Pencarian

Kamis, 24 Februari 2022

Nafs Wahidah dan Rahmat Allah

Nafs Wahidah dan Ketakwaan

Allah menciptakan setiap manusia berdasarkan nafs wahidah, dan dengan nafs wahidah tersebut seseorang dapat mengetahui ukuran ketakwaan dirinya kepada Allah. Nafs wahidah terkait sangat erat dengan ketakwaan-ketakwaan yang harus dibangun oleh setiap insan. Seseorang tidak mempunyai ukuran ketakwaan manakala tidak mengkaitkan amal perbuatannya dengan nafs wahidah. Manakala seseorang berbicara ketakwaan sedangkan ia tidak mengetahui hubungannya dengan nafs wahidah dirinya, mungkin itu tanpa pijakan pengetahuan yang kokoh.

﴾۱﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari nafs wahidah, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS An-Nisaa’ : 1)

Nafs wahidah merupakan cetak biru penciptaan setiap manusia. Kelahiran setiap manusia di alam jasmani merupakan wujud yang terbentuk berdasar nafs wahidah masing-masing, akan tetapi tidak banyak manusia yang mengerti hal tersebut. Dengan keadaan tersebut, kebanyakan manusia kemudian justru lebih tertarik dengan hal-hal lain yang memecah-belah integritas dirinya. Seorang manusia seringkali tumbuh mengejar harta benda dengan berbuat jahat melupakan kebahagiaan dirinya yang merindukan kebaikan yang bisa disumbangkannya. Seseorang dapat tumbuh mengejar kesohoran melupakan makna kehidupan yang baik. Sedemikian banyak hal dapat melupakan manusia dari hakikat penciptaan dirinya.

Allah meletakkan jati diri setiap manusia pada nafs wahidah masing-masing. Dengan mencari pengetahuan tentang jati diri penciptaannya, setiap orang dapat menemukan jalan ketakwaannya kepada Allah. Ayat di atas menjelaskan tentang makna ketakwaan secara jelas, yang dapat dijabarkan bahwa ketakwaan itu terkait dengan pengetahuan tentang kehendak Allah, dan kehendak Allah telah ditetapkan dalam nafs wahidah masing-masing. Ketakwaan dapat ditemukan oleh seseorang yang benar-benar berusaha memahami kehendak Allah atas diri mereka secara tulus melalui nafs wahidah. Ketakwaan tidak dapat ditemukan tanpa disertai keinginan mengetahui kehendak Allah, walaupun dengan mengumbar keindahan syariat sebagaimana ibadah kaum khawarij membuat para sahabat merasa rendah dengan ibadahnya.

Jati diri harus diletakkan secara proporisonal sebagai media ukur ketakwaan kepada Allah. Ketakwaan kepada Allah harus menjadi tujuan utama dari setiap insan, dan hal itu dapat diukur dengan baik bilamana seseorang mempunyai pengetahuan tentang nafs wahidah dirinya. Ketakwaan dapat diukur melalui kitabullah, tetapi sebenarnya kitabullah itu baru akan benar-benar terbuka manakala seseorang mengenal nafs wahidah. Sebelum itu, seseorang dapat meraba-raba ukuran ketakwaan dirinya dengan kitabullah. Langkah berpegang dengan kitabullah ini merupakan bentuk ketakwaan walaupun mungkin harus dilakukan dan dimulai dengan akal yang belum sempurna.

Sebagian kaum berlebihan dalam mensikapi jati diri tanpa merasa perlu mengetahui urusannya dengan ketakwaan, dan hal demikian menjadikan syaitan mudah menggelincirkan, sebagaimana iblis dahulu menipu Adam dengan pohon khuldi. Sebagaimana tukang yang hanya memiliki alat berupa palu menganggap semua hal sebagai paku, jati diri digunakan sebagai seluruh kunci kesejahteraan hingga terjadi perbuatan melanggar ketentuan-ketentuan Allah. Hal ini merupakan sikap yang tidak tepat dalam perkara jati diri. Bukan kesejahteraan yang akan datang, tetapi bencana yang akan menimpa bilamana mencari jati diri tidak digunakan untuk ketakwaan.

Menemukan Jalan Takwa

Beberapa aspek harus diperhatikan oleh seseorang dalam mencari pengetahuan tentang nafs wahidah untuk menemukan ketakwaan kepada Allah, di antaranya keberpasangan dan al-arhaam. Aspek yang paling dzahir bagi seseorang yang berusaha mengenal nafs wahidah adalah keberpasangan dengan isteri dan anak-anak yang terlahir. Aspek lain yang terkait dengan usaha mencari jati diri adalah membangun al-arhaam, yaitu kedudukan dirinya dalam Al-jamaah yang dipimpin oleh rasulullah SAW. Pernikahan dan Al-arhaam merupakan dua hal yang saling bersinergi dalam prosesnya. Kemajuan dalam pernikahan akan memudahkan seseorang untuk menemukan kedudukan diri dalam Al-jamaah, dan mencari kedudukan diri dalam Al-jamaah akan memudahkan seseorang maju dalam pernikahannya. Ukuran kemajuan pernikahan adalah terbentuknya at-thayyibat dan as-sakiinah.

Untuk mengenal nafs wahidah melalui pernikahan, seseorang harus berusaha sejak sebelum melakukan pernikahan. Bagi laki-laki, ada perempuan di sekitarnya yang diciptakan dari nafs wahidah dirinya yang harus ditemukan. Setiap perempuan harus berusaha menyadari bahwa dirinya diciptakan dari nafs wahidah laki-laki tertentu. Bila seseorang bisa menemukan pasangan jiwanya, pernikahan mereka akan menjadi media yang paling baik untuk mengenali nafs wahidah mereka, dan pada akhirnya menjadikan mereka melihat jalan ketakwaan mereka. Hal ini tidak mudah. Kecantikan dan hal duniawi dari setiap perempuan akan menjadikan pandangan laki-laki terhadap pasangan jiwanya lamur. Demikian pula pandangan perempuan terhadap pasangan jiwanya.

Ada hal yang harus dibangun oleh pasangan dalam pernikahan. Seorang perempuan harus tumbuh dalam sifat-sifat perempuan ahli surga berupa sikap mawaddah terhadap suaminya, subur bagi pertumbuhan suaminya, dan selalu berusaha kembali kepada suaminya. Seorang laki-laki harus menumbuhkan pemahamannya terhadap kehendak Allah atas mereka bersama melalui pernikahan mereka. Dengan pertumbuhan demikian, maka pernikahan mereka akan tumbuh sebagai keluarga yang thayyibat dan kemudian turun sakinah ke dalam hati mereka.

Seringkali terjadi kegagalan dalam pernikahan sekalipun seseorang menemukan pasangan dari jiwanya sendiri. Keberpasangan harus disyukuri dan disikapi dengan baik. Misalnya kadang ada kesombongan baik pada laki-laki atau perempuan yang menghambat pernikahan. Bila seseorang menyombongkan diri terhadap pasangannya, jalannya untuk mengenal nafs wahidah itu akan tertutup baginya, walaupun mungkin tidak bagi pasangannya. Seorang laki-laki harus menyayangi isterinya sebagai dirinya sendiri. Seorang perempuan tidak boleh memandang rendah suaminya, atau calon suaminya baik dikatakan atau tidak dikatakan.

Sikap merendahkan yang disampaikan akan bersifat lebih merusak dan menjadi media syaitan membuat fitnah bagi manusia. Perbaikan dalam urusan ini akan lebih rumit karena syaitan akan mendatangi semua pihak untuk mencegah ishlah. Hendaknya setiap orang meminimalkan sekecil mungkin syarat untuk melakukan ishlah. Mempersyaratkan permintaan maaf atau pengakuan bersalah merupakan syarat yang terlalu besar yang akan menghalangi ishlah. Dalam proses rujuk atau perjodohan yang terpisah, pernyataan tersamar atau halus bahwa merendahkan yang lain bukan perbuatan yang layak dilakukan hendaknya mencukupi untuk menerima ishlah. Di pihak yang menyatakan, pernyataan demikian itu harus lebih terwujud dalam amal. Permintaan ishlah dengan disertai perbuatan kembali merendahkan pihak lain menunjukkan tidak ada keinginan ishlah atau justru dianggap mengobarkan pertikaian. Dalam keadaan demikian, setiap orang hendaknya benar-benar memeriksa kesombongan yang mungkin ada dalam hatinya, kemudian memeriksa kembali proses ishlah yang dilakukannya karena syaitan mungkin berhasil menyelipkan fitnahnya dalam proses ishlah.

Kesombongan tidak boleh ada dalam diri seseorang dalam segala bentuknya. Seorang perempuan yang merasa seperti Asiyah r.a yang menikah dengan Firaun sebenarnya telah tertipu syaitan dalam kesombongan. Bagaimanapun suaminya adalah jalannya untuk beribadah kepada Allah, tidak boleh disikapi dengan kesombongan walaupun dalam bentuk keshalihan. Kedudukan seorang perempuan dalam jalinan al-arham terletak pada keluarganya.

Kesombongan tidak boleh ada dalam diri setiap insan baik laki-laki ataupun perempuan. Kesombongan dalam diri laki-laki bersifat lebih halus sesuai dengan kadar akalnya. Setiap laki-laki harus berusaha menemukan kedudukan dirinya dalam jalinan al-arhaam. Ini adalah sebuah tuntutan bersikap rendah hati, sekaligus tuntutan tumbuhnya rasa kasih sayang dalam diri seseorang terhadap yang lain. Seseorang harus mengetahui kebutuhan dirinya akan imam yang menuntunnya kepada Allah. Tanpa merasakan kebutuhan ini menunjukkan kemungkinan masih ada kesombongan dalam diri seseorang, dalam wujud perasaan layak untuk hadir di hadapan Allah dengan mengandalkan dirinya sendiri tanpa perlu memperhatikan washilah yang diturunkan Allah. Seorang beriman seharusnya menemukan kedudukan dirinya dalam shaff yang tepat. Dengan keadaan merasa mampu tegak dalam kebenaran secara mandiri, kelak di hadapan Allah di alam makhsyar mereka akan berbantah-bantahan tentang ash-shidq, dan Allah akan menyingkirkannya dari hadirat-Nya sesuai tempat yang selayaknya.

Umat Wahidah Sebagai Rahmat

Jati diri atau nafs wahidah adalah sarana untuk bertakwa kepada Allah. Tanda ketakwaan seseorang yang mengenal nafs wahidah adalah bahwa seorang laki-laki menemukan kedudukan dirinya dalam shaff yang dipimpin Rasulullah SAW. Dalam keadaaan tersebut, tidak ada perselisihan dalam kebenaran. Mereka itu adalah orang-orang yang memperoleh rahmat Allah dan mereka itu adalah umat wahidah. Setiap orang dalam umat yang satu mengerti kebenaran yang disampaikan oleh yang lain dan bersikap dengan sikap yang sama. Sikap mereka sama dengan sikap yang diperintahkan Allah.

﴾۸۱۱﴿وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ﴾۹۱۱﴿إِلَّا مَن رَّحِمَ رَبُّكَ وَلِذٰلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
(118)Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, (119)kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya. (QS Huud : 118-119)

Agak sulit menemukan hal demikian bagi orang kebanyakan. Dalam pandangan akal yang kurang sempurna, orang yang beramar ma’ruf nahy munkar akan tampak sama dengan orang yang berselisih pendapat sehingga enggan mengikuti amar ma’ruf nahy munkar tersebut. Sebaliknya, seseorang mungkin suka mengikuti orang yang suka berselisih, yang tampak sama dengan orang yang melakukan amar ma’ruf nahy munkar. Sebagian orang tidak mengenali kehendak Allah tapi justru kemudian berbantah-bantahan dengan petunjuk agama merasa yang paling benar, tapi sebenarnya tidak sedikitpun mengerti agama. Sebagian mengenali kebenaran tetapi mempunyai hasrat membantah karena tidak menguntungkan. Hanya orang yang memperoleh rahmat Allah yang akan mengenali kebenaran tanpa ada keinginan dan maksud melakukan perselisihan.

Kalimat Allah telah sempurna. Persoalan perselisihan dan rahmat Allah ini akan menentukan ke arah mana seseorang akan tinggal di akhirat. Sebagian orang memperoleh rahmat dengan sempurna dan mereka tinggal di surga, sebagian kufur dengan sempurna dan mereka akan tinggal di neraka selama-lamanya. Sebagian orang berada di sekitar orang-orang yang memperoleh rahmat dan karena itu mereka mengikuti rahmat itu, dan sebagian tertipu setelah mengikuti. Sebagian manusia hidup dalam kegelapan mengikuti hawa nafsu mereka masing-masing. Banyak corak manusia dalam perkara rahmat Allah, dan yang menjadi parameter mengikuti rahmat adalah perdebatan tentang kebenaran. Orang yang memperoleh rahmat tidak ingin berselisih tentang kebenaran. Orang yang mengikuti rahmat ditandai dengan mengikuti kebenaran dan tidak ada perdebatan dalam kebenaran itu, dan yang tertipu akan berbantah-bantah tentang kebenaran. Mengukur bahwa seseorang mengikuti atau berbantah tentang kebenaran ini harus diukur dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak dengan hal yang lain karena sangat mungkin akan tersilaukan tipuan syaitan. Tidak ada putusan baru tentang suatu perkara bisa dibuat dengan ketentuan menyimpang di luar firman Allah dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.


Minggu, 20 Februari 2022

Umat Wahidah Mencegah Kerusakan

Allah memperkenalkan diri-Nya dengan asma Ar-rahman Ar-rahiim sebagai asma yang paling utama. Kedua nama itu adalah asma tertinggi yang dikehendaki Allah untuk dikenal oleh segenap makhluk. Di antara para makhluk, manusia menempati peran terpenting dalam mengajarkan asma-asma Allah kepada makhluk lain di semesta alam, akan tetapi kebanyakan manusia terlupa dan tidak mengerjakan hal tersebut karena justru lebih tertarik pada alam yang rendah.

Bagi orang-orang yang mengetahui amanah memperkenalkan asma Allah yang seharusnya dilaksanakannya bagi semua makhluk, Allah menghendaki mereka untuk membentuk umat wahidah sehingga mereka dapat menegakkan dengan baik dan benar amanah-amanah yang harus mereka laksanakan. Dengan umat wahidah, satu orang dengan orang lain bisa saling mendukung dan memperkuat pelaksanaan tugas mereka sehingga amanah mereka dapat ditunaikan dengan baik. Dan dengan umat wahidah maka satu orang dengan orang lain dapat saling mengingatkan manakala terjadi kesalahan dalam pelaksanaan penunaian amanah. Tanpa umat wahidah, kedua hal tersebut akan sulit dan berat dilaksanakan.

﴾۸۱۱﴿وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, (QS Huud : 118)

Umat wahidah merupakan kumpulan dari orang-orang yang mengenal nafs wahidah. Seseorang yang mengenal nafs wahidah mengerti amanah Allah yang harus ditunaikan bagi makhluk lainnya. Akan tetapi mengenal nafs wahidah bukanlah tujuan akhir kehidupan manusia. Hal itu hanya merupakan awal langkah seseorang menginjak tahapan ad-diin (agama). Setelah menginjak tahap ber-agama, seseorang hendaknya melanjutkan langkah dengan membentuk umat wahidah. Umat wahidah ini merupakan langkah lanjutan yang dikehendaki Allah untuk ditempuh seseorang setelah mengetahui amanah Allah yang harus ditunaikannya.

Ada tantangan besar bagi seseorang ketika menginjak tahapan agama. Tanduk syaitan akan terbit manakala matahari terbit. Itu gambaran bahwa syaitan besar akan muncul bagi seseorang manakala seseorang menginjak tahapan mengenal nafs wahidah dirinya. Pengetahuan yang tiba-tiba terbuka akan menggoda seseorang untuk mempercayai segala yang terbuka bagi dirinya, sedangkan syaitan mencampuri keterbukaan pengetahuan tersebut. Pengetahuan yang terbuka bagi seseorang manakala pengetahuan tentang nafs wahidah terbuka benar-benar bercampur dengan pengetahuan syaitan, maka setiap orang yang mengenal nafs wahidah harus berusaha memisahkan pengetahuannya yang benar dengan pengetahuan campuran dari syaitan.

Pengetahuan campuran yang berasal dari syaitan itu akan membuat seseorang berselisih dengan orang lainnya dengan perselisihan yang berat. Bagi orang lain, pengetahuan itu jelas berasal dari syaitan sedangkan bagi dirinya pengetahuan itu adalah amr Allah. Campuran syaitan itu akan sedemikian mendorong seseorang berkeyakinan bahwa campuran urusan syaitan itu harus terlaksana di muka bumi, dan hal ini akan menimbulkan kerusakan yang sangat besar. Ini harus benar-benar disadari oleh orang-orang yang menginjak tahapan agama.

Perselisihan hanya tidak terjadi pada orang-orang yang memperoleh rahmat Allah. Orang yang belum mengenal nafs wahidah akan berselisih karena sifat hawa nafsu, sedangkan orang yang mengenal nafs wahidah akan berselisih karena tipuan syaitan. Bila seseorang tidak tertipu syaitan ketika Allah memberikan keterbukaan mengenali nafs wahidah, mereka akan memperoleh rahmat Allah dan kemudian Allah menjadikannya termasuk dalam umat yang satu (ummatan wahidah). Umat wahidah merupakan bentuk jamaah yang tidak berselisih di dalamnya satu orang dengan yang lainnya, dan itu adalah orang-orang yang memperoleh rahmat Allah.

Dengan umat wahidah, tatanan sesuai dengan rahmaniyah dan rahimiyah Allah dapat terwujud dengan baik di bumi. Tanpa hal itu, kemajuan umat manusia sebenarnya selalu hanya berjalan melebar dari kemakmuran. Ketika ukuran kemakmuran meningkat, hal itu terjadi bersamaan dengan terwujudnya orang-orang yang tersingkir. Ketika pembangunan dilaksanakan, terjadi perusakan pada tempat lainnya. Hal sedemikian itu terjadi dalam semua aspek kehidupan. Demikian hal yang selalu terjadi pada umat manusia tanpa orang-orang yang memperoleh rahmat Allah.

 

Mencegah Kerusakan

Salah satu aspek yang harus diperhatikan orang-orang beriman dalam mewujudkan kemakmuran adalah pencegahan kerusakan di muka bumi. Orang beriman tidak boleh mengejar kemajuan di muka bumi dengan melupakan efek kerusakan yang mungkin terjadi. Orang beriman harus memperhatikan dan mencegah kerusakan yang mungkin terjadi karena perbuatan yang dilakukan. Seringkali suatu kaum tergesa-gesa mengejar kemakmuran duniawi tanpa memperhatikan kerusakan yang mungkin terjadi, dan kadangkala suatu kaum terlupa untuk memperhatikan peraturan-peraturan Allah hingga terjadi kerusakan di bumi.

﴾۶۱۱﴿فَلَوْلَا كَانَ مِنَ الْقُرُونِ مِن قَبْلِكُمْ أُولُوا بَقِيَّةٍ يَنْهَوْنَ عَنِ الْفَسَادِ فِي الْأَرْضِ إِلَّا قَلِيلًا مِّمَّنْ أَنجَيْنَا مِنْهُمْ وَاتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُوا مَا أُتْرِفُوا فِيهِ وَكَانُوا مُجْرِمِينَ
Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebahagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kemewahan yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.(QS Huud : 116)

Orang-orang beriman umat Rasulullah SAW seharusnya membentuk/mewujudkan kelompok orang yang mencegah kerusakan di muka bumi. Ini merupakan tantangan pertama bagi orang yang mengenal amanah Allah sebelum mereka dapat memakmurkan bumi. Seorang beriman yang tergesa-gesa mengejar kemakmuran tanpa melihat kerusakan yang terjadi disekitarnya mungkin terpengaruh hawa nafsu untuk mengejar kemakmuran. Contoh-contoh kerusakan telah dapat dilihat pada umat terdahulu. Demikian pula contoh-contoh sedikit orang yang secara privat melakukan pencegahan kerusakan yang dilakukan kaumnya. Orang yang mencegah kerusakan itu adalah orang-orang yang diselamatkan Allah dari adzab akibat kerusakan yang dilakukan kaumnya.

Secara umum, kerusakan yang dilakukan oleh suatu kaum terjadi karena terputusnya kaum tersebut dari garis-garis yang ditentukan Allah dalam bermasyarakat dan berbuat di muka bumi. Umat manusia jaman ini secara sederhana menyebut mereka kafir kepada Allah. Yang terjadi secara konkrit dirasakan masyarakat yang hancur adalah bahwa mereka tidak mau mengenal atau memenuhi ketentuan Allah dalam tata kehidupan di antara masyarakat sehingga mendatangkan kerusakan yang besar di muka bumi. Mencegah kerusakan itu dapat dilakukan dengan menghubungkan tatanan bermasyarakat dan perbuatan yang dilakukan dengan ketentuan Allah. Hal demikian dapat terjadi dimulai dengan keimanan kepada Allah.

Umat nabi Muhammad SAW seharusnya membentuk Ulu Baqiyah (kelompok yang diutamakan) untuk mencegah kerusakan di muka bumi. Ulu baqiyah bermakna orang-orang yang dapat menjaga kesetimbangan. Keutamaan Ulu Baqiyah berasal dari pengetahuan untuk menghubungkan umat manusia dengan jalinan al-arham. Itu adalah sumber kemakmuran yang tidak mengandung angan-angan dan obsesi. Seringkali seseorang berusaha mewujudkan keselamatan atau kemakmuran di muka bumi tanpa mengetahui asal, sumber dan jalan mewujudkan kemakmuran. Seringkali keinginan itu disertai dengan perbuatannya melakukan kerusakan yang besar di antara masyarakat. Usaha yang demikian sebenarnya bercampur dengan angan-angan dan obsesi yang dihembuskan oleh syaitan. Seseorang harus berusaha menemukan dan membangun al-arham untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi, dengan mengetahui jalan mencegah kerusakan yang mungkin terjadi karena usahanya dan perbuatan umat manusia pada umumnya.

Mengarahkan kemakmuran sesuai dengan kehendak Allah merupakan bagian penting yang harus diperhatikan oleh orang-orang beriman. Bagi umat Rasulullah SAW, ada sebuah saluran yang menghubungkan antara kehidupan dunia dengan asma Ar-rahman Ar-rahiim berupa al-arham. Al-arham merupakan jalinan di antara orang-orang yang mendapat rahmat Allah agar rahmat Allah dapat diwujudkan di muka bumi. Jalinan Al-arham inilah yang menjadi sarana mewujudkan kemakmuran di muka bumi.

Dengan jalinan al-arham ini umat Rasulullah SAW dapat berproses menuju umat wahidah. Tanpa berusaha memasuki jalinan al-arham dalam shaff masing-masing, maka tidak akan terbentuk umat wahidah. Pengetahuan seseorang tentang jati dirinya hanyalah sebuah modal untuk dapat memasuki shaff masing-masing dalam jamaah yang dipimpin Rasulullah SAW. Tanpa berusaha memasuki shaff masing-masing, pengetahuan seseorang tentang nafs dirinya dapat mudah tercampur dengan hembusan tipuan syaitan, sebagaimana serigala mudah untuk menyerang domba yang sendirian. Dengan tipuan syaitan, akan timbul perselisihan di antara manusia, sekalipun orang itu telah mengenal jati dirinya.

Di antara titik kritis jalinan al-arham adalah jalinan yang menghubungkan seorang insan yang memperoleh rahmat Allah dengan kehidupan di bumi berupa pernikahan. Kerusakan yang terjadi pada pasangan yang seharusnya membentuk al-arham merupakan suatu sumber kerusakan yang sangat besar di muka bumi. Merusak perempuan mukminat hingga kehilangan kemampuan untuk memasuki jalinan al-arhamnya, atau menghalangi seorang laki-laki atau perempuan dari jalinan al-arham mereka, mendidik mukminat untuk menghindari jalinan al-arham, semua itu merupakan sumber kerusakan yang besar. Umat nabi Muhammad SAW harus memperhatikan ini dengan sungguh-sungguh, dan kerusakan dalam hal ini benar-benar merupakan kerusakan yang besar. Syaitan sangat berkepentingan untuk merusak pernikahan dan keberpasangan dengan memisahkan seorang isteri dari suaminya untuk menimbulkan fitnah yang paling besar bagi alam semesta.

Tanpa berpegang pada ketentuan Allah, maka suatu kaum menjadi dzalim. Orang-orang yang dzalim akan terlihat dari sikap mementingkan kemewahan duniawi di antara mereka. Mereka menjadikan kemewahan sebagai parameter kemajuan kehidupan mereka. Mereka menonjolkan kemewahan diri mereka di antara masyarakat, dan menonjolkan kemewahan mereka terhadap masyarakat lainnya. Karena sikap demikian, mereka kemudian terjerumus pada perbuatan-perbuatan dosa melanggar ketentuan-ketentuan Allah dalam tata kehidupan masyarakat hingga terjadi kerusakan di muka bumi. Mementingkan kemewahan dan perbuatan dosa merupakan dua hal yang saling menyuburkan satu dengan lainnya. Orang-orang yang berdosa akan mementingkan kemewahan, dan orang yang mementingkan kemewahan akan terjerumus dalam perbutan dosa.

Selasa, 15 Februari 2022

Perintah Bersujud

Untuk mendapatkan washilah kepada Rasulullah SAW yang menempati kedudukan tertinggi di antara seluruh makhluk di sisi Allah, seseorang harus berusaha memperoleh pengenalan tentang imam yang menjadi washilahnya kepada Rasulullah SAW. Dengan cara demikian maka seseorang memperoleh washilah yang bersambung. Seseorang tidak serta merta memperoleh washilah Rasulullah SAW tanpa mengetahui jalan-jalan washilah dirinya hingga kepada Rasulullah SAW.

﴾۱۷﴿يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ فَمَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَأُولٰئِكَ يَقْرَؤُونَ كِتَابَهُمْ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا
yaitu (pada) suatu hari (yang di hari itu) akan Kami panggil tiap umat dengan imamnya; dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun. (QS Al-Israa’ : 71)

Jalan menemukan washilah itu ada di dalam diri, dan itu harus terhubung dengan yang di luar dirinya. Washilah yang ada di dalam diri itu berwujud nafs wahidah yang merupakan cetak biru penciptaan diri seseorang, sedangkan washilah yang ada di luar diri itu berupa imam yang menghubungkan urusan dirinya kepada amr Rasulullah SAW. Seseorang yang mengenal nafs wahidah akan dapat mengenal imam yang menjadi washilahnya kepada Rasulullah SAW. Dengan mengenal dirinya dan imamnya, seseorang menemukan shaff-nya untuk bersujud mengikuti Rasulullah SAW.

Sujud merupakan bentuk lebih lanjut dari ketaatan yang dapat dilakukan hanya bagi Allah. Sujud bukan hanya sebuah bentuk meletakkan kepala ke bumi, tetapi juga mencakup ketundukan cara bersikap seseorang dalam menghadapi fenomena kehidupan. Kesamaan sikap dengan Allah itu adalah kualitas sujud, baik sujudnya seseorang ataupun sujudnya umat. Satu orang yang bersujud mempunyai sikap sama dengan orang lain yang bersujud, dan mereka mengetahui kedudukan mereka dalam shaff-shaff hamba Allah. Sikap mereka sama dengan kehendak Allah. Kualitas kesamaan sikap dengan kehendak Allah itu adalah kualitas sujud.

Pada prinsip dasarnya, Allah benar-benar melarang setiap makhluk untuk bersujud kepada makhluk yang lain tanpa berlandaskan kebersujudan kepada Allah. Akan tetapi dalam perjalanan kembali kepada Allah, seseorang harus menemukan tempat bersujudnya dalam shaff yang dipimpin Rasulullah SAW. Gambaran sikap bersujudnya makhluk dalam shaff dalam berbagai tingkatan alam semesta yang diciptakan Allah dapat dilihat pada perintah Allah kepada para malaikat dan iblis untuk bersujud kepada Adam.

﴾۴۳﴿وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (QS Al-Baqarah : 34)

lebih lanjut, rasulullah SAW secara tidak langsung memberikan gambaran tentang lapisan tingkat alam semesta itu pada wujud yang dapat dilihat oleh seluruh jenis makhluk hingga makhluk jasmaniah yang hidup di bumi, berupa gambaran dalam wujud laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan yang terikat dalam suatu pernikahan merupakan kepingan fraktal yang menggambarkan susunan besar fraktal yang membentuk gambar yang sama.

dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ َلأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
Seandainya aku menyuruh seseorang sujud kepada seseorang, maka benar-benar aku akan perintahkan seorang wanita sujud kepada suaminya”[HR at-Tirmidzi no. 1159, Ibnu Hibban no. 1291 dan al-Baihaqi (VII/291) ]

Itu adalah kepingan gambaran bagaimana seorang makhluk seharusnya bersujud kepada Allah. Seorang makhluk dapat menemukan tempat bersujud kepada Allah dalam shaff melalui imam yang dikenalinya berdasarkan pengetahuannya tentang kehendak Allah. Para malaikat dan iblis diperintahkan bersujud kepada Adam hanya sebagai jalan mereka bersujud kepada Allah, bukan bersujud sebagai sujud kepada Adam. Demikian pula seorang isteri diperintahkan bersujud kepada suaminya hanyalah dalam kondisi tertentu, yaitu ketika jalan untuk bersujud mereka kepada Allah terbuka.

Perintah bersujudnya seorang isteri kepada suaminya merupakan gambaran yang sama dengan perintah bersujudnya para malaikat dan iblis kepada Adam, tetapi pada tingkatan alam yang berbeda. Kedua peristiwa itu menjadi gambaran tentang bersujudnya seluruh hamba kepada Allah yang ditentukan melalui jalan masing-masing. Para malaikat dan iblis seharusnya bersujud kepada khalifatullah, sedangkan khalifatullah bersujud kepada Rasulullah SAW. Dengan sikap demikian, mereka bersujud kepada Allah mengikuti Rasulullah SAW.

Kebersujudan demikian bukanlah suatu kemusyrikan, tetapi merupakan jalan yang disediakan Allah bagi para makhluk sesuai dengan tingkatan masing-masing. Mustahil seorang makhluk bodoh dan hina di alam bumi dapat menghubungkan dirinya kepada Dzat Yang Maha Tinggi dengan mengabaikan washilah yang diturunkan Allah bagi mereka. Allah-lah yang menurunkan tali kepada para makhluk dalam berbagai tingkatan yang harus dicari oleh masing-masing makhluk sesuai dengan tingkatannya. Makhluk di alam tertinggi mengetahui washilah mereka langsung kepada Rasulullah SAW. Di alam yang lebih rendah, para malaikat akan mengetahui washilah mereka kepada Rasulullah SAW melalui imam mereka khalifatullah a.s, dan di alam bumi, manusia harus mencari para imam yang menghubungkan mereka kepada Rasulullah SAW, sedangkan para perempuan harus mentaati suami mereka untuk menemukan jalan bersujud kepada Allah.

Menemukan Shaff

Perjalanan mencari shaff tempat bersujud ini bukanlah sesuatu yang bisa dilihat hitam putih. Seseorang harus mencari dari alam yang penuh dengan berbagai kegelapan dan terang yang bercampur-campur. Kadangkala seseorang harus mencari kebenaran di antara kegelapan, kadangkala seseorang harus berusaha menelan kebenaran yang belum bisa dipahami, kadangkala seseorang harus memisahkan antara kebenaran dan kebathilan yang bercampur. Hal ini cukup sulit dilakukan manusia dalam mencari washilahnya, tetapi akan semakin jelas bagi seseorang dengan pertumbuhan akal.

Hal prinsip yang harus digenggam setiap orang di setiap keadaan adalah hendaknya ia berpegang pada Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Seorang perempuan harus menentukan imamnya di dunia sebelum pernikahannya, maka hendaknya ia memilih imam dengan pengetahuan yang sebaik-baiknya dari Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Demikian pula selama kehidupannya ia harus mentaati suami mengikuti tuntunan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Sebagaimana perempuan memilih imamnya, hendaknya laki-laki juga berusaha memperoleh pengetahuan yang sebaik-baiknya tentang Alquran dan sunnah dalam mencari imamnya. Imam yang sebenarnya bagi seorang laki-laki akan dikenali manakala ia akan memperoleh fadhilah Allah.

Tingkat sujudnya seorang hamba tergantung pertumbuhan akal mereka dalam memahami kehendak Allah melalui Rasulullah SAW. Seorang makhluk tidak boleh bersujud kepada makhluk lain tanpa memiliki pengetahuan tentang kehendak Allah sesuai dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Hal ini tidak berarti harus membantah. Tingkat sujudnya seseorang ditentukan bagian pengetahuannya tentang Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Tidak ada bagian sujud seorang hamba kepada Allah melalui makhluk lain tanpa pengetahuan tentang kehendak Allah dan sunnah Rasulullah SAW, walaupun dalam mentaati seorang wali Allah. Hendaknya setiap orang berusaha memahami kehendak Allah dan sunnah Rasulullah SAW dalam ketaatannya kepada orang yang diikuti untuk memperoleh bagian sujudnya kepada Allah.

Akal dalam hal ini bukanlah sekadar kemampuan logika, tetapi akal yang memahami kehendak Allah. Pertumbuhan akal ini akan disertai dengan pertumbuhan jiwa seseorang hingga jiwa seseorang dapat bertemu dengan ruh alquds. Pertumbuhan jiwa seseorang dalam memahami kehendak Allah ini adalah pertumbuhan akhlak al-karimah. Tingkat sujud seseorang terkait dengan tingkat pertumbuhan akhlak al-karimah dalam dirinya.

Pertumbuhan akhlak al-karimah merupakan penyatuan kepingan-kepingan diri seseorang untuk kembali kepada Allah. Manusia adalah makhluk yang diciptakan sebagai makhluk paling sempurna dari komponen jasmani, nafs wahidah dan ruh. Itu merupakan kesempurnaan kumpulan komponen dari alam tertinggi hingga alam terendah yang diciptakan Allah. Ada syahwat dan hawa nafsu yang tumbuh dari perpaduan komponen-komponen tersebut. Pertumbuhan akhlak al-karimah akan menyatukan kepingan komponen seorang manusia di jalan Allah, mulai dari komponen alam terendah berupa jasmaninya dengan komponen yang lebih tinggi secara bertahap, dengan nafs wahidah dan ruh al-quds.

Allah menyediakan bantuan bagi manusia dalam penciptaan dirinya untuk memudahkan upaya penyatuan tersebut. Allah menciptakan manusia berpasangan dari setiap satu nafs wahidah. Dari setiap satu nafs wahidah, Allah menciptakan seorang laki-laki dan pasangan atau pasangan-pasangannya. Keberpasangan manusia dari satu nafs wahidah yang sama itu akan memudahkan setiap manusia untuk menyatukan kepingan diri membentuk akhlak al-karimah. Setiap manusia dapat mengenal kehendak Allah melalui keberpasangan diri mereka, karena Allah menjadikan keberpasangan itu media belajar yang paling baik.

Pernikahan merupakan media yang paling baik bagi setiap manusia untuk menumbuhkan akhlak al-karimah dalam diri mereka masing-masing. Seorang laki-laki akan mengetahui bahwa Allah menghendaki dirinya tumbuh dengan rasa kasih sayang kepada isterinya untuk kembali kepada Allah, dan seorang perempuan akan tumbuh untuk mentaati suaminya sebagai jalannya kembali kepada Allah. Dengan pertumbuhan banyak hal dalam pernikahan, setiap orang akan memperoleh kemudahan untuk menumbuhkan akhlak al-karimah, berbeda bila harus menumbuhkan akhlak dengan diri sendiri saja.

Keberpasangan itu menjadi gerbang yang mengantarkan sepasang manusia tumbuh sebagai hamba Allah yang memberikan manfaatnya bagi semesta mereka. Pertumbuhan akhlak al-karimah disemai dalam pernikahan, dan hal itu akan mendatangkan manfaat yang besar bagi semesta mereka secara keseluruhan. Dalam fungsinya, seorang laki-laki dengan akalnya akan dapat memahami kehendak Allah dengan melihat khazanah dalam diri isterinya, dan seorang isteri adalah pembawa semesta duniawi kepada suaminya. Dengan tumbuhnya akhlak al-karimah pada kedua pihak, maka seorang laki-laki dapat melihat kehendak Allah dan berbuat yang terbaik untuk semesta dirinya. Bila seorang isteri durhaka kepada suaminya yang shalih, maka suami hanya mengerti kehendak Allah tanpa bisa berbuat banyak untuk semestanya, sedangkan bila seorang suami tidak berakhlak al-karimah sedangkan istrinya shalihah, maka dunia mereka akan berkembang secara duniawi tanpa terhubung dengan aspek bathiniah secara baik. Pasangan pernikahan yang shalih merupakan pembuka kemakmuran bumi.

Keberpasangan pernikahan merupakan elemen fraktal yang akan mengantar manusia memperoleh washilah yang lurus hingga alam yang tertinggi. Perbedaan yang terlihat kecil antara laki-laki dan perempuan dalam ikatan pernikahan menjadi gambaran sederhana yang mewakili azas penciptaan alam semesta raya, yaitu untuk memperkenalkan asma Allah sebagai Ar-rahman Ar-rahiim.

Pemahaman terhadap azas ini akan terbangun bila seseorang bersikap benar sejak dalam pernikahan. Seseorang yang berkhianat atau menolak petunjuk jodoh yang benar dengan kemauannya sendiri akan terhalang untuk memperoleh pengetahuan demikian. Demikian seterusnya hingga di alam yang tertinggi. Upaya memahami azas penciptaan alam semesta raya ini harus dibangun secara menyatu pada semua tingkat, tidak terputus pada tingkat tertentu. Seorang isteri tidak boleh memutus ketaatan pada suami, seorang laki-laki tidak memutus ketaatan pada imamnya, dan imam tidak boleh memutus ketaatan pada washilah, manakala tidak menyalahi yang diajarkan Rasulullah SAW.

Rabu, 09 Februari 2022

Mencari Washilah Rasulullah SAW

Islam mengajarkan kepada umatnya untuk bersaksi bahwasanya tiada Ilah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Hal itu merupakan prinsip yang sangat dasar dalam islam yang mencerminkan kesempurnaan agama yang diturunkan Allah. Dengan persaksian yang sebenarnya, maka seseorang akan layak menjadi wakil Allah di bumi.

Dalam perjalanan setiap orang untuk menjadi saksi Allah yang sebenarnya, akan ditemukan tahapan dimana seseorang mengenal imam bagi dirinya, dilanjutkan dengan karunia berupa pemberian kitab melalui tangan kanannya. Kebanyakan orang akan menemukan kitab ini pada masa akhir kehidupan di alam makhsyar, tetapi sebenarnya ini dapat ditemukan manusia pada kehidupan di bumi. Para nabi, shiddiqin, dan syuhada’ menemukan hal demikian di kehidupan bumi.

Tidak semua yang mengenali imamnya kemudian memperoleh pemberian kitab melalui tangan kanannya. Pemberian kitab melalui tangan kanan merupakan tanda bahwa seseorang memperoleh fadhilah Allah yang sangat agung. Hal itu akan menjadikan seseorang sebagai saksi Allah yang sebenarnya.

﴾۱۷﴿يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ فَمَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَأُولٰئِكَ يَقْرَؤُونَ كِتَابَهُمْ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا
yaitu (pada) suatu hari (yang di hari itu) akan Kami panggil tiap umat dengan imamnya; dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun. (QS Al-Israa’ : 71)

Mengenal dan menemukan imam itu adalah menemukan washilah kepada Rasulullah SAW. Hal ini diawali dengan keterbukaan seseorang tentang pengenalan dirinya sendiri. Ketika seseorang mengenali jati dirinya, ia akan bisa berusaha mengenali orang-orang yang ada di sekitarnya atau orang-orang terdahulu atau orang yang akan datang, dan terutama mengenali washilah yang menghubungkan dirinya hingga sampai kepada rasulullah SAW. Mengenali sahabat-sahabatnya akan menjadikannya termasuk dalam suatu umat (unas). Puncak washilah ini adalah Rasulullah SAW. Hal itu dapat dikenali manusia manakala ia mengalami keterbukaan tentang jati dirinya sendiri.

Setiap orang yang bertaubat kepada Allah seharusnya memperhatikan persoalan ini sebagai cabang dari kalimat syahadat yang menjadi prinsip dasar agama. Landasan persoalan ini adalah dua kalimat syahadat. Tidak syah pencarian seseorang akan imamnya tanpa memperhatikan atau justru berlawanan dengan tuntunan Alquran dan sunnah nabi. Orang yang mencari imam tanpa tuntunan Alquran dan sunnah nabi dapat tersesat hingga kesesatan yang sejauh-jauhnya. Segala kitab dan tuntunan yang mungkin turun kepadanya bisa menuntun akalnya dan akal yang mengikutinya menuju kesesatan yang sangat jauh sedangkan ia merasa mendapatkan petunjuk.

Di sisi lain, orang yang tidak mencari imam dalam perjalanan taubatnya dapat menjadi fasik. Iblis merupakan contoh makhluk fasik di hadapan Rabbul ‘alamiin. Ia melakukan desersi (fasik) dari urusan dan perintah Rabbul ‘alamin, sedangkan Iblis merupakan makhluk yang dahulu menempati kedudukan tinggi dan dekat dengan Rabbul ‘alamin. Ketinggian kedudukan dan kekuatan akal tidak serta merta menjadi jaminan bahwa seorang makhluk berakal akan selamat, bila tidak disertai dengan iktikad ibadah kepada Allah.

Peristiwa desersinya Iblis dari urusan dan perintah Allah terjadi manakala ia diperintahkan untuk bersujud kepada Adam. Adam merupakan representasi yang dikehendaki Allah menjadi khalifatullah di muka bumi. Khalifatullah merupakan makhluk yang ditetapkan Allah untuk menjadi imam bagi Iblis, dan Iblis menolak hal itu dan kemudian melakukan desersi. Dalam hal ini, Adam dijadikan sebagai representasi khalifatullah, tidak menjadi representasi Rasulullah SAW. Rasulullah SAW adalah makhluk yang diciptakan Allah untuk menempati kedudukan tertinggi di semesta alam. Derajat para malaikat dan Iblis yang diperintahkan Allah bersujud kepada Adam berada beberapa tingkat di bawah kedudukan Rasulullah SAW, dan berada tepat di bawah kedudukan khalifatullah. Khalifatullah adalah imam yang ditetapkan bagi sejumlah malaikat dan iblis besar, yaitu imam yang menghubungkan mereka untuk mendapatkan washilah kepada Rasulullah SAW. Akan tetapi iblis menolak dan ia keluar dari urusan dan perintah Allah. Allah menghadirkan bagi setiap makhluk yang berakal imam yang menjadi washilahnya kepada Rasulullah SAW.

Manusia secara umum diciptakan dari bumi yang merupakan alam terjauh dari sumber cahaya. Manakala ia kembali kepada Allah, hendaknya ia mencari washilah yang menghubungkan dirinya hingga mencapai kedudukan yang tertinggi, yaitu Rasulullah SAW, dengan berpegang teguh kepada Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Upaya itu hendaknya hanya dijadikan cabang dari dua kalimat syahadat, tidak dijadikan sebagai kebanggaan di antara orang-orang yang mengucapkan kalimat syahadat. Kadangkala seseorang atau suatu kaum secara berlebihan membangun suatu kerangka washilah tanpa berdasar pengetahuan tetapi dijadikan sebagai kebanggaan. Ini kurang tepat. Kesadaran yang sebenarnya untuk mencari imam hanya tumbuh pada orang-orang yang merendahkan hatinya untuk beribadah kepada Allah, bukan pada orang-orang yang berbangga dengan waham tentang washilah mereka.

Mencari imam hendaknya hanya menjadi cabang dari kalimat syahadat. Bila seseorang kembali kepada Allah, hendaknya ia memperhatikan sepenuhnya tuntunan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Dahulu, sangat banyak makhluk yang terjatuh bersama Iblis untuk fasik kepada Allah karena tidak memperhatikan perintah Allah. Mereka mengikuti kebenaran sesuai dengan pengetahuan iblis, tidak membangun pengetahuan kebenaran mereka sebagaimana kehendak Allah. Karena bangunan pengetahuan mereka bathil, maka mereka mngikuti kebathilan dan menganggapnya sebagai kebenaran.

Bila seseorang berusaha memperhatikan aspek bathiniah, hendaknya ia berusaha sepenuhnya mengikuti tuntunan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW menghindari perbantahan. Jika seseorang tidak berusaha kembali kepada Allah, hendaknya ia tidak mempermasalahkan keimaman, karena hanya merupakan cabang dari dua kalimat syahadat yang tumbuh hanya dalam perjalanan taubat. Hawa nafsu akan menjadi imam bagi orang yang tidak bertaubat tanpa perlu dicari. Allah telah menjadikan Fir’aun dan balatentaranya menjadi imam bagi mereka untuk tenggelam sepenuhnya di alam dunia tanpa memperhatikan aspek-aspek bathiniah.

Washilah Rasulullah SAW

Sahnya kedudukan seseorang dalam mengikuti imamnya akan ditandai dengan pemberian kitab diri melalui tangan kanannya. Kadangkala seorang imam menyatakan dengan jelas pengesahan terhadap orang yang mengikuti dirinya dengan sebenarnya, terutama bilamana urusannya sangat beririsan erat dengan sang imam. Rasulullah SAW mencontohkan hal ini sebagaimana hadits berikut :

عَنْ أَبِي مُوْسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّمَا مَثَلِي وَمَثَلُ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَتَى قَوْماً فَقَالَ: يَا قَوْمِ إِنِّي رَأَيْتُ الْجَيْشَ بِعَيْنَيَّ وَإِنِّي أَنَا النَّذِيْرُ الْعُرْيَانُ، فَالنَّجَاءَ فَأَطَاعَهُ طَائِفَةٌ مِنْ قَوْمِهِ فَأَدْلَجُوْا فَانْطَلَقُوْا عَلَى مَهْلِهِمْ فَنَجَوْا، وَكَذَّبَتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ فَأَصْبَحُوْا مَكَانَهُمْ فَصَبَّحَهُمُ الْجَيْشُ فَأَهْلَكَهُمْ وَاجْتَاحَهُمْ فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ أَطَاعَنِي فَاتَّبَعَ مَا جِئْتُ بِهِ وَمَثَلُ مَنْ عَصَانِي وَكَذَّبَ بِمَا جِئْتُ بِهِ مِنَ الْحَقِّ.

Dari Abi Musa r.a dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Permisalanku dan permisalan apa-apa yang Allah utus aku dengannya adalah seperti seorang yang mendatangi suatu kaum, lalu ia berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya aku melihat pasukan musuh dengan mata kepalaku dan sesungguhnya aku pemberi peringatan yang nyata, maka marilah menuju kepada keselamatan. Sebagian dari kaum itu mentaatinya, lalu mereka masuk pergi bersamanya, maka selamatlah mereka. Sebagian dari mereka mendustakan. Pagi-pagi mereka diserang oleh pasukan musuh lalu mereka dihancurkan dan diluluhlantakan. Demikianlah perumpamaan orang-orang yang taat kepadaku dan mengikuti apa yang aku bawa dan perumpamaan orang-orang yang durhaka kepadaku dan mendustakan kebenaran yang aku bawa.”

dalam hadits di atas, beliau SAW menjadikan seseorang sebagai mitsal bagi beliau sendiri. Pernyataan beliau tampaknya merujuk pada satu orang yang akan memimpin kebangkitan Islam, dan orang tersebut dijadikan Rasulullah SAW sebagai mitsal bagi beliau SAW. Maka pada masanya, setiap orang hendaknya mencari wasilah melalui seseorang yang dijadikan mitsal bagi beliau SAW. Mencari washilah pada masa itu dapat dilakukan dengan cara mencari dan mengikuti orang yang mengetahui persoalan musuh yang akan menghancurkan mereka dan memberikan peringatan tentang hal itu. Bila tidak mengikuti, mereka akan benar-benar dibinasakan oleh musuh, baik untuk kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat mereka.

Mencari Washilah

Tantangan bagi setiap manusia dalam mencari washilah demikian terdapat dalam pikiran masing-masing. Banyak fitnah syaitan dan waham yang mungkin dapat menutupi pandangan umat manusia untuk menemukan washilahnya. Seringkali manusia mencari washilah dengan pikiran-pikiran sendiri. Syaitan akan menjadikan indah pikiran mereka sendiri. Pikiran itu akan terlihat lebih baik daripada mempersiapkan diri untuk menghadapi musuh yang tidak terlihat sebagaimana tuntunan Rasulullah SAW. Bila umat hanya mengikuti pikiran mereka sendiri tanpa menghiraukan tuntunan Rasulullah SAW dalam peringatan tentang musuh, maka musuh akan membinasakan mereka.

Kebangkitan Islam akan terjadi dengan disertai makar yang sangat besar dari alam syaitan. Orang-orang yang mendustakan seseorang yang memberi peringatan dan mendustakan tentang musuh yang diperingatkan termasuk dalam kelompok orang yang mendurhakai Rasulullah SAW dan mendustakan kebenaran yang beliau SAW bawa, sedangkan orang-orang yang mengikuti termasuk dalam orang yang mentaati Rasulullah SAW dan mengikuti kebenaran yang beliau bawa. Masalah ini hendaknya diperhatikan oleh setiap orang. Setiap orang hendaknya mengikuti Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, tidak mengikuti kebenaran yang dibuatnya sendiri.

Mengikuti Rasulullah SAW adalah melakukan perubahan diri menuju akhlak mulia dengan menghindari kebinasaan karena tipuan musuh. Hal demikian merupakan kelengkapan perihal perutusan Rasulullah SAW yang disampaikan dalam dua hadits terpisah, tetapi menunjukkan satu hal yang sama. Tujuan utama diutusnya Rasulullah SAW adalah tercapainya akhlak mulia, tetapi hal demikian hanya dapat dicapai bila seseorang dapat mengenali tipuan musuh dan menghindarinya. Tanpa mengenali musuh, maka seseorang akan tertipu dan tidak akan mencapai akhlak mulia.

Fitnah syaitan yang terbesar akan dibuat dengan memisahkan seorang isteri dari suaminya. Itu adalah fitnah yang terbesar yang dibuat syaitan sepanjang masa, tidak ada yang lebih besar dari fitnah demikian. Hendaknya umat manusia memperhatikan pernikahan mereka dan mengarahkan pernikahan sesuai dengan tuntunan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Rusaknya pernikahan menjadi pintu fitnah terbesar, karena rusaknya pernikahan merupakan kerusakan pada jalinan al-arham. Ini adalah rusaknya ikatan seseorang dengan imamnya. Rusaknya seorang isteri akan menjadi pintu rusaknya semesta suaminya.

Fitnah itu akan membuat cara pandang manusia terbalik-balik. Orang yang peduli dengan keselamatan umat manusia dan mengetahui benteng terhadap fitnah syaitan berupa pembinaan pernikahan akan dilanda masalah dari syaitan dan dijadikan buruk dalam pandangan manusia bahkan dalam hal pernikahannya sendiri. Sebaliknya, hal yang buruk akan dijadikan baik dan indah dalam pandangan manusia. Itu adalah fitnah dan gejala fitnah syaitan yang paling besar bagi umat manusia. Hendaknya manusia berpegang pada Alquran dan sunnah Rasulullah SAW tidak memperturutkan cara pandangnya sendiri, karena hal itu akan berakhir pada kebinasaan. Fitnah syaitan itu sangatlah besar bagi umat manusia.

Washilah kepada Rasulullah SAW sangatlah besar artinya bagi umat manusia. Washilah juga terkait dengan keselamatan umat manusia. Terdapat berbagai macam bentuk washilah dan upaya menemukan kepada Rasulullah SAW. Seseorang kadangkala mengetahui kedudukannya secara persis dalam jihad Rasulullah SAW. Seseorang mungkin mengetahui dengan pasti harus berjuang mengikuti orang lain yang memperoleh mandat rasulullah SAW. Sebagian manusia tertipu syaitan memperjuangkan kebenarannya sendiri tanpa washilah kepada Rasulullah SAW. Kebanyakan manusia menduga-duga mengikuti orang lain tanpa mengetahui kedudukan dirinya atau kedudukan orang yang diikutinya. Hal ini diperbolehkan selama ia berpegang teguh kepada Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, hingga diketahuinya orang yang seharusnya menjadi washilahnya. Bila meninggalkan atau menyampingkan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW hanya bertaklid kepada orang yang diikutinya, ia tidak akan menemukan washilahnya karena akalnya tidak akan berkembang.

Seorang ulama menuliskan : “sira jejer pandhita kang wineca ruhun”. Ini adalah ungkapan pengetahuan tentang kedudukan dirinya dalam jihad Rasulullah SAW, yaitu dengan membantu seseorang yang telah ditentukan. Sebenarnya ulama itu mengetahui bentuk jihad Rasulullah SAW dan ia mengetahui kedudukan diri dalam jihad itu. Bilamana ia mendidik para murid, ia mengetahui kedudukan dirinya bagaikan seorang isteri yang mendidik anak-anaknya mengikuti kedudukan suaminya. Ia memperhatikan urusan suaminya, tidak akan menyisihkan suaminya dalam mengarahkan rumah tangga mereka, dan tidak akan menjadikan anak-anaknya memandang buruk ayahnya. Ia akan mendukung agar suaminya mampu menjalankan urusannya. Demikian gambaran kedudukan ulama itu dalam jihad Rasulullah SAW, sedangkan kepala rumah tangga itu adalah wakil Rasulullah SAW baginya.

Ulama di atas merupakan contoh jelas tentang ulama yang menjelaskan kedudukan washilahnya kepada Rasulullah SAW. Hendaknya murid-muridnya mengetahui hal demikian, tidak tertipu syaitan untuk memperjuangkan kebenaran mandiri tanpa washilah kepada Rasulullah SAW. Kebenaran mandiri itu merupakan tauladan dari syaitan, sedangkan kebenaran Allah memiliki sandaran kepada Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Bila para murid berusaha memahami ajaran dan menemukan kedudukannya terhadap sang ulama, ia akan menemukan jalan yang lebih mudah untuk menemukan washilahnya kepada Rasulullah SAW. Tentulah syaitan akan berusaha keras untuk menggelincirkan manusia dalam menemukan washilah kepada Rasulullah SAW.

Kamis, 03 Februari 2022

Imam dan Fadhilah Allah

Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna di antara seluruh makhluk hingga manusia dapat menempati kedudukan sebagai makhluk paling mulia. Dengan kedudukan demikian, Allah akan memberikan kepada seseorang kelebihan yang sempurna melebihi kelebihan yang diberikan kepada makhluk-makhluk lain yang diciptakan Allah. Ada pemberian Allah dalam diri manusia yang menjadikannya mampu untuk mengenal kemuliaan Allah dan menjadi wadah pemberian-Nya. Pemberian Allah kepada manusia itu akan menjadi fadhilah yang paling sempurna yang dilimpahkan-Nya kepada makhluk.

Untuk memperoleh kedudukan dan fadhilah tersebut, setiap orang harus bertaubat sejak kehidupan di muka bumi yang merupakan alam terjauh dari sumber cahaya Allah. Bumi adalah alam yang diciptakan paling jauh dari sumber cahaya semesta alam, dan di alam terjauh itu manusia ditempatkan agar berjalan kembali menuju sumber cahaya. Dengan berjalan kembali kepada Allah, maka manusia akan berproses untuk memperoleh fadhilah dan kemuliaan yang dijanjikan bagi mereka.

﴾۰۷﴿ وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS Al-Israa’ : 70)

Sebagian orang yang bertaubat itu dimudahkan menempuh jalannya kembali kepada Allah. Sebenarnya Allah menyediakan kemudahan ini bagi semua hamba-Nya, tetapi tidak semua hamba Allah menemukan kemudahan ini. Allah memperjalankan hamba-Nya dengan mengangkutnya dalam perjalanan taubat di daratan dan di lautan. Daratan itu adalah perjalanan yang mempunyai tanda-tanda perjalanan yang jelas, dan lautan merupakan perjalanan dengan tanda-tanda perjalanan yang kurang terlihat, dan seseorang harus mencari tanda-tanda perjalanannya di langit atau di tempat yang jauh. Allah memudahkan perjalanan hamba-hamba-Nya dalam perjalanan di daratan dan di lautan untuk kembali kepada-Nya.

Orang-orang yang dimudahkan Allah dalam perjalanannya ditandai dengan rezeki yang diturunkan Allah berupa rezeki dari at-thayyibat. At-thayyibat merupakan pengetahuan manusia terhadap kehendak Allah atas dirinya dalam bentuk pengetahuan yang samar-samar, sebagaimana seseorang mengenal bunga tanpa melihat bunga itu tetapi hanya dengan mencium wangi bunga itu. Seseorang yang dimudahkan Allah dalam perjalanannya akan mengenal secara samar-samar kehendak Allah atas dirinya, tanpa mengetahui persis bentuk kehendak Allah atas dirinya sebagaimana ia mencium wangi bunga .

Bila seseorang mensyukuri rezeki at-thayyibat yang diberikan Allah kepada dirinya, maka ia akan berjalan menuju fadhilah Allah yang paling sempurna di antara seluruh fadhilah bagi seluruh makhluk yang diciptakan Allah. Ia akan memperoleh fadhilah yang dijanjikan baginya. Akan ditemukan tanda yang jelas ketika seseorang menemukan fadhilah yang besar. Tanda seseorang memperoleh fadhilah yang sempurna adalah ketika ia mengenal dan menemukan imam yang sebenarnya bagi dirinya.

﴾۱۷﴿يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ فَمَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَأُولٰئِكَ يَقْرَؤُونَ كِتَابَهُمْ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا
yaitu (pada) suatu hari (yang di hari itu) akan Kami panggil tiap umat dengan imamnya; dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun. (QS Al-Israa’ : 71)

Mengenal dan menemukan imam itu adalah menemukan washilah kepada Rasulullah SAW. Hal ini diawali dengan keterbukaan seseorang tentang pengenalan dirinya sendiri. Ketika seseorang mengenali jati dirinya, ia akan bisa berusaha mengenali orang-orang yang ada di sekitarnya atau orang-orang terdahulu atau orang yang akan datang, dan terutama mengenali washilah yang menghubungkan dirinya hingga sampai kepada rasulullah SAW. Mengenali sahabat-sahabatnya akan menjadikannya termasuk dalam suatu umat (unas). Kadangkala seseorang menemukan urusannya sebagai penerus orang lain yang dihormatinya. Kadangkala seseorang menemukan urusannya terhubung dengan orang lain yang sebelumnya tidak dekat atau tidak diperhitungkannya, atau bahkan orang pada masa yang akan datang. Puncak washilah ini adalah Rasulullah SAW. Hal itu dapat dikenali manusia manakala ia mengalami keterbukaan tentang jati dirinya sendiri.

Mencari Imam dan Akhlak

Mencari imam merupakan indikator adanya sifat rendah hati pada diri seseorang yang menjadikan seseorang melihat kebenaran. Seseorang hanya akan mencari imam bila mengetahui adanya kelemahan dalam dirinya, sedangkan seseorang yang merasa tinggi dan kuat tidak akan merasa perlu mencari imam. Tingkat takut dan harap seseorang kepada Allah (khauf dan raja’) juga terlihat dari sikap ini. Ia mengharap hadirnya (wakil) Allah dalam wujud yang dapat terjangkau oleh alamnya yang rendah, dengan sebuah kesadaran tentang tingginya kedudukan Allah dan rendahnya wujud dirinya. Ia takut mengharapkan hadirnya wujud yang tinggi untuk alamnya yang rendah tanpa sebuah hijab yang layak bagi dirinya.

Seseorang dapat memunculkan sifat-sifat yang tampak baik kepada orang lain tetapi secara bersamaan menyimpan dalam hatinya perasaan tinggi dan kesombongan. Kadang perasaan itu tersembunyi tanpa diketahui. Hal itu tidak menunjukkan adanya sikap rendah hati. Sikap rendah hati yang sebenarnya ditunjukkan dengan sikap butuh mencari tauladan bagi dirinya. Kadangkala mencari tauladan dilakukan dengan belajar dari orang yang mengajarkan agama, kadang dilakukan dengan mencari sandaran bagi ilmu yang terbuka kepadanya, dan kadangkala orang mencari sandaran bagi amal shalih yang harus dilakukan.

Allah menciptakan setiap manusia untuk menempati kedudukan yang tinggi di antara para makhluk, tetapi kedudukan itu hanya dapat ditempati bila seseorang bersifat rendah hati. Dengan rendah hati, kebenaran akan dapat dilihat seseorang dengan jelas hingga sebagaimana jelasnya kitab yang diberikan Allah kepada mereka. Rendah hati itu harus terwujud hingga makhluk-pun mengetahui hal itu, yaitu dengan ridha-nya para imam atas kebenaran diri mereka, sebagaimana seorang suami ridha atas kebenaran yang ditemukan dalam diri seorang isteri bilamana seorang isteri berakhlak dengan kebenaran, bukan isteri yang berkemampuan berargumentasi dengan dalil kebenaran.

Seorang perempuan yang menyombongkan diri terhadap suami atau merendahkan suaminya akan sulit mendapatkan ridha suaminya. Demikian pula seorang murid yang sombong tidak akan memperoleh ridha gurunya, dan seorang guru akan sulit menjadikan seseorang yang menyombongkan diri kepada guru itu sebagai murid. Jalan mencari imam yang benar akan tertutup atau terkacaukan manakala seseorang memiliki sifat kesombongan. Suami adalah jalan untuk ibadah seorang isteri kepada Allah, dan para imam menjadi jalan bagi laki-laki untuk menemukan kedudukan diri mereka di sisi Allah.

Pola pencarian imam yang dilakukan oleh seorang laki-laki akan dipengaruhi pertumbuhan kalimah thayyibah dalam jiwanya. Tidak mustahil dalam suatu fase pencarian imam, seseorang hanya menemukan jati dirinya berupa jiwanya, sedangkan imam dalam wujud manusia lain harus ditemukan pada fase berikutnya. Jiwanya itu juga merupakan imam bagi jasmaninya. Seorang laki-laki mungkin mengawali pencarian dengan mentaati guru yang mengajari agama, kemudian ia melanjutkan pencarian imam dalam amr-nya ketika ia mengenal jati dirinya, sedangkan gurunya mungkin saja kemudian menjadi sahabatnya. Kadangkala pencarian imam dilakukan oleh seorang laki-laki secara parallel pada masing-masing bidang, tanpa mengkhianati satu pihak pun. Itu mungkin terjadi pada seorang laki-laki yang mencari imam, dan tidak boleh terjadi pada perempuan terhadap suaminya. Terdapat banyak persamaan antara mencari imam dengan pernikahan bagi seorang perempuan, walaupun tidak sepenuhnya sama. Seorang perempuan hanya boleh terikat pada satu imam sepanjang hidupnya, yaitu laki-laki yang menjadi suaminya.

Ada hal utama yang harus dibentuk oleh setiap manusia baik laki-laki atau perempuan melalui pencarian imamnya, yaitu akhlak mulia dalam ibadah kepada Allah berupa tumbuhnya kalimah thayyibah. Ukuran akhlak itu adalah ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW. Kadangkala terjadi perbedaan antara seseorang dengan imamnya, maka akhlak mulia itu terdapat pada seseorang yang berusaha mentaati Allah dan Rasulullah SAW. Prinsip ini hendaknya menjadi salah satu pedoman bagi seseorang dalam mencari imam, bahwa imam yang dipilih haruslah seseorang yang mengantarkan dirinya dalam ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW. Seringkali seseorang keliru memilih imam yang menjadikan dirinya taat hanya kepada sang imam tanpa memperkenalkan kedudukan mereka dalam ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW. Maka mereka tidak menjadi lebih baik dari keadaan imam mereka. Imam yang baik akan mendidik pengikutnya untuk bersaksi dengan baik bahwasanya tidak ada ilah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.

Sebagian di antara orang yang mengenal imamnya, diberikan kepada mereka kitab mereka melalui tangan kanan. Sebagian tidak demikian. Orang-orang yang memperoleh kitab mereka dengan tangan kanan akan membaca kitab mereka dan mereka tidak didzalimi sedikitpun. Orang yang tidak memperoleh kitab yang diberikan melalui tangan kanan mereka tidak akan membaca kitab diri mereka dengan benar, dan boleh jadi ada kedzaliman-kedzaliman dalam diri mereka. Mungkin masalah kedzaliman harus dibicarakan dengan imam mereka yang mempunyai akal lebih kuat dan mengetahui kedzaliman yang dilakukan dan tersembunyi dari dirinya sendiri. Orang-orang yang mengenal imamnya dan memperoleh kitab mereka dengan tangan kanan inilah orang-orang yang memperoleh fadhilah Allah yang sempurna melebihi fadhilah kepada makhluk lainnya.

Pemimpin Bagi Yang tidak Bertaubat

Kadangkala seseorang hidup bersama dan bergaul dengan orang-orang yang seharusnya menjadi washilah mereka kepada rasulullah SAW, tetapi mereka tidak mengenal kedudukan washilahnya. Hal ini sangat banyak terjadi pada masyarakat, terutama pada masyarakat yang tidak bertaubat. Masyarakat yang bertaubat akan sedikit atau banyak mengalami keterbukaan karena budaya pencarian imam yang tumbuh. Mungkin imam yang mereka pilih tidak sepenuhnya tepat, tetapi tidak terlalu salah dalam memilih pemimpin mereka. Masyarakat yang tidak bertaubat akan mengangkat hawa nafsu mereka sebagai imam yang memimpin mereka, bahkan mungkin menjadikannya tuhan bagi diri masing-masing. Hal ini akan menenggelamkan pencarian akan imam dan menyebabkan negeri mengalami kekacauan.

Orang yang tidak buta adalah orang yang mendapatkan kesempatan untuk membaca kitab dirinya. Ketika seseorang yang hidup di bumi tidak berjalan ke arah yang ditunjukkan Alquran sebagaimana ayat-ayat di atas, orang tersebut dikategorikan sebagai buta. Barangkali ia tidak pernah mengetahui kabar tentang nilai dirinya sebagai manusia di antara seluruh makhluk lainnya. Barangkali ia tidak berjalan kembali kepada Allah, atau ia berjalan kembali kepada Allah tetapi tidak pada jalan yang dimudahkan Allah. Barangkali ia tidak merasakan datangnya rezeki dari ath-thayyibat, atau barangkali ia tidak menemukan imam yang menjadi washilah kepada Rasulullah SAW, atau ia tidak dapat membaca kitab dirinya, maka ia dikatakan mengalami kebutaan dalam tingkatan yang bermacam-macam.

﴾۲۷﴿وَمَن كَانَ فِي هٰذِهِ أَعْمَىٰ فَهُوَ فِي الْآخِرَةِ أَعْمَىٰ وَأَضَلُّ سَبِيلًا
Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (QS Al-Israa’ : 72)

kehidupan dunia ini adalah kehidupan yang paling berharga bagi manusia. Seseorang dapat menemukan shirat al-mustaqim pada kehidupan di bumi, dan menempuhnya hingga bilamana Allah berkehendak ia dimi’rajkan ke hadirat Allah sesuai kedudukan dirinya sebagaimana mi’rajnya Rasulullah SAW ke ufuk yang tertinggi sebagai kedudukan beliau. Allah telah menyediakan tempat-tempat mi’raj (al-ma’arij) bagi hamba-hamba-Nya.

Manakala seseorang kehilangan arah dalam kehidupan dunia, maka ia akan menempuh jalan yang lebih berat dalam kehidupan berikutnya. Bilamana ia tersesat dalam perjalanannya di bumi, maka pada kehidupan berikutnya ia akan lebih tersesat. Bilamana ia masih mempunyai kebutaan, maka di alam akhirat menghilangkan kebutaan itu akan lebih sulit. Manusia akan melanjutkan perjalanan di akhirat sesuai dengan keadaan jiwanya pada akhir kehidupannya di bumi.

Sebagian manusia tidak peduli ke arah mana kehidupannya terpimpin. Sebagian manusia sepenuhnya terpimpin oleh hawa nafsu mereka sendiri. Sebagian manusia mengikuti kilasan petunjuk-petunjuk dalam kitab suci namun tidak bersungguh-sungguh dalam memahami dan mengikuti petunjuk-petunjuk kecuali untuk keuntungan dunia mereka. Allah menjadikan fir’aun dan bala tentaranya sebagai imam-imam yang menyeru ke neraka melalui kehidupan dunia dan kedzaliman.

﴾۱۴﴿وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يُنصَرُونَ
Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong (QS Al-Qashash : 41)

Firaun dan bala tentaranya merupakan para pemimpin orang-orang yang bergelut dalam kehidupan dunia dengan melupakan aspek lain kehidupan manusia hingga umat manusia tenggelam dalam kehidupan dunia saja. Mereka menyeru umat manusia menuju neraka dengan ketenggelaman dalam kehidupan dunia secara menyeluruh. Orang-orang yang tenggelam bermegah-megah dalam kehidupan dunia sebagaimana Fir’aun tidak akan memperoleh pertolongan dalam kehidupan akhirat.