Pencarian

Selasa, 23 Juni 2020

Agama, Yatim dan Kemiskinan

Shalat merupakan tiang bagi agama. Tidak ada agama bagi orang-orang yang tidak melakukan shalat. Namun demikian, tidak setiap orang yang melakukan shalat berarti telah menegakkan agama mereka. Alquran dalam surat Al-Ma’un menjelaskan keadaan orang yang melakukan shalat tetapi sebenarnya termasuk dalam kelompok orang-orang yang mendustakan agama dan akan diganjar dengan neraka wail baginya. 

فَوَيۡلٞ لِّلۡمُصَلِّينَ [ المـاعون:4-4] 

Maka neraka wail bagi orang-orang yang shalat, [Al Ma'un:4] 

Ayat tersebut bercerita tentang kecelakaan bagi orang yang shalat. Secara tersurat, ayat tersebut dikaitkan secara lebih kuat dan rapat dengan ayat sebelumnya sebagai penjelasan tentang sebab-sebab keadaan orang yang demikian. Disebutkan secara jelas kata penghubung “maka” yang menunjukkan ayat tersebut sebagai akibat yang berkaitan dengan sebab pada ayat sebelumnya. Shalat yang diganjar dengan neraka wail adalah shalat orang-orang yang mendustakan agama. Ayat berikutnya menjelaskan lebih lanjut tentang tanda keadaan orang yang shalat dengan cara demikian. 

Boleh jadi seseorang merasa aman dengan shalat yang telah dilakukannya, padahal barangkali shalatnya hanya akan diganjar dengan wail. Setiap orang harus memperhatikan shalatnya, agar tidak hanya diganjar dengan wail. Karena disebutkan kata hubung “maka” pada ayat tersebut secara jelas, hendaknya manusia memperhatikan sebab-sebab shalat demikian. Beberapa penyebab shalat yang demikian dijelaskan pada ayat-ayat sebelumnya sedangkan ciri shalat yang diganjar dengan wail dijelaskan pada ayat-ayat berikutnya. 

Tegaknya shalat seorang hamba tidaklah dapat dilakukan dengan semata-mata berusaha keras memperbaiki pelaksanaan shalat. Tegaknya shalat seorang hamba hanya akan terjadi bila ia juga membangun agamanya. Agama adalah usaha pelaksanaan amanah Allah yang harus ditunaikan bagi semestanya berlandaskan akhlak mulia. Tanpa usaha ini, akan sulit bagi seseorang untuk menegakkan shalat, apalagi bila mendustakan agama. Kadang muncul waham bagi orang yang melakukan shalat bahwa dirinya telah memberikan pelayanan kepada Allah karena shalatnya, sedangkan dirinya tidak memperhatikan pelayanan bagi makhluk lain. Hal ini tidak tepat dan boleh jadi dirinya termasuk orang yang diganjar wail. Allah SWT adalah zat Yang Maha Kaya tidak membutuhkan sedikitpun shalat seorang atau seluruh hamba-Nya, tetapi hamba lah yang membutuhkan shalatnya. 

Barangkali manusia tidak terlalu peka dengan istilah mendustakan agama. Agama sangat terkait dengan masalah keyatiman dan kemiskinan. Bila kehidupan seseorang hanya untuk diri sendiri tidak memikirkan orang lain, boleh jadi dirinya termasuk dalam orang yang mendustakan agama. Orang yang suka menghardik orang yatim dan tidak memikirkan memberi makan orang miskin adalah orang-orang yang mendustakan agama. 

فَذَٰلِكَ ٱلَّذِي يَدُعُّ ٱلۡيَتِيمَ وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلۡمِسۡكِينِ [ المـاعون:2-3] 

Itulah orang yang menghardik yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. [Al Ma'un:2-3] 

Menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin adalah parameter yang jelas tentang orang yang mendustakan agama. Ada banyak proses yang menjadikan seseorang berangsur-angsur berbuat demikian terkait dengan akhlak dalam dirinya. Keinginan terhadap dunia dan hawa nafsu yang diperturutkan akan membuat orang sedikit demi sedikit tergelincir ke arah tersebut. 

Yatim 


Yatim yang dipahami umum adalah anak yang telah ditinggalkan oleh ayahnya sehingga tidak memperoleh pendukung dalam kehidupannya di alam dunia. Akan tetapi yatim tidak hanya terkait dengan kehidupan dunia saja. Rasulullah SAW dikatakan sebagai yatim ketika belum mengenal rabb-nya. Secara dzahir rasulullah SAW terlahir sebagai yatim tanpa ayah yang mendukung kehidupan dunia beliau, akan tetapi status yatim beliau SAW disematkan hingga Allah menemukan beliau SAW, yaitu pada kurang lebih saat ayat berikut turun : 

أَلَمۡ يَجِدۡكَ يَتِيمٗا فَ‍َٔاوَىٰ [ الضـحى:6-6] 

Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? [Ad Duha:6] 

Ayat ini bercerita tentang peristiwa ketika Allah SWT menemui Rasulullah SAW. Digunakan bentuk kalimat present future yang menunjukkan bahwa peristiwa itu terjadi pada waktu ayat tersebut datang. Sebelum itu, rasulullah SAW adalah seorang yatim yang berjalan dimuka bumi mencari Allah. Kemudian Allah memperkenalkan diri-Nya kepada rasulullah SAW, maka rasulullah SAW tidak lagi yatim dan Allah memberikan perlindungan bagi rasulullah SAW sebagai wujud perwalian Allah sepenuhnya bagi beliau SAW. 

Sebelum keyatiman itu berakhir, sebenarnya Allah telah memperkenalkan diri-Nya secara kilasan-kilasan kepada rasulullah SAW dalam bentuk petunjuk-petunjuk. Keadaan yatim akan menjadikan manusia merasakan kegelapan. Tekanan kehidupan bagi seorang yatim akan menyebabkan kehidupannya mengalami gelap dan terang, gelap ketika menanggung datangnya ujian dan terang dengan datangnya petunjuk. Hal itu merupakan mekanisme datangnya petunjuk tentang Allah, yang berkehendak untuk menjadi wali bagi dirinya. Rasulullah SAW sebagai penghulu bagi orang yang ingin mengenal Allah mengalami keadaan demikian sebelum mengenal Allah, sebagai tauladan bagi orang-orang yang ingin mengikuti beliau SAW untuk mengenal Allah. Hal ini diterangkan dalam ayat berikut : 

وَوَجَدَكَ ضَآلّٗا فَهَدَىٰ [ الضـحى:7-7] 

Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. [Ad Duha:7] 

Kegelapan yang dialami rasulullah SAW bukanlah kegelapan dalam wujud kesesatan. Kegelapan itu dalam wujud ujian-ujian kehidupan yang tidak sepenuhnya dimengerti. Setiap orang yang mencari Allah akan mengalami kegelapan-kegelapan dalam bentuk demikian, dan dengan keadaan demikian Allah memperkenalkan diri-Nya dalam kilasan-kilasan petunjuk. 

Seringkali kehidupan orang yang ingin mengikuti rasulullah SAW dibentuk dalam kehidupan yatim. Sekalipun misalnya memiliki harta sangat banyak yang diwariskan oleh walinya, kaya raya, tetapi seorang yatim tidak mempunyai akses terhadap kekayaannya karena belum cukup akal. Demikian pula kadangkala seseorang diberi bekal sangat banyak untuk kehidupannya, akan tetapi kehidupannya dijadikan yatim oleh rabb-nya. Ketika membutuhkan sesuatu, tidak ada makhluk yang datang memberinya. Ketika sakit tidak ada yang merasa kehilangan, tidak ada yang merasa memerlukannya atau mengundang dirinya dan ketika mengundang tidak ada yang menghadiri undangannya. Kehidupannya seolah-olah gelap. Dalam kegelapan itulah petunjuk-petunjuk Allah akan bersinar dengan jelas bagi akalnya bila dirinya ikhlas dan berusaha bersabar. Akan tetapi seringkali beban kehidupan dan kegelapan tersebut menjatuhkannya pada keluhan yang menyebabkannya ditimpa kekufuran. Perjalanannya akan terhenti pada kesulitan-kesulitan duniawi, tidak membuatnya mengenal Allah, dan kadang menariknya kepada neraka. 

Keyatiman itu kadangkala tidak berhenti hanya pada aspek dunia seseorang. Kadangkala jiwapun dijadikan yatim. Cinta kasih dalam jiwanya dipisah dari hak-haknya melalui mekanisme yang mungkin terlihat rumit dalam ukuran manusia. Allah kadangkala mengijinkan syaitan untuk membuat fitnah-fitnah bagi jiwa seseorang melalui hubungannya bersama pasangannya. Ketika mencintai pasangannya, pasangan dibuat tidak menyambut cintanya. Keinginannya mengajak pasangan pada jalan Allah tidak disambut dengan layak, justru pasangannya lebih mempercayai orang yang akan mencelakakannya. Ketika berumah tangga, usahanya memberi kebaikan bagi pasangannya dianggap angin lalu oleh pasangannya tanpa rasa syukur, atau boleh jadi pasangannya meninggalkannya bersama orang lain atau pasangannya dirampas orang lain. Banyak hal yang mungkin terjadi pada seseorang hingga jiwanya menjadi yatim. 

Persoalan ini bukanlah persoalan romantika percintaan. Keberpasangan dalam hal ini merupakan masalah setengah bagian dari agama. Bagi kaum mukminin, pasangan merupakan ladang pertumbuhan jiwanya, atau jalan kepada tuhannya. Firaun adalah jalan bagi Asiyah r.a mengenal rabb-nya, sedangkan rasulullah SAW jalan bagi ummahat al-mukminin. Setiap suami adalah jalan bagi istri-istrinya. Makrifat seorang istri adalah pengenalannya terhadap urusan Allah SWT bagi dirinya melalui suaminya. Tidak ada jalan lain bagi seorang istri selain suaminya. Makrifat bagi perempuan itu kemudian akan terlihat dalam wujud tumbuhnya sifat-sifat perempuan ahli surga berupa sifat alwaduud (penuh cinta), alwaluud (subur) dan selalu kembali kepada suaminya. 

Makrifat ini akan selalu berusaha dihancurkan syaitan. Seorang istri mungkin bisa berusaha keras hingga memaksakan diri untuk memberikan amal terbaik kepada suaminya. Bila makrifatnya tumbuh, pelayanan itu akan mudah dilaksanakan. Akan tetapi syaitan akan selalu berusaha menjatuhkannya dalam usaha yang memayahkan dengan mencegah tumbuhnya pemahaman terhadap suaminya. Rumah tangganya akan tampak menjadi seperti neraka baginya. Suaminya akan tampak seperti orang yang tidak tahu terima kasih atas usahanya, sedangkan rezeki dari usaha suaminya akan sering mengalami kegagalan karena tidak adanya sifat subur dalam diri istrinya. Sulit menumbuhkan rasa bersyukur dalam keadaan seperti ini, dan cenderung membuat seorang istri kufur terhadap suami. 

Bagi seorang laki-laki, istri adalah ladang bagi jiwanya. Ketika pasangan mengkhianatinya, maka hal itu dapat diibaratkan tanaman yang dicabut dari ladangnya. Ini merupakan wujud keyatiman yang lebih dalam dan hal itu juga akan memunculkan keyatiman pada sisi duniawi dengan mekanisme yang rumit. Bila seorang suami mensia-siakan istrinya, sebenarnya akan mensia-siakan diri sendiri. Sikapnya terhadap istrinya sebenarnya adalah sikapnya terhadap dirinya sendiri, karena akan kembali kepada dirinya sendiri. 

Membangun Agama Melalui Kemiskinan dan Yatim 


Masalah yatim dan kemiskinan menjadi tema pokok dalam agama. Orang yang berpikir hanya kepentingan dirinya dan tidak berpikir tentang kebutuhan orang lain atau makhluk lain tidak akan dapat memperoleh agama, karena dia sebenarnya mendustakan agama dalam sikap batinnya walaupun mungkin tidak mengungkapkan secara lahir atau lisannya. Demikian pula orang yang mendzahirkan hardikan terhadap orang yatim berarti mendustakan agama. 

Memperhatikan kemiskinan menjadi sebuah syarat dasar bagi setiap orang untuk membangun agamanya. Tanpa kepedulian terhadap kemiskinan, tidak ada agama bagi seseorang. Barangkali seseorang bisa menipu diri untuk melakukan shalat khusyuk tanpa memiliki perhatian terhadap masalah kemiskinan, akan tetapi shalat itu akan diganjar dengan neraka wail. Sebenarnya tidak ada shalat khusyuk bagi orang yang tidak memiliki perhatian terhadap masalah kemiskinan. 

Dalam masalah yatim, Allah berkehendak memperkenalkan perwalian-Nya kepada orang yatim dan orang yang mengurus orang yatim. Dalam kehidupan yatim, Allah berkehendak untuk memberikan perwalian kepada seseorang bila orang tersebut beriman dan tidak mengeluh. Allah akan menjadi wali baginya. Allah juga memberikan jalan lain untuk memperkenalkan perwalian-Nya bagi manusia, kepada orang yang mengurusi kehidupan orang yatim dengan berusaha tidak menghardiknya, adil dan tidak menginginkan untuk menguasai hartanya. Persoalan yatim menjadi tema sentral yang tinggi dalam agama karena menyangkut perwalian-Nya bagi manusia. 

Bila seseorang atau sebuah jamaah berkeinginan untuk membangun agama, maka masalah kemiskinan dan keyatiman harus menjadi menu utama dalam pembahasan jamaah. Sebuah jamaah akan tertipu dalam kesibukan bilamana terjebak dalam perjuangan untuk kemegahan, fanatisme kelompok ataupun kebanggaan bertuhan dengan melupakan masalah kemiskinan dan keyatiman. Bilamana ada orang yang mampu mengurus masalah orang yatim, itu menjadi lahan yang baik untuk memperoleh pengenalan terhadap perwalian Allah bila dilakukan dengan ikhlas dan sepenuhnya menjaga amanah harta yatim yang diurus. Bilamana tidak mampu, maka harus sebisa mungkin menghindari sikap menghardik orang yatim. Setidaknya setiap orang beriman harus memikirkan kemanfaatan dirinya bagi orang lain, terutama bagi orang yang miskin. 

Sikap seseorang terhadap seorang yatim menjadi parameter agama. Mengurus yatim merupakan sumber keutamaan bagi yang melakukannya, baik mengurus yatim dalam bentuk anak-anak yang ditinggalkan ayahnya ataupun yatim dalam wujud sebagaimana rasulullah SAW sebelum ditemui Allah. Mungkin bentuk kedua tidak diperuntukkan bagi semua orang, hanya untuk orang-orang yang mengenal penciptaan dirinya. Akan tetapi setiap orang harus memperhatikan sikap yang benar terhadap setiap yatim. Barangkali yatim tersebut orang yang benar-benar mengikuti rasulullah SAW. Setiap orang yang mengurus yatim harus berusaha memberikan kasih sayang sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, menjadikan si yatim sebagaimana anaknya atau dirinya sendiri. Bila tidak mampu melakukan, setidaknya manusia tidak boleh melakukan hardikan terhadap anak yatim. 

Setiap orang harus berhati-hati dalam mengurus orang yatim. Memakan harta yatim merupakan dosa yang menghancurkan, yang dikenal sebagai al-mubiqaat. Dosa-dosa tersebut merupakan makar syaitan baik secara kasar ataupun halus. Dengan dosa semacam ini, umat akan hancur. 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ 

Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW beliau bersabda: “Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!” Mereka (para sahabat) bertanya: “Wahai Rasûlullâh, apakah itu?” Beliau SAW menjawab, “Syirik kepada Allâh; sihir; membunuh jiwa yang Allâh haramkan kecuali dengan haq; memakan riba; memakan harta anak yatim; lari dari perang; dan melakukan qadzaf terhadap wanita-wanita yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan lalai”. [HR. Al-Bukhâri, no: 3456; Muslim, no: 2669] 

Yatim dan kemiskinan merupakan sendi utama yang menjadi bahan dalam membangun agama. Banyak masalah yang harus dimengerti dalam agama, dan hal itu dapat digali melalui keyatiman dan kemiskinan. Dengan membangun agama maka seseorang dapat berusaha menegakkan shalatnya.