Pencarian

Kamis, 29 April 2021

Meniti Tali Allah

Alquran adalah firman Allah yang diturunkan kepada rasulullah SAW sebagai penjelasan segala sesuatu. Orang-orang beriman akan mendapatkan pengetahuan yang terbaik bilamana ada orang yang membacakan Alquran kepada mereka dengan benar. Sebaliknya orang-orang kafir tidak akan menganggap pembacaan Alquran sebagai sesuatu yang berharga. Mereka menganggap keajaiban-keajaiban sebagai syarat kebenaran yang harus ditunjukkan bagi mereka, sedangkan pembacaan ayat-ayat Alquran tidak mempunyai makna kebenaran yang memadai bila tidak disertai kemampuan menunjukkan keajaiban versi mereka.

Seseorang yang mengerti ayat Alquran akan dapat membacakan keadaan suatu kaum berdasarkan Alquran, sebagaimana Rasulullah SAW membacakannya atas kaum beriman. Hal itu seharusnya diperhatikan orang beriman, dan hal itu mencukupi bagi mereka. Dengan bacaan itu orang beriman mengetahui keadaan diri mereka dan dapat menempuh perjalanan menuju keadaan yang lebih baik.



﴾۱۵﴿أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ إِنَّ فِي ذٰلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَىٰ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) sedang dia dibacakan atas mereka? Sesungguhnya dalam hal demikian itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. (QS Al-Ankabut : 51)

Dalam pembacaan Alquran yang benar terdapat rahmat Allah dan pelajaran bagi orang-orang beriman. Mengikuti pembacaan Alquran yang benar akan dapat mengantarkan seseorang menuju rahmat Allah, serta menjadikan orang-orang yang beriman mengerti akan peringatan-peringatan Allah yang akan menimpa mereka baik dalam kehidupan dunia maupun kehidupan di alam berikutnya. Di dalam Alquran terdapat seluruh pelajaran untuk hal itu.

Rahmat Allah akan dapat diperoleh oleh orang-orang beriman yang mengubah akhlak mereka dengan ayat-ayat Alquran hingga mencapai akhlak yang mulia. Tanpa mengubah akhlak, sulit bagi seseorang untuk menggapai rahmat Allah. Rahmat Allah diperuntukkan bagi orang-orang yang mempunyai akhlak mulia di mata Allah. Semua hal yang dibutuhkan seseorang untuk mengubah akhlaknya menuju akhlak mulia ada dalam Alquran.

Kehidupan di dunia merupakan kehidupan yang sulit, karena manusia hidup jauh dari sumber cahaya kebenaran. Manusia harus kembali kepada Allah sebagai sumber cahaya kebenaran agar mengerti tentang kebenaran. Kehidupan yang gelap itu membahayakan bagi manusia, karena dapat mengantarkan seseorang menuju kesesatan, dan bahkan dalam kehidupan dunia ini pun syaitan selalu mengintai untuk mencelakakan manusia baik kecelakaan dalam kehidupan dunia maupun kecelakaan dalam kehidupan berikutnya. Alquran menguraikan dengan terinci segala peringatan yang dapat menyelamatkan manusia, agar manusia tidak tersesat dalam kehidupan, tidak mengalami celaka dalam kehidupan dunia maupun kehidupan alam-alam selanjutnya.

 

Alquran Sebagai Petunjuk Keselamatan

Untuk memperoleh jalan kehidupan yang selamat, setiap orang hendaknya berusaha benar-benar mengikuti apa-apa yang diturunkan kepada mereka berupa kitabullah dan tidak mengikuti apa-apa yang selain itu dengan menjadikannya sebagai wali. Hal ini seringkali tidak mudah dilakukan karena kehidupan di bumi. Manusia seringkali lebih mempercayai apa yang ada ditangannya daripada ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam kitabullah. Misalnya perhitungan bisnis acapkali lebih dipercaya menyelamatkan kehidupan hari berikutnya daripada menghitung infaq yang harus ditunaikan. Ini adalah contoh sulitnya mengikuti apa-apa yang diturunkan Allah kepada manusia.



﴾۳﴿اتَّبِعُوا مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti selain-Nya sebagai pemimpin. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). (QS Al-A’raaf : 3)

Setiap sendi kehidupan manusia sebenarnya berjalan untuk suatu tujuan yang dikehendaki Allah. Misalnya Allah menurunkan rezeki kepada seseorang mukmin sesuai dengan tanggungan nafkah yang harus ditunaikan. Seseorang mukmin yang mempunyai tanggungan hanya keluarga kecilnya maka rezeki yang diberikan akan sesuai dengan hal itu, sedangkan seorang pengusaha mukmin akan memperoleh juga sesuai dengan tanggungan nafkahnya. Seorang pengusaha mukmin tidak boleh melakukan maksimalisasi pendapatan dengan menekan nafkah para pegawainya, atau tidak memberikan gaji yang sesuai untuk sumbangsih yang diberikan pegawainya. Seluruhnya harus diberikan dengan kadar yang baik sesuai dengan perhitungan keuangan perusahaan, berdasarkan tujuan yang ada dalam kitabullah.

Bila seorang pengusaha mukmin berusaha hanya semata-mata berpegang pada perhitungan keuntungan bisnis tanpa sebuah tujuan berdasarkan tuntunan kitabullah, maka ia telah mengikuti wali selain Allah. Hal itu dapat mendatangkan kecelakaan pada dirinya. Bagi seorang mukmin, segala prospek bisnis yang datang harus dibaca sebagai potensi infaq dan nafkah yang harus ditunaikan, tidak dipandang sebagai tumpukan harta bagi dirinya. Berikutnya, dirinya harus berusaha menjalankan usahanya dengan penuh amanah dengan perhitungan yang baik. Dengan demikian, maka ia telah berusaha untuk mengikuti apa-apa yang diturunkan Allah, dan dengan hal itu ia akan membuka jalan keselamatan baginya. Amat sedikit orang-orang yang mengikuti peringatan demikian.

 

Mengikuti Rasulullah SAW

Dalam kehidupan seorang mukmin, tuntutan untuk berpegang pada kitabullah tidak bersifat statis. Setiap mukmin dituntut untuk mengikuti kebenaran yang semakin tinggi dan halus tidak berdiam pada satu kebenaran saja. Rasulullah SAW memerintahkan umat islam untuk mengikuti beliau SAW, dan melarang umat islam untuk mengikuti Musa a.s bilamana harus meninggalkan beliau SAW.

Apa yang dibawa Musa a.s adalah kebenaran, dan apa yang diseru oleh Rasulullah SAW adalah kebenaran, akan tetapi ada perbedaan tingkatan dalam hal apa-apa yang diseru para rasul. Seorang penyeru kebenaran harus mengikuti penyeru kebenaran yang lebih tinggi tingkatannya tanpa meninggalkan tugas menyeru yang harus dilakukan dirinya, sebagaimana Musa a.s akan mengikuti Rasulullah SAW bilamana beliau mendapati kenabian yang telah sempurna. Seorang penyeru kebenaran pastilah mengenali kebenaran yang lebih tinggi, kecuali ia sebenarnya tidak mengenali kebenaran yang diserukannya.



وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ بَدَا لَكُمْ مُوسَى فَاتَّبَعْتُمُوهُ وَتَرَكْتُمُوْنِيْ لَضَلَلْتُمْ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ وَلَوْ كَانَ حَيًّا وَأَدْرَكَ نُبُوَّتِي لاَ تَّبَعَنِيْ
Demi (Allah) yang jiwa Muhammad di tangan-Nya. Seandainya Musa muncul kepada kamu, lalu kalian mengikutinya, dan kalian meninggalkan aku, sungguh kamu tersesat dari jalan yang lurus. Seandainya Musa hidup dan mendapati kenabianku, dia pasti mengikuti aku.[HR. Ad-Dârimi, no. 435]

Mengikuti kebenaran secara kaku dapat menyebabkan seseorang tersesat. Ketika sebuah kebenaran yang lebih tinggi telah sampai, atau seseorang telah sampai pada tingkatan yang lebih tinggi, maka seseorang harus berusaha mengikuti kebenaran yang lebih tinggi, tidak berhenti pada kebenaran di tingkatan bawahnya. Bila seseorang mengikuti Musa a.s dan meninggalkan Rasulullah SAW, sungguh orang tersebut akan tersesat dari jalan yang lurus.

Rasulullah SAW adalah penyeru pada kebenaran yang tertinggi. Beliau SAW bersama orang-orang yang mengikuti menyeru manusia kepada Allah. Hal ini tidak dapat dipersamakan dengan seruan kebenaran yang lain. Untuk kembali kepada Allah, Rasulullah SAW mencontohkan suatu bentuk isra’ dan mi’raj yang dimulai dari masjidil haram. Hal itu hanya dapat terjadi atas kehendak Allah. Akan tetapi ada syarat-syarat yang harus diusahakan manusia agar Allah menghadiahkan isra’ dan mi’raj kepada dirinya.

Apa yang dapat diusahakan manusia adalah mengubah akhlak dirinya hingga layak menjadi hamba di baitullah. Dengan menjadi hamba Allah yang melayani orang-orang yang thawaf, rukuk, dan sujud ke baitullah itulah seseorang dapat berharap Allah melimpahkan isra’ dan mi’raj. Untuk hal itu, baitullah harus terlebih dahulu terbentuk dalam hati seseorang, dan harus terbentuk bait dalam wujud sosial berupa rumah tangga yang baik. Tanpa rumah tangga yang baik, fungsi sosial dirinya tidak akan dapat ditunaikan sehingga tidak akan layak menjadi hamba yang melayani pencarian manusia yang thawaf, rukuk dan sujud ke baitullah.

Hal itu merupakan uswatun hasanah yang menjadi tauladan Ibrahim a.s dan orang yang mengikutinya, yaitu Ismail a.s dan Siti Hajar r.a. Terwujudnya bangunan baitullah di negeri makkah itu merupakan peran keluarga Ibrahim a.s, bukan hanya peran Ibrahim a.s sebagai manusia tunggal. Hal itu merupakan penanda bahwa baitullah itu bukan hanya manifestasi jasadiah baitullah yang ada dalam hati Ibrahim, tetapi juga sebagai manifestasi bait dalam wujud keluarga Ibrahim a.s. Umat manusia yang mengikuti Ibrahim a.s harus mewujudkan baitullah bagi dirinya dalam bentuk keluarga.

Untuk membangun baitullah, seseorang perlu berhijrah menuju tanah yang dijanjikan. Bayi Isma’il dan Hajar r.a harus berhijrah dari bumi Syam menuju tanah yang ditentukan yaitu lembah bakkah di semenanjung Arabia. Berhijrah menuju tanah yang dijanjikan adalah seruan nabi Musa a.s kepada umat manusia. Beliau menuntun bani Israel berhijrah dari negeri Mesir ke negeri Kanaan sebagai tanah yang dijanjikan. Apa yang diserukan Musa a.s tidaklah semata-mata untuk seruan itu sendiri, tetapi menjadi bagian dari seruan Rasulullah SAW untuk kembali kepada Allah. Masih ada beberapa tingkatan yang harus ditempuh manusia setelah mengikuti seruan Musa ke tanah yang dijanjikan, agar dapat mengikuti seruan Rasulullah SAW.

Di jaman sekarang, mengikuti Musa a.s berhijrah ke tanah yang dijanjikan dengan meninggalkan seruan Rasulullah SAW untuk kembali kepada Allah akan menyebabkan seseorang atau suatu kaum tersesat dari jalan yang lurus. Kesesatan demikian bersifat sama pada tingkatan-tingkatan seruan di bawahnya. Mengikuti langkah Musa a.s berhijrah menuju tanah yang dijanjikan dengan meninggalkan uswatun hasanah Ibrahim a.s dan keluarganya untuk mewujudkan bait akan menyebabkan manusia tersesat dari jalan yang lurus, karena uswatun hasanah Ibrahim a.s merupakan kunci yang lebih dekat untuk mengikuti seruan Rasulullah SAW.

Dalam kehidupan sehari-hari, mewujudkan kesejahteraan di muka bumi dengan meninggalkan seruan para uswatun hasanah hanyalah sebuah ilusi yang tidak akan tercapai. Seluruh upaya manusia untuk mewujudkan kemakmuran hanyalah sebuah fatamorgana bilamana meninggalkan apa-apa yang diturunkan Allah kepada para Uswatun Hasanah. Tanpa membentuk bait sebagaimana Ibrahim a.s membentuk keluarganya, Iblis dapat menggunting putus seluruh upaya manusia untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi bilamana syaitan itu menginginkan.

Tidak akan berguna upaya keras suatu kaum membangun kesejahteraan bilamana kaum perempuan dibiarkan untuk berkhianat kepada suaminya, para gadis dilepaskan untuk meninggalkan petunjuk, untuk mengejar laki-laki yang diinginkan hawa nafsu mereka, dan para laki-laki tidak diajarkan untuk menempuh perjalanan menuju Allah dengan langkah tegak. Bahkan bilamana suatu kaum telah dibina, semua laki-laki siap untuk berperang menghadapi musuh raksasa dengan jiwa raganya, satu pengkhianatan seorang istri dapat memusnahkan seluruh kaum itu hingga tidak bersisa.

Rabu, 28 April 2021

Menemukan Amanah Melalui Perjodohan

Setiap manusia diciptakan berpasang-pasangan. Seorang perempuan diciptakan dari seorang laki-laki tertentu sebagai bagian laki-laki itu agar laki-laki itu mengenal asma Allah dengan lebih baik. Dahulu, Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam di surga setelah Adam diperkenalkan Allah kepada semua asma-asma. Hawa merupakan bagian dari diri adam yang membawa khazanah Allah bagi Adam sehingga Adam dapat melihat uraian asma-asma pada diri Hawa. Hawa dapat secara aktif menghadirkan asma-asma bagi Adam, sehingga Adam tidak harus sibuk mencari khazanah itu dari diri sendiri saja. Selain itu, Hawa merupakan ibu bagi segala khazanah Allah yang harus didzahirkan oleh Adam.

Sebagaimana penciptaan Hawa, di tingkatan jiwa setiap perempuan diciptakan dari jiwa laki-laki tertentu. Hal ini sedikit berbeda dengan penciptaan raga yang terjadi menurut nafs mereka masing-masing. Setiap laki-laki tercipta dari nafs wahidah yang mengenal asma-asma rabb-nya, dan nafs setiap perempuan diciptakan dari nafs wahidah laki-laki tertentu sebagai pembawa uraian asma-asma rabb-nya. Nafs seorang perempuan merupakan ibu bagi kelahiran segala khazanah Allah yang harus dilahirkan suaminya. Nafs setiap perempuan harus menjadi media yang subur bagi nafs suaminya agar khazanah Allah dapat terdzahirkan oleh suaminya ke alam dunia.

﴾۱۲﴿وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jiwamu sendiri, supaya kamu berdiam kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS Ar-Ruum : 21)

Sebagian manusia beruntung karena Allah mempertemukan jodoh yang diciptakan dari jiwa mereka, dan kemudian mereka dapat menikah untuk hidup bersama-sama. Sebenarnya Allah selalu mengarahkan setiap manusia untuk menemukan jodoh semacam itu, akan tetapi manusia seringkali lebih memperturutkan keinginan hawa nafsu mereka sehingga mereka tidak menemukan jodoh yang diciptakan dari jiwa mereka. Kadangkala mereka bertemu jodoh, tetapi hawa nafsu mereka mendorong untuk tidak menerima jodohnya. Hanya dengan jiwa yang bersih seseorang dapat menemukan jodoh yang diciptakan dari jiwa yang sama, baik menyadari atau tidak menyadarinya.

Keberpasangan Pada Jiwa

Ketika belum menikah, seseorang ibarat berada di sebuah ruang kaca tembus pandang yang bergerak terhadap lingkungannya. Kaca tersebut sebenarnya merupakan media gambar hidup yang dapat menyala, akan tetapi kebanyakan orang tidak menyadari keberadaan gambar tersebut. Gambar tersebut pada awalnya hanya berupa silhouette yang sangat tipis. Kaca itu adalah jiwa manusia.

Ruang kaca itu harus menemukan bingkai berkaca yang tepat, dimana kaca pada bingkai itu juga merupakan media gambar hidup. Bingkai berkaca itu adalah jiwa perempuan. Ketika seseorang menemukan jodohnya, ruang kaca itu akan berhenti sejenak, kadang disertai sebuah isyarat. Bila tidak memperturutkan hawa nafsu, seseorang akan menyadari bahwa itu adalah pasangan yang paling tepat bagi dirinya untuk memulai menempuh kehidupan, dimana silhouette gambar pada kacanya beririsan persis dengan silhouette gambar pada kaca jodohnya, membentuk gambar yang lebih sempurna, memberikan informasi yang lebih lengkap. Bila memperturutkan hawa nafsu, dirinya akan cenderung terus menggerakkan ruang kaca mencari bingkai berkaca yang disukai hawa nafsunya.

Dengan menikahi jodoh yang tepat, terbentuk kendaraan yang tepat untuk mengarungi kehidupan dengan arah kehidupan yang benar. Gambar pada media itu akan terlihat sedikit lebih tajam dan kadang-kadang menyala memberikan informasi. Keluarga itu akan mendapatkan arahan dan pelajaran-pelajaran yang terbaik dalam kehidupan mereka menuju Allah, dan itu akan mempermudah seseorang untuk mengenal untuk apa dirinya diciptakan. Hal ini terjadi bilamana kedua pihak berserah diri kepada Allah dengan sebaik-baiknya. Bilamana terjadi perbedaan orientasi kehidupan, arah kehidupan dunia akan cenderung mengarah pada keinginan pihak perempuan, sedangkan arah pengetahuan ilahiah mengikuti akal pihak laki-laki. Bilamana hal ini terjadi, hanya sebagian saja rezeki pengetahuan yang akan diperoleh oleh laki-laki, dan sebagian saja rezeki duniawi yang diperoleh.

Media kaca itu akan menyala memberikan informasi bilamana seseorang mengenal nafs wahidahnya. Objek luar yang terlihat dari ruangnya akan mendapat penjelasan melalui gambar pada kacanya yang menyala, dan gambar itu akan memberikan arahan kepadanya dalam menempuh kehidupan. Ada syarat lain agar kaca itu menyala, yaitu bila hubungan antara dirinya dengan istrinya baik, terbentuk bait yang diijinkan untuk ditinggikan dan disebut asma Allah di dalamnya. Dengan bait yang demikian, maka nafs wahidah itu akan tinggal berdiam dalam diri seseorang. Semakin tepat perjodohan yang terbentuk, semakin jelas, lengkap dan akurat penjelasan berupa gambar yang dapat muncul pada kaca itu.

Bila tidak terbentuk bait demikian, media gambar itu akan menyala sementara dan kemudian padam kembali. Tanpa khadijah r.a, nabi Muhammad SAW tidak akan menjadi rasulullah. Itu adalah ungkapan pengandaian beliau SAW. Pengandaian itu menjadi penjelasan bagi umatnya untuk membangun keluarga yang baik untuk mengikuti langkah beliau SAW. Tanpa istri yang tepat, media gambar itu tidak akan menyala dengan baik atau malah kemudian padam kembali. Seseorang tidak akan dapat mendzahirkan kehendak dan khazanah Allah tanpa isteri yang baik.

Demikian pula mawaddah dan rahmah akan terbentuk pada keluarga yang berhasil membangun bait yang demikian. Mawaddah dan rahmah tersebut sebagian besarnya merupakan sifat milik nafs wahidah yang akan berdiam bila terbentuk bait, dan tidak berdiam bilamana tidak terbentuk bait. Hawa nafsu manusia secara umum hanya mengenal sedikit dari rasa kasih sayang, bahkan kebanyakan manusia akan bersifat buas bilamana hanya mengikuti hawa nafsu. Ketika nafs wahidah pergi lagi tidak berdiam, seseorang akan merasakan kehilangan rasa kasih sayang yang sangat besar kepada orang lain, dan hawa nafsu dirinya yang baik akan menginginkan rasa kasih sayang itu kembali kepadanya.

Amanah Diturunkan Ke Dalam Hati

Gambar yang menyala pada media kaca itu adalah amanah yang terbit dalam hati seseorang. Hal itu mungkin bernilai benar bilamana ada keinginan/kehendak dalam hatinya untuk kembali kepada Allah dengan mengikuti Alquran dan Sunnah rasulullah SAW. Tanpa ada keinginan itu, sangat besar kemungkinan syaitan menggelincirkan dirinya menuju neraka dengan petunjuk-petunjuk yang salah. Amanah itu hanya bernilai benar bila seseorang kemudian mencari dan memeriksa kebenaran pengetahuan yang terbuka kepadanya dengan Alquran dan Sunnah rasulullah SAW. Tanpa timbulnya keinginan untuk memeriksa pengetahuannya dengan Alquran dan Sunnah rasulullah SAW, hawa nafsu sebenarnya masih kuat mempengaruhi dirinya.

Hudzaifah Radhiyallahu anhu berkata:

حَدَّثَنَا رَسُـولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثَيْنِ، رَأَيْتُ أَحَدَهُمَا وَأَنَا أَنْتَظِرُ اْلآخَرَ، حَدَّثَنَا أَنَّ الأَمَانَةَ نَزَلَتْ فِي جَذْرِ قُلُوبِ الرِّجَالِ، ثُمَّ عَلِمُوا مِنَ الْقُرْآنِ، ثُمَّ عَلِمُوا مِنَ السُّنَّةِ، وَحَدَّثَنَا عَنْ رَفْعِهَا قَالَ: يَنَامُ الرَّجُلُ النَّوْمَةَ فَتُقْبَضُ اْلأَمَانَةُ مِنْ قَلْبِهِ فَيَظَلُّ أَثَرُهَا مِثْلَ أَثَرِ الْوَكْتِ، ثُمَّ يَنَامُ النَّوْمَةَ فَتُقْبَضُ، فَيَبْقَى أَثَرُهَا مِثْلَ الْمَجْلِ، كَجَمْرٍ دَحْرَجْتَهُ عَلَى رِجْلِكَ، فَنَفِطَ فَتَرَاهُ مُنْتَبِرًا، وَلَيْسَ فِيهِ شَيْءٌ، فَيُصْبِحُ النَّاسُ يَتَبَايَعُونَ، فَلاَ يَكَادُ أَحَدٌ يُؤَدِّي اْلأَمَانَةَ، فَيُقَالُ: إِنَّ فِي بَنِي فُلاَنٍ رَجُلاً أَمِينًا وَيُقَالُ لِلرَّجُلِ، مَا أَعْقَلَهُ! وَمَا أَظْرَفَهُ! وَمَا أَجْلَدَهُ! وَمَا فِـي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنْ إِيْمَانٍ،
Rasulullah SAW bercerita kepada kami dua hadits, salah satu dari keduanya telah aku lihat, dan saat ini aku sedang menunggu yang lainnya.
Beliau SAW bercerita kepadaku bahwasanya amanah singgah pada pangkal hati manusia, kemudian mereka mengetahuinya dari al-Qur-an, kemudian mengetahuinya dari as-Sunnah.
dan beliau SAW bercerita kepada kami bagaimana diangkatnya amanah itu, beliau SAW bersabda, “Seseorang tidur, lalu amanah di dalam hatinya dicabut, maka bekasnya masih tetap ada bagaikan titik-titik, lalu dia tidur kemudian dicabut, maka bekasnya bagaikan lepuh, seperti sebongkah bara api yang digelindingkan ke kakimu, lalu ia melukainya sehingga engkau melihatnya melepuh, tidak ada apa-apa di dalamnya. Lalu pagi harinya manusia melakukan jual beli, maka hampir saja seseorang tidak bisa melaksanakan amanah, dikatakan, ‘Sesungguhnya di bani Fulan ada seorang laki-laki yang terpercaya,’ dan dikatakan kepada seseorang, ‘Sungguh cerdas! Sungguh cerdik! dan sungguh kuat! Sementara di dalam hatinya tidak ada keimanan seberat biji sawi pun. (HR Bukhari)

Hal penting yang perlu diperhatikan setiap orang ketika media gambar tersebut mulai menyala adalah bahwa tidak semua petunjuk yang ditampilkan adalah petunjuk yang benar. Tanduk syaitan akan terbit bersamaan dengan terbitnya matahari. Sebagian dari petunjuk yang ditunjukkan merupakan petunjuk yang muncul dari tanduk syaitan. Setiap orang harus benar-benar bertakwa, memeriksa semua petunjuk itu dengan Alquran dan hadits nabi SAW, memisahkan antara petunjuk yang bersesuaian dengan Alquran dan hadits nabi SAW dengan petunjuk yang tidak jelas asal-usulnya. Dengan cara demikian maka jiwanya akan menjadi kuat dalam mencari petunjuk Allah. Cara demikian harus selalu dilakukan sebagai bentuk ketakwaan kepada Allah, menjadikan Alquran sebagai tuntunan yang benar. Pada dasarnya, petunjuk yang menyala itu sebenarnya merupakan pembacaan jiwanya terhadap ayat-ayat Allah, dan itu harus bersesuaian dengan Alquran.

Salah satu tanda benarnya perjalanan seseorang adalah musyahadah terhadap risalah nabi Muhammad SAW. Upaya mengenal kedudukan rasulullah SAW akan sangat dimudahkan ketika media itu menyala. Mengenal kedudukan diri dalam perjuangan rasulullah SAW dapat menjadi penolong yang baik pada masa padamnya media itu. Dengan mengenal peran diri dalam perjuangan rasulullah SAW, Sunnah beliau SAW akan lebih mudah dipahami, dan kitabullah dapat dibaca dengan arah yang benar walaupun tanpa media yang menyala, karena Sunnah Rasulullah SAW menjadi pedoman arahnya. Karena manfaat ini, setiap orang hendaknya berusaha dengan sungguh-sungguh mengenali perjuangan rasulullah SAW, terutama untuk ruang dan waktu kehidupan dirinya. Dengan berpegang pada Alquran dan sunnah rasulullah SAW seseorang dapat menempuh kehidupan dengan selamat.

Alquran dan sunnah rasulullah SAW merupakan pangkal pertumbuhan jiwa manusia. Tanpa bersandar pada Alquran dan sunnah, pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh tidak ada jaminan kebenarannya. Peristiwa pengenalan diri ini akan melontarkan seseorang pada pengetahuan yang sangat luas. Hal ini sangat menguntungkan bila pengetahuan itu benar, dan sangat merugikan bilamana syaitan menggelincirkannya pada jalan yang salah. Parameter benarnya pengetahuan ini adalah Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW.

Berikutnya, harus diusahakan agar gambar pada kaca itu tetap menyala. Ini akan terjadi bilamana terbentuk bait yang baik di keluarganya. Bila tidak terbentuk bait yang baik, maka gambar itu akan kembali padam. Seseorang mungkin dapat merekam dengan cepat pengetahuan-pengetahuan yang sampai kepadanya pada saat media itu menyala, akan tetapi sifat-sifat baik dan kemampuan indera-indera jiwa dalam mencari petunjuk akan kembali meredup. Kebaikan itu terletak pada sifat-sifat baik yang tumbuh dalam jiwanya. Pengetahuan yang terekam itu dapat memberikan kebaikan pada dirinya, akan tetapi tidak sepenuhnya bisa mendatangkan kebaikan tanpa kombinasi dengan sifat-sifat baik dari jiwanya.

Padamnya gambar pada kaca seseorang belum tentu menunjukkan dicabutnya amanah, walaupun sudah jelas hal itu akan menghalangi seseorang untuk memenuhi kodrat dirinya, sebagaimana tanpa Khadijah r.a nabi Muhammad SAW tidak akan menjadi rasulullah. Silhouette tipis gambar masih terbentuk pada kaca itu yang dapat dibaca dengan upaya yang lebih keras. Yang jauh lebih penting diperhatikan daripada menyala atau tidaknya media adalah bahwa gambar yang terbentuk harus menjadi media untuk memahami dan menyatukan langkahnya kepada Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW, tidak menuntunnya menuju arah yang tidak jelas atau malah menuju kesesatan. Menyala atau tidak menyala kaca itu, gambar yang terbentuk tidak boleh memisahkan dirinya dari tujuan menyatukan langkah dengan Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW. Bila gambar itu menuntun pada kesesatan, maka gambar itu datangnya dari syaitan.

Minggu, 18 April 2021

Uswatun Hasanah dan Perempuan Yang Diuji

 

Rasulullah SAW dan orang-orang yang bersama beliau senantiasa menyeru manusia untuk kembali kepada Allah. Kehidupan dunia adalah kehidupan yang diciptakan Allah untuk memperkenalkan hakikat-hakikat kepada manusia, akan tetapi diwarnai dengan sekian banyak kebathilan. Setiap manusia harus kembali kepada Allah untuk memahami kebenaran yang hendak Dia perkenalkan kepada makhluk-Nya.

Allah telah menurunkan suatu tauladan yang baik dalam diri Ibrahim a.s. Beliau menjadi panutan bagi manusia untuk menempuh perjalanan kembali kepada Allah. Ibrahim a.s telah melakukan perjalanan kembali kepada Allah hingga Allah berkenan memperkenalkan suatu tajalli diri-Nya kepada beliau a.s. Perjalanan beliau untuk bertemu dan mengenal tajalli Allah dijadikan sebagai tauladan bagi umat manusia yang berharap untuk mengenal Allah dan berharap kehidupan akhirat.

Manusia hanya dapat mengenal kebenaran bila melalui jalan yang disediakan Allah dengan sikap hanif. Makhluk bumi yang hina tidak akan dapat mengenal kebenaran bilamana Allah tidak memberikan jalan kepada manusia. Uswatun hasanah Ibrahim a.s merupakan jalan yang disediakan Allah sebagai wasilah bagi manusia. Salah satu uswatun hasanah itu adalah sikap hanif. Sikap hanif dapat mengantar seseorang mengenal kebenaran hingga tingkat tertingginya dengan menempuh wasilah yang benar. Segel benarnya wasilah itu akan diketahui bilamana seseorang mengenal kebenaran yang tertinggi, yaitu mengenal Muhammad SAW sebagai rasulullah. Perjalanan untuk menuju kedudukan mulia merupakan perjalanan yang harus ditempuh melalui wasilah.

﴾۶﴿لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيهِمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَمَن يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim a.s) ada teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap Allah dan hari akhir. Dan barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah Dialah yang Maha kaya lagi Maha Terpuji. (QS Al-Mumtahanah : 6)

Orang yang kembali kepada Allah adalah orang-orang yang berharap untuk mengenal Allah. Mereka mengharapkan Allah, bukan mengharap pahala-pahala dari sisi Allah kecuali pahala itu hanya sebagai pengingat kepada Allah. Harapan mereka adalah kemuliaan dalam makna yang sebenarnya, yaitu kemuliaan sebagaimana kehendak Allah dalam wujud akhlak al-karimah, dan hal itu hanya akan diperoleh secara sempurna bilamana Allah memperkenalkan diri-Nya kepadanya sebagaimana Allah memperkenalkan diri-Nya kepada Ibrahim a.s. Ibrahim a.s adalah suri tauladan bagi umat manusia.

Sama dengan manusia yang lain, Ibrahim a.s terlahir di bumi yang gelap. Segala sesuatu terlihat samar kebenarannya. Dari kehidupan demikian, Ibrahim a.s berjalan untuk berusaha mengenal Allah dengan sikap hanif, yaitu sikap untuk selalu mengikuti kebenaran, tidak berhenti pada satu waham kebenaran, hingga Allah memperkenalkan diri-Nya kepada beliau a.s. Sikap hanif ini dimulai dengan melepaskan segala kebathilan yang ada di sekitarnya. Beliau tidak mempercayai tuhan-tuhan yang dibuat oleh tangan ayahnya dan berusaha mencari tuhan yang lebih layak baginya, berupa bintang-bintang, kemudian bulan dan kemudian matahari. Segala sesuatu dipikirkan dalam landasan sikap hanif. Hal itu kemudian mengantarkan beliau untuk mengambil kesimpulan bahwa dirinya hanya layak untuk bersembah kepada Sang Pencipta segala sesuatu yang di langit dan bumi. Dengan harapan memperoleh petunjuk dari Sang Maha Pencipta dalam upayanya menemukan jalan ubudiyah, Allah kemudian berkenan untuk memperkenalkan diri-Nya kepada Ibrahim a.s.

Perempuan Yang Diuji

Kehidupan di bumi membuat seseorang harus bergaul dengan kebathilan-kebathilan. Seiring dengan perjalanan hijrah menuju Allah, seseorang dituntut untuk meninggalkan kebathilan-kebathilan untuk berpegang pada kebenaran. Seringkali hanya dengan melepaskan diri dari kebathilan-kebathilan maka seseorang dapat mengikuti kebenaran. Tanpa melepaskan diri dari suatu kebathilan, seseorang tidak akan dapat mengenal kebenaran-kebenaran tertentu dari Allah. Ini merupakan bentuk uswatun hasanah Ibrahim a.s yang lain.

Gambaran tentang hal ini dapat dilihat dalam kasus seorang perempuan mukminat yang berhijrah kepada Allah yang terikat pada seorang laki-laki yang memusuhi Islam. Dalam hal demikian, maka orang-orang beriman diperintahkan untuk melepaskan perempuan mukminat itu dari ikatan pernikahan dengan suaminya. Bila suaminya tidak memusuhi agama, maka alasan dari perintah itu tidak terjadi.


﴾۰۱﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُم مَّا أَنفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنفَقُوا ذٰلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ


Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan beriman yang berhijrah, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka adalah perempuan beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka yang) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali dengan perempuan-perempuan kafir dan hendaklah kamu minta apa yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta apa yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS Al-Mumtahanah : 10)

Pernikahan adalah penyatuan wujud perpanjangan entitas hakiki manusia seutuhnya sebagai jiwa dan raga. Seorang laki-laki merupakan perpanjangan fungsi jiwa yang berakal kuat sebagai entitas yang harus berkembang untuk mengenal Allah, sedangkan perempuan merupakan perpanjangan fungsi raga yang harus memakmurkan aspek bumi seorang manusia. Allah memberikan perpanjangan wujud manusia itu sebagai penjelas bagi manusia agar dapat menempuh jalan mengenal Allah. Ikatan suami isteri merupakan wujud paling nyata tentang jalan yang diturunkan Allah bagi manusia untuk mengenal kebenaran yang tinggi. Pengenalan manusia kepada Allah dalam wujud kalimah thayyibah harus menyerupai pohon thayyibah yang cabangnya menjulang ke langit dan akarnya menghunjam ke bumi, dan itu terbentuk melalui pernikahan.

Raga seorang manusia merupakan makhluk bumi yang diberi kemampuan untuk mengenal Allah melalui jiwa. Hanya dengan mengenal jiwanya (nafs wahidah) maka seseorang dapat mengenal Allah. Tanpa mengenal jiwa maka raga seseorang tidak akan dapat mengenal Allah. Jiwa adalah jalan seseorang untuk mengenal Allah. Demikian pula hubungan laki-laki dan perempuan dalam pernikahan. Seorang suami adalah jalan bagi istrinya untuk mengenal Allah. Dengan suami yang tepat, seorang perempuan dapat mengenal Allah bagaikan mengenali bulan purnama, sedangkan dengan suami yang buruk seorang perempuan mungkin dapat mengenal Allah bagaikan mengenali bulan yang tidak terlihat pantulan sinar mataharinya. Baik atau buruk, suami menjadi jalan bagi seorang istri untuk mengenal Allah.

Pada pernikahan yang salah, hubungan pernikahan itu dapat menjadi bencana bagi seorang perempuan. Seorang perempuan mukminat akan tersiksa dalam pernikahan dengan seorang laki-laki yang memusuhi agama. Demikian pula seorang laki-laki mukmin akan terikat dalam ikatan yang buruk bila menikah dengan seorang perempuan yang memusuhi agama. Dalam pernikahan demikian, maka harus diusahakan perceraian di antara suami dan isteri. Ini adalah perintah yang bersifat khusus terkait hubungan pernikahan. Pada dasarnya pernikahan diperbolehkan terjadi antara seorang yang tidak/belum beriman yang tidak memusuhi agama dengan seorang mukmin,atau mukminat, bila pernikahan terjadi pada masa yang telah lampau sebelum keimanan, dan masih bisa dibangun mawaddah antara suami dan isteri dalam pernikahan itu. Barangkali pihak yang tidak beriman dapat diharapkan untuk beriman melalui mawaddah tersebut. Tetapi bila seorang suami memusuhi agama, harus diusahakan pemisahan pernikahan dengan isterinya yang mukminat.

Untuk memisahkan seorang perempuan beriman dari suaminya yang memusuhi agama, kaum mukminin harus melakukan pengujian terhadap mukminat yang berhijrah. Pernikahan itu tidak dapat dipisahkan begitu saja tanpa kaum mukminin benar-benar mengetahui keimanan mukminat tersebut. Mukminat itu harus menunjukkan keinginannya untuk berhijrah menuju akhlak mulia yang tidak dapat dibangun bersama suaminya yang memusuhi agama. Bila seorang perempuan bukan termasuk mukminat atau tidak berkeinginan hijrah, tidak diwajibkan untuk memisahkannya dari suaminya. Bila suaminya tidak memusuhi agama, tidak pula diwajibkan untuk memisahkannya, karena suaminya bisa menjadi jalan bagi istri untuk mengenal Allah. Bila perempuan itu benar-benar mukminat dan suaminya memusuhi agama, perempuan itu tidak halal bagi suaminya dan suaminya tidak halal bagi perempuan itu dan pernikahan mereka harus dipisahkan.

Kasus pemisahan tersebut merupakan wujud turunan fisis dari uswatun hasanah nabi Ibrahim a.s melepaskan kebatilan yang menjadi tauladan bagi hijrah umat manusia untuk mengenal Allah. Uswatun hasanah itu menjangkau sejak alam bumi hingga seseorang ditempatkan Allah di hadirat-Nya. Uswatun hasanah beliau bukan hanya untuk alam bumi saja atau alam langit saja. Banyak aturan-aturan lain terkait uswatun hasanah di semua lapisan yang harus diikuti oleh setiap orang yang ingin mengikuti nabi Ibrahim a.s untuk mengenal Allah.

Kasus pemisahan pernikahan seorang mukminat dari suaminya tersebut merupakan wujud aturan fisik dalam berhijrah di jalan taubat yang harus ditempuh setiap manusia untuk mengenal Allah. Pada setiap tingkatan terdapat wujud turunan uswatun hasanah yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam berhijrah menempuh jalan taubat kembali kepada Allah. Misalnya seseorang yang memperoleh petunjuk yang benar tentang jodoh, orang tersebut dapat dikategorikan sebagai kafir bilamana menolak petunjuk yang benar tersebut. Orang tersebut bisa jadi termasuk dalam kategori beriman terhadap yang bathil dan kufur terhadap nikmat Allah karena memilih jodoh yang lain sesuai dengan hawa nafsunya. Kaum mukminin tidak boleh membiarkan hal itu terjadi, tidak boleh membiarkan seseorang kembali kepada kekufuran, walaupun dalam bentuk kekufuran yang lebih halus.

Hal ini harus dilakukan dengan didahului pengujian terhadap keimanan yang ada pada aspek perempuan seseorang yang berhijrah, baik aspek perempuan dalam wujud seorang perempuan ataupun aspek perempuan dalam wujud ragawi seorang laki-laki terkait dengan tuntunan pada jiwanya. Perempuan adalah aspek perempuan pasangan suami istri, sedangkan raga merupakan aspek perempuan bagi pasangan jiwa-raga. Bila keimanan seorang perempuan telah terlihat dalam upaya hijrahnya itu, maka tidak halal bagi mukminin untuk mengembalikannya kepada kebathilannya atau ke jalan kekufurannya. Perempuan itu harus dipisahkan dari kebathilannya dan jalan kufurnya agar dapat menemukan jalannya kembali kepada Allah. Demikian pula seorang laki-laki yang menemukan jalan keimanan yang bersumber dari jiwanya tidak boleh dikembalikan kepada kebathilannya dan jalan kufurnya bila telah terlihat bukti bahwa keinginan raganya berhijrah benar-benar berada di atas keimanan, bukan karena suatu hasrat tersembunyi yang bathil dalam hati yang menjadi keinginan hijrahnya.


Senin, 12 April 2021

Amar Ma’ruf Nahy Munkar Pilar Khayru Ummah

Salah satu sendi tegaknya masyarakat dalam kebaikan adalah adanya orang-orang yang memerintah manusia dengan al-ma’ruf dan melarang manusia dari kemungkaran. Dengan adanya orang-orang yang menegakkan amar ma’ruf nahy munkar maka suatu umat akan menjadi umat yang terbaik yang disebut sebagai khayru ummah.

Sifat Perintah Amar Ma’ruf dan Nahy Munkar

Perintah menegakkan amar ma’ruf dan melarang dari kemunkaran ditujukan kepada sebagian dari kaum beriman. Ada hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam melaksanakan perintah oleh orang-orang yang memperoleh perintah ini .

﴾۴۰۱﴿وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُولٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS Ali Imron : 104).

Perintah mencegah kemungkaran saja mempunyai sifat berbeda dengan amar ma’ruf nahy munkar. Rasulullah SAW memerintahkan setiap orang untuk mencegah kemunkaran sesuai dengan kemampuan masing-masing, sementara menyuruh pada makruf diperintahkan pada sebagian orang. Setiap orang harus berusaha mencegah kemungkaran yang dilihatnya, tidak membiarkannya terjadi tanpa mencegahnya, setidaknya dengan sikap ketidaksetujuan dalam hati atas apa yang terjadi. Hal itu telah dihitung sebagai mencegah suatu kemunkaran walaupun hanya merupakan bentuk keimanan yang selemah-lemahnya.

Mengubah keadaan dengan hati dapat dihitung sebagai mencegah kemungkaran, akan tetapi itu merupakan bentuk selemah-lemahnya iman. Cahaya iman yang terpancar dari sikap semacam itu akan mempunyai pengaruh yang kecil bagi lingkungannya atau hampir-hampir tidak terlihat. Bilamana seseorang diberi kemampuan untuk mengatakan sesuatu yang baik untuk mencegah kemungkaran, hendaknya dirinya berusaha dengan kemampuan yang dimiliki. Cahaya iman yang dimiliki hendaknya ditampakkan dengan lebih kuat untuk mengubah kemunkaran yang terjadi. Bilamana seseorang memiliki kekuatan untuk mengubah dengan kuasanya, hendaknya itu pula yang dilakukannya dengan baik.

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْـخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ؛ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : «مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإِنَ لَـمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْـمَـانِ».
Dari Abu Sa’îd al-Khudri R.a berkata, “Aku pernah mendengar Rasûlullâh SAW bersabda, ‘Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan lidahnya; dan jika ia tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan demikian itu adalah selemah-lemah iman.’” HR Muslim (no. 49). Ahmad (III/10, 20, 49, 52-53, 54). Abu Dâwud (no. 1140, 4340). an-Nasâ’i (VIII/111-112). at-Tirmidzi (no. 2172). Ibnu Mâjah (no. 1275, 4013).

Melaksanakan perintah amar ma’ruf nahy munkar harus memperhitungkan kebaikan bagi masyarakat luas, tidak semata-mata dilaksanakan berdasarkan pemahaman yang dimilikinya. Melaksanakan pencegahan terhadap kemungkaran dengan sikap hati saja diperbolehkan bagi seseorang karena tujuan itu. Seseorang yang bisa mengubah dengan cara berkata-kata hendaknya berusaha menyampaikan dengan kata-kata yang baik, untuk menghindari membuat kerusakan dan permusuhan di masyarakat. Namun demikian melakukan tindakan dengan kuasa yang diberikan kepadanya harus dilakukan sebagai pilihan pertama bilamana suatu kemunkaran terjadi, bilamana kemunkaran itu berpotensi membawa kerusakan yang besar bagi masyarakat. Tentu semua harus dilakukan dengan mempertimbangkan kemaslahatan terbesar bagi masyarakat luas.

Menghindari Perselisihan

Alquran memberikan perintah menegakkan amar ma’ruf nahy munkar disandingkan bersama dengan perintah untuk tidak bersifat sama dengan orang-orang yang berselisih dan berpecah-belah. Memerintah dengan al-ma’ruf tidak dapat dilakukan oleh semua orang, karenanya perintah itu difirmankan untuk membentuk umat terbaik dari sebagian orang mukmin, tidak diperintahkan bagi semua orang. Amar ma’ruf itu harus dilaksanakan oleh orang-orang yang tepat yaitu orang-orang yang mempunyai ma’rifat. Tanpa ma’rifat, tidak ada alma’ruf di antara umat tersebut.

Tanpa makrifat, amar ma’ruf nahy munkar bisa memecah belah umat dan menjadikan umat berselisih. Orang-orang yang memperoleh makrifat harus melakukan amar makruf dengan hati-hati sehingga terbentuk umat yang bersatu dari hatinya, tidak berselisih hati satu dengan yang lain dan tidak pula mengarah pada sikap berpecah belah. Kesalahan dalam urusan demikian dapat menjadikan semua pihak merasa melakukan hal yang benar padahal kebenaran yang dipegang hanya bersifat parsial. Dengan kebenaran parsial, satu pihak dengan pihak yang lain berselisih dan berpecah-belah. Beramar ma’ruf nahy munkar harus berlandaskan prinsip yang benar.

﴾۵۰۱﴿وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat (QS Ali Imron : 105)

Sebagian manusia bercerai-berai dan berselisih satu sama lain ketika melakukan amar ma’ruf nahy munkar. Hal itu sebenarnya sebuah indikasi bahwa mereka tidak benar-benar berpegang pada al-ma’ruf. Kebenaran-kebenaran parsial dapat mengelabui manusia untuk memandang indah apa-apa yang mereka lakukan. Syaitan sangatlah terampil menjadikan manusia memandang indah perbuatan mereka yang buruk. Salah satu cara yang dibuat syaitan adalah dengan memperkenalkan manusia pada kebenaran-kebenaran parsial, dan mendorong mereka untuk berselisih dengan kebenaran parsial tersebut. Dengan demikian mereka berselisih dan bercerai-berai dalam melakukan amar ma’ruf nahy munkar.

Kebenaran-kebenaran parsial tersebut seharusnya diintegrasikan untuk mengenal kebenaran secara komprehensif. Setiap orang harus membuka fikiran terhadap kebenaran yang mungkin turun kepada orang lain dan kemudian menyusunnya untuk mengenal kebenaran yang lebih besar. Merasa kebenaran hanyalah kebenaran yang ada pada pihaknya hanyalah jebakan syaitan agar seseorang memandang indah kebenaran parsial yang dimilikinya. Bahkan bukan tidak mungkin kebenaran yang dipegangnya sebenarnya hanyalah kesalahan yang harus diluruskan. Sikap hanif sangat dibutuhkan oleh setiap orang agar tidak terjebak dalam kebenaran-kebenaran parsial yang akan menjerumuskan mereka pada siksa Allah.

Tanpa sikap hanif dalam beramar ma’ruf nahy munkar, setiap orang terancam adzab yang pedih. Tidak menerima kebenaran dari orang lain dan berpegang hanya pada kebenaran milik sendiri akan mengantarkan seseorang memperoleh adzab yang pedih justru ketika berusaha menegakkan amar ma’ruf nahy munkar. Fenomena yang tampak dari sikap batin demikian akan tampak pada umatnya sebagai umat yang bercerai-berai dan berselisih. Itu adalah cerminan sikap pemimpin umat tersebut yang harus diperbaiki, yaitu pemimpin yang seharusnya memerintahkan pada alma’ruf dan mencegah kemunkaran. Adzab itu akan menimpa orang-orang yang turut serta berselisih dan berpecah-belah setelah datang kepada mereka keterangan yang jelas. Sebelum datang keterangan yang jelas kepada mereka, hal itu merupakan tanggung jawab pemimpinnya.

Umat Yang diperintahkan Melakukan Amar Ma’ruf

Perintah melakukan amar ma’ruf nahy munkar dibebankan kepada orang-orang yang diteguhkan kedudukan mereka di muka bumi. Orang-orang yang bersikap hanif dalam mencari kebenaran akan semakin kokoh bilamana langkahnya benar. Bilamana telah sampai pada kriteria tertentu, Allah akan menempatkannya pada bumi tertentu untuk beramal shalih sesuai dengan jati dirinya. Seringkali seseorang berhasrat kedudukan tertentu di muka bumi tanpa memenuhi kriteria yang ditentukan Allah. Kadangkala Allah memberikan kedudukan itu dengan pertanggungjawaban yang sangat berat kelak di hari kiamat. Orang yang demikian tidak termasuk orang yang mempu melakukan amar ma’ruf nahy munkar. Tanpa sikap hanif, kedudukan seseorang di muka bumi seringkali hanyalah beban yang akan memberatkan kehidupan mereka.

﴾۱۴﴿الَّذِينَ إِن مَّكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. QS Al-Hajj : 41)

Ciri bahwa Allah yang melakukan penempatan seseorang di muka bumi adalah terbangunnya bait bagi orang tersebut sehingga dirinya dapat menegakkan shalat, memberikan zakat dan menegakkan amar ma’ruf nahy munkar bagi umatnya. Dengan baitnya, orang tersebut bersujud kepada Allah. Melalui rezeki at-thayyibat yang diberikan melalui baitnya, dirinya dapat menunaikan zakat yang harus diberikan bagi lingkungannya. Dengan kekuatan baitnya, dirinya dapat menegakkan amar ma’ruf nahy munkar.

Tanpa bait yang terbangun, seorang manusia yang ingin memiliki kedudukan di dunia harus banyak terlibat dalam jaring-jaring kekuasaan dunia yang seringkali lebih banyak dikuasai oleh syaitan. Akan terlalu banyak kompromi harus dilakukan oleh orang demikian agar memperoleh kedudukan di muka bumi sehingga amar ma’ruf nahy munkar tidak mungkin ditegakkan. Kekuatan yang dimiliki seseorang tanpa memperoleh fasilitas kedudukan dari Allah sangatlah kecil sehingga tidak akan mampu menegakkan amar ma’ruf nahy munkar dengan benar. Hanya umat rasulullah SAW yang diberi kedudukan sebagai khayru ummah. Umat-umat sebelum rasulullah SAW tidaklah memperoleh kedudukan khayru ummah yang harus menegakkan amar ma’ruf nahy munkar.

Segala urusan yang dilakukan orang yang dikukuhkan kedudukannya di muka bumi harus ditujukan untuk mengajak manusia kembali kepada Allah. Pemakmuran bumi dan hal-hal lain yang mewarnai upaya tersebut hanyalah sebuah hadiah yang tidak boleh dijadikan tujuan. Khayru ummah menunjukkan kemuliaan manusia karena pengenalan seseorang terhadap Allah, bukan perhiasan-perhiasan yang dapat ditampakkan. Pengenalan terhadap Allah dapat dilakukan dengan menjadikan umatnya memiliki sifat-sifat yang dikehendaki Allah bagi mereka berupa sifat-sifat mulia berdasarkan asma-asma Allah SWT.

Hal ini seringkali tidak dapat diterima oleh orang-orang yang mempertuhankan hal-hal yang lain. Penolakan terhadap hal demikian acapkali mengundang adzab Allah ketika Allah berkehendak. Mereka adalah orang-orang yang cenderung kepada hal yang rendah sehingga Allah mungkin berkehendak memusnahkan mereka. Bilamana seseorang cenderung pada hal-hal yang mulia, maka mereka akan bergembira menerima ajakan amar ma’ruf nahy munkar. Semakin baik keadaan seseorang maka akan semakin mudah mereka menerima seruan tersebut, dan kesulitan akan semakin muncul manakala keadaan mereka tidak baik.







Jumat, 02 April 2021

Akidah Islam untuk Membina Manusia

 

Setelah masa kepresidenan donal trump berlalu, umat islam harus bersiap kembali untuk mendengarkan fitnah-fitnah terhadap mereka dengan aksi-aksi terorisme yang dilakukan oleh sebagian muslim. Pasukan amerika yang pernah ditarik mungkin akan kembali didatangkan ke negeri-negeri muslim bersamaan dengan didatangkannya para teroris dari kalangan muslimin. Sebagian teroris muslim di negeri yang damai kembali diaktivasi oleh pihak-pihak tertentu yang memperoleh kesempatan kembali dalam kekuasaan.

Para teroris itu merupakan bagian dari fenomena yang disebut rasulullah SAW sebagai khawarij. Ibadah mereka membuat para sahabat rasulullah SAW merasa berkecil hati, dan mereka membaca Alquran akan tetapi bacaan itu tidak melampaui kerongkongan mereka. Mereka keluar dari Islam sebagaimana melesatnya anak panah dari busurnya.

Hal itu tidak terlepas dari akidah yang menjadi dasar kehidupan. Akidah itu tidaklah berdasar pada Alquran ataupun ajaran rasulullah SAW, tetapi mereka membuat-buat sendiri akidah yang melenceng dari kehendak Allah. Akidah itu menjadikan mereka seolah-olah telah mengenal Allah, akan tetapi sebenarnya Allah yang mereka kenal hanyalah permisalan-permisalan tentang Allah yang mereka buat sendiri, walaupun dibuat berdasarkan kitabullah. Hal ini membuat jalan kehidupan mereka melenceng dari islam.

﴾۴۷﴿فَلَا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الْأَمْثَالَ إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka janganlah kamu mengadakan permisalan-permisalan bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (QS An-Nahl : 74)

Setiap muslim harus berusaha untuk mempunyai pengetahuan tentang Allah sehingga akan menjadi saksi yang benar bagi Allah. Ada akidah yang harus dipatuhi oleh setiap muslim dengan benar, yaitu akidah yang akan menjadikan mereka mempunyai kemampuan untuk mempunyai pengetahuan tentang Allah. Dewasa ini akidah semacam ini telah ditinggalkan oleh sebagian muslimin sehingga sebagian di antara muslimin kemudian disesatkan menjadi golongan kaum khawarij. Sebagian kaum muslimin membuat sendiri gambaran tentang Allah dalam pikiran mereka berdasarkan kitabullah, padahal Allah melarang membuat permisalan-permisalan bagi Allah.

Kalimah Thayyibah Sebagai Akidah Islam

Akidah islam yang benar adalah kalimah thayyibah. Alquran menjelaskan dengan sangat baik dan sederhana gambaran kalimah thayyibah itu sebagai pohon thayyibah yang akarnya menghunjam kuat ke dalam bumi dan dahannya menjulang ke langit. Gambaran ini sangatlah sederhana dan sangat mudah dipahami oleh siapapun, akan tetapi syaitan menjadikan manusia terlena dari akidah ini, dan terkelabui oleh akidah yang dibuat-buat dengan membuat permisalan-permisalan tentang Allah dalam kepala mereka.

﴾۴۲﴿أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat thayyibah seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit (QS Ibrahim : 24)

Untuk memperoleh pengetahuan tentang Allah, setiap muslim harus menumbuhkan jiwanya sebagaimana tumbuhnya pohon. Jiwanya harus tumbuh menjulang ke langit untuk mencari cahaya Allah, dan raganya tumbuh menghunjam kuat ke bumi dengan menguasai pengetahuan kebumian. Pengetahuan jiwa manusia tentang agama tidaklah boleh terpisah dengan pengetahuan kebumian untuk beramal shalih di bumi. Setiap muslim harus tumbuh secara integral sebagai manusia, tidak terpisah antara alam ragawi dengan jiwanya.

Bila seseorang hanya tumbuh pengetahuan agama tanpa terhubung dengan kehidupan buminya, itu bukanlah kalimah thayyibah. Kalimah yang buruk dimisalkan dengan pohon yang tercerabut dari bumi tidak dapat tegak sedikitpun. Hal ini sering terjadi bila seseorang mencoba memperoleh pengetahuan tentang Allah hanya dengan daya pikirnya. Dengan cara demikian orang tersebut sebenarnya hanya memperoleh kalimah yang buruk, tidak dapat tegak di bumi. Setiap orang harus menumbuhkan langit dan bumi secara sinergis bersama-sama, tidak hanya melatih isi kepala untuk memperoleh pengetahuan tentang Allah.

Akidah kalimah thayyibah dapat digambarkan sebagaimana para ahli fisika adalah saksi yang sah bagi intelegensi seorang Einstein. Seorang buruh angkut tanpa pengetahuan fisika tidak sah menjadi saksi kepandaian Einstein. Dalam akidah islam, hanya orang yang bersifat rahmaniah yang bisa menjadi saksi Allah sebagai Ar-rahman. Arrahman hanya akan dikenal oleh orang yang berakhlak baik. Seorang pendendam dan penuh rasa permusuhan akan memandang sifat rahmaniah sebagai kelemahan yang buruk. Akidah kalimah thayyibah menuntut setiap orang untuk menumbuhkan sifat mulia sebagaimana sifat-sifat mulia Allah agar dapat mengenal Allah, dan sifat-sifat mulia itu harus ditumbuhkan dalam kehidupannya di bumi. Ini adalah pohon thayyibah dirinya.

Membangun pengetahuan tentang Allah hanya dengan pikiran merupakan perbuatan membuat permisalan-permisalan tentang Allah. Hal ini di larang Allah karena seseorang tidak akan memperoleh pengetahuan tentang Allah dengan metode itu. Kadang-kadang suatu kelompok atau seseorang menutupi kekeliruan metode tersebut dengan mengatakan bahwa mereka tidak membuat tamtsil, takyif, ta’tsil, ilhad dan lain sebagainya. Penafian seperti itu tidaklah bisa diterima akal. Fitrah manusia tidak bisa menerima penafian semacam itu dari metode yang dipakai. Allah melarang metode tersebut karena metode tersebut sebenarnya pasti menuntut tamtsil, takyif, ta’tsil, ilhad dan lain sebagainya, tidak dapat ditutup-tutup dengan penafian. Yang dikehendaki Allah adalah metode yang lain, yaitu menumbuhkan pohon thayyibah.

Akidah semacam ini merupakan dakhaan yang mewarnai kebangkitan islam setelah kekalahan dari bangsa mongol. Banyak kalangan muslimin pada masa itu dan setelahnya mengikuti akidah demikian. Akidah ini tidak termasuk dalam kategori akidah khawarij, tapi membawa noda dalam dunia islam. Pada akhirnya, akidah ini dimanfaatkan musuh islam dengan sungguh-sungguh untuk membangkitkan kaum khawarij, dan hampir seluruh dunia islam dipengaruhi akidah demikian sehingga umat islam menjadi lemah sebagaimana buih. Kaum khawarij membangkitkan perselisihan di antara muslimin dengan argumentasi-argumentasi logika tanpa membangun kualitas akhlak dengan sebagaimana mestinya, kecuali hanya sebagai riasan bagi gerakan mereka, sedangkan inti gerakan mereka memecah belah umat dengan membangkitkan kebanggaan terhadap kelompok dan merendahkan kelompok lain.

Dengan akidah sebagaimana ajaran kalimah thayyibah, akan terwujud umat manusia yang berakhlak mulia. Dengan akidah permisalan-permisalan tentang Allah, suatu umat dapat terlempar mengikuti kaum khawarij. Hal ini perlu diperhatikan, bahwa akidah islam adalah menumbuhkan pohon thayyibah. Membuat pikiran gambaran tentang Allah tidaklah berguna. Akidah islam harus melahirkan generasi yang tangguh, bukan kaum teroris yang mengacaukan dunia dengan dalih agama.

Tujuan Dalam Menempuh Akidah

Allah memberikan gambaran hasil proses dari orang yang berakidah benar sebagai orang yang yang dapat memerintahkan dengan keadilan, sedangkan ia berada pada shirat al-mustaqim. Orang yang membuat-buat permisalan tentang Allah tidak akan menjadi orang yang dapat memerintah dengan keadilan dan tidak akan menemukan shirat al-mustaqim kecuali hanya persangkaan saja. Orang yang memerintah dengan keadilan dan berada di shirat al-mustaqim hanyalah orang-orang yang mempunyai akidah benar.

﴾۶۷﴿وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَّجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَبْكَمُ لَا يَقْدِرُ عَلَىٰ شَيْءٍ وَهُوَ كَلٌّ عَلَىٰ مَوْلَاهُ أَيْنَمَا يُوَجِّههُّ لَا يَأْتِ بِخَيْرٍ هَلْ يَسْتَوِي هُوَ وَمَن يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَهُوَ عَلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Dan Allah membuat perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebaikanpun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus? (QS An-Nahl : 76)

Tanpa akidah yang benar, seorang yang ingin menghamba kepada Allah tidak akan bertransformasi secara sempurna sesuai dengan kehendak Allah. Sebagian orang tetap menjadi orang yang bisu tidak dapat mengucapkan kebenaran di hadapan orang lain, sebagian tidak dapat mengerti untuk berbuat amal shalih. Sebagian tetap menjadi orang yang menjadi “beban” bagi rabb-nya karena hanya bisa meminta-minta kepada rabb-nya tanpa mengerti tuntunan Allah yang telah diturunkan melalui para utusan-Nya, walaupun Allah pasti tidak akan terbebani sedikitpun. Sebagian orang yang mengerti urusan Allah pergi menjalankan urusan-Nya akan tetapi tidak dapat mendatangkan kebaikan bagi umatnya. Masing-masing orang akan bertransformasi dengan hasil berbeda-beda sesuai dengan tatacara berpegang pada akidahnya.

Dengan akidah yang benar, Allah menghendaki manusia untuk bertransformasi menjadi makhluk yang mampu mengucapkan kebenaran di hadapan orang lain, yaitu kebenaran sesuai dengan kehendak Allah, menjadi makhluk yang mengerti dan dapat beramal shalih, menjadi makhluk yang mengerti bagaimana Allah mengatur makhluk-Nya sehingga dirinya bisa berbuat dengan benar berdasar tuntunan-Nya tidak hanya bisa meminta-minta kepada-Nya tanpa bisa berbuat dengan benar, dan mengerti bagaimana beramal mengerjakan perintah Allah sesuai perintah Allah agar Allah memberikan kebaikan, tidak mengerjakannya sesuai dengan kemauannya sendiri sehingga tidak mendatangkan kebaikan dari Allah.

Secara ringkas, transformasi yang dikehendaki Allah bagi manusia adalah menjadi orang yang mampu menyuruh berbuat adil dan berada di atas jalan yang lurus. Ini adalah fitrah manusia yang harus dicapai agar dirinya dapat dianggap layak menjadi khalifatullah di muka bumi. Dari penjelasan sebelumnya, keadilan dapat digambarkan sebagai mengerjakan perintah Allah sesuai dengan kehendak Allah disertai dengan kefahaman, yaitu faham hukum-hukum Allah bagi makhluk. Sarana untuk faham ini telah Allah turunkan berupa Alquran dan tuntunan rasulullah SAW. Tentang shirat al-mustaqim dalam ayat ini lebih menekankan pada kokohnya i’tikad pada tujuan kehidupan untuk kembali kepada rabb-nya, sedangkan rabb-nya berada di atas shirat al-mustaqim.

Langkah Awal Memahami Kalimah Thayyibah

Menumbuhkan pohon thayyibah adalah menanam benih thayyibah pada media tanam yang tepat, dan itu adalah pernikahan. Transformasi yang baik akan terjadi bilamana seorang laki-laki menikah dengan perempuan yang tepat. Perempuan adalah ladang bagi pertumbuhan benih thayyibah yang tersimpan dalam diri suaminya.

Ayat 76 tersebut terkait erat dengan ayat 72 pada surat yang sama yang bercerita tentang perjodohan. Perjodohan menjadi kunci yang menentukan pertumbuhan jiwa sepasang manusia. Ayat tentang perjodohan berikut ini ditutup dengan sebuah pertanyaan Allah : “apakah mereka beriman terhadap kebathilan dan kufur terhadap nikmat Allah?” Ini menekankan peran penting perjodohan dalam keberhasilan pertumbuhan jiwa seseorang. Keputusan seseorang memilih jodohnya akan menentukan apakah dirinya termasuk dalam kelompok orang yang memiliki kesempatan membangun bait yang diijinkan Allah untuk berdzikir dan ditinggikan asma-Nya di dalamnya, atau apakah dirinya termasuk orang yang beriman terhadap hal yang bathil dan kufur terhadap nikmat Allah. Hal itu dapat dilihat saat dirinya menentukan pilihan siapa suami atau istrinya.

﴾۲۷﴿وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُم مِّنْ أَزْوَاجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
Allah menjadikan bagi kamu dari jiwa-jiwa kalian isteri-isteri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?" (QS An-Nahl : 72)

Sebagian orang diberi pilihan yang jelas berupa petunjuk yang kuat dan benar tentang siapa jodohnya. Hal ini membawa konsekuensi yang jelas juga ketika menentukan pilihan jodoh, yaitu apakah dirinya kufur terhadap nikmat Allah atau dirinya masih memiliki kesempatan mengenal Allah. Ketika salah memilih, kemajuan perjalanannya kepada Allah akan berhenti pada tingkatan saat itu. Hal ini barangkali tidak berarti kehidupan dunianya akan buruk, bahkan mungkin saja lebih baik karena Allah mungkin akan membiarkan dirinya dalam istidraj-Nya.

Walaupun jelas, seringkali proses menentukan pilihan dalam kasus demikian tetap berbelit-belit. Kadang yang bersangkutan tidak dapat langsung menerima jodohnya, dan kadangkala pihak keluarga atau pihak lain menghambat proses pernikahan, dan kadangkala komunikasi antara dua pihak berjodoh sulit terjadi. Banyak hal yang mempengaruhi kelancaran menentukan pilihan jodoh. Hal mendasar yang perlu dibangun oleh setiap pihak berjodoh dengan cara ini adalah mau menerima jodohnya dengan semua kelemahan dan kelebihannya, dengan kelapangan hati. Apapun yang terjadi berikutnya, kesempatan membangun bait itu tidak boleh ditutup dengan sikap kufurnya terhadap nikmat Allah. Penolakan terhadap petunjuk itu merupakan sikap kufur tehadap nikmat Allah yang akan menutup jalan kembali kepada Allah baginya.

Setelah melapangkan dada untuk menerima petunjuk, harus dilakukan usaha untuk terjadinya pernikahan. Usaha ini harus dilakukan hingga jelas jawaban yang diperoleh dari pihak jodohnya, apakah dirinya diterima atau tidak diterima, tidak hanya berdasarkan membaca keadaan. Jawaban semacam ini hanya keluar dari diri jodohnya, dari wali jodohnya, atau orang yang dijadikan wali oleh jodohnya, atau salah satu di antara ketiganya kadangkala cukup mewakili. Itu merupakan jawaban yang sah untuk usahanya apakah harus berhenti atau melanjutkan langkah untuk bersama. Usaha ini dapat atau harus dilakukan oleh pihak laki-laki ataupun perempuan. Tidak hanya pihak laki-laki yang berhak untuk melakukan usaha penjajagan. Bilamana jelas jawaban pihak jodohnya, dirinya harus menerima jawaban itu dengan sebaik-baiknya lapang dada tidak menyimpan rasa kecewa. Bilamana ia melihat adanya kesalahpahaman dalam upaya penjajagan itu, hendaknya ia menyampaikan masalahnya dengan cara yang baik dan kemudian menerima apapun jawaban pihak lainnya.

Barangkali seseorang merasa terbebani bila ditolak sedangkan ia melihat bahwa perjodohannya adalah perjodohan yang baik atau bahkan perjodohan terbaik. Hendaknya ia bertawakkal kepada Allah tentang apa yang dimengertinya. Allah tidak akan menggolongkannya sebagai seseorang yang kufur nikmat, dan seluruh fitnah serta kegagalan menunaikan amanah yang mungkin timbul dari penolakan itu bukanlah dalam tanggungannya. Beban baginya mungkin hanya sebatas kekacauan kehidupan dunianya saja, atau bahkan boleh jadi Allah akan menggantinya dengan jodoh yang lain untuk menunaikan amanah bersamanya. Hendaknya dirinya bertawakkal apapun jawaban pihak jodohnya.

Para wali atau yang dijadikan wali hendaknya mempertimbangkan perjodohan anak walinya dengan sebaik-baiknya. Keputusan yang dibuatnya terkait dengan keimanan atau kekufuran anak walinya. Hendaknya ia tidak menghalangi sedikitpun bila anak walinya menemukan jodohnya, dan hendaknya ia tidak membiarkan anak walinya hanya mengikuti hawa nafsunya tanpa diberi pertimbangan, baik ketika anaknya tertarik pada seseorang atau lari dari jodohnya. Kesalahan dalam hal ini dapat menunjukkan adanya keimanan terhadap hal yang bathil dan kufur terhadap nikmat Allah yang ada pada wali. Dan fitnah besar akan menimpa anak walinya karena kesalahan itu.

Sebagian orang tidak mendapatkan petunjuk yang kuat dan jelas. Bukan berarti hal itu menutup kesempatan untuk memperoleh jodoh yang paling tepat. Dirinya harus mengasah jiwanya agar dapat menerima jodoh yang diberikan dengan sebaik-baiknya, mungkin dalam proses yang lebih panjang.