bebal dan thaghut, sangat berdekatan. Kadang-kadang manusia menjadikan orang-orang pandai di antara mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Perkataan yang dianggap baik dalam jamaah itu hanya perkataan-perkataan oleh taghut mereka, dan perkataan taghut mereka merupakan perkataan terbaik di antara mereka, tidak mencari perkataan terbaik yang dikehendaki Allah. Mereka tidak lagi mempunyai kemampuan untuk menyimak perkataan yang baik dan mengikuti perkataan yang paling ihsan di antara mereka.

Sikap demikian menimbulkan dampak yang buruk. Mereka tidak akan memperoleh kemajuan dalam perjalanan kembali kepada Allah atau justru menyimpang, dan suatu bahaya akan mendatangi mereka tanpa mereka bisa menyadari. Boleh jadi jamaah demikian merasa sebagai golongan orang-orang yang menempuh jalan pertaubatan kepada Allah, tetapi mereka tidak dapat mencapai parameter-parameternya tanpa menyadari masalahnya. Bila masalah dasar berupa sikap menyimak perkataan-perkataan yang baik dan mengikuti yang terbaik tidak diperhatikan, maka mereka tidak mengetahui sejauh apa dan ke mana arah perjalanan taubat yang mereka tempuh. Mereka mungkin tidak mengetahui bahwa suatu bahaya telah menanti mereka. Bahaya itu seringkali tidak dapat diabaikan, tetapi mereka tidak bisa menyadari maka mereka dapat bersikap nyaman. Bila dikatakan Dajjal akan datang kepada mereka, mereka tidak berusaha mengetahui tuntunan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW tentang Dajjal, hanya mengikuti pendapat sendiri, sedangkan mereka tidak bersiap menghadapi bahaya itu justru mengejar pikiran mereka dan mengabaikan upaya orang yang ingin mengikuti tuntunan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW.

Tatanan masyarakat akan berantakan bila manusia tidak mau menyimak perkataan yang baik. Seseorang bisa saja menjadi manusia yang dipertuhankan, dan yang lain menghamba kepadanya. Boleh jadi mereka bersikap berlebihan mengabaikan ketetapan Allah yang telah difirmankan dalam Alquran dan sabda nabi SAW. Hal demikian kadang terjadi akibat kurangnya pengetahuan tentang batas diri. Allah dan Rasulullah SAW tidak keliru kala berkehendak memberikan petunjuk hanya melalui kitab-Nya dan sunnah Rasulullah SAW dan setiap orang terikat pada ketetapan itu. Setiap orang harus berusaha memahami kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW dan mengikuti pemahaman itu, atau setidaknya mau menyimak perkataan tentang itu, tidak sebaliknya membuat pengesahan dan pembatalan terhadap suatu pemahaman terhadap Alquran dan sunnah Rasulullah SAW dengan dirinya sendiri. Ada pengetahuan yang mungkin saja bisa diperoleh dengan cara berbeda pada setiap insan yang tidak boleh dihukumi sembarangan dengan hawa nafsu.

Mengikuti perkataan yang terbaik merupakan obat bagi kedunguan. Ini merupakan penyakit yang sangat sulit disembuhkan. Nabi Isa a.s bisa menemukan jalan untuk membangkitkan orang mati dengan ijin Allah, tetapi menyembuhkan kedunguan lebih sulit dilakukan daripada membangkitkan orang mati. Dalam sebuah riwayat dari Ali bin Musa dituturkan bahwa Nabi Isa a.s pernah bersabda: “Sungguh aku telah mengobati orang-orang yang sakit, dan aku sembuhkan mereka dengan izin Allah. Aku sembuhkan orang buta dan orang berpenyakit lepra dengan izin Allah. Aku bangunkan orang-orang mati dan aku hidupkan kembali mereka dengan izin Allah. Lalu aku coba mengobati orang ahmaq (dungu) namun aku tidak mampu menyembuhkannya!” Maka beliau pun ditanya: “Wahai ruh Allah, siapakah orang dungu itu?” Beliau menjawab: “Yaitu orang yang kagum pada pendapatnya sendiri dan dirinya sendiri; yang memandang semua kebaikan ada padanya dan tidak melihat kekurangan pada dirinya; yang memastikan semua kebenaran untuk dirinya sendiri. Merekalah orang-orang dungu yang tidak ada jalan untuk mengobatinya.” (HR Al-Auzâ`i)

Menemukan Keihsanan

Sikap menyimak perkataan-perkataan yang baik itu harus dilakukan hingga setiap orang dapat mengikuti perkataan yang paling ihsan dalam bentuk amal mereka. Amal yang terwujud dari diri seseorang hendaknya tidak terlahir dari sikap coba-coba menemukan amal yang terbaik. Amal terbaik tidak akan ditemukan dengan cara itu. Setiap orang harus berusaha menemukan perkataan yang terbaik bagi diri mereka masing-masing dari menyimak perkataan-perkataan yang baik yang dapat diperoleh, dan dari perkataan yang paling ihsan tersebut ia mengikuti dengan amalnya. Bila berbuat demikian, ia akan menemukan amal yang paling ihsan. Mengikuti perkataan yang paling ihsan tidak akan terjadi bila seseorang tidak mempunyai keinginan menyimak perkataan-perkataan yang baik, atau bila suatu perkataan yang paling ihsan diabaikan.

Perkataan yang paling ihsan merupakan hal yang sering bersifat personal bagi masing-masing orang. Setiap orang mempunyai akal yang berbeda dalam memahami kehendak Allah, karenanya perkataan yang paling ihsan bersifat personal. Hal yang paling menentukan dalam upaya seseorang mengenali perkataan yang paling ihsan adalah akal. Manakala suatu kaum memandang satu perkataan tertentu adalah perkataan yang terbaik bagi semua orang, boleh jadi akal mereka dalam memahami kehendak Allah bagi masing-masing belum berkembang. Akal yang berkembang dalam memahami kehendak Allah ditandai manakala seseorang berhasil memahami suatu bentuk amal tertentu yang menjadi jalan ibadah, dan itu dihasilkan dari perkataan paling ihsan yang diperoleh dirinya. Setiap orang harus berusaha mengetahui pangkat dan jabatan masing-masing dan melaksanakan dengan sebaik-baiknya sesuai ketentuan dan batasnya, dan itu melalui menyimak perkataan yang baik dan mengikuti yang terbaik.

Akal demikian akan memahami keihsanan dalam apapun bentuknya, dan menghindari suatu waham kebenaran yang tidak perlu diikuti. Seandainya dalam suatu al-bayaan terdapat suatu sihir yang akan melumpuhkan akalnya, ia dapat menghindari sihir tersebut. Seandainya terdapat sebuah kebenaran dalam suatu sihir, ia dapat melihat kebenaran tersebut. Demikian kekuatan akal seharusnya dapat dibina oleh setiap orang. Hal itu dapat dicapai bila setiap orang menyimak perkataan-perkataan yang baik dan mengikuti yang paling ihsan dengan menggunakan akalnya. Bila hanya mengikuti perkataan orang lain tanpa berusaha mengenali kehendak Allah, seseorang tidak akan mempunyai akal yang cukup kuat.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَعَلَ يَتَكَلَّمُ بِكَلَامٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ الْبَيَانِ سِحْرًا وَإِنَّ مِنْ الشِّعْرِ حُكْمًا
dari [Ibnu Abbas] ia berkata, "Seorang Arab dusun datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata dengan suatu perkataan. Maka Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya dalam al-bayaan (kefasihan) terdapat sihir, dan dalam syair terdapat hukum." (HR Abu Dawud : 4358)

Rasulullah SAW menjelaskan bahwa sesungguhnya di dalam al-bayan terdapat sihir, dan di dalam syair terdapat suatu hukum. Sabda beliau SAW tersebut berlaku umum terkait dengan perkataan yang disampaikan seseorang dengan kefasihan, bahwa mungkin saja dalam suatu kefasihan terdapat suatu sihir. Yang dimaksud kefasihan adalah ketepatan seseorang dalam memberikan perkataan sesuai dengan masalah. Rasulullah SAW tidak membatasi hal tersebut pada kasus orang Arab di atas, karena beliau juga menyampaikan tentang adanya hukum pada suatu syair yang tidak berkaitan dengan perkataannya. Peristiwa orang arab di atas adalah contoh yang memunculkan sabda beliau SAW tentang sihir dan kefasihan.

Rasulullah SAW memperingatkan bahwa bisa saja suatu perkataan yang fasih (dalam kategori al-bayaan) disampaikan oleh seseorang bersama dengan mengirimkan suatu sihir yang mengunci akal pendengarnya. Bahkan sihir itu bisa berupa perkataan al-bayan itu sendiri. Boleh jadi ia mempunyai niat yang jahat dalam menyampaikan al-bayan, atau boleh jadi mereka ingin lebih diperhatikan dengan menerapkan sihirnya. Atau syaitan memasukkan sihir dalam al-bayan yang disampaikannya. Sifat sihir itu mengunci akal, akan tetapi secara fenomena bisa terlihat seperti membuka cara pandang yang baru terhadap suatu masalah. Dalam hal itu, akal para pendengarnya sebenarnya terkunci pada cara pandang orang yang menyampaikannya. Mereka akan membenarkan perkataan itu dan mengaguminya, tanpa melihat adanya kekurangan di dalamnya atau duduk masalah yang paling tepat yang dikehendaki Allah.

Bila seseorang menerima suatu perkataan yang fasih, hendaknya ia tidak serta merta menuruti perkataan itu tanpa memikirkannya, tetapi hendaknya ia berusaha memahami untuk memperoleh keihsanan. Bila suatu al-bayan mengandung sihir, diharapkan sihir itu tidak mengurangi atau tidak mengikat akalnya untuk dapat memahami kehendak Allah. Sebaliknya pada syair. Boleh jadi seorang penyair menggunakan hukum-hukum yang benar, maka syair itu dapat menunjukkan seseorang yang berakal pada suatu hukum. Hukum boleh digunakan untuk memperoleh pemahamannya yang membuat dirinya dapat menambah keihsanan. Suatu syair biasanya dibuat untuk mempengaruhi umat manusia agar mengikuti keinginan yang bersyair, hendaknya seseorang hanya mengambil bagian hikmahnya saja.

Orang yang ingin menjadi mukhlis akan selalu berupaya untuk menyimak dan mengikuti perkataan yang paling ihsan. Hal itu tetap dilakukan pada perkataan-perkataan yang bersifat sebagai al-bayaan, di mana setiap orang harus memperoleh perkataan yang paling ihsan bagi dirinya dan beramal dengan mengikuti perkataan itu, tidak semata-mata mengikuti perkataan orang lain. Al-bayan harus digunakan untuk menemukan perkataan paling ihsan, dengan tetap berhati-hati terhadap kemungkinan adanya sihir dalamnya. Sebaliknya seseorang boleh mengambil suatu hukum yang terdapat dalam suatu syair manakala ia memahami suatu hukum melalui syair tersebut, tidak melecehkannya.





Minggu, 17 Desember 2023

Membina Akhlak Mulia

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Akhlak merupakan bentuk nafs seseorang yang melandasi terlahirnya amal perbuatan. Akhlak yang buruk akan menjadikan seseorang mudah melahirkan keburukan-keburukan di alam jasmani, dan akhlak mulia akan menjadikan seseorang mudah melahirkan kebaikan-kebaikan bagi alam sekitarnya. Suatu bentuk amal yang terlahir oleh seseorang tidak selalu menunjukkan akhlak dirinya. Ada amal-amal yang terlahir berdasarkan pada upaya pencitraan diri terhadap lingkungan. Hanya amal-amal yang terlahir secara murni yang bisa menunjukkan keadaan akhlak seseorang. Kadangkala seseorang dengan akhlak baik terjebak berbuat buruk, dan kadangkala bisa muncul secercah kebaikan dalam diri seseorang yang menjadi penuntun untuk berubah menjadi akhlak yang baik.

Kemuliaan akhlak ditunjukkan oleh kekuatan akal, yaitu kepekaan dan akurasi dalam memahami kehendak Allah. Hal ini akan diikuti dengan adab yang baik karena pemahaman terhadap kehendak Allah dan seringkali juga disertai kekuatan indera-indera bathiniah, tetapi yang menjadi parameter utama adalah pemahamannya. Seseorang yang berakhlak mulia akan dapat menunjukkan kehendak Allah secara jelas tanpa sesuatu yang menyimpang, dan seringkali disertai dengan hubungan berbagai masalah yang terjadi menurut kehendak Allah. Ukuran kepekaan dan akurasi pemahaman dengan akhlak mulia adalah keselarasan pemahaman dengan tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Tidak jarang ditemukan seseorang dengan kekuatan akal yang terlihat kuat dalam mempersepsi ayat kauniyah tetapi tidak akurat atau bahkan menyimpang, maka hal itu tidak sepenuhnya menunjukkan akhlak yang mulia. Akhlaknya barangkali telah sangat berkembang, tetapi tidak sepenuhnya menuju kemuliaan karena barangkali ada cela di dalamnya. Perkembangan akhlak demikian hendaknya diperbaiki. Iblis merupakan makhluk yang besar dari sisi akhlak, tetapi tidak mulia. Kemuliaan akhlak adalah membentuk akhlak sesuai kehendak Allah, dan di antara tandanya adalah mengetahui batas-batas akhlak yang ditentukan Allah.

Akhlak Mencakup Dzahir dan Bathin

Akhlak mulia terbentuk dari pemahaman seseorang atas kehendak Allah dan upaya untuk mengamalkan pemahaman itu hingga terbentuk di alam jasmani. Kedua hal itu harus terbentuk dalam diri seseorang manakala ia berkeinginan membentuk akhlak mulia. Akhlak bukan hanya berupa pemahaman saja, tetapi berupa bentuk diri (being). Seseorang yang memahami saja tanpa suatu tindak lanjut tidak menunjukkan terbentuknya akhlak. Manusia merupakan makhluk bumi yang diberi potensi kekuatan untuk memahami kehendak Allah. Ada hubungan yang sangat kuat yang harus dibangun dalam diri manusia yang menyatukan antara alam langit dan bumi mereka. Bentuk akhlak mulia digambarkan dalam Alquran sebagai pohon yang baik sebagai mitsal bagi pemahaman seseorang terhadap kalimat thayyibah.

﴾۴۲﴿أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh (menghunjam bumi) dan cabangnya (menjulang) ke langit, (QS Ibrahim :24)

pohon yang baik mempunyai dua bagian, masing-masing mewakili alam bumi dan alam langit. Pokok pohon itu menjulang ke langit mencari cahaya Allah sedangkan akarnya teguh ke dalam bumi. Keduanya menjadi satu kesatuan yang tidak terpisah yang tegak dalam mewujudkan kehendak Allah bagi mereka, menjadi mitsal bagi akhlak mulia yang harus dibentuk dalam setiap diri seseorang. Keadaan itu harus terpenuhi seluruhnya tidak tertinggal salah satu, yaitu akarnya menghunjam ke bumi dan pokoknya menjulang ke langit. Akhlak mulia harus terbentuk dalam diri setiap orang secara menyeluruh di alam langit dan alam bumi secara menyatu tanpa terpisah, dan keduanya memberikan manfaat sesuai dengan fungsi masing-masing.

Manakala suatu akhlak tidak terbentuk secara menyeluruh, akhlak yang akan terbentuk tidak menjadi suatu akhlak mulia. Hal demikian dapat digambarkan layaknya suatu pohon yang tercerabut dari bumi yang tidak dapat tegak sedikitpun. Manakala suatu akhlak yang terbentuk tidak mempunyai kaitan dengan kehidupan di bumi, hal itu tidak menunjukkan akhlak yang mulia. Suatu akhlak mulia harus terbentuk hingga mencapai pemahaman dan perbuatan di alam bumi.

﴾۶۲﴿وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِن فَوْقِ الْأَرْضِ مَا لَهَا مِن قَرَارٍ
Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang tercerabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. (QS Ibrahim : 26)

Pada tingkatan tertentu terbentuknya suatu akhlak mulia akan disertai dengan pengenalan diri seseorang tentang penciptaan dirinya, mengenal amal-amal yang harus dilakukan di bumi sebagai amanah Allah. Sebelum tingkatan itu tercapai, seseorang yang berusaha membentuk akhlak mulia harus berusaha meraba manfaat dirinya bagi kehidupan di bumi sesuai dengan kehendak Allah. Kehendak Allah hendaknya dijadikan jalan ibadahnya. Pengetahuan tentang kehendak Allah harus menjadi pokok dari tumbuhnya akhlak dalam diri. Jelas ataupun remang-remang pengetahuan seseorang terhadap kehendak Allah, hendaknya pengetahuan itu dijadikan pokok dalam beribadah. Kehendak-Nya itu termasuk kehendak yang terkait dengan kehidupannya di bumi, bukan hanya terkait hubungan kepada Allah. Kehendak-Nya yang terkait dengan kehidupan di bumi itu akan menumbuhkan akar dirinya hingga dapat menghunjam ke bumi. Tanpa kehendak itu, akhlak seseorang yang akan tumbuh serupa dengan pohon yang tercerabut dari bumi tidak dapat tegak.

Kehendak Allah dapat dibaca melalui ayat-ayat Allah baik ayat dalam kitabullah ataupun ayat kauniyah yang terjadi. Sebagian dari manusia telah mengetahui kehendak Allah bagi mereka, maka orang-orang demikian dapat diikuti hingga dirinya dapat membaca kehendak Allah, dengan berpegang erat pada tuntunan kitabullah dan memahami ayat kauniyah secara hanif tidak bersikap fanatik. Yang paling utama, ada sebuah fasilitas dalam diri manusia berupa nafs yang harus dibentuk agar dapat memahami ayat-ayat Allah, berfungsi untuk membentuk bayangan ayat-ayat Allah dalam dirinya. Setiap orang harus melakukan tazkiyatun-nafs hingga nafs itu bisa membentuk bayangan kehendak Allah yang terhampar pada ayat-ayat pada kitabullah dan ayat kauniyah secara sinergis, serupa dengan misykat cahaya yang dapat membentuk bayangan cahaya pohon thayyibah di dalamnya.

Terwujudnya akar di bumi dalam diri seseorang kadangkala tidak terlihat oleh orang lain. Banyak manusia tidak dapat memahami kebenaran yang disampaikan oleh para nabi. Nabi Nuh a.s dan nabi Luth a.s bahkan didustakan oleh hampir seluruh umatnya. Hal ini tidak menunjukkan bahwa para nabi tidak mempunyai akar manfaat di alam bumi. Para nabi mengenal manfaat mereka bagi alam bumi tetapi seringkali mengalami kendala dalam menyampaikan kepada umat mereka. Ada perantara-perantara (interface) yang seharusnya juga dibina oleh setiap orang hingga mereka dapat memberikan manfaat dalam dirinya kepada orang lain. Dalam hal ini, millah nabi Ibrahim a.s merupakan uswah yang harus ditempuh setiap orang, yaitu membentuk bayt yang diijinkan Allah untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah.

Perjalanan setiap manusia di bumi harus diarahkan untuk mencapai terbentuknya bayt demikian. Allah telah menetapkan dalam diri setiap manusia suatu keinginan untuk menikah sebagai suatu kekuatan yang akan mendorong manusia untuk memahami tujuan kehidupan mereka di bumi. Keinginan demikian tidak boleh hilang dari diri setiap orang, atau tidak boleh dirusak dengan keinginan dalam bentuk menyimpang. Sebagian orang barangkali mengalami kesulitan besar karena sikap orang lain terhadap perjodohan dirinya, maka hendaknya kesulitan itu tidak memadamkan keinginannya membentuk rumah tangga sebagai bayt, atau mengubah orientasi keinginan menikah. Sangat mungkin Allah akan memberikan petunjuk ke dalam hati dalam urusan ini bila seseorang bersikap berserah diri tidak memperturutkan keinginan sendiri, karena keinginan itu merupakan kebutuhan yang paling dekat dengan petunjuk jalan yang lurus.

Menentukan tujuan hidup untuk membentuk bayt ini akan sangat memudahkan proses terbentuknya pohon thayyibah, jauh lebih mudah daripada hanya dengan membaca ayat-ayat Allah sendirian tanpa tujuan membentuk bayt. Demikian pula terbentuknya akhlak mulia hingga tingkatan jasmani akan terlihat lebih nyata dan kuat bila seseorang membentuk bayt. Kadangkala seseorang dapat membentuk pemahaman terhadap ayat Allah secara relatif benar dan komprehensif tetapi tidak menunjukkan jejak yang cukup baik hingga pada tingkatan jasmani. Hal ini bisa terjadi diantaranya karena tidak terbentuk interface sosial yang baik pada dirinya, yang seharusnya terbentuk melalui pernikahannya. Membentuk bayt mempunyai kedudukan sama pentingnya dengan membentuk diri sebagai misykat cahaya, dan mempunyai manfaat untuk lebih memperluas dan memperkokoh kedudukan seorang hamba dalam ibadahnya.

Menghindari Akhlak Semu

Akar manfaat seseorang di bumi harus dilakukan dengan sebaik-baiknya, tidak mencari jalan mudah tanpa mengikuti ketentuan Allah. Ada bentuk-bentuk akhlak yang terwujud secara semu dan akan hilang di akhirat kelak, sedangkan akhlak itu kadang tampak mulia. Misalnya penggunaan ilmu Harut dan Marut akan menyebabkan seseorang memperoleh akhlak semu demikian. Barangsiapa menggunakan ilmu itu, maka ia tidak akan memperoleh akhlaknya ketika di dunia untuk kehidupan di akhirat kelak. Dalam gambaran lebih nyata, akhlak karena ilmu tersebut serupa dengan jubah (kiswah) bagi perempuan dalam kehidupan dunia, akan tetapi di akhirat ia akan telanjang. Jubah (kiswah) itu bisa berupa pengetahuan atau ghirah atau bentuk kehormatan lain untuk agama tetapi tidak mempunyai landasan dari tuntunan kitabullah. Pelaksanaan amal berdasar pengetahuah dan/atau ghirah itu seringkali justru bertentangan dengan tuntunan kitabullah.

Alquran menjadikan kasus suami isteri sebagai contoh bagi mudharat yang ditimbulkan oleh ilmu Harut dan Marut karena hal demikian terkait puncak langkah pembentukan akhlak di dunia berupa membentuk bayt. Sebenarnya ilmu itu tidak terbatas pengaruhnya pada hubungan antara laki-laki dan perempuan saja. Ayat yang sama tentang Harut dan Marut juga membahas tentang kesemuan akhlak yang terbentuk karena ilmu itu, yaitu bahwa suatu akhlak tertentu yang diinginkan seseorang tidak akan dia peroleh di akhirat bila ia menggunakan ilmu Harut dan Marut. Akhlak demikian (secara tersirat) hanya akan dia peroleh untuk kehidupan di dunia saja. Untuk memperoleh akhlak yang tidak semu, orang yang menggunakan ilmu itu harus membina akhlaknya dengan ketaatan kepada Allah melalui sarana yang diturunkan Allah secara haq, tidak mengandalkan akhlak yang ada pada dirinya.

Akhlak semu dalam perkara ilmu ini seringkali terjadi bukan karena kepalsuan atau kepura-puraan seseorang, tetapi lebih karena ketergesa-gesaan dalam membina akhlak. Masalah dari penggunaan ilmu demikian adalah terluputnya ketaatan kepada Allah melalui hal-hal yang diturunkan secara haq, sedangkan suasana kedekatan dirinya kepada Allah telah tampak subur. Kesuburan akhlak tampak dalam dirinya, sedangkan akhlak itu semu hanya untuk kehidupan dunia yang akan hilang di akhirat. Di akhirat, ia hanya akan menemukan akhlak dirinya yang benar-benar terbentuk dari ketaatan dan ibadahnya yang sesuai dengan kehendak Allah, sedangkan akhlak semunya akan lenyap. Kecintaan kepada Allah, kerinduan dan akhlak-akhlak semu lainnya akibat ilmu itu akan lenyap. Bahkan seseorang yang tampak mempunyai akhlak baik di dunia dapat kehilangan indera dasar mereka berupa penglihatan, pendengaran dan hati mereka karena tidak memperhatikan ayat-ayat Allah dan lebih mengikuti akhlak semu yang muncul karena ilmu itu.

Hilangnya akhlak demikian di akhirat dapat digambarkan dalam kasus hilangnya rasa cinta instan antara satu orang terhadap pihak lain yang timbul karena sihir syaitan manakala sihir itu terurai. Rasa cinta demikian hanyalah pakaian semu yang sebenarnya tidak cocok dengan pribadinya. Cinta dan kasih sayang yang sebenarnya antara seseorang dengan pasangannya harus dibangun melalui pernikahan di atas komitmen untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah, maka cinta demikian akan menjadi abadi hingga di akhirat. Nuansa cinta sejati demikian dapat dibuat tiruan semunya dengan ilmu Harut dan Marut, dan muncul rasa cinta dan kasih sayang yang bisa permanen di dunia tetapi akan hilang di akhirat, dan yang tersisa hanya cinta yang dibentuk di atas pelaksanaan kehendak Allah yang haq.

Para perempuan di dunia bisa memperoleh jubah kehormatan (kiswah) agamanya secara instan dalam kehidupan dunia dengan ilmu demikian, tetapi akan terlepas jubah itu kelak di akhirat karena itu hanya pakaian semu yang diperoleh tanpa melalui suatu jihad di atas ketaatan yang haq kepada Allah bersama suaminya. Para laki-laki juga bisa mengalami hal yang sama demikian, dalam wujud pakaian akhlak, ketakwaan dan atribut lainnya yang semu. Sekalipun bila ketakwaan seorang laki-laki demikian tidak ditampakkan pada pandangan manusia, ketakwaan semu itu tetap akan hilang kelak di akhirat. Suatu bentuk akhlak seseorang kadangkala bisa menjadi hijab bagi yang lain, karenanya sebagian orang menyembunyikan akhlaknya dan mendahulukan menyampaikan firman Allah daripada menampakkan kedudukan dirinya di hadapan Allah kepada manusia. Karena adanya kemungkinan tersembunyi itu Rasulullah menyampaikan perkara jubah kiswah semu lebih khusus bagi perempuan karena perempuan merupakan pihak yang lebih berperan dalam menampakkan wujud duniawi dari keadaan bathin mereka. Untuk para laki-laki, ayat 102 surat AlBaqarah dijelaskan secara lebih esensial yang serupa dengan jubah perempuan dalam hadits.

Ilmu demikian akan benar-benar merepotkan bagi orang-orang yang berkeinginan kembali kepada Allah, karena keadaan akhlak dirinya yang akan tersisa di akhirat akan tertutupi oleh akhlak ilmu Harut dan Marut setiap saat. Akhlak dirinya kepada Allah yang sebenarnya tidak terlihat oleh dirinya sendiri apalagi oleh orang lain. Manakala ia sulit mengajak pada ketakwaan, ia tidak memahami masalah karena tidak mengalami masalah yang sama dengan orang lain. Masalah utama yang muncul, orang yang menggunakan ilmu tersebut akan mudah terperosok melanggar ketentuan Allah yang diturunkan secara haq karena merasa telah mengetahui ketentuan Allah, sedangkan sebagian akal dan pengetahuannya semu. Tidak jarang keterperosokan itu akan menimbulkan kesulitan yang besar bagi orang lain, atau membuat orang lain ikut terperosok mengikuti langkah-langkahnya. Syaitan melihat celah ini pada manusia, sangat menunggu dan sangat ingin memanfaatkan. Setiap orang harus bertakwa kepada Allah melalui sarana yang diturunkan Allah secara haq dengan akalnya, tidak hanya mengikuti perkataan-perkataan manusia atau dirinya sendiri saja.

Berusaha Memahami Kehendak Allah

Akhlaq harus dibina dengan seksama dengan jalan memahami ayat-ayat Allah sebagai penuntun bagi seseorang untuk meniti jalan memahami kehendak-Nya. Ayat-ayat Allah dihamparkan pada tiga bentuk berupa ayat dalam kitabullah, ayat kauniyah dan ayat dalam dada orang-orang beriman. Ketiga ayat itu harus dipahami secara sinergis. Kehendak Allah selalu selaras dengan ayat-ayat yang digelar, baik ketika Dia menyampaikan kehendak-Nya kepada seseorang atau ketika menjadikan seseorang memahami kehendak-Nya. Setiap orang harus berusaha memahami kehendak-Nya dan beramal sesuai dengan pemahamannya itu dengan sebaik-baiknya, baik ketika samar-samar ataupun jelas. Kebanyakan manusia harus berusaha dalam samar-samar dan hanya sedikit orang yang memahami kehendak-Nya dengan jelas.

Yang paling penting bagi setiap orang adalah berusaha memahami kehendak-Nya dengan benar dengan bergantung kepada Allah dan berpegang pada sarana yang diturunkan dengan haq, sedangkan jelas atau samar-samarnya itu seringkali terkait dengan kebijakan Allah dalam cara memberikan. Suatu pemahaman yang jelas tetapi keliru sangat berbahaya bagi manusia. Amal harus dilaksanakan mengikuti pemahaman. Tanpa amal, tidak akan terbentuk akhlak mulia dalam diri seseorang. Amal batin termasuk dalam bentuk amal yang dapat menumbuhkan akhlak mulia, misalnya amal mengubah sikap mengikuti pemahaman. Tidak sedikit orang yang bisa mengenali kebenaran tetapi tidak mampu mengubah sikapnya untuk mengikuti kebenaran. Tanpa pemahaman, suatu amal tidak akan mempunyai nilai bagi dirinya dan tidak menjadikannya tumbuh berakhlak mulia.

Setiap orang harus berusaha memperoleh pemahaman terhadap kehendak Allah. Pemahaman itu dapat dibina dari menggunakan akal untuk memahami ketiga bentuk ayat Allah. Pemahaman itu akan menjadi benih akhlak mulia walau sesamar-samar apapun, dapat dijadikan bekal untuk beramal agar ia dapat membentuk akhlak mulia. Pemahaman itu harus selalu bertambah, tidak boleh dibiarkan terus dalam lemah dan samar-samar tanpa menambah pemahaman terhadap ayat Allah. Jalan utama bagi seseorang untuk memahami ayat-ayat Allah secara terintegrasi dengan benar adalah tazkiyatun-nafs untuk membentuk misykat cahaya yang dapat membentuk bayangan kalimah thayibah dalam misykat itu.







Rabu, 06 Desember 2023

Keterbukaan Urusan (Al-Fath)

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Di antara tanda seseorang mukmin menemukan jalan kembali kepada Allah adalah Allah menurunkan sakinah kepada mereka dan melazimkan bagi mereka kalimah taqwa. Peristiwa itu merupakan bagian dari proses menuju keterbukaan (al-fath) yang harus ditempuh oleh setiap orang beriman. Sebenarnya sakinah itu diturunkan kepada Rasulullah SAW, sedangkan orang-orang beriman memperoleh bagian dari Rasulullah SAW, yaitu orang-orang beriman yang telah bersama-sama dengan Rasulullah SAW dalam amr jami’. Bagi orang-orang beriman yang bersama-sama dengan Rasulullah SAW dan memperoleh sakinah, Allah akan melazimkan bagi mereka suatu kalimah taqwa yang merupakan jalan ketakwaan bagi setiap diri mereka. Orang beriman demikian akan mengenali ketakwaan berupa jalan kehidupan yang ditentukan bagi mereka.

﴾۶۲﴿إِذْ جَعَلَ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَنزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوَىٰ وَكَانُوا أَحَقَّ بِهَا وَأَهْلَهَا وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka suatu tekad (yaitu) keinginan jahiliyah lalu Allah menurunkan sakinah kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang mukmin dan Allah melazimkan kepada mereka kalimat-takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS Al-Fath : 26)

Proses mencapai keterbukaan (al-fath) bagi setiap orang beriman merupakan proses yang tidak sederhana. Manakala seorang beriman mengalami keterbukaan terhadap amal shalih mereka, ia akan menghadapi suatu tantangan yang besar. Keterbukaan ini dapat diibaratkan sebagai tibanya seseorang di tanah haram yang dijanjikan bagi masing-masing. Manakala ia tiba, ia dapat melihat ketetapan-ketetapan Allah bagi dirinya yang harus dilaksanakan dalam kehidupannya di dunia. Akan tetapi bukan hanya ketetapan itu yang ada di hadapan mereka. Ada kaum yang akan mencegah mereka untuk masuk ke tanah suci dan melaksanakan ketetapan-ketetapan Allah bagi mereka.

Proses keterbukaan (al-fath) ini dalam Alquran digambarkan dalam peristiwa perjanjian Hudaybiah hingga penaklukan kota Makkah oleh Rasulullah SAW, dimana orang-orang beriman dicegah oleh orang-orang kafir makkah untuk melaksanakan haji ke masjid al-haram. Hudaibiyah merupakan tempat terjadinya baiat di bawah pohon terhadap Rasulullah SAW oleh mukminin, yang dikenal sebagai baiat ar-ridhwan, yang terjadi sebelum keberangkatan haji pada masa perjanjian Hudaybiah. Rasulullah SAW bersama kaum mukminin kemudian berangkat dari madinah ke tanah suci makkah dengan perlengkapan haji tanpa suatu kelengkapan berperang, karena tujuannya hanya untuk melaksanakan haji saja. Walaupun dengan kelengkapan demikian penduduk Makkah tidak mengijinkan mereka untuk masuk ke tanah makkah, dan Rasulullah SAW bersama orang beriman ditahan di Hudaybiah dan harus kembali ke Madinah dalam sebuah perjanjian. Haji pada waktu itu diselesaikan kaum mukminin di Hudaybiah.

Keadaan Orang Kafir

Nuansa bathin antara kedua pihak pada masa itu sangatlah intensif, baik di kaum mukminin maupun penduduk makkah. Ini merupakan fenomena yang menjadi gejala pada awal masa menuju keterbukaan (alfath). Di pihak orang-orang kafir pada masa itu, tumbuh suatu tekad berupa tekad jahiliyah. Barangkali tekad mereka adalah mengembalikan orang-orang beriman kembali ke jalan dan agama orang-orang tua mereka dahulu, atau mempertahankan tempat ibadah kepada Allah yang telah ada pada mereka sejak jaman dahulu. Barangkali mereka memandang orang beriman sebagai kaum yang tidak benar ibadahnya. Demikian juga barangkali kelengkapan-kelengkapan ibadah yang ada pada orang yang beriman, (misalnya) sembelihan mereka, terlihat dalam keadaan buruk dalam pandangan mereka, yang seharusnya dijadikan baik seperti keinginan mereka.

Dengan keadaan masing-masing orang-orang kafir, mereka menumbuhkan dalam hati mereka suatu tekad terhadap orang-orang beriman. Sebenarnya tekad mereka itu adalah tekad berlandaskan kebodohan, tumbuh pada hawa nafsu tanpa suatu landasan pemahaman terhadap kehendak Allah. Tekad orang-orang kafir makkah itu terlahir dalam wujud menghalangi orang-orang beriman untuk menunaikan ibadah haji ke masjid al-haram dan menghentikan sembelihan yang dibawa untuk sampai ke tempat penyembelihannya. Dengan demikian, orang-orang beriman tidak bisa masuk untuk bersujud ke masjid al-haram, dan sembelihan mereka tidak dapat mencapai tempat penyembelihannya.

﴾۵۲﴿هُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْهَدْيَ مَعْكُوفًا أَن يَبْلُغَ مَحِلَّهُ وَلَوْلَا رِجَالٌ مُّؤْمِنُونَ وَنِسَاءٌ مُّؤْمِنَاتٌ لَّمْ تَعْلَمُوهُمْ أَن تَطَؤُوهُمْ فَتُصِيبَكُم مِّنْهُم مَّعَرَّةٌ بِغَيْرِ عِلْمٍ لِّيُدْخِلَ اللَّهُ فِي رَحْمَتِهِ مَن يَشَاءُ لَوْ تَزَيَّلُوا لَعَذَّبْنَا الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Mereka itulah orang-orang yang kafir, dan mereka menghalangi kamu dari (masuk) Masjidil Haram dan menahan sembelihan untuk sampai ke tempat (penyembelihan)nya. Dan kalau tidaklah karena adanya laki-laki yang beriman dan perempuan-perempuan yang beriman yang tiada kamu ketahui bahwa kamu akan membunuh mereka maka (itu) menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa pengetahuanmu (tentulah Allah tidak akan menahan tanganmu). Agar Allah memasukkan orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Sekiranya mereka tidak bercampur-baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang yag kafir di antara mereka dengan azab yang pedih. (QS Al-Fath : 25)

Orang-orang makkah yang menghalangi orang beriman memasuki masjid al-haram itulah yang merupakan orang-orang kafir. Allah menegaskan bahwa orang-orang yang berbuat menghalangi orang lain masuk ke masjid alharam dan memberhentikan sembelihan untuk tiba di tempatnya merupakan orang-orang yang kufur. Penegasan firman Allah ini harus dipahami dengan perspektif yang tepat, bahwa itu bisa saja terulang pada masa mutaakhir. Setiap muslim dalam urusan ini tidak boleh terjebak dalam perspektif hawa nafsu tanpa memahami firman ini, agar dapat mengukur diri sendiri dan langkah yang perlu dilakukan. Ketika ada orang beriman memasuki fase tiba di tanah haram, mungkin saja ada orang-orang yang berkeinginan mencegah mereka untuk masuk ke tanah haramnya, dan mencegah sembelihan-sembelihan mereka untuk tiba di tempat penyembelihannya. Perbuatan menghalangi orang-orang beriman untuk masuk ke tanah haram dan menghentikan binatang sembelihan mereka untuk tiba di tempat penyembelihannya merupakan perbuatan yang terwujud dari kekufuran, dan sebaliknya mendorong seseorang termasuk dalam golongan kafir di hadapan Allah.

Kufur dalam Alquran seringkali tidak merujuk pada status seseorang secara akidah, tetapi menunjuk pada sikap yang keliru. Seorang muslim yang tidak mengikuti petunjuk Allah dikatakan sebagai kufur, yaitu kufur secara khusus terhadap nikmat Allah. Demikian pula bila seseorang mengikuti langkah syaitan, maka langkahnya itu adalah kekufuran. Mengikuti hawa nafsu merupakan kebodohan, dan kadangkala terjatuh pula dalam kekufuran. Hal itu bisa menjadi contoh bahwa kufur tidak selalu menunjuk penolakan terhadap kebenaran, tetapi juga menunjuk pada adanya sikap yang salah pada diri seseorang, walaupun mungkin saja ia tidak boleh dikatakan oleh orang lain sebagai golongan orang kafir. Termasuk dalam hal ini, menghalangi orang-orang untuk menuju tanah haram yang dijanjikan bagi mereka merupakan kekufuran di hadapan Allah. Macam-macam kekufuran diri akan terlihat semakin jelas bila seseorang berkeinginan untuk bertaubat menjadi hamba yang didekatkan kepada Allah. Dan harus diperhatikan, seringkali kekufuran yang mencegah seseorang dari masjid al-haram adalah kekufuran dalam dirinya sendiri.

Keadaan Orang Beriman

Keadaan pada orang-orang beriman juga mengalami perubahan besar pada masa keterbukaan. Suatu sakinah diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW, kaum mukminin yang bersama dengan beliau SAW memperolehnya sebagai bagian dari sakinah itu, dan suatu kalimah takwa dilazimkan Allah terhadap orang-orang beriman yang memperoleh sakinah. Orang-orang beriman itu kemudian mengetahui jalan ketakwaan mereka untuk kembali kepada Allah karena pelaziman tersebut. Dalam peristiwa Hudaybiah, mereka yang memperoleh kalimah takwa memahami manakala Allah menahan tangan mereka untuk tidak menyerang orang-orang makkah, dan memahami pula bahwa Allah menahan tangan orang-orang makkah untuk tidak menyerang orang beriman. Mereka memahami bahwa ada orang-orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan di antara orang-orang makkah yang beriman tanpa diketahui, bilamana kaum mukminin menyerang maka penyerangan itu akan mendatangkan kesusahan bagi kaum beriman.

Kalimah takwa tidak terbatas pada contoh-contoh kasus demikian. Pada intinya kalimah itu menjadikan orang beriman memahami kehendak Allah dalam urusan yang mereka lakukan bersama Rasulullah SAW. Kalimah takwa bisa diperoleh orang beriman karena sikap tawadhu’. Tawadhu’ merupakan sikap meletakkan keyakinan bahwa kebenaran berada di sisi Allah dan ia berusaha menemukan kebenaran itu dengan jalan yang benar, tidak hanya mengikuti hawa nafsu ataupun hanya mengikuti perkataan orang lain. Hawa nafsu dan perkataan orang lain hanya merupakan jalannya. Tidak jarang orang yang tawadhu’ menyesali kesalahan-kesalahannya, dan kemudian mengikuti kebenaran yang lebih baik. Mereka tidak hanya mempertahankan kebenaran yang diperolehnya, tetapi selalu berusaha memperoleh kebenaran yang lebih baik.

Di antara manusia, ada orang-orang yang tidak peduli dengan kebenaran. Kebanyakan manusia meyakini bahwa kebenaran ada di sisi Allah akan tetapi tidak berusaha menemukannya, baik dalam bentuk hanya mengikuti pendapat hawa nafsu sendiri ataupun hanya mengikuti perkataan kelompoknya tanpa berusaha memahami firman Allah. Hanya sedikit orang-orang yang benar-benar meletakkan keyakinan bahwa kebenaran berada di sisi Allah dan ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menemukan kebenaran itu. Mereka hanya berasal dari kalangan orang-orang beriman.

Mencari Kalimah Taqwa

Di antara orang yang berusaha tawadhu’, ada orang yang keadaan mereka diangkat Allah hingga mereka mengetahui kebenaran dibalik hijab fenomena duniawi. Dengan peninggian keadaan itu mereka memahami kehendak Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang memperoleh kalimah taqwa. Mereka melihat kebenaran firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW pada kauniyah yang tergelar di hadapan mereka. Sebaliknya mereka melihat fenomena kauniyah sesuai dengan tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak terombang-ambing dalam berbagai sudut pandang nisbi yang disampaikan orang lain. Keterbukaan itu seringkali mencapai hal yang sangat tinggi, hingga dapat dikatakan dengan ungkapan “mengenal Allah”, akan tetapi tetap ada batasan berupa batasan luasan pengetahuan dan detail masalah terkait batasan jati dirinya. Hal demikian harus disadari, bahwa setiap orang berada pada suatu kedudukan tertentu di antara jamaah, dan ia harus memperhatikan orang lain terkait dengan kedudukannya dalam jamaah.

Hal yang harus diperhatikan tentang keadaan itu adalah tuntunan kitabullah. Tidak ada orang yang diangkat pada kedudukan tawadhu’ memperoleh pemahaman bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Bila bertentangan, maka itu bukan tawadhu’. Manakala Allah mengangkat seseorang pada keterbukaan pemahaman terhadap kalimah taqwa, keterbukaan itu sangat mungkin menjadi suatu kejutan bagi dirinya. Ia tidak boleh mendustakan kebenaran itu ataupun menganggapnya remeh, tetapi harus juga berhati-hati terhadap kesalahan yang mungkin ada di dalamnya. Syaitan bisa melemparkan suatu kedustaan pada keterbukaan itu. Semua keterbukaan itu hendaknya diukur melalui firman Allah dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Semua keterbukaan yang mempunyai dasar dari kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW adalah kalimah taqwa bagi dirinya dan menjadi amanahnya, sedangkan kedustaan yang ada di dalam keterbukaan dirinya harus ditinggalkan. Apa-apa yang tidak jelas landasannya dalam keterbukaan itu tidak perlu digenggam erat kebenarannya, boleh jadi benar atau salah. Ia boleh bertindak berdasarkan keterbukaan itu secara terukur tetapi tidak bisa dijadikan landasan untuk bertindak atas nama Allah terhadap orang lain.

Di sisi lain ada orang-orang yang menganggap diri mereka sebagai orang yang tawadhu tanpa alasan yang benar. Sebagian di antara orang beriman tergesa-gesa menganggap diri mereka sebagai pewaris kebenaran tanpa berusaha memahami kebenaran secara lebih utuh melalui jalan yang benar, maka mereka kemudian terjatuh pada kesombongan. Mereka menganggap kebenaran di sisi Allah telah sempurna diturunkan kepada mereka, dan menjadikan dirinya orang yang harus diikuti orang lain. Sikap demikian merupakan hal yang tidak lurus. Amanah Allah harus dipandang sebagai tanggung jawab bagi yang menerima agar disampaikan kepada orang lain agar setiap orang mengenal Allah, bukan untuk menundukkan orang lain mengikuti dirinya. Allah menciptakan manusia agar manusia mengenal diri-Nya, karena itu hendaknya suatu amanah dijadikan sebagai sarana untuk mengenal-Nya.

Kewajiban mengikuti adalah mengikuti kebenaran, yaitu kebenaran yang menumbuhkan akal seseorang untuk memahami kehendak Allah. Hal demikian hampir selalu terikat dengan ketaatan dalam mengikuti seseorang. Akan tetapi setiap pengikut harus selalu berpegang pada kitabullah dan sunnah Rasulullah dengan akalnya, tidak melepaskan ketaatannya berjalan tanpa berpegang pada kitabullah. Tidak jarang ada orang meminta ketaatan dari orang lain sedangkan pemahamannya sebenarnya berselisih atau bahkan bertentangan dengan kitabullah, atau ada orang menjadikan dirinya sebagai yang harus diikuti tanpa memperhatikan kebenaran. Ia tidak menganggap penting kebenaran yang datang tetapi memandang lebih penting yang ada pada dirinya sendiri. Manakala ada suatu kebenaran yang lebih baik, kebenaran itu justru dijadikan ancaman tidak diserap. Ketaatan tidak boleh dilakukan dengan cara demikian. Seandainya pengikut adalah orang bodoh, seruan itu harus dilakukan dengan menumbuhkan akal dalam memahami kehendak Allah. Bila pengikut orang yang berakal, hendaknya akal mereka semakin diperkuat dengan ketaatan yang dilakukan, tidak dijadikan kaum yang melepaskan akal agar mau mengikuti.

Tawadhu’ dalam diri seseorang seringkali tidak dapat diukur berdasarkan sikap yang dimunculkan. Banyak orang yang mengenal kebenaran tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk bersikap tepat dengan kebenaran itu terhadap orang lain. Selain itu, seseorang yang tawadhu’ dapat bersikap meninggi terhadap orang lain untuk menyelamatkan orang yang ceroboh dalam memandang kebenaran, atau untuk menyelamatkan umatnya. Demikian pula ada orang menampakkan sikap rendah hati tetapi menyebabkan orang lain celaka mengikuti langkahnya. Ukuran tawadhu’ seseorang yang paling utama adalah keselarasan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Seseorang yang tawadhu’ adalah orang yang berusaha menemukan kebenaran dari sisi Allah melalui sesuatu yang diturunkan Allah secara benar. Dalam hal ini ukuran mutlaknya adalah kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tanpa menafikan bahwa Allah menurunkan pula kebenaran pada berbagai tingkat lain sebagai penjelasan bagi manusia.

Bila suatu pemahaman pada diri seseorang bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, ia tidak dapat dikatakan sebagai orang yang tawadhu’. Di sisi lain, selalu ada selisih pemahaman seseorang terhadap kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Berselisih pemahaman harus diperbaiki, baik selisih yang menyimpang atau selisih berupa kekurangan pemahaman. Bila tidak ada kemauan memperbaiki, selisih itu bisa menjadi pertentangan yang menjadikan seseorang celaka. Seseorang bisa menyimpang jauh karena selisih yang menyimpang, atau bisa menjadi pemberontak karena merasa telah mempunyai pengetahuan sempurna sehingga ia tidak memperhatikan arahan yang lebih baik dalam melaksanakan kehendak Allah. Atau ia menjadi pemimpin yang dzalim karena tidak memperhatikan permasalahan umat dengan baik. Hal-hal demikian harus diperhatikan melalui ayat-ayat Allah baik dalam kitabullah maupun ayat kauniyah, hingga selisih terhadap kebenaran selalu diperbaiki.