Pencarian

Minggu, 28 Mei 2023

Berdzikir Kepada Allah

Manusia diciptakan sebagai khalifatullah di bumi yang harus menjadi pemakmur bumi. Pemakmuran di bumi akan dapat dilakukan manusia bila mereka mendzikirkan asma Allah. Pemakmuran dunia tidak dapat dicapai hanya dengan memakmurkan dunia saja, tetapi juga menyangkut hal-hal bathiniah yang ada, terutama terkait dengan manusia. Pencapaian duniawi saja secara semu dapat dilakukan dengan kerja keras atau bahkan dengan melakukan kedzaliman, tetapi hal itu bertentangan dengan prinsip keimanan. Pemakmuran dunia yang sesungguhnya hanya dapat dilakukan dengan memakmurkan jiwa dan raga yang ada di bumi, dan hal itu harus dilakukan di atas keimanan. Produktifitas seseorang pada puncaknya dihasilkan dari mengalirkan ke bumi rezeki dan segala sesuatu yang dijanjikan baginya di langit.

Bila manusia melupakan tugas mendzikirkan asma Allah, maka mereka akan tertimpa kehidupan yang sempit dan kelak mereka akan dikumpulkan pada hari kiamat dalam keadaan buta.

﴾۴۲۱﴿وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ
Dan barangsiapa berpaling dari mendzikirkan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta".(QS Thaahaa : 124)

Dzikir adalah upaya mewujudkan pemahaman yang ada dalam diri seseorang bagi semesta mereka. Kadangkala seseorang berdzikir dengan menghapal asma Allah dan menyebutkan asma tersebut dengan lisan mereka. Itu adalah berdzikir tingkat awal. Dzikir yang sebenarnya adalah upaya seseorang merealisasikan pemahaman mereka tentang kehendak Allah di semesta mereka. Ada dua hal yang harus dilakukan dalam dzikir, yaitu (1) memperoleh pemahaman terhadap obyek dzikir berupa ayat-ayat Allah dan (2) mewujudkan pemahaman yang diperoleh itu pada semesta mereka. Banyak manusia berupaya memakmurkan bumi, tetapi hanya sedikit yang merupakan dzikir kepada Allah. Suatu upaya pemakmuran tanpa memahami dengan benar ayat Allah yang sedang digelar tidak akan mendatangkan manfaat yang signifikan. Mendzikirkan asma Allah dalam kehidupan di bumi merupakan amanah yang dititipkan kepada setiap manusia sejak sebelum diciptakan di bumi.

Pemahaman tentang kehendak Allah adalah petunjuk yang diturunkan Allah kepada manusia. Manusia tidak dapat benar-benar memahami kehendak Allah dengan akalnya sendiri, tetapi Allah yang menurunkan petunjuk hingga sesorang memahami. Walaupun demikian, setiap orang harus menata pikirannya dengan benar mengikuti tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW sebagai sarana agar hatinya dapat berharap dan dapat menerima petunjuk, karena hanya orang yang berharap petunjuk yang akan memperolehnya. Bila seseorang memperoleh petunjuk, maka ia memperoleh jalan untuk memahami kehendak Allah. Banyak manusia memperoleh petunjuk tanpa mencari landasan dan arah dari Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, maka mereka pada akhirnya membangun ghirah agama berdasar hawa nafsu. Tidak ada hasil pemakmuran yang signifikan dari upaya demikian.

Mendzikirkan asma Allah merupakan tugas yang ditetapkan bagi setiap manusia. Allah telah menentukan kewajiban mendzikirkan asma Allah sebelum nabi Adam a.s dan Hawa diturunkan ke bumi, dan suatu peringatan difirmankan Allah ketika keduanya diturunkan ke bumi yaitu: “Dan barangsiapa berpaling dari mendzikirkan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". Maka itulah ketentuan yang harus selalu diingat oleh setiap diri manusia dalam kehidupan mereka di bumi. Merealisasikan pemahaman tentang kehendak Allah merupakan bentuk ibadah setiap manusia. Tidaklah manusia dan jin diciptakan Allah kecuali untuk beribadah, maka mendzikirkan asma Allah merupakan bentuk ibadah yang dikehendaki Allah.

Mendzikirkan-Nya merupakan amanah yang harus diemban oleh pasangan manusia. Peringatan itu disampaikan kepada pasangan manusia. Setiap pasang manusia baik laki-laki atau perempuan mengemban amanah yang sama bagi mereka, dan menyatu bagi pasangan manusia, bukan amanah perorangan saja. Untuk mendzikirkan asma Allah, mereka harus berusaha menemukan amanah bersama bagi mereka dan menunaikannya. Bila salah seorang di antara mereka berpaling dari amanah mendzikirkan-Nya, maka mereka akan memperoleh kehidupan yang sempit terutama bagi orang yang berpaling, dan ia akan dikumpulkan pada hari kiamat dalam keadaan buta.

Pada puncaknya, media yang dapat diperoleh manusia dalam mendzikirkan asma Allah adalah terbentuknya bayt untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah. Hal demikian terbentuk bila pasangan suami isteri mengikuti millah Ibrahim a.s berhijrah menuju tanah yang dijanjikan dan membina bayt untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah. Bayt demikian terbentuk dari kedua pihak suami isteri yang berpasangan, tidak dapat dilakukan perorangan. Setiap pihak harus memahami dengan benar kehendak Allah dan berupaya mewujudkan pemahaman mereka secara sinergis. Bila salah satu di antaranya tidak lurus, tidak akan terbentuk bayt demikian. Nabi Nuh a.s atau Asiyah isteri firaun tidak berhasil membentuk bayt walaupun keduanya orang-orang yang shalih.

Membentuk bayt demikian merupakan kiblat yang seharusnya dijadikan arah kehidupan setiap orang beriman mengikuti millah Ibrahim a.s. Dengan bayt yang baik, seseorang dapat mendzikirkan dan meninggikan asma Allah dengan baik. Bila sepasang manusia belum mencapai tanah suci yang dijanjikan bagi mereka berupa pengenalan diri, dengan kiblat yang benar niscaya upaya mereka dalam beribadah kepada Allah akan menghasilkan manfaat bagi masyarakat mereka walaupun barangkali masih dalam wujud ragawi saja belum dalam bentuk terbaik. Tanpa bayt yang baik, sepasang manusia yang menikah akah kesulitan memberikan manfaat bagi semesta mereka bahkan bilamana mereka menjadi nabi yang berkedudukan sangat tinggi sebagaimana nabi Nuh a.s. Sebagian orang tidak menikah karena tidak mengetahui kiblat bagi ghirah mereka kembali kepada Allah.

Membentuk bayt hendaknya selalu berpegang pada millah Ibrahim a.s, agar terhubung dengan sunnah Rasulullah SAW. Tujuan akhir perjalanan kehidupan setiap manusia adalah mengikuti Rasulullah SAW hingga menjadi hamba yang didekatkan kepada Allah, dan perjalanan itu hanya dapat dilakukan dengan mengikuti tahapan millah Ibrahim a.s. Tahap awal perjalanan kembali adalah berhijrah ke tanah yang dijanjikan berupa pengenalan diri sendiri, kemudian tahap berikutnya membentuk bayt untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah. Dengan langkah-langkah tersebut, seseorang dapat datang mengikuti Rasulullah SAW. Banyak detail dalam menempuh langkah-angkah mengikuti uswatun hasanah, maka hendaknya setiap orang memperhatikan tauladan uswatun hasanah.

Dalam beberapa kasus ditemukan rumah tangga yang salah bentuk, maka amal shalih mereka menghasilkan efek yang tidak dapat diduga arahnya. Sesuatu yang dimaksudkan untuk kebaikan belum tentu menghasilkan kebaikan atau pada beberapa bagian yang signifikan justru mendatangkan kerusakan. Bayt demikian bisa berkebalikan fungsinya dengan fungsi bayt yang seharusnya, dimana sepasang suami isteri dimudahkan untuk menemukan pijakan dan merumuskan langkah berdzikir, serta memperoleh koreksi kesalahan karena bayt yang terbentuk. Bila demikian keadaannya hendaknya mereka lebih bersungguh-sungguh memperhatikan ayat Allah baik berupa Alquran maupun alam kauniyah, tidak bermudah-mudah menjadikan baytnya untuk meninggikan asma Allah sebagaimana bayt yang berhasil. Dorongan penolakan terhadap ayat kitabullah berdasar petunjuk dalam diri harus dihindari karena akan menimbulkan kerusakan yang besar. Demikian pula dorongan memperdebatkan fakta kauniyah harus diredam. Keberadaan sahabat yang benar akan sangat membantu untuk berjalan dengan lurus sesuai kehendak Allah.

Berpaling dari Dzikrullah

Banyak manusia berpaling dari mendzikirkan asma Allah, maka mereka akan memperoleh kehidupan yang sempit dan kelak mereka akan dikumpulkan pada hari kiamat dalam keadaan buta. Sebagian manusia tidak berkeinginan mengenal Allah karena perhatian mereka tertuju pada pemenuhan keinginan hawa nafsu dan syahwat. Tidak terbatas pada hal demikian, sebagian orang memperoleh petunjuk akan tetapi mereka tidak berusaha mewujudkan pemahaman mereka bagi umatnya sebagai sarana menjadi hamba Allah karena berpaling kepada hal yang lain, maka mereka kelak akan termasuk pada orang yang berpaling dari mendzikirkan Allah. Mereka akan dikumpulkan pada hari kiamat dalam keadaan buta.

﴾۵۲۱﴿قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَىٰ وَقَدْ كُنتُ بَصِيرًا
Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?" (QS Thaahaa : 125)

Orang-orang demikian bukan orang yang dibiarkan dalam istidraj. Mereka orang yang mengalami kehidupan yang sempit dalam kehidupan dunia, dan dikumpulkan pada hari kiamat dalam keadaan buta. Kesempitan kehidupan mereka di dunia disebabkan karena mereka tidak menunaikan pemahaman mereka tentang kehendak Allah. Sebagian orang memandang petunjuk yang mereka terima tidak mempunyai nilai yang baik maka mereka kelak akan dibangkitkan dalam keadaan buta karena tidak dapat melihat nilai dari petunjuk yang diberikan kepada mereka. Tipisnya keimanan akan menjadikan mereka mengharap kehidupan yang baik di dunia dengan meninggalkan petunjuk, tetapi justru hal itu mengarah pada kehidupan yang sulit secara lahir dan bathin.

Setiap orang harus berusaha untuk mendzikirkan Allah dengan memohon petunjuk yang benar. Petunjuk yang benar adalah petunjuk yang mempunyai landasan dari kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Sebagian orang tidak peduli dengan petunjuk Allah. Sebagian orang memohon petunjuk Allah dan diberikan kepada mereka petunjuk. Ada orang yang kemudian memperoleh landasan yang baik dari kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, serta menjelaskan ayat kauniyah yang ada pada semesta mereka, maka mereka itu adalah orang-orang yang memperoleh petunjuk yang benar. Sebagian orang menerima petunjuk tanpa mencari landasannya dari kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, maka petunjuk itu boleh jadi benar atau boleh jadi tidak benar. Sulit bagi seseorang untuk berdzikir dengan keadaan demikian karena tidak mengenal ayat-ayat Allah dengan baik. Sebagian orang menerima petunjuk yang bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW maka sebagian dari mereka mengabaikan petunjuk itu, dan sebagian mengikuti petunjuk itu maka mereka akan menuju celaka.

Pencarian landasan dari kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW menunjukkan iktikad seseorang dalam memohon petunjuk. Bila seseorang ikhlas dalam memohon petunjuk Allah, maka mereka akan mencari landasan itu dengan sungguh-sungguh. Bila bercampur dengan hawa nafsu, mereka akan mudah mengikuti petunjuk yang mereka terima apapun bentuk petunjuk itu. Bila terlalu banyak hawa nafsu mempengaruhi upaya mereka mencari petunjuk, sebenarnya mereka tidak bersungguh-sungguh berharap petunjuk, karenanya mereka mungkin akan kembali buta. Orang yang terlalu banyak campuran hawa nafsu dalam mengharap petunjuk tidak akan dapat mendzikirkan asma Allah dengan media petunjuk-petunjuk yang mereka terima. Mungkin petunjuk itu berguna bagi duniawi mereka, tetapi mendzikirkan asma Allah hanya dapat dilakukan dengan mengenal ayat-ayat Allah yang dijelaskan pada hati mereka melalui petunjuk.

Proses kebutaan di hari kiamat kelak dapat terjadi melalui beberapa hal, yang disahkan dengan tanda perbuatan berpaling dari ayat-ayat Allah manakala dibacakan kepada mereka. Di antara proses kebutaan itu terjadi karena terlalu banyak campuran hawa nafsu dalam mengharapkan petunjuk, maka mereka berpaling dari ayat Allah. Atau seseorang tidak memanfaatkan petunjuk untuk mendzikirkan asma Allah. Terlalu banyak campuran hawa nafsu menghalangi manusia untuk mengenal dengan benar ayat-ayat Allah maka ia tidak memperoleh petunjuk yang berguna untuk berdzikir. Ada orang yang memilih beramal dengan amal yang lain setelah petunjuk yang diturunkan pada hatinya karena lebih memberi harapan duniawi, maka ia juga berpaling dari mendzikirkan Allah.

Selasa, 23 Mei 2023

Mengharap Rahmat Allah

Setiap orang beriman adalah orang-orang yang ingin mengenal kebenaran dan berbuat dengan landasan kebenaran. Untuk keinginan itu, mereka mengikuti Rasulullah SAW menjadi saksi bagi Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan memperoleh pengenalan kebenaran hakiki yang diperkenalkan Allah, kebenaran dari sisi-Nya hingga mencapai alam yang terjauh dari-Nya. Kebenaran hakiki itu adalah kebenaran di atas landasan kasih sayang dalam setiap bentuknya di semua tingkatan alam. Allah telah menetapkan bagi diri-Nya rahmat, secara khusus bagi orang-orang yang menginginkannya dengan cara yang benar, dan secara umum meliputi semua alam ciptaan-Nya. Rahmat berarti kasih sayang, yaitu sifat adanya kehendak untuk berbuat baik kepada yang dikasihi.

Manusia mempunyai kedudukan khusus dalam pengenalan terhadap rahmat Allah. Allah memberikan kepada manusia suatu tingkatan khusus dari rahmat-Nya yang berfungsi untuk pelaksanaan kedudukan diri mereka sebagai khalifatullah di muka bumi. Setiap manusia dapat mengenal rahmat-Nya hingga tingkatan yang tertinggi. Akan tetapi tingkatan itu tidak serta-merta diberikan. Manusia ditempatkan di alam yang terendah dan harus kembali kepada Allah untuk mengumpulkan pengenalan terhadap rahmat Allah, dan kemudian beramal dengan rahmat itu kepada makhluk lain agar Allah menambah kepadanya pengenalan rahmat-Nya.

Banyak ragam bentuk manusia dalam mengharapkan rahmat Allah. Sebagian manusia kembali dan menyeru kepada Allah manakala suatu bahaya menimpa mereka, sedangkan dalam keadaan lain mereka terlupa atau tidak merasa perlu melakukannya. Ini merupakan orang yang lemah dalam mengharap rahmat Allah. Sebagian orang-orang yang berharap lebih kuat kembali dan menyeru kepada Allah hingga Allah memberikan rahmat-Nya. Di antara yang memperoleh rahmat, ada orang-orang yang memperoleh sedikit bagian dari rahmat-Nya, akan tetapi justru karena karunia itu mereka kemudian menjadi syirik kepada Allah.

﴾۳۳﴿وَإِذَا مَسَّ النَّاسَ ضُرٌّ دَعَوْا رَبَّهُم مُّنِيبِينَ إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا أَذَاقَهُم مِّنْهُ رَحْمَةً إِذَا فَرِيقٌ مِّنْهُم بِرَبِّهِمْ يُشْرِكُونَ
﴾۴۳﴿لِيَكْفُرُوا بِمَا آتَيْنَاهُمْ فَتَمَتَّعُوا فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ
(33)Dan apabila manusia disentuh oleh suatu bahaya, mereka menyeru Tuhannya dengan kembali bertaubat kepada-Nya, kemudian apabila Tuhan merasakan kepada mereka barang sedikit rahmat daripada-Nya, tiba-tiba sebagian dari mereka mempersekutukan Tuhannya, (34) agar mereka kufur terhadap rahmat yang telah Kami berikan kepada mereka. Maka bersenang-senanglah kamu sekalian, kelak kamu akan mengetahui. (QS Ar-Ruum : 33-34)

Hendaknya setiap manusia menginginkan rahmat Allah secara utuh. Keadaan demikian dapat diberikan Allah bila seseorang membangun diri sebagai seseorang yang mempunyai keinginan terhadap kebaikan dalam setiap keadaan, tidak terlena oleh keinginan syahwat dan hawa nafsu hingga mengalahkan keinginan untuk berbuat baik. Bila seseorang mendahulukan keinginan syahwat dan hawa nafsu dalam beramal, keadaan mereka akan lemah dalam mengharapkan rahmat Allah. Pada sebagian manusia, mereka kembali dan menyeru Allah hanya manakala suatu bahaya mengancam mereka. Pada sebagian manusia, manakala Allah memberikan sedikit bagian dari rahmat-Nya, maka mereka kemudian mempersekutukan Allah.

Pada kasus tertentu Allah menguji keikhlasan hamba-Nya dengan memberikan sedikit bagian dari rahmat yang khusus, tetapi pemberian bagian rahmat itu dijadikan sebab untuk memperlihatkan celah keikhlasan mereka yang belum sepenuhnya. Dengan memberikan bagian rahmat itu, Allah berkehendak memperlihatkan agar seseorang berbuat kufur dengan bagian rahmat yang diberikan itu, maka orang-orang demikian kemudian berbuat kufur. Dalam peristiwa demikian, Allah tidak menghendaki seseorang berbuat kufur, tetapi Dia berkehendak memperlihatkan sesuatu yang harus mereka benahi terkait dengan rahmat Allah, tidak menyangka bahwa diri mereka sudah benar-benar layak memperoleh rahmat tersebut karena keadaan dirinya sendiri.

Mempersekutukan Allah yang dilakukan orang-orang yang memperoleh sedikit bagian dari rahmat Allah seringkali bukan berbentuk menyeru tuhan selain Allah, akan tetapi dalam bentuk mempertuhankan hawa nafsu. Sedikit bagian rahmat yang dikaruniakan Allah kepada seseorang dapat melambungkan hawa nafsu hingga orang yang menerimanya kemudian justru mempertuhankan hawa nafsu mereka sendiri, tidak tetap berpijak dengan kokoh pada keikhlasan dengan mengikuti kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Mereka melupakan penghambaan dirinya dam terlena dengan karunia. Karena keadaan demikian, mereka kemudian mempersekutukan rabb mereka.

Jalan Menuju Rahmat

Rasulullah SAW dan kitabullah Alquran merupakan mata air dan jalan rahmat Allah yang paling utama bagi semesta alam yang diturunkan mencapai alam mulkiyah manusia. Allah menurunkan keduanya sebagai rahmat bagi semesta alam. Sumber rahmat Allah tersebut kemudian dipanjangkan secara parsial oleh para ahli pada bidang masing-masing secara terintegrasi kepada sumbernya, tidak terpisah. Para ahli tersebut merupakan orang-orang yang mengenal penciptaan diri mereka dan mereka bersama-sama dengan Rasulullah SAW dalam amr jami’. Mereka bisa saja salah dalam suatu masalah, tetapi selalu beri’tikad dan berusaha menyatukan diri mereka mengikuti Rasulullah SAW dan kitabullah tanpa pernah ingin menyelisihi atau menentang. Suatu bagian rahmat Allah bagi manusia yang tidak terintegrasi dengan sumber dan jalan-jalan rahmat Allah yang benar dapat menjadi suatu sumber kekufuran.

Ada hirarki pada jalan menuju rahmat Allah. Rasulullah SAW dan kitabullah adalah jalan rahmat Allah yang tertinggi dan tidak ada kesalahan pada kedua kemuliaan tersebut. Banyak orang yang bersungguh-sungguh mengikuti beliau SAW, maka mereka memperpanjang rahmat itu bagi umat mereka. Tetapi mereka sangat mungkin berbuat salah. Untuk menemukan jalan rahmat, seseorang dapat mencari dan mengikuti arahan orang yang mengenal rahmat Allah yang dekat kepada mereka, tetapi harus dengan berpegang pada kitabullah dan tuntunan Rasulullah SAW tidak melepaskannya sedikitpun untuk dikalahkan dengan ketaatan pada yang lain.

Mereka memiliki keinginan terhadap pengetahuan kitabullah bukan karena mereka menginginkan ketinggian ilmunya, tetapi semata karena rahmat yang terkandung di dalamnya. Itu merupakan turunan dari sifat Rasulullah SAW. Tidaklah Rasulullah SAW mengharapkan Alquran diturunkan kepada diri beliau SAW karena keunggulan yang terkandung pada Alquran tersebut, tetapi karena kandungan rahmat Allah yang dapat dibagikan kepada semesta alam dari Alquran tersebut. Itu merupakan bentuk pengenalan tertinggi kepada Allah. Demikian pula para ahli yang memperpanjang rahmat Allah bagi semesta mereka bersikap seperti Rasulullah SAW, yaitu mereka tidak ingin mempertunjukkan ketinggian ilmu kitabullah yang diberikan kepadanya tetapi hanya berkeinginan menunjukkan jalan bagi manusia menuju rahmat Allah.

﴾۶۸﴿وَمَا كُنتَ تَرْجُو أَن يُلْقَىٰ إِلَيْكَ الْكِتَابُ إِلَّا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ ظَهِيرًا لِّلْكَافِرِينَ
Dan kamu tidak pernah mengharap agar Al Quran diturunkan kepadamu, tetapi (hanyalah) karena sebagai rahmat dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu menjadi penolong bagi orang-orang kafir (QS al-Qashas : 86)

Integrasi terhadap kesatuan sumber dan jalan rahmat Allah menjadi hal utama yang diperhatikan oleh orang yang mengenal rahmat Allah. Mereka tidak akan menentang orang yang menunjukkan kepada mereka jalan menuju rahmat Allah, kecuali dalam hal yang jelas bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Mereka mampu merendahkan hati mereka kepada siapapun untuk mendengar hal yang menyatukan diri mereka pada rahmat Allah. Mereka tidak ingin berpisah dari kesatuan rahmat Allah, sekalipun terpisah hanya dalam bentuk berada di atas bagian dari rahmat Allah yang terpisah.

Berada di atas bagian dari rahmat Allah tidak akan membuat mereka tenteram. Mereka tidak akan berbuat tanpa menyatu dengan landasan petunjuk Allah melalui Rasulullah SAW dan kitabullah. Mereka akan berusaha menemukan landasan amal baik secara langsung maupun dalam bentuk turunannya. Bila mereka berbuat bertentangan dengan tuntunan Allah karena bagian rahmat yang diterima, mereka menyadari bahwa sangat mungkin mereka itu termasuk orang yang dikehendaki Allah untuk diperlihatkan kekufuran mereka karena rahmat Allah. Mereka mengetahui diri mereka termasuk kufur karena bagian dari rahmat Allah.

Ada persoalan bagi orang-orang yang mengenal rahmat Allah terkait memanjangkan rahmat-Nya bagi semesta alam. Mereka berkeinginan menyampaikan rahmat Allah yang dikenalinya, dan hal itu bertentangan dengan orang-orang yang berbuat kafir. Orang yang kafir akan menutup, menghalangi, mempersulit atau menjauhkan manusia dari rahmat Allah. Setiap hal yang berlawanan dengan rahmat Allah termasuk bagian dari kekufuran, dan orang yang berbuat demikian terperosok dalam golongan kafir. Sebagian orang kafir berasal dari orang jahat, dan banyak variasinya hingga sebagian orang kafir berasal dari kalangan orang yang memperoleh bagian rahmat Allah. Orang yang berusaha menunjukkan jalan menuju rahmat Allah tidak dibolehkan menolong orang-orang dalam kekufuran mereka.

Larangan membantu orang kafir pada ayat di atas lebih ditujukan kepada orang yang berusaha menunjukkan jalan bagi umatnya menuju rahmat Allah berdasar kitabullah Alquran. Orang yang berupaya menunjukkan jalan menuju rahmat Allah tanpa landasan kitabullah tidak termasuk dalam kelompok tersebut secara langsung, tetapi harus mengikuti aturan tersebut. Rahmat Allah yang dikenalinya barangkali hanya ujian Allah, atau sebenarnya bukan rahmat Allah tetapi disangka rahmat Allah. Hendaknya mereka tidak mengukur kekufuran orang lain yang berbeda dengan mereka, dan hendaknya mereka lebih mengukur kekufuran diri sendiri agar dapat menghindarinya. Pada pokoknya, suatu pemahaman tentang kebaikan hendaknya tidak berbalik menjadi suatu perbantahan sia-sia di antara manusia. Seringkali tidak ada manfaat bagi seseorang mengukur kekufuran orang lain, kecuali bagi orang-orang yang memperoleh amanah membina umat manusia agar umat manusia tidak mengikuti suatu kekufuran. Bila melakukannya, mereka mengukur pula kadar kesombongan dan kebanggaan yang mungkin tumbuh dalam dirinya. Bilamana suatu kekufuran tampak jelas, setiap orang tidak boleh membantu orang-orang kafir.

Kufur dan Syirik Tersembunyi

Kekufuran seringkali tidak disadari oleh orang-orang yang melakukannya. Bahkan hingga mencapai kesyirikan, kadang manusia tidak merasa telah menyembah sesuatu selain Allah. Mereka memandang amal-amal yang mereka lakukan adalah bentuk ibadah kepada Allah, tidak merasakan adanya kandungan kufur atau kesyirikan dalam ibadah yang mereka lakukan, sedangkan sebenarnya telah terjadi kufur dan kesyirikan dalam amal mereka. Kandungan kesyirikan itu kelak di akhirat akan mereka sadari dengan melihat bahwa bahwa tujuan ibadah mereka lenyap dari mereka, tanpa mengira sebelumnya bahwa ibadah mereka tercampuri kesyirikan.


﴾۴۷﴿مِن دُونِ اللَّهِ قَالُوا ضَلُّوا عَنَّا بَل لَّمْ نَكُن نَّدْعُو مِن قَبْلُ شَيْئًا كَذٰلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ الْكَافِرِينَ
﴾۵۷﴿ذٰلِكُم بِمَا كُنتُمْ تَفْرَحُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنتُمْ تَمْرَحُونَ
(74)(yang kamu sembah) selain Allah?" Mereka menjawab: "Mereka telah hilang lenyap dari kami. Tetapi kami dahulu tiada pernah menyembah sesuatu". Seperti demikianlah Allah menyesatkan orang-orang kafir. (75)Yang demikian itu disebabkan karena kamu berbangga di muka bumi dengan tidak benar dan karena kamu selalu bersuka-ria. (QS Al-Mu’min : 74-75)

Keadaan demikian terjadi karena seseorang atau suatu kaum melakukan ibadah mereka berdasarkan suatu kebanggaan yang tidak haq dan kesenangan. Kebanggaan terhadap sesuatu yang diikuti oleh suatu kaum seringkali merupakan bentuk perluasan dari suatu kebanggaan terhadap diri sendiri, dan kebanggaan terhadap diri merupakan bentuk mempertuhankan hawa nafsu. Ibadah-ibadah yang dilakukan berdasarkan landasan kebanggaan seringkali merupakan bentuk kesyirikan yang seringkali tidak disadari oleh para pelaku ibadah. Bentuk kebanggaan dalam ibadah yang demikian seringkali ditandai dengan kesertaan mereka dalam firqah-firqah dan masing-masing berbangga dengan yang ada pada firqah mereka. Demikian pula orang yang membangun firqah dan berbangga, mereka membangun kesyirikan tanpa mereka sadari. Kadangkala kesyirikan itu terlihat dalam wujud menjadikan panutan mereka berkedudukan lebih tinggi daripada sunnah Rasulullah SAW dan firman Allah.

Tujuan ibadah di antaranya adalah untuk memperoleh rahmat Allah. Tujuan demikian tidak akan dicapai bila seseorang atau suatu kaum membanggakan apa yang ada pada kelompok mereka, sekalipun dalam ibadahnya. Tujuan ibadah demikian hanya dapat dicapai dengan membina kasih sayang, menyayangi orang lain sama seperti menyayangi diri sendiri dan bersedih bila orang lain mengalami musibah sebagaimana kesedihan bila dirinya mengalami musibah. Demikian pula mereka menyayangi diri sendiri tidak ingin diri mereka tertimpa mushibah sedangkan yang lain selamat karena ia tidak mampu mendengar seruan yang benar oleh kebanggaan yang tumbuh dalam dirinya.

Bila ibadah dilakukan di atas landasan kasih sayang, tidak akan muncul kebanggaan pada diri maupun kelompok. Manakala melihat suatu kekurangan pada orang lain atau kelompok lain, mereka berusaha memperbaiki atau menutupinya, tidak membanggakan diri mereka sendiri di antara orang lain dan tidak mencela kekurangan itu untuk memperburuk mereka dalam pandangan orang lain. Demikian pula mereka merendahkan hati mereka agar dapat mengenali kebenaran dari orang lain. Walaupun demikian, hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa mengharap rahmat Allah harus dilakukan seseorang dengan memerangi orang lain atau kelompok lain yang keliru manakala diperlukan.

Hal lain yang menunjukkan adanya kekufuran diri yang seringkali tidak disadari manusia adalah bersenang-senang. Bersenang-senang dalam ayat ini menunjuk pada keadaan seseorang yang menjadikan pencapaian duniawi sebagai parameter utama kepuasan dalam amal-amal mereka. Keadaan demikian dalam prakteknya hampir selalu disertai dengan turunnya kepedulian terhadap orang lain. Sangat rendah atau tidak ada kasih sayang di antara kaum yang menjadikan pencapaian duniawi sebagai parameter utama dalam melaksanakan amal-amal. Hal itu menunjukkan adanya suatu kekufuran yang tersembunyi dari pandangan, dan hal itu akan mereka sadari paling lambat kelak ketika tiba di akhirat.

Setiap manusia diciptakan di dunia dan dijadikan pemakmurnya. Pemakmuran dunia tidak dapat dicapai hanya dengan memakmurkan dunia saja, tetapi juga menyangkut hal-hal bathiniah yang ada, terutama terkait dengan manusia. Pencapaian duniawi saja secara semu dapat dilakukan dengan kerja keras atau bahkan dengan melakukan kedzaliman, tetapi hal itu bertentangan dengan prinsip keimanan. Pemakmuran dunia yang sesungguhnya hanya dapat dilakukan dengan memakmurkan jiwa dan raga yang ada di bumi, dan hal itu harus dilakukan di atas keimanan. Produktifitas seseorang pada puncaknya dihasilkan dari mengalirkan rezeki dan segala sesuatu yang dijanjikan baginya di langit. Seringkali produktifitas seseorang tidak berbanding linear dengan kesibukan yang dilakukannya.



Selasa, 16 Mei 2023

Mengikuti Sunnah Rasulullah SAW

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Akhlak al-karimah akan diperoleh seseorang apabila ia membentuk akhlak al-quran dalam dirinya. Ia dapat mensikapi seluruh peristiwa yang terjadi di alam kauniyah sejalan dengan kitabullah Alquran. Akhlak Alquran yang paling sempurna adalah Rasulullah SAW.

Orang-orang yang mengikuti langkah Rasulullah SAW dengan baik akan diberi ketakwaan mereka, dan dengan melaksanakan ketakwaan itu, mereka berbuat takwa dan mereka akan menjadi harum dengan ketakwaan yang ditunaikan. Di akhirat kelak, mereka akan dihantarkan menuju surga dan akan hidup kekal di dalamnya.

﴾۳۷﴿وَسِيقَ الَّذِينَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا حَتَّىٰ إِذَا جَاؤُوهَا وَفُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلَامٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوهَا خَالِدِينَ
Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam surga berombong-rombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: "Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, kalian telah menjadi thayyib! maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya" (QS Az-Zumar : 73)

Orang bertakwa diantar menuju surga dengan berombongan-rombongan. Rombongan pertama yang sampai ke surga akan menemukan pintu surga telah terbuka bagi mereka, dan penjaga-penjaga surga itu akan mengucapkan salam kepada mereka, dan kemudian mereka diperintahkan untuk memasuki surga itu dan akan tinggal di surga itu secara kekal. Kelompok pertama itu adalah orang-orang yang menyatukan diri dalam jihad bersama-sama dengan Rasulullah SAW dengan penuh keimanan.

Bila seseorang mengenali kebenaran dan melangkah menempuh kehidupan sesuai dengan kehendak-Nya, seseorang dapat datang kepada Rasulullah SAW dengan dasar keimanan kepada ayat-ayat Allah. Bila seseorang datang kepada Rasulullah SAW dengan keadaan demikian, Rasulullah SAW akan menyambut mereka dengan kegembiraan, menyampaikan salam dan menyampaikan pesan Allah bagi mereka. Mereka yang memperoleh salam Rasulullah SAW dengan cara demikian merupakan kelompok pertama yang tiba di pintu surga. Salam beliau SAW mempunyai derajat lebih tinggi dari salam para penjaga surga. Salam beliau SAW secara khusus ditujukan diantaranya kepada orang-orang yang menginginkan penyatuan langkah bersama beliau SAW berdasarkan keimanan terhadap ayat-ayat Allah.

﴾۴۵﴿وَإِذَا جَاءَكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِنَا فَقُلْ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَىٰ نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ أَنَّهُ مَنْ عَمِلَ مِنكُمْ سُوءًا بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابَ مِن بَعْدِهِ وَأَصْلَحَ فَأَنَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah: "Salaamun ‘alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya rahmat, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS Al-An’aam : 54)

Kaum muslimin hendaknya berusaha untuk menyatukan langkah pada jejak langkah Rasulullah SAW. Penyatuan langkah itu dilakukan dengan memahami arah kehidupan yang dicontohkan Rasulullah SAW dengan keimanan, dan kemudian menempuh langkah mengikuti. Tidak dikatakan mengikuti sunnah Rasulullah SAW orang-orang yang sibuk meniru syariat beliau SAW tanpa memperhatikan arah kehidupan yang dicontohkan beliau SAW, sedangkan mereka menimbulkan pertengkaran membanggakan polah mereka di antara saudara muslim mereka dan memecah-belah manusia dalam pertengkaran-pertengkaran.

Landasan untuk mengikuti langkah Rasulullah SAW adalah keimanan, dimana seseorang dapat mengenali kebenaran sesuai kehendak Allah dengan keimanannya tanpa ada hijab yang mempengaruhi akurasi pengenalan kebenaran itu, dan ia dapat berbuat sesuai kehendak-Nya dengan rasa syukur. Seandainya suatu kebenaran dikatakan oleh orang yang dipandang hina, seorang beriman harus mengenali kebenaran itu dengan keimanannya, dan bila suatu kekufuran dikatakan oleh para pembesar mereka, mereka harus mengenali kekufuran itu tidak membenarkannya. Itu adalah keimanan yang disyaratkan untuk dapat menyatukan langkah mereka pada jejak langkah Rasulullah SAW.

Millah Ibrahim a.s

Penyatuan langkah bersama Rasulullah SAW merupakan puncak perjalanan yang dapat ditempuh oleh setiap manusia. Sebelum itu, terdapat langkah pendahuluan yang menjadi persyaratan yang harus ditempuh, yaitu perjalanan hijrah menuju tanah yang dijanjikan sebagaimana dicontohkan oleh nabi Musa a.s hijrah bersama bani Israel menuju tanah yang dijanjikan, kemudian membina bayt untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah sebagaimana millah nabi Ibrahim a.s membina bayt di tanah suci bersama keluarga beliau a.s. Bila seseorang telah menempuh langkah pendahuluan tersebut, maka ia dapat menyatukan langkah bersama Rasulullah SAW sebagaimana disebutkan ayat di atas.

Membina bayt merupakan millah nabi Ibrahim a.s bersama dengan keluarga beliau a.s. Sebenarnya berhijrah dan membina bayt merupakan millah Ibrahim a.s, sedangkan millah itu kemudian diperinci hingga tampak sebagai dua millah terperinci secara berbeda. Bani Israel mendzahirkan langkah millah berhijrah dengan perjalanan nabi Musa a.s memimpin bani Israel menuju tanah yang dijanjikan, sedangkan nabi Ismail a.s mendzahirkan langkah millah membina bayt setelah berhijrah ke tanah suci. Kedua rincian millah tersebut harus diikuti oleh setiap muslimin tanpa melupakan salah satunya. Membina bayt tidak dapat dilakukan tanpa berhijrah ke tanah yang dijanjikan, dan berhijrah ke tanah yang dijanjikan harus diikuti dengan membina bayt untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah. Keduanya merupakan perincian dari satu millah yang sama yang tidak dapat dipisahkan.

Tanah yang dijanjikan adalah pengenalan terhadap jati diri penciptaan setiap orang. Setiap orang diciptakan dari suatu nafs wahidah tertentu yang mempunyai ketetapan amal-amal yang harus dilakukannya sebagai bentuk penghambaan dirinya (ibadahnya) kepada Allah. Amal tersebut bukan berupa syariat yang merupakan jalan yang diberikan Allah kepada hamba untuk memenuhi kebutuhannya kepada Allah, tetapi berupa amal yang ditetapkan bagi masing-masing untuk ditunaikan dalam kehidupannya bagi makhluk lain. Ketetapan amal itu akan diketahui seseorang manakala Allah memberikan kepadanya ketakwaan masing-masing. Orang yang berusaha bertakwa belum akan mengetahui ketetapan amal itu hingga Allah memberikan kepadanya ketakwaannya.

Setiap orang hendaknya berusaha berhijrah untuk menemukan tanah yang dijanjikan bagi masing-masing. Pengenalan terhadap penciptaan diri seseorang merupakan tanah yang dijanjikan yang menjadi tempatnya membina bayt. Tanpa berhijrah dan menemukan tanah itu, seseorang tidak mempunyai tempat yang tepat untuk membina bayt bagi dirinya untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah.

Bayt merupakan sarana menghubungkan kehendak Allah di alam amr yang tinggi hingga terwujud di alam dunia yang rendah. Membina bayt merupakan penataan diri seseorang untuk melaksanakan peran sosial dirinya sesuai kehendak Allah. Peran sosial seseorang akan terbina bila rumah tangga tertata, dan rumah itu menjadi bayt manakala terbina sesuai dengan kehendak Allah. Seorang suami harus terbina nafsnya hingga tumbuh sebagai pohon thayibah yang berbuah hingga minyak di dalam misykatnya ternyalakan, dan isterinya mengikuti suaminya menunaikan amal yang menjadi amanah Allah. Seorang isteri berperan sebagai ibu yang melahirkan dan menumbuhkan segala aspek duniawi bagi suami dan dirinya, sebagaimana isteri nabi sebagai umul mu’minin. Kesatuan di antara suami dan isteri dalam amr Allah merupakan sarana penghubung kehendak Allah mengalir ke dunia.

Sebagian manusia menganggap baytullah adalah hati manusia. Hal ini menunjukkan hati sebagai syarat bayt. Tidak ada bayt tanpa ada seorang laki-laki yang mengasah misykat dirinya hingga Allah menyalakan ruh di dalamnya. Akan tetapi wujud hati demikian bukanlah bayt yang dijadikan kiblat bagi manusia menuju Allah. Manusia dengan kriteria hati demikian dikatakan sebagai rijal, sedangkan bayt merupakan bentuk perluasan diri seorang rijal hingga lingkungan sosial. Setiap manusia harus membina dirinya sebagai makhluk di alam dunia. Kecintaan dalam hati seseorang kepada Allah harus terwujud di alam dunia karena mereka diciptakan untuk menjadi khalifatullah di bumi, tidak sama dengan malaikat yang menjadi makhluk langit. Kiblat bayt bagi seorang manusia tidak hanya berbentuk malakutiyah, tetapi harus diperluas hingga wujud sosial diri mereka di alam dunia, dan itu adalah tatanan keluarga sesuai dengan kehendak Allah.

Kesatuan kehendak Allah dengan alam bumi tidak terwujud bila bayt terputus pada salah satu bagian. Bila seorang laki-laki mengenal diri kemudian memisahkan diri dari amr Allah, ia akan memutuskan keterhubungan amr Allah ke dunia. Demikian pula manakala seorang isteri tidak dapat bersepakat terhadap suaminya dalam urusan Allah, ia telah menjadi titik terputusnya keterhubungan amr Allah ke dunia. Hal demikian bukan hal yang mustahil terjadi. Seorang laki-laki dapat kembali kufur, atau terperosok pada kekufuran ketika ia tiba pada tanah haram mereka. Demikian pula seorang perempuan dapat memperoleh suatu amr yang sebenarnya amr itu terputus dari kehendak Allah.

Pengenalan diri seseorang akan disertai dengan terbitnya tanduk syaitan. Hal ini harus diperhatikan dengan baik. Bila seseorang menempuh perjalanan lanjutan setelah pengenalan diri dengan cara bertentangan dengan kitabullah, ia terjebak pada kekufuran setelah tiba di tanah haram. Keimanannya tidak sepenuhnya benar. Ia mempunyai keimanan terhadap hal bathil dan memiliki pula kekufuran terhadap nikmat Allah. Mungkin hal demikian berjalan bersama dengan keimanannya yang benar, tetapi seharusnya tidak terjadi di tanah haram. Setiap manusia berbuat kesalahan, akan tetapi kesalahan demikian itu terkait dengan perkara keimanan. Keimanan terhadap hal bathil seringkali mendatangkan hal yang sangat berbahaya.

Kebengkokan pada perempuan dapat terjadi dengan cara yang sedikit berbeda. Bila seorang perempuan memperoleh amr Allah dari laki-laki selain suaminya, ia sangat mungkin terpisah dari amr Allah yang benar. Amr Allah bagi seorang perempuan serupa dengan peristiwa Asiyah isteri Firaun dalam urusan menemukan bayi Musa. Seorang isteri seharusnya terlibat dalam urusan Allah yang sama dengan urusan suaminya, walaupun mungkin dengan arah tujuan yang berbeda. Bila seorang perempuan meninggalkan suaminya yang berusaha melaksanakan urusan Allah mengikuti laki-laki lain, ia tersesat dari jalan Allah.

Kedua kasus yang terjadi pada laki-laki dan perempuan demikian sebenarnya mempunyai keserupaan, yaitu terputus dan melencengnya mereka dari kiblat baitullah sebagai millah Ibrahim a.s dan tentu juga melenceng dari sunnah Rasulullah SAW. Setiap orang harus mengambil kiblat kehidupan ke bayt al-haram. Bayt al-aqsha hanyalah qiblat sementara yang harus segera dipindah ke bayt al-haram pada waktunya. Pengenalan diri hanyalah kiblat sementara yang menjadi milestone untuk dilalui, bukan sebagai tujuan tetap. Membentuk bayt untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah harus dilakukan dengan cara mengikuti millah nabi Ibrahim a.s, membina bayt al-haram tidak menempuh cara yang bertentangan dengan tuntunan kitabullah.

Akan dijumpai banyak masalah dalam mengarahkan rumah tangga mengikuti millah Ibrahim a.s. Dalam beberapa kasus, seseorang dituntut untuk mengikuti dengan cara yang sangat mendekati bentuk bayt nabi Ibrahim a.s. Kadang sepasang suami isteri mengalami kemandulan amal shalih layaknya kesulitan siti Sarah untuk hamil hingga usia lanjut sebelum dapat melahirkan. Kadangkala seorang isteri mengalami penyanderaan oleh syaitan layaknya Firaun merebut siti Sarah dari nabi Ibrahim a.s sebagai isteri. Hal demikian tidak menunjukkan sifat tercela atau hal yang memalukan pada keluarga itu, tetapi ada urusan Allah yang harus diperhatikan. Akan banyak masalah yang diberikan agar mereka membina keluarga sesuai dengan kehendak Allah. Bila pasangan yang mengalami hal demikian melupakan kiblatnya untuk membentuk keluarga sesuai dengan kehendak Allah, mereka akan terus terpuruk dalam masalah mereka. Masalah yang menimpa terjadi karena boleh jadi mereka tidak menempuh jalan kembali kepada Allah dengan baik. Bentuk bayt sesuai dengan kehendak Allah itu menjadi jalan bagi mereka kembali kepada Allah, bukan sekadar jalan keluar dari masalah.

Orang-orang yang berhasil mengikuti millah Ibrahim a.s membentuk bayt sesuai dengan kehendak Allah merupakan orang-orang datang kepada Rasulullah SAW dengan keimanan. Rasulullah SAW akan menyampaikan salam kepada mereka, dan mereka itu merupakan rombongan pertama yang mencapai pintu surga.



Kamis, 11 Mei 2023

Membina Kethayiban Diri

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Akhlak al-karimah akan diperoleh seseorang apabila ia membentuk akhlak al-quran dalam dirinya. Ia dapat mensikapi seluruh peristiwa yang terjadi di alam kauniyah sejalan dengan kitabullah Alquran. Akhlak Alquran yang paling sempurna adalah Rasulullah SAW.

Banyak orang tidak berkeinginan mengikuti seruan Rasulullah SAW, sedangkan Rasulullah SAW menyeru mereka untuk membentuk diri dalam akhlak mulia. Demikian pula banyak pengikut Rasulullah SAW menyeru mereka untuk membentuk akhlak mulia, tetapi mereka tidak bergeming mengikuti. Mereka itu adalah orang-orang kafir, dan mereka kelak akan digiring ke neraka karena akhlak buruk mereka.

﴾۱۷﴿وَسِيقَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِلَىٰ جَهَنَّمَ زُمَرًا حَتَّىٰ إِذَا جَاؤُوهَا فُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِّنكُمْ يَتْلُونَ عَلَيْكُمْ آيَاتِ رَبِّكُمْ وَيُنذِرُونَكُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هٰذَا قَالُوا بَلَىٰ وَلٰكِنْ حَقَّتْ كَلِمَةُ الْعَذَابِ عَلَى الْكَافِرِينَ
Orang-orang kafir digiring ke neraka Jahannam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: "Apakah belum pernah datang kepadamu rasul-rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan dengan hari ini?" Mereka menjawab: "Benar (telah datang)". Tetapi telah pasti berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang yang kafir. (QS Az-Zumar : 71)

Mereka adalah orang-orang yang tidak dapat mengerti seruan kebenaran yang disampaikan oleh para rasul kepada mereka, maka mereka mengabaikan kebenaran itu. Bila seseorang mempunyai keinginan dan berusaha membina jiwanya dalam kebaikan, niscaya mereka dapat mendengar kebenaran sesuai dengan kebaikan yang terbina dalam dirinya. Orang-orang kafir tidak mempunyai keinginan untuk membina kebaikan dalam dirinya maka mereka tidak dapat mendengar kebenaran yang disampaikan oleh para rasul kepada mereka.

Kebaikan itu merupakan cikal bakal akhlak mulia yang harus terbina dalam diri setiap orang. Setiap kebaikan berkaitan dengan ayat Allah. Suatu kebaikan yang terbina dalam diri seseorang akan menjadikannya mempunyai perhatian terhadap ayat Allah yang terkait, dan sebaliknya suatu ayat akan menyuburkan pertumbuhan kebaikan yang telah ada pada diri seseorang. Manakala seorang rasul membacakan ayat Allah kepada umatnya, mereka berkeinginan untuk menyuburkan kebaikan pada umatnya tersebut, sehingga terbentuk umat yang mempunyai akhlak mulia. Bila seseorang selalu berusaha mengikuti kebenaran, maka ia akan mempunyai pohon akhlak mulia yang tumbuh sehat dan dapat menghindarkan dirinya dari siksa di alam berikutnya.

Setiap rasul mempunyai tantangan berupa kekufuran umatnya. Mereka menghadapi batasan bagi umatnya, bahwa setiap orang akan menemui batas waktu yang menentukan kedudukan dirinya sebagai orang beriman atau kafir. Manakala seseorang tidak dapat mendengar kebenaran ayat Allah hingga kematiannya, maka ia termasuk kafir tidak akan mempunyai benih keimanan yang dapat tumbuh di alam berikutnya. Bila seseorang dapat mendengar kebenaran yang disampaikan, maka ia akan memiliki benih keimanan dalam hatinya yang dapat tumbuh. Batas adanya benih itu dalam diri seseorang adalah kepercayaan yang tumbuh tentang ketentuan neraka atau surga sebagai tempat tinggal yang abadi bagi setiap manusia.

Iman tidak sepenuhnya sama dengan percaya. Iblis lebih percaya kepada Allah daripada kebanyakan manusia tetapi ia kufur. Keimanan dapat dilihat dari keinginan seseorang untuk mengikuti kehendak Allah dengan jalan membina kebaikan dirinya. Bila suatu pengetahuan tentang kebenaran tidak menumbuhkan keinginan mengikuti kehendak Allah, maka belum tentu pengetahuan itu merupakan keimanan, sekalipun ia percaya bahwa pengetahuan itu merupakan kebenaran. Ia hanya memiliki benih keimanan yang bisa tumbuh atau bisa membusuk. Bila suatu pengetahuan kebenaran menumbuhkan keinginan mengikuti kehendak Allah dalam kebaikan, maka boleh jadi itu merupakan keimanan. Mengingkari kebenaran merupakan bentuk kekufuran.

Kadangkala seseorang berkeinginan mengikuti kehendak Allah tetapi tidak mengetahui nilai kebaikan dalam amalnya, maka ia hanya berada di atas pijakan yang lemah. Hal ini menunjukkan belum terbentuk akhlak mulia seseorang dalam urusan tersebut. Akhlak mulia akan menjadikan seseorang mengetahui nilai-nilai kebaikan dalam amal shalih yang harus dilaksanakannya, tanpa dijadikan memandang baik amalnya. Mengikuti langkah Rasulullah SAW adalah dengan membentuk akhlak mulia. Bila seseorang berada dalam keadaan tidak mengetahui nilai amalnya dalam mengikuti amal Rasulullah SAW, ia belum benar-benar mengikuti langkah Rasulullah SAW. Ia berada di atas kebaikan, akan tetapi akan mudah goyah dan mudah tergelincir dari jalan, maka hendaknya ia membentuk akhlak mulia dalam dirinya dengan kitabullah.

Kufur dan Takabbur

Orang-orang kafir akan digiring menuju neraka secara berombongan. Rombongan pertama yang dibukakan kepada mereka pintu neraka adalah orang-orang yang tidak mempunyai benih kebaikan sama sekali, yang ditunjukkan kekufuran mereka kepada seruan para rasul yang membacakan ayat Allah dan memperingatkan akan pertemuan dengan hari pembukaan neraka bagi orang kafir. Mereka kufur sedangkan mereka memperoleh seruan kebenaran itu. Mereka akan tinggal di dalam neraka secara kekal tidak akan keluar dari neraka itu.

﴾۲۷﴿قِيلَ ادْخُلُوا أَبْوَابَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا فَبِئْسَ مَثْوَى الْمُتَكَبِّرِينَ
Dikatakan (kepada mereka): "Masukilah pintu-pintu neraka Jahannam itu, sedang kamu kekal di dalamnya" Maka neraka Jahannam itulah seburuk-buruk tempat tinggal bagi orang-orang yang menyombongkan diri. (QSAz-Zumar : 72)

Rombongan-rombongan berikutnya adalah orang-orang yang mengikuti bentuk kekufuran mereka dalam tingkatan yang berbeda-beda. Setiap orang yang mengikuti bentuk kekufuran yang tidak terhapus hingga hari itu akan mengikuti rombongan menuju neraka. Sebagian mereka tinggal secara kekal di neraka dengan tingkatan siksa yang berbeda, atau mereka tinggal dalam tempo tertentu hingga kekufuran yang menyebabkan mereka memasuki neraka tanggal.

Hal utama dalam diri seseorang yang menutupinya dari kebenaran ayat-ayat Allah adalah kesombongan. Dalam ayat di atas, neraka jahannam disebut sebagai seburuk-buruk tempat tinggal bagi orang-orang yang menyombongkan diri. Hal itu menunjuk pada hal yang sama dengan penyebutan sebagai orang-orang kafir pada ayat sebelumnya, karena pada dasarnya kekufuran muncul disebabkan oleh kesombongan. Kesombongan adalah mengabaikan kebenaran dan meremehkan manusia. Setiap tindakan mengabaikan kebenaran dan meremehkan manusia adalah bentuk kesombongan, dan orang yang memelihara atau membiarkan keadaan ini dalam dirinya akan menjadi orang yang sombong. Pada akhirnya kesombongan itu akan menumbuhkan kekufuran.

Hendaknya sifat sombong dihindari oleh setiap orang. Pada orang beriman masih terdapat celah rentan terhadap kesombongan daripada terhadap kekufuran secara langsung. Sifat sombong itu dapat hinggap pada orang beriman tanpa ia menyadari dan justru memandang dirinya sebagai orang yang benar, sedangkan ia menganggap remeh kebenaran dan orang lain yang menyampaikannya. Kadang kesombongan itu dalam bentuk memandang kelompoknya benar hingga ia meremehkan orang yang menyampaikan kebenaran dan mengabaikan kebenarannya. Hal ini merupakan penyakit yang dapat menyeret pada sikap kufur. Kesombongan maupun kekufuran akan menyebabkan seseorang tersesat menuju neraka hingga justru memperoleh tempat tinggal di dalamnya, maka hendaknya setiap orang memperhatikan kebenaran dan tidak meremehkan manusia.

Setiap orang hendaknya membina akhlak mulia. Akhlak mulia merupakan suatu wewangian. Orang-orang yang membina akhlak mulia akan mengerti makna ayat-ayat Allah sebagai suatu keharuman bagi dirinya. Bila tidak mengerti keharuman ayat-ayat Allah, seseorang belum dikatakan memiliki akhlak mulia. Kadangkala manusia mempersepsi suatu urusan secara keliru hingga menganggap suatu kebaikan sebagai keburukan, atau suatu keburukan sebagai kebaikan. Hal demikian dapat diibaratkan layaknya seekor lalat yang mempersepsi kotoran sebagai keharuman, maka cara mempersepsi itu menunjukkan keadaan lalat tersebut. Seseorang berakhlak mulia akan merasa nyaman dengan sesuatu yang selaras dengan kitabullah, sedangkan akhlak buruk akan menjadikan seseorang menganggap hal yang buruk sebagai kebaikan. Seseorang yang belum cukup baik akhlaknya seringkali masih bertukar-tukar mempersepsi keharuman dan kebusukan.

Kesombongan merupakan penghalang bagi seseorang untuk membina akhlak mulia. Kesombongan menghalangi orang-orang untuk mengenal kebenaran dan dapat menyesatkan manusia dari kebenaran. Selain bisa menjadi kufur, ada hal lain yang dapat terjadi pada manusia dalam tingkat yang mungkin sama rumitnya karena kesombongan. Kadangkala terjadi kesesatan dalam membentuk akhlak mulia karena adanya kesombongan, atau kadang seseorang mengalami kebingungan arah dalam membina diri karena pengaruh kesombongan. Manakala dibacakan ayat-ayat Allah yang menunjukkan arah bagi mereka, mereka tidak dapat menimbang nilai kebenaran ayat-ayat Allah yang dibacakan. Bila tidak terpengaruh kesombongan, seseorang seharusnya mungkin merasakan keharuman atau kebusukan suatu perkara walaupun mungkin belum memahaminya. Misalnya mungkin seseorang tiba-tiba muntah tanpa sebab yang jelas karena terlibat suatu perkara buruk yang belum sepenuhnya dipahami, atau merasa senang dengan amal baik tanpa mengetahui sepenuhnya fundamen amalnya. Hal demikian kadangkala disebabkan karena merasakan kebusukan atau wanginya perkara yang dilakukannya walaupun tidak dipahami.

Merasakan keharuman demikian hendaknya digunakan oleh orang beriman untuk membina diri dengan memahami dan mengikuti ayat-ayat Allah, tidak digunakan untuk menghukumi orang lain. Suatu keharuman atau kebusukan yang dirasakan hendaknya diketahui kadar kebenarannya dari kitabullah dan ayat kauniyah hingga ia mengerti arti keharuman itu. Ia boleh memberikan manfaat berdasarkan perasaannnya bagi orang lain, akan tetapi hendaknya tidak menggunakannya secara gegabah untuk menghukumi orang lain. Seringkali apa yang dirasakannya bersifat parsial tidak menggambarkan keadaan seutuhnya, atau buruknya bahkan barangkali keadaan justru terbalik dalam urusan itu sebagaimana lalat menyukai aroma yang berkebalikan dengan manusia. Bila perlu menghukumi, hendaknya ia menggunakan ayat Allah yang harus diperolehnya, setidaknya keadaan kauniyah yang jelas, tidak menggunakan secara langsung keharuman atau kebusukan yang dirasakannya.

Kamis, 04 Mei 2023

Membina Keihsanan

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Akhlak al-karimah akan diperoleh seseorang apabila ia membentuk akhlak al-quran dalam dirinya. Ia dapat mensikapi seluruh peristiwa yang terjadi di alam kauniyah sejalan dengan kitabullah Alquran. Akhlak Alquran yang paling sempurna adalah Rasulullah SAW.

Ketakwaan seorang hamba akan terbentuk dari akhlak mulia. Mereka membina hubungan yang baik dengan sesama makhluk berdasarkan pengetahuan terhadap kehendak Allah. Itu adalah keihsanan. Allah telah menuntun manusia agar mereka membina keihsanan dalam diri mereka. Di antara langkah-langkah membina keihsanan itu adalah sedikit tidur pada waktu malam, banyak memohon ampunan Allah pada waktu sahur atas dosa-dosa mereka, dan mengetahui bahwa pada harta mereka terdapat bagian harta bagi orang-orang yang meminta kepada mereka dan bagi orang-orang terhormat dalam agamanya. Dengan langkah-langkah tersebut, seseorang akan berproses menjadi golongan muhsinin.

Sedikit Tidur Pada Waktu Malam

Salah satu hal utama yang perlu dilakukan seseorang dalam membina keihsanan adalah sedikit tidur pada waktu malam. Sedikit tidur dalam hal ini adalah dalam rangka membina pengetahuan tentang kehendak Allah. Karena berharap mengenal kehendak Allah, maka seseorang yang ingin membina keihsanan menghindari banyak tidur pada waktu malam. Banyak manusia melakukan sedikit tidur pada waktu malam tetapi merupakan perbuatan bersenang-senang yang sia-sia, maka hal itu tidak termasuk dalam langkah membina keihsanan.

﴾۷۱﴿كَانُوا قَلِيلًا مِّنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ
Keadaan mereka dahulu sedikit tidur di waktu malam (QS Adz-Dzariat : 17)

Ayat tersebut harus dikaitkan dengan keihsanan pada ayat sebelumnya, agar ruh dari sedikit tidur pada waktu malam tidak dilupakan. Keinginan untuk mengenal kehendak Allah menjadi pangkal keihsanan bagi setiap orang. Keinginan itu harus hidup subur dalam diri setiap manusia yang ingin menjadi muhsinin. Seringkali seseorang merasa sebagai orang baik sedangkan ia tidak berkeinginan mengenal Allah, maka perasaan itu boleh jadi bukan keadaan baik yang sebenarnya. Manusia hanya makhluk yang tinggal di alam yang rendah, maka perasaan baik itu seringkali hanya diukur berdasarkan keadaan di alam yang rendah.

Manusia diciptakan dari materi di alam yang rendah dan hendak dijadikan khalifatullah. Sangat banyak kecenderungan pada diri manusia yang mengarah pada hal-hal yang rendah, walaupun diberi potensi untuk menjadi makhluk yang paling tinggi kedudukannya. Sebenarnya potensi itu hanya akan tumbuh manakala seseorang berharap untuk mengenal Allah, tidak dapat tumbuh dengan sendirinya di atas wahana kegelapan penciptaan dirinya. Allah menjadi sumber segala kebaikan bagi semesta alam, sedangkan manusia sendiri pada dasarnya hanya mempunyai kemampuan tingkat yang rendah. Kemampuan dalam tingkat rendah itu sangat mungkin tercampuri dengan kesalahan. Dengan keadaan demikian, seorang bertakwa hanya terbentuk dari orang-orang yang memiliki keinginan untuk mengenal Allah.

Keinginan demikian hendaknya diwujudkan dengan melakukan tafakkur dan dzikir kepada Allah pada waktu malam dengan mengurangi waktu tidurnya. Banyak tuntunan rasulullah SAW bagi umat islam untuk dilakukan pada waktu malam, hendaknya umat islam mengikuti tuntunan-tuntunan tersebut agar tujuan keihsanan terpenuhi. Bila seseorang meninggalkan keinginannya mengenal Allah untuk banyak tidur, maka ia hanya akan memperoleh sedikit bagian dari keinginannya. Keinginan itu akan bermanfaat memberikan dasar-dasar pengenalan kepada Allah, akan tetapi tidak memperoleh kedudukan terpuji bila banyak tidur. Bila sedikit tidur itu dilakukan di atas keinginan memperoleh kedudukan terpuji tanpa keinginan mengenal Allah, ia mungkin akan memperoleh kedudukan itu tetapi akan banyak kesulitan yang menjadi beban baginya.

Memohon Ampun Pada Waktu Sahur

Sangat banyak celah dan cabang yang dapat menyebabkan seorang makhluk tersesat jalannya kembali kepada Allah, walaupun ia menginginkan kedudukan yang mulia di sisi Allah. Bagi hati manusia, sangat tipis selisih antara keinginan mengenal Allah dan keinginan kedudukan di sisi Allah, akan tetapi itu telah membuka potensi kesalahan yang sangat banyak. Kadangkala seseorang mengharapkan kedudukan di sisi Allah akan tetapi merasa ia mengharapkan Allah. Hal demikian sangat lumrah bagi manusia, akan tetapi harus disadari bahwa selisih itu membuka celah potensi kesalahan yang besar. Asal penciptaan manusia akan menambah banyaknya celah potensi kesesatan. Hendaknya setiap orang berhati-hati dalam menempuh perjalanan kembali menuju kedudukan yang dijanjikan kepadanya.

Allah sangat mengetahui setiap keadaan manusia, dan hendaknya manusia juga mengenali keadaan dirinya dengan baik. Allah tidak akan menyiksa manusia karena kesalahannya bila manusia menyadari keadaan dirinya dan meminta ampun. Bila seseorang mengenali keadaan dirinya dengan benar, maka ia akan mengetahui bahwa ia perlu banyak memohon ampunan kepada Allah. Materi penciptaan diri manusia sebenarnya tidak memungkinkan seseorang untuk tidak melakukan kesalahan dalam menempuh jalan kembali ke sisi-Nya. Manakala ia ingin mengikuti Alquran, ia mengetahui bahwa ia telah banyak berselisih dengan Alquran. Manusia bukan makhluk yang mampu menselaraskan diri dengan Alquran dengan kekuatannya sendiri. Bila menyadari hal demikian, seseorang pasti merasa perlu banyak memohon ampunan.

﴾۸۱﴿وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
Dan memohon ampunan diwaktu sahur. (QS Adz-dzariyat : 18)

Menyadari keadaan diri merupakan salah satu landasan keihsanan. Hal ini akan menjadikannya menyadari bahwa Allah yang menunjukkan jalan kepada dirinya, bukan ia mempunyai kemampuan untuk menempuh jalan itu. Bila seseorang merasa mampu menempuh jalan itu dengan kekuatannya sendiri, mungkin ia telah tersesat dari jalan. Tanpa kesadaran ini, seseorang akan memandang baik dirinya dan syaitan pun membantunya. Memandang tinggi kedudukan diri merupakan turunan sifat syaitan. Sebenarnya seseorang yang tidak dapat menyadari keadaan dirinya, ia telah kehilangan salah satu landasan keihsanan.

Mengusahakan Harta Bagi Yang Membutuhkan dan Orang Yang Terhormat

Landasan keihsanan yang ketiga merupakan amal yang harus diwujudkan bagi orang lain. Manakala mencari harta, hendaknya seseorang melakukannya untuk disalurkan kepada orang yang membutuhkan dan untuk memuliakan agama bersama orang-orang terhormat dalam agamanya (al-mahrum), tidak mencari harta hanya untuk kesejahteraan diri sendiri dan keluarganya. Dengan tujuan demikian, mereka akan memperoleh pengetahuan tentang bagian harta yang diperuntukkan bagi orang-orang yang membutuhkan dan bagian bagi orang-orang yang terhormat dalam agamanya.

﴾۹۱﴿وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang yang meminta dan orang-orang yang terhormat (QS Adz-Dzariyat : 19)

Al-mahrum adalah orang-orang yang memperoleh kehormatan dalam agama karena mereka memuliakan agama Allah. Mereka memperoleh washilah hingga terhubung kepada amr jami’ Rasullullah SAW, dan dengan melaksanakan amr tersebut mereka memuliakan agama Allah. Rasulullah SAW bersabda :

عن أنس بن مالك قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «المحروم من حرم وصيته
Dari Anas ibn Malik r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda : Al-mahrum adalah orang yang dihormati washiatnya (HR Ibnu Majah no. 2700 dalam sunan)

Orang yang kuat washiatnya berasal dari kalangan tertentu yang dekat kepada Allah, dan orang yang dekat kepada Allah berasal dari umat Rasulullah SAW yang bersama-sama dengan beliau SAW dalam amr jami’. Mereka berada di atas kebenaran bersama Rasulullah SAW, karenanya washiat mereka sangat kuat. Walaupun misalnya tidak dihormati orang kafir atau orang yang salah jalan, washiat dari orang-orang demikian tetaplah memiliki kehormatan dalam agama, tidak tergantung pada sikap orang lain.

Memperoleh seseorang yang terhormat dalam agamanya akan sangat membantu seseorang dalam membina keihsanan mereka. Setiap orang islam dapat menemukan orang-orang demikian dengan mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Langkah mereka dalam melaksanakan agama akan memperoleh koreksi dari al-mahrom mereka. Bila seseorang merasa lembam untuk beramal, mahrom mereka akan memberikan semangat untuk beramal. Manakala langkah mereka melenceng, mahrom akan memberikan bayangan kesalahan mereka hingga mereka dapat kembali pada jalan yang paling dekat dengan shirat al-mustaqim yang layak sesuai keadaan mereka.

Al-mahrom yang dapat ditemukan pertama oleh seseorang untuk memuliakan agama adalah pasangan menikah. Suami atau isteri paling sering disebut al-mahrom karena kedudukan mereka dalam memuliakan agama bersama pasangannya. Pasangan merupakan media utama bagi seseorang untuk mengenal kehendak Allah. Kehendak Allah bagi seseorang akan tercermin melalui pasangannya. Perintah Allah, kesalahan diri, atau masalah umat yang menjadi tanggung jawab seseorang akan tercermin melalui diri pasangannya. Adab dalam memilih pasangan menikah akan mempengaruhi kualitas dan kekuatan cermin suatu keberpasangan. Bila seseorang dapat menemukan pasangan yang diciptakan dari satu nafs wahidah yang sama, maka kekuatan cermin ini akan sangat kuat.

Setiap orang hendaknya tidak memandang remeh apa yang ada pada pasangan menikahnya karena ia akan meremehkan urusan Allah. Sebagai mahrom, setiap orang beriman harus menghormati pasangannya. Suami dan isteri tidak harus selalu bersepakat dalam setiap urusan, tetapi harus selalu berusaha memahami satu dengan yang lain selaras/mengikuti kehendak Allah. Bersepakat dalam setiap urusan itu lebih baik. Memandang suatu urusan yang ada di pihak luar sebagai lebih baik daripada urusan bersama pasangannya merupakan godaan syaitan yang bisa merusak agama.

Mahrom tidak terbatas pada pasangan. Para washilah yang terhubung dengan benar kepada amr jami Rasulullah SAW juga merupakan mahrom. Mereka mempunyai fungsi yang serupa dengan pasangan yaitu sarana menghubungkan alam yang tinggi menuju alam dunia. Bila washilah terputus, maka seseorang belum menjadi mahrom. Syaitan sangat berusaha merusak tersambungnya urusan dari langit ke bumi.

Mahrom memperoleh hak atas bagian harta yang diperoleh oleh seseorang untuk memuliakan agama. Dengan kata lain hendaknya seseorang mengupayakan harta diantaranya untuk memberi infaq bagi mahromnya untuk memuliakan agama. Pada pasangan suami isteri, bagian ini di luar bagian harta untuk kebutuhan belanja. Bila seseorang mengupayakan harta untuk tujuan ini, maka upayanya akan mengantarkannya menjadi seorang muhsinin. Hal ini harus dihayati dengan seksama, bahwa pencari jalan-lah yang membutuhkan infaq kepada al-mahrum, sedangkan al-mahrum mengelola apa yang dititipkan kepada mereka untuk memuliakan agama. Hak al-mahrum terbatas pada harta yang hendak diberikan, bukan pada segenap kekayaan usaha. Kekayaan usaha mencari harta itu bukan milik al-mahrum walaupun almahrum mempunyai hak pada harta yang dihasilkan, dan yang mengusahakan harta-lah yang mengetahui bagian bagi al-mahrum. Hal ini tidak membatasi manakala al-mahrum merasa perlu mengajukan permintaan nilai infaq tertentu selama dapat disetujui pemilik harta.

Selasa, 02 Mei 2023

Membina Ketakwaan

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Akhlak al-karimah akan diperoleh seseorang apabila ia membentuk akhlak al-quran dalam dirinya. Ia dapat mensikapi seluruh peristiwa yang terjadi di alam kauniyah sejalan dengan kitabullah Alquran. Akhlak Alquran yang paling sempurna adalah Rasulullah SAW.

Orang-orang yang dapat mengikuti Rasulullah SAW dengan baik hingga dapat memahami dan hidup selaras dengan Alquran termasuk dalam golongan orang-orang yang bertakwa. Mereka kelak akan diberi tempat tinggal di surga dengan mata air-mata air.

﴾۵۱﴿إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam surga-surga dan mata air-mata air (QS Adz-Dzariyat : 15)

Mata air-mata air itu merupakan wujud dari Alquran yang menjadi mata air pengetahuan ilahiyah bagi nafs para penghuni surga yang diberi tempat tinggal pada mata air tersebut. Itu merupakan suatu kedudukan yang utama di antara para ahli surga. Tidak semua penghuni surga memperoleh tempat tinggal pada mata air. Kebanyakan mereka hidup pada sungai yang merupakan aliran lebih hilir dari mata air. Orang yang tinggal pada mata air mempunyai kedudukan tersendiri di antara para penghuni surga, dan mereka memperoleh tempat tinggal tersebut karena keakraban mereka terhadap Alquran. Tanpa keakraban terhadap Alquran, tidak akan ada mata air yang diperoleh seorang hamba.

Membina Keihsanan

Ketakwaan seorang hamba akan terbentuk dari akhlak mulia. Orang yang berakhlak mulia memelihara hubungan-hubungan yang baik yang harus dipelihara. Mereka membina hubungan yang baik dengan sesama makhluk berdasarkan pengetahuan terhadap perintah Allah berupa keihsanan. Mereka sedikit tidur pada waktu malam dengan berharap dapat mengenal kehendak Allah dengan benar, banyak memohon ampunan Allah pada waktu sahur atas dosa-dosa mereka, dan selalu teringat bahwa pada harta mereka terdapat bagian harta bagi orang-orang yang meminta kepada mereka dan bagi orang-orang terhormat dalam agamanya. Dengan langkah-langkah tersebut, seseorang akan berproses menjadi golongan muhsinin.

Pada salah satu sisi, dapat dikatakan bahwa kaum muhsinin terbentuk dari orang-orang yang bila mencari harta, mereka melakukannya untuk disalurkan kepada orang yang membutuhkan dan untuk memuliakan agama bersama orang-orang terhormat dalam agamanya (al-mahrum), tidak mencari harta hanya untuk kesejahteraan diri sendiri dan keluarganya. Dengan motivasi demikian, mereka akan memperoleh pengetahuan tentang bagian harta yang diperuntukkan bagi orang-orang yang membutuhkan dan bagian bagi orang-orang yang terhormat dalam agamanya. Isteri merupakan pihak pertama yang terhormat dalam agama (mahrom) yang harus memperoleh bagian sesuai perannya dalam agama suaminya, akan tetapi bukan isteri atau orang terhormat lain yang menentukan bagian harta tersebut. Pihak yang mengusahakan harta-lah yang mengetahui bagian bagi orang-orang yang membutuhkan dan orang-orang yang terhormat.

Itu adalah tanda-tanda orang yang termasuk dalam golongan muhsinin, atau orang-orang yang berbuat baik. Ketiga tanda itu harus dipenuhi oleh setiap orang yang ingin termasuk dalam golongan muhsinin. Tanpa keinginan mengenal kehendak Allah, seseorang tidak akan berubah menjadi seorang muhsin. Demikian pula bila seseorang tidak pernah menghisab kesalahan diri dan dosa yang mungkin diperbuat hingga berhasrat memohon ampunan kepada Allah pada waktu sahur. Orang yang merasa sebagai orang yang selalu baik tanpa melakukan kesalahan seringkali tidak termasuk dalam golongan muhsinin. Salah satu tanda keihsanan seseorang adalah kesadaran akan dosa dan kesalahan yang mungkin dilakukannya dan harus dimintakan ampunan kepada Allah. Demikian pula manakala seseorang tidak pernah membina kesadaran dalam mencari harta sesuai kehendak Allah, maka ia tidak akan berubah menuju keadaan golongan muhsinin. Mencari harta tanpa keinginan memuliakan agama bersama orang yang terhormat dalam agamanya, atau tanpa keinginan memberikan hak orang miskin dari hartanya, itu bisa menjadi tanda pencarian harta yang berat pertanggung-jawabannya, dan pengusahanya tidak akan berubah menjadi orang yang ihsan.

Ciri Golongan Muttaqin

Golongan orang muttaqin yang tinggal di mata air-mata air mempunyai kelebihan dibandingkan dengan golongan muhsinin. Mereka mempunyai semua tanda-tanda golongan muhsinin, dan mereka mempunyai tanda yang lain sebagai kelebihan mereka.

﴾۰۲﴿وَفِي الْأَرْضِ آيَاتٌ لِّلْمُوقِنِينَ
﴾۱۲﴿وَفِي أَنفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
Dan di bumi itu terdapat ayat-ayat (Allah) bagi orang-orang yang yakin. (21) dan (juga) pada nafs kalian. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? (QS Adz-Dzariat : 20-21)

Mereka diberi kemampuan memahami ayat-ayat Allah pada semesta mereka, baik yang ada di bumi ataupun yang ada di dalam nafs mereka, dan mereka melihat rezeki dan hal-hal yang dijanjikan bagi dirinya di langit.

Ayat-ayat Allah yang terdapat pada kedua hal di atas bukanlah berupa pemahaman bebas yang dapat diperoleh seorang manusia. Kedua ayat yang dapat dipahami sebagaimana tersebut di atas merupakan perincian bagi ayat-ayat Allah dalam kitabullah Alquran. Ayat yang dilihat seorang muttaqin pada semesta bumi mereka dan pada diri mereka adalah ayat-ayat dalam kitabullah yang tercermin dalam semesta dan dalam diri mereka. Ayat kauniyah dan ayat dalam diri tersebut terlihat dalam bentuk uraian terhadap nash kitabullah. Adanya ayat kauniyah atau dalam diri yang terbaca tidak sejalan dengan nash kitabullah merupakan kesalahan insaniah yang bisa saja terjadi, maka yang benar adalah nash dalam kitabullah. Hendaknya manusia berhati-hati dalam masalah semacam ini.

Keterkaitan pengetahuan ayat Allah di bumi dan di kitabullah dengan pengenalan seseorang terhadap diri akan menjadikan ilmu tampak berwarna-warni. Walaupun setiap orang mungkin tampak berpegang pada ayat kauniyah dan ayat kitabullah yang sama, mereka akan mempunyai bashirah terhadap ayat-ayat Allah dengan cara yang berbeda-beda pada objek yang sama karena jati diri nafs mereka berbeda. Hal ini berlaku bagi kaum atau orang-orang yang berusaha untuk menemukan bashirah mereka berdasarkan jati diri masing-masing. Bila menutup diri, mereka tidak akan memperoleh bashirah yang terkait dengan ayat-ayat Allah. Mungkin mereka hanya mengikuti orang lain, bahkan kadangkala mengikuti tanpa mengetahui kebenaran atau kesalahan yang terjadi. Pengetahuan mereka akan tampak seragam mengikuti pengetahuan seseorang tertentu.

Setiap orang harus menggunakan pikirannya untuk membina pengetahuan tentang semesta bumi mereka. Itu merupakan bekal yang sangat baik dan utama untuk memahami ayat Allah menuju keadaan muttaqin. Tidak ada orang yang dapat mencapai keadaan muttaqin tanpa menggunakan pikirannya atau dengan menipu pikiran sehatnya. Akan tetapi pikiran yang benar belum tentu dapat mencapai pemahaman terhadap ayat Allah di bumi dan dalam diri sendiri. Sebagian orang dapat mencapai pemahaman ayat Allah di bumi dan dalam diri sendiri sesuai dengan ayat kitabullah, maka mereka itulah golongan muttaqin. Mereka dapat melakukan hal itu secara timbal balik, melihat ayat Allah di bumi berdasarkan kitabullah, atau sebaliknya melihat ayat kitabullah berdasarkan ayat Allah di bumi.

Demikian pula pikiran harus digunakan dalam memahami ayat kitabullah. Pada dasarnya, ayat kitabullah tidak tersentuh dengan pikiran, tetapi ada orang-orang yang dapat membacakan kitabullah hingga manusia dapat memahami dengan pikirannya. Setiap orang hendaknya menggunakan pikirannya untuk memahami penjelasan-penjelasan itu hingga dapat mengikuti kitabullah. Manakala terdapat penjelasan yang menyalahi kitabullah, hendaknya mereka tidak mengikuti kesalahan itu. Sampai kedudukan qarib sebagaimana kedudukan Azazil dahulu, masih sangat mungkin terjadi kesalahan dan kesesatan pada seorang makhluk. Bila tidak menggunakan pikiran, manusia tidak akan dapat mengikuti kitabullah dan tidak pula mengerti kesalahan yang mungkin terjadi dalam upayanya mengikuti kitabullah. Pada suatu saat, boleh jadi ia tidak mengetahui keadaan dirinya apakah dalam keadaan beriman atau kafir terhadap ayat Allah.

Mengikuti kitabullah adalah membentuk akhlak mulia. Dengan akhlak mulia, seseorang akan mengetahui makna dalam kitabullah dengan benar. Kadangkala seseorang membentuk akhlak mulia dalam suatu urusan kemudian ia mengetahui makna dalam Alquran tentang urusan tersebut. Kadangkala seseorang mengikuti kebenaran dalam Alquran maka terbentuk akhlak mulia karena sikapnya. Rasulullah SAW telah memiliki akhlak mulia yang dengan akhlak tersebut beliau SAW memahami seluruh kebenaran hingga yang tertinggi yang kemudian diwahyukan kepada beliau. Kebenaran yang beliau SAW sampaikan akan membimbing umatnya untuk membentuk akhlak mulia.

Umat dapat membentuk akhlak mulia mengikuti Rasulullah SAW sebagian demi sebagian hingga terbentuk (atau diberi)  akhlak mulia yang relatif utuh, maka ia dapat memahami Alquran. Kadang terjadi kesalahan dalam upaya mengikuti Alquran, hal itu wajar saja selama seseorang berusaha menghisab kesalahannya dan memohon ampunan Allah, tidak merasa dirinya selalu benar. Bila seseorang merasa dirinya selalu benar, syaitan akan mudah menjadikannya memandang indah dirinya bahkan dalam keburukan dan dosanya, dan ia kemudian mempunyai akhlak yang buruk.

Ayat Allah di bumi akan memberikan keyakinan bagi seseorang dalam agamanya. Keyakinan demikian bukanlah suatu keyakinan dogmatis tanpa landasan pengetahuan terhadap kauniyah. Suatu dogma tidaklah akan menjadi suatu keyakinan yang dapat menembus berbagai hijab. Hanya ilmu yang haqq yang akan mampu melampaui berbagai tingkatan alam. Orang-orang beriman akan mempunyai suatu pengetahuan yang dapat menembus berbagai hijab hingga ia dapat melihat ayat-ayat Allah yang digelar di kauniyah bumi mereka, dan pengetahuan itu memberikan manfaat hingga kelak di alam akhirat.

Ciri ketiga golongan orang-orang bertakwa adalah pengetahuan tentang ketentuan rezeki bagi mereka, dan juga tentang apa-apa yang dijanjikan bagi mereka. Mereka mengetahui ketentuan-ketentuan itu di alam yang lebih tinggi, bukan di alam bumi.

﴾۲۲﴿وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ
Dan di langit terdapat rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. (QS Adz-Dzariat : 22)

Setiap rezeki seseorang yang turun ke alam bumi merupakan rezeki yang diturunkan dari ketentuan rezeki di langit. Tetapi tidak semua ketentuan rezeki seseorang di langit diturunkan ke bumi. Boleh jadi keadaan diri mereka di alam bumi tidak sama dengan ketentuan rezeki ideal dan apa yang dijanjikan bagi mereka di langit. Ketentuan rezeki dan apa yang dijanjikan itu seringkali merupakan visi/bashirah yang seharusnya direalisasikan di alam bumi. Usaha merealisasikan visi tersebut merupakan amal shalih. Sangat banyak pengetahuan yang dapat terbuka bagi seseorang jika berupaya merealisasikan visi demikian, akan tetapi hal itu akan disertai dengan tantangan yang sangat banyak. Bila seseorang berpegang pada tujuan hasil, ia akan terpatahkan upayanya. Jika beramal di atas landasan keikhlasan, maka ia akan dapat menikmati proses-proses yang dilakukannya. Bila ia memperoleh hasil di dunia, banyak orang yang memperoleh berkah dari upayanya. Bila ia tidak berhasil, ia akan memperoleh hasilnya di alam akhirat kelak.

Proses merealisasikan visi tersebut di alam dunia hanya dapat ditempuh dengan agama. Setengah bagian agama dirinya harus dipelihara dan ditumbuhkan bersama-sama dengan baik, dan setengahnya harus dipenuhi dengan ketakwaan. Tanpa hal itu, tidak mungkin bagi seseorang mewujudkan upaya merealisasikan visi langit. Upaya yang dilakukan seseorang tidak akan mendatangkan hasil yang layak tanpa memelihara integralitas agama mereka, sebagaimana nabi Nuh a.s dan nabi Luth a.s tidak memperoleh hasil yang baik karena tidak didampingi isteri yang shalihah. Berhasil atau tidak berhasil, seseorang yang beramal sesuai visi agama akan memperoleh pahala bagi setiap usahanya, dan orang yang menghambat akan menanggung beban perbuatan mereka masing-masing.

Dengan fungsi demikian, mahrom (orang terhormat) yang paling utama bagi seseorang dalam agamanya adalah isteri atau suaminya. Setiap orang harus memperhatikan sesuatu dari pasangannya untuk memperhatikan urusan Allah. Hal demikian berlaku terutama bagi orang-orang yang mencari jalan kembali kepada Allah, dan itu berlaku pula bagi setiap orang yang menikah, baik ia dan/atau pasangannya beriman ataupun kufur. Seseorang akan terlepas dari amr Allah manakala ia mengabaikan, meremehkan dan/atau meninggalkan pasangan menikahnya, sekalipun ia memandang baik perbuatannya.

Pasangan merupakan media utama bagi seseorang untuk mengenal kehendak Allah. Kehendak Allah bagi seseorang akan tercermin melalui pasangannya. Perintah Allah, kesalahan diri, atau masalah umat yang menjadi tanggung jawab seseorang akan tercermin melalui diri pasangannya. Setiap orang hendaknya tidak memandang remeh apa yang ada pada pasangan menikahnya karena ia akan meremehkan urusan Allah. Suami dan isteri tidak harus selalu bersepakat dalam setiap urusan, tetapi harus selalu berusaha memahami satu dengan yang lain selaras/mengikuti kehendak Allah. Bersepakat dalam setiap urusan itu lebih baik. Memandang suatu urusan yang ada di pihak luar sebagai lebih baik daripada urusan bersama pasangannya merupakan godaan syaitan yang bisa merusak agama.

Dalam beberapa kasus, kadang seorang laki-laki dituntut untuk memuliakan agama dengan melaksanakan urusan Allah melalui persoalan yang tersebar pada beberapa isteri, maka hendaknya ia memperhatikan secara adil isteri-isterinya. Perempuan yang belum menjadi isteri bukanlah mahrom, tetapi boleh diperhatikan selama tidak melanggar syariat dan ia selalu menjaga agar tidak merusak hubungannya dengan isterinya. Kadang potensi kerusakan hubungan dengan isteri karena adanya urusan ta’addud timbul bukan karena tuntutan ta’addud secara langsung, tetapi melibatkan pihak di luar yang berkepentingan langsung. Hal ini hendaknya juga diperhatikan agar tidak terjadi efek kerusakan yang timbul dalam upaya mengikuti amr Allah. Pada kasus tertentu, kerelaan atau bantuan seorang isteri bagi suami untuk memperoleh isteri lain menjadi jalan untuk memuliakan agama.

Mahrom tidak terbatas pada pasangan. Para washilah yang terhubung dengan benar kepada amr jami Rasulullah SAW juga merupakan mahrom. Mereka mempunyai fungsi yang serupa dengan pasangan yaitu sarana menghubungkan alam yang tinggi menuju alam dunia. Bila washilah terputus, maka seseorang belum menjadi mahrom. Syaitan sangat berusaha merusak tersambungnya urusan dari langit ke bumi. Mahrom memperoleh hak bagian dari harta yang diupayakan oleh seseorang. Dengan kata lain hendaknya seseorang mengupayakan harta untuk memberikan bekal bagi mahromnya untuk memuliakan agama. Pada pasangan suami isteri, bagian ini di luar bagian harta untuk kebutuhan belanja. Bila seseorang mengupayakan harta untuk hal ini, maka upayanya akan mengantarkannya menjadi seorang muhsinin. Bila tidak memperoleh harta, upaya untuk mempersiapkan atau membantu jalan mahromnya untuk memuliakan agama Allah dapat mengantarkannya menjadi muhsinin.