Pencarian

Kamis, 24 Oktober 2019

Membentuk Masyarakat Adil Paramartha




يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا 

"Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (nafs wahidah), dan (Allah) menciptakan pasangannya darinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan-Nya kamu saling meminta dan (bertakwalah) terhadap al-arham. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu."(QS. An-Nisa' 4: 1) 

Ayat tersebut bercerita tentang parameter keadilan dan keparamartaan, dengan ungkapan yang terperinci. Dua ayat berikutnya menjelaskan tentang manfaat dari pengetahuan tentang nafs wahidah pada ayat sebelumnya. 

Ayat kedua adalah perintah untuk memberikan harta kepada anak yatim. Bagi orang yang mengenal nafs wahidah, nafs wahidah adalah seorang ayah yang memberikan arah dalam menghamba kepada Allah dalam kehidupannya. Rezekinya ada di jalan penghambaannya. Orang yang tidak mengenal nafs wahidah akan terlihat sebagai yatim. Dengan perintah untuk memberikan harta kepada anak yatim, tidak hanya anak yatim tanpa ayah yang menjadi perhatian dirinya tetapi juga timbul keinginan memberikan bentuk-bentuk kekayaan yang diketahuinya dari nafs wahidahnya. Kekayaan dalam hal itu bukan berwujud harta benda saja, tetapi terutama kekayaan batiniah. Harta benda hanya bagian kecil dari kekayaan yang dimaksudkan. 

Memberikan kekayaan yang diketahuinya dari nafs wahidah kepada pemiliknya merupakan wujud sikap paramarta. Paramarta merupakan sikap batin manusia yang menjadi sarana mengalirkan kasih sayang Allah hingga kepada alam jasadiah. Dalam terminologi Al-Quran, paramarta sangat dekat dengan padanan kata al-arham. 

Al-arham dapat terbentuk dalam ikatan pernikahan. Bila seorang laki-laki berhasil mengenal nafs wahidah dirinya, dan bersama istrinya berhasil membangun kebersamaan dalam pemahaman, maka terwujud al-arham dalam pernikahan mereka. Seorang laki-laki yang mengenal nafs wahidahnya akan mengenal Allah, sedangkan istrinya menjadi pemimpin bagi semesta mereka agar terhubung dengan suaminya. Bila salah satu tidak terjadi, al-arham tidak terwujud dengan sempurna. 

Bila istri mendapatkan pemahaman tentang nafs wahidah suaminya yang shalih, sebenarnya istri akan menghadirkan semesta yang tepat bagi suaminya, terutama dengan doanya, disadari atau tidak. Dengan pemahaman, wujud doa dan harapan istri akan mendatangkan semesta yang tepat bagi suaminya, sedangkan tanpa pemahaman, wujud doa dan harapannya tidak tepat sasaran dan mungkin malah mendatangkan kekacauan bagi suaminya. 

Doa dan harapan seorang istri harus bersesuaian dengan keadaan suaminya. Keberhasilan seorang laki-laki shalih dalam tingkatan duniawi sangat bergantung pada istrinya. Seorang laki-laki shalih tidak akan berhasil tanpa istrinya. Untuk itu istri harus bertakwa. Pemahaman yang benar seorang istri terhadap suami adalah hasil ketakwaan, pada baik ataupun buruk suaminya. Asiyah ra memahami Fir'aun karena ketakwaan, begitu juga Khadijah ra memahami rasulullah Saw karena ketakwaan. 

Pengenalan terhadap nafs wahidah akan membuka pemahaman seorang laki-laki terhadap semestanya. Seseorang akan mengetahui apa yang terjadi pada semestanya berdasarkan kitabullah bila mengenal nafs wahidah. Pengetahuan itu adalah pengetahuan yang benar. Pengetahuan itu akan membuat dirinya menjadi adil, dapat berbuat adil. 

Tanpa pengetahuan itu, seseorang tidak dapat berbuat adil. Pengetahuan tentang nafs wahidah itu pada bagian besarnya adalah hadiah dari Allah, berupa ketersingkapan yang jelas, tiba-tiba pemahamannya terhadap semesta terbuka sesuai dengan kitabullah. Pemahaman ini harus dimanfaatkan untuk keadilan, dan keadilan harus digunakan untuk mewujudkan sikap paramarta, tidak hanya berhenti pada sikap adil. Dengan demikian akan terwujud masyarakat yang adil paramarta. 

Pernikahan dan Perjodohan sebagai sarana terwujudnya masyarakat adil paramarta. 


وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ 

"Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku setimbang terhadap para yatim, maka nikahilah perempuan yang sesuai bagimu: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 3) 

Pernikahan adalah setengah dari agama yang menjadi solusi bagi terwujudnya sikap paramarta. Pernikahan menjadi sarana bagi terbentuknya masyarakat paramarta. Untuk terwujudnya hal tersebut, pernikahan seharusnya dilakukan hanya terhadap perempuan-perempuan yang thayyib, atau yang lebih baik menikah dengan wanita pasangan jiwanya. 

Seorang laki-laki yang mengenal nafs wahidah akan mengenal juga pasangan wanita yang diciptakan dari nafs wahidahnya. Wanita itu akan membawa semesta yang seluruhnya merupakan urusan bagi nafs wahidahnya, tidak ada lainnya. Pada tingkatan lain, ada wanita-wanita yang banyak beririsan dengan urusan nafs wahidahnya. Bila dinikahi, semesta yang dibawa wanita itu tidak seluruhnya menjadi urusan bagi nafs wahidahnya. 

Seorang laki-laki yang adil harus memilih wanita yang baik dan beririsan paling besar dengan urusan dirinya, dengan sesedikit mungkin adanya semesta yang bukan urusan bersama. Itu adalah wanita thayyibah. Bila tidak memiliki pengetahuan tentang wanita yang dipilih, hendaknya seorang laki-laki menikahi satu perempuan saja. Dirinya tidak akan mampu berbuat adil tanpa pengetahuan tentang wanita yang dipilih. 

Demikian pula wali seorang wanita harus memilihkan pasangan dengan irisan amr paling besar dengan khazanah wanita tersebut. Bila mungkin, wanita tersebut seharusnya dinikahkan dengan pasangan asal jiwa sang wanita. Tidak boleh seorang wali menikahkan wanita kepada seseorang dengan pertimbangan harta dengan mengalahkan keberjodohan jiwa, karena masalah kekayaan bagi pasangan menikah adalah urusan Allah SWT. Kelak wali tersebut harus mempertanggungjawabkan pilihannya kepada Allah. Wali harus melibatkan wanita itu dengan memperhatikan secara komprehensif kecenderungan jiwanya, tidak hanya hawa nafsunya. 

Pengetahuan seseorang tentang wanita yang dipilih akan selaras dengan pengetahuan tentang nafs wahidah dirinya sendiri. Tanpa bekal pengenalan tentang diri sendiri, laki-laki tidak akan mengenal sang wanita yang diinginkan. Tentu laki-laki tersebut tidak akan mengetahui kedudukan wanita itu bagi dirinya, bila tidak memiliki pengetahuan tentang diri sendiri. Dengan mengenal dirinya, seorang laki-laki akan mengetahui kedudukan istrinya bagi dirinya. 

Kesesuaian pasangan tidak terkait langsung dengan rasa suka atau tidak, dan tidak terkait langsung dengan keberhasilan pernikahan. Seorang laki-laki dan perempuan yang diciptakan dari nafs wahidah yang sama belum tentu akan langsung saling memiliki rasa saling cinta. Munculnya rasa cinta (juga) terkait dengan bentuk-bentuk hawa nafsu yang terlahir dari jiwa dan jasad, sedangkan keberpasangan berada di tingkat nafs wahidah. Kadang seseorang yang telah mengenal nafs wahidahnya terhijab sementara waktu dalam mengenali dan mencintai pasangan jiwanya karena pengetahuan jasadiahnya dan hawa nafsunya. 

Cinta kasih merupakan hubungan yang harus dibangun antara suami dan istri. Cinta dapat terbentuk pada nafs wahidah ataupun pada hawa nafsu yang terlahir dari interaksi jiwa dan jasad seseorang. Cinta yang sejati berada pada nafs wahidah, sedangkan cinta pada tingkatan hawa nafsu harus dimanfaatkan untuk membangun cinta pada nafs wahidah. Ciri bahwa cinta terjadi pada nafs wahidah adalah cinta itu menjadi katalis kualitas ibadahnya kepada Allah. Misalnya ketika shalat bersama pasangan, terbit rasa sangat khusyu karena kebersamaan, tanpa adanya bayangan pasangannya sedikitpun dalam shalatnya. Bagi lajang, ini mungkin bisa menjadi tanda bahwa pasangan yang diinginkan adalah thayyib baginya, atau malah mereka berpasangan dari nafs wahidah yang sama. Kedua bentuk pasangan ini sangat baik, tetapi ada keutamaan pada pasangan jiwa yang tidak akan tergantikan. Paramartha hanya akan terbentuk sempurna pada pasangan dari nafs wahidah yang sama. 

Keberhasilan pernikahan merupakan fungsi dari keberhasilan membangun al-arham. Ini akan sangat terbantu bila berpasangan secara hakiki. Tetapi sepasang suami istri yang tercipta dari satu jiwa tidak selalu akan mudah menjalani pernikahan. Mereka dapat mengalami kegagalan total dalam pernikahannya, bahkan sekalipun bila keduanya terlihat atau merasa shalih. Pernikahan yang berhasil seharusnya mengantarkan suami mengenal Allah dan istri menghadirkan semesta bagi suaminya agar dapat berkiprah bagi umatnya. Tetapi kadangkala terjadi pemisahan antara suami istri akibat perbuatan syaitan melalui hawa nafsu. Bila terjadi kegagalan dalam pernikahan, belum tentu hal itu terjadi karena ketidaksesuaian antara suami istri. 

Pasangan yang diciptakan dari nafs wahidah seorang laki-laki tidak selalu satu orang wanita. Bisa jadi pasangannya berjumlah satu hingga empat wanita dalam derajat yang sama, dalam fungsi berbeda-beda. Kebersamaan ta'addud dalam hubungan demikian akan mewujudkan sinergi yang sangat baik bila semua pihak bertindak positif. Perlu berhati-hati untuk melakukan ta'addud bila terdapat salah satu atau lebih diantara para istri diciptakan dari nafs wahidah sedangkan yang lain tidak dalam derajat yang sama. Cinta kasih diantara pihak akan tidak berimbang.A

Tidak ada komentar:

Posting Komentar