Pencarian

Senin, 24 Januari 2022

Rasulullah SAW dan Alquran Sebagai Rahmat

Allah menciptakan seluruh makhluk karena Dia berkehendak untuk dikenal, yang tertinggi berupa pengenalan terhadap asma Ar-Rahman dan Ar-Rahiim. Ar-Rahman merupakan asma-Nya sebagai zat yang berkehendak memberikan pengetahuan yang sebaik-baiknya kepada makhluk, dan Ar-Rahiim merupakan asma-Nya sebagai zat yang menghendaki makhluk-Nya untuk melahirkan amal-amal terbaik bagi makhluk lain berdasarkan pengetahuan yang diajarkan-Nya. Kedua asma itu merupakan puncak asma Allah yang merangkum keseluruhan asma Allah yang hendak Dia perkenalkan bagi makhluk.

Terwujudnya suatu sumber pengetahuan ilahiah dalam diri seorang makhluk merupakan limpahan nikmat Allah yang diberikan kepada makhluk tersebut. Hal ini merupakan nikmat Allah dan kebaikan yang sangat besar bagi makhluk. Nikmat Allah demikian akan menjadi rahmat bila makhluk tersebut tidak menjadi kufur karenanya. Banyak makhluk yang menjadi kufur karena pengetahuan ilahiah yang terbuka baginya, dan banyak makhluk kufur dengan cara itu kemudian berusaha menyeret makhluk lainnya untuk kufur bersamanya. Setiap orang harus bertakwa dalam menerima pengetahuan dari Allah.

Allah telah mengutus Rasulullah SAW sebagai rahmat bagi semesta alam. Beliau merupakan segel benarnya rahmat Allah yang diberikan kepada seseorang. Beliau merupakan entitas yang membawa keseluruhan rahmat Allah bagi semesta alam, dan seluruh rahmat Allah bersumber dari diri beliau SAW. Tidak ada rahmat Allah yang terpisah sumbernya dari Rasulullah SAW. Mungkin seseorang mengenali bagian rahmat Allah yang terlihat tidak terhubung dengan Rasulullah SAW, akan tetapi tidak mungkin menemukan rahmat yang bertentangan dengan apa-apa yang beliau ajarkan.

﴾۷۰۱﴿وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam. (QS Al-Anbiyaa :107)

Rasulullah SAW merupakan rahmat bagi seluruh alam semesta. Hal ini menunjuk pada keseluruhan rahmat dari alam yang terendah di alam mulkiyah hingga alam tertinggi di sisi Allah. Di alam apapun, tidak ada rahmat yang bertentangan dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Umat manusia dan para malaikat dikatakan memperoleh ilmu yang haq hanya bilamana sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, dan bernilai salah bila bertentangan dengan Rasulullah SAW.

Rahmat Allah turun ke alam semesta melalui Rasulullah SAW bersama dengan turunnya Alquran. Alquran dan Rasulullah SAW merupakan kesatuan rahmat Allah, yaitu Rasulullah SAW merupakan insan yang memanifestasikan rahmat Allah, dan Alquran merupakan firman Allah yang merupakan sumber rahmat. Ketaatan dan kecintaan seseorang kepada Rasulullah SAW diukur dari ketaatan seseorang pada Alquran, dan kefahaman seseorang tentang Alquran hanya benar bila bersesuaian dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Alquran dan Rasulullah SAW adalah satu kesatuan rahmat Allah bagi semesta alam.

﴾۶۸﴿وَمَا كُنتَ تَرْجُو أَن يُلْقَىٰ إِلَيْكَ الْكِتَابُ إِلَّا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ ظَهِيرًا لِّلْكَافِرِينَ
Dan kamu tidak pernah mengharap agar Al Quran diturunkan kepadamu, kecuali sebagai rahmat dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu menjadi penolong bagi orang-orang kafir. (QS Al-Qashash : 86)

Mengharapkan Rahmat Allah

Beberapa ulama menerangkan rahmat Allah dalam uraian tentang wujud atau fenomena yang menyertai keterbukaan pengetahuan Alquran. Hal itu bukan sesuatu yang keliru, tetapi harus dipahami bahwa yang merupakan inti dari rahmat Allah adalah keterbukaan makna Alquran dan ketaatan serta kecintaan pada Rasulullah SAW, bukan pencapaian wujud-wujud dan fenomena yang menyertainya. Uraian ulama tentang fenomena yang menyertai limpahan rahmat Allah berfungsi sebagai peneguh pemahaman terjadinya limpahan rahmat Allah atas diri seseorang, sehingga jelas apa yang dimaksud sebagai rahmat.

Kadangkala seseorang memperoleh pengetahuan dengan upaya mereka sendiri. Hal itu tidak menunjukkan terjadinya limpahan rahmat Allah bagi seseorang karena pengetahuan bisa diperoleh dengan upaya jasmaniah. Walaupun demikian, pengetahuan demikian sangatlah berguna bagi setiap orang selama ada sikap hanif mencari kebenaran dalam upaya mencari pengetahuan tersebut, bukan mencari pengetahuan untuk kebanggaan hawa nafsu. Bahkan setiap orang harus berpegang pada tekstual setiap ayat Alquran dalam mencari pengetahuan agama, tidak boleh meninggalkan tekstual setiap ayat Alquran dan sunnah pada setiap tingkatan pengetahuan yang diperoleh.

Kadangkala Allah membukakan pengetahuan yang tinggi kepada seseorang. Sebagian orang yang menerima pengetahuan demikian kemudian mencari kebenaran pengetahuan yang diperolehnya melalui Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, maka pengetahuan itu kemudian menjadi limpahan rahmat Allah bagi dirinya. Terlimpahnya rahmat Allah itu berupa pengetahuan seseorang tentang kedudukan dirinya dalam jihad Rasulullah SAW dan keterbukaan makna Alquran bagi dirinya. Tanpa memiliki dasar pengetahuan tentang Alquran dan Rasulullah SAW, pengetahuan yang dibukakan bagi seseorang tidak boleh secara spontan dianggap sebagai ilmu dari Allah. Boleh jadi ada makhluk lain menurunkan pengetahuannya kepada seseorang. Tanpa rahmat Allah, pengetahuan itu bisa menjadi fitnah bagi orang tersebut menuju kekufuran.

Sebagian orang yang menerima pengetahuan dari Allah kemudian berubah menjadi kufur. Mereka memandang diri mereka secara berlebih dari cara pandang yang ditetapkan Allah. Bagaimanapun setiap orang harus memandang diri mereka sebagai hamba Allah, meniru sikap Rasulullah SAW. Seberapapun besar dan tinggi pengetahuan yang diterima Rasulullah SAW, beliau tidak memandang dirinya lebih dari yang ditetapkan Allah bagi beliau. Beliau SAW merupakan teladan bagi setiap makhluk, dan beliau SAW merupakan sandaran kebenaran yang kuat di hadapan Allah. Tidak ada makhluk lain yang bisa menjadi sandaran kebenaran secara mandiri tanpa merujuk pada sandaran lain yang terhubung hingga mendapat washilah Rasulullah SAW. Tidak ada makhluk lain yang memiliki pengetahuan kebenaran paripurna sebagaimana Rasulullah SAW, sehingga sangat mungkin terjadi suatu kesalahan pemahaman kebenaran yang bersumber dari makhluk lain.

Setiap orang hendaknya membangun dirinya dalam ketaatan dan kecintaan kepada Allah melalui firman-Nya, dan kepada Rasulullah SAW melebihi kecintaan dan ketaatan kepada siapapun. Hal itu yang akan menuntun seseorang pada jalan yang lurus. Membangun diri dengan berusaha mencapai wujud atau fenomena yang menyertai keterbukaan pengetahuan Alquran dapat membelokkan seseorang dalam langkahnya menuju Allah.

Pada dasarnya Rasulullah SAW tidaklah berharap Alquran diturunkan kepada beliau. Sikap ini terkait dengan status dan peran di antara umat karena Alquran, bukan tentang kandungan Alquran. Dalam pandangan setiap orang yang berakal, tentulah Alquran merupakan hal paling mulia bagi mereka, dan ada amanah yang harus ditunaikan karena memahami Alquran. Hal itu akan memberikan status tertentu di antara umat karena. Secara prinsip, Rasulullah SAW tidak mengharapkan suatu status tertentu karena Alquran, tetapi beliau harus menetapi status beliau SAW karena Alquran.

Manakala seseorang mengharapkan status sosial tertentu karena Alquran, maka dirinya akan terjebak dalam kekufuran. Setiap orang sebagaimana Rasulullah SAW harus mengharapkan Alquran sebagai rahmat Allah, bukan untuk status sosial. Ciri Alquran sebagai rahmat adalah tercapainya kesatuan pemahaman dengan Rasulullah SAW. Rahmat Allah ditandai dengan dua ciri yang keduanya muncul, yaitu pengetahuan tentang kedudukan dirinya dalam jihad Rasulullah SAW dan keterbukaan makna Alquran. Kedua hal itu adalah rahmat yang diturunkan Allah.

Seseorang yang memperoleh rahmat Allah dari Alquran dan sunnah Rasulullah SAW diperintahkan untuk tidak menolong orang-orang yang berbuat kekufuran sebagai pendukung kesuksesan kekufuran mereka. Banyak tingkatan kufur dapat terlihat oleh orang-orang yang memperoleh rahmat Allah, dari kufur berupa kebodohan menolak kebenaran hingga kufurnya orang-orang yang mengubah nikmat Allah menjadi kekufuran. Mereka tidak boleh mensukseskan kekufuran yang dapat terlihat oleh mereka, dalam segala bentuk kekufurannya. Hal ini tidak berarti harus mengobarkan permusuhan walaupun kadangkala harus terlibat konflik. Langkah yang lebih baik yang perlu ditempuh adalah menunjukkan jalan keimanan hingga orang lain bisa memperoleh rahmat Allah.

Kebinasaan Karena Durhaka

Sebagian orang yang memperoleh nikmat Allah kemudian mengubah nikmat itu menjadi kekufuran, tidak berlanjut menuju limpahan rahmat Allah. Hal itu merupakan penyimpangan dari proses taubat seseorang dalam membina jiwanya sebagai kalimat thayyibah. Barangkali kekufuran itu tidak terlihat, atau tertutupi secara rumit sehingga tidak terlihat, tetapi kekufuran itu akan menjadikan suatu kaum sulit menumbuhkan akal mereka. Mereka akan tertutupi waham yang membuat sulit mengenali kebenaran. Penyimpangan itu dapat dilihat dengan tanda terjadinya penghalalan negeri yang binasa bagi kaumnya. Setiap orang tidak boleh mengikuti langkah yang menyebabkan terjadinya negeri yang binasa.

﴾۸۲﴿ أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَتَ اللَّهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekufuran dan menghalalkan kaumnya ke negeri kebinasaan? (QS Ibrahim : 28)

Kekufuran oleh orang-orang yang mengubah nikmat Allah menjadi kekufuran bersifat lebih berbahaya daripada kekufuran yang lain. Kekufuran itu bisa menuntun suatu kaum menuju kebinasaan, bukan hanya menyebabkan satu atau dua orang menuju kebinasaan. Hal ini harus diperhatikan dengan seksama oleh orang-orang yang memperoleh rahmat Allah. Kaum yang tertuntun ke arah kebinasaan itu belum tentu kaum yang kafir. Mereka yang mengikuti sangat mungkin dari kalangan orang-orang yang mencari nikmat Allah dan melihat nikmat Allah pada diri seseorang, tetapi tidak menyadari bahwa nikmat itu diganti dengan kekufuran.

Seseorang boleh jadi hanya menghalalkan satu atau beberapa pintu menuju kebinasaan, tetapi akan ada atau mungkin bahkan banyak kaumnya memasuki pintu itu menuju kebinasaan. Sebagian pintu itu mungkin bersifat strategis yang dibutuhkan hampir semua orang, sehingga banyak orang memasukinya. Kadang dijumpai suatu pintu yang merusak satu orang namun menjadi kunci rusaknya kaum secara keseluruhan. Sangat banyak kemungkinan pintu yang dapat dihalalkan bagi suatu kaum untuk menuju kebinasaan, misalnya pintu kekufuran terhadap nikmat Allah berupa perjodohan. Bila perempuan dirusakkan, maka rusaklah rumah tangga dan runtuhlah negeri. Sekalipun banyak laki-laki berhasil memperoleh ilmunya, mereka tidak akan dapat berbuat banyak untuk kebaikan negerinya tanpa isteri yang baik. Dalam prakteknya, akan sulit membina jiwa laki-laki untuk tumbuh tanpa isteri yang baik. Lebih buruk lagi, akan banyak orang yang tertutup waham tidak mengenali cahaya Allah, atau bahkan mendustakan cahaya Allah hingga kemudian melangkah menuju jahannam.

Agak sulit untuk menyadari kesalahan yang demikian karena hal demikian melibatkan tipuan syaitan yang duduk bagi manusia pada shirat al-mustaqim untuk mengganti nikmat Allah dengan kekufuran. Menyadari suatu kesalahan yang demikian dan kemudian melakukan perbaikan akan sangat membantu bagi suatu kaum untuk menemukan rahmat Allah dan terhindar dari kebinasaan. Kebinasaan itu dapat menimpa suatu kaum dalam kehidupan dunia, dan kemudian menjadikan mereka akan memasuki neraka. Rumah tangga yang buruk misalnya, dapat membuat seseorang binasa dalam kehidupan dunia dan kemudian mengantarkan mereka memasuki jahannam. Syaitan dapat memasuki celah dalam rumah tangga yang buruk untuk membuat fitnah bagi umat manusia. Perbaikan yang harus dilakukan tidak hanya untuk kehidupan akhirat saja, tetapi harus melakukan perbaikan dalam kehidupan di dunia dengan membangun visi kehidupan dunia dalam keimanan sesuai tuntunan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW.

Terkait kebinasaan karena musuh, Rasulullah SAW memperingatkan kepada umat manusia bahwa risalah yang beliau bawa termasuk dalam menghadapi musuh. Ini merupakan bagian yang harus diupayakan setiap orang untuk mencari rahmat Allah karena merupakan bagian risalah nabi Muhammad SAW menghindari kebinasaan. Seringkali hal ini terabaikan oleh orang-orang yang terlena dengan kebanggaan pemahaman parsial. Bukan pemahaman parsial yang menjadi masalah, tetapi kebanggaannya. Kebinasaan dalam hal ini menyebabkan kebinasaan baik di dunia maupun di akhirat. Ketaatan kepada risalah nabi Muhammad SAW termasuk dalam menghadapi musuh yang akan membinasakan manusia.

عَنْ أَبِي مُوْسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّمَا مَثَلِي وَمَثَلُ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَتَى قَوْماً فَقَالَ: يَا قَوْمِ إِنِّي رَأَيْتُ الْجَيْشَ بِعَيْنَيَّ وَإِنِّي أَنَا النَّذِيْرُ الْعُرْيَانُ، فَالنَّجَاءَ فَأَطَاعَهُ طَائِفَةٌ مِنْ قَوْمِهِ فَأَدْلَجُوْا فَانْطَلَقُوْا عَلَى مَهْلِهِمْ فَنَجَوْا، وَكَذَّبَتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ فَأَصْبَحُوْا مَكَانَهُمْ فَصَبَّحَهُمُ الْجَيْشُ فَأَهْلَكَهُمْ وَاجْتَاحَهُمْ فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ أَطَاعَنِي فَاتَّبَعَ مَا جِئْتُ بِهِ وَمَثَلُ مَنْ عَصَانِي وَكَذَّبَ بِمَا جِئْتُ بِهِ مِنَ الْحَقِّ.

Dari Abi Musa r.a dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Permisalanku dan permisalan apa-apa yang Allah utus aku dengannya adalah seperti seorang yang mendatangi suatu kaum, lalu ia berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya aku melihat pasukan musuh dengan mata kepalaku dan sesungguhnya aku pemberi peringatan yang nyata, maka marilah menuju kepada keselamatan. Sebagian dari kaum itu mentaatinya, lalu mereka masuk pergi bersamanya, maka selamatlah mereka. Sebagian dari mereka mendustakan. Pagi-pagi mereka diserang oleh pasukan musuh lalu mereka dihancurkan dan diluluhlantakan. Demikianlah perumpamaan orang-orang yang taat kepadaku dan mengikuti apa yang aku bawa dan perumpamaan orang-orang yang durhaka kepadaku dan mendustakan kebenaran yang aku bawa.”

Untuk masalah kebinasaan ini, Rasulullah SAW menyatakan permisalan bagi beliau SAW. Orang yang memperingatkan tentang musuh manusia dengan jelas dan mengajak pada keselamatan dijadikan oleh Rasulullah SAW sebagai misal bagi beliau SAW dan misal bagi risalah beliau SAW. Barangkali permisalan itu merujuk pada seseorang tertentu, tetapi setiap peringatan terhadap musuh dan ajakan menuju keselamatan harus diperhatikan dengan baik, karena Rasulullah SAW menyatakan permisalan diri beliau SAW dengan seseorang yang memperingatkan manusia terhadap musuh dan mengajak pada keselamatan.

Orang yang mentaati seruan orang itu dan bersiap bersamanya akan selamat, sedangkan orang-orang yang durhaka dengan mendustakan peringatan itu berarti mendustakan kebenaran risalah SAW maka mereka akan binasa. Dalam permisalan perutusan beliau SAW ini, Orang yang durhaka tidak akan memperoleh rahmat Allah justru mereka akan celaka baik dalam kehidupan dunia dan akhirat kelak.

Minggu, 09 Januari 2022

Taat Kepada Allah dan Rasul-Nya

Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya agar mereka mendapatkan rahmat Allah. Juga mereka diperintahkan untuk taat kepada para ulil amr yang menjalankan urusan Allah sesuai dengan ketetapan bagi masing-masing. Manakala orang beriman perbedaan pendapat dengan ulil-amri, maka hendaknya mereka mengembalikan perkara kepada Allah dan Rasul-Nya. Itu adalah sebuah perintah yang jelas bagi kaum beriman.

﴾۹۵﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An-Nisaa : 59)

Barangkali terdapat sedikit kerancuan dalam menentukan definisi ulil amr. Ulil-amri adalah orang-orang yang telah mengerti amr Allah yang ditentukan bagi mereka sebagai ketetapan yang telah tertulis sejak sebelum kelahiran mereka. Hal ini tidak tergantung pada status sosial orang tersebut. Sebagian ulil amr tidak dikenali oleh masyarakat, dan sebagian ulil amri memperoleh kuasa di antara masyarakat. Yang menentukan kedudukan seseorang sebagai ulil amri adalah pemahamannya terhadap amr Allah bagi dirinya sebagai bagian dari amr Rasulullah SAW.

Dengan pengetahuan seseorang tentang kedudukan diri sebagai bagian dari urusan Rasulullah SAW, maka pada dasarnya upaya mentaati seorang ulil amr merupakan upaya mentaati Rasulullah SAW. Namun ketaatan itu harus dilandasi dengan penggunaan akal untuk memahami kehendak Allah. Dalam hal ini, sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat atau cara pandang antara satu orang mukmin dengan ulil amr dalam suatu masalah tertentu. Seorang ulil amr mungkin tidak beririsan sepenuhnya dengan orang mukmin lainnya, sehingga perbedaan pendapat dengan mukmin lain mungkin terjadi.

Bilamana terjadi perbedaan dengan seorang ulil amr, seorang beriman harus menggunakan akalnya. Menggunakan akal itu bukanlah berusaha menentukan pendapatnya dengan logika secara bebas, tetapi dengan berusaha mengembalikan perbedaan itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang sebenarnya merupakan akal, yaitu berusaha memahami kehendak Allah dan berjalan selaras dengan kehendak-Nya. Seorang beriman harus berusaha mentaati ulil amr dalam perkara-perkara yang tidak tidak bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tetapi tidak boleh mengikuti pendapat orang lain yang bertentangan dengan tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.

Ketaatan dan Kekuatan Hati

Hal ini wajib diperhatikan oleh orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Orang beriman akan berusaha mencari jalan untuk kembali kepada Allah agar dapat menemukan sumber segala kebaikan bagi dirinya. Mereka juga mencari kehidupan akhirat yang baik dengan menjual kehidupan dunia mereka. Untuk hal itu, setiap orang yang beriman kepada Allah dan kehidupan akhirat hendaknya memperhatikan ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW. Tanpa hal itu, boleh jadi ia akan salah mengambil jalan kembali kepada Allah dan kehilangan kehidupan yang baik di akhirat kelak.

Lemahnya ketaatan seseorang pada Allah dan Rasulullah SAW akan membuat seseorang mudah berbolak-balik hatinya. Ketika seseorang tidak berpegang dengan seluruh kemampuannya pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, maka hati seseorang akan bergoyang tanpa pijakan yang kokoh, dan hati itu akan berbolak-balik dalam menentukan langkah kehidupan. Pikiran mereka akan berbolak-balik antara mengikuti kebenaran atau sekadar mengikuti panutan-panutan mereka tanpa menggunakan akal. Hal itu akan bertimbal balik dengan langkah perjalanan yang rapuh. Boleh jadi Allah akan menampakkan bagi seseorang wujud rapuhnya akal dan langkah mereka dengan semakin jelas manakala para panutan itu menempuh kehidupan yang sesat.

﴾۶۶﴿يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا
﴾۷۶﴿وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا
()Pada hari ketika wajah mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul". ()Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati para pemimpin (sayyid) dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). (QS Al-Ahzaab : 66-67)

Ayat tersebut bercerita tentang kehidupan sebagian orang-orang kafir kelak di neraka. Hati mereka terbolak-balik menyesali kehidupan mereka di dunia. Betapa mereka menyesali keadaan mereka dahulu yang tidak berpegang teguh dalam ketaatan pada Allah dan Rasulullah SAW, tetapi justru terombang-ambing mengikuti para sayyid yang ada di antara mereka dan orang-orang besar yang memerintah mereka.

Dalam hal ini, kafir yang dimaksudkan bukanlah para penentang kebenaran. Mereka adalah golongan manusia yang telah mampu menimbang antara nilai-nilai ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, atau mereka akan mengikuti perkataan para sayyid (pemuka) dan para pembesar di antara mereka. Akal mereka tidak cukup kuat menggenggam kebenaran yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Manakala para sayyid (pemuka) dan para pembesar mereka mengambil jalan kesesatan, mereka mengikuti kesesatan yang ditempuh. Ketika hal itu terjadi, maka mereka masuk dalam keadaan kufur, yaitu kekufuran dalam wujud terbolak-baliknya hati. Mereka mengalami kebimbangan untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya atau mengikuti para sayyid dan para pembesar mereka. Keadaan itu menjadi batas kekufuran seseorang dan batas keselamatan atau neraka bagi seseorang.

Mengikuti kesesatan para sayyid dan para pembesar merupakan kebodohan, dan mengikuti firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW adalah akal. Kadangkala seseorang berada pada batas kebodohan dan akal. Itu adalah keadaan yang sulit. Dirinya mengetahui kebenaran tetapi tidak memiliki pemahaman yang cukup kuat dalam memegang kebenaran. Barangkali ia harus memegang kebenaran sendirian berlainan pendapat dengan orang lain tanpa mempunyai pengetahuan yang cukup. Agak sulit untuk berpegang pada kebenaran sendirian, maka hendaknya ia mendekatkan diri kepada Allah agar diperkuat dalam memahami kebenaran, tanpa berusaha melakukan pembenaran bagi pendapatnya sendiri. Kebenaran yang dipegang sendirian itu akan menjadi sumber pengetahuan yang besar manakala disertai dengan keikhlasan dan ia cukup kuat menggenggamnya.

Para sayyid dan pembesar hendaknya berusaha menghindari kesesatan karena banyak manusia yang akan mengikuti langkah mereka. Mungkin itu berimplikasi baik bagi kehidupan dunia, tetapi akan menjadi beban berat kelak di akhirat. Mereka yang mengikuti masing-masing akan memintakan pelipatgandaan siksaan dan laknat yang besar bagi para sayyid dan pembesar sesat yang mereka ikuti.

Perbedaan antara ulil amri dengan para penguasa terlihat dalam ayat ini. Sekalipun seseorang memperoleh kedudukan sayyid di antara masyarakat, atau mereka memperoleh kekuasaan di antara masyarakat, hal itu tidak menjadikan mereka sebagai ulil-amri. Ulul amri hanya berasal dari golongan orang yang mengetahui kedudukan mereka dalam perjuangan Rasulullah SAW, melaksanakan bagian dari urusan Rasulullah SAW. Ketaatan kepada ulil amri tidak berkaitan langsung dengan ketaatan kepada para sayyid ataupun para pembesar di antara umat.

Ketaatan Dan Kitabullah

Ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW sangat terkait dengan keimanan pada kitabullah. Tidak ada ketaatan dengan melanggar kitabullah yang diturunkan kepada Rasulullah SAW dan yang diturunkan sebelumnya. Orang yang mentaati Allah dan Rasulullah SAW adalah orang yang berhakim dengan kitabullah, yaitu apa-apa yang diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW dan yang diturunkan Allah sebelumnya, tidak berusaha berhakim dengan yang lain tanpa mendahulukan kitabullah. Kadangkala seseorang mengira bahwa permasalahan yang terjadi atas mereka tidak tertulis dalam kitabullah sehingga perlu berhakim pada hal yang lain. Ini merupakan indikasi kelemahan dalam menempuh perjalanan kepada Allah. Orang yang mempunyai iktikad berusaha kembali kepada Allah akan mencari jalan melalui kitabullah, dan menemukan permasalahan mereka dalam kitabullah. Orang yang menempuh perjalanan kehidupan secara bebas barangkali akan kesulitan menemukan permasalahan mereka dalam kitabullah.

﴾۰۶﴿أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS An-Nisaa : 60)

Sebagian orang berhakim kepada thaghut. Ini merupakan masalah yang lebih besar daripada orang yang tidak menempuh perjalanan kembali kepada Allah. Syaitan akan hadir bagi mereka dengan keinginannya menyesatkan manusia dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya. Boleh jadi syaitan akan hadir menjadi tuhan bagi mereka sebagai thaghut yang berbicara. Lebih sulit untuk berbicara kebenaran kepada orang-orang yang mengikuti syaitan, sedangkan mereka mengira bahwa diri mereka adalah orang-orang yang beriman kepada apa-apa yang diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW dan yang diturunkan Allah sebelumnya.

Kitabullah merupakan lawan bagi thaghut. Orang yang mengikuti thaghut akan ditarik perlahan-lahan meninggalkan kitabullah tanpa merasakannya, sedangkan mereka mengira bahwa mereka beriman kepada apa-apa yang diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW dan yang diturunkan Allah sebelumnya. Sebaliknya, seseorang dapat mengetahui tipu daya syaitan dalam wujud thaghut dengan mengikuti kitabullah, yaitu dengan menjadikan Alquran sebagai imam yang menuntun perjalanan. Seseorang tidak boleh menjadikan Alquran sebagai pembenar perbuatan yang mereka lakukan. Boleh jadi seseorang berbuat selaras dengan Alquran maka ia boleh berhujjah dengan Alquran, namun apabila Alquran berbicara tentang mereka maka mereka harus menerima apa yang dituliskan Alquran dan kemudian mengikutinya. Bila mereka mengingkari firman Allah dan mencari pembenaran atas keadaan mereka, Alquran bisa jadi akan berbicara bagi mereka namun justru menyeret mereka menuju neraka.

Setiap orang beriman harus menjadikan Alquran sebagai hakim puncak untuk masalah mereka. Semua pengetahuan yang dapat diperoleh oleh seseorang harus diusahakan selaras dengan Alquran, tidak boleh dibuat sebaliknya, yaitu Alquran dihukumi dengan pendapat manusia. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang selaras dengan Alquran, sedangkan pengetahuan yang tidak mempunyai dasar dari Alquran sangat mungkin akan hilang dari diri seseorang. Seseorang yang berusaha menghukumi Alquran dengan pendapatnya sendiri atau penglihatannya akan mudah terjebak dalam penghambaan kepada thaghut, dimana syaitan akan hadir bagi dirinya memberikan pengetahuannya untuk mengimbangi Alquran. Hal ini akan terlihat hebat bagi orang kebanyakan, tetapi dapat terlihat kekafirannya oleh orang yang mengikuti Alquran.

Menentukan kitabullah sebagai hakim dapat menjadi indikator ketaatan seseorang kepada Allah dan Rasulullah SAW. Orang yang mentaati Allah dan Rasulullah SAW akan mudah menemukan permasalahan mereka dalam kitabullah, sedangkan orang-orang yang menempuh perjalanan bebas tanpa ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW akan lebih sulit menemukan permasalahan mereka dalam kitabullah. Sebagian orang tersesat sejauh-jauhnya karena mengikuti syaitan berhakim kepada thaghut, sedangkan mereka mengira bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman kepada apa-apa yang diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW dan yang diturunkan Allah sebelumnya.

Indikator ini lebih baik daripada indikator yang dibuat manusia. Kadang manusia mengukur ketaatan seseorang berdasarkan apa-apa yang dapat ditampilkan orang tersebut. Indikasi ini bersifat nisbi karena orang-orang munafiq dan khawarij mempunyai kemampuan lebih baik dalam menampilkan indikator demikian. Kemampuan menjadikan Alquran sebagai hakim dalam kehidupan menjadi indikator yang paling baik tentang ketaatan seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya.

Senin, 03 Januari 2022

Mengikuti Millah Ibrahim a.s dengan Al-Arham

 

Allah berkehendak untuk dikenal oleh makhluk, maka Dia menciptakan manusia dan seluruh makhluk. Di antara seluruh makhluk, Allah menciptakan dua insan mulia sebagai uswatun hasanah yang memandu seluruh alam semesta untuk mengenal Allah. Rasulullah SAW adalah makhluk yang diciptakan dengan kemampuan mengenal tajalliat Allah dalam derajat yang paling tinggi, lebih tinggi dari makhluk apapun. Nabi Ibrahim a.s bersama rasulullah SAW berada pada tempat-tempat yang tertinggi dengan kedudukan yang berbeda. Perbedaan secara khusus di antara kedua insan mulia tersebut adalah peran yang harus dijelaskan oleh masing-masing.

Nabi Ibrahim a.s berperan secara khusus dalam menjabarkan penjelasan tentang kaidah mewujudkan pengetahuan ilahiah hingga terlahir di alam mulkiyah. Beliau diberi gelar sebagai abu arham yang diartikan sebagai bapak bangsa-bangsa. Bangsa-bangsa itu adalah terwujudnya pengetahuan ilahiyah dalam wujud mulkiyah. Gelar itu disematkan kepada nabi Ibrahim a.s sebagai ganti nama kecil beliau sebagai Abram. Gelar Abu Arham menjelaskan tentang kedudukan beliau dalam kaidah mewujudkan pengetahuan ilahiah yang tinggi agar terlahir di alam mulkiyah. Kaidah tersebut berupa sifat-sifat dan millah yang menjadi pondasi untuk diteladani oleh setiap manusia. Millah yang paling utama dalam kehidupan nabi Ibrahim a.s adalah terbentuknya bayt untuk didzikirkan dan ditinggikan asma Allah di dalamnya. Banyak juga sifat baik beliau yang harus dijadikan tauladan oleh setiap orang yang ingin kembali kepada Allah.

Untuk membangun al-arham sebagaimana nabi Ibrahim a.s, hal dasar yang harus diketahui oleh manusia adalah asal mula penciptaan dirinya, yaitu nafs wahidah. Setiap manusia diciptakan dari suatu nafs wahidah tertentu sebagai cetak biru penciptaan dirinya. Tanpa berpegang dengan konsep demikian, seseorang tidak akan mengetahui jalan untuk mengenal apa yang dimaksud sebagai al-arham. Al-arham dapat dibangun bilamana seseorang mengetahui bahwa ada kehendak tertentu Allah atas penciptaan dirinya, dan hal itu terkait dengan nafs wahidah dirinya.

﴾۱﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari nafs wahidah, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (bertakwalah tentang) al-arhaam. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (QS An-Nisaa : 1)

Al-arham merupakan jalinan jalan rahmat Allah yang diturunkan hingga mencapai alam mulkiyah. Rasulullah SAW adalah puncak al-arham bersama dengan nabi Ibrahim a.s. Ada washilah di antara para mukminin yang menghubungkan mereka hingga tersambung kepada puncak jalinan rahmat itu, dan jalinan itu menjadikan mereka termasuk dalam jalur yang mengalirkan rahmat Allah ke alam mulkiyah mereka. Termasuk dalam jalinan rahmat itu adalah pernikahan antara seseorang dengan isterinya.

Pernikahan adalah bagian dari al-arham yang paling nyata menyentuh manusia. Dengan menjalani pernikahan, seorang laki-laki dan perempuan akan terlibat dalam jalinan rahmat Allah. Hal ini harus disikapi dengan tepat oleh setiap orang beriman. Sebagian kecil orang yang menikah kemudian mengetahui bentuk al-arham yang harus dibangun bersama pasangannya karena pernikahan mereka. Mereka itu adalah orang-orang yang berhasil dalam pernikahannya. Sebagian besar manusia memperoleh banyak rejeki melalui pernikahannya, akan tetapi tidak mengetahui bentuk al-arham bagi dirinya dan pasangannya. Sebagian merasa menanggung beban karena pernikahannya.

Laknat Allah Karena Rusaknya Al-Arham

Sebagian orang beriman memperoleh laknat Allah karena salah dalam mensikapi al-arham, dan pernikahan, yaitu orang-orang beriman yang memotong-motong al-arham mereka. Sikap demikian itu sama dengan melakukan kerusakan yang besar di muka bumi.

﴾۲۲﴿فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ
﴾۳۲﴿أولٰئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰ أَبْصَارَهُمْ
Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa (menjadi wali) kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memotong-motong al-arham kalian? () Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka. (QS Muhammad : 22-23)

Dalam hal pernikahan, barangkali tidak setiap kerusakan pernikahan mengakibatkan kerusakan al-arham. Ada orang-orang yang menikah karena mengharapkan harta pasangannya semata tanpa mengharapkan kebersamaan mereka dalam kehidupan. Pelaku prostitusi banyak yang mahir dalam bersikap memberikan perhatian, tetapi sebenarnya perhatian itu hanya untuk memperoleh harta. Boleh jadi ada cinta satu pihak karena perhatian palsu pihak lainnya, tetapi pernikahan demikian tidak akan mengantarkan seseorang pada al-arham. Walaupun demikian, pernikahan demikian tidak boleh dirusak kecuali diinginkan oleh pihak-pihak yang menikah, karena boleh jadi ada manfaat yang tidak diketahui dalam pernikahan semacam itu selama para pihak yang menikah tetap menginginkannya.

Sebagian pernikahan benar-benar akan mengantarkan seseorang atau suatu pasangan untuk mengerti al-arham bagi mereka. Bahkan suatu pernikahan boleh jadi dilakukan atas dasar suatu pengetahuan al-arham yang telah dimengerti oleh pasangan yang menikah. Pernikahan yang demikianlah yang terdapat al-arham di dalamnya. Pernikahan adalah jalan utama untuk mengenal al-arham yang disebut dalam Alquran. Perusakan atau penggagalan terhadap pernikahan yang demikian dikatakan sebagai memotong-motong al-arham. Orang yang membuat kerusakan atau kegagalan pernikahan tersebut adalah orang yang dilaknat Allah, baik dari pihak internal pasangan atau calon pasangan suami isteri, atau orang lain yang menggagalkan terjadinya pernikahan tersebut atau orang lain yang melakukan perusakan terhadap pernikahan demikian.

Mengenal al-arham mempunyai arti yang sangat besar bagi setiap manusia. Musyahadah terhadap Allah dan musyahadah terhadap risalah yang diemban oleh Rasulullah SAW bernilai benar karena al-arham yang dikenalnya. Hal itu menunjukkan benarnya jalan kehidupan yang ditempuh oleh seseorang dalam mengikuti sunnah Rasulullah SAW dan millah Ibrahim a.s. Akan tetapi jalan yang harus ditempuh untuk mengenal hal itu sangatlah tidak mudah.

Secara umum, permulaan pengenalan terhadap al-arham adalah petunjuk tentang jodoh. Sebagian orang menemukan jodoh yang tepat bagi dirinya. Bila terjadi pernikahan, hal itu akan menuntun pasangan tersebut untuk mengenal al-arham bagi mereka sedikit demi sedikit, hingga akhirnya akan terbuka baginya shirat al-mustaqim yang harus ditempuh. Akan tetapi tidak setiap orang yang memperoleh petunjuk kemudian membina al-arham. Sebagian pasangan memperoleh petunjuk tentang jodoh yang diciptakan bagi dirinya, tetapi tidak mau menjalani pernikahan karena tidak sesuai dengan selera hawa nafsunya. Sebagian menjalani pernikahan tetapi tidak bersyukur dengan pasangannya sehingga pernikahan mereka menjadi ajang pembersihan bagi hawa nafsu mereka. Hanya pasangan yang bersyukur dengan pernikahan mereka yang akan mengerti al-arham melalui pernikahan.

Sebagian pasangan yang memperoleh petunjuk tidak menjalani pernikahan. Banyak hal yang menjadi sebab bagi pasangan demikian. Seseorang bisa jadi hanya mengikuti hawa nafsu, atau mereka mempunyai persepsi yang keliru tentang pasangan dalam petunjuknya, atau terjadi kesalahan informasi dan komunikasi yang menyebabkan mereka terputus untuk melanjutkan menuju pernikahan, atau keadaan mereka sempit ketika menerima petunjuk tersebut, dan banyak kemungkinan lain yang menyebabkan tidak terjadinya pernikahan. Semua hal itu seharusnya tidak boleh menggagalkan pernikahan setelah mendapatkan petunjuk. Syaitan benar-benar sibuk di antara mereka atau bahkan di antara orang lain yang terkait untuk menggagalkan pernikahan. Petunjuk tentang pasangan merupakan petunjuk yang sangat besar artinya bagi perjalanan seseorang untuk membangun al-arham mengikuti millah nabi Ibrahim a.s dan sunnah Rasulullah SAW.

Bilamana hawa nafsu seseorang menolak petunjuk jodoh yang benar, bukan petunjuk itu yang salah, tetapi keadaan hawa nafsu orang yang menolak itu yang harus diperbaiki mengikuti petunjuk. Jodoh dalam petunjuk itulah yang akan membersihkan hawa nafsunya dan menunjukkan dirinya pada nafs wahidahnya. Bila seseorang lebih mengikuti rasa cinta hawa nafsu dalam pernikahannya, ia kehilangan cermin yang membantu menunjukkan nafs wahidah dirinya. Alih-alih mengenal diri, seseorang akan terjerumus untuk mengikuti hawa nafsu yang menuntun dirinya pada keinginan-keinginan bebas yang sangat banyak.

Rasa cinta dan tenteram mungkin akan melingkupi rumah tangga mereka, tetapi cinta dan tenteram itu tetap berada pada tingkatan hawa nafsu, tidak menyentuh ketenteraman pada nafs wahidah. Sakinah, mawaddah dan rahmah itu hanya akan terjadi pada tingkatan nafs wahidah, yang ditandai dengan pengenalan kedudukan dirinya dalam jamaah Rasulullah SAW. Pengenalan kedudukan diri itu adalah al-arham. Sakinah, mawaddah dan rahmah yang sebenarnya akan terjadi bilamana terbentuk keadaan yang sama di antara suami dan isteri dalam mengenal al-arham, hingga terbentuk bayt yang diijinkan Allah untuk didzikirkan asma Allah dan ditinggikan asma Allah dalam bayt tersebut.

Tidak sedikit pernikahan berdasarkan pengenalan al-arham mengalami kegagalan karena kesalahan informasi dan komunikasi. Syaitan benar-benar berusaha menggagalkan pernikahan demikian, bahkan berusaha membalik keadaan menjadi permusuhan atau perang. Setiap pihak harus bertakwa dalam hal demikian, karena syaitan akan selalu berusaha melalui setiap pintu yang diperolehnya. Harus ditumbuhkan pada pihak yang berpasangan iktikad yang kuat untuk menempuh jalan mengikuti millah dan sunnah kedua uswatun hasanah, didukung pengetahuan di setiap tingkatan baik jasmaniah, hawa nafsu maupun qalb. Orang yang memperoleh petunjuk harus berusaha benar-benar untuk memilih informasi yang benar, tidak mengikuti sembarang perkataan yang mengakibatkan permusuhan. Seringkali dituntut sikap memaafkan dari kedua pihak untuk suatu kesalahan yang terjadi di antara mereka.

Tidak jarang timbul perselisihan atau perasaan tidak suka pada calon pasangan karena informasi yang salah ataupun karena kesalahan yang dilakukan salah satu pihak pada pihak lain. Perasaan tersebut tidak boleh ditindaklanjuti dengan tindakan untuk melampiaskan hawa nafsu. Hal ini tidak berarti membatasi seseorang untuk melakukan tindakan perbaikan. Bilamana dibutuhkan informasi atau komunikasi untuk memperbaiki keadaan, maka kedua pihak harus menyampaikan dengan cara yang baik, tidak dengan niat untuk melampiaskan hawa nafsu. Demikian pula pihak pasangan harus memberikan informasi dengan cara yang baik, sehingga kedua pihak merasa siap untuk menempuh kehidupan bersama untuk mengikuti sunnah rasulullah SAW dan millah Ibrahim a.s.

Dalam komunikasi semacam ini, setiap pihak harus benar-benar mengetahui batasan apa yang memang benar-benar perlu disampaikan kepada pihak lain. Tidak setiap rasa tidak suka perlu atau boleh disampaikan kepada pihak lainnya karena akan merusak hubungan. Hanya hal tidak baik yang sekiranya akan mempengaruhi agama dan arah perjalanan kehidupan dan pernikahan mereka saja yang dapat disampaikan kepada pihak lainnya, sedangkan rasa tidak suka terkait hawa nafsu seharusnya menjadi beban yang ditanggung pihak sendiri.

Kadangkala kegagalan pernikahan terjadi karena sempitnya keadaan seseorang. Hal ini seharusnya tidak menghalangi terjadinya pernikahan selama ada kejelasan tentang tujuan menuju al-arham yang akan dibangun bersama. Salah satu jalan rejeki yang paling utama akan terbuka melalui pernikahan, yaitu melalui at-thayyibat yang terbangun di antara mereka. At-thayyibat merupakan pengenalan seseorang terhadap kehendak Allah yang diturunkan melalui pernikahan, sebagaimana seseorang merasakan wewangian tanpa mengetahui bentuk bunganya. Bila seseorang merasakan at-thayyibat di antara pernikahan mereka, maka akan terbuka jalan rejeki bagi mereka, selama pernikahan itu tidak rusak. Kadangkala suatu pernikahan mengalami kerusakan yang menyebabkan at-thayyibat itu tidak mendatangkan rejeki secara dzahir.

Orang-orang beriman hendaknya mewujudkan keadaan yang mendukung terbentuknya al-arham di antara mereka. Ini menjadi jalan yang akan menumbuhkan kebaikan dan perbaikan di muka bumi. Sebaliknya, bila orang-orang beriman merusak al-arham yang ada di antara mereka, maka Allah akan menimpakan laknatnya kepada mereka walaupun mereka orang-orang yang beriman.

Sebenarnya hal demikian merupakan perbuatan merusak di muka bumi dengan kerusakan yang besar. Kadangkala seseorang merasa melakukan perbaikan, sedangkan ia melakukan kerusakan yang besar. Mengerahkan upaya untuk membangun pada masa peperangan misalnya, hal itu seringkali hanya menimbulkan kerusakan yang besar daripada membuat perbaikan. Manakala hal itu dilakukan tanpa memperhatikan pemimpin mereka, itu adalah kerusakan yang besar. Tanpa mengetahui al-arham, seringkali seseorang hanya terkungkung dalam pengetahuan yang salah, dan ia merasa melakukan perbaikan sedangkan sebenarnya ia melakukan kerusakan yang besar.