Pencarian

Jumat, 30 September 2022

Perang dan Penghormatan

Allah telah memberikan petunjuk kepada manusia agar dapat menempuh jalan kembali kepada-Nya dengan menjadi makhluk dengan akhlak mulia. Tidak ada makhluk yang menempuh jalan taubat tanpa berusaha membentuk diri dalam akhlak mulia, dan sebaliknya akhlak mulia hanya terbentuk pada orang-orang yang kembali kepada-Nya. Orang yang berakhlak mulia adalah orang-orang yang membentuk dirinya dalam citra Ar-rahmaan, dan hal itu hanya terbentuk bila seseorang berusaha mengikuti sunnah Rasulullah SAW dan memahami Alquran. Tidak ada akhlak mulia dari sesuatu yang bertentangan dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW.

Seringkali muncul beberapa sikap bathin seseorang yang bertentangan dengan petunjuk Allah. Hal itu menunjukkan keadaan akhlak seseorang yang belum selaras dengan Alquran. Dalam keadaan demikian, hendaknya seseorang tidak menyalahkan Alquran, dan hendaknya berusaha membentuk sikapnya sesuai dengan Alquran. Barangkali seseorang perlu membentuk kembali seluruh pondasi pengetahuannya dan akhlaknya, atau mungkin ia hanya mengalami suatu khilaf tertentu atau kurang faham yang tidak fundamental dan kadang tidak dapat dipaksa diperbaiki. Yang sangat penting diperhatikan adalah bahwa kehendak Allah yang benar tersebutkan dalam Alquran, tidak sebagaimana pendapat dirinya. Bila ia lebih mempercayai pendapatnya, ia telah benar-benar tersesat.

Di antara contoh hal yang tidak disukai manusia adalah berperang. Ditetapkan bagi orang-orang beriman yang mengikuti Rasulullah SAW ketika tertimpa kesengsaraan dan keguncangan untuk berperang. Orang yang tidak mengikuti Rasulullah SAW dalam urusan beliau SAW belum diberi ketetapan itu. Barangkali orang-orang beriman tidak menyukai berperang, akan tetapi dalam keadaan demikian, berperang lebih baik dalam pandangan Allah walaupun orang-orang tidak beriman tidak menyukai. Seringkali terdapat banyak kebaikan pada hal yang tidak disukai dan banyak sering pula terdapat banyak kejahatan dalam hal yang disukai. Orang-orang beriman belum tentu mengetahui kebaikan dalam hal yang tidak disukai dan belum tentu mengetahui keburukan dalam hal-hal yang mereka sukai.

﴾۶۱۲﴿كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS Al-Baqarah : 216)

perintah berperang itu kadangkala terasa sangat berat yang disebabkan keterkaitan dengan penghormatan-penghormatan yang harus dilakukan. Berperang pada bulan-bulan haram merupakan hal sangat besar di mata Allah dan di mata manusia karena terkait penghormatan yang harus dilakukan manusia. Akan tetapi kadangkala berperang dengan melanggar penghormatan-penghormatan perlu dilakukan oleh orang-orang beriman untuk kebaikan dari sisi Allah.

Sebagaimana bharatayudha, seseorang kadangkala harus berperang melawan orang-orang yang dihormati dari kalangan keluarga mereka sendiri agar tidak terjadi fitnah yang besar di antara manusia dan suatu kebaikan dapat terbit. Seringkali suatu kebaikan terhalang dari manusia karena adanya fitnah yang tersebar di antara manusia. Bila suatu kebaikan di sisi Allah dikatakan sebagai keburukan, dan suatu keburukan di sisi Allah dikatakan sebagai kebaikan, maka hal itu dapat dikatakan sebagai suatu fitnah. Fitnah menimbulkan suatu penderitaan di antara manusia karena suatu keburukan yang dipandang baik dan suatu kebaikan dipandang buruk.

﴾۷۱۲﴿يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ وَصَدٌّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِندَ اللَّهِ وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىٰ يَرُدُّوكُمْ عَن دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi dari jalan Allah, dan kafir kepadanya dan (menghalangi dari) masjid alharam dan mengusir penduduknya darinya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan fitnahnya lebih besar daripada berperang. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka mengembalikan kamu dari agamamu seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.(QS Al-Baqarah : 217)

beberapa hal mempunyai bobot kebaikan yang lebih besar di sisi Allah daripada penghormatan yang perlu dilakukan. Menghalangi manusia dari jalan Allah, kekufuran terhadap jalan Allah, menghalangi manusia dari masjid al-haram dan mengusir penduduknya dari tanah haram merupakan hal-hal yang buruk dan bobotnya lebih besar daripada melangga penghormatan-penghormatan yang harus dilakukan. Demikian pula suatu fitnah tertentu mempunyai bobot lebih besar kerusakannya daripada kerusakan yang diakibatkan oleh perang. Karenanya perang itu lebih baik daripada tidak berperang untuk mengurangi kerusakan yang ditimbulkan. Berperang dalam perkara demikian bukan berarti tidak mempunyai penghormatan terhadap hal-hal yang harus dihormati, akan tetapi kebaikan dalam perang itu lebih baik daripada penghormatan yang harus dilakukan.

 

Jalan Allah dan Masjid Al-Haram

Jalan Allah dan masjid al-haram yang di sebut ayat di atas merupakan komponen dan parameter perjalanan seseorang menuju Allah, yang mencakup hal dzahir dan bathin yang sejalan bersama-sama. Berjalan menuju Allah harus ditempuh dengan mengikuti sunnah Rasulullah SAW dan millah Ibrahim a.s baik secara dzahir maupun bathin. Seseorang harus berhijrah menuju tanah haram kemudian membangun bayt sebagaimana millah Ibrahim a.s, dan melayani umatnya melalui bayt tersebut dengan meninggikan asma Allah, baru kemudian berharap dapat mengikuti nabi Muhammad SAW agar dijadikan sebagai hamba yang didekatkan. Hal itu harus dilakukan secara dzahir bersama dengan makna bathin dari semua langkah itu. Tanpa hal demikian, mungkin seseorang tidak melangkah menuju Allah, atau ia tersesat langkahnya menuju Allah.

Jalan Allah (Sabililillah) adalah suatu jalan tunggal yang menghubungkan seorang manusia untuk kembali kepada Allah dalam jarak yang paling dekat. Jalan itu adalah jalan yang dipimpin oleh Rasulullah SAW. Setiap orang yang benar-benar mengikuti beliau SAW di sabilillah mengetahui kemanunggalan amal shalihnya bersama dengan amr Rasulullah SAW bagi ruang dan waktu mereka. Tanpa jalan itu, sebenarnya tidak ada makhluk yang dapat menemukan jalan kembali kepada Allah karena Dia tidak akan terjangkau oleh makhluk.

Tunggalnya sabilillah tidak dapat dipecah dalam bagian yang terpisah. Seseorang tidak boleh mengikuti orang lain yang menyelisihi Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Seandainya seseorang mengikuti nabi Musa a.s berhijrah hingga ia menemukan tanah haram pengenalan diri, dan ia meninggalkan sunnah Rasulullah SAW, maka ia telah tergelincir dari jalan yang setimbang. Sabilillah merupakan jalan tunggal bersama Rasulullah SAW. Seseorang tidak dapat menempuh jalan sabilillah pada jalan yang berselisih dengan sunnah Rasulullah SAW, sekalipun andai mereka mengikuti nabi Musa a.s yang masih hidup.

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رضي الله عنه أَتَى رَسُوْلَ اللهَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِنُسْخَةٍ مِنَ التَّوْرَاةِ، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ الله،ِ هَذِهِ نُسْخَةٌ مِنَ التَّوْرَاةِ. فَسَكَتَ فَجَعَلَ يَقْرَأُ وَوَجْهُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَغَيَّرُ. فَقَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: ثَكِلَتْكَ الثَّوَاكِلُ مَا تَرَى مَا بِوَجْهِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَنَظَرَ عُمَرُ إِلَى وَجْهِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ غَضَبِ اللهِ وَغَضَبِ رَسُوْلِهِ، رَضِيْنَا بِاللهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلاَمِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَوْ بَدَا لَكُم مُوْسَى فَاتَّبَعْتُمُوْهُ وَتَرَكْتُمُوْنِي لَضَلَلْتُمْ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيْلِ، وَلَو كَانَ حَيًّا وَأَدْرَكَ نُبُوَّتِي لاَتَّبَعَنِيْ
Umar ibnul Khaththab ra datang kepada Rasulullah SAW membawa salinan dari kitab Taurat. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, ini salinan dari kitab Taurat.” Rasulullah SAW terdiam. Umar mulai membacanya dalam keadaan wajah Rasulullah SAW berubah. Melihat hal itu, Abu Bakr berkata kepada Umar, “Betapa ibumu kehilanganmu, tidakkah engkau melihat perubahan pada wajah Rasulullah?” Umar melihat wajah Rasulullah SAW lalu berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari kemurkaan Allah dan Rasul-Nya. Kami ridha Allah sebagai Rabb kami, Islam sebagai agama kami, dan Muhammad sebagai Nabi kami.” Rasulullah SAW berkata, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya Musa as muncul kepada kalian kemudian kalian mengikutinya dan meninggalkan aku, sungguh kalian telah sesat dari jalan yang setimbang. Seandainya Musa masih hidup dan menemui masa kenabianku, niscaya ia akan mengikutiku.” (HR ad-Darimi no. 436)

Nabi Musa a.s tidaklah tersesat, tetapi setiap orang harus berusaha mengikuti Rasulullah SAW untuk menempuh sabilillah tidak terhijab oleh panutan lain. Seandainya beliau a.s hidup pada jaman ini dan seseorang mengikuti beliau a.s tapi meninggalkan sunnah Rasulullah SAW, maka ia telah tersesat, karena pokok kembali kepada Allah adalah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Demikian pula bila seseorang mengikuti orang lain dengan meninggalkan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, maka ia benar-benar telah tersesat.

Masjid al-haram merupakan tempat bersujud di tanah haram. Hal demikian sebenarnya tidak hanya menunjuk tanah suci makkah, tetapi juga menunjuk pada suatu keadaan seseorang yang telah berada di atas qadha Allah, qadha yang dijadikan sebagai sarananya bersujud kepada Allah. Tanah haram juga mempunyai makna bathin sebagai sesuatu berupa jati diri setiap manusia yang dijanjikan bagi manusia sebagai tempat bersujud. Orang yang telah mengenal penciptaan dirinya adalah orang yang telah mengenali tanah haramnya. Mereka adalah penduduk tanah haram.

 

Fitnah dalam Perbuatan Menghalangi Manusia

Menghalangi dari jalan Allah, kafir terhadapnya dan menghalangi dari masjid alharam dan mengusir penduduknya darinya merupakan perbuatan dzalim terhadap orang-orang beriman. Hanya orang beriman yang menempuh jalan kembali kepada Allah, dan mereka adalah orang-orang yang baik dan tidak jahat. Upaya demikian hanya dilakukan manusia karena mereka mengikuti fitnah tanpa mau mengetahui kebenaran dari apa yang diupayakan oleh orang-orang beriman. Fitnah yang diikuti orang yang menghalangi upaya demikian sebenarnya merupakan fitnah yang sangat besar, bukan semata suatu fitnah yang membuat persepsi manusia berubah dan saling curiga. Fitnah dibalik fenomena berupa menghalangi manusia dari jalan Allah mempunyai kejahatan yang lebih besar daripada perang. Setiap orang hendaknya benar-benar berpikir ketika mengetahui bahwa dirinya menghalangi langkah orang lain dari jalan Allah, karena boleh jadi fitnah yang diikutinya benar-benar lebih jahat dari pembunuhan dan semua peperangan yang mungkin terjadi.

Fitnah terbesar yang akan menimpa umat manusia akan ditandai dengan terpisahnya seorang wanita dari suaminya. Orang-orang yang makrifat terhadap Allah mengetahui benar bahwa hal demikian merupakan fitnah yang dibuat oleh golongan syaitan yang tinggi yang berada di atas ‘arsy mereka, sebagai sumber fitnah yang paling besar dalam seluruh kehidupan umat manusia. Tidak boleh ada orang bertindak bodoh dengan bermain-main atau tertipu memisahkan perempuan dari suaminya. Apa yang mereka lakukan akan mendatangkan penderitaan yang paling besar bagi umat manusia.

Pemisahan paksa seorang perempuan dari suaminya termasuk suatu bentuk pengusiran seseorang dari tanah haramnya. Perempuan adalah ladang bagi pohon thayyibah suaminya, dan pernikahan mereka didasarkan pada perjanjian terkuat di alam semesta berupa mitsaqan ghalidza. Bila seorang perempuan dipisahkan dari suaminya dengan paksaan, maka ia bagaikan bumi yang tercabut pohonnya, sedangkan bumi itu merupakan turunan tanah haram. Selain ikatan pernikahan, ada bentuk-bentuk lain yang menggambarkan hubungan tanah haram dan penduduknya. Kadangkala seseorang mengenal diri dan mengenal pasangan yang diciptakan dari nafs dirinya, maka keberpasangan itu juga merupakan bentuk hubungan tanah haram dan penduduknya selama dapat dilakukan pernikahan tanpa melanggar syariat. Seseorang yang mengetahui kodrat dirinya juga merupakan bentuk penduduk tanah haram dan bumi mereka. Memutuskan hubungan di antara mereka merupakan bentuk mengusir penduduk tanah haram dari bumi mereka, dan fitnah yang akan timbul harus disadari sangatlah besar.

 

Murtad dari Agama

Upaya menghalangi dari jalan Allah yang tersebut pada ayat di atas merupakan fitnah yang dibuat oleh pihak tertentu yang sebenarnya mengikuti syaitan baik disadari ataupun karena tertipu. Bila orang tersebut tidak berhenti mengikuti syaitan, maka mereka akan terus-menerus berusaha mengembalikan manusia dari jalan Allah. Orang-orang beriman yang berada pada gerbang tanah haram mereka harus selalu waspada bahwa orang-orang yang menghalangi akan selalu mengupayakan agar ia kembali murtad dari agamanya. Orang yang berada di gerbang tanah haram merupakan orang yang berada di gerbang agama, mereka dijadikan sasaran untuk dibalikkan dari agama mereka.

Mereka akan menghalangi manusia dari jalan Allah dengan mengerahkan kesanggupan mereka tanpa henti-henti hingga orang-orang beriman yang berbalik dari langkahnya mengikuti millah Ibrahim a.s dan sunnah Rasulullah SAW. Kesanggupan berupaya menghalangi akan mempunyai efektifitas yang lebih besar manakala dilakukan oleh orang-orang yang tersesat dari jalan Allah, karena mereka telah mengetahui sebagian jalan kembali kepada Allah. Orang-orang yang kafir akan mudah diabaikan oleh orang-orang beriman, tetapi upaya orang-orang yang tersesat seringkali akan sulit dikenali karena keserupaan dan kedekatan arah dan tujuan kehidupan dengan orang beriman. Hendaknya orang-orang beriman selalu memperhatikan petunjuk Allah dalam Alquran dan sunnah Rasulullah SAW agar tidak terlepas dari agamanya.

Bilamana seseorang yang telah berada di gerbang tanah haram kembali berbalik dari jalan Allah tanpa melanjutkan langkahnya mengikuti millah Ibrahim a.s dan sunnah Rasulullah SAW, dan kemudian ia mati ketika sedang berbalik dalam keadaan kafir, maka semua amal yang telah dilakukannya akan sia-sia tidak mendatangkan manfaat untuknya di dunia maupun kelak di akhirat. Lebih dari itu, mereka mungkin akan termasuk dalam golongan penghuni neraka untuk selama-lamanya tidak keluar darinya.

Amal-amal dalam agama tidak dapat digantikan dengan amal-amal dalam bentuk lain. Orang yang berada di gerbang agama hendaknya bersungguh-sungguh memperhatikan amal-amal baginya tidak meninggalkannya dengan kekafiran. Bila ia mengganti amal yang ditetapkan Allah baginya dengan amal yang dipilihnya sendiri, maka amal-amal itu tidak akan mengisi amal-amal yang ditinggalkan. Ia tidak akan dapat memberikan dengan sepenuhnya peran dirinya bagi masyarakat dengan amal pengganti, dan amal pengganti yang dilakukannya itu akan kosong tanpa manfaat. Perhitungan pahala amalnya tidak sama dengan perhitungan amal yang dilakukan oleh orang yang belum berada di gerbang agama.

Bila ia mati sedangkan ia dalam keadaan membuang pengetahuan tentang ketetapan bagi dirinya, maka ia akan menjadi penghuni neraka selama-lamanya. Ia mati dalam keadaan kafir terhadap ketetapan dirinya. Mungkin seseorang menghindari ketetapan dirinya tetapi menantikan kesempatan untuk menunaikan, maka ia tidak termasuk dalam kategori kafir, namun ia kehilangan bekal ketakwaan yang tidak ditunaikan ketika menghindari ketetapan dirinya.

Jumat, 23 September 2022

Bumi Tempat Pembinaan Manusia

Allah menciptakan manusia di alam yang paling jauh dari sumber cahaya-Nya, akan tetapi kemudian dijadikan sebagai puncak ciptaan-Nya sebagai penghulu segenap makhluk. Rasulullah SAW adalah penghulu segenap makhluk. Demikian pula beberapa penghulu yang lain juga diciptakan dari kalangan manusia. Mereka menjadi pemimpin-pemimpin bagi para makhluk yang sangat banyak dari seluruh kalangan di langit dan di bumi, sedangkan mereka diciptakan dari bumi dan ditempatkan di bumi, alam yang terjauh dari sumber cahaya.

Bumi merupakan tempat belajar yang dapat melahirkan potensi yang paling besar dalam diri makhluk sebagai bekal untuk menjadi hamba Allah dalam melaksanakan kehendak-kehendak Allah dengan benar, terutama manusia. Mereka diberi aspek jasadiah yang diciptakan dari bumi, dan diberi aspek nafs yang harus kembali kepada Allah agar mereka memperoleh kedudukan yang dijanjikan bagi mereka. Tanpa memperhatikan kedua aspek tersebut, manusia tidak akan dapat berjalan kembali kepada Allah. Nafs manusia harus terbina sebagai makhluk yang sebaik-baiknya dengan memperhatikan aspek jasadiah mereka. Bumi merupakan wahana yang paling baik untuk membina kesempurnaan makhluk dengan akhlak yang mulia.

﴾۴۶﴿اللَّهُ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ قَرَارًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَصَوَّرَكُمْ فَأَحْسَنَ صُوَرَكُمْ وَرَزَقَكُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ ذٰلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ فَتَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kamu sebagai tempat menetap dan langit sebagai binaan, dan memberikan kalian bentuk rupa lalu membaguskan bentuk rupamu serta memberi kamu rezeki dari at-thayyibat. Yang demikian itu adalah Allah Tuhanmu, Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam. (QS Al-Mu’min : 64)

Bumi merupakan tempat pembinaan manusia agar mengerti ikrar yang paling kuat sebagai hamba Allah di antara semua ikrar makhluk berakal yang lain. Mereka mempunyai bagian dari bumi sebagai materi yang paling sulit ditundukkan dibandingkan entitas makhluk lain, dan hal itu hanya dapat dilakukan dengan membina penghambaan yang lebih baik dibanding makhluk lain. Manusia hanya bertempat tinggal sementara di bumi karena bumi hanya merupakan tempat membina ikrar penghambaan, sedangkan jati diri manusia sendiri adalah makhluk yang harus bertempat tinggal di surga dengan seluruh kelengkapan jasadiah maupun alam langitnya.

Ikrar demikian tidak dapat terjadi hanya dengan jasadiah manusia saja. Ikrar demikian hanya dapat dipahami oleh nafs yang tumbuh dalam menghambakan diri kepada Allah. Nafs itulah lokus pembinaan setiap manusia, yang harus tumbuh bersama dengan jasad mereka. Jasad mereka merupakan tempat tinggal yang menetap bagi nafs, sedangkan nafs merupakan entitas yang harus tumbuh dibina menghamba kepada Allah memimpin jasadnya.

Nafs itulah yang bisa berubah bentuk rupa menuju bentuk rupa yang sempurna. Jasad manusia mempunyai bentuk rupa yang relatif tetap tanpa perubahan yang terlihat nyata, tetapi nafs dapat berubah bentuk sesuai keadaan, dari bentuk syaitan dapat berubah hingga seseorang mempunyai bentuk rupa dalam citra Ar-rahman. Ar-rahman tidak menunjuk pada Zat Allah secara langsung, tetapi merupakan turunan wajah Allah yang diperkenalkan kepada makhluk dalam derajat paling sempurna. Rasulullah SAW menjadi makhluk yang memperoleh bentuk rupa dalam citra Ar-rahman yang paling sempurna dibandingkan seluruh makhluk lain, dan orang lain memperoleh bagian turunan dari Rasulullah SAW.

Mengikuti Rasulullah SAW akan mengantarkan seseorang untuk memperoleh shurah yang sebaik-baiknya bagi mereka. Shurah Rasulullah SAW merupakan kesempurnaan akhlak mulia yang diperkenalkan Allah bagi alam semesta. Mengikuti sunnah pada intinya adalah mengikuti penyempurnaan akhlak, tidak boleh direduksi makna itu menjadi hanya berupa mengikuti amal-amal beliau SAW saja. Mengikuti amal-amal beliau SAW itu harus dilakukan untuk membentuk akhlak mulia dalam shurah Ar-rahmaan. Tanpa tujuan akhlak mulia, meniru amal Rasulullah SAW bisa jadi hanya menimbulkan kesombongan. Penyempurnaan akhlak ini hanya dapat dilakukan bila seseorang berharap kepada Allah, karena Allah yang memberikan shurah yang sebaik-baiknya bagi manusia.

Mewujudkan Rezeki Dari Langit dan Bumi

Orang-orang yang memperbaiki keadaan akhlak mereka akan menemukan sumber rejeki sesuai dengan keadaan nafs mereka. Akhlak yang benar akan membuat seseorang memahami petunjuk sesuai dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW dan mengetahui keadaan jasadiah dan dunia di sekitar mereka berdasarkan Alquran dan sunnah. Dan mereka mempunyai kemampuan untuk memberikan sumbangsih bagi sekitarnya. Itu adalah rezeki berupa rezeki dari langit. Ibarat pohon yang baik, akar mereka menghunjam ke bumi dan pokoknya menjulang ke langit. Dengan pengetahuan dan kemampuan tersebut, maka mereka akan memperoleh suatu sumber rezeki yang dapat mereka olah. Sumber rezeki berdasarkan kesesuaian akhlak nafs yang baik dan keadaan alam itu merupakan at-thayyibaat.

Namun tidak semua orang yang mengetahui at-thayyibaat bisa memperoleh rejeki darinya. Beberapa faktor mempengaruhi kemampuan seseorang dalam berbuat berdasarkan at-thayyibaat yang mereka ketahui. Ada orang-orang yang dimudahkan untuk mengolah segala sesuatu yang mereka ketahui, dan sebagian orang benar-benar tercegah dari at-thayyibaat mereka sehingga tidak bisa mengolahnya. Faktor yang paling besar bagi seseorang untuk dapat mengolah at-thayyibat mereka adalah keberpasangan yang baik dalam pernikahan. Orang yang memperbaiki keadaan pernikahan mereka akan lebih mudah mengolah at-thayyibat. At-thayyibaat menjadi salah satu faktor utama yang harus diperhatikan dalam menempuh pernikahan.

﴾۲۷﴿وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُم مِّنْ أَزْوَاجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
Allah menjadikan dari nafs kalian isteri-isteri bagi kalian dan menjadikan bagi kalian dari isteri-isteri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari at-thayyibat. Maka apakah mereka beriman kepada yang bathil dan kufur terhadap nikmat Allah?" (QS An-Nahl : 72)

At-thayyibaat yang terbentuk dalam pernikahan demikian merupakan sasaran utama syaitan untuk dirusak. Pasangan menikah harus berhati-hati dalam setiap interaksi mereka untuk menghindari terjadinya kerusakan at-thayyibat karena syaitan yang merayap menjalar di antara rumah tangga mereka. Setiap pihak harus berusaha dengan sebaik-baiknya menghindari penyusupan syaitan di antara mereka.

Menghakimi pasangan dengan perkataan orang lain merupakan racun yang disemburkan oleh syaitan yang akan merusak tumbuhnya at-thayyibaat dalam pernikahan. Setiap orang harus mengetahui sendiri keadaan pasangannya melalui interaksi mereka secara langsung, tidak menghakimi dengan pengetahuan orang lain. Perkataan buruk orang lain tentang pasangannya tidak boleh diikuti tanpa dirinya mengetahui kebenaran perkataan itu. Ia harus bisa menunjukkan keburukan pasangannya yang harus diperbaiki dengan pengetahuan sendiri, tidak menuduh pasangannya berdasarkan perkataan orang lain. Tingginya kedudukan dan status orang lain yang memberikan perkataan buruk tidak dapat dijadikan alasan pembenaran menghakimi keburukan pasangan dengan perkataan orang lain. Pernikahan merupakan mitsaqan ghalidza yang hampir setara dengan perjanjian risalah antara Allah dengan Rasul-Nya. Berbuat menghakimi pasangan dengan cara pembenaran dengan perkataan orang lain demikian merupakan racun yang sangat kuat bagi terbinanya rumah tangga. Seorang sahabat hanya mempunyai hak memberikan informasi manakala dibutuhkan.

Kesalahan lebih parah akan terjadi manakala seseorang mendustakan kebenaran dari pasangannya hanya karena perkataan orang lain. Dalam beberapa hal, seseorang bisa saja tumbuh nafs-nya hingga memperoleh shurah sebagai turunan citra Rasulullah SAW. Manakala seseorang mendustakan kebenaran pasangannya yang berakhlak mulia hanya berdasarkan perkataan orang lain, maka ia boleh jadi mendustakan ajaran Rasulullah SAW.

Tuduhan terhadap pasangan dengan kegilaan dan mengikuti syaitan merupakan kerusakan yang besar akibat syaitan. Kesadaran tentang adanya infiltrasi syaitan harus dihadapi sebagai ancaman bersama terhadap mereka, tidak disikapi sebagai bahan menuduh kesalahan satu pihak kepada pihak lain. Ketika pengetahuan itu menjadi tuduhan emosional seseorang terhadap pasangannya, sangat mungkin sebenarnya syaitan berhasil merusak dirinya. Bila pasangannya mau menerima masukannya, atau mempertimbangkan perkataannya dengan sungguh-sungguh baik sepakat atau tidak sepakat, sebenarnya syaitan belum merusak pasangannya. Sepakatnya pasangan merupakan bekal melangkah dengan baik menuju Allah, dan tidak sepakatnya harus dijadikan cermin prasangka yang ada dalam dirinya. Bila syaitan berhasil merusak pasangannya, maka hanya doa dan harapan kepada Allah yang bisa menjadi pengobatnya. Kesabaran menghadapi masalah demikian akan menjadi wahana pembinaan diri, dan bila tidak mampu menghadapi ia bisa mengajukan perceraian.

Seorang perempuan bersuami kadangkala harus mengalami dan akhirnya mengetahui bahwa suami yang emosional mempertahankan pernikahan mereka lebih baik daripada laki-laki lain yang memberikan kelembutan padanya untuk mencuri hatinya. Dalam kasus demikian, hawa nafsu suaminya berjuang untuk sunnah Rasulullah SAW, sedangkan kelembutan laki-laki lain merupakan sikap tidak menghormati sunnah Rasulullah SAW. Tidak ada keshalihan dalam sikap merendahkan sunnah Rasulullah SAW. Wanita demikian harus memilih sunnah Rasulullah SAW daripada mengikuti keindahan bentuk luar berupa adab kelembutan sikap laki-laki lain, dan perkataan suaminya lebih baik dan lebih lurus daripada perkataan laki-laki lain itu. Mungkin ia mengalami kesulitan, tetapi akan menjadi mudah bila ia bersungguh-sungguh. Hal demikian seringkali tidak (hanya) terkait kehormatan, tetapi lebih terkait dengan menghormati sunnah Rasululah SAW.

Bila sepasang suami dan isteri bersepakat atau berpendapat yang sama dalam langkah mereka menuju Allah di atas landasan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, maka mereka akan berjalan dengan baik menuju Allah. Boleh jadi mereka akan berhasil membentuk bayt untuk meninggikan asma Allah melalui pernikahan mereka, atau boleh jadi mereka tidak berhasil membentuk bayt demikian, akan tetapi mereka bisa berjalan kepada Allah dengan benar dengan berpasangan. Ada kelebihan bagi suatu pasangan bila mereka membentuk bayt, tetapi kadangkala Allah tidak membuka jalan membentuk bayt. Mereka mungkin berhasil memahami dan menjalankan agama, tetapi tidak dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi orang lain melalui fadhilah dan keberpasangan mereka.

Hanya bila terbentuk bayt, maka seseorang akan diberi kemampuan untuk meninggikan asma Allah melalui bayt mereka. Setiap pasangan hendaknya berusaha untuk dapat mewujudkan bayt demikian, tidak melambatkan langkah mereka dalam berjalan menempuh jalan Allah. Allah akan memberikan petunjuk untuk mewujudkan bayt setelah mereka mencapai tanah haram mereka berupa pengenalan penciptaan diri. Bila mereka patuh kepada petunjuk Allah, Allah akan memberikan petunjuk langkah yang harus dilakukan untuk menuju terwujudnya bayt. Setiap orang harus berusaha melihat dengan sungguh-sungguh kebenaran petunjuk di antara mereka, tidak hanya mengikuti hawa nafsu apalagi perkataan orang lain. Bila masing-masing menuduh pasangannya terseret obsesi yang berupa petunjuk, langkah mereka akan sulit. Syaitan akan masuk dalam hubungan mereka baik secara langsung di antara mereka atau melalui sekutu mereka. Bila mereka mempunyai sekutu yang tepat dari kalangan manusia, maka hasutan syaitan itu akan mempunyai daya rusak yang sangat kuat.

Nabi Ibrahim a.s memberikan tauladan membentuk dua bayt, yaitu bayt al-haram dan bayt al-quds. Beliau membentuk bayt terlebih dahulu bersama isteri kedua, dan kemudian membentuk bayt bersama isteri pertama. Itu adalah millah beliau a.s yang mungkin tidak sama dengan petunjuk kepada orang lain. Kedua bayt itu menjadi qiblat bagi orang-orang beriman sepanjang masa karena dengan bayt itu nabi Ibrahim a.s meninggikan asma Allah. Demikian orang-orang beriman dapat mengikuti tauladan beliau membentuk bayt untuk meninggikan asma Allah sesuai dengan jati diri masing-masing. Dengan terbentuknya bayt, seseorang akan memperoleh kesempatan untuk mengikuti Rasulullah SAW bertaubat kembali kepada Allah.

Perjuangan mengikuti langkah Rasulullah SAW kembali kepada Allah dari alam bumi akan membuka suatu potensi penghambaan kepada Allah dalam intensitas yang sangat besar. Bumi akan menjadi tempat pembinaan ikrar yang sangat kuat, dan nafs mereka akan tumbuh menjadi makhluk yang berakal kuat dalam menghambakan diri kepada Allah. Derajat mereka akan berbeda dengan makhluk berakal yang lain.



Minggu, 18 September 2022

Rahmat Allah, Hijrah dan Jihad

Rasulullah SAW diutus untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Orang-orang yang bersama beliau SAW adalah orang-orang yang memperoleh rahmat Allah, dan untuk anugerah rahmat itulah manusia diciptakan. Orang-orang yang memperoleh rahmat Allah mengetahui bahwa mata air segala kebaikan adalah rahmat Allah, dan dengan itu mereka menyeru umat manusia untuk kembali kepada Allah.

Di antara orang-orang yang diseru, terdapat golongan manusia yang mengharapkan rahmat Allah. Mereka adalah orang-orang yang beriman dan berhijrah dan berjihad di jalan Allah. Banyak orang yang merasa beriman tetapi tidak memperhatikan hijrah dan jihad mereka, maka mereka tidak benar-benar termasuk pada orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah.

﴾۸۱۲﴿إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Baqarah : 218)

Orang yang mengharapkan rahmat Allah adalah orang yang berada di jalan Allah (sabilillah). Bila seseorang tidak berada di jalan Allah, maka mereka tidak dapat dikatakan sebagai orang yang mengharapkan rahmat Allah. Jalan Allah (sabilillah) merupakan jalan tunggal bagi setiap manusia berupa jalan yang ditentukan Allah yang terhubung dengan urusan yang menjadi amanah Rasulullah SAW. Sebagian orang mengetahui dengan pasti sabilillah mereka dengan mengetahui keterkaitan urusan mereka dengan urusan Rasulullah SAW. Sebagian orang berusaha mengetahui sabilillah mereka dengan belajar sungguh-sungguh dan berusaha untuk beramal sesuai dengan apa yang mereka ketahui merupakan perintah dari Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Sebagian orang salah mengenali sabilillah mereka, dan sebagian tidak peduli dengan sabilillah bagi mereka. Cara yang mudah untuk memperoleh bagian sabilillah adalah dengan mengikuti orang lain yang mengenali sabilillah.

Beriman merupakan keadaan manusia dalam mengenali kebenaran, baik dalam tingkat dasar ataupun lanjut. Orang yang beriman adalah orang-orang yang mengenali kebenaran yang bersumber dari Allah dan mengikutinya. Di jaman ini, setiap kebenaran yang bersumber dari Allah mempunyai pembenar dalam Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Bila seseorang tidak dapat mengenali kebenaran yang bersumber dari Allah atau mendustakannya, maka mereka bukan termasuk dari orang yang beriman. Mendustakan kebenaran yang terang dari Allah merupakan perbuatan kafir.

Berhijrah adalah berpindah dari satu keadaan pada keadaan lain yang lebih baik. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa berhijrah adalah orang yang berhijrah dari larangan Allah. Apa yang dilarang Allah pada dasarnya adalah setiap keadaan yang buruk, dan mentaati larangan itu berarti menuju keadaan yang lebih baik. Poin penting berhijrah adalah mengenali kemunkaran dan kebaikan berdasarkan kehendak Allah, dan melakukan langkah yang diperlukan untuk menjadi lebih baik. Perintah berhijrah akan menjadikan setiap manusia mengenali kemunkaran dan kebaikan sebagai modal awal untuk menuju Allah, menjadi landasan terbentuknya akal untuk mengenali kehendak Allah.

وَالْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ
Mujahid adalah, orang yang berjihad memerangi jiwanya dalam ketaatan Allah. Dan muhajir adalah, orang yang berhijrah dari larangan Allah“.(HR Ahmad dalam Musnad 6/21)

Berhijrah menjadi amal yang dijadikan langkah awalan mengharapkan rahmat Allah. Tanpa mempedulikan perintah berhijrah, tidak terbentuk landasan akal yang benar untuk berjalan kepada Allah. Bila seseorang tidak mempedulikan kemunkaran dan kebaikan sebagaimana firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW, dan ia berbuat seolah-olah ia mentaati Allah, maka sebenarnya ia tidak menghadap kepada Allah. Perbuatan itu dapat diibaratkan meletakkan teko secara terbalik. Teko itu tidak menghadap dengan seharusnya. Dengan tindakan itu maka ia berbuat hal-hal yang tidak memberikan manfaat. Apa yang disangka merupakan perintah Allah boleh jadi sebenarnya bukanlah perintah Allah tetapi hanya merupakan dorongan hawa nafsu yang mewujud, atau bahkan perintah syaitan. Setiap orang harus memulai langkah mereka dengan berhijrah mengenali kemunkaran dan kebaikan dan berbuat sesuai dengan pengetahuan yang diperoleh.

Berjihad merupakan bentuk amal yang lebih lanjut dari berhijrah. Berjihad adalah bersungguh-sungguh dengan jiwa untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah. Setelah akal seseorang mengenali kemunkaran dan kebaikan dengan cara yang sesuai dengan kehendak Allah, mereka harus berusaha untuk mengenali perintah-perintah Allah dalam nafs mereka, dan dengan pengenalan itu mereka beramal dalam ketaatan kepada Allah. Tanpa mengenali urusan-urusan Allah, maka tidak akan terlahir perbuatan berupa ketaatan.

Landasan dasar dalam melakukan hijrah dan jihad yang paling penting diperhatikan adalah sabilillah. Mengharap rahmat Allah hanya dapat dilakukan di atas sabilillah. Sabilillah menunjukkan ketunggalan jalan bersama dengan Rasulullah SAW. Praktisnya, setiap sabilillah mempunyai landasan dalam Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, tetapi tidak semua orang yang menunjukkan landasan dari Alquran dan sunnah Rasulullah SAW berada pada sabilillah. Setiap orang harus menggunakan akal untuk berpegang pada makna yang selaras dengan kehendak Allah dalam upaya memahami terminologi sabilillah.

Mengenali Sabilillah

Tidak semua orang mengetahui jalan Allah (sabilillah) untuk ruang dan jaman mereka. Banyak pihak berupaya membangun hijrah dan jihad tetapi tidak mengetahui dan tidak mempedulikan sabilillah untuk ruang dan jaman mereka. Mereka membangun wacana hijrah dan jihad tetapi dengan keadaan itu mereka tidak dapat menemukan sabilillah. Sebenarnya ada orang-orang yang mengetahui sabilillah di setiap jaman, maka hendaknya setiap orang mengikuti perkataan terbaik dan berharap kepada Allah untuk dapat bertemu dan berjalan bersama dengan orang yang mengetahui sabilillah. Bersama mereka, manusia akan memperoleh jalan untuk berharap rahmat Allah.

Menemukan dan mengikuti orang yang mengetahui sabilillah mereka merupakan sebuah kemudahan untuk menemukan sabilillah. Orang yang mengenal sabilillah mereka adalah orang yang mengenal urusan jaman mereka. Mereka mengalami suatu keterbukaan yang dilimpahkan Allah sehingga mereka mengenal diri mereka, mengenal keadaan zaman dan banyak hal terkait ketetapan diri mereka. Keterbukaan itu dalam Alquran disebut dengan Al-Fath (keterbukaan).

﴾۱﴿إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِينًا
﴾۲﴿لِّيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُّسْتَقِيمًا
(1)Sesungguhnya Kami telah membukakan kepadamu keterbukaan yang nyata (2) supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memberikan kamu petunjuk kepada jalan yang lurus (shirat al-mustaqim) (QS Al-Fath : 1-2)

Keterbukaan itu adalah keterbukaan seseorang terhadap shirat al-mustaqim yang ditetapkan Allah bagi diri mereka yang terjadi secara tiba-tiba. Shirat al-mustaqim ini merupakan pokok tujuan keterbukaan yang diberikan kepada seseorang. Bila seseorang menemukan keterbukaan itu, ia akan mengetahui tujuan penciptaan dirinya, mengetahui keadaan sekitarnya sesuai dengan jati dirinya, mengetahui amal-amal yang ditetapkan bagi dirinya agar ia bisa menebus dosa yang telah lalu dan yang akan datang, dan mengetahui jalan yang terdekat untuk kembali kepada Allah. Kadangkala seseorang terlupa dengan tujuan pokok ini dan lebih menekankan perhatian dirinya sebagai orang yang memperoleh kuasa Allah, maka ia tidak melanjutkan perjalanan kembali kepada Allah tetapi justru berbalik menuju alam mulkiyah mereka.

Dalam tingkatan praktis, amal orang yang kembali ke alam mulkiyah dan yang melanjutkan perjalanan menuju Allah setelah memperoleh al-fath boleh jadi akan tampak sama. Mereka akan memakmurkan bumi. Orang yang melanjutkan perjalanan menuju Allah akan menjadikan pemakmuran alam mulkiyah sebagai sarana untuk membangun jalan kembali kepada Allah, sedangkan orang yang kembali ke alam mulkiyah akan menjadikan pemakmuran bumi mereka sebagai tujuan amal-amal mereka. Dalam arah perjalanan, mereka boleh jadi mengarah pada dua hal yang berbeda. Orang yang kembali kepada alam mulkiyah sangat mudah tergelincir menuju neraka.

Orang yang melanjutkan perjalanan di atas shirat almustaqim akan bersama-sama dengan Rasulullah SAW kembali kepada Allah, sedangkan orang yang kembali kepada alam mulkiyah akan tercerai-berai jalannya. Orang yang bersama dengan Rasulullah SAW akan selalu memperhatikan segala sesuatu yang diajarkan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW dan berhati-hati agar tidak keluar dari tuntunan yang digariskan Rasulullah SAW, sedangkan orang yang kembali ke alam mulkiyah akan menempuh jalan yang lebih mudah sebagaimana jalannya orang-orang kebanyakan. Mereka mudah tertipu oleh syaitan melakukan amal-amal yang tampak baik bagi mereka. Mereka akan tampak memakmurkan bumi sedangkan akal mereka suatu saat akan merasa asing atau sulit menerima kebenaran-kebenaran yang bersumber dari Allah. Adab dan peradaban tidak akan tumbuh dengan baik tanpa akal yang tumbuh dengan benar, sedangkan kemakmuran yang diwujudkan dengan cara demikian hanya akan menyentuh permukaan saja.

Orang yang memperoleh keterbukaan (al-fath) dan melanjutkan perjalanan bersama Rasulullah SAW inilah orang yang menempuh sabilillah. Tidak ada sabilillah yang tidak bersama-sama dengan Rasulullah SAW di atas jalan yang tunggal ini. Mungkin seseorang berjuang untuk suatu tujuan mulia, tetapi tidak dapat serta-merta dikatakan perjuangannya adalah sabilillah. Allah akan membalas kebaikan yang dilakukannya tanpa dirugikan sedikitpun. Tanda seseorang mengetahui sabilillah adalah ditemukannya keterbukaan seseorang terhadap jati dirinya brsama dengan berbagai ketetapan yang dapat diketahui dari ayat dalam kitabullah, ayat-ayat kauniyah dan ayat dalam diri mereka. Dan seseorang dikatakan menempuh sabilillah manakala ia berjuang untuk urusan Rasulullah SAW bagi ruang dan jamannya berdasarkan sabilillah yang diketahuinya sesuai syariat yang ditetapkan Allah bagi mereka.

Jihad Setelah Hijrah

Al-fath merupakan batas akhir dari pelaksanaan hijrah yang harus dilakukan seseorang dalam berjalan kepada Allah. Ia telah menemukan kedudukan dirinya sesuai kehendak Allah. Itu adalah kedudukan terbaik bagi seseorang, dan tidak ada kedudukan lain yang lebih baik. Selama belum menemukan al-fath, setiap orang harus berusaha mengamati keadaan yang mungkin lebih baik sebagai tempat hijrah. Ketika seseorang menemukan al-fath, maka ia tidak lagi mempunyai kewajiban untuk melakukkan hijrah, tetapi diwajibkan untuk melakukan jihad dan memperbaiki niat.

لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ، وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ، وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوْا.
Tidak ada hijrah setelah keterbukaan (al-fath), tetapi yang ada adalah jihad dan niat. Apabila kalian diperintahkan untuk maju (berjihad) maka majulah!” Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (VI/3, no. 2783), Shahiih Muslim (II/986, no. 1353), Sunan at-Tirmidzi (III/73, no. 1638), Sunan Abi Dawud (VII/158, no. 2463).

hal ini menunjukkan tercapainya tujuan hijrah. Bila seseorang telah mencapai tanah haram-nya, maka ia hendaknya berdiam pada tanah haram-nya tidak lagi berupaya untuk berpindah ke kedudukan yang lain. Tanah haram itu adalah pengenalan seseorang tentang shirat al-mustaqim masing-masing. Seseorang tidak boleh berpindah dari shirat al-mustaqim yang telah dikenalinya. Seandainya shirat al-mustaqim itu terasa berat, ia tidak boleh melarikan diri darinya.

Perintah ini tidak menunjukkan ketergesaan dalam melakukan jihad. Akan ada perintah untuk maju berjihad setelah terjadi keterbukaan (al-fath) terutama bagi orang yang menjadi perintis bagi jihad tersebut. Perintah ini terkait dengan kesiapan diri setiap orang, dan jihad demikian tidak dapat dilakukan tanpa melihat kesiapan diri. Syarat ini sedikit berbeda untuk orang-orang yang mengikuti jihad orang lain. Mereka yang mengikuti jihad orang lain termasuk berada di atas sabilillah bila yang diikutinya berada di atas sabilillah.

Pada fase awal keterbukaan (al-fath), tanduk syaitan akan terbit mencampuri keterbukaan yang terjadi. Hal ini terjadi pada usia kurang lebih 40 tahun qamariyah, atau 38-39 tahun syamsiah. Bila seseorang serta-merta menerima semua keterbukaan pada masa itu sebagai suatu kebenaran seluruhnya, maka ia benar-benar telah tertipu oleh syaitan. Kadang-kadang seseorang yang tertipu menganggap kesesatan dalam keterbukaan itu sebagai hal yang benar, sedangkan itu benar-benar jelas bertentangan dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Bila ia melaksanakan semua perintah berjihad pada masa itu, ia mungkin justru akan menghancurkan keadaan orang-orang beriman mengikuti syaitan.

Tanduk syaitan ini merupakan ujian yang sangat berat bagi akal dalam berpegang kebenaran. Fitnah syaitan itu dapat bersifat halus misalnya berupa pengetahuan yang mengkilap tentang diri tetapi tidak diketahui manfaatnya, atau dapat berupa perintah kemunkaran yang jelas-jelas merusak. Akal yang lemah dalam berpegang pada kebenaran akan tertipu. Setiap manusia harus mendidik akalnya agar mempunyai kecerdasan untuk mengenali kebenaran dan kemunkaran. Bila seseorang hanya mengikuti perkataan orang lain dalam berpegang pada kebenaran dan menghukumi kemunkaran, maka ia tidak akan mempunyai akal yang cukup kuat untuk menghadapi fitnah.

Bila seseorang telah membersihkan campuran syaitan dari keterbukaannya, hendaknya ia mengamati keadaan dirinya. Seseorang tidak akan dapat berjihad dengan benar tanpa mengetahui keadaan dirinya terhadap musuhnya. Keterbukaan itu seringkali terjadi dimulai dengan kejelasan keadaan kauniyah secara umum, sedangkan keadaan yang dekat dengan dirinya masih tersembunyi. Bila syaitan berhasil menipu dirinya, ia akan dimanfaatkan untuk berjuang demi kepentingan syaitan sedangkan ia memandang perbuatannya baik. Barangkali hanya ada selipan sedikit dari syaitan, tetapi selipan itu akan menghancurkan orang beriman. Bila syaitan tidak berhasil menipu, seringkali syaitan berhasil menjalar di rumah tangga memisahkan seseorang dengan isterinya. Itu merupakan upaya syaitan yang paling penting setelah upaya menipu seseorang pada masa al-fath. Bila ia telah mengetahui dengan benar keadaan diri dan pola serangan yang dilakukan musuh (syaitan) terhadap dirinya, maka akan muncul perintah untuk maju berjihad sesuai dengan keadaan yang terjadi, maka ia harus berjuang menyelamatkan umatnya dari musuh.



Selasa, 13 September 2022

Shirat Al-Mustaqim dan Al-jama’ah

Manusia diciptakan di dunia yang jauh dari cahaya Allah untuk kembali ke kedudukan yang dijanjikan bagi mereka di hadirat Allah SWT. Agar dapat kembali kepada kedudukan mereka, Allah menyediakan bagi mereka shirat Al-mustaqim, yaitu jalan yang terdekat bagi manusia kembali ke hadirat Allah. Rasulullah SAW bertemu wajah Allah di ufuk yang tertinggi ketika beliau SAW dimi’rajkan. Sebagian orang menemukan jalan itu dalam kehidupannya di dunia, dan sebagian tidak memperolehnya dan harus menempuh perjalanan panjang dari alam dunia melalui alam kubur, alam makhsyar dan hari pengadilan, agar mereka dapat hadir di hadapan Rabb mereka.

Setiap orang islam selalu bermohon kepada Allah untuk diberi petunjuk tentang shirat al-mustaqim. Shirat Al-mustaqim merupakan jalan kehidupan yang ditentukan Allah bagi setiap manusia, ditentukan sebelum kelahiran mereka di dunia yang dipersaksikan terhadap nafs mereka masing-masing. Orang yang mengenal nafs mereka akan mengetahui sebagian ketetapan bagi mereka, dan mereka mengetahui jalan kehidupan yang ditentukan bagi mereka. Jalan kehidupan itu adalah shirat al-mustaqim bagi mereka.

Dalam kehidupan di dunia, manusia menemukan bahwa mereka dapat menempuh jalan kehidupan yang bermacam-macam. Di antara jalan kehidupan yang bermacam-macam, terdapat jalan kehidupan yang ditetapkan Allah bagi mereka, baik mereka menyadari atau tidak menyadari. Sebagian besar manusia mengabaikan hal itu dan memilih jalan kehidupan yang diinginkan hawa nafsunya. Sebagian peduli pada ketetapan yang ditentukan Allah bagi mereka dan pada akhirnya mengantarkan mereka menemukan shirat al-mustaqim bersama shahabat dalam al-jamaah.

Dari ‘Abdullah bin Mas‘ûd Radhiyallahu anhu berkata :
خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ: هَذَا سَبِيْلُ اللهِ مُسْتَقِيْمًـا، وَخَطَّ خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَشِمَـالِهِ، ثُمَّ قَالَ: هَذِهِ سُبُلٌ ]مُتَفَـِرّقَةٌ[ لَيْسَ مِنْهَا سَبِيْلٌ إِلَّا عَلَيْهِ شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ قَوْلَهُ تَعَالَـى: وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Rasûlullâh SAW membuat garis dengan tangannya untuk kami kemudian bersabda, ‘Ini jalan Allâh yang lurus.’ Lalu beliau membuat garis-garis di kanan kirinya, kemudian bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan yang bercerai-berai, tak satupun dari jalan-jalan ini kecuali disana ada setan yang menyeru kepadanya.’ Selanjutnya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allâh Azza wa Jalla , “Dan sungguh, inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah ia! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) maka (jalan-jalan itu) akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.” [al-An’âm/6:153][HR. Ahmad (I/435, 465), ad-Darimy (I/67-68), al-Hakim (II/318)]

Kesatuan umat dalam al-jamaah hanya dapat terjadi di jalan yang lurus (shirat al-mustaqim) yang ditentukan Allah. Ada sekian banyak jalan yang ditempuh oleh setiap orang pada setiap saat kehidupan mereka, dan jalan yang banyak itu akan selalu mencerai-beraikan manusia. Di setiap jalan yang bercerai berai terdapat syaitan yang menyeru mereka, dan hanya satu jalan yang tidak ada syaitan menyeru kepadanya. Satu jalan itu adalah shirat al-mustaqim.

Satu jalan yang tidak ada syaitan menyeru itu adalah jalan Allah yang lurus (sabilillah). Jalan itu adalah jalan Allah, hanya akan dapat mulai dirasakan atau dapat diketahui dengan pasti oleh orang-orang yang menginginkan pertemuan dengan Allah, yaitu orang-orang yang menginginkan dirinya untuk memperoleh pakaian ketakwaan berupa sifat Rahman dan Rahim. Memiliki sifat rahman dan rahim merupakan turunan asma Allah yang paling utama yaitu Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim. Barangkali sebagian manusia tidak mempunyai imajinasi tentang bertemu Allah, atau keinginan bertemu Allah. Manakala ada harapan untuk menjadi orang yang baik, itu adalah benih keinginan pertemuan dengan Allah. Bila keinginan seseorang untuk menjadi baik telah tumbuh kuat di antara keinginan yang lain, maka akan disadari bahwa ia mempunyai keinginan bertemu dengan Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Orang-orang demikian itulah yang disebut orang yang menginginkan pertemuan dengan Allah.

Selain membangun sifat baik, setiap orang harus berusaha memahami kehendak Allah di atas landasan keinginan menjadi baik. Berusaha memahami kehendak Allah merupakan upaya membuat salinan dari asma Allah Ar-Rahman. Hal ini bisa dilakukan dengan berusaha memahami firman Allah berupa Alquran dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Alquran dan sunnah Rasulullah SAW adalah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, bahwa Rasulullah SAW adalah Alquran yang berjalan di antara manusia. Setiap pemahaman terhadap firman Allah dalam Alquran yang bersesuaian dengan sunnah Rasulullah SAW hanya akan terlahir dari keinginan untuk menjadi baik. Pemahaman terhadap Alquran dengan cara demikian merupakan pengajaran dari Ar-Rahmaan. Banyak golongan yang dibangkitkan syaitan menggunakan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW tanpa berlandaskan keinginan menjadi baik, tetapi karena keinginan agar dipandang terhormat oleh manusia dan keinginan yang lain.

Sifat-sifat baik dan memahami kehendak Allah pada bagian besarnya merupakan limpahan asma Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim bagi hamba-Nya. Seringkali seseorang tidak dapat mengupayakan kedua hal itu dengan kemampuan dirinya sendiri, dan kadangkala hanya dengan harapan kepada Allah, tiba-tiba Allah melimpahkan apa yang diharapkan sang hamba. Walaupun demikian setiap orang harus berusaha dengan sebaik-baiknya untuk membina keduanya, karena boleh jadi harapan itu akan melemah bila tidak disertai usaha, sedangkan harapan itu akan diuji dengan seruan-seruan syaitan di setiap jalan-jalan yang bukan merupakan shirat al-mustaqim.

Kedua asma Allah tersebut merupakan sifat yang paling mengantarkan seseorang untuk menemukan shirat Al-mustaqim. Dalam kehidupan, upaya untuk berpakaian dengan sifat rahman rahim akan sangat banyak menemukan tantangan berupa seruan untuk mengikuti sifat-sifat syaitan. Sifat kesombongan menjadi sifat utama syaitan yang menyeru manusia untuk memperjuangkannya, bertentangan dengan sifat rahman rahim. Terdapat banyak gradasi sifat syaitan yang menyeru setiap manusia untuk memperjuangkannya, dari kesombongan yang nyata hingga sifat-sifat buruk yang terlihat halus dalam selubung kebaikan. Setiap seruan untuk memakai sifat syaitan dalam jiwa manusia akan mendatangkan hijab yang menutupi seseorang dari shirat al-mustaqim mereka.

 

Al-Jamaah Sebagai Media

Kesatuan umat manusia hanya dapat terjadi di jalan Allah. Jalan Allah inilah jalan orang-orang yang termasuk dalam golongan al-jamaah. Tidak tercampur di dalamnya sifat-sifat syaitan pada orang-orangnya kecuali mereka mengalahkannya untuk dipimpin oleh orang-orang yang mempunyai sifat yang lebih dekat kepada Allah, dan mereka memahami kehendak Allah terhadap ruang dan jaman kehidupan mereka. Tidaklah disebut al-jamaah suatu kelompok besar yang tidak membina sifat-sifat mulia dan tidak memahami kehendak Allah. Sebaliknya boleh disebut al-jamaah kumpulan orang yang mengikuti kebenaran walaupun mereka sedikit, atau bahkan sendirian. Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata :

اَلْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَكَ.
Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian.”

Setiap orang harus berusaha menemukan al-jamaah dan berjalan bersama mereka dalam Al-jamaah. Itu adalah jalan paling mudah untuk menemukan shirat al-mustaqim. Kebersamaan dalam upaya menuju Allah membutuhkan suatu kedekatan, oleh karena itu setiap orang harus berusaha membina sifat mulia dan melepaskan sifat-sifat syaitaniah. Orang yang bertemu dan bergaul dengan golongan al-jamaah belum tentu termasuk dalam golongan mereka tanpa benar-benar berusaha untuk membina kebersamaan dengan mereka.

Suatu kesombongan tidak akan dapat benar-benar bersanding dengan orang-orang yang mempunyai sifat rahman dan rahim. Bagi orang yang ingin berpakaian rahman dan rahim, kesombongan mendatangkan rasa panas. Ia tidak akan berkeinginan untuk memakai pakaian kesombongan. Ketika ada orang lain bersikap sombong terhadap yang lain, atau bersikap sombong dan merendahkan dirinya, rasa panas itu akan terasakan. Mungkin ia tidak marah atau kecewa terhadap sikap orang yang merendahkan dirinya, tetapi akan timbul hambatan baginya untuk berkomunikasi dengan orang atau kelompok yang menyombongkan diri. Kadangkala rasa marah tercampur pula, akan tetapi mereka akan mudah untuk memaafkan. Walaupun memaafkan, tetap sulit bagi seorang al-jamaah untuk membangun komunikasi bila berhadapan dengan orang demikian, karena boleh jadi tidak melihat landasan kebersamaan yang harus dibina di antara mereka.

Ada hal-hal yang menimbulkan keadaan tidak baik bagi orang lain dalam seluruh fenomena kesombongan baik secara bathiniah maupun hanya fenomena fisik saja. Kadangkala muncul kesombongan bathiniah yang bermula dari fenomena fisik. Tidak semua hal yang terlihat membesarkan diri mempunyai nilai kesombongan. Kadangkala ada hal yang terlihat halus namun membawa kesombongan. Sebaliknya ada hal yang terlihat kasar secara kasat mata, tetapi tidak terasa ada kesombongan di dalamnya. Namun demikian setiap hal yang menunjukkan gejala kesombongan harus dihindari oleh orang yang menginginkan kebaikan. Demikian pula sifat-sifat syaitan yang lain harus dihindari.

 

Mengikuti Shirat Al-Mustaqim dalam Al-Jamaah

Penting bagi setiap orang beriman untuk menempuh jalan Allah tanpa mengikuti jalan-jalan yang lain. Ketika mereka mengikuti jalan-jalan yang lain, maka mereka akan berselisih. Jika terjadi perselisihan di antara dua orang yang menempuh jalan Allah, hal itu menunjukkan bahwa mereka masih bercampur mengikuti jalan yang lain. Agar tidak berselisih, maka hendaknya mereka berusaha melihat dengan seksama campuran jalan-jalan lain yang ada dalam jalan yang mereka tempuh. Allah memberikan perintah kepada orang-orang beriman :

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Dan sungguh, inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah ia! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain), maka (jalan-jalan itu) akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.” [al-An’âm/6:153]

Demikian itu merupakan washiat Allah kepada orang beriman agar memperoleh jalan ketakwaan. Setiap orang beriman harus berusaha melihat jalannya menuju Allah dengan seksama dan berjalan tepat dengan apa yang diketahui dari jalan Allah (sabilillah) tanpa mencampurnya dengan jalan-jalan yang lain. Bila mereka mengikuti jalan-jalan yang lain, mereka akan bercerai-berai tidak bisa mengikuti Al-jamaah. Bila mereka mencampurkan jalan-jalan yang lain dengan jalan Allah, maka mereka akan berselisih dengan al-jamaah lainnya. Orang beriman harus berusaha mengetahui dengan jelas sabilillah bagi dirinya, dan menguatkan hati untuk mengikutinya tanpa mencampur dengan jalan yang lain.

Ketika seseorang melihat cercah cahaya shirat al-mustaqim baginya, hendaknya ia mensyukuri, tidak mensia-siakannya dan selalu berhati-hati. Perjalanannya menuju Allah pada dasarnya sudah mengarah pada kebenaran, tetapi ia harus berhati-hati karena akan menghadapi ujian fitnah yang besar. Tanduk syaitan akan terbit baginya. Bila ia diselamatkan dalam menghadapi fitnah besar itu, ia akan menjadi golongan orang beriman. Bila ia tertipu, maka ia termasuk dalam golongan orang yang kufur terhadap nikmat Allah. Keadaan kufur terhadap nikmat ini tidak dapat dianggap ringan, karena ia akan tampak seperti orang beriman sedangkan ia membawa kekufuran dalam dirinya. Ia bisa menjadi fitnah bagi umat yang mengikutinya.

Seorang sahabat al-jamaah akan sangat berarti dalam keadaan ini. Akan tetapi kadangkala syaitan berhasil memisahkan dua orang dengan mencampurkan kesombongan terselip pada komunikasi atau percakapan mereka, maka keduanya menjadi saling bertentangan tanpa mengetahui kejelasan duduk permasalahannya. Terlebih bila kedua orang itu harus mempunyai hubungan yang dekat, maka syaitan akan bersungguh-sungguh membangkitkan konflik dengan kesombongan yang ditampakkan syaitan pada pihak lain. Ketika berusaha menunaikan kehendak Allah, mereka berselisih karena syaitan.

Syaitan mempunyai banyak cara untuk hal demikian, bahkan hingga bisa melakukan tanpa melibatkan adanya niat kesombongan pada kedua pihak. Hal ini bisa terjadi terutama bila syaitan mempunyai sekutu dari kalangan manusia baik orang musyrik maupun orang yang tertipu, masing-masing dapat dimanfaatkan kelebihannya oleh syaitan. Syaitan mungkin saja bisa menampakkan wajahnya secara hampir sempurna melalui sekutunya, yaitu meremehkan manusia dan mengabaikan kebenaran sedangkan ia memandang dirinya benar. Bila seseorang menilai sahabatnya karena wajah syaitan yang ditampakkan demikian, maka ia akan salah menilai sahabatnya. Akan tetapi, bila terus dipaksa untuk menghadapi wajah syaitan itu maka ia tidak akan bisa melihat keadaan sebenarnya sahabatnya. Termasuk bila ada kesungguhan untuk menempuh shirat al-mustaqim bersama-sama dalam aljamaah, keinginan itu dapat tertutupi dari pandangan sahabatnya karena tampilan wajah yang keliru. Dengan demikian, mereka akan terus berselisih dalam upaya menjalani shirat al-mustaqim.

Untuk mengantisipasi hal ini, hendaknya setiap pihak berusaha kembali pada sabilillah sepenuhnya. Mengajak serta mencari informasi kesungguhan pihak lain dalam menempuh jalan Allah bersama-sama seringkali dapat membantu, tetapi syaitan kadang mempunyai jalan yang tidak terpikirkan oleh manusia. Para syaitan akan mendatangi orang-orang yang mengambil jalan selain shirat al-mustaqim dan dengan jalan itu kemudian mencerai-beraikan kedua pihak yang terlibat dari shirat al-mustaqim mereka. Berhasil ataupun tidak, amr ma’ruf nahy munkar akan mendatangkan kebaikan bagi yang melakukannya.

Rabu, 07 September 2022

Iman dan Pemakmuran Bumi

Rasulullah SAW diutus untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Beliau SAW menjadi penghulu segenap makhluk yang menjabarkan kehendak Allah dalam penciptaan alam semesta seluruhnya secara sempurna sehingga makhluk memperoleh jalan untuk mengenal Allah, dan karena hal itu maka mereka memperoleh rahmat. Tanpa mengikuti Rasulullah SAW, akan sangat sulit bagi makhluk untuk memperoleh rahmat Allah.

Di antara makhluk Allah, ada orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasulullah SAW. Mereka mengikuti Rasulullah SAW kembali kepada Allah, dan setelah memperoleh rahmat Allah, mereka menjadi wakil Allah di muka bumi. Orang-orang yang menjadi wakil Allah adalah orang-orang yang telah melampaui fitnah-fitnah yang ditimpakan Allah kepada mereka. Mereka mengenal kehendak Allah yang sebenarnya, dapat mengenali kehendak Allah yang benar dibalik fitnah-fitnah yang Allah datangkan. Mereka tidak tertipu oleh fitnah dari syaitan, bahkan oleh fitnah yang didatangkan Allah bagi mereka.

﴾۲﴿أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
﴾۳﴿وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
(2)Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang tidak kami datangkan bagi mereka fitnah?(3)Dan sesungguhnya kami telah datangkan fitnah pada orang-orang yang sebelum mereka, maka sungguh Allah mengetahui orang-orang yang berbuat benar dan sungguh Dia mengetahui orang-orang yang berbuat dusta. (QS Al-’Ankabuut: 2-3)

Mereka adalah orang-orang yang benar (shadiq). Bila seseorang mengenal Allah dengan benar, ia akan mengetahui bahwa Allah kadangkala mendatangkan pula fitnah bagi dirinya, dan ia mengetahui apa kehendak-Nya di balik fitnah itu. Bila seseorang hanya menuruti segala hal yang datang pada dirinya, termasuk ketika fitnah-Nya yang datang, sebenarnya ia belum mengenal Allah dengan benar. Bila demikian, maka ia termasuk sebagai orang-orang yang dusta imannya. Hal ini tidak selalu menunjukkan adanya keinginan berdusta, tetapi sering pula menunjuk pada tidak terpenuhinya kualitas keimanan yang ditentukan Allah, sedangkan ia mengira dirinya orang beriman. Orang yang tertipu oleh fitnah Allah harus berusaha memahami kembali pengenalannya kepada Allah dengan benar.

Terkait pemakmuran bumi sebagai tugas khalifatullah, orang-orang yang mempunyai iman yang benarlah yang akan memakmurkan bumi. Orang-orang yang tidak memenuhi kualifikasi iman yang ditentukan Allah juga akan berbuat dengan hal-hal yang bersifat memakmurkan bumi, akan tetapi perbuatan-perbuatan yang mereka lakukan sebenarnya hanya merupakan sayyiah, yaitu perbuatan yang terlahir dari hawa nafsu. Kebanyakan manusia hidup di bumi dikendalikan hawa nafsunya. Sebagian berusaha menundukkan hawa nafsu untuk beribadah kepada Allah, sebagian mempertuhankan hawa nafsu, akan tetapi keduanya tetap dikendalikan hawa nafsu.

Bila manusia mengenal nafs mereka, mereka akan menemukan pengetahuan yang sifatnya berbeda dengan orang kebanyakan. Seseorang yang mengenal nafs mereka secara umum mempunyai kualitas pemahaman yang berbeda karena ada sumber pengetahuan dari Allah melalui jalan-jalan yang diturunkan-Nya. Sebagian sumber pengetahuan yang berbeda mempunyai sumber dari alam yang tidak baik, yaitu manakala sumber itu tidak melalui jalan-jalan yang diturunkan Allah. Sumber pengetahuan yang baik itu harus dimanfaatkan oleh seseorang untuk berupaya mewujudkan pemakmuran bumi. Tidak boleh seseorang yang menemukan sumber pengetahuan itu menggunakannya untuk kepentingannya sendiri saja. Bila seseorang mempunyai pengetahuan dan jalan yang tidak berbeda dengan orang kebanyakan, sangat mungkin upaya mereka itu hanya berasal dari hawa nafsu.

Orang-orang yang dibukakan kepadanya sumber melalui jalan Allah itulah orang yang akan memakmurkan bumi mereka. Banyak golongan manusia menginginkan kemakmuran bumi dengan latar belakang tujuan dan sasaran mereka masing-masing, dan menempuh jalan yang mereka pilih masing-masing. Setiap orang dapat menempuh jalan mereka sendiri untuk suatu tujuan memakmurkan bumi. Berbagai macam pemakmuran dilakukan banyak manusia, dari orang-orang jahat yang menggunakan kamuflase pemakmuran bumi untuk pemakmuran diri mereka sendiri, hingga orang-orang benar pun berusaha memakmurkan bumi. Mereka seluruhnya tidak akan dapat memakmurkan bumi sesuai dengan kehendak Allah dengan jalan mereka sendiri, hanya orang yang mengikuti jalan Allah yang memakmurkannya.

Pemakmuran Bumi Oleh Mukminin

Sebagian orang yang imannya tidak memenuhi kualifikasi Allah setelah didatangkan fitnah-fitnah kepada, sedangkan mereka menganggap diri mereka beriman, mereka juga berusaha dengan bersegera untuk memakmurkan bumi. Sebenarnya upaya mereka hanyalah sayyiah-sayyiah yang berasal dari hawa nafsu mereka.

﴾۴﴿أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ أَن يَسْبِقُونَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
Ataukah orang-orang yang mengerjakan sayyiah itu mengira bahwa mereka akan mendahului Kami? Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu. (QS Al-’Ankabuut: 4)

Orang-orang demikian tidak akan berhasil memakmurkan bumi dengan upaya mereka. Allah mempertanyakan kepada mereka, apakah mereka akan mendahului Allah (dan orang-orang yang selaras dengan kehendak Allah) untuk memakmurkan bumi? Sebenarnya sangat buruklah apa-apa yang mereka tetapkan itu.

Ketika seseorang belum mampu melampaui fitnah yang didatangkan Allah baginya, ia belum benar-benar mengenal Allah. Orang yang selaras dengan kehendak Allah adalah orang yang mengenal kehendak Allah sekalipun kehendak itu tersembunyi dibalik fitnah-Nya. Allah menghendaki pemakmuran bumi bersama dengan orang-orang yang selaras dengan-Nya. Kaum muslimin hendaknya berusaha memahami pertanyaan Allah dalam ayat ini, apakah mereka akan mendahului Allah dalam upaya mereka? Meninggalkan orang-orang yang selaras dengan kehendak Allah sama saja dengan mendahului Allah.

Apa yang mereka tetapkan sebenarnya sangat buruk. Mereka tidak mempunyai pengetahuan yang benar terhadap masalah yang terjadi di sekitar mereka karena tidak terhubung dengan kehendak Allah. Ketika memutuskan suatu perkara, apa yang mereka putuskan seringkali tidak membuat perbaikan dan justru menimbulkan kerusakan. Manakala mereka berbuat perbaikan, timbul kerusakan yang besar karena perbuatan yang lain. Secara total, lebih banyak kerusakan yang ditimbulkan daripada perbaikannya.

Orang yang selaras kehendak Allah sebenarnya hanya mengambil jalan yang ditentukan oleh Allah, tidak mengambil jalan lebih dari itu. Ia menemukan jalan yang ditentukan Allah dengan pengetahuan dari Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Walaupun jalan itu terlihat sempit, tetapi berlandaskan pengetahuan yang luas. Buruknya keputusan yang ditetapkan orang yang tertipu dengan fitnah Allah dapat digambarkan bahwa mereka bisa saja keliru mengambil jalan syaitan untuk memakmurkan bumi, dan mengira bahwa jalan itu adalah jalan Allah. Hal itu akan justru mendatangkan madlarat yang sangat besar.

Pemakmuran bumi harus dilakukan para mukminin melalui jalan penyatuan hal yang terserak dari dirimereka. Itu adalah jalan tauhid yang dikehendaki Allah menjadi jalan pemakmuran bumi. Setiap orang harus berusaha mengenal dirinya dan hal-hal yang terserak dari dirinya di alam semestanya tanpa tergoda untuk mengumpulkan hal-hal yang menjadi bagian orang lain. Dengan pengetahuan tentang dirinya dan apa yang terserak dari dirinya, seseorang harus berusaha untuk mengumpulkannya. Dengan hal itu maka akan terjadi pemakmuran bumi melalui masing-masing insan tanpa ada kerusakan dalam diri masing-masing, masyarakat dan semesta mereka. Prinsip pemakmuran dengan tauhid ini bernilai penting tidak dapat digantikan dengan prinsip yang lain.

Pemakmuran dengan cara demikian merupakan turunan dari tauhid untuk mengenali diri mereka sebagai hamba Allah dan pengikut Rasulullah SAW. Tanpa mengenali kedudukannya sebagai hamba Allah dan sebagai pengikut Rasulullah SAW, seseorang tidak akan mengenali bagian dirinya yang terserak. Seringkali setiap orang harus menemukan seorang imam yang benar sebagai jalan untuk mengikuti Rasulullah SAW, sebagaimana seorang isteri menemukan kebenaran bagi diri mereka melalui suami. Akan tertutup jalan bagi seseorang bila mendustakan kebenaran dari imamnya sebagaimana tertutupnya jalan bagi seorang perempuan yang mendustakan kebenaran dari suaminya. Walaupun demikian, setiap orang tidak boleh membutakan diri untuk mengikuti suaminya atau imamnya tanpa memperhatikan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW, karena yang menjadi intinya adalah mentaati Allah dan Rasulullah SAW, dan implementasinya secara konkret dengan mentaati washilahnya. Apa yang bertentangan dengan keduanya tidak mengandung kebenaran yang harus diikuti, walaupun mungkin ia tidak harus melakukan penentangan. Yang wajib dilakukan adalah menyuruh pada al-ma’ruf dan melarang dari kemunkaran, dengan cara yang baik.

Membangun rumah tangga secara benar menjadi pondasi pemakmuran bumi. Itu adalah setengah bagian dari agama. Pernikahan mengikuti sunnah Rasulullah SAW akan menghubungkan upaya pemakmuran bumi oleh seseorang dengan perintah Allah, yang terhubung melalui Rasulullah SAW dalam sebuah tatanan Ilahiah berupa al-arham. Boleh jadi suatu kaum diijinkan untuk memakmurkan bumi dengan upaya mereka sendiri, akan tetapi mereka tidak terhubung dengan perintah Allah dalam tatanan yang dikehendaki-Nya. Dengan cara apapun pemakmurannya, bahwa sebenarnya orang yang paling berperan dalam memakmurkan adalah orang yang membangun keluarganya dengan baik. Pemakmuran tanpa terhubung pada perintah Allah dan jalan-Nya akan bersifat rentan terhadap makar dan tipu daya. Mereka tidak memiliki pengetahuan yang benar sehingga seringkali tidak membuat kemajuan yang tepat dan tidak mengatasi masalah sebenarnya. Allah pada dasarnya menegur mereka : Ataukah orang-orang yang mengerjakan sayyiah itu mengira bahwa mereka akan mendahului Kami?

Orang yang mendahului Allah mungkin akan menempuh jalan pemakmuran tanpa pengetahuan hak yang memandu mereka. Amat buruklah apa yang mereka tetapkan. Mereka barangkali dapat mengusahakan pemakmuran dengan apa-apa yang dapat diusahakan oleh orang-orang kafir, tetapi tidak memperhatikan apa yang harus diupayakan oleh mukminin. Mungkin jalan utama untuk mengumpulkan yang terserak dari diri seseorang tidak mereka perhatikan. Apa yang menjadi hak orang lain mungkin dihitung dan dikumpulkan bagi dirinya, atau mungkin mereka merusak pula segala upaya mukmin lain yang berusaha mengumpulkan bagian dari dirinya hingga rusaklah segala bagian orang tersebut. Manakala seseorang dipisahkan dari isterinya, maka pangkal dari upaya mengumpulkan yang terserak dari diri seseorang tersebut akan terlepas, hingga seseorang terpaksa mencari apa-apa yang tidak menjadi bagian mereka. Bila seseorang menjadikan seorang isteri laki-laki lain ribut dengan isteri yang lain, maka orang itu telah merusak banyak hal yang menjadi bagian suami dan para perempuan itu. Hal-hal demikian sangatlah disukai oleh syaitan, dan apakah mereka menjadikannya jalan utama mereka? Amat buruklah apa-apa yang mereka tetapkan.

Peran Mukminat dalam Pemakmuran

Peran wanita dalam pemakmuran bumi sesuai dengan kehendak Allah mempunyai tingkat peran yang sama penting dengan laki-laki walaupun mempunyai peran berbeda. Seorang laki-laki tidak akan mampu memakmurkan bumi tanpa ada wanita yang mendampingi sebagai isteri. Baiknya suatu umat tidak terlepas dari baiknya isteri imam mereka. Suatu umat dapat celaka karena buruknya isteri imam mereka, dan suatu umat selamat karena kebaikan isteri imam mereka.

Kadangkala seorang wanita harus rela berbagi peran bagi suaminya bersama dengan wanita lain karena penciptaan nafs mereka, dimana dari satu nafs wahidah diciptakan pasangan lebih dari satu. Dalam hubungan ini, sebenarnya ada hubungan yang relatif lebih rumit bagi seluruh pihak. Seorang suami harus berbagi dalam lebih dari satu keluarga, dan seorang isteri harus berbagi peran dengan madunya.

Kebutuhan mewujudkan rumah tangga ta’addud dalam beberapa kasus dibutuhkan oleh setiap pihak, baik suaminya, isteri dan isteri lainnya, dan bahkan umat mereka. Dalam beberapa kasus, bantuan kecil seorang perempuan terhadap seorang laki-laki shalih dapat menyelamatkan suatu kaum dari kebinasaan. Suatu kaum kadangkala harus bersyukur dan berterima kasih terhadap suatu upaya seorang perempuan tertentu membantu seorang laki-laki tertentu, karena upaya itu boleh jadi sebenarnya telah menyelamatkan mereka. Demikian pula kadangkala seorang isteri sebenarnya terbantu keadaannya dengan kehadiran seorang madu. Termasuk terbantu dalam agamanya hingga ia dapat berjalan lurus mengikuti suaminya. Hal demikian seringkali tertutupi oleh kecemburuan. Memisahkan perempuan dari laki-laki dalam hubungan keshalihan demikian merupakan keputusan yang sangat buruk yang menghambat pemakmuran bumi atau mendatangkan mushibah bagi umat, yang bisa dijadikan contoh keputusan yang mendapat celaan Allah : Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu. (QS Al-’Ankabuut: 4)

Dalam urusan ta’addud, perlu disadari bahwa seringkali syaitan lebih mudah mencari jalan di antara suami dan isteri melalui celah kekosongan yang belum terisi oleh seorang madu. Juga terdapat celah yang lebar bagi syaitan di antara mereka dengan calon madu mereka. Bila pernikahan dibiarkan dengan celah, ketenangan akan sulit diperoleh. Ta’addud seharusnya menyatukan satu suami bersama seluruh isterinya dalam keluarga yang lebih sakinah di semua rumah tangga mereka, tidak menyisakan celah bagi masuknya syaitan dalam langkah mereka kembali kepada Allah. Kebutuhan ta’addud ini ditandai dengan tidak berkurangnya cinta pada isteri lama karena kehadiran isteri baru. Bila seseorang menyesali ta’addud karena melibatkan pernikahan dengan isteri terdahulu, maka landasan ta’addud itu boleh jadi hanya tipuan syaitan.

Kerumitan dalam rumah tangga ta’addud harus disikapi dengan baik sebagai ibadah kepada Allah dengan memakmurkan bumi mereka. Kadangkala jalan memakmurkan bumi bagi mereka harus diwujudkan melalui hubungan pernikahan ta’addud sehingga seorang laki-laki dapat mengumpulkan yang terserak dari dirinya. Bila demikian, seorang isteri tidak boleh serta-merta berprasangka buruk kepada suaminya. Perkataan negatif orang lain hendaknya tidak dijadikan bahan menghakimi suaminya karena belum tentu perkataan itu benar. Demikian pula tidak boleh tuduhan buruk seorang isteri ditujukan kepada wanita lain. Ketika seorang laki-laki mengenal penciptaan dirinya, ia akan mengenali pula nafs para perempuan yang diciptakan dari dirinya. Hal demikian harus difahami oleh isteri, dan bahwa perempuan lain itu pun secara tidak langsung sebenarnya termasuk bagian dari dirinya. Kerelaan seorang isteri bagi suaminya untuk menyatukan yang terserak dari diri mereka merupakan bagian penting dari pemakmuran bumi sebagai jalan ibadah.

Bila urusan ta’addud menjelang, kadangkala seorang perempuan dipertakuti keadaan yang sulit dan kecemburuan. Hubungan ta’addud yang demikian seringkali terjadi dengan latar keadaan yang sangat sulit, bukan terjadi dalam romantika sederhana ala remaja. Syaitan akan menghalangi mereka dengan sekuat tenaga, memisahkan hubungan satu dengan yang lain untuk menggagalkan urusan pemakmuran bumi mereka. Seorang isteri harus memahami bahwa keadaan suaminya dan calon madunya pun sebenarnya tidak sederhana. Sama saja keadaannya, bahwa syaitan menghantam seluruh pihak yang mengemban amr Allah, sebagaimana syaitan menghantam keadaan rumah tangga mereka. Seorang isteri lebih memperoleh keuntungan dibandingkan yang belum menjadi isteri, dimana lebih mudah bagi seorang laki-laki untuk bersikap benar dalam pernikahan daripada dalam hubungan sebelum ikatan pernikahan.