Pencarian

Selasa, 30 Agustus 2022

Membina Diri dan Membina Semesta

Rasulullah SAW bersama orang-orang yang mengikuti menyeru umat manusia untuk kembali kepada Allah. Mereka menempuh perjalanan menuju akhlak mulia agar layak hadir kelak di hadirat Allah SWT hingga mereka memperoleh tempat di surga. Sejauh jarak perjalanan menuju akhlak mulia yang dapat ditempuh, sejauh itu pula kedudukan yang akan diberikan kepada seseorang kelak di akhirat. Sebagian orang celaka dalam kehidupannya sehingga mereka memperoleh neraka, dan sebagian orang yang berakhlak mulia dengan akalnya memperoleh kedudukan yang tinggi di sisi Allah.

Terdapat beberapa tahapan perjalanan yang harus dilalui dalam membentuk akhlak mulia. Seseorang mungkin mempunyai akhlak sebagai orang kafir. Bila timbul keinginan untuk mengikuti Rasulullah SAW, maka ia akan menjadi seseorang yang mempunyai akhlak sebagai muslim. Bila seorang muslim terus mengikuti Rasulullah SAW maka ia akan mempunyai akhlak sebagai mukmin. Dengan cahaya keimanan, seseorang dapat berupaya mengubah akhlak menjadi seorang yang shalih, kemudian mencapai keadaan syuhada’ ataupun seorang shiddiqin. Itu merupakan jenjang-jenjang akhlak yang akan ditemukan seseorang bila ia mengikuti Rasulullah SAW.

Dengan akhlak mulia, seseorang dapat memakmurkan bumi berdasarkan fadhilah yang ada dalam dirinya. Hal itu tidak serta merta dapat dilakukan walaupun ia mengetahui jalannya. Yang perlu dilakukan untuk memberikan kemakmuran di bumi adalah mengumpulkan yang terserak dari dirinya. Hal itu bukanlah sesuatu yang serakah, tetapi bahwa sebenarnya mengumpulkan bagian dirinya di jalan Allah akan mendatangkan kemakmuran yang sebesarnya, baik untuk dirinya ataupun semestanya.

Berbagai Derajat Akhlak

Dalam tataran praktis, akhlak dalam berbagai tingkatannya seringkali bercampur dalam diri seorang manusia. Seorang muslim kadang melakukan perbuatan kafir, atau bahkan orang mukmin berbuat hal-hal yang berlandaskan akhlak kafir. Setiap orang harus benar-benar berusaha agar ia berada pada akhlak terbaiknya. Bila ia berbuat sesuatu yang rendah, hendaknya ia bersegera kembali pada akhlaknya yang sebenarnya dengan memohon ampunan kepada Allah. Hal itu akan mengurangi keadaan akhlaknya, namun selalu ada jalan kembali bagi orang yang menyadarinya. Hal yang paling berbahaya bagi seseorang adalah tidak menyadari ketergelinciran dirinya. Ia telah terjatuh pada hal yang rendah sedangkan ia tidak menyadari hal itu dan merasa sebagai orang yang berakhlak mulia.

Orang-orang dengan akhlak kafir bertindak hanya berdasarkan keinginan sendiri tanpa sebuah keinginan untuk menjadi baik. Bila seseorang mempunyai keinginan menjadi baik, ia dapat menemukan jalan mengikuti Rasulullah SAW menjadi muslim. Dengan terus mengikuti Rasulullah SAW, seseorang muslim dapat memperoleh pengetahuan dalam jiwanya hingga ia dapat membedakan kebaikan dari kemunkaran melalui keimanannya. Dengan pengetahuan melalui jiwanya, maka seseorang akan terus menambah kemuliaan akhlaknya.

Tingkatan akhlak beriman dan diatasnya tidak boleh disebutkan seseorang sebagai miliknya. Hal itu terkait ketidakmampuan seseorang untuk mengupayakan tetapi hanya karena Allah yang memberikan kepadanya. Walaupun demikian, seseorang harus berusaha menangkap seruan Allah kepada orang-orang dalam derajat itu agar ia dapat mengikuti langkah mereka. Ia harus berusaha memahami seruan tanpa memaksakan diri bahwa ia termasuk dalam golongan yang diseru. Seseorang dapat mengevaluasi keimanan dirinya dengan petunjuk Allah.

﴾۲﴿أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
﴾۳﴿وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
﴾۴﴿أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ أَن يَسْبِقُونَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
(2)Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang tidak kami datangkan bagi mereka fitnah?(3)Dan sesungguhnya kami telah datangkan fitnah pada orang-orang yang sebelum mereka, maka sungguh Allah mengetahui orang-orang yang berbuat benar dan sungguh Dia mengetahui orang-orang yang berbuat dusta. (4)Ataukah orang-orang yang mengerjakan sayyiah itu mengira bahwa mereka akan mendahului Kami? Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu. (QS Al-’Ankabuut: 2-4)

Ayat di atas menjelaskan tentang (di antaranya) tanda batas keimanan. Tanda itu dapat dijadikan bahan uji apakah dirinya termasuk dalam golongan orang beriman atau sebenarnya ia belum melewati batas itu. Tanda yang diberikan Allah kepada hamba-Nya adalah didatangkannya fitnah kepada mereka. Bila mereka mensikapi fitnah itu dengan benar, maka ia termasuk dalam golongan orang beriman, sedangkan bila ia salah, maka ia tidak boleh mengatakan bahwa ia termasuk orang beriman.

Seringkali fitnah dalam ayat di atas diterjemahkan sebagai ujian. Dalam beberapa hal, terjemahan itu terasa kurang tepat. Rasulullah SAW sebenarnya telah memberikan penjelasan yang sangat baik tentang fitnah. Fitnah bagi orang-orang beriman akan dihadapkan kepada hati mereka secara berangsur-angsur, satu helai demi satu helai. Setiap helai yang didatangkan kepada hati orang beriman harus dihadapi dengan tepat. Bila yang datang adalah helai kebenaran, ia harus mengenali helai itu sebagai kebenaran. Bila helai yang datang adalah helai kemunkaran, ia harus mengenali helai itu sebagai kemunkaran. Bila seseorang salah mengenali helai yang datang, maka hati mereka akan tertutup noktah hitam yang menghalanginya dari keimanan.

تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا فَأَىُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ وَأَىُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ حَتَّى تَصِيرَ عَلَى قَلْبَيْنِ عَلَى أَبْيَضَ مِثْلِ الصَّفَا فَلاَ تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ وَالآخَرُ أَسْوَدُ مُرْبَادًّا كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا لاَ يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلاَ يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلاَّ مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ
Fitnah-fitnah itu akan dihadapkan kepada hati, seperti tikar, satu serat satu serat. Hati mana saja yang menyerap fitnah itu, maka satu noda hitam tertempel dalam hatinya. Dan hati mana saja yang tidak menerimanya, akan tertitiklah pada hati itu satu titik putih, sehingga, jadilah hati itu dua macam; putih seperti batu pualam, sehingga fitnah apapun tidak akan membahayakannya selama ada langit dan bumi, sementara hati lainnya berwarna hitam legam, seperti teko atau ceret terbalik, tidak mengenal kebaikan dan tidak mengingkari kemunkaran selain hawa nafsu yang diserapnya. [HR Muslim no. 144]

Keimanan terkait dengan pengenalan seseorang terhadap kebaikan dan kemunkaran. Seseorang tidak layak mengatakan dirinya beriman bila ia tidak dapat mengenali kebaikan dan kemunkaran dengan benar. Bila seseorang hanya mengikuti kata orang lain tentang kebaikan dan kemunkaran tanpa mengenalinya dengan hati, maka ia belum benar-benar melewati batas minimal keimanan. Bila seseorang mempunyai hasrat terhadap sesuatu yang hakikatnya merupakan kebaikan, dan membenci sesuatu yang hakikatnya merupakan kemunkaran, maka boleh jadi ia termasuk dari golongan orang-orang beriman. Hati orang beriman tidak dapat bersikap netral terhadap kebenaran dan kemunkaran yang sampai ke hatinya, walaupun mungkin tidak terwujud dalam amalnya.

Setiap orang beriman harus mengasah hatinya untuk mengenali setiap kebenaran dan kebaikan hingga ia dapat berbuat dengan landasan kebenaran, dan mengingkari kemunkaran agar dapat mencegah terjadinya. Seringkali Allah mendatangkan kepada seseorang hal yang terlihat secara terbalik layaknya fitnah. Kebenaran tersaji kepadanya dalam wujud yang dikatakan sebagai kemunkaran, dan kemunkaran tersaji kepadanya dalam wujud yang dikatakan sebagai kebaikan. Bila seseorang tidak mengenali hakikatnya, maka hatinya akan terhijab dari iman dan selayaknya ia tidak mengatakan dirinya beriman. Ujian demikian dapat terjadi pada setiap kaun. Banyak perbuatan munkar yang dikatakan sebagai kebaikan, ilmu agama yang tidak mempunyai dasar yang benar dikatakan sebagai kebenaran, dan banyak petunjuk dalam hati yang merupakan tipuan dikatakan sebagai kebenaran. Orang yang beriman harus mengetahui hakikat di balik fitnah yang datang.

Di bawah derajat akhlak orang beriman terdapat akhlak islam. Akhlak islam adalah akhlak orang-orang yang melapangkan dadanya untuk berserah diri berselaras dengan kehendak Allah. Derajat akhlak ini berada di bawah orang-orang beriman yang dapat mengetahui kehendak Allah yang benar walaupun datang dalam bentuk fitnah. Seorang muslim mungkin mudah tertipu dengan fitnah dari Allah, sedangkan orang beriman tidak demikian. Hal yang penting diperhatikan, setiap orang baik ia muslim ataupun mukmin tidak boleh tertipu oleh fitnah syaitan karena fitnah syaitan berbahaya bagi umat manusia.

Dalam amaliah, perbedaan derajat ini tidak dapat dibalikkan. Seorang yang beriman harus beramal berdasarkan pengetahuan kebenaran melalui iman mereka yang dapat menembus tirai dan tembok fitnah, tidak boleh dikalahkan dengan upaya untuk berselaras dengan kehendak Allah tanpa suatu dasar pengetahuan dari iman. Manakala amaliah ini dibalikkan derajatnya, maka syaitan akan memasukkan fitnah mereka. Bila seorang mukmin dipaksa mengikuti seseorang dalam derajat muslim, maka muslim tersebut akan ditimpa fitnah dari para syaitan, sedangkan mereka tidak mempunyai pengetahuan berdasarkan cahaya iman. Para syaitan akan memberikan petunjuk bagi seorang muslim yang tidak mempunyai pengetahuan hakikat tentang petunjuk itu.

Masalah iman dan islam demikian harus dilihat dari ukuran kitabullah. Seseorang tidak dapat dikatakan sebagai mukmin bila bertentangan dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Setiap orang yang lulus dalam ujian fitnah Allah akan selalu berselaras dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Bekal melihat kehendak Allah di balik fitnah-Nya adalah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, tidak dapat diganti dengan yang lain. Bila ia menggunakan yang lain, maka ia akan terkalahkan oleh fitnah-Nya, atau bahkan terkalahkan hanya oleh fitnah syaitan sekalipun. Maka seorang muslim tidak diperbolehkan mengikuti orang yang dianggap beriman sedangkan ia bertentangan dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Bila demikian, maka orang yang mengikuti akan mengikuti fitnah. Sebagai gambaran, fitnah dari Allah itu dapat berupa ketakwaan palsu yang akan terlepas dari seseorang kelak jauh di alam akhirat, melampaui alam kubur atau alam makhsyar.

Di antara berbagai jenis akhlak, setiap orang yang mengikuti Rasulullah SAW harus menghindari akhlak syaitan. Akhlak itu tidak terbentuk secara natural pada umat Rasulullah SAW, tetapi terbentuk melalui tipuan terhadap umat Rasulullah SAW. Akhlak itu akan membuat umat menderita. Syaitan menjadikan umat beliau SAW bercerai berai dan bermusuhan, baik tercerai berai umatnya maupun tercerai-berainya diri seseorang dengan apa yang menjadi bagian dirinya. Upaya syaitan demikian berpuncak pada terpisahnya perempuan dari pasangannya. Membangkitkan dan meningkatkan potensi perselisihan dalam rumah tangga orang lain merupakan akhlak syaitan. Demikian pula mencegah terjadinya ishlah di antara dua orang mukmin untuk kembali pada amr Allah yag diturunkan di antara mereka merupakan akhlak syaitan. Perbuatan meniru akhlak syaitan sebagaimana contoh-contoh di atas tidak boleh diikuti oleh umat Rasulullah SAW, dan umat tidak boleh bersikap bodoh bersikap seolah-olah mereka mengikuti kehendak Allah. Ada standar minimal yang harus dipenuhi oleh setiap muslim, tidak boleh menyimpang dari Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, tidak menjadi bodoh mengikuti syaitan dengan akalnya. Penderitaan umat manusia yang terbesar akan muncul dari perbuatan mengikuti syaitan memisahkan perempuan dari pasangannya.

Menyatukan yang Terserak untuk Kemakmuran

Mengikuti sunnah Rasulullah SAW dilakukan dengan membangun tauhid dalam ibadah kepada Allah. Tauhid adalah langkah penyatuan diri seorang hamba terhadap kehendak Allah, sehingga seorang hamba mengerjakan amal-amal yang dikehendaki Allah baginya. Tanpa tauhid, seseorang mungkin merasa menjadi hamba Allah, sedangkan ia mengerjakan amal-amal hanya berdasarkan keinginan atau wahamnya sendiri.

Benarnya langkah penyatuan/tauhid seseorang secara dzahir ditandai dengan penyatuan diri dari keadaan terseraknya. Kadang seeorang tidak dapat mewujudkan penyatuan ini, tetapi mengetahui apa yang mesti disatukan dari yang terserak. Ketika di dunia, seorang manusia sebenarnya disebar dalam berbagai kepingan diri secara terserak. Pasangannya sebagai keping terdekat jiwanya terlahir di suatu tempat yang awalnya tidak ia ketahui. Rezeki bagi jiwa dan raganya pun terserak dan harus dicari. Bila seseorang berkeinginan membangun tauhid, ia harus berharap kepada Allah untuk dapat menemukan kepingan dirinya yang terserak. Dengan penyatuan kepingan diri yang terserak, ia dapat membina diri sebagai hamba Allah yang sebenarnya. Setiap orang yang benar perjalanannya akan menemukan bagian-bagian dirinya dan menemukan jalinan persaudaraan mereka sejauh perjalanan mereka yang benar, dan mereka dapat melaksanakan fungsi sosial mereka dengan menyatukan yang terserak.

Syaitan tidak menyukai hal ini, sangat berkeinginan menghalangi tauhid dengan menjadikan manusia tetap terserak. Syaitan mendorong manusia untuk menginginkan hal yang tidak menjadi bagian dirinya. Kadangkala syaitan melibatkan seseorang untuk membuat manusia tetap terserak. Dengan melibatkan manusia, mereka mempunuyai kekuatan merusak jauh lebih kuat daripada tanpa sekutu manusia. Seringkali seseorang merasa baik dalam melakukan perbuatan meniru syaitan memisahkan mukmin dengan bagian diri dan jalinan persaudaraan mereka. Hal ini tidak terlepas dari sihir syaitan. Tauhid seseorang akan pincang atau lumpuh bila bagian diri mereka terpisah, sebagaimana gasing yang dibelah sejajar sumbunya akan sulit untuk berfungsi dengan baik. Bila pasangannya yang dipisahkan adalah orang yang baik, hal itu dapat diibaratkan gasing yang dibelah tepat pada sumbunya sehingga seseorang sulit untuk melaksanakan fungsi dirinya.

Sangat mungkin orang yang terlibat memecahkan langkah tauhid orang lain bertindak salah dalam melihat masalah, apalagi bila derajat akhlak orang lain itu lebih baik. Seorang dengan akhlak islam seringkali tidak melihat kebenaran yang dilihat oleh seorang dengan akhlak mukmin. Amal shalih yang hendak dilakukan oleh seorang mukmin berdasarkan Alquran tidak boleh dihalangi dengan diharuskan mengikuti langkah seseorang dengan akhlak muslim, sedangkan orang yang menghalangi tidak mempunyai ilmu tentang amal itu berdasarkan Alquran. Kadang secara aneh seseorang merasa benar ketika merusak langkah tauhid orang lain, sedangkan ia berbuat dengan perbuatan dosa yang jelas. Memandang baik perbuatan dosa ini merupakan pengaruh sihir syaitan.

Seseorang tidak seharusnya merasa berbuat baik bila melakukan perbuatan memecah integritas seorang mukmin dan kaum mukminin. Hal itu merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Allah, dan perbuatan yang sangat disukai oleh syaitan. Seorang isteri yang tidak berbahagia dengan suaminya tidak selayaknya dihibur kehadiran laki-laki lain. Dua mukmin yang berselisih dalam amr Allah di antara kebersamaan mereka tidak selayaknya dipisahkan dari amr mereka. Memandang indah dua solusi buruk di atas merupakan perbuatan syaitan menghiasi kemunkaran. Ada suatu amr tertentu yang diturunkan Allah di antara mukmin yang berselisih yang tidak seharusnya dibatalkan manusia. Hawa nafsu dan komunikasi di antara mereka-lah yang harus diperbaiki, tidak memotong mereka dari amr yang mungkin mulai teridentifikasi. Apalagi bila keduanya menyadari adanya amr Allah di antara kebersamaan mereka dan menginginkan ishlah dalam amr tersebut. Hal ini merupakan benih tumbuhnya pengenalan penciptaan diri mereka. Merusak ishlah tersebut berarti merusak benih ketakwaan seseorang. Masyarakat yang memotong upaya ishlah demikian merupakan masyarakat yang terjangkit akhlak buruk syaitan.

Kadang perselisihan menyebabkan terjadinya cedera secara bathiniah yang perlu dilakukan penyembuhan dengan melibatkan mukmin yang lain. Ibarat seseorang yang terkilir, ia mungkin tidak dapat menyembuhkan dirinya sendiri. Perintah mengishlahkan mukminin dapat diibaratkan seperti perintah untuk membantu orang yang terkilir. Meluruskan otot terkilir tidak dapat dilakukan hanya dengan menangani satu otot yang terdislokasi. Dua orang yang berselisih harus terlebih dahulu dipersiapkan untuk dapat kembali pada posisi yang ditentukan, baru kemudian keduanya dikembalikan pada amr mereka bersama setelah siap. Tanpa hal itu, dapat terjadi cedera yang lebih parah di antara keduanya. Kadangkala tidak hanya dua pihak yang harus diishlahkan, tetapi terkait pula dengan orang-orang di sekitar mereka. Solusi amputasi seringkali bukanlah sebuah solusi yang baik, perlu dipertimbangkan tingkat keperluannya apakah orang-orang yang baik harus dipotong dari amr mereka. Organ tubuh yang terpisah dari amr karena diamputasi akan mati.



Jumat, 26 Agustus 2022

Fitnah Bagi Orang Beriman

Dalam kehidupan seorang beriman, akan dihadapi suatu fase dimana mukminin dituntut untuk kembali beriman kepada Allah dengan keimanan yang benar. Pada saat tersebut, orang-orang beriman hidup dalam keimanan setengah-setengah atau cenderung kembali kepada kekafiran. Allah bertanya kepada kaum mukminin tentang keimanan mereka dengan menegaskan keadaan kaum mukminin pada saat tersebut.

﴾۱۰۱﴿وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنتُمْ تُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ آيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَن يَعْتَصِم بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Bagaimanakah kamu (akan) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan di tengah-tengah kalian ada Rasulullah SAW? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS Ali Imran : 101)

Kaum mukminin pada saat itu (hampir) kembali kepada kekafiran. Hal ini terjadi pada masa masa depan dari jaman Rasulullah SAW yang ditunjukkan dengan bentuk kata kerja present future. Secara khusus, kekafiran itu terjadi karena mereka mengikuti ahli kitab. Pada jaman Rasulullah SAW tidak ada catatan kejadian orang-orang beriman kembali menjadi kafir karena mengikuti para ahli kitab kecuali seorang mukmin yang pertama hijrah ke Habsyi, dan ayat ini tidak diturunkan terkait hal tersebut. Maka dapat dipahami bahwa hal ini terjadi pada masa setelah Rasulullah SAW.

Walaupun telah wafat, sunnah Rasulullah SAW tetaplah berlaku hingga waktu yang tidak terbatas. Karena itu disebutkan pertanyaan bagi keadaan kafirnya kaum mukminin “padahal di tengah kalian ada Rasulullah SAW?”. Hal ini tidak secara langsung terkait dengan kehadiran fisik beliau SAW tetapi lebih ditekankan pada makna kehadiran Rasulullah SAW bagi kaum beriman pengikut beliau SAW sebagai kaum yang memperoleh jalan untuk mencapai kebenaran tertinggi di antara semua orang beriman. Pengikut beliau SAW seharusnya dapat mengenal kebenaran tertinggi bila benar-benar mengikuti sunnah, akan tetapi kaum beriman justru menjadi kafir karena mengikuti ahli kitab. Pada saat itu, orang-orang beriman tampaknya telah banyak melupakan makna kehadiran Rasulullah SAW bagi mereka, sehingga mereka mengikuti para ahli kitab.

Masalah kafirnya orang-orang beriman ini dapat diukur manakala dibacakan ayat-ayat Allah dengan benar kepada mereka. Kaum mukminin yang kufur terhadap bacaan yang benar tentang ayat Allah termasuk dalam orang-orang yang kembali menjadi kafir. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW menyebutkan tentang keberadaan orang yang beliau jadikan sebagai mitsal bagi beliau dengan kriterianya. Boleh jadi orang tersebut mempunyai bacaan yang layak untuk beliau jadikan sebagai mitsal bagi beliau SAW. Bila orang tersebut membacakan ayat-ayatnya, maka bacaannya itu bersesuaian dengan bacaan beliau sebagai bagian dari bacaan beliau SAW yang tidak keliru. Kaum mukminin yang kufur terhadap bacaan ayat Allah tersebut termasuk dalam orang-orang yang kembali menjadi kafir, sedangkan orang yang mengikutinya dapat mengikuti golongan orang-orang yang berpegang pada tali Allah.

Benarnya orang yang membacakan dapat dilihat dari caranya berpegang pada ayat Allah. Mereka membaca dengan mengikuti ayat-ayat dalam Alquran, dan bertindak mengikuti bacaannya sebagai amal shalih mereka. Mereka tidak mencari amal shalih berdasarkan hawa nafsu, tetapi menemukan amal mereka dari bacaan kitabullah. Mereka tidak menggunakan ayat-ayat Allah untuk pembenar perbuatan-perbuatan mereka, tetapi menggunakannya untuk mengetahui keadaan diri mereka. Mereka itu orang yang berpegang teguh pada ayat Allah, dan mereka itulah orang yang sebenarnya telah memperoleh petunjuk shirat al-mustaqim.

Ahli Kitab Menghalangi Jalan Allah

Tampaknya sebagian ayat Allah yang dibacakan tidak selalu menyenangkan bagi umumnya kaum mukminin karena menyangkut batas-batas kekafiran yang harus dipatuhi. Hal ini barangkali menjadi hal yang berat bagi orang beriman, karena kekafiran itu dibuat oleh para ahli kitab yang merupakan para syuhada’.

﴾۹۹﴿قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ مَنْ آمَنَ تَبْغُونَهَا عِوَجًا وَأَنتُمْ شُهَدَاءُ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi orang-orang yang telah beriman dari jalan Allah, kamu berupaya hingga (jalan itu) bengkok, padahal kalian adalah syuhada’?". Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (QS Ali Imran : 99)

Sulit membayangkan seorang syuhada’ yang berasal dari ahli kitab, tetapi hal ini benar-benar ada karena Allah menyebutkannya. Tampaknya ahli kitab demikian berasal dari golongan muslimin yang mempunyai keterbukaan terhadap kitabullah, sehingga mereka mempunyai derajat syuhada’. Pada jaman setelah Rasulullah SAW tidak akan ada umat beragama lain dapat mencapai derajat syuhada’, hanya muslimin yang dapat mencapai kedudukan syahid.

Hal ini hanya dapat dimengerti bila seseorang memahami peta perjalanan taubat kepada Allah. Dalam peta perjalanan taubat, ada sebuah fase yang dapat membalikkan seseorang kembali kafir, yaitu fase ketika seseorang mencapai tanah haram. Ini adalah fase pengenalan seseorang tentang dirinya sendiri. Seseorang dapat kembali kufur terhadap nikmat Allah setelah mencapai tanah suci baginya karena disesatkan oleh syaitan. Tanduk syaitan akan muncul pada saat terbitnya matahari yang menyinari kehidupan seorang mukmin. Bila seseorang tidak menyadari penyesatan syaitan ketika mereka tiba pada tanah suci mereka, maka ia dapat menjadi ahli kitab walaupun mempunyai derajat syuhada’. Mereka akan terlupa dari mengikuti Rasulullah SAW, dan mereka kemudian mempunyai arah perjuangan sendiri dan berupaya mencapai tujuan perjuangan mereka dengan jalan mereka sendiri hingga jalan mereka bengkok. Karena tidak mengikuti Rasulullah SAW, maka mereka tergolong ahli kitab. Alquran memberikan status bagi syuhada’ yang menghalangi manusia dari jalan Allah sebagai ahlul kitab.

Masalah demikian tentulah merupakan persoalan yang rumit. Belum tentu orang yang beriman dapat mengetahui duduk masalah yang timbul dari ahli kitab dalam derajat syuhada’. Persoalan dari mereka boleh jadi mulai dapat diketahui oleh seseorang dalam derajat syuhada’ pula, yang tetap dalam dalam keimanannya tanpa kufur. Allah tidak akan menghukumi seseorang sedangkan mereka tidak mengetahui, akan tetapi selalu ada penghakiman bagi setiap orang beriman yang kembali pada kekafiran. Allah akan menanyakan kepada orang beriman yang kembali kufur hal-hal berikut beserta konsekuensi turunannya yang kompleks, yaitu : bukankah ayat Allah telah dibacakan kepada kalian? Dan bagaimana sikap kalian terhadap makna kehadiran Rasulullah SAW di antara kalian?

Keduanya adalah tuntunan yang telah diturunkan Allah kepada orang-orang beriman, dan orang beriman harus memahami itu. Seorang beriman tidak dapat mendustakan atau meninggalkan salah satu atau keduanya maka ia akan menjadi kafir karenanya. Seseorang juga tidak dapat mengandalkan dirinya sendiri dalam ketaatan kepada Allah, tetapi harus dibuktikan dengan ketaatan pada Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Semua ketaatan kepada Allah bernilai tidak benar bila seseorang bertentangan dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, bahwa ketaatan itu hanyalah hembusan syaitan pada hawa nafsunya.

Orang-orang beriman hendaknya berpegang teguh pada kedua tuntunan itu dengan teguh, atau mereka akan kembali pada kekafiran. Persoalan yang dimunculkan oleh ahli kitab syuhada’ demikian pasti bukanlah persoalan yang jelas kekufurannya, akan tetapi sangat mungkin sebagian merupakan kebenaran dan tercampur di antaranya bagian yang menyebabkan kembalinya orang beriman kepada kekufuran. Bila orang-orang beriman mengikuti sebagian hal yang berasal dari orang-orang yang diberi kitab demikian, maka sebagian hal itu akan mengembalikan mereka kepada kekufuran.

﴾۰۰۱﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تُطِيعُوا فَرِيقًا مِّنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman. (QS Ali Imraan : 100)

Ayat di atas menekankan pada setiap mukmin untuk berpegang pada kitabullah dengan sungguh-sungguh menggunakan akalnya. Seseorang yang diberi kitabullah bukanlah jaminan yang akan menyelamatkan langkah orang yang mengikutinya. Sebagian orang yang diberi kitabullah dapat mengembalikan seorang mukmin menjadi kafir, sekalipun seorang ahli kitab yang berkedudukan syahid. Mukminin dapat mengikuti orang yang diberi kitabullah dengan syarat ia berpegang teguh pada kitabullah Alquran, bukan pada hal yang diberi oleh ahlul kitab tersebut, karena ada hal-hal yang dapat mengembalikan orang yang telah beriman menjadi kufur dalam hal tersebut. Apa yang merupakan turunan yang jelas dari Alquran dapat atau harus diikuti, sedangkan apa yang bertentangan tidak boleh diikuti.

Fitnah Bagi Mukminin

Masalah kembalinya seorang yang beriman kepada kekafiran merupakan fitnah yang akan menimpa umat Rasulullah SAW. Suatu fitnah dapat dipandang sebagai sesuatu yang tidak terlihat sebagaimana mestinya. Suatu kebenaran yang terlihat salah, atau suatu kebodohan yang dipandang makrifat merupakan contoh fitnah. Tidak terbatas dalam hal demikian, fitnah mencakup banyak hal yang terkait suatu penampilan yang tidak sesuai dengan realitasnya.

Orang-orang beriman harus menyadari fitnah yang akan menimpa mereka. Terkait ayat-ayat yang menerangkan tentang kembalinya orang-orang beriman pada kekafiran, Rasulullah SAW memberikan penjelasan tentang fitnah yang akan melanda mereka. Rasûlullâh SAW bersabda :

تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا فَأَىُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ وَأَىُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ حَتَّى تَصِيرَ عَلَى قَلْبَيْنِ عَلَى أَبْيَضَ مِثْلِ الصَّفَا فَلاَ تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ وَالآخَرُ أَسْوَدُ مُرْبَادًّا كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا لاَ يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلاَ يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلاَّ مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ
Fitnah-fitnah itu akan dihadapkan kepada hati, seperti tikar, satu serat satu serat. Hati mana saja yang menyerap fitnah itu, maka satu noda hitam tertempel dalam hatinya. Dan hati mana saja yang tidak menerimanya, akan tertitiklah pada hati itu satu titik putih, sehingga, jadilah hati itu dua macam; putih seperti batu pualam, sehingga fitnah apapun tidak akan membahayakannya selama ada langit dan bumi, sementara hati lainnya berwarna hitam legam, seperti teko atau ceret terbalik, tidak mengenal kebaikan dan tidak mengingkari kemunkaran selain hawa nafsu yang diserapnya. [HR Muslim no. 144]

Setiap orang beriman harus membina dirinya dalam citra Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, tidak dalam citra yang lain. Ada banyak ajaran yang akan menyimpang dari Alquran dan sunnah Rasulullah SAW yang mendatangi orang-orang beriman. Setiap orang beriman harus dapat menimbang setiap ajaran yang diterima dengan hatinya berdasarkan kitabullah, tidak dengan berdasarkan kata-kata orang lain.

Hal ini terkait dengan fitnah, bahwa fitnah itu akan mendatangi hati orang-orang beriman satu per satu. Bila hati orang beriman tidak dapat menimbang kebenaran atau kemunkaran dari apa yang diterimanya, maka fitnah itu akan menyebabkan timbulnya titik-titik noda yang menggelapkan hatinya. Misalnya suatu kebenaran yang dikatakan sebagai kemunkaran dan ia menganggapnya kemunkaran, maka anggapannya itu akan mendatangkan noktah hitam dalam hatinya. Demikian pula suatu kemunkaran yang dikatakan sebagai kebenaran dan ia menganggapnya kebenaran, maka anggapannya itu mendatangkan noktah hitam. Seorang beriman harus dapat menimbang suatu kebenaran sebagai kebenaran walaupun dikatakan sebagai kemunkaran dan suatu kemunkaran sebagai kemunkaran walaupun dikatakan kebenaran, maka hatinya akan menjadi bersih bagaikan pualam.

Kemampuan menimbang itu adalah akal. Akal dapat terhubung kepada Allah untuk memahami hal-hal yang terjadi sesuai dengan kehendak Allah. Akal itulah yang harus dibangun oleh setiap mukmin dalam dirinya. Untuk membangun hal itu, Allah menghamparkan ayat-ayat-Nya di alam semesta, dalam kitabullah dan dalam diri manusia. Ketiganya harus dibaca secara terpadu dipimpin ayat dalam kitabullah. Ibarat membangun suatu bangunan, pekerjaan itu harus dikerjakan berdasarkan suatu gambar rencana dan spesifikasi yang benar. Rencana itu dibaca dan diwujudkan oleh orang yang mampu membaca gambar bangunan hingga detail elemennya, dan keadaan lingkungan harus diketahui agar tidak keliru dalam membangun. Ketiga hal itu tidak dapat ditinggalkan salah satunya agar terwujud bangunan yang baik, benar dan kokoh.

Membangun akal tidak boleh meninggalkan ketiga ayat Allah. Seseorang tidak bisa membangun akalnya hanya dengan mengamati dirinya sendiri tanpa peduli semestanya. Kadang seseorang hanya membaca ayat kauniyah tanpa panduan kitabullah. Kadang seseorang hanya memohon Allah agar ditegakkan akalnya dengan pasrah tanpa berusaha membaca ayat-ayat Allah yang telah diturunkan daalam kitabullah, di alam semesta dan dirinya. Hal ini merupakan langkah yang tidak tepat dalam membangun akal. Setiap mukmin harus membaca ayat-ayat Allah secara integral agar dapat membangun akalnya untuk memahami kehendak Allah.

Ada salah satu metode membina akal menjadi perhatian Rasulullah SAW dalam hadits di atas dan beliau jelaskan bahwa itu merupakan fitnah bagi orang beriman, yaitu metode yang akan menjadikan seseorang mempunyai hati yang berbentuk teko/ceret yang diletakkan terbalik. Hati itu dapat menampung pengetahuan, akan tetapi hati itu diletakkan secara terbalik yang menyebabkan pengetahuan itu selalu tertumpah lagi dari teko. Bila seseorang terus mengikuti cara pembinaan demikian, maka kelak hatinya akan menjadi hitam dan tetap terbalik sebagai ceret, tidak dapat mengenali kebenaran dan tidak mengingkari kemunkaran. Mereka hanya mengikuti kebenaran sesuai yang dikatakan oleh orang lain, dan mengingkari kemunkaran sesuai yang dikatakan oleh orang lain, bukan kebenaran atau kemunkaran yang diketahui hatinya.

Cara membentuk hati sebagai teko/ceret yang menampung pengetahuan itu benar, akan tetapi cara meletakkannya salah. Tetap saja hal demikian berbahaya bagi orang beriman, karena justru orang beriman akan menyangka itu sebuah kebenaran, dan hal itu akan menjadi fitnah bagi orang beriman. Seandainya tidak meletakkannya secara terbalik, maka hati itu dapat menampung pengetahuan kebenaran. Ia akan dapat mengenali kebenaran dengan hatinya, dan dapat mengingkari kemungkaran dengan hatinya.

Minggu, 21 Agustus 2022

Takwa Yang Sebenarnya (Haqqa Taqwa)

Allah memerintahkan kepada kaum mukminin untuk memperbaiki hubungan (ishlah) di antara mereka. Ishlah paling utama dilakukan di antara kaum mukminin adalah untuk menyatukan langkah dalam melaksanakan urusan Allah. Perintah ishlah di antara kaum mukminin tidak hanya dibatasi pada bentuk-bentuk pertikaian, akan tetapi juga dalam membangun persaudaraan dalam amr Allah. Sesungguhnya orang-orang beriman adalah bersaudara, dan persaudaraan itu hendaknya dibina dengan kuat melalui ishlah di antara satu mukmin dengan mukmin yang lain dalam melaksankan perintah Allah berupa amr jami’ yang menjadi amanah Rasulullah SAW.

﴾۰۱﴿إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu perbaikilah hubungan antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (QS Al-Hujuraat : 10).

Membangun persaudaraan di antara kaum mukminin harus dilandasi sebuah sikap takwa. Dengan sikap takwa maka kaum mukminin akan memperoleh rahmat Allah yang dijanjikan bagi mereka. Sikap takwa akan menjadikan seorang dan setiap mukmin dapat berjalan lurus dengan langkah yang kokoh untuk memperoleh rahmat Allah.

Tidak mudah untuk membuat batasan tentang takwa. Terminologi takwa berasal dari firman Allah kepada Rasulullah SAW, bukan kata yang berasal dari lisan orang-orang Arab. Bahkan di antara para sahabat seringkali terjadi pertanyaan tentang terminologi takwa agar diperoleh pemahaman yang lebih baik bagi diri mereka sendiri. Di kisahkan bahwa Umar bin Khatthab r.a pernah bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang takwa. Ubay bin Ka’ab r.a menjawab, ”Pernahkan Anda melewati jalan yang penuh dengan duri?” Umar ibn Khattab r.a menjawab, “Pernah.” Ubay bertanya, “Lalu apa yang Anda lakukan?” Umar menjawab, “Aku singsingkan lengan bajuku dan berhati-hati dalam melewatinya.”

Dari sisi lisan bahasa Arab, makna yang paling mendekati kata taqwa adalah “dengan penuh kekuatan, menambah kekuatan” (تَقَوّى). Terkait dengan perjalanan kembali kepada Allah yang digambarkan dalam berbagai ayat dalam Alquran, perintah taqwa kepada Allah memberi gambaran tentang suatu perintah untuk menambah kekuatan dalam berpegang pada kehendak Allah. Setiap mukmin diperintahkan agar berpegang pada kehendak Allah dalam berjalan kembali kepada Allah dengan kekuatan penuh dan menambah kekuatannya. Dengan ketakwaan, seseorang akan memperoleh sarana membina hubungan transenden dengan rabb-nya.

Ketakwaan dapat terwujud dalam setiap lapis keadaan dalam perjalanan kepada Allah. Seseorang dapat bertakwa pada tingkatan nafs dengan qalbnya atau lubb, dan dapat bertakwa pada tingkatan lahiriah. Keseluruhan ketakwaan itu harus terbangun pada diri seseorang, dari ketakwaan tingkat lahiriah hingga ketakwaan qalb yang tertinggi secara simetris. Dengan ketakwaan pada seluruh lapisan keadaannya maka seseorang akan memperoleh ketakwaan yang sesungguhnya (Haqqa Taqwa).

Pondasi bagi Ketakwaan yang Haqq

Pondasi ketakwaan terdapat pada lapis alam dunia. Ketakwaan di setiap lapisan dapat dibangun dengan baik bila ketakwaan di lapis kehidupan dunia dibangun. Seseorang mungkin diijinkan untuk dapat membangun ketakwaan pada lapisan qalb mereka, tetapi bila tidak disertai dengan membangun ketakwaan pada lapis dunia, maka ketakwaan itu dapat melenceng dan menyesatkannya. Ketakwaan pada lapis dunia adalah berpegang pada nash yang tertulis dalam Alquran. Sebagian kaum mukminin akan ditanggalkan pakaian ketakwaannya di akhirat kelak karena ketakwaan yang tidak terbangun hingga alam duniawi, sedangkan mereka membangun ketakwaan pada lapisan qalb yang tinggi di dunia. Ketakwaan pada lapis duniawi akan menentukan kekuatan ketakwaan yang sesungguhnya (haqqa tuqootihi) di seluruh lapisan kehidupan.

Untuk membangun ketakwaan yang sesungguhnya (haqqa tuqootihi), setiap orang harus berpegang teguh pada tali yang diturunkan Allah hingga alam duniawi. Tidak boleh seorang mukmin membangun hubungan kepada Allah tanpa disertai memperhatikan sarana yang diturunkan Allah hingga alam dunia sebagai washilah. Allah telah menurunkan seluruh fasilitas meraih ketakwaan pada segenap ufuk hingga mencapai alam duniawi. Alquran dapat dibaca oleh makhluk di alam bumi, dan mempunyai makna pada setiap lapisan alam hingga mencapai sisi Allah SWT. Hendaknya setiap manusia berpegang teguh pada tali Allah untuk mencapai ketakwaan yang sesungguhnya.

﴾۳۰۱﴿وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS Ali Imran : 103)

Alquran itu merupakan tali Allah yang diturunkan sebagai salah satu washilah agar manusia memperoleh jalan untuk bertakwa di setiap lapis keadaan mereka. Selain Alquran, Allah mengutus Rasulullah SAW sebagai makhluk yang dapat memahami seluruh kandungan Alquran dan sebagai pemimpin bagi seluruh makhluk. Tanpa memperhatikan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, seseorang tidak akan memperoleh ketakwaan, dan menentang Alquran akan mendatangkan kecelakaan bagi orang yang menentangnya.

Setiap orang harus berpegang teguh dengan kitabullah dengan akalnya. Ia harus membentuk akalnya dalam citra kitabullah tidak meleset darinya karena mengikuti yang lain. Kadangkala kerusakan ketakwaan manusia datang melalui fitnah-fitnah kemunkaran yang kecil dan manusia tidak mengingkarinya, dan kemunkaran-kemunkaran itu akhirnya menjadikan mereka mempunyai hati yang hitam. Ia menjadi tidak mengenali kebenaran dan tidak mengingkari kemunkaran, tetapi hanya mengenali apa yang disampaikan kepada mereka berdasarkan hawa nafsu mereka. Rasulullah SAW bersabda :

تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا فَأَىُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ وَأَىُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ حَتَّى تَصِيرَ عَلَى قَلْبَيْنِ عَلَى أَبْيَضَ مِثْلِ الصَّفَا فَلاَ تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ وَالآخَرُ أَسْوَدُ مُرْبَادًّا كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا لاَ يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلاَ يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلاَّ مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ
Fitnah-fitnah itu akan dihadapkan kepada hati, seperti tikar, satu serat satu serat. Hati mana saja yang menyerap fitnah itu, maka satu noda hitam tertempel dalam hatinya. Dan hati mana saja yang tidak menerimanya, akan tertitiklah pada hati itu satu titik putih, sehingga, jadilah hati itu dua macam; putih seperti batu pualam, sehingga fitnah apapun tidak akan membahayakannya selama ada langit dan bumi, sementara hati lainnya berwarna hitam legam, seperti teko terbalik, tidak mengenal kebaikan dan tidak mengingkari kemunkaran, tetapi hanya mengenali apa-apa yang diserap hawa nafsunya. [HR Muslim no. 144]

Bila seseorang tidak membentuk hatinya untuk mengenali kebaikan dan membenci kemunkaran berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, maka mereka akan menjadi orang-orang yang hatinya seperti teko terbalik. Mereka mengenali kebaikan dari apa yang dikatakan oleh orang lain sebagai kebaikan, dan mengenali kemunkaran dari apa yang dikatakan oleh orang lain sebagai kemunkaran. Mereka tetap mengikuti perkataan orang lain itu walaupun perkataan itu terbalik-balik dari realitasnya layaknya fitnah. Mereka tidak mengenali kebenaran dan kemunkaran dengan hatinya berdasarkan kitabullah. Dengan keadaan demikian, tidak akan ada jalan ketakwaan bagi mereka.

Ketakwaan palsu merupakan salah satu jenis fitnah yang terbentuk dengan cara demikian. Manusia mengira sebuah ketakwaan sedangkan sebenarnya tidaklah demikian. Apa yang tampak sebagai ketakwaan demikian sebenarnya ketakwaan yang tidak berakar pada realitas tetapi melayang pada prasangka. Orang-orang yang mengikuti ketakwaan palsu akan mempunyai hati sebagaimana teko yang terbalik, tidak menyimpan pengetahuan kecuali hanya kata-katanya, dan pengetahuan (yang benar) tertumpah kembali keluar dari teko itu ketika kata-kata itu telah berlalu. Tidak terbentuk timbangan kebaikan dan kemunkaran dalam diri seseorang, hingga mereka tidak dapat menimbang kebaikan dan kemunkaran dengan akal mereka. Mereka mengenal kebaikan dan mengingkari kemunkaran berdasarkan perkataan yang  mereka ikuti tanpa timbangan dalam dirinya dan mengira semua perkataan itu benar tanpa mempunyai timbangan pengetahuan realitasnya.

Ketakwaan dan Persaudaraan

Ketakwaan yang benar mempunyai akar di semesta berupa persaudaraan. Ishlah di antara kaum mukminin menjadi dasar pembentukan persaudaraan yang harus diperhatikan oleh setiap orang yang beriman. Tanpa membangun ishlah di antara orang-orang beriman, tidak akan terbentuk persaudaraan dan ketakwaan yang sesungguhnya. Merusak ishlah di antara dua orang mukmin yang menginginkan ishlah berimplikasi merusak akar persaudaraan dan ketakwaan. Dalam perkara demikian, hati orang yang bertakwa akan mempunyai sikap setidaknya merasakan kesegaran bersemainya akar takwa dari ishlah yang akan terjadi dan merasakan bahaya merusakkannya. Hatinya tidak merasa netral atau justru menentang terjadinya ishlah kecuali ada pengetahuan yang kuat tentang tipu daya syaitan. Lebih dari itu, ada pengetahuan yang besar dari setiap syariat dan hukum yang ditempuh oleh setiap mukmin. Setiap orang beriman harus membangun ketakwaan yang berkait erat dengan persaudaraan di antara mereka. Persaudaraan dan ketakwaan ini harus dibangun di atas landasan kitabullah, karena banyak hal palsu yang sebenarnya mendatangkan keburukan ketika suatu tujuan dicapai tanpa berpegang pada kitabullah.

Orang yang tidak berpegang pada kitabullah akan celaka. Gejala kecelakaan itu akan muncul terlebih dahulu, yaitu bercerai berai (tafarruq) dalam firqah yang saling bertentangan, dan bermusuh-musuhan. Bercerai-berai (tafarruq) merupakan bentuk lebih lanjut dari perselisihan (ikhtilaf), di mana suatu perselisihan telah memunculkan kelompok-kelompok yang saling menyalahkan pihak lain. Perselisihan merupakan hal yang biasa terjadi pada kaum mukminin yang belum memperoleh nikmat Allah karena pemahaman yang berbeda-beda. Bila tidak bertaubat, perselisihan dapat berlanjut menjadi bercerai-berai (tafarruq). Tanpa berpegang pada kitabullah, orang yang beriman tidak akan dapat menyatukan hati. Penyatuan hati akan mungkin terjadi bila setiap mukmin berpegang pada kitabullah menggunakan akalnya.

Ketakwaan yang sesungguhnya berkaitan dengan terbentuknya persaudaraan, dan terkait dengan amanah dalam kitabullah. Penyangkalan terhadap suatu ayat dalam kitabullah merupakan hambatan yang sangat besar dalam membentuk persaudaraan dan ketakwaan yang sesungguhnya. Demikian pula pelanggaran dan dosa terhadap ayat kitabullah menjadi hambatan besar berikutnya. Orang beriman mungkin terjatuh dalam perbuatan dosa, tetapi tidak akan menyangkal, berargumen, beralibi atau berkelit terhadap kebenaran kitabullah. Dosa terhadap kitabullah yang paling utama adalah menyangkalnya dan menyusun argumen yang berlainan dari kitabullah. Hal ini akan menyebabkan seseorang terlepas dari tuntunan kitabullah. Dosa seseorang berikutnya berupa melanggar amr terkait kitabullah yang telah diketahui. Persaudaraan yang mengantar pada ketakwaan sesungguhnya hanya terbangun di atas amr yang terkait kitabullah, tidak dapat terbentuk pada hal yang lain.

Penyatuan hati yang sebenarnya akan terjadi manakala seorang mukmin mengenal amr jami’ yang merupakan amanah Rasulullah SAW. Orang yang mengenal amr tersebut dan menjalankan peran dirinya adalah orang-orang yang memperoleh fadhilah Allah dan memperoleh nikmat Allah. Orang yang memperoleh nikmat Allah itulah yang akan berproses menjadi bersaudara karena nikmat Allah. Bila mukmin tidak memperoleh nikmat Allah, maka akan ditemukan adanya perselisihan baik dalam pengetahuan ataupun dalam amal yang dikerjakan. Orang yang memperoleh nikmat cenderung akan bersepakat dengan saudaranya walaupun mempunyai bentuk ilmu dan amal yang berbeda. Mereka berjalan dengan serasi sesuai dengan nikmat yang mereka peroleh tanpa membuat perselisihan.

Allah menurunkan wahana ketakwaan hingga mencapai kehidupan di bumi, menyentuh kehidupan setiap manusia dalam hubungan semi-vertikal transenden. Rasulullah SAW adalah imam bagi setiap laki-laki yang menjadi sarana ketaatan setiap orang kepada Allah. Setiap orang terhubung kepada Rasulullah SAW melalui para imam mereka, maka para imam mereka merupakan perpanjangan dari Rasulullah SAW. Ketika seseorang berusaha taat kepada Allah, maka mereka harus mentaati Rasulullah SAW. Bila akan mentaati Rasulullah SAW, maka mereka harus mentaati imam mereka selama tidak bertentangan dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Tanpa wahana turunan itu, tidak ada ketakwaan terbangun dalam diri seseorang. Persaudaraan dan ketakwaan yang sesungguhnya terdapat dalam jaring-jaring washilah hubungan semi-transenden ini.

Fragmen fraktal ketakwaan yang paling menyentuh kehidupan setiap manusia adalah pernikahan. Pernikahan akan membangun ketakwaan setiap insan secara utuh pada jiwa dan raga. Setiap orang akan memperoleh wahana untuk mengerti tuntunan Allah dalam kehidupan di alam raga hingga alam nafs masing-masing. Pernikahan menjadikan setiap manusia terlibat intensif secara jiwa dan raga membangun pemahaman terhadap kehendak Allah. Dengan wahana itu, seseorang dapat membangun ketakwaan secara paripurna, tumbuh dengan baik dalam kehidupan baik secara ragawi maupun tumbuh qalb mereka, terbangun ketakwaan di lapis alam dunia dan bertakwa pula di alam nafs hingga seseorang dapat mengerti kehendak Allah.

Hubungan semi-vertikal transenden yang membentuk jaring washilah tergambar pula dalam pernikahan. Seorang suami adalah wahana ketakwaan seorang isteri yang menjadi wakil dari rabb sebagai objek bagi isterinya. Tanpa mentaati suami, seorang isteri tidak dapat memperoleh ketakwaan yang sebenarnya. Sebaliknya juga demikian, tanpa berusaha menuntun isterinya kepada Allah berdasarkan kitabullah, seorang laki-laki tidak memperoleh ketakwaan yang sebenarnya.

Mencederai prinsip semi-vertikal transenden yang tergambar dalam pernikahan akan mendatangkan kerusakan bangunan ketakwaan. Mungkin seorang perempuan dapat membangun ketakwaan pada tingkatan nafs mereka hingga dapat memperoleh sarana hubungan transenden dengan rabb-nya, atau memperoleh pengetahuan berbagai hal duniawi dari alam yang tinggi, akan tetapi bila ia meninggalkan suaminya, kelak di akhirat pakaian ketakwaan itu akan ditanggalkan. Demikian pula bila seorang laki-laki bertindak tanpa berpegang pada kitabullah dalam hubungan semi transenden tersebut, ia mungkin memperoleh sarana hubungan dengan rabb-nya melalui hatinya, akan tetapi kelak akan ditanggalkan pakaian ketakwaan itu dari dirinya. Sebenarnya hasil hubungan transendennya pun tidak sepenuhnya lurus bila ia memperhatikannya karena adanya ketakwaan palsu. Allah memberikan kepadanya petunjuk dengan kualitas sebagaimana sikapnya yang tidak konsisten dalam mengikuti Alquran. Keberpakaian palsu demikian terutama dapat terbentuk bila terdapat hal yang keliru dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan.

Jalan membangun ketakwaan seutuhnya ini menjadi sasaran utama yang dirusak oleh syaitan jajaran tertinggi mereka. Seseorang akan disesatkan dari ketakwaannya manakala bisa disesatkan, dan dirusak jalan ketakwaan seutuhnya bila seseorang berjalan dengan lurus menuju ketakwaan sebenarnya. Kadangkala ditemukan orang yang telah membangun takwa di nafs mereka tetapi amal dan keadaannya di alam mulkiyah bertentangan dengan Alquran, kadang ditemukan orang yang diberi kemampuan membangun jalan ketakwaannya (hanya) pada lapis duniawi, tetapi sebenarnya ia telah membangun takwa karena jalannya yang seutuhnya telah dirusak syaitan. Perjuangan pasangan menikah untuk mewujudkan ketakwaan seutuhnya ini akan menghadapi upaya syaitan yang sangat banyak dari kalangan syaitan yang tertinggi mereka.

Kamis, 18 Agustus 2022

Mengishlahkan Kaum Mukminin

Setiap orang beriman harus berusaha mengikuti langkah Rasulullah SAW kembali kepada Allah. Hal itu akan mengantarkan kaum mukminin pada pengenalan kepada Allah dan menjadi saksi yang sebenarnya bagi Allah. Perjalanan itu akan menjadikan umat manusia menemukan kesatuan dalam amr jami’ Rasulullah SAW dalam keragaman yang ada pada diri mereka.

Akan tetapi proses kesatuan itu tidak serta merta terwujud di antara kaum mukminin. Ketika seseorang memulai langkah mengikuti Rasulullah SAW, mukminin berada pada keragaman pola pikir di antara mereka dan pengetahuan kebenaran mungkin relatif tidak banyak. Keterbatasan pengetahuan seringkali mengurung seseorang dalam paradigma yang terbatas pula. Kadang seseorang yang baru memperoleh pengetahuan merasa telah mengenal seluruh kebenaran. Selain hal itu, kadangkala beberapa pihak tertimpa kesesatan dalam langkah mereka mengikuti langkah Rasulullah SAW. Hal-hal demikian seringkali mengakibatkan perselisihan dan bahkan pertikaian di antara kaum mukminin.

﴾۹﴿وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ فَإِن فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Dan kalau ada dua golongan dari orang beriman berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya. Bila salah satu melakukan bughat terhadap yang lain, hendaklah kamu perangi pihak yang melakukan bughat sampai mereka kembali pada amr Allah. Kalau dia telah kembali, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku setimbang; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku setimbang. (QS Al-Hujuraat : 9)

Allah memerintahkan kepada kaum mukminin untuk mengishlahkan pihak-pihak yang bertikai di antara kaum mukminin. Kaum mukminin tidak boleh abai terhadap perselisihan dan pertikaian yang terjadi di antara mereka. Ada sebuah dasar yang harus diperhatikan oleh kaum mukminin untuk melakukan ishlah pihak-pihak yang bertikai di antara kaum mukminin, yaitu hendaknya mereka kembali kepada amr Allah, yaitu untuk mengikuti amr jami’ yang diamanahkan kepada Rasulullah SAW. Tanpa landasan ini, barangkali sulit mendamaikan dua pihak mukminin yang bertikai, karena masing-masing memiliki landasan dalam tindakan mereka.

Kadangkala perselisihan di antara mukminin bersifat bughat, yaitu perselisihan dan pertikaian yang terjadi karena melencengnya salah satu pihak dari amr yang benar. Suatu bughat dilakukan oleh pihak yang keliru dalam melaksanakan amr, dilakukan terhadap pihak yang benar dalam melaksanakan amr. Bila terdapat kesalahan dalam melaksanakan amr, pasti akan terjadi perselisihan di antara kaum mukminin karena Allah memerintahkan kaum mukmininin yang melihat kesalahan untuk tidak mendiamkan kesalahan itu. Bila ia mampu, ia harus melakukan amar ma’ruf nahy munkar. Bila mukmin yang keliru menimbulkan pertikaian, maka dikatakan ia melakukan bughat terhadap mukmin yang lain.

Melawan Bughat

Bila ditemukan permasalahan bughat di antara kaum mukminin, kaum mukminin diperintahkan untuk memerangi kaum yang melakukan bughat hingga orang-orang yang melakukan bughat kembali kepada amr Allah. Memerangi kaum yang demikian tidak boleh tercampur dengan hawa nafsu. Prinsip ini sebenarnya berlaku dalam setiap peperangan, tetapi harus lebih diperhatikan terkait dengan kaum mukminin. Ketika suatu pihak menyadari kekeliruannya, pihak yang lain harus bersegera memberikan kesempatan untuk kembali kepada amr Allah, tidak melanjutkan pertikaiannya.

Permasalahan bughat harus dilihat dari sudut pandang amr Allah. Seorang ulama yang benar tidak dikatakan melakukan bughat terhadap khalifah yang salah, dan demikian sebaliknya khalifah yang benar tidak dikatakan melakukan bughat terhadap ulama yang salah. Demikian pula hubungan di antara semua elemen yang ada dalam suatu umat, permasalahan bughat harus dilihat dari sudut pandang amr Allah, tidak diukur berdasarkan kekuatan pihak-pihak yang bertikai. Seorang yang sendirian dalam amr Allah tidak dapat dikatakan melakukan bughat terhadap masyarakat besar yang keliru dalam mensikapi amr Allah. Amr Allah adalah tolok ukur kedudukan seseorang dalam perkara bughat.

Mengishlahkan dua pihak mukminin hanya dapat dilakukan dalam timbangan amr Allah. Orang yang mengishlahkan harus berusaha memahami amr Allah di antara dua orang yang berselisih dan memberikan saran langkah yang harus dilakukan berdasar amr Allah, bukan berdasarkan keberpihakan emosional. Orang yang tidak mengetahui atau tidak dapat menimbang amr Allah di antara dua pihak yang berselisih tidak layak menghakimi, baik salah satu atau kedua pihak sebagai benar atau salah. Seseorang tidak boleh menghakimi perkara di antara 2 mukmin yang berselisih hanya dengan mendengarkan masalah dari salah satu pihak, atau hanya dengan mengikuti pendapatnya sendiri. Keseluruhan pihak harus dipahami sudut pandangnya terhadap amr di antara mereka. Tidak ada hakim yang adil hanya dengan mengikuti pendapat mereka sendiri tanpa berusaha memahami masalah dari seluruh pihak.

Tujuan yang harus dicapai dalam ishlah adalah kembalinya kedua pihak pada amr Allah. Sikap damai yang ditempuh kedua pihak dengan menghindari amr Allah tidak menunjukkan keberhasilan ishlah, atau justru dapat dikatakan merupakan kegagalan ishlah. Dalam praktiknya, mengishlahkan pihak mukminin yang bertikai seringkali harus dilakukan dengan melawan kedua pihak agar masing-masing kembali kepada Amr Allah, dengan argumentasi atau dengan kekuatan. Kedua pihak yang berselisih seringkali cenderung terpancing berbuat hal yang melenceng dari amr Allah baik secara mandiri ataupun karena berbalasan. Penting memperhatikan keadaan terkini dari dua pihak, karena perselisihan demikian bersifat dinamis tidak seperti keadaan perselisihan orang kafir. Tindakan ishlah demikian tidak dalam rangka menjatuhkan hukuman terhadap salah satu pihak, tetapi membuat kesepahaman. Bila seseorang yang mengishlahkan hanya berdiri pada satu pihak, maka boleh jadi ia akan terlarut dalam perselisihan, dan perselisihan itu akan membesar.

Bila dua pihak yang berselisih menemukan kesepakatan langkah tentang amr Allah bagi mereka, tidak boleh ada pihak ketiga yang merusak kesepakatan itu dan menimbulkan kembali perselisihan di antara 2 pihak tersebut. Hal ini harus benar-benar diperhatikan. Secara syariat, salah satu kebohongan yang diperbolehkan adalah berbohong untuk melakukan ishlah di antara dua pihak mukmin yang berselisih. Hal ini menunjukkan keutamaan nilai ishlah di antara mukminin dibandingkan mempermasalahkan kesalahan. Bila ishlah yang diinginkan oleh dua pihak justru dirusak pihak lain, pihak ketiga itu bertentangan dengan tuntunan agama. Tidak ada seseorang yang memegang amanah Allah dalam bentuk merusak ishlah di atas amr Allah yang diinginkan dua mukminin yang bertikai. Amanah Allah yang tertulis dalam kitabullah adalah mengishlahkan para mukminin yang berselisih hingga mereka kembali kepada amr Allah. Apa yang tertulis dalam kitabullah tidak dapat dikalahkan dengan suatu pendapat yang bertentangan dengan hal itu.

Melakukan ishlah di antara kaum mukminin merupakan perintah Allah. Perintah ini tidak boleh dianggap remeh oleh kaum mukminin. Betapa buruknya keadaan yang akan menimpa kaum mukminin manakala perintah melakukan ishlah tidak dilakukan di antara mereka. Harus disadari bahwa sering terjadi permasalahan yang sangat besar karena suatu upaya ishlah di antara dua orang tidak terfasilitasi atau bahkan dicegah terjadi di antara kaum mukminin, sedangkan keduanya berikhtiar melakukan ishlah untuk kembali kepada amr Allah bersama-sama. Pencegahan upaya ishlah demikian merupakan langkah syaitan untuk memecah belah kaum mukminin. Campur tangan syaitan ini harus disadari kaum beriman, bahwa akibatnya bisa sangat buruk sebagaimana syaitan memisahkan seorang isteri dari suaminya. Syaitan yang paling tinggi kedudukannya memisahkan seorang perempuan dari suaminya, dan memisahkan seorang mukmin dari mukmin lain berikutnya. Hal itu akan menyebabkan terpecah-belahnya umat manusia oleh syaitan. Para syaitan itu akan sangat leluasa memecah belah manakala mereka menemukan sekutu dari kalangan manusia. Kaum mukminin hendaknya tidak membangkitkan permusuhan di antara mukminin lain.

Suatu perselisihan kadangkala timbul dari rasa tidak suka atau kebencian seseorang kepada yang lain. Ishlah harus dilakukan termasuk dalam hal semacam ini agar terbentuk persaudaraan yang kuat di antara kaum mukminin. Kaum mukminin tidak boleh memfasilitasi perasaan tidak suka dan kebencian untuk terpantik dan berkobar di antara satu mukmin dengan mukmin yang lain, sebaliknya harus diupayakan semua pihak kembali kepada amr Allah. Ishlah harus dilakukan di antara mukminin. Rasa tidak suka atau kebencian merupakan perasaan yang timbul dari hawa nafsu, dan ikut serta mengobarkan perasaan itu juga merupakan karakteristik hawa nafsu, sedangkan hawa nafsu merupakan kebodohan. Keimanan tidak akan dapat tumbuh bersama kebodohan, dan kaum mukminin tidak boleh tumbuh di atas kebodohan.

Membangun Persaudaraan dan Kendalanya

Ishlah paling utama dilakukan di antara kaum mukminin adalah untuk menyatukan langkah dalam melaksanakan urusan Allah. Perintah ishlah di antara kaum mukminin tidak hanya dibatasi pada bentuk-bentuk pertikaian, akan tetapi juga dalam membangun persaudaraan dalam amr Allah. Sesungguhnya orang-orang beriman adalah bersaudara, dan persaudaraan itu hendaknya dibina dengan kuat melalui ishlah di antara satu mukmin dengan mukmin yang lain dalam melaksanakan perintah Allah berupa amr jami’ yang menjadi amanah Rasulullah SAW.

﴾۰۱﴿إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu perbaikilah hubungan antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (QS Al-Hujuraat : 10).

Ayat di atas mempunyai penekanan sedikit berbeda dengan ayat 9 untuk urusan yang sama berupa ishlah. Ishlah dalam ayat 10 lebih ditekankan dalam membentuk persaudaraan di antara kaum mukminin yaitu agar setiap mukmin memahami amr Allah secara komprehensif dan saling memahami satu dengan yang lain, sedangkan ayat 9 lebih ditekankan dalam menekan perselisihan dan pertikaian. Orang yang menegakkan ishlah di antara dua pihak yang bertikai dengan sikap setimbang akan dicintai Allah, dan orang-orang yang membangun ishlah untuk persaudaraan dalam ketakwaan akan memperoleh rahmat Allah.

Ada banyak penghalang bagi kaum mukminin dalam membangun persaudaraan, di antaranya adalah sikap suatu kaum merendahkan kaum yang lain dalam berbagai urusan. Sebagian orang merendahkan kaum yang lain dalam urusan ilmu dan pengetahuan, sebagian kaum merendahkan kaum yang lain dalam urusan duniawi. Dalam bidang apapun kaum mukminin tidak dibolehkan merendahkan kaum yang lain. Suatu kaum laki-laki tidak dibolehkan merendahkan kaum laki-laki yang lain, dan kaum perempuan tidak dibolehkan merendahkan kaum perempuan yang lain.

﴾۱۱﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن نِّسَاءٍ عَسَىٰ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُولٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum laki-laki merendahkan kaum laki-laki yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula suatu kaum perempuan merendahkan kaum perempuan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah kefasikan sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS Al-Hujuraat : 11)

Sikap merendahkan bukanlah sikap yang baik, dan sebenarnya hal itu seringkali terjadi pada kaum yang berakhlak rendah. Ketika seseorang atau suatu kaum merendahkan kaum yang lain, seringkali sikapnya itu mencerminkan dirinya sendiri. Suatu kaum yang merendahkan kaum yang lain seringkali tidak lebih baik dari kaum yang direndahkan, dan lebih sering kaum yang direndahkan sebenarnya lebih baik dari kaum yang merendahkan. Sikap merendahkan demikian sangat menghambat proses terbentuknya ishlah dan persaudaraan di antara kaum mukminin.

Hal itu tidak hanya terjadi pada orang yang berakhlak rendah. Ketika seorang yang tinggi merendahkan orang lain, sangat mungkin orang yang direndahkan sebenarnya lebih baik dari yang merendahkan dan orang yang merendahkan tidak mampu melihat kebaikan orang yang direndahkan. Dalam keadaan apapun, sikap merendahkan orang lain bukan merupakan sifat yang baik. Orang yang merasa baik hendaknya mengajak orang lain pada kebaikan, tidak terjebak dalam sikap merendahkan hal-hal yang terlihat tidak baik pada orang lain. Bila seseorang merendahkan, perlu diperiksa barangkali ada keropos pada pondasi akhlak mulia orang tersebut.

Hal ini terkait dengan pertaubatan seseorang. Orang yang merendahkan sebenarnya dipertanyakan akad pertaubatannya. Tidak ada sifat sombong atau merendahkan orang lain dalam akhlak islam. Bila seseorang memiliki sikap merendahkan, boleh jadi sebenarnya ia tidak termasuk orang yang bertaubat, dan ia termasuk dalam orang yang dzalim. Pondasi akhlak mulia ini harus diperhatikan oleh setiap orang. Sejauh apapun ia mengikuti langkah Rasulullah SAW, ketika pondasi tersebut keropos maka sangat mungkin bangunan agamanya akan runtuh.

Selain tidak merendahkan orang lain, seseorang tidak dibolehkan menganggap diri sendiri tidak berharga. Hal ini menghambat perjalanan seseorang untuk dapat memahami amr jami’ Rasulullah SAW, termasuk di antaranya untuk mengenali jati dirinya sendiri. Setiap orang diciptakan untuk suatu tujuan mulia yang harus ditunaikan bagi setiap manusia. Permasalahan dosa dan kesalahan bagi orang lain harus disikapi dengan tepat, tidak menjadikan seseorang menganggap diri sendiri tercela. Hal ini bisa dilakukan dengan mengingat bahwa ia harus menjadi bagian dari jihad Rasulullah SAW. Penyesalan terhadap kesalahan terhadap orang lain harus ditempatkan pada sayap khauf dari yang berbeda dari sayap raja’ berupa harapan untuk memperoleh bagian dari amr Rasulullah SAW. Apa yang tercela dari dirinya berasal dari hawa nafsu dan syahwatnya, sedangkan dirinya tetaplah makhluk yang memikul suatu amanah yang harus diketahui dan ditunaikan. Ada banyak jalan syariat yang disediakan Allah agar seseorang dapat menundukkan syahwat dan hawa nafsunya, bila ia bergantung kepada Allah.

Penghalang ketiga yang menjadi penghalang membangun persaudaraan yaitu perilaku memberikan stigma buruk kepada orang lain. Hal itu akan menghambat upaya seseorang untuk memperoleh pengenalan terhadap amr Rasulullah SAW. Tidak ada kebaikan bagi suatu umat untuk memunculkan suatu stigma buruk bagi seseorang di antara mereka, dan memunculkan stigma itu dalam suatu panggilan tidak diperbolehkan. Di antara stigma dan panggilan yang paling buruk terhadap seorang mukmin adalah kefasikan setelah keimanan. Manakala mengalami peristiwa stigma tersebut atau stigma yang semakna dengan itu, maka itu adalah suatu stigma yang terburuk yang dapat terjadi di antara kaum mukminin.

Kadangkala suatu panggilan buruk itu benar terjadi, dan seringkali panggilan buruk itu tidak terjadi tetapi hanya merupakan prasangka buruk seseorang pada orang lainnya. Benar atau tidak, panggilan buruk itu hendaknya tidak dilakukan. Panggilan buruk itu adalah jalan yang buruk, dan setiap orang beriman harus mencari jalan yang lebih baik dalam mensikapi tindakan orang lain yang dipandang tidak baik. Hal ini terkait dengan akhlak, di mana akhlak yang mulia akan mensikapi hal yang buruk yang terjadi terhadap dirinya dengan cara yang baik. Melakukan panggilan buruk ini menunjukkan akhlak yang buruk, dan hal ini tidak mendatangkan manfaat bagi jamaah orang beriman. Bila seorang beriman memberikan stigma secara salah kepada orang beriman lain sebagai orang yang keluar dari iman atau kata lain yang semakna dengan itu, maka itu adalah akhlak yang paling buruk yang mungkin terjadi pada seorang yang beriman. Barangkali ia berada pada batas akhlak kufur.



Senin, 15 Agustus 2022

Iman Kepada Rasulullah SAW

Allah menciptakan seluruh makhluk agar makhluk mengenal Allah. Hal ini tentu menakjubkan, bahwa Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi menjadikan makhluk dapat mengenal-Nya. Sebenarnya tidaklah makhluk dapat mengenal-Nya kecuali sebatas apa yang dapat dikenalnya dari apa yang diperkenalkan-Nya, melalui jalan yang disediakan-Nya, sedangkan Allah yang sesungguhnya tidak mungkin benar-benar dikenal Makhluk. Jalan yang sediakan Allah bagi makhluk untuk mengenal-Nya adalah Rasulullah SAW. Rasululllah SAW adalah inti seluruh penciptaan yang digelar Allah agar setiap makhluk mempunyai sarana untuk mengenal Allah.

Untuk mengenal Allah, orang-orang beriman harus mengikuti langkah Rasulullah SAW kembali kepada Allah. Mereka hidup di alam yang ditentukan Allah berupa kehidupan di bumi dengan seluruh ragam Alhaqq dan kebathilan yang bercampur baur melingkupi kehidupan. Bila mengikuti Rasulullah SAW, maka seorang beriman akan mengenali sedikit demi sedikit kebenaran atau dilimpahi keterbukaan terhadap kebenaran yang hendak diperkenalkan Allah, sehingga seseorang dapat memperoleh pengenalan terhadap Allah. Tanpa mengikuti Rasulullah SAW, tidak ada jalan bagi makhluk untuk mengenal Allah.

Setiap orang beriman harus menyadari bahwa Allah telah mengutus Rasulullah SAW dalam kehidupan mereka di bumi yang jauh dari cahaya. Beliau merupakan pembawa cahaya Allah yang paling utama bagi setiap lapis kehidupan hingga kehidupan di bumi. Beliau SAW membawa cahaya bagi setiap lapisan alam dari alam yang tinggi hingga alam rendah di dunia. Manusia di alam dunia dapat memperoleh jalan mengenal Allah dalam segala tingkatannya. Seorang kafir yang ingin menjadi muslim, kemudian menjadi beriman dan berhijrah, kemudian mengenal diri sendiri, dan kemudian mengenal amr Rasulullah SAW bagi ruang dan jamannya, seluruhnya dapat diperoleh seseorang dengan mengikuti Rasulullah SAW. Dalam keadaan apapun, manusia dapat memperoleh jalan dengan mengikuti Rasulullah SAW.

﴾۷﴿وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِّنَ الْأَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلٰكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولٰئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ
Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti kemauanmu dalam banyak urusan benar-benarlah kamu mendapat celaka (laknat/kesusahan), tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti tuntunan, (QS Al-Hujuraat: 7)

Telah ditetapkan segala urusan (amr) dalam diri Rasulullah SAW yang dijadikan jalan bagi setiap manusia agar dapat mengenal Allah. Banyak urusan yang tergelar di kehidupan bumi dan alam semesta, tetapi hanya satu urusan yang mengantarkan seseorang berjalan mengenal Allah, yaitu urusan yang dilimpahkan kepada Rasulullah SAW. Seluruh urusan itu dapat ditemukan para pengikut beliau SAW dalam kitabullah Alquran.

Bila seseorang menempuh jalan yang lain, maka mungkin mereka akan menemukan kecelakaan. Makhluk yang tidak bertakwa kepada Allah banyak membuat urusan-urusan bagi kehidupan manusia. Para manusia yang tidak bertakwa dapat membuat suatu program urusan yang menyibukkan orang lain dengan imbalan materi yang besar untuk mengalihkan perhatian manusia dari jalan Allah, sedangkan program itu tidak mendatangkan kebaikan bagi kehidupan di bumi. Para syaitan di alam yang tinggi dapat mewahyukan suatu urusan yang membuat kehidupan yang sangat sulit bagi umat manusia. Banyak ragam urusan yang dapat muncul sedangkan urusan itu tidak memberikan manfaat bagi umat manusia, dan melalaikan umat manusia dari urusan Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW tidak akan memperturutkan setiap keinginan manusia untuk terjun dalam urusan yang tidak berkaitan dengan urusan beliau. Hendaknya setiap mukmin mengetahui bahwa ada Rasulullah SAW yang diutus dalam kehidupan mereka, yang harus dijadikan tujuan kehidupan. Setiap orang beriman harus mengarahkan seluruh entitas dalam dirinya untuk mengenal arti kehadiran Rasulullah SAW di alam semesta. Hal itu dapat diketahui dengan cahaya iman. Seseorang yang beriman dengan cara demikian akan dibuat mencintai keimanannya. Keimanan yang menjadikan seseorang memahami kehadiran Rasulullah SAW di alam semesta merupakan keimanan yang dijadikan perhiasan dalam hati manusia.

Orang yang hatinya dihias Allah dengan keimanan akan menjadi benci terhadap kekufuran, kefasikan dan maksiat kepada Allah. Hal demikian harus tumbuh dalam hati orang beriman, tidak membiarkan dirinya terus bergelimang dalam kekufuran, kefasikan dan maksiat. Tidak adanya rasa tidak suka terhadap sikap kufur, kefasikan dan maksiat menandakan tidak tumbuhnya keimanan dalam hati. Sikap kufur terhadap kebenaran, fasik terhadap tujuan luhur dan durhaka terhadap urusan kebaikan harus dapat dirasakan oleh hati setiap manusia, tidak boleh diabaikan walaupun sedang bergumul dalam urusan duniawi. Kadangkala ada upaya menghilangkan perasaan terhadap kebenaran yang terbungkus dalam propaganda toleransi.

Mengikuti Rasulullah SAW

Banyak ragam cara yang dapat dilakukan seseorang untuk mengikuti amr Rasulullah SAW, yang harus dilakukan sesuai dengan keadaan masing-masing. Mengerjakan syariat yang dicontohkan Rasulullah SAW adalah syarat minimal yang harus dipenuhi oleh setiap orang. Hal itu harus diikuti dengan pencarian amal shalih yang harus dikerjakan sebagai bagian dari amr Rasulullah SAW. Seseorang harus memulai upaya penemuan diri dalam amr Rasulullah SAW dari akad dua kalimah syahadat, kemudian menjadi muslim dan mengharapkan keimanan, berhijrah dengan keimanannya untuk mencapai pengenalan jati diri, dan kemudian mengikuti amr jami’ yang menjadi amanah bagi Rasulullah SAW. Dengan cara demikian, seseorang dapat berusaha menemukan jalan mengikuti Rasulullah SAW. Setiap kebaikan yang diniatkan untuk mengikuti Rasulullah SAW akan mendekatkan seseorang kepada amr beliau SAW. Amal yang dikerjakan dengan tujuan demikian merupakan turunan dari amr Rasulullah SAW.

Beberapa orang yang mengetahui urusan Rasulullah SAW untuk ruang dan jamannya, dan secara khusus untuk dirinya. Mereka itulah orang yang termasuk dalam golongan Ar-raasyiduun, yaitu golongan orang-orang yang memperoleh tuntunan Allah. Urusan Rasulullah SAW itu mereka pahami melalui Alquran dan segenap ayat kauniyah di alam semesta mereka, tidak dipahami secara bebas berdasarkan diri mereka sendiri, walaupun secara praktis kadangkala mereka mengetahui realitas itu dalam nafs terlebih dahulu.

Orang lain dapat memperoleh manfaat yang besar dari golonga ar-rasyiduun untuk mengikuti Rasulullah SAW kembali kepada Allah. Bahkan merugilah orang yang tidak memperoleh manfaat dari mereka. Namun perlu diperhatikan benar-benar bahwa setiap orang tidak boleh mengikuti perkataan yang bertentangan dengan Alquran. Perkataan menentang Alquran itu akan memutuskan hubungan mereka dengan Allah, Rasulullah SAW dan segenap jalan yang merupakan turunan amr Rasulullah SAW. Tidak ada jejak amr Allah dalam setiap hal yang bertentangan dengan Alquran, kecuali jejak amr yang mengantarkan pada neraka. Kelak masing-masing orang akan mempertanggungjawabkan keadaan mereka sendiri, dan orang yang mengatakan penentangan itu akan mempertanggungjawabkan perkataannya dan orang-orang yang mengikutinya. Harus disadari bahwa tidak ada jaminan kebenaran dari para manusia, dan bahwa syaitan mempunyai keahlian yang cukup baik untuk menipu orang-orang melalui kelalaian manusia.

Amal yang terbaik adalah amal yang benar-benar terhubung dengan urusan Rasulullah SAW yang dikenal berdasarkan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Amr jami’ Rasulullah SAW dan seluruh turunannya bernilai lebih baik daripada amr yang lain, walaupun amr yang lain terlihat bagaikan urusan yang tinggi. Syaitan dapat menyesatkan orang yang berakal dan kesesatan itu sangat berbahaya bagi yang lain. Amr dalam urusan yang diwahyukan oleh syaitan tidak mengandung kebaikan, tidak lebih baik daripada amal yang dikerjakan oleh seseorang yang berharap mengikuti Rasulullah SAW walaupun hanya berdasarkan bayang-bayang buram yang dikenalinya tentang amal shalih. Lebih baik bagi setiap orang beramal mengikuti dzahirnya Alquran dan sunnah Rasulullah SAW dengan qalb yang biasa saja, atau bayang-bayang dari tuntunan itu daripada mengikuti amal yang tidak jelas sumber urusannya.

Sumber Fadhilah dan Nikmat

Beramal secara terhubung dengan urusan Rasulullah SAW merupakan fadhilah dari Allah dan kenikmatan Allah yang dikaruniakan kepada seorang hamba. Orang yang memperoleh fadhilah dan nikmat Allah adalah orang-orang yang beramal dalam amr Rasulullah SAW. Doa utama yang dibaca minimal 17 kali setiap hari oleh umat islam dalam setiap shalat adalah memohon petunjuk jalan orang yang diberi nikmat, maka demikian itulah gambaran orang-orang yang memperoleh nikmat Allah.

﴾۸﴿فَضْلًا مِّنَ اللَّهِ وَنِعْمَةً وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
sebagai fadhilah dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS Al-Hujuraat : 8)

Manusia dapat meniru jalan orang-orang yang memperoleh nikmat Allah agar dapat mengarah pada jalan yang sama. Bersama orang yang demikian tentu merupakan suatu rezeki dan kemudahan. Mereka dapat menunjukkan cahaya Allah bagi orang yang lain tanpa mencampuri cahaya dengan hawa nafsu mereka. Semakin dekat seseorang pada shirat al-mustaqim, ia semakin bersifat mengurai cahaya tanpa melakukan intervensi, sehingga yang tampak adalah cahaya Allah tanpa gangguan dari eksistensi orang tersebut. Namun setiap orang tetap harus berhati-hati, hendaknya setiap orang selalu berpegang pada firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW tanpa melepaskannya. Alquran dan sunnah adalah cahaya Allah yang terjamin kebenarannya.

Orang yang mendustakan cahaya dari orang yang memperoleh nikmat Allah sebenarnya hampir sama dengan mendustakan kebenaran. Demikian pula bentuk sikap yang lain sebenarnya merupakan gambaran sikap masyarakat terhadap kebenaran. Manakala seseorang memperoleh nikmat Allah, ia dapat menjelaskan kandungan kitabullah yang dipahaminya tanpa kesalahan atau tafsiran sendiri, walaupun mungkin tidak seluruh kandungan Alquran dipahaminya. Bagian dari kebenaran kitabullah yang dapat diceritakan itu tetaplah kebenaran, bukan sesuatu yang melenceng dari kebenaran. Tidak ada makhluk yang memahami seluruh kebenaran kecuali Rasulullah SAW, sedangkan orang yang memperoleh nikmat Allah merupakan pengikut Rasulullah SAW. Ketika seseorang mendustakan bagian kebenaran dari orang itu, ia juga mendustakan kebenaran secara keseluruhan.

Bila ditemukan hal yang melenceng dari Alquran dari seseorang yang memperoleh nikmat Allah, maka itu menjadi tanggung jawab orang yang memperoleh nikmat. Bila ditemukan hal yang bertentangan dengan Alquran, maka boleh jadi orang tersebut sebenarnya tidak termasuk dalam kategori orang yang memperoleh nikmat Allah. Prinsip pokoknya, seseorang harus mengikuti kitabullah ketika mengikuti orang lain, dan tidak boleh mengikuti orang lain bila bertentangan dengan kitabullah. Yang akan menjadi bekal bagi kehidupan abadi bagi seseorang adalah pemahamannya terhadap kitabullah, bukan pada bentuk fisik amal-amal yang dilakukannya, sedangkan semua amal (hanya) menjadi sarana untuk memahami kitabullah. Timbangan pada hari akhirat kelak adalah Al-haqq.