Pencarian

Senin, 30 Mei 2022

Seruan Rasulullah SAW

Allah menciptakan makhluk agar mereka mengenal-Nya. Untuk hal itu, Allah mengutus nabi Muhammad SAW. Beliau adalah pemimpin seluruh alam semesta untuk mengenal Allah, dan mengajarkan mereka untuk mencapai kedudukan sebagai hamba Allah yang sebenarnya. Beliau SAW dijadikan Allah sebagai Rasul-Nya agar menjadi rahmat bagi alam semesta. Melalui beliau maka alam semesta akan memperoleh rahmat Allah. Manusia akan memperoleh rahmat Allah bilamana mereka mengikuti sunnah beliau SAW. Dan di antara para nabi beliau merupakan segel pengesahan bagi para nabi.

Kedudukan beliau SAW merupakan kedudukan tersendiri yang tidak sama dengan makhluk yang lain. Para nabi dan rasul yang lain diberi pengajaran Allah tentang berbagai kebenaran, tetapi masing-masing seluruhnya merupakan bagian yang menjelaskan kebenaran yang diberikan kepada Rasulullah SAW. Setiap orang jaman ini yang mempelajari kitab yang diberikan kepada seorang rasul atau nabi yang lain harus berusaha mengetahui pokok ajaran itu dari apa yang diajarkan Rasulullah SAW. Manakala tidak mengetahui kedudukan suatu kitab yang lain dalam ajaran Rasulullah SAW, sangat mungkin seseorang akan tersesat dalam upayanya memahami kitab tersebut. Demikian pula dalam pengetahuan yang lain. Bila ada seseorang yang mengalami keterbukaan tentang dirinya, hendaknya ia mengetahui kedudukan amanah dirinya dalam seruan Rasulullah SAW tidak merasa sebagai pemilik mutlak amanah, agar ia tidak tersesat dalam langkah perjalanan berikutnya. Perjalanan setiap manusia harus diarahkan untuk mengikuti sunnah beliau SAW.

Seruan beliau SAW adalah seruan menuju kebenaran tanpa ada kebengkokan di dalamnya. Beliau SAW menyeru agar manusia kembali kepada Allah. Seruan beliau SAW tidak sama dengan seruan seseorang kepada orang yang lain. Bahkan seruan para nabi yang lain-pun sebenarnya merupakan bagian dari seruan beliau SAW. Orang-orang yang mengalami keterbukaan dirinya hendaknya segera menemukan kedudukannya dalam seruan Rasulullah SAW, tidak tergesa menganggap bahwa amanah yang harus dilaksanakannya merupakan hal yang sama derajatnya dengan seruan Rasulullah SAW. Bila ia mengetahui kedudukannya dalam seruan Rasulullah SAW, maka ia akan menjadi bagian dari jamaah beliau SAW.

﴾۳۶﴿لَّا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُم بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Janganlah kamu jadikan seruan Rasul diantara kamu seperti seruan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih. (QS An-Nuur : 63)

Sangat penting bagi seseorang untuk mengetahui kedudukan dirinya sebagai bagian dari suatu kebenaran universal dibandingkan sekadar mengetahui kebenaran dalam dirinya saja. Seseorang yang bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah jauh lebih utama daripada seseorang yang mengenal diri sendiri, walaupun mengenal diri sendiri juga merupakan suatu keutamaan dan merupakan pintu persaksian terhadap Rasulullah SAW. Orang yang benar-benar bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah akan lebih mencintai hal-hal yang disampaikan Rasulullah SAW daripada kebenaran dari dirinya sendiri, dan lebih suka untuk mengajak orang lain kepada seruan Rasulullah SAW daripada kepada dirinya sendiri.

Orang yang tidak berusaha mengetahui kedudukan seruan Rasulullah SAW di antara mereka pada dasarnya merupakan orang-orang yang cenderung tergelincir pergi meninggalkan Rasulullah SAW secara berangsur-angsur. Langkahnya akan terpisah secara perlahan dari Al-jamaah dalam mengikuti sunnah Rasulullah SAW, dan ia dapat diibaratkan menjadi domba yang terpisah dari kerumunannya. Keterpisahan itu barangkali akan terjadi secara halus tanpa disadarinya, tetapi Allah mengetahui bahwa seseorang dalam keadaan demikian sangat dekat pada meninggalkan Rasulullah SAW secara berangsur-angsur.

Proses keterpisahan itu dapat terjadi pada kelompok manusia bukan hanya pada perseorangan. Al-jamaah adalah orang yang mengikuti amr Rasulullah SAW walaupun mereka sedikit atau bahkan sendirian, tidak meninggalkan amr itu walaupun secara berangsur-angsur. Banyaknya orang yang mengikuti suatu paham tertentu tidaklah selalu menunjukkan benarnya kedudukan dalam Al-jamaah. Proses keterpisahan suatu kelompok dari Al-jamaah dapat terjadi manakala orang-orang mengikuti pendapat seseorang yang salah dan menjadikannya sebagai hujjah pelindung mereka, maka kemudian mereka dapat terseret menjadi kelompok yang terpisah dari Al-jamaah yang mengikuti amr Rasulullah SAW. Keikhlasan yang lemah, kelemahan berpikir dan kelemahan akal menjadi sebab-sebab terjadinya keterpisahan suatu kelompok dari Al-jamaah.

Ketika manusia terpisah dari amr Rasulullah SAW, mereka akan ditimpa fitnah atau bahkan adzab yang pedih. Hendaknya setiap orang harus selalu memperhatikan dirinya untuk berpegang teguh pada Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, tidak membiarkan dirinya melenceng dari amr Rasulullah SAW. Manakala seseorang melenceng dari amr Rasulullah SAW, mereka akan tertimpa oleh fitnah atau akan memperoleh adzab yang pedih.

Fitnah Karena Terpisah

Fitnah adalah sesuatu yang tampak tidak sebagaimana keadaan yang sebenarnya. Fitnah itu terkadang bersifat sangat lembut hingga baru akan diketahui kelak ketika manusia tiba di al-haudh. Seseorang mungkin dapat berjalan hingga mereka tiba di al-haudh. Ini merupakan perjalanan yang sangat panjang yang telah ditempuh seseorang dalam mengikuti Rasulullah SAW. Akan tetapi kenyataannya pada akhirnya beberapa orang tidak akan memperoleh minum dari al-haudh ketika telah berada di sisinya, dan justru akan kembali dijauhkan. Hal ini terjadi karena mereka melenceng dari amr Rasulullah SAW setelah mengikuti beliau SAW hingga langkah yang dekat menuju surga.

Hal demikian terjadi akibat bid’ah yang mereka lakukan. Al-haudh adalah telaga yang yang diberikan kepada Rasulullah SAW di surga, merupakan perwujudan mata air pengetahuan kebenaran dalam agama. Orang-orang yang memperoleh minum dari Al-haudh adalah orang-orang yang mencari pemahaman kebenaran melalui apa-apa yang diajarkan Rasulullah SAW dan mengikuti sunnah beliau SAW. Sumber pengetahuan ini bersifat fundamental yang menjadi bahan utama terbentuknya bangunan agama seseorang dalam setiap tahap kehidupan, abadi tidak dapat digantikan atau diubah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinaikkan kepadaku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau tidak mengetahui apa yang mereka perbuat sesudahmu.’” (HR. Bukhari, no. 7049)

Manakala seseorang yang mengikuti Rasulullah SAW kemudian membuat sebuah landasan baru dalam bangunan agama mereka, maka mereka membuat bid’ah dalam agama. Misalnya manakala suatu pengetahuan tentang Alquran dan sunnah Rasulullah SAW dihukumi berdasarkan ru’ya atau pemahaman manusia, maka seseorang mungkin akan terjatuh dalam perbuatan bid’ah. Menurut amr Rasulullah SAW, ru’ya dan pemahaman manusia-lah yang harus dibangun dan dituntun dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, tidak sebaliknya. Bila seseorang melakukan bid’ah, bid’ah itu akan mencegah mereka untuk memperoleh minum dari Al-haudh.

Orang yang berbuat demikian akan hidup dalam suatu fitnah yang menipu diri mereka. Mereka akan melihat keadaan mereka baik, sedangkan Allah sebenarnya menjauhkan mereka dari amr Rasulullah SAW. Mereka akan keluar secara berangsur-angsur dari al-jamaah yang mengikuti Rasulullah SAW. Orang-orang yang bersama mereka mungkin bisa berjalan mencapai surga, dan boleh jadi menjadi penghuninya bila mereka tidak membenarkan bid’ah yang mereka lakukan. Tetapi ini sangat tidak mudah dilakukan dengan natur manusia. Orang-orang yang mengikuti bid’ah akan dihalau dari Al-haudh, dan setiap bid’ah adalah kesesatan yang bertempat di neraka. Dalam beberapa hal, syaitan akan memperoleh suatu fasilitas tertentu melalui orang yang tertimpa fitnah dan menggunakan fasilitas itu untuk menimbulkan fitnah yang lebih besar bagi umat secara lebih luas. Boleh jadi umat kemudian tertimpa suatu adzab yang sangat pedih karena keluar dari amr Rasulullah SAW.

Di sisi lain, tidak boleh suatu kebenaran yang baru dikenal oleh seseorang melalui Alquran dan sunnah nabi kemudian didustakan, dengan landasan pemahaman umum atau dengan suatu ru’ya. Pemahaman baru itu harus dijadikan paradigma pada bidangnya setelah dilakukan pengujian kebenarannya dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Bila tidak lulus uji kebenarannya, maka hendaknya ditunjukkan batas kebenaran dan kesalahan kepada orang yang mempunyai pemahaman keliru tersebut agar ia kembali kepada pikiran yang benar. Hendaknya setiap selipan diperiksa kebenarannya, karena selipan yang berasal dari hawa nafsu dan/atau syaitan sangat berbahaya walaupun terlihat kecil. Kadangkala seseorang bisa membuat suatu paparan persoalan dengan baik tetapi tidak mempunyai integritas dan melenceng. Persoalan cara berpikir seseorang yang melampaui batas kemampuan berpikirnya harus ditunjukkan kepada yang bersangkutan, ditunjukkan batas kebenaran berpikir yang mampu dilakukan olehnya, atau boleh dibiarkan bilamana mereka tidak mau mengetahui keadaan mereka bila tidak membahayakan umat.

Bid’ah terdapat pula dalam bentuk lain selain berkaitan dengan al-haudh, yaitu terkait dengan kiswah yang merupakan sasaran yang harus dicapai dengan mengikuti millah Ibrahim a.s. Kiswah dan al-haudh merupakan dua identitas yang diberikan kepada uswatun hasanah, yaitu Rasulullah SAW dan nabi Ibrahim a.s, dan melencengnya langkah seseorang dari kedua tujuan itu menyebabkan seseorang berbuat bid’ah.

dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
أَلَا وَإِنَّ أَوَّلَ الْخَلَائِقِ يُكْسَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام أَلَا وَإِنَّهُ سَيُجَاءُ بِرِجَالٍ مِنْ أُمَّتِي فَيُؤْخَذُ بِهِمْ ذَاتَ الشِّمَالِ فَأَقُولُ يَا رَبِّ أَصْحَابِي فَيُقَالُ إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
Sesungguhnya makhluk pertama yang diberi pakaian kiswah pada hari kiamat ialah Ibrahim ‘alaihis salam. Ingatlah, bahwa nanti akan ada sekelompok umatku yang dihalau ke sebelah kiri, maka kutanyakan: “Ya Rabbi, mereka adalah sahabatku?”, akan tetapi akan dikatakan : “Kamu tidak tahu akan apa yang mereka ada-adakan sepeninggalmu.” (HR. Bukhari, no. 6526, 4625, 4626, 4740, 3349; Muslim, no. 2860,)

Kiswah merupakan hadiah yang diberikan kepada orang yang berdzikir dan meninggikan asma Allah di dalam bayt yang telah memperoleh ijin Allah. Bayt ini merupakan sasaran millah Ibrahim a.s. Manakala seseorang atau suatu kaum membuat langkah-langkah baru yang menyelisihi millah Ibrahim a.s yang menyebabkan melencengnya langkah dalam membentuk bayt, berdzikir dan meninggikan asma Allah, maka orang atau kaum tersebut telah membuat bid’ah. Hal itu akan menyebabkan mereka ditimpa fitnah atau akan ditimpa adzab yang pedih.

Orang yang melakukan bid’ah akan terlalai dari batas dirinya. Barangkali ia akan kesulitan menyadari hal itu karena Allah menimpakan fitnah kepadanya. Kerusakan akibat suatu bid’ah akan menimbulkan persoalan di masyarakat. Fitnah akan membuat umat manusia kebingungan dalam mencari kebenaran, dan adzab akan membuat manusia menderita. Kesalahan langkah dalam mengikuti uswatun hasanah akan menimbulkan persoalan yang menyulitkan masyarakat, baik dalam masalah dunia ataupun akhirat. Sebagian umat akan merasa menempuh jalan ke akhirat dengan benar, sedangkan sebenarnya mungkin mereka akan dipisahkan dari Aljamaah, sejauh-jauhnya ketika pelimpahan kiswah dilakukan, atau ketika mereka berada di Al-haudh.

Kesulitan di alam dunia pun akan terjadi, dimana manusia hidup dalam kegelapan di atas kegelapan, sedemikian mereka tidak mengetahui apa yang harus dilakukan dengan tangan mereka untuk mengatasi masalah duniawi mereka. Kalaupun ada yang mengetahui, mungkin mereka tidak mempunyai jangkauan untuk memberikan penerangan bagi umatnya karena bid’ah yang diikuti masyarakatnya. Yang tidak kalah sulit, timbul keadaan seolah-olah umat mengetahui amal yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah mereka, akan tetapi sebenarnya tidak benar-benar mengerti dan menyentuh akar persoalan. Kadangkala bila ada dua orang yang ingin ishlah, mereka mengalami kesulitan dengan banyaknya orang yang merasa mengerti masalah, sedangkan masalah sebetulnya tidak benar-benar dimengerti.

Ada masalah lain yang ditimbulkan dalam perkara bid’ah. Sebagian pihak menjadikan permasalahan bid’ah sebagai pembangkit kegaduhan di antara umat. Pangkal masalah bid’ah tidak didefinisikan dengan baik dan kemudian banyak hal dijadikan tuduhan bid’ah kepada pihak lain. Ucapan niat, bacaan doa, milad Rasulullah SAW dan sangat banyak hal-hal yang tidak terkait dengan pangkal masalah bid’ah lainnya dijadikan materi tuduhan bid’ah kepada pihak lain. Hal ini menjadikan umat gaduh dan lalai dari menempuh perjalanan mengikuti sunnah Rasulullah SAW dan millah Ibrahim a.s.




Jumat, 20 Mei 2022

Bayt sebagai Millah Ibrahim a.s

Allah menciptakan alam semesta bagi makhluk-makhluk-Nya, agar mereka dapat mengenal Dzat yang menciptakan mereka. Di antara jalan mengenal Allah adalah berusaha menjadikan diri sebagai mitsal bagi cahaya (nuur) Allah, yaitu sebagai laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari dzikir kepada Allah, kemudian mereka membangun bayt untuk meninggikan asma Allah dan mendzikirkan asma-Nya yang diperkenalkan kepadanya. Ubudiyah yang sebenarnya kepada Allah harus disertai dengan amal sosial yang dimulai dari membangun pernikahan, tidak hanya dengan melakukan dzikir lisan saja.

﴾۶۳﴿فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ
di dalam bayt-bayt yang telah diijinkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, (QS An-Nuur : 36)

Bayt-bayt yang disebut dalam ayat di atas merupakan tahapan dan tujuan yang harus dicapai seseorang dalam mengikuti millah Ibrahim a.s. Setiap orang harus berusaha membangun bayt sebagaimana Ibrahim a.s membangun bayt bersama keluarganya untuk melaksanakan amr Allah bagi umat mereka. Ibrahim a.s dan Siti Hajar r.a dan Ismail a.s membangun bayt Al-haram setelah mereka berhijrah ke tanah haram makkah, sedangkan Ibrahim a.s dan Siti Sarah r.a membangun bayt alquds di tanah yang dijanjikan bagi mereka. Itu adalah kedua bayt yang menjadi tujuan millah Ibrahim a.s, sedangkan bayt-bayt harus dibina oleh masing-masing orang sebagaimana Ibrahim a.s dan keluarganya membangun bayt. setiap orang harus berusaha membangun bayt sebagai wahana untuk melaksanakan amr Allah yang menjadi amanah bagi mereka.

Bayt merupakan wahana ketakwaan yang terwujud dari berkumpulnya suatu nafs wahidah bersama bagian-bagiannya berupa pasangan-pasangannya dan anak-anaknya di dalam jalinan al-arham. Al-arham menjadikan keluarga yang demikian memperoleh kesatuan dengan Al-jamaah, yang menghubungkan mereka dalam keimaman Rasulullah SAW. Setiap orang harus berusaha untuk membina kesatuan bersama keluarganya dalam ketakwaan sehingga terbentuk wahana ketakwaan berupa bayt yang diijinkan Allah untuk mendzikirkan asma Allah dan meninggikan asma tersebut. Tanpa terbentuknya wahana tersebut, seseorang akan sulit untuk mencapai kedudukan sebagai mitsal bagi cahaya Allah.

Dengan amr Allah yang ditunaikan oleh seseorang melalui bayt mereka, maka seseorang akan memperoleh kiswah di hari akhirat. Pada hari kiamat kelak, orang pertama yang diberi pakaian kiswah adalah nabi Ibrahim a.s. Hal ini terkait dengan status uswatun hasanah nabi Ibrahim a.s dengan terbentuknya bayt yang diijinkan Allah untuk berdzikir dan meninggikan asma Allah. Kiswah akan diberikan sebagai identitas mereka dalam pandangan Allah. Para ahli bayt yang memberikan dedikasi bagi pelaksanaan amr Allah yang diturunkan kepada kepala keluarga mereka akan memperoleh kiswah sebagai identitas yang serupa bagi amr Allah yang mereka tunaikan. Seorang isteri akan menerima kiswah dari suaminya sebagai identitas bagian dari diri suaminya.

dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
أَلَا وَإِنَّ أَوَّلَ الْخَلَائِقِ يُكْسَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام أَلَا وَإِنَّهُ سَيُجَاءُ بِرِجَالٍ مِنْ أُمَّتِي فَيُؤْخَذُ بِهِمْ ذَاتَ الشِّمَالِ فَأَقُولُ يَا رَبِّ أَصْحَابِي فَيُقَالُ إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
Sesungguhnya makhluk pertama yang diberi pakaian kiswah pada hari kiamat ialah Ibrahim ‘alaihis salam. Ingatlah, bahwa nanti akan ada sekelompok umatku yang dihalau ke sebelah kiri, maka kutanyakan: “Ya Rabbi, mereka adalah sahabatku?”, akan tetapi akan dikatakan : “Kamu tidak tahu akan apa yang mereka ada-adakan sepeninggalmu.” (HR. Bukhari, no. 6526, 4625, 4626, 4740, 3349; Muslim, no. 2860,)

Kiswah merupakan pakaian yang diberikan sebagai identitas tertentu dari entitas yang memiliki kedudukan lebih tinggi. Sifat kiswah sedikit berbeda dengan pakaian libas yang lebih berfungsi menutup aurat. Dalam rumah tangga, kedua aspek keberpakaian manusia dibangun. Suami dan isteri merupakan dua manusia yang masing-masing menjadi pakaian yang saling menutup aurat yang lain. Bila keduanya berjalan kepada Allah melalui pernikahan mereka, seorang suami akan menemukan kiswah ketakwaannya, dan isteri akan memperoleh kiswah dari suaminya sebagai identitas yang diturunkan oleh suaminya. Ibrahim a.s akan menjadi makhluk pertama yang memperoleh kiswah di akhirat kelak sebagai identitas uswatun hasanah beliau dalam masalah bayt.

Nafs wahidah merupakan nafs yang mengerti kesatuan mereka bersama nafs yang lain dalam urusan Allah. Tanda dari pemahaman itu adalah kesaksian mereka bahwa Muhammad SAW adalah Rasulullah. Mereka mengetahui bahwa semua amr Allah yang diturunkan kepada setiap manusia merupakan bagian dari amr Rasulullah SAW, satu orang mengambil dan/atau berbagi amr dengan sahabatnya, sebagaimana seorang isteri menjadi bagian dari suaminya dan berbagi urusan dengan isterinya yang lain. Pernikahan menjadi bagian penting dari agama. Pintu untuk mengenal Rasulullah SAW adalah mengikuti Ibrahim a.s membangun bayt. Ibrahim a.s merupakan wajah turunan paling dekat dari Rasulullah SAW yang lebih mudah dipahami oleh manusia. Kelak beliau a.s menjadi makhluk pertama yang memperoleh kiswah.

Perkara Bid’ah terhadap Millah Ibrahim a.s

Dalam masalah kiswah, akan ada pengikut-pengikut Rasulullah SAW yang membuat-buat perkara baru sehingga kelak mereka akan disingkirkan dari kelompok yang diberi kiswah. Mereka membuat-buat bid’ah yang menyesatkan manusia. Perkara terkait kiswah, dan terkait haudh Rasulullah SAW, merupakan pangkal adanya perbuatan-perbuatan yang dikategorikan Rasulullah SAW sebagai bid’ah. Muslimin hendaknya tidak menggaduhkan suatu masalah sebagai bid’ah tanpa mengetahui keterkaitan masalah itu dengan haudh Rasulullah SAW dan kiswah Ibrahim a.s. Sebagian kaum muslimin mengobarkan tuduhan-tuduhan bid’ah kepada kaum yang lain tanpa mengetahui kaitannya dengan akar masalah bid’ah. Sama saja orang-orang yang menggaduhkan segala ekspresi transendental orang lain dan orang-orang yang menggaduhkan teknologi modern sebagai bid’ah, yaitu keduanya tidak mengerti akar masalah bid’ah. Masalah bid’ah ini akan dimengerti oleh orang-orang yang benar-benar mengikuti millah Ibrahim a.s dan sunnah Rasulullah SAW.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau tidak mengetahui apa yang mereka perbuat sesudahmu.’” (HR. Bukhari, no. 7049)

Tentu sangat disayangkan manakala seseorang berbuat bid’ah. Mereka seharusnya memperoleh kedudukan terhormat, akan tetapi karena kurang bertakwa maka mereka membuat atau menempuh jalan melenceng dari millah Ibrahim a.s. Hal ini menyebabkan mereka dihalau dari kumpulan orang yang akan memperoleh kiswah di akhirat. Rasulullah SAW sangat menyayangkan terjadinya hal demikian pada orang-orang yang berusaha mengikuti beliau tetapi kemudian melenceng dari millah Ibrahim a.s.

Akan tetapi pada akhirnya beliau SAW bersepakat agar mereka dihalau dari jamaah tersebut. Hal ini dapat diketahui dari hadits lain yang lebih lengkap. Tentu saja Rasulullah SAW berpendapat selaras tidak berbeda atau bertentangan dengan firman Rabbul ‘alamiin, akan tetapi hal itu menggambarkan keadaan persoalan bid’ah sebagai suatu masalah yang sangat tersamar sedemikian hingga Rasulullah SAW digambarkan seolah tidak mengetahui bahwa perkara itu terjadi pada umatnya. Hendaknya umat tidak menjadikan masalah bid’ah sebagai bahan perbantahan di kalangan umum, tanpa membatasi setiap orang untuk harus bersikap waspada terhadap masalah bid’ah.

Millah mengikuti Ibrahim a.s adalah millah yang lurus, dan sangat banyak kerusakan dapat ditimbulkan bila seseorang menempuh millah yang melenceng. Syaitan menimbulkan fitnah yang paling besar bagi umat manusia melalui urusan pernikahan, dan hal ini terkait dengan millah Ibrahim a.s. Melencengnya seseorang dari millah Ibrahim a.s tidak dapat dipandang ringan sama sekali. Dunia akan berantakan dan di akhirat akan terjerumus ke neraka bila seseorang menempuh jalan yang melenceng dari millah Ibrahim a.s. Satu atau beberapa kelompok yang melenceng akan menyebabkan kerusakan yang besar bagi keseluruhan karena syaitan menggunakannya untuk menimbulka fitnah.

Bayt sesuai millah Ibrahim a.s mempersyaratkan setiap ahli bayt untuk terikat pada amanah yang dituliskan dalam nafs wahidah imam mereka. Ikatan itu harus terjadi dalam jiwa dan raga mereka, karena harus membentuk ikatan al-arham dengan landasan ketakwaan. Bentuk bayt yang melenceng dari ketentuan demikian merupakan indikasi melencengnya arah kehidupan seseorang dalam mengikuti millah Ibrahim a.s. Gambaran melencengnya seseorang dalam membentuk bayt dapat dilihat pada kasus seorang perempuan yang jiwanya terikat pada laki-laki lain, mereka tidak akan dapat membentuk bayt, sekalipun berlandaskan ghirah untuk berjuang bagi agama. Hal demikian melenceng dari millah Ibrahim a.s karena mengikuti tipuan syaitan yang membiarkan seseorang bersama imamnya tetapi hatinya terikat pada yang lain. Berjihad untuk agama dengan jalan demikian itu menjadi contoh perbuatan dalam kategori bid’ah.

Banyak hal lain harus diperhatikan dalam pernikahan. Asas pernikahan adalah mengumpulkan yang terserak dalam penciptaan manusia, yaitu pasangan jiwa dan hal lain yang menjadi turunannya. Setiap orang harus berusaha memperoleh pasangan dari pasangan jiwanya karena itu menjadi bagian agama yang dapat diperoleh dalam kehidupan dunia. Mungkin seseorang keliru dalam memilih pasangan tanpa disertai pengetahuan. Cukuplah baginya bagian agama yang bisa ditempuhnya berdasarkan pernikahan yang telah dilakukan, tidak mengharapkan agama dengan pernikahan yang lain dengan melanggar ketetapan dalam Alquran dan sunnah Nabi. Tidak ada alasan bagi seseorang yang telah menikah untuk mempermasalahkan pernikahan mereka, alih-alih akan memperbaiki agama, mungkin mereka akan tersesat.

Seringkali ditemukan adanya satu nafs wahidah yang dicipta menjadi beberapa entitas lebih dari satu pasang. Hal ini merupakan media bagi setiap pihak di dalamnya untuk menempuh jalan yang ditentukan Allah. Seorang laki-laki harus membangun keberanian dan keterampilan untuk mengarahkan beberapa rumah tangga dirinya, dan para isteri harus berusaha belajar melihat keluarganya yang lain sebagai bagian dirinya pada bagian lain. Mereka seharusnya memperoleh pijakan yang lebih kokoh untuk melaksanakan amr Allah dengan ta’addud yang mereka lakukan. Hal ini tidak mudah untuk ditempuh, tetapi setiap orang yang mengetahui hendaknya menyadari bahwa itu adalah jalan yang ditentukan Allah bagi mereka untuk membentuk bayt, dan untuk mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Ibrahim a.s membentuk bayt setelah kedua orang pasangannya menjadi isterinya.

Membangun bayt hanya dapat dilakukan setelah seseorang berada pada tanah haramnya, atau tanah yang dijanjikan baginya. Tanah haram ini adalah gambaran keadaan di mana seorang laki-laki mengetahui nafs wahidah dirinya, dan pasangan-pasangannya. Tibanya seseorang pada tanah haramnya merupakan suatu keadaan kritis yang harus disikapi dengan penuh kehati-hatian. Tanduk syaitan akan terbit pada saat matahari terbit dan pada saat matahari tenggelam. Demikianlah keadaan seseorang yang baru tiba di tanah haram. Seseorang mungkin akan terjatuh pada perbuatan bid’ah manakala bersikap tidak hati-hati ketika tiba di tanah haram atau tanah yang dijanjikan baginya. Bid’ah itu akan menyebabkan tercampurbaurnya kebenaran dengan hal yang bathil, hingga menimbulkan keadaan yang sulit bagi umat manusia yang kebanyakan akalnya tidak cukup untuk menyadari kebathilan yang tercampur.

Senin, 16 Mei 2022

Dzikrullah dan Kitabullah

Allah menciptakan alam semesta bagi makhluk-makhluk-Nya, agar mereka dapat mengenal Dzat yang menciptakan mereka. Di antara jalan mengenal Allah adalah berusaha menjadikan diri sebagai mitsal bagi cahaya (nuur) Allah, yaitu sebagai laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari dzikir kepada Allah, kemudian mereka membangun bayt untuk meninggikan asma Allah dan mendzikirkan asma-Nya yang diperkenalkan kepadanya. Ubudiyah yang sebenarnya kepada Allah harus disertai dengan amal sosial yang dimulai dari membangun pernikahan, tidak hanya dengan melakukan dzikir lisan saja.

Untuk membina diri sebagai orang yang berdzikir kepada Allah, setiap orang harus belajar dari orang yang mempunyai pengetahuan tentang adz-dzikra. Adz-dzikra bukanlah semata-mata menyebutkan asma-asma agung dengan lisan saja, tetapi yang lebih penting adalah membangun pemahaman terhadap segala sesuatu yang dihadirkan kepada diri sesuai dengan kehendak Allah yang telah disebutkan dalam kitabullah. Kerangka pemahaman inilah yang harus dibangun dengan belajar kepada orang lain yang mempunyai pengetahuan adz-dzikra, yang disebut dengan ahli dzikri.

﴾۳۴﴿وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
﴾۴۴﴿بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
(43)Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai adz-dzikra jika kamu tidak mengetahui, (44) dengan keterangan-keterangan dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu adz-dzikra, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, (QS An-Nahl : 43-44)

Adz-dzikra adalah pemahaman terhadap bagian dari Alquran yang diturunkan Allah kepada seseorang yang dikehendaki. Rasulullah SAW memperoleh seluruh pemahaman yang terkandung dalam Alquran, sedangkan orang selain Rasulullah SAW memperoleh bagian pemahaman tertentu dari Alquran. Pemahaman terhadap bagian Alquran ini merupakan Adz-dzikra yang diturunkan Allah kepada manusia-manusia sepanjang zaman. Ahli dzikir adalah orang yang mempunyai pemahaman terhadap kehidupan mereka sesuai dan berdasarkan wahyu yang diturunkan Allah. Mereka mengenal para rasul dan apa-apa yang diturunkan kepada mereka dalam batasan yang sesuai dengan jati diri mereka. Para ahli dzikra harus membagikan pengetahuan mereka tentang adz-dzikra kepada orang lain untuk menjadi pelajaran.

Seluruh wahyu yang diturunkan Allah merupakan bagian dari Alquran. Ada kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada para rasul sebelum Rasulullah SAW. Seluruh kitab-kitab yang diwahyukan kepada para rasul merupakan bagian dari Alquran, tidak ada yang keluar darinya. Seringkali wahyu tersebut menjadi pengantar memahami Alquran, atau penjelas dari ayat Alquran. Segala warisan wahyu yang keluar dari batasan Alquran atau melenceng dari firman yang tercantum dalam Alquran merupakan kepalsuan yang dibuat-buat. Akan tetapi setiap orang harus berhati-hati dalam perkara demikian, karena boleh jadi sebenarnya dirinya-lah yang tidak memahami wahyu tersebut. Seorang ahli dzikri akan dapat memahami keterkaitan wahyu dengan Alquran selama terkait dengan kitab diri ahli dzikir tersebut.

Ketika mencari pemahaman tentang adz-dzikra kepada para ahli dzikir, seseorang harus memperhatikan dan menimbangnya dengan kitab-kitab (az-zubur) dan ayat-ayat kauniyah yang terjadi di lingkungan mereka. Ayat kauniyah itu merupakan al-bayyinat yang digelar Allah bagi mereka. Penjelasan yang dilakukan oleh seorang ahli dzikir harus sesuai dengan dengan keadaan kauniyah dan penjelasan dalam az-zubur. Namun kadangkala keadaan kauniyah tersamarkan oleh waham seseorang atau waham yang direkayasa oleh suatu kaum untuk kepentingan mereka, maka seseorang tidak boleh gegabah menentang pengetahuan ahli dzikir dengan pengetahuannya sendiri. Demikian pula terdapat kepalsuan diselipkan syaitan dalam az-zubur di jaman sekarang. Hanya Alquran yang bisa menjadi timbangan yang tidak berubah. Setiap orang harus memikirkan penjelasan seorang ahli dzikir dengan sungguh-sungguh tentang dzikir yang diajarkannya terkait dengan ayat kauniyah dan az-zubur dengan landasan Alquran.

 

Mengajarkan Dzikir

Allah menurunkan adz-dzikra kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. Bilamana seseorang memperoleh adz-dzikra, sebenarnya ada suatu kewajiban yang harus dilaksanakan, yaitu agar ia menerangkan kepada umat manusia tentang apa-apa yang diturunkan Allah kepada mereka. Ada banyak hal yang turunkan Allah bagi manusia terutama tentang ayat-ayat Allah berupa ayat qauliyah Alquran dan kitab-kitab-Nya, ayat kauniyah yang terjadi pada semesta, dan petunjuk yang diturunkan ke dalam hati manusia. Seorang ahli dzikir mempunyai kewajiban untuk menerangkan adz-dzikra yang diperolehnya bagi umat manusia, walaupun mungkin tidak semua jenis adz-dzikra diturunkan kepada dirinya.

Hal penting yang harus diperhatikan oleh seorang ahli dzikir adalah perihal penggunaan fikiran oleh umatnya. Seorang ahli dzikir tidak boleh menjadikan umatnya sebagai pengikut dirinya secara taklid, tetapi umat harus dijadikan sebagai kumpulan manusia yang mampu menggunakan pikirannya masing-masing dengan benar untuk memahami ayat-ayat Allah. Orang yang tidak mau atau terlalu lemah untuk menggunakan pikirannya harus dibangkitkan untuk memikirkan adz-dzikra yang disampaikannya, dan orang-orang yang berlebihan menggunakan pikirannya melampaui batas pikirannya yang benar harus diarahkan untuk mengerti batas-batasnya.

Cara paling mudah mengajarkan adz-dzikra kepada umatnya adalah menunjukkan makna-makna Alquran kepada umatnya. Alquran merupakan sarana yang paling mudah yang tersedia bagi seseorang untuk menyampaikan adz-dzikra. Demikian pula sarana yang termudah dan paling benar bagi umat untuk menimbang kebenaran adz-dzikra adalah dengan Alquran. Allah telah menjadikan Alquran sebagai sarana untuk memahamkan umat tentang adz-dzikra.

﴾۷۱﴿وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ
Dan sungguh telah Kami mudahkan Al-Quran untuk adz-dzikra, maka apakah termasuk orang yang mengambil pelajaran? (QS Al-Qamar : 17)

Walaupun demikian, tidak semua orang akan mudah untuk benar-benar memahami ayat Allah. Manusia cenderung lebih menyukai cara pandangnya sendiri daripada memikirkan kebenaran adz-dzikra. Sangat sedikit orang yang mempunyai keberanian menembus benteng waham dirinya untuk memahami kebenaran dari Allah. Orang-orang kafir hingga orang-orang yang mempunyai hati, pendengaran dan penglihatan dalam jiwa mereka seringkali mempunyai benteng waham yang tidak mudah untuk ditembus. Allah menanyakan keadaan mereka : maka apakah termasuk orang yang memperoleh pelajaran?

Kadangkala orang yang mempunyai hati, pendengaran dan penglihatan lebih sulit untuk memahami adz-dzikra. Sangat mungkin seseorang mempunyai hati tetapi tidak mau memahami, mempunyai pendengaran tapi tidak mau mendengarkan, dan mempunyai penglihatan tetapi tidak mau melihat. Ibarat orang yang menggunakan virtual reality gogle, mereka melihat realitas dalam kacamata mereka sendiri dan tidak menyadari bahwa realitas yang sebenarnya adalah apa yang terjadi pada alam yang dihadirkan Allah. Dalam hal adz-dzikra, mereka mungkin mempunyai petunjuk sendiri tanpa berusaha menghubungkan petunjuk dengan ayat dalam Alquran secara tepat.

Dalam hal ini, ayat-ayat dalam Alquran itulah yang merupakan realitas sebenarnya yang harus dipahami dengan hati, yang harus didengarkan dengan pendengaran hati, dan harus dilihat dengan mata hati. Semua penglihatan, pendengaran dan pemahaman harus dikalibrasi dengan ayat Alquran, tidak membiarkan lepas tanpa dikendalikan yang dapat menyebabkan kesesatan yang jauh. Kesesatan yang lebih jauh akan terjadi pada orang-orang yang mempunyai hati tetapi tidak berusaha memahami, mempunyai pendengaran tetapi tidak digunakan untuk mendengar dan mempunyai penglihatan tetapi tidak digunakan untuk melihat, lebih jauh daripada orang-orang yang tidak mempunyai hal-hal demikian.

Kerusakan akibat hal semacam ini lebih dahsyat. Seringkali seorang sahabat tidak akan dapat menyadarkan kesesatan sahabatnya, atau bahkan mungkin seseorang bisa merasa lebih benar daripada seorang ulul arham gurunya sekalipun walaupun ia sebenarnya tidak mempunyai landasan Alquran secara tepat. Boleh jadi ia tidak menyadari bahwa Alquran akan mendorongnya menuju neraka dengan sikapnya menjadikan Alquran mengikuti dirinya, tidak menjadikan Alquran sebagai imamnya. Manakala Alquran tidak dapat menyadarkan, maka tidak akan ada lagi yang dapat menyadarkan kesesatan orang yang demikian. Kadangkala seorang ahli dzikir harus berusaha menyampaikan peringatannya dengan cara yang lebih komprehensif dan berulang untuk mengimbangi rumitnya tipuan syaitan yang tidak disadari umat manusia. Kesesatan demikian itu biasanya meninggalkan jejak berupa hal-hal yang terlihat baik akan tetapi menggelincirkan bagi orang-orang yang tidak waspada. Bila tidak menyadarkan seseorang, setidaknya upaya itu dapat mengurangi resiko umatnya tergelincir.

Hendaknya setiap manusia membuka hatinya bagi Alquran tanpa membuka celah dalam hati untuk mengikuti langkah yang bertentangan dengan Alquran. Mungkin seseorang terjebak keadaaan yang sulit untuk menghindari berbuat dosa, tetapi hendaknya hatinya dijaga untuk tidak membenarkan pelanggarannya terhadap Alquran. Sama saja bagi yang keadaannya sebaliknya, mungkin seseorang telah dibuka baginya bagian dari Alquran, maka hendaknya ia menjaga dirinya untuk melangkah mengikuti Alquran, tidak menjadikan Alquran mengikuti pemahaman dirinya. Bila demikian ia akan celaka, karena alih-alih menuntun ke surga, Alquran akan mendorongnya untuk masuk ke dalam neraka. Alquran akan menyediakan baginya dalil untuk pemahamannya, hingga ia akan tersesat jauh dengan pembenaran dari Alquran.

Pada prinsipnya, Alquran akan menunjukkan kepada manusia kepada jalan yang benar bahkan hingga seseorang bisa menjadi keluarga Allah (Ahlullah) kecuali dalam kasus tertentu Alquran mendorong seseorang menuju neraka karena kesalahan penyikapan seseorang terhadap Alquran. Menjadi keluarga Allah adalah kedudukan tertinggi yang dapat dicapai seseorang yang khusus, dan hal itu hanya dapat dicapai dengan Alquran.

Dari Anas bin Mâlik r.a beliau berkata: Rasûlullâh SAW bersabda:
إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنَ النَّاسِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ هُمْ؟ قَالَ: هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ، أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ
Sesungguhnya di antara manusia ada yang menjadi ‘ahli’ Allâh”. Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Siapakah mereka?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka adalah ahli al-Qur’an, ahli Allâh dan orang khusus-Nya (HR Ahmad, 3/127; Ibnu Mâjah, 1/78; dan al-Hâkim, 1/743 )

Banyak jenis ahli Alquran, dan tidak semua orang yang bisa memahami Alquran termasuk dalam keluarga Allah. Orang-orang khusus yang memahami Alquran mengikuti Rasulullah SAW-lah yang dapat menjadi Ahli Allah. Tingkatan yang di bawahnya, sebagian orang memperoleh kitab dirinya dari Allah dengan persaksian imam-nya, maka mereka dapat berharap untuk melangkah untuk menjadi orang khusus mengikuti Rasulullah SAW. Kitab diri mereka merupakan bagian dari Alquran yang harus dijadikan pedoman dalam menentukan langkah kehidupannya hingga dapat mengikuti Rasulullah SAW. Bila mereka tidak mempunyai kekuatan untuk melangkah dengan kitab tersebut, mereka akan tertinggal dalam mengikuti Rasulullah SAW.

Pada tingkatan awal, sebagian orang memperoleh pemahaman Alquran agar menjadi penguat bagi nafs mereka. Sebagian di antara mereka berjuang dengan benar hingga memperoleh kitab diri dari Allah dengan persaksian imam-nya. Sebagian di antaranya menjadi kufur mengikuti sepenuhnya nafs mereka tanpa menyadari bahwa ada hawa nafsu yang bisa menjadi pijakan syaitan. Allah sebenarnya telah meletakkan Alquran di dalam dada, tetapi setiap manusia harus menyadari bahwa nafsnya adalah makhluk bodoh yang harus mengikuti bimbingan Allah, tidak menjadikan nafs-nya menjadi tuhan yang diikuti. Semua bacaan dalam jiwanya harus dikoreksi dan dikalibrasi dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, karena petunjuk yang sebenarnya adalah petunjuk Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, sedangkan syaitan boleh jadi meniupkan sesuatu ke dalam dadanya melalui hawa nafsu.

Semua kelompok di atas adalah orang-orang yang memahami Alquran, yang baik dalam pandangan manusia. Hanya orang yang terus berjuang untuk mengikuti Rasulullah SAW-lah yang dapat menjadi Ahli Allah. Sebagian dari orang yang memahami Alquran tidak sepenuhnya membawa keselamatan dan bahkan mereka mungkin akan memperoleh azab bila terus dalam keadaan demikian. Setiap orang harus menggunakan akalnya untuk memahami Alquran, tidak mengikuti seseorang tanpa memperhatikan Alquran.

Rabu, 11 Mei 2022

Cahaya Allah dan Kegelapan Dunia

Allah menciptakan alam semesta bagi makhluk-makhluk-Nya, agar mereka dapat mengenal Dzat yang menciptakan mereka. Setiap makhluk diberi jalan dan kemampuan untuk mengenal Sang Maha Pencipta sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Tidak ada satupun makhluk yang dapat mengenal Sang Pencipta mereka secara sempurna, tetapi terbatasi oleh kemampuan masing-masing. Rasulullah SAW adalah satu-satunya makhluk yang mengenal Sang Pencipta dengan seluruh aspek yang hendak Dia perkenalkan kepada makhluk, sedangkan makhluk yang lain hanya mengenal bagian dirinya dari apa yang dikenal Rasulullah SAW. Beliau SAW mengenal seluruh wajah Allah yang hendak Dia perkenalkan kepada makhluk. Walaupun demikian tidak berarti beliau SAW mengenal Sang Pencipta dengan sempurna, hanya saja beliau SAW mengenal Allah dengan cara yang paling sempurna di antara seluruh makhluk-Nya.

Sebagian di antara jalan mengenal Allah adalah berusaha menjadikan diri sebagai mitsal bagi cahaya (nuur) Allah, yaitu sebagai laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari dzikir kepada Allah, kemudian mereka membangun bayt untuk meninggikan asma Allah dan mendzikirkan asma-Nya yang diperkenalkan kepadanya. Seseorang tidak akan bisa menjadi mitsal bagi cahaya (nuur) Allah dengan salah satu keadaan saja, misalnya hanya dengan berdzikir saja. Seseorang harus berusaha menjadikan diri sebagai mitsal bagi cahaya Allah bagi semesta mereka, disertai dengan membangun pernikahan sebagai bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah bagi semesta mereka.

Pernikahan merupakan keping fraktal ubudiyah dalam mengikuti Rasulullah SAW yang paling menyentuh kehidupan setiap manusia. Seorang perempuan memperoleh imam yang harus ditaatinya dalam rangka ibadah kepada Allah, dan seorang laki-laki memperoleh representatif umat yang harus disayanginya dalam wujud istrinya. Pada hakikat yang lebih tinggi, sebenarnya seorang laki-laki akan memperoleh imamnya melalui pernikahan mereka, yaitu bila ia memperhatikan jalinan al-arham dalam pernikahannya, sehingga ia dapat memperoleh kedudukan sebagai ulul arham yang memperoleh washilah kepada Rasulullah SAW. Ubudiyah yang sebenarnya kepada Allah harus disertai dengan amal sosial yang dimulai dari membangun pernikahan, tidak hanya dengan melakukan dzikir syariat saja.

Tauhid berupa pengenalan kepada Allah merupakan hal yang paling bernilai bagi setiap manusia. Banyak hal dapat dilakukan setiap makhluk, akan tetapi seringkali sebenarnya nilainya tidak terlalu bermakna walaupun tampak besar dalam pandangan manusia. Perbuatan yang dilakukan tanpa landasan pengenalan kepada Allah akan bernilai seperti fatamorgana yang tidak mempunyai nilai apa-apa, sedangkan ia tampak seperti air yang berharga ketika orang memandang perbuatan itu dari tempat yang jauh.

﴾۹۳﴿وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّىٰ إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِندَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ
﴾۰۴﴿أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُّجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ مِّن فَوْقِهِ مَوْجٌ مِّن فَوْقِهِ سَحَابٌ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا وَمَن لَّمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِن نُّورٍ
(39)Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang rendah, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. (40)Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun. (QS An-Nuur : 39-40)

Fatamorgana berupa amal-amal tanpa membawa pengenalan kepada Allah itu berada pada tanah yang rendah, yaitu berupa kemilau duniawi di alam yang rendah. Manakala di tempat yang jauh, seringkali kemilau itu disangka sebagai air yang akan membawa obat bagi kehausan jiwa mereka. Ketika telah mendekati fatamorgana, kemilau itu akan menghilang bagi jiwa-jiwa mereka. Mereka akan menemukan disisinya Allah yang akan memberikan kepada mereka balasan sesuai dengan keadaan mereka.

Allah akan memberikan perhitungan yang cukup dan cepat atas amal-amal yang dilakukan oleh orang-orang yang mengerjakan sesuatu berdasarkan fatamorgana yang mereka ikuti. Mereka akan diberi hasil-hasil duniawi atas amal mereka dengan bersegera dan tidak akan dikurangi sedikitpun bilamana mereka benar-benar menginginkan balasan yang segera itu. Akan tetapi hasil duniawi itu tidak akan menyembuhkan rasa dahaga bagi rasa haus dalam jiwa mereka. Bagi orang-orang yang ingin berdzikir kepada Allah dan meninggikan asma-Nya, balasan itu seringkali dinyatakan dengan sebenarnya berupa fatamorgana. Dengan balasan itu, ia akan menemukan makna yang lebih baik atas semua hal yang terjadi atasnya. Maka mereka akan sedikit lebih mengenal Allah dan akan mencari jalan lebih lanjut untuk mengenal Allah.

Perumpamaan sebagai fatamorgana itu merupakan amal-amal bagi orang-orang kafir yang mungkin saja mencari makna kehidupan. Seringkali hal itu menjadi pengantar bagi mereka untuk menjadi orang-orang beriman, tergantung bagaimana mereka bersikap kepada Allah hingga boleh jadi Allah melimpahkan cahaya iman kepada mereka. Sebagian orang kafir tidak peduli dengan makna kehidupan bagi jiwa mereka sehingga mereka benar-benar mengejar fatamorgana-fatamorgana. Sebagian orang kafir berfikir tentang makna kehidupan bagi mereka sehingga tersadar untuk mengenal arti penting mengenal Allah bagi jiwa mereka. Mereka boleh jadi kemudian diijinkan memperoleh cahaya Allah sebagai seorang yang beriman.

Allah memberikan perumpamaan lain bagi amal-amal orang kafir. Amal mereka itu bagaikan kegelapan di lautan yang dalam dengan ombak di atas ombak yang lain, sedangkan di atas mereka langit yang gelap. Orang-orang kafir beramal dalam kegelapan yang bertindih-tindih sehingga mereka hampir-hampir tidak mengetahui apa yang harus dilakukan dengan tangan mereka manakala mereka harus melakukan sesuatu.

Ini adalah gambaran kehidupan di dunia tanpa cahaya Allah. Syaitan masih menjadi amir bagi kehidupan di bumi hingga kelak hari agama ditegakkan, sedangkan mereka berusaha menjadikan kehidupan manusia di bumi berada dalam kegelapan tanpa cahaya Allah. Mereka tidak mempunyai kekuatan atas hamba-hamba Allah yang mukhlas, akan tetapi kebanyakan manusia bukanlah orang yang mukhlas. Sebagian manusia memperoleh cahaya Allah sebagai orang mukhlas tanpa kuasa syaitan untuk menutupinya, sebagian memperoleh bagian cahaya mereka tetapi syaitan masih mempunyai celah untuk memasukkan tipuan bagi mereka, dan manusia yang tidak beriman berwalikan syaitan dalam kehidupan mereka.

Pada dasarnya kehidupan di bumi merupakan kegelapan karena sifat kegelapan intrinsiknya. Dengan kekuasaan syaitan atas kehidupan manusia di bumi, kehidupan di bumi menjadi kegelapan di atas kegelapan bagaikan ombak lautan yang berada di atas ombak yang lainnya yang terjadi dalam kegelapan tanpa cahaya dari langit. Langit yang gelap merupakan perumpamaan waham dalam jiwa manusia yang tidak memperoleh cahaya Allah. Tanpa keinginan untuk mengenal Allah, kehidupan di bumi adalah kegelapan di atas kegelapan yang berada dalam langit yang gelap.

Ikhlas Sebagai Cahaya

Keinginan mengenal Allah itu adalah keikhlasan. Ikhlas merupakan kemuliaan Allah yang disembunyikan di dalam hati para hamba Allah yang dikehendaki-Nya. Dengan keikhlasan, seseorang akan berjalan dari kegelapan menuju cahaya Allah, hingga ia menjadi mitsal bagi cahaya Allah dalam kedudukan yang mulia. Karena Allah yang menyembunyikan keikhlasan dalam diri seseorang, kadangkala tidak ada mata yang melihatnya, tidak ada telinga yang mendengarnya, dan tidak ada hati yang terbetik padanya kabar keikhlasan seseorang. Itu adalah keadaan hamba Allah yang paling tinggi di antara ahli surga.

الْمُغِيرَةَ بْنَ شُعْبَةَ يُخْبِرُ بِهِ النَّاسَ عَلَى الْمِنْبَرِيَرْفَعُهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَأَلَ مُوسَى رَبَّهُ مَا أَدْنَى أَهْلِ الْجَنَّةِ مَنْزِلَةً قَالَ هُوَ رَجُلٌ يَجِيءُ بَعْدَ مَا أُدْخِلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ فَيُقَالُ لَهُ ادْخُلْ الْجَنَّةَ فَيَقُولُ أَيْ رَبِّ كَيْفَ وَقَدْ نَزَلَ النَّاسُ مَنَازِلَهُمْ وَأَخَذُوا أَخَذَاتِهِمْ فَيُقَالُ لَهُ أَتَرْضَى أَنْ يَكُونَ لَكَ مِثْلُ مُلْكِ مَلِكٍ مِنْ مُلُوكِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ رَضِيتُ رَبِّ فَيَقُولُ لَكَ ذَلِكَ وَمِثْلُهُ وَمِثْلُهُ وَمِثْلُهُ وَمِثْلُهُ فَقَالَ فِي الْخَامِسَةِ رَضِيتُ رَبِّ فَيَقُولُ هَذَا لَكَ وَعَشَرَةُ أَمْثَالِهِ وَلَكَ مَا اشْتَهَتْ نَفْسُكَ وَلَذَّتْ عَيْنُكَ فَيَقُولُ رَضِيتُ رَبِّ
قَالَ رَبِّ فَأَعْلَاهُمْ مَنْزِلَةً قَالَ أُولَئِكَ الَّذِينَ أَرَدْتُ غَرَسْتُ كَرَامَتَهُمْ بِيَدِي وَخَتَمْتُ عَلَيْهَا فَلَمْ تَرَ عَيْنٌ وَلَمْ تَسْمَعْ أُذُنٌ وَلَمْ يَخْطُرْ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ قَالَ وَمِصْدَاقُهُ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ { فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ } الْآيَةَ
Al Mughirah bin Syu'bah r.a mengabarkan kepada manusia di atas mimbar apa yang didengarnya dari Rasulullah SAW tentang hal ini. Ia berkata : "Musa bertanya kepada Rabbnya, 'Apakah kedudukan penghuni surga yang paling rendahnya? ' Allah menjawab, 'Yaitu orang yang datang setelah penghuni surga dimasukkan ke dalam surga, lalu dikatakan kepada orang ini, 'Masuklah ke surga! ' Orang ini menjawab, 'Wahai Rabbku, bagaimana aku bisa masuk, sementara mereka sudah menempati tempat masing-masing dan mengambil bagian mereka? ' Maka dikatakan kepada orang ini, 'Apakah kamu ridha mendapatkan bagian kerajaan seperti seorang raja di antara raja-raja dunia? ' Orang itu menjawab, 'Aku rela, wahai Rabbku.' Rabb mengatakan, 'Itu bagianmu ditambah seperti itu, ditambah seperti itu, ditambah seperti itu, (ditambah seperti itu)." Pada kali kelima, orang itu mengatakan, 'Aku rela, wahai Rabbku." Rabb mengatakan, 'Ini bagianmu ditambah sepuluh kali lipatnya. Dan kamu mendapatkan apapun yang kamu inginkan dan yang matamu menyukainya.' Orang itu mengatakan, 'Aku rela, wahai Rabbku.'
Ia (Musa a.s) berkata, ' Wahai rabb, maka (bagaimana dengan kedudukan) orang yang paling tinggi kedudukannya?' Rabb menjawab, 'Mereka itu adalah orang yang Aku kehendaki, kemuliaan mereka aku letakkan dengan tangan-Ku, dan Aku menutup (kemulian itu) hingga ia tidak akan terlihat oleh sebiji-pun mata, tidak akan terdengar oleh sedaun-pun telinga, dan tidak akan terbetik oleh segumpal-pun hati manusia.' (Mughirah r.a) berkata: dan pembenarnya ada pada kitabullah : “maka tak satu jiwa-pun mengetahui apa yang disembunyikan baginya sebagai hiasan mata”. (Qs. As-Sajdah: 17). (HR Muslim no. 276)

Ketersembunyian keikhlasan itu merupakan gambaran bagi khazanah Allah yang tersembunyi bagi kebanyakan makhluk, tetapi terbuka bagi orang-orang yang mempunyai keikhlasan. Keikhlasan dalam diri seseorang tidak akan dapat diketahui oleh orang lain dengan matanya, dengan telinganya, atau dengan hatinya karena Allah boleh jadi menyembunyikannya karena keikhlasan. Keikhlasan seseorang itu akan diketahui dengan keikhlasan pada diri orang lain, tidak dengan indera mereka sekalipun memiliki indera batin.

Hal ini dapat diketahui dari kenyataan bahwa banyak orang shalih pada dasarnya mempersiapkan jalan bagi seseorang yang tersembunyi karena disembunyikan Allah. Para awliya islam berbondong datang ke nusantara untuk mempersiapkan jalan bagi kemuliaan Allah yang diletakkan oleh-Nya pada diri seseorang yang Dia sembunyikan. Seseorang yang disembunyikan itu dikenali berdasar keikhlasan para awliya itu, bukan karena indera mereka. Setiap awliya di jaman setelah Rasulullah SAW akan mengenali orang yang disembunyikan Allah tersebut karena para awliya mengenali kehendak Allah, juga karena Rasulullah SAW sendiri menjadikannya sebagai mitsal bagi beliau SAW, dan seruannya menjadi mitsal bagi seruan beliau SAW. Hal ini mungkin menjadi sebuah pro-kontra di antara masyarakat umum, tetapi bagi kalangan wali Allah, menolak masalah ini berimplikasi menyerupai penolakan terhadap perintah Allah untuk bersujud kepada Adam. Kedudukan tertinggi di surga ditempati oleh seseorang yang menjadi kehendak Allah dan sekaligus disembunyikan Allah. Para ulama hind sebelum kedatangan Rasulullah SAW pun mengenali orang yang tersembunyi tersebut, dan mereka kemudian bergerak dari tempat asal mereka ke ujung negeri mereka yang paling timur untuk mempersiapkan jalan bagi insan tersembunyi tersebut. Seseorang yang mengandalkan indera dan hati mereka tidak akan mampu mengenalinya.

Keikhlasan akan menjadikan seseorang memiliki kedudukan yang tinggi kelak di surga. Perjalanan di bumi menuju kehidupan akhirat pada dasarnya merupakan kegelapan yang dapat menyesatkan setiap manusia sehingga terjatuh pada kerendahan. Resiko kesesatan itu akan dapat dikurangi dengan memperhatikan sikap ikhlas dalam dirinya. Seseorang tidak boleh merasa selamat karena merasa mempunyai keikhlasan, sedangkan ia tidak berusaha memahami firman dan ayat-ayat Allah dengan benar tetapi hanya dengan mengikuti indera dan hatinya saja. Keikhlasan itu harus diwujudkan dalam usaha yang sungguh-sungguh memahami kehendak Allah berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, serta memperhatikan ayat-ayat kauniyah di semesta mereka.

Keikhlasan akan menjadi cahaya yang menerangi kehidupan manusia dalam kehidupan mereka. Cahaya itu akan menjadikan mereka mengenal kehendak Allah, dan manusia akan mengetahui apa yang harus dikerjakan sesuai dengan kehendak Allah manakala mereka harus mengeluarkan tangan mereka. Mereka dapat melakukan amal dengan pengetahuan tentang apa yang harus dikerjakan berdasarkan cahaya Allah. Orang yang tidak memperoleh cahaya Allah tidak akan mengetahui apa yang harus dikerjakan tangannya. Tidak semua orang yang memperoleh cahaya Allah mengetahui apa yang harus dikerjakan, tetapi setidaknya mereka memperoleh cahaya penerang dalam kehidupan mereka di bumi.