Pencarian

Kamis, 24 Oktober 2019

Dua Wanita Teladan


 

وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا لِّـلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا امْرَاَ تَ فِرْعَوْنَ ۘ اِذْ قَا لَتْ رَبِّ ابْنِ لِيْ عِنْدَكَ بَيْتًا فِى الْجَـنَّةِ وَنَجِّنِيْ مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهٖ وَنَجِّنِيْ مِنَ الْقَوْمِ الظّٰلِمِيْنَ ۙ


Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, istri Fir'aun, ketika dia berkata, Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim,

وَمَرْيَمَ ابْنَتَ عِمْرٰنَ الَّتِيْۤ اَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيْهِ مِنْ رُّوْحِنَا وَصَدَّقَتْ بِكَلِمٰتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهٖ وَكَا نَتْ مِنَ الْقٰنِتِيْنَ

dan Maryam putri 'Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalamnya sebagian dari ruh Kami; dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya; dan dia termasuk orang-orang yang tenang.
(QS. At-Tahrim 66: 11- 12) 

Terdapat 2 wanita yang disebutkan alquran sebagai teladan yaitu Asiyah isteri Fir'aun dan Maryam puteri Imran. Kedua wanita tersebut dikisahkan dalam dua ayat yang berbeda secara bersambung, dan dengan penekanan kisah yang berbeda. 

Maryam binti Imran 


Maryam binti Imran merupakan wanita yang memperoleh nafakh ruh. Beliau merepresentasikan kisah wanita dalam aspek batin yaitu jiwa atau nafs. Nafakh ruh pada beliau ra diberikan pada aspek batin, dengan penekanan secara khusus pada batin laki-laki dari dirinya. Disebutkan dalam ayat tersebut "fiihi" yang menunjuk pada laki-laki, padahal Maryam ra adalah seorang perempuan. Terlahirlah Isa as yang telah mendapatkan tiupan ruh qudus sejak bayi. Isa as merupakan wujud fisik laki-laki dari Maryam ra. 

Nafakh ruh terkait erat dengan sifat shiddiq terhadap kalimat Allah dan kitab-kitab-Nya, serta sifat qanitah. Dengan nafakh ruh, ayat-ayat Allah yang terhampar pada alam kauniyah dan ayat yang tertulis pada kitab-kitab yang diwahyukan akan terbaca, berjalan selaras antara keduanya tanpa berselisih. Sebelum nafakh ruh, kaitan kitabullah dengan alam kauniyah tidaklah terbaca dengan jelas, terlihat samar-samar atau tidak terlihat sama sekali atau malah kadang terlihat bertolak belakang. Nafakh ruh akan menjadikan kaitan keduanya jelas. Nafakh ruh juga akan memperkuat sifat qanitah dalam diri seseorang. 

Sifat shiddiq dan qanitah merupakan sifat yang muncul pada jiwa, yaitu jiwa yang baik. Sifat itu tidak tumbuh di aspek jasadiah manusia. Sekalipun seseorang menampakkan adab jasadiah sangat baik, tidak akan muncul sifat shiddiq dan qanitah pada dirinya bila jiwa tidak terdidik menjadi jiwa yang baik. Kebaikan jiwa hanya tumbuh pada hati dengan keimanan dan amal shalih yang dilakukan. 

Pada wanita selain Maryam ra, nafakh ruh tidak akan terjadi pada dirinya. Setiap wanita memperoleh nafakh ruh pada aspek laki-laki, sedangkan aspek laki-laki dalam penciptaan manusia terdapat pada suami yang menikah dengan dirinya. Pasangan suami istri adalah satu entitas manunggal yang mendapatkan amanat bersama untuk berjalan menuju rabb-nya. Seorang wanita dan pasangannya diciptakan dari satu jiwa (nafs wahidah). Nafs wahidah itu bertempat pada diri sang suami, sedangkan istri menjadi bagiannya, sehingga seorang perempuan akan mengenal rabb melalui suaminya. 

Ini merupakan gambaran jalan tasbih, bahwa Allah yang Maha Tinggi yang tidak terjangkau makhluk menyediakan jalan bagi hamba untuk mengenal-Nya. Tidak ada makhluk yang mampu mengenali Dia yang Maha Tinggi, kecuali Dia memperkenalkan diri-Nya kepada makhluk tersebut. Hanya bila Dia memperkenalkan diri maka makhluk mengenal-Nya sebatas yang Dia perkenalkan. Makhluk hanya mampu berusaha melalui jalan yang diberikan. 

Keberpasangan adalah jalan yang Dia berikan, agar manusia bisa mendaki pengenalan terhadap realitas yang semakin tinggi dengan akhlak mulia. Dengan akhlak mulia, makhluk mengetahui ihwal dirinya di hadapan Allah, tidak melampaui batas. Pernikahan merupakan representasi nyata dari jalan bagi makhluk untuk mengenal realitas-realitas yang semakin tinggi. Raga diberi jalan mengenal realitas lebih tinggi berupa penyatuan dengan jiwanya, dan jiwa diberi jalan mengenal realitas lebih tinggi berupa ruh yang membawa urusan Allah. Pada tataran paling awal yang menyentuh wujud jasadiah, seorang perempuan diberi jalan berupa pernikahan dengan suaminya. 

Hal ini bukanlah ketidak-adilan. Seorang istri tidak akan terputus dari rahmat Allah bila suaminya tidak benar. Pada sisi lain, seorang suami juga tidak menyatu dengan nafs wahidah tanpa istri yang menjalin kasih sayang bersamanya, karena jiwa istri merupakan tempat tinggal yang lain bagi nafs wahidah seorang suami. Ketidakselarasan antara suami dan istri dalam usaha mengenal Allah hanya mempengaruhi efektifitas amal shalih yang menjadi amanat bagi mereka, tidak pada kualitas pengenalan (ma'rifah) masing-masing. Seorang istri shalihah yang bersuami jahat tetap akan diberi ilmu tentang suaminya sebagaimana Asiyah ra terhadap Fir'aun. Juga nabi Nuh dan Luth as tetaplah seorang nabi walaupun istrinya berkhianat. 

Awal perjalanan mengenal Allah bagi wanita adalah menjaga kehormatan bagi suaminya. Setara dengan hal ini, laki-laki harus bertekad untuk melayani nafs wahidah tidak tergelincir menghamba pada hawa nafsunya atau syahwatnya. Hal ini merupakan turunan dari akad memurnikan pengabdian kepada Allah, turunan dari sikap bertauhid yang harus diwujudkan hingga mencapai tataran tubuh masing-masing. Hukum menjaga diri tersebut juga berlaku pada jiwa agar jiwa mampu meniti perjalanan mendaki untuk mengenal Allah. Setiap wanita harus menjaga farji dan seluruh kehormatannya baik jiwa maupun raga bagi suaminya. Itu sikap turunan paling nyata dalam meniti tangga bertauhid. Dengan menjaga kehormatan inilah nafakh ruh mungkin akan terjadi. 

Akan sangat banyak ujian mendatangi sikap seperti ini, baik karena diundang kelemahan diri ataupun ujian yang diberikan tanpa sebab. Kekayaan atau keindahan paras laki-laki lain, interaksi dan keadaan internal suami isteri dan banyak hal lain dapat menguji sikap menjaga diri. Semua ujian itu seharusnya mematangkan dan memperjalankan seseorang menuju surga bila bersyukur. Bila sikap menjaga diri bersanding dengan sikap tenang (qanitah), seorang wanita akan tergolong sebagai wanita shalihah. 

Indikasi benarnya perjalanan mengenal Allah bagi wanita adalah tumbuhnya sifat-sifat wanita ahli surga dalam dirinya, berupa sifat subur (alwaluud), sifat sayang (alwaduud) dan keinginan untuk kembali kepada suami. Kesuburan tidaklah semata dalam hal berketurunan, tetapi juga dalam kemampuan untuk menumbuhkan segala sesuatu yang ada pada suami, memahami amal shalih suami. Setiap wanita yang bertakwa akan mendapatkan pengetahuan tentang suaminya. Ini akan mendukung keberhasilan suami dalam beramal shalih. Hanya sedikit istri rasulullah yang memberikan keturunan, tetapi ummahatul mukminin adalah wanita yang subur. 

Asiyah ra Isteri Fir'aun 

Asiyah ra adalah salah seorang ratu mesir, bersuamikan Firaun. Beliau adalah representasi kisah wanita mukminat dalam aspek jasadiah. Amal perbuatan jasadiah wanita mukminat hendaknya meniru apa yang dilakukan oleh Asiyah. 

Dalam keseharian, tujuan hidup seorang wanita adalah untuk bertempat di surga. Ini sedikit berbeda dengan laki-laki yang harus menetapkan tujuan hidup untuk mengenal Allah. Ini adalah konsekuensi jatidiri seorang wanita sebagai pembawa hakikat duniawi bagi suaminya, berbeda dengan laki-laki sebagai khalifatullah yang harus mengenal kehendak Allah. Sifat wanita ahli surga harus ditumbuhkan dalam pernikahan agar seorang wanita diberi tempat di surga. 

Sekalipun bersuamikan penjahat besar, Asiyah ra tumbuh menjadi wanita penghulu surga. Asiyah ra mengetahui bahwa Fir'aun sangat jahat sehingga beliau meminta perlindungan kepada Allah terhadap Fir'aun dan amal-amalnya, serta terhadap kaum yang dzalim. Namun demikian Asiyah tetap menjaga diri dan menumbuhkan sifat wanita ahli surga. 

Kesuburan hatinya terhadap Fir'aun tergambar dalam dialog mereka tentang bayi Musa. Asiyah sangat mengenal Fir'aun dengan pemikirannya sehingga berhasil dalam percakapan mempertahankan bayi Musa untuk diasuh di lingkungan istana. Kasih sayang (mawaddah) Asiyah ra tergambar dalam niat baiknya untuk memberikan qurrata 'ain bagi Fir'aun. Kembalinya kepada suaminya tergambar dalam keputusan pengasuhan bayi Musa dalam persetujuan Fir'aun. Perbuatan Asiyah ra harus dijadikan panutan bagi kaum mukminat agar tumbuh menjadi ahli surga. 

Pada kenyataannya, sebenarnya sifat wanita ahli surga tersebut berlaku untuk istri maupun suami. Seorang suami dan istri harus bersikap subur, penuh kasih dan menyertakan pasangannya dalam kehidupan mereka, hanya saja porsi masing-masing sedikit berbeda. Perbedaannya hanya pada peran, dimana laki-laki diberi keutamaan untuk mengenal Allah melalui nafs wahidah, sedangkan wanita berperan menundukkan aspek kebumian mereka. Seorang suami yang bertakwa juga akan diberi pengetahuan tentang keadaan istrinya sehingga bisa membimbing istrinya. Keduanya harus belajar menunggalkan kehidupan mereka dengan sarana sifat-sifat tersebut. Ini merupakan turunan tauhid, menyatukan insan dalam kehendak Allah. 

Pembagian peran tidak berimplikasi mengharuskan seorang istri berperan hanya dalam rumah tangga saja. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa setiap pihak harus berusaha menunggalkan kehidupan mereka, baik istri berkarir ataupun istri menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Sebagian diri seorang suami berada pada istrinya, dan juga sebaliknya, yang baik untuk diintegrasikan. Seorang suami mungkin justru akan mendapatkan banyak ilham bila istrinya mengerjakan bidang yang disukainya, ilham sebagai bayangan aspek diri suami yang mewujud, ataupun ilham sebagai bimbingan bagi pekerjaan yang dilakukan istrinya. Kadang seorang wanita merasa jenuh terjebak dalam kesibukan rumah tangga saja yang membuat ikatan rumah tangga semakin tidak baik. Setiap pasangan harus mempertimbangkan bersama, satu sama lain menjadi cermin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar