Pencarian

Senin, 30 Januari 2023

Membina Bashirah dan Pendengaran Hati

Allah telah memberikan kepada setiap manusia bekal pada nafs mereka, yang harus digunakan untuk menempuh perjalanan kembali kepada Allah dengan bertaubat berupa penglihatan, pendengaran dan hati. Dengan bekal-bekal tersebut setiap orang dapat menempuh perjalanan mendekat kepada Allah dengan baik dan benar. Sebagian besar manusia memalingkan wajahnya dari tujuan kehidupan yang benar hingga bekal-bekal tersebut terkubur oleh hawa nafsu mereka. Sebagian orang berusaha menempuh jalan tazkiyatun nafs sehingga mereka dapat merasakan keberadaan bekal-bekal tersebut dalam nafs mereka.

Keberadaan hati, mata, dan telinga merupakan modal yang harus digunakan dengan benar, tidak boleh diabaikan dan tidak boleh diperalat untuk kepentingan yang keliru. Hati harus digunakan untuk memahami ayat-ayat Allah, mata harus digunakan untuk melihat visi-visi yang diturunkan Allah bagi umat manusia, dan telinga harus digunakan untuk mendengarkan seruan-seruan untuk kembali. Manakala seseorang tidak mempergunakan dengan benar, maka mereka akan tersesat lebih jauh daripada orang-orang yang tidak mempunyai mata hati, telinga hati dan qalb.

﴾۹۷۱﴿وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi) neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS Al-A’raaf : 179)

Tidak menggunakan dengan benar dapat berupa tidak menggunakan, atau menggunakan dengan keliru. Pada dasarnya sangat sedikit orang yang tidak menggunakan indera-indera mereka manakala mereka memilikinya, maka hal yang benar-benar diupayakan oleh setiap manusia adalah menggunakannya dengan cara yang benar. Bila mata, telinga dan hati itu digunakan untuk tujuan yang salah, maka semua bekal itu akan menyesatkan manusia hingga kesesatan yang sangat jauh, melebihi kesesatan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu mereka. Setiap orang harus berusaha menggunakannya dengan benar, mulai dari mengikuti kebenaran yang sedikit hingga akhirnya dapat mengikuti kebenaran sepenuhnya.

Suatu konstruk pengetahuan yang benar dapat dibina seseorang manakala ia membuka telinganya untuk mendengar ajaran-ajaran kebenaran. Kebanyakan manusia tidak mempunyai pengetahuan tanpa memperoleh ajaran kebenaran. Pada kasus lain, bila seseorang mengungkung diri dalam suatu batasan ajaran tanpa membina pengetahuan yang benar, maka tidak akan tumbuh konstruk pengetahuan yang benar. Konstruk pengetahuan yang benar akan menjadikan seseorang dapat melihat kebenaran-kebenaran yang terhampar di sekitar mereka. Tanpa konstruk pengetahuan yang benar, sulit bagi seseorang untuk dapat melihat kebenaran-kebenaran yang diturunkan Allah di sekitar mereka. Tanpa melihat kebenaran-kebenaran yang digelar Allah di sekitar mereka, manusia tidak akan mempunyai wawasan dalam kehidupan, dan hal demikian itu merupakan kebutaan.

Manakala seseorang mendengar suatu ajaran baru tentang kebenaran, hendaknya mereka membuka telinga terhadap ajaran-ajaran tentang kebenaran itu tidak menutup telinga mereka. Mereka boleh menolaknya bila ajaran itu benar-benar salah, atau boleh menyimpannya sementara tanpa menghubungkannya dengan konstruk pengetahuannya yang telah ada manakala ia tidak melihat kesalahan tetapi tidak mengetahui kedudukan ajaran itu, atau mereka bisa menggunakan ajaran baru tersebut untuk mengganti pemahaman yang lama dan/atau membangun pemahaman baru yang lebih baik manakala ajaran yang baru tersebut lebih mendekati kebenaran. Bila seseorang tidak mencoba menempatkan suatu seruan pada kedudukan yang tepat, maka mereka termasuk orang-orang yang tidak menggunakan telinga untuk mendengar.

Bashirah

Definisi melihat dengan mata hati dalam Alquran adalah melihat visi-visi terang yang diturunkan Allah kepada mereka. Allah benar-benar mendatangkan visi-visi kepada setiap orang. Orang yang berhasil melihat ayat-ayat kauniyah yang terjadi di sekitar mereka bersesuaian dengan ayat-ayat dalam Alquran dan sunnah Rasulullah SAW tanpa sesuatu yang dipaksakan padanya merupakan orang yang melihat dengan mata hati mereka. Kedua jenis ayat itu adalah visi-visi yang didatangkan Allah kepada manusia, dan mereka seharusnya dapat melihat visi-sisi tersebut.

﴾۴۰۱﴿قَدْ جَاءَكُم بَصَائِرُ مِن رَّبِّكُمْ فَمَنْ أَبْصَرَ فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ عَمِيَ فَعَلَيْهَا وَمَا أَنَا عَلَيْكُم بِحَفِيظٍ
Sungguh telah datang dari Tuhanmu visi-visi yang terang; maka barangsiapa melihat (visi itu), maka (visi itu) bagi nafsnya; dan barangsiapa membuta (terhadap visi itu), maka (kebutaan itu) kembali kepada (nafs)nya. Dan aku (Muhammad) sekali-kali bukanlah pemelihara(mu). (QS Al-An’aam : 104)

Allah mendatangkan banyak visi pada setiap masa yang diperuntukkan bagi seluruh manusia yang hidup pada masa itu, akan tetapi keseluruhan visi-visi itu berjalin satu dengan yang lain sebagai penjabaran satu urusan yang menjadi amanah Rasulullah SAW berupa amr jami’ untuk ruang dan jaman tertentu. Visi yang bisa diperoleh oleh satu orang berhubungan dengan visi orang lain yang sezaman. Bila seseorang telah memperoleh visi yang diturunkan Allah, maka orang lain dapat berusaha menemukan visi bagi dirinya melalui visi orang yang telah melihat visi itu, dengan berusaha menemukan ayat yang berkaitan dengan diri masing-masing.

Dalam kehidupan dunia, manusia melihat sangat banyak visi dengan beragam cara masing-masing. Banyak visi muncul dari debu-debu syahwat dan hawa nafsu manusia, banyak visi berasal dari syaitan, dan beberapa orang melihat visi yang datang dari Allah. Banyak manusia, atau hampir setiap manusia melihat visi dalam bentuk yang bercampur baur sumbernya. Setiap manusia memandang masing-masing visi itu dalam kacamata sendiri. Sebagian visi yang datang dari Allah dipersepsi sebagian orang dari perspektif syahwat dan hawa nafsu mereka, sebagian manusia mengikuti visi yang tidak jelas sumbernya ketika ia berusaha mencari kebenaran, dan banyak ragam cara lain yang dilakukan manusia mempersepsi setiap visi yang mereka terima. Bentuk yang terbaik di antara cara manusia mempersepsi visi adalah manakala seseorang mencari kebenaran dengan nafs mereka melalui visi yang datang dari Allah.

Visi yang benar adalah visi orang-orang yang memahami dengan hatinya, yaitu visi yang dijelaskan oleh firman Allah yang tercantum dalam Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Itu merupakan visi yang dapat digunakan acuan manusia untuk memperoleh visi-visi dari Allah yang diperuntukkan bagi mereka masing-masing. Visi yang tidak dijelaskan oleh firman Allah dalam Alquran dan sunnah Rasulullah SAW bukan termasuk visi yang dapat digunakan untuk menemukan visi masing-masing yang diturunkan Allah kecuali hanya visi yang bersifat mengambang. Kadangkala visi yang mengambang demikian itu justru mencerai-beraikan perjalanan seseorang untuk menemukan visi yang sebenarnya diturunkan Allah. Ibarat debu yang berhamburan akan menyulitkan manusia menemukan pandangan, demikian visi yang palsu dapat mengaburkan pandangan. Manakala seseorang menemukan visi yang datang dari Allah, mereka akan melihat kebenaran di antara debu-debu itu melalui visinya, ibarat seseorang yang menggunakan gogle pandangan malam dapat melihat objek di kegelapan malam.

Orang yang mencari visi yang datang dari Allah itu akan termasuk orang yang melihat, dan dengan hal itu akalnya akan berkembang. Orang yang tidak mencari visi diri berdasarkan visi yang dijelaskan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW setelah mereka mengetahui adanya visi tersebut termasuk orang-orang yang membutakan diri sendiri. Mereka tidak mendapatkan faidah yang dapat diperoleh oleh orang-orang yang berjamaah. Kendati mereka berkerumun bersama orang-orang lain, mereka tidaklah memperoeh manfaat jamaah. Masalah ini perlu dimengerti oleh setiap orang beriman. Bukan keberadaan mata hati itu yang akan menjadikan orang beriman berjalan mendekat kepada Allah, tetapi penggunaan mata hati untuk menemukan visi-visi yang diturunkan Allah itulah yang akan berguna untuk untuk mendekat kepada Allah. Bila tidak digunakan untuk menemukan visi-visi itu, barangkali mereka termasuk orang-orang yang tidak menggunakan mata hati mereka untuk melihat.

Bagi seorang rasul, visi-visi yang diturunkan Allah akan terlihat jelas. Demikian pula orang-orang yang melihat dengan mata hati akan melihat visi-visi tersebut dengan jelas. Mereka akan menyeru umat manusia untuk melihat visi-visi tersebut. Barangkali ada suatu keinginan pada mereka untuk berbagi apa yang mereka lihat agar semua orang memperoleh manfaat, atau agar semua orang terhindar dari suatu madharat yang ditunjukkan ayat-ayat tersebut. Akan tetapi barangkali tidak semua orang akan membuka mata terhadap visi yang diturunkan Allah, maka maka setiap rasul akan mengambil sikap bahwa mereka bukanlah penjaga manusia. Para rasul itu akan hanya akan berusaha menjaga orang-orang yang mengikuti visi mereka dari kebengkokan, dan orang-orang yang tidak mengikuti visi para rasul itu harus menjaga diri mereka sendiri atau mengharapkan penjagaan orang yang memberikan visi yang mereka ikuti.

Sebagian orang akan berusaha membuka mata mengikuti mereka untuk melihat visi tersebut maka mereka itulah orang-orang yang berusaha untuk melihat, dan upaya itu akan mendatangkan suatu cahaya bagi nafs mereka. Dengan visi itu mereka akan menjadi orang yang mempunyai wawasan dan menjadi orang yang melihat visi yang diturunkan Allah. Sebagian orang bersikap tidak acuh, mengabaikan, atau meremehkan visi-visi tersebut atau orang-orang yang menyampaikannya, maka mereka itu merupakan orang-orang yang membutakan matanya, dan nafs mereka akan menjadi buta karena mereka membutakan diri sendiri.

Pendengaran telinga hati dan penglihatan hati terhadap bashirah yang datang dari Allah akan menjadi bekal pertumbuhan akal untuk memahami kehendak Allah bagi orang-orang yang berkeinginan kembali kepada Allah. Orang yang kembali kepada Allah tidak boleh menutup telinga mereka dari seruan untuk memahami kebenaran dan membutakan diri dari bashirah yang datang dari Allah. Akal seseorang akan tumbuh bila mereka dapat melihat fenomena alam kauniyah yang terjadi di sekitar mereka melalui perspektif bashirah yang datang dari Allah. Perspektif bashirah dari sudut pandang yang lain akan menjadikan pandangan seseorang terhadap kebenaran menjadi tidak jelas atau bahkan terbalik-balik, dan hal itu tidak akan menjadikan akal mereka tumbuh dengan benar.

Setiap orang harus berusaha beramal di atas keikhlasan berdasar pemahaman terhadap kehendak Allah yang terbangun dalam hati melalui pendengaran dan bashirahnya. Keikhlasan itu yang akan memperkuat akalnya untuk memahami kehendak Allah dengan benar. Sekuat apapun bashirah yang diperoleh seseorang, bashirah itu tidak akan dapat membuat seseorang memahami kehendak Allah tanpa sebuah keikhlasan.

﴾۳۰۱﴿لَّا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (QS Al-An’aam : 103)

Allah Maha Halus dan Maha mengetahui. Dia mengetahui segala yang halus di segala hal termasuk apa yang halus di dalam hati manusia. Manusia akan mengetahui kabar tentang Allah dengan memperhatikan apa-apa yang halus di dalam hatinya.

Rabu, 25 Januari 2023

Kitabullah Untuk Membina Akal

Allah menciptakan manusia untuk ditempatkan di bumi. Kehidupan di bumi merupakan kehidupan yang penuh hijab dari cahaya Allah, akan tetapi cahaya Allah tetap dapat diperoleh oleh orang-orang yang ingin kembali kepada-Nya. Manusia diuji dengan semua hijab-hijab itu, dan orang-orang yang diselamatkan Allah dalam perjalanan mereka kemudian menjadi makhluk yang dilebihkan daripada segenap makhluk yang lain. Ada suatu kelebihan manusia yang membuat mereka dilebihkan dari makhluk yang lain. Salah satu kelebihan itu adalah kekuatan akal dalam mencari cahaya Allah di antara kegelapan.

Dalam kegelapan kehidupan di bumi, manusia akan terperangkap pada banyak kesalahan dan dosa-dosa. Allah maha mengetahui hal demikian, dan sangat mudah bagi Allah untuk memberikan ampunan bagi setiap manusia yang bersalah dan berdosa selama mereka berkeinginan untuk kembali kepada Allah, atau setidaknya kembali mengikuti jalan yang benar. Suatu kesalahan besar akan diampuni Allah selama seseorang berkeinginan kembali, dan suatu kesalahan kecil akan menjadi api yang besar manakala seseorang mengikuti kebenaran keyakinannya sendiri yang menyalahi kitabullah, atau menggantungkan kebenaran pada orang yang salah. Dari satu sisi, bisa dikatakan bukan kesalahan dan dosa yang menjadi pangkal murka Allah, tetapi ketiadaan atau buruknya kualitas iktikad untuk kembali kepada Allah.

Iktikad seseorang untuk kembali akan menumbuhkan akal pada mereka, dan dengan akal itu maka kesalahan dan dosa dapat terlihat, dihindari atau akan berubah menjadi bekal untuk berbuat yang terbaik sesuai kehendak Allah. Pensucian diri (tazkiyatun nafs) menjadi media untuk menumbuhkan akal. Tetapi harus diingat bahwa tujuan pensucian diri bukanlah semata menjadi suci, akan tetapi harus menumbuhkan akal untuk dapat memahami dan berpegang pada tuntunan Allah dengan benar. Pensucian diri harus disertai dengan mengubah apa-apa yang ada bersama dengan nafs mereka dengan sesuatu yang lebih baik, maka seseorang akan tumbuh akalnya.

Hal itu harus mempunyai sandaran yang jelas pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW agar akal orang-orang yang mensucikan diri dapat tumbuh berdasarkan kitabullah. Kadangkala para murid harus berkembang akalnya pada tataran praktis kebumian, maka tingkatan praktis bidang itu hendaknya mempunyai landasan kitabullah. Landasan langkah perjalanan kembali harus dikuatkan terlebih dahulu hingga seseorang mengetahui kedudukan amal mereka dalam urusan Rasulullah SAW sebagai penguat pijakan dalam melangkah pada tataran praktis kebumian. Apa yang menjadi teman bagi nafs hanya akan menumbuhkan akal dengan baik dan benar bila sandaran itu kokoh. Bila hanya mengambang, maka akal orang-orang yang mengikuti hanya akan tumbuh secara mengambang pula.

﴾۱۱﴿لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِّن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَالٍ
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada nafs-nafs mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (QS Ar-Ra’du : 11)

Seorang syaikh akan sangat menekankan pentingnya penggunaan akal kepada murid-muridnya, dijadikan dasar utama bagi para murid melangkah. Kadangkala syaikh memberikan pandangan lebih lanjut bagi nafs para murid untuk menambah apa yang ada bersama nafs mereka, akan tetapi hal itu dilakukan setelah menekankan pentingnya menggunakan akal dengan benar. Misalnya kadangkala syaikh memberikan contoh-contoh fenomena kesucian jiwa berupa bashirah, pendengaran dan qalb orang yang menempuh jalan pensucian jiwa, atau menunjukkan amaliah praktis untuk jalan ibadah mereka. Akan tetapi semua hal itu dilakukan setelah melakukan penekanan terhadap ayat Alquran tentang segala sesuatu yang dilakukannya.

Ayat utama yang menjadi landasan bagi syaikh untuk segala sesuatu yang dibimbingkannya terhadap murid, untuk dijadikan dasar yang mengganti apa yang bersama nafs mereka, di antaranya adalah ayat penggunaan akal sebagai berikut :

﴾۹۷۱﴿وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS Al-A’raaf : 179)

Segala fenomena yang dijelaskan sang syaikh tentang tanda-tanda yang terjadi pada orang yang menempuh jalan tazkiyatun nafs secara mendasar bertujuan agar para murid menggunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah. Bukan fenomena tazkiyah itu yang menjadi tujuan utama, tetapi penggunaan akal mereka yang diutamakan. Bashirah yang muncul dalam nafs mereka, atau pendengaran nafs mereka, atau qalb yang tumbuh haruslah digunakan untuk menumbuhkan akal untuk memahami ayat-ayat Allah yang tertuang dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Bila tidak digunakan untuk memahami ayat-ayat Allah, maka qalb, bashirah dan pendengaran itu justru akan menjadikan mereka masuk ke dalam neraka jahannam.

Kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW merupakan pokok yang harus dipahami oleh setiap orang yang menempuh jalan pensucian diri. Kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW merupakan penjelasan bagi seluruh semesta ciptaan Allah yang hendak diperkenalkan-Nya kepada makhluk. Pokok fenomena di alam semesta seluruhnya terjelaskan dalam Alquran bila manusia berjalan kembali kepada Allah. Bila seseorang bertaubat, maka ia akan menemukan ayat kauniyah semesta yang berjalan seiring dengan ayat dalam kitabullah, dan selaras dengan ayat berupa bisikan hatinya. Maka itu sangat mungkin merupakan ayat yang akan memperkuat akalnya. Seringkali syaikh memberikan ayat Allah yang seharusnya dijadikan teman bagi nafs muridnya, maka hal demikian juga merupakan ayat yang akan memperkuat akalnya.

Segala penjelasan yang diterima seorang syaikh dan dibagikan kepada para murid seluruhnya merupakan cabang yang berpokok pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Bila tidak demikian, ia bukanlah syaikh yang benar. Bila sang syaikh membagikan penjelasan yang diterima kepada murid, maka hendaknya sang murid mencari pokoknya dari kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW agar akal mereka tumbuh kokoh tidak mengambang. Kadangkala seorang syaikh mempunyai pokok kepada syaikh lain atau sebelumnya, dan seterusnya hingga berpokok pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, maka sang murid hendaknya mencari pokoknya hingga memperoleh landasan pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Pokok inilah yang akan menjadi bekal pertumbuhan akalnya yang benar. Akal seseorang harus tumbuh sebagai cabang turunan yang bersambung hingga Rasulullah SAW. Kemuliaan seseorang ditentukan dengan ketakwaan mereka masing-masing, dan hal ini ditunjukkan dengan ketaatannya terhadap ayat dalam kitabullah.

Di jalan tazkiyatun nafs akan ditemukan fenomena penanda perjalanan seseorang yang dikenal sebagai warid. Warid merupakan penjelasan yang mungkin diturunkan Allah kepada orang-orang yang menempuh perjalanan kembali kepada Allah melalui jalan pensucian diri, baik berupa pendengaran, penglihatan ataupun fenomena qalbiyah. Seorang syaikh akan berusaha benar-benar mencegah muridnya untuk meminta suatu warid-pun manakala mereka memperoleh keterbukaan terhadap cahaya Allah dan keterbukaan terhadap rahasia-rahasia yang ada pada kitabullah. Pemahaman akal seseorang terhadap ayat-ayat kitabullah dan sunnah Rasulullah menjadi tujuan pokok yang lebih diutamakan daripada masalah warid. Hal ini tidak mencegah turunnya warid, boleh jadi Allah memberikan warid kepada orang yang memperoleh keterbukaan terhadap ayat Allah dan terhadap rahasia penciptaan. Permasalahan warid menuntut adab ketat yang harus ditaati oleh setiap murid terhadap syaikh. Agak berbeda dalam masalah kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, setiap orang harus mengutamakan kitabullah dan sunnah daripada makhluk lain.

Ujian yang Berat

Pertumbuhan akal hanya benar bila seseorang berpegang teguh pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Puncak kesulitan fitnah yang mungkin menimpa seseorang datang dari Allah sendiri manakala seseorang tidak berpegang pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Boleh jadi Allah memberikan firman kepada seseorang yang memberikan petunjuk bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, sedangkan firman itu dimaksudkan untuk menjerat mereka dalam rencana-Nya yang sangat teguh. Bila seseorang berpegang pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW dengan akalnya, maka ia akan dapat menimbang apakah firman-Nya itu suatu jeratan Allah atau selaras dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.

﴾۳۸۱﴿وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ
Dan Aku memberikan dikte kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh. (QS Al-A’raaf : 183)

Allah kadangkala mendikte kepada seorang manusia untuk menjeratnya dalam rencana-Nya yang sangat teguh untuk menampakkan iktikad mereka kembali kepada Allah. Mendikte (أُمْلِي ) dapat dipahami sebagai perbuatan memberikan perintah atau ketentuan yang perlu dilaksanakan tanpa membutuhkan pemahaman dan tidak mendatangkan pemahaman. Boleh jadi kalam itu sampai kepada makhluk melalui syaitan yang diijinkan untuk menyamar sebagai utusan, atau melalui malaikat yang mendatangkan ujian sebagai fitnah bagi seseorang, atau perkataaan ruh qudus yang membawa urusan-Nya, atau segala puncak hijab selain Allah yang mampu dipersepsi oleh indera makhluk-Nya tersebut. Manakala firman itu tidak mempunyai landasan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, apalagi bertentangan, hendaknya seseorang segera waspada bahwa boleh jadi Allah menjeratnya dalam rencana-Nya yang sangat teguh.

Kewaspadaaan ini bisa dilakukan bila manusia menggunakan akalnya untuk berpegang pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Pusaran jeratan ini seringkali sangat kuat yang bisa menyeret orang lain. Berpegang pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW harus dilakukan oleh setiap orang tanpa boleh mengendorkannya sedikitpun. Semua warid yang mungkin diperoleh tidak boleh melalaikan umat manusia dalam berpegang pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, sekalipun misalnya warid itu berupa kalam Allah yang disampaikan kepada seorang makhluk. Justru warid demikian seringkali yang paling berbahaya manakala bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, yang akan menyeret manusia pada jeratan rencana-Nya yang sangat teguh. Kadangkala kesalahan itu sangat samar sehingga tiba-tiba seseorang menyadari telah terjerumus ke neraka, dan kadang manusia mengetahui penjelasan kesalahan itu akan tetapi lebih meyakini kepercayaannya daripada kitabullah dan kemudian ia mendustakannya. Setiap orang harus menumbuhkan akalnya untuk berpegang pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.

Manakala akal berkembang, seseorang seharusnya menemukan jalinan kebersamaan dengan orang-orang yang kembali kepada Allah, terutama orang-orang yang telah sampai atau mengetahui kedudukan dirinya dalam al-jamaah mengikuti Rasulullah SAW. Pertumbuhan akal secara munfarid, tidak mengerti jalinan kebersamaan dalam urusan Rasulullah SAW sangat mungkin merupakan tanda berbahaya yang harus diperhatikan setiap manusia dalam perjalanannya kembali kepada Allah. Hal ini harus diukur dari urusan Rasulullah, tidak berdasarkan kebersamaan dengan orang lain karena kebersamaan tersebut boleh jadi bersifat nisbi. Bila seseorang benar-benar memperhatikan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, sedikit atau banyak ia akan memperoleh pengetahuan tentang orang-orang yang bersama mereka dalam urusan Rasulullah SAW.

Senin, 23 Januari 2023

Fundamen Perbaikan Umat

Allah menciptakan manusia di alam dunia agar mereka mempunyai pengetahuan tentang Allah dari alam yang paling rendah. Mereka terhijab dalam berbagai tingkatan hijab, akan tetapi keseluruhan hijab itu mengikuti setiap ketetapan Allah walaupun hanya dalam urusan parsial yang dapat dilakukannya. Kebenaran seringkali bercampur dengan hal bathil, baik di langit maupun di bumi. Benda-benda diam mewujud di alam bumi menjelaskan tentang ilmu Allah yang ditampakkan di alam bumi, para malaikat memantulkan penghambaan yang tidak tercampur dengan kufur dalam batas pengetahuan masing-masing tentang Allah, para Iblis menjelaskan tentang kekufuran yang nyata manakala makhluk tidak menyambut perintah Allah, dan setiap makhluk mengambil bagian masing-masing dari ilmu Allah sesuai keadaannya, baik ia kufur ataupun beriman.

Manusia menempati kedudukan secara khusus di antara makhluk yang lain. Ia diberi potensi kemampuan untuk mengambil bagian yang dekat di sisi Allah dengan membawa seluruh beban dari alam yang gelap, atau ia bisa memilih jauh dari cahaya Allah mengikuti natur kegelapan. Malaikat bisa dekat dengan Allah tanpa beban kegelapan, dan iblis tidak terjebak dalam natur kegelapan walaupun mereka kafir. Untuk dekat kepada Allah, manusia harus berjalan di semua alam untuk mengetahui keadaan mereka, dengan membawa bagi alamnya cahaya Allah.

Di alam yang rendah, manusia harus memakmurkan bumi mereka. Landasan pemakmuran itu adalah kasih sayang dalam keberjamaahan. Untuk tujuan itu, setiap manusia harus berusaha menjadikan kaum mereka berjalan sesuai dengan kehendak Allah. Ada ketentuan yang harus dipenuhi dalam upaya itu, yaitu bahwa kaum mereka akan berubah manakala mengubah apa yang ada pada jiwa mereka. Pada dasarnya keadaan suatu kaum akan bersesuaian dengan keadaan nafs-nafs mereka. Bila mereka mengganti apa yang diikuti oleh nafs mereka, maka Allah akan mengubah keadaan mereka sesuai dengan keadaan nafs mereka. 

﴾۱۱﴿لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِّن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَالٍ
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada nafs-nafs mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (QS Ar-Ra’du : 11)

Ayat di atas terutama terkait dengan pertanyaan kaum para rasul tentang mukjizat yang tidak ditunjukkan kepada mereka. Seruan yang dilakukan oleh para rasul sebenarnya bertujuan agar umat mengubah nafs mereka agar mengikuti cahaya Allah, maka dengan demikian keadaan mereka juga akan berubah menjadi baik mengikuti apa yang ada pada nafs mereka. Manusia hendaknya menyadari bahwa Allah mengajarkan kepada manusia segala hakikat dengan cara yang halus dan berlapis, tidak menampakkan kebenaran itu secara diskrit karena kebenaran itu sangat besar, luas dan berat, tidak akan mampu dipahami makhluk karena keterbatasan mereka. Hendaknya setiap manusia mengikuti kebenaran yang diperkenalkan Allah secara bertahap tidak menginginkan kebenaran secara telanjang.

Keadaan suatu kaum akan mengikuti apa-apa yang diikuti kaum tersebut. Untuk pemakmuran bumi, umat harus dirangkul bersama-sama tanpa ada yang tertinggal dengan memberikan pemahaman tentang visi bersama sesuai kehendak Allah. Seringkali proses perubahan di sisi nafs manusia dengan sesuatu yang lebih baik terhambat karena suatu doktrin yang mereka ikuti. Perubahan akan sulit terjadi manakala suatu umat dipaksakan untuk berbuat sesuatu tanpa mempunyai kesadaran dalam jiwanya tentang apa yang mereka perbuat. Satu orang di antara suatu kaum dapat memberikan warna yang mempengaruhi keadaan kaum bila mereka dapat memberikan pandangan tentang kehidupan mereka hingga kaum itu mengikuti cara pandang itu. Bila suatu visi hanya dipahami oleh seseorang tanpa membuat umatnya memahami, perubahan ke arah yang baik akan sulit terjadi. Keadaan suatu kaum akan mengikuti apa-apa yang ada pada nafs mereka.

Allah mengutus kepada setiap manusia malaikat untuk menyertai mereka. Para malaikat itu memunculkan akibat-akibat yang menyertai manusia dan perbuatan mereka sesuai dengan perintah Allah. Akibat dari setiap perbuatan oleh manusia mengikuti kehendak Allah, tidak ditentukan oleh perbuatan manusia itu. Perbuatan yang sama oleh orang yang berbeda akan mendatangkan akibat yang berbeda, dan akibat itu mengikuti kehendak Allah. Beberapa golongan manusia dibiarkan Allah untuk memperoleh segala yang diinginkan dari kehidupan dunia dengan mudah, beberapa orang lainnya dijaga agar memenuhi timbangan di sisi Allah sesuai bobot hakikat yang diinginkan orang tersebut, atau sesuai dengan kehendak Allah. Allah yang menentukan akibat dari segala yang dilakukan manusia sesuai dengan keadaan manusia tersebut, dan sangat banyak bentuk fenomena yang mungkin diturunkan Allah bagi setiap makhluk. Kadar kebaikan itu ditentukan oleh keadaan manusia, bukan pada fenomena yang terjadi. Ada atau tidaknya mukjizat pada rasul tertentu ditentukan Allah, bukan keinginan mereka sendiri, dan tidak menunjukkan kelebihan kebaikan dalam risalah di antara para rasul.

Kadangkala suatu kaum tidak mengganti apa yang buruk pada sisi nafs mereka sedangkan Allah menghendaki mereka mengganti yang buruk. Kaum nabi Nuh a.s dan nabi Luth a.s tidak mengganti apa yang ada pada nafs mereka manakala nabi Nuh dan nabi Luth a.s diutus di antara mereka. Hal demikian mendatangkan hal yang buruk terhadap mereka. Manakala mereka mengingkari apa yang disampaikan para rasul tidak mengubah apa yang ada pada nafs mereka, maka boleh jadi Allah akan mewujudkan keburukan yang menjadi pandangan hidup mereka dengan cara yang diskrit. Apabila demikian maka tidak ada yang akan menolak keburukan itu dan tidak ada yang menolong mereka kecuali Allah. Mukjizat atau keburukan yang dimunculkan Allah pada dasarnya merupakan fenomena yang sama, yaitu ditampakkannya kebenaran secara diskrit.

Segala sesuatu yang diturunkan kepada manusia mengikuti kehendak Allah, akan tetapi Allah menurunkannya sesuai dengan keadaan manusia. Tidak semua yang diturunkan Allah dalam kehidupan di bumi adalah kadar terbaik di sisi-Nya, tetapi selalu terbaik bagi kehidupan di bumi sesuai keadaannya. Semakin baik keadaan nafs para penghuni bumi, semakin baik pula kadar yang diturunkan Allah dari sisi-Nya. Setiap manusia harus menerima dengan suka hati setiap ketetapan yang diberikan kepadanya karena itu adalah terbaik baginya sesuai keadaan diri, akan tetapi ia harus terus berusaha menemukan pemahaman tentang kadar yang terbaik di sisi Allah. Ketika ada suatu keadaan yang terasa kurang baik, hendaknya mereka tidak berburuk sangka bahwa Allah memberikan sesuatu yang buruk tetapi hendaknya mereka bersyukur dengan yang diterimanya, kemudian berpikir tentang kadar yang terbaik di sisi Allah dan menimbang keadaan dirinya, dan berusaha memahami kebenaran yang hendak diajarkan pada dirinya melalui ketetapan yang diturunkan Allah. Dalam hal ini, hendaknya seseorang tetap membuka kemungkinan bahwa apa yang dipikirkannya mungkin saja tidak presisi.

Melahirkan Kebaikan

Terwujudnya segala sesuatu di bumi turun berdasarkan kehendak Allah melalui setiap lapisan. Manusia diciptakan sebagai representasi lapisan-lapisan alam yang diciptakan Allah. Setiap manusia diciptakan dalam wujud nafs di alam malakut, dilengkapi dengan jasadiah di alam mulk dan ruh dari alam yang lebih tinggi. Bahkan setiap laki-laki dipanjangkan lagi bayangannya dalam wujud  pasangan yang diciptakan dari satu nafs wahidah yang sama, dan perempuan dipanjangkan bayangannya berupa anak-anak dan kekayaan bersama suaminya. Penciptaan setiap manusia merupakan representasi bagi lapisan-lapisan alam yang diciptakan Allah.

Untuk mengubah keadaan di bumi, seseorang harus mengelola setiap lapisan dirinya. Bila seseorang berhasil mengelola dirinya, ia akan mengetahui bahwa Allah menjadikan dirinya sebagai wakil Allah yang memanjangkan cahaya-Nya hingga alam buminya. Untuk melaksanakan hal itu, ia akan menyadari bahwa ia mempunyai interface menuju alam bumi berupa pasangannya, sebagaimana untuk melahirkan anak seorang laki-laki harus bersama dengan isterinya. Hal itu harus dikelola dengan sebaik-baiknya. Perempuan merupakan diri laki-laki yang mewujud di luar dirinya, membawa bagian diri yang ditetapkan Allah.

﴾۸﴿اللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَحْمِلُ كُلُّ أُنثَىٰ وَمَا تَغِيضُ الْأَرْحَامُ وَمَا تَزْدَادُ وَكُلُّ شَيْءٍ عِندَهُ بِمِقْدَارٍ
Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang berkurang dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya. (QSAr-Ra’du : 8).

Setiap perempuan mempunyai kandungan khazanah kebumian yang ditetapkan Allah untuk masing-masing bersama dengan seorang laki-laki tertentu. Allah mengetahui seluruh khazanah yang dibawa oleh setiap perempuan. Kandungan itu hendaknya dilahirkan ke bumi melalui rahim mereka. Keadaan rahim setiap perempuan berubah-ubah, kadangkala bertambah dan kadangkala berkurang. Allah mengetahui apa yang berkurang pada rahim perempuan dan apa yang bertambah padanya. Apa yang dilahirkan oleh pasangan manusia hendaknya mengacu pada kadar-kadar terbaik yang ada pada sisi Allah.

Ayat tersebut lebih berbicara tentang manusia pada sisi nafs, dan berbayang pada sisi jasadiah. Beberapa perempuan merupakan perempuan mandul secara jasadiah, akan tetapi ayat ini tetap mencakup mereka pada sisi nafs mereka. Nafs mereka tetaplah mengandung khazanah yang ditetapkan Allah tidak sebagaimana kemandulan jasadiah mereka. Kandungan perempuan merupakan bagian perempuan berupa khazanah yang seharusnya dibagikan kepada suaminya, sedangkan bagian rahim merupakan bagian perempuan untuk menerima dan merawat jati diri suaminya. Dengan saling memberi dan menerima, pasangan itu akan melahirkan khazanah Allah yang tersimpan pada mereka.

Pada sisi nafs, kandungan pada rahim perempuan sangat berubah-ubah sesuai ketakwaan mereka kepada Allah dan ketaatan mereka dalam mengikuti suaminya. Rahim pada nafs masing-masing perempuan tidak bersifat tetap, akan tetapi berkurang dan bertambah sepanjang waktu tergantung keadaan mereka. Manakala berkhianat, rahim nafs mereka tidak mengandung atau melahirkan kadar di sisi Allah yang dikenali suaminya. Manakala bertakwa dan taat, mereka akan melahirkan kadar di sisi Allah yang dikenali suaminya. Seorang perempuan mandul secara jasadiah mungkin saja sangat subur jiwanya dalam melahirkan pengenalan suaminya terhadap ketentuan Allah ke alam dunia karena suburnya nafs mereka terhadap diri suaminya. Hendaknya manusia mengelola diri mereka sebagai pasangan untuk melahirkan kadar-kadar dari sisi Allah agar terwujud kemakmuran di muka bumi.

Pada sisi hubungan laki-laki dan pasangannya ini syaitan sangat mengutamakan upayanya untuk merusak manusia dan menimbulkan fitnah. Kadangkala syaitan merusak rahim nafs seorang perempuan tanpa ada keinginan buruk sedikitpun dari pasangan itu. Kadar terbaik dari sisi Allah tidak akan dapat diturunkan bilamana hubungan seseorang dengan isterinya dirusak. Bayangan tidak turunnya kadar terbaik ini kadangkala tergambar dalam kehidupan duniawi, tetapi sebagian orang dibiarkan mengupayakan kehidupan duniawi yang baik melalui terobosan upaya-upaya duniawi atau jalan syaitaniah walaupun pernikahan mereka buruk. Akan tetapi untuk kadar terbaik dari sisi Allah, tidak ada jalan menurunkannya bagi umat kecuali terbentuk hubungan yang baik antara suami dan isteri. Kesuburan akan muncul bila terjalin proses memberi dan menerima dengan baik baik dalam komunikasi verbal ataupun dalam setiap aspek pergaulan mereka.

Pemakmuran di bumi harus dilakukan setiap manusia secara menyeluruh menyentuh setiap lapisan semesta mereka, dimulai dari dirinya dan pasangannya kemudian meluas hingga alam yang jauh dengan menurunkan kadar-kadar terbaik dari sisi Allah. Tanpa memperbaiki diri bersama pasangannya, seseorang tidak akan dapat menumbuhkan kemakmuran di bumi karena tidak dapat menurunkan kadar terbaik dari sisi Allah. Setelah memperbaiki diri bersama pasangannya, seseorang harus menyeru kaumnya untuk mengubah apa-apa yang menjadi pegangan jiwa mereka dalam menempuh kehidupan, atau mengubah cara menghayati pegangan jiwa mereka menuju cara yang lebih baik agar keadaan kaum mereka menjadi baik. Dengan demikian maka akan terbentuk kemakmuran di bumi.

Selasa, 17 Januari 2023

Amar Ma’ruf dan Tujuan Kehidupan

Allah menghendaki orang-orang beriman untuk membentuk diri mereka sebagai bagian dari umatan wahidah, akan tetapi mereka tetap hidup dalam perselisihan tidak memahami kehendak Allah dengan cara yang benar. Landasan untuk membentuk ummatan wahidah telah diturunkan kepada Rasulullah SAW, dan orang-orang yang mengikuti beliau SAW akan menjadi bagian dari umatan wahidah. Umat wahidah hanya terbentuk bila setiap orang beriman membentuk diri mereka mengikuti sunnah Rasulullah SAW dan millah Ibrahim a.s. Banyak orang yang menyeru pada persatuan umat akan tetapi tidak mengerti dasar terbentuknya umatan wahidah, maka seruan mereka menarik umat dalam suatu kesatuan parsial yang seringkali mempunyai nuansa hawa nafsu. Tidak sedikit seruan persatuan umat yang dilakukan oleh suatu pihak justru untuk memecah belah umat Rasulullah SAW, membentuk suatu kelompok mengikuti kebenaran parsial yang mereka rumuskan dan merintis jalan untuk menyalahkan kelompok lainnya.

Untuk mencapai umatan wahidah, orang-orang beriman harus berusaha memperoleh tempat di antara orang-orang beriman yang membentuk jalinan kasih sayang dan persaudaraan di atas pengetahuan tentang kehendak Allah yang sebenarnya, tidak mengikuti seruan untuk berbangga dengan kebenaran parsial yang mereka ikuti sendiri. Nuansa kehidupan orang beriman yang mendekati kehendak Allah adalah umat yang setiap orang berusaha menjadi wali bagi yang lain, menyuruh pada pengetahuan tentang kehendak Allah bukan keinginan mereka sendiri, mencegah umat dari berbuat berdasar kebodohan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka mentaati Allah dan Rasulullah SAW. Adanya setiap ciri di atas mempertegas perbedaan antara keadaa yang benar dengan nuansa yang bercampur dengan munafik.

﴾۱۷﴿وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) wali bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh dengan yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS At-Taubah : 71)

Manusia yang berusaha menjadi bagian dari umat yang benar keimanannya akan berusaha menjadi wali bagi orang beriman lainnya hingga terbentuk kehidupan yang sebaik-baiknya. Manakala seorang beriman menjumpai saudaranya seiman tidak mempunyai kemampuan melakukan sesuatu yang seharusnya, maka hendaknya mereka berusaha menjadi wali agar saudara seimannya mempunyai kemampuan, tidak membiarkannya tetap dalam keadaan tidak mampu atau justru menganggapnya sebagai orang yang harus disingkirkan. Manakala tidak terbentuk keadaan demikian, maka boleh jadi mereka bukan umat yang dapat mengerti tentang kehendak Allah yang sebenarnya, atau menunjukkan adanya nifaq pada keimanannya.

Dalam hal ini sangat banyak aspek yang merupakan sendi kehidupan di antara manusia, dan barangkali tidak seluruh aspek tersebut dapat diperhatikan oleh jamaah orang-orang beriman. Tidak semua kasus ketidakmampuan seseorang menunaikan amal dapat dijadikan parameter kemunafikan umat tersebut. Beberapa aspek menjadi pokok yang harus menjadi perhatian utama dan aspek lainnya menjadi cabang yang dapat diperhatikan setelah pokoknya. Pokok utama yang harus diperhatikan di antara umat adalah memerintahkan urusan yang menjadi kehendak Allah (amar ma’ruf) dan mencegah berbuat berdasarkan kebodohan (nahy munkar). Itu adalah sendi keumatan yang utama. Amar ma’ruf nahy munkar hanya dapat dilaksanakan oleh pribadi-pribadi yang dibentuk dengan kualitas tertentu, dan amar ma’ruf nahy munkar menjadi sendi pokok keumatan. 

Kehidupan orang beriman pada dasarnya berada pada tepi jurang neraka, di sisi luar neraka akan tetapi dekat. Orang-orang yang menyeru pada al-ma’ruf dan mencegah dari kemunkaran adalah orang-orang yang mengajak manusia untuk menjauh dari jurang neraka. Mereka menyeru orang-orang beriman untuk mendekat pada sumber keselamatan dan membangun rumah pada tempat yang tepat bagi masing-masing orang. Orang yang mengenal al-ma’ruf mengetahui wilayah yang tepat untuk membangun rumah abadi, yaitu wilayah yang menjadikan setiap manusia mampu bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah dan bahwa Muhammad SAW adalah Rasulullah. Mereka menyeru manusia dengan al-ma’ruf agar manusia berhijrah menuju wilayah itu dan mencegah manusia dari kemunkaran yang mengarahkan mereka ke neraka.  

Sebenarnya orang yang melaksanakan amar ma’ruf nahy munkar merupakan orang yang paling beriktikad untuk menjadi wali bagi orang beriman lain pada bidang amal shalih yang ditetapkan Allah baginya. Al-ma’ruf merupakan pengetahuan seseorang tentang kehendak Allah yang diketahui hatinya dan mempunyai akar pengetahuan pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Al-munkar adalah setiap perbuatan yang dapat menimbulkan madlarat karena terlahir tanpa landasan pengetahuan yang benar, baik karena pengetahuan yang salah maupun tidak adanya landasan pengetahuan. Pengetahuan tentang kehendak Allah yang disumbangkan seseorang bagi orang beriman lainnya itu merupakan bentuk kewalian yang berusaha ia berikan. Demikian juga upayanya mencegah manusia dari kebodohan. Amar ma’ruf nahy munkar merupakan bentuk kewalian yang paling utama yang dapat diberikan seorang mukmin kepada mukmin yang lain, karena dengan hal itu kaum mukminin mengetahui jalan untuk dekat kepada Allah dan mengetahui jalan untuk terhindar dari celaka. 

Terkait perwalian yang harus dilakukan orang-orang beriman, orang-orang yang melaksanakan amar ma’ruf nahy munkar harus menjadi pokok perhatian. Orang beriman harus memberikan perhatian utama kepada orang yang berupaya melakasanakan amar ma’ruf nahy munkar dan berusaha menjadi wali bagi orang itu tidak membiarkannya tersia-sia. Manakala seseorang mempunyai pengetahuan tentang kehendak Allah, maka membantu orang itu untuk beramal pada dasarnya menjadi bentuk pertolongan kepada Allah, dan membiarkannya tersia-sia berarti tidak memperhatikan urusan Allah bagi mereka, dan boleh jadi keimanan mereka tidak termasuk dalam kategori mukminin dan mukminat, baik karena hati yang tumpul terhadap cahaya Allah atau karena tipuan syaitan dan sifat munafik yang menempel dalam hati mereka.

Keadaan ini sangat penting diperhatikan. Al-ma’ruf seharusnya dapat memberikan jejak pemahaman dalam hati orang-orang yang beriman karena isi al-ma’ruf itu merupakan tujuan utama dalam kehidupan orang beriman. Demikian pula tentang upaya mencegah kemunkaran, ia akan menjadi peringatan bagi hati orang beriman, tidak dipandang sebagai suatu serangan yang mengganggu. Bila suatu umat tidak membentuk sikap demikian, ada suatu bahaya besar yang mengintai mereka dalam setiap langkah perjalanan kembali kepada Allah. Pemimpin mereka akan kewalahan menjaga sendirian umatnya dalam perjalanan, dan ini bisa menjadi sebuah pertanda bahwa mereka akan celaka dalam perjalanan mereka. Hendaknya setiap orang beriman membuka akal agar dapat merasakan dan mengerti makna setiap ma’rifat yang disampaikan kepada mereka.

Sikap Orang Munafik

Orang-orang yang beriman harus dapat mengenali orang-orang yang menegakkan amar ma’ruf nahy munkar karena mereka menjadi penjelas bagi firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Banyak orang munafik yang menggunakan firman Allah dengan cara yang tidak benar, bahkan ada di antara orang-orang munafik yang mengatakan perkataan-perkataan kufur hingga mereka menjadi kafir setelah keislaman mereka. Ketika Allah menurunkan penjelasan masalah perkataan mereka, mereka bersumpah atas nama Allah bahwa mereka tidaklah mengatakan hal demikian.

﴾۴۷﴿يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ مَا قَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ وَهَمُّوا بِمَا لَمْ يَنَالُوا وَمَا نَقَمُوا إِلَّا أَنْ أَغْنَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ مِن فَضْلِهِ فَإِن يَتُوبُوا يَكُ خَيْرًا لَّهُمْ وَإِن يَتَوَلَّوْا يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ عَذَابًا أَلِيمًا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَا لَهُمْ فِي الْأَرْضِ مِن وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
Mereka bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu) sedangkan sungguh mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam dan mereka menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya, dan mereka tidak mencela kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi. (QS At-Taubah : 74)

Perkataan-perkataan mereka itu merupakan celaan-celaan terhadap kebenaran yang ditujukan kepada orang beriman, berupa perkataan yang disusun dengan cara yang salah tidak memperhatikan kehendak Allah, tetapi hanya untuk mencapai keinginan mereka sendiri. Mereka mempunyai suatu kepentingan dibalik perkataan yang mereka sampaikan. Mereka menginginkan apa yang tidak dapat mereka capai, dan mereka tidaklah akan dapat menggapai apa yang mereka inginkan. Manakala orang beriman menjelaskan perkataan itu, para munafikin itu menolak sendiri sanad perkataan itu kepada diri mereka.

Mereka mencela al-ma’ruf dengan bekal yang telah mereka peroleh yang dikaruniakan Allah berupa kekayaan dan fadhilah. Apa yang mereka cela dari orang-orang beriman yang menyampaikan al-ma’ruf barangkali didasarkan pula pada fadhilah-fadhilah yang dikaruniakan Allah kepada mereka, tetapi tidaklah kekayaan fadhilah itu bermanfaat manakala mereka lebih mengejar keinginan-keinginan mereka. Pengetahuan mereka bukan bagian dari al-ma’ruf atau bayangannya. Mereka itu sebenarnya telah mengatakan perkataan-perkataan yang kufur dan mereka telah kufur setelah keislaman mereka.

Sekalipun kufur setelah keislaman, barangkali Allah belumlah menjadikan mereka sebagai bagian dari orang yang pasti mendapatkan adzab. bertaubat dari hal demikian akan mendatangkan kebaikan bagi mereka. Apabila mereka berpaling dari kebenaran, niscaya Allah akan memberikan adzab kepada mereka dengan adzab yang pedih di kehidupan dunia maupun akhirat. Apaabila Allah membuka permasalahan orang-orang yang mencela al-ma’ruf dari kalangan orang-orang munafiq, maka mereka tidak akan lagi mempunyai penolong dan wali yang membantu mereka bahkan dalam kehidupan dunia. 

Orang-orang munafik merupakan bagian dari orang-orang beriman yang terburu-buru untuk membangun rumah dengan keinginan mereka sendiri tanpa memperhatikan petunjuk Allah, hingga kadang mereka membangunnya dari neraka atau bahkan di dalam neraka. Manakala seseorang mencela amar ma’ruf nahy munkar yang dilakukan oleh orang beriman, sangat mungkin mereka itu termasuk kelompok orang yang membangun rumah kekafiran di dalam neraka. Apabila mereka menyadarinya dan bertaubat meninggalkan apa yang dibangunnya, maka mereka akan memperoleh kebaikan. Bila mereka tidak meninggalkan apa yang dibangunnya, maka bangunan itu akan menjadi tempat tinggal baginya selamanya.  

Mengikuti Al-Ma’ruf

Tanpa seruan dengan al-ma’ruf dan mencegah kemunkaran, orang beriman akan sulit untuk berjalan menjauh dari tepi jurang neraka. Barangkali mereka berkeinginan untuk menjauh dari neraka, akan tetapi barangkali tidak mengetahui jalannya sehingga mereka berjalan berkeliling di sekitar neraka atau justru mendekat ke neraka. Sebagian orang tidak menyadari bahwa mereka di tepi neraka atau bahkan tidak menyadari telah terjerumus ke dalamnnya. Sebagian orang mempunyai konsep tentang tanah yang dijadikan sebagai tempat hijrah bagi mereka, tetapi tidak mengetahui jalan untuk mencapainya sedangkan mereka mengira bahwa mereka berjalan menuju tempat itu, tanpa berpegang pada tuntunan yang diturunkan Allah, maka boleh jadi mereka hanya melangkah berputar-putar atau bahkan tersesat tidak menjumpai musyahadah.

Orang yang menyeru pada al-ma’ruf dan mencegah kemunkaran hendaknya berhati-hati dalam berkata-kata agar tidak terjadi terbaliknya seruan itu. Rasulullah SAW bersabda kepada Muadz ibn Jabal r.a sambil memberikan isyarat ke lidah :

كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا قال يَا نَبِيَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ ؟ قال ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ
Tahanlah olehmu ini! (Mu’adz) bertanya : Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa dengan sebab ucapan yang kita katakan ? Beliau SAW menjawab : Kasihan engkau hai Mu’adz! Adakah yang menjerumuskan manusia ke dalam neraka di atas wajah-wajah mereka atau hidung-hidung mereka? Hanyalah di atas hasil-hasil lisan-lisan mereka ?”. [HR Tirmidzi, no: 2616; Ibnu Mâjah, no: 3872; Ahmad 5/230, 236, 237, 245]

Orang yang mengenal al-ma’ruf sangat berkeinginan agar orang lain mengenal pula al-ma’ruf yang dikenal oleh dirinya, dan menyimpan keinginan untuk bersama-sama menempuh perjalanan menuju tanah tempat tinggal mereka yang abadi. Mereka juga mempunyai rasa takut karena banyak hal yang bisa membuat mereka celaka dalam perjalanan itu. Suatu perkataan keliru yang keluar dari lisannya dapat menjerumuskan sahabatnya ke jurang neraka, maka dengan itu ia akan terikat pula pada sahabat itu. Kadangkala yang terjadi bukan kesalahpahaman sahabatnya karena perkataannya, tetapi sahabatnya tersangkut kesalahan dirinya. Karena itu hendaknya setiap orang menjaga lisannya yang dapat menjerumuskan manusia ke neraka. Manakala ia berkata, hendaknya ia berusaha agar perkataan yang disampaikan lurus dan tegak tidak membuat orang lain mempunyai interpretasi yang salah terhadap maksud perkataannya.

Bagi orang yang beramar ma’ruf nahy munkar, tujuan paling penting dari upaya yang disampaikannya adalah keterbukaan akal sahabatnya terhadap pengetahuan tentang kehendak Allah, bukan keikutsertaan sahabatnya kepada dirinya. Bila akal terbuka, seseorang bisa memperoleh peringatan dari sahabatnya manakala ia keliru. Kualitas kebersamaan di antara mereka akan lebih baik manakala mereka mempunyai tujuan mulia yang sama. Seseorang tidak harus menanggung resiko banyaknya kesalahan yang mungkin terjadi di antara mereka bila akal tidak terbuka. Manakala mereka tiba di tanah yang dijanjikan, sahabat tersebut hanya akan mengenalinya sebagai tanah suci dengan akalnya. Bila akal mereka tertutup ketika mengikuti seruannya, maka upaya mereka akan sia-sia walaupun mereka tiba di tanah yang dijanjikan karena boleh jadi mereka tidak mengetahui makna tanah yang dijanjikan tersebut. Banyak faktor yang menjadikan keterbukaan akal lebih berharga daripada kesertaannya saja.

Bagi orang yang melakukan amar ma’ruf nahy munkar, keterbukaan akal seorang sahabat memberikan makna jauh lebih baik daripada kesertaan mereka. Hanya saja ada sebuah keutamaan yang membuat mereka harus diikuti berupa pengetahuan tentang al-ma’ruf. Setiap orang hendaknya mentaati seruan orang yang melakukan amar ma’ruf nahy munkar karena kebaikan yang mereka perkenalkan kepada umat. Ketaatan itu hendaknya dengan ketaatan yang ma’ruf. Tanpa ketaatan di atas pengetahuan tentang kehendak Allah (tha’atun ma’rufah), maka kesertaan manusia akan menjadi beban bagi orang yang menyeru. Bila dilakukan ketaatan yang ma’ruf, maka penyeru itu hanya perlu meluruskan manakala terjadi penyimpangan pada langkah mereka.

Rabu, 04 Januari 2023

Alquran, Bayt dan Ummatan Wahidah

Allah menyelamatkan kehidupan orang-orang beriman dari tepi jurang neraka menuju ke surga manakala mereka berpegang teguh kepada tali yang diturunkan Allah untuk berjalan kembali kepada-Nya dalam langkah taubat. Allah menyusun hati orang-orang beriman hingga mereka menjadi orang-orang yang bersaudara dalam jamaah mengikuti Rasulullah SAW sebagai umatan wahidah. Mereka tidak mempunyai rasa permusuhan terhadap orang lain dan hanya berharap kebaikan bagi setiap makhluk.

﴾۳۰۱﴿وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan berpeganglah kalian pada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kalian dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah menyusun hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS Ali Imran : 103)

Setiap manusia pada dasarnya mempunyai kecenderungan untuk berselisih dan bermusuh-musuhan kepada yang lain sebagaimana kecenderungan predator sebagai penguasa teritori yang sulit untuk hidup bersama-sama dengan predator lain. Akan tetapi manusia memperoleh bekal berupa kekuatan berpikir yang berguna untuk menata kehidupan jasadiah mereka secara baik. Kekuatan berpikir itu menjadi cermin di alam jasadiah untuk menangkap gambaran ide tatanan alam yang tinggi dan tertib dalam wujud hakikat-hakikat dan turunannya untuk diimplementasikan di alam jasadiah.

Orang-orang musyrik mengarahkan cermin itu pada tuntunan syaitan. Orang-orang beriman mengarahkan cermin itu pada tuntunan Allah melalui cahaya-cahaya yang diturunkan, sedangkan banyak manusia terjebak pada kegelapan alam duniawi tanpa banyak mengetahui gambaran tatanan yang seharusnya diterapkan dalam kehidupan mereka. Kebanyakan manusia mengikuti tatanan manusia yang lain baik karena terpaksa ataupun dengan keinginan untuk memperoleh bagian duniawi yang selayaknya, dengan taat kepada Allah ataupun dengan maksiat. Orang yang sepenuhnya mencari dunia akan berjalan tanpa memperhatikan tatanan Allah, sedangkan orang yang mencari cahaya akan memperhatikan cahaya yang diturunkan Allah. Dengan dorongan motivasi kehidupan dunia, manusia cenderung berselisih.

Orang-orang beriman pada dasarnya masih berada pada tepian jurang neraka kecuali manakala Allah menyelamatkan mereka menjauh dari jurang neraka tersebut. Ketika seorang beriman tidak menghilangkan kecenderungan untuk berselisih dengan orang lain, mereka pada dasarnya berada pada tepian jurang neraka. Sebagian besar orang beriman berusaha agar kecenderungan berselisih pada dirinya berkurang akan tetapi tidak benar-benar menyadari jalan untuk menghilangkan kecenderungan tersebut. Beberapa orang beriman menemukan jalan itu akan tetapi bercampur dengan kegelapan yang dilemparkan oleh syaitan kepada hati dan pemikirannya. Sebagian orang diberi karunia Allah untuk menemukan jalan menemukan keselamatan.

Allah menyelamatkan orang-orang beriman dengan menyusun hati mereka membentuk suatu jamaah yang bergerak berdasar nikmat Allah yang Dia karuniakan kepada mereka. Hati orang-orang yang diselamatkan Allah adalah hati-hati yang tersusun di atas suatu tatanan tertentu. Mereka mengenali tatanan hati yang menjadi kedudukan diri mereka bersama orang beriman lainnya mengikuti penghulu alam semesta yaitu Rasulullah SAW dan nabi Ibrahim a.s. Setiap orang yang diselamatkan Allah mempunyai keinginan untuk mengetahui kedudukan mereka dalam jamaah ini. Bila tidak mempunyai keinginan ini, mereka sangat mungkin bukan termasuk orang yang diselamatkan Allah.

Pengenalan seseorang terhadap tatanan diri yang dikehendaki Allah adalah nikmat Allah. Landasan pengenalan ini benar bila berdasarkan dua kalimat syahadat, yaitu keinginan untuk bersaksi terhadap kebenaran risalah Rasulullah SAW. Syaitan-pun pada dasarnya akan mendorong manusia pada pohon khuldi mereka masing-masing manakala mereka berkeinginan semata-mata mengenal jati diri mereka, yaitu apabila mereka dianggap syaitan layak untuk didorong pada pohon khuldi mereka. Bila seseorang berkeinginan untuk musyahadah terhadap kebenaran risalah Rasulullah SAW, maka mereka akan dapat melewati dorongan syaitan pada masa awal pengenalan kedudukan diri mereka. Bila seseorang terlupa pada tujuan musyahadah, pengenalan seseorang terhadap pohon diri akan kembali berbalik menimbulkan kekacauan yang besar bagi kehidupan di bumi dan berbalik menyeret kepada jurang neraka, tidak menuju tatanan yang ditentukan Allah yang berkehendak menyelamatkan mereka.

Tetapnya seseorang pada tujuan musyahadah ini akan tampak dalam upaya merealisasikan bayt untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah. Ini adalah millah Ibrahim a.s yang merupakan turunan dari sunnah Rasulullah SAW yang dapat diupayakan manusia di bumi. Bila terlalaikan, seseorang akan berbalik menuju kehidupan dunia dengan cara menyelisihi milah Ibrahim a.s. Bila seseorang menyambungkan diri kepada nabi Ibrahim a.s dalam amal mereka, maka mereka akan tersambung kepada Rasulullah SAW. Bila seseorang menyelisihi millah nabi Ibrahim a.s dalam amal mereka, mereka terputus pula dari Rasulullah SAW. Sekalipun seseorang bersama nabi Musa a.s dalam amal-amalnya, bila mereka terpisah dari langkah nabi Ibrahim a.s maka mereka terputus dari Rasulullah SAW.

Bayt demikian merupakan kesatuan nafs wahidah bersama dengan segala yang terserak dari dirinya. Wujud yang paling mewakili adalah rumah tangga nabi Ibrahim a.s bersama siti Hajar r.a. Rumah tangga beliau-beliau merupakan bayt yang diijinkan untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah, dan hendaknya manusia mengikuti mereka dalam membentuk kesatuan nafs wahidah. Rumah tangga demikian merupakan keping fraktal yang mewakili tatanan besar umat manusia yang membentuk tatanan bersama Rasulullah SAW. Tidak ada orang yang dapat benar-benar menyatu dalam tatanan yang dikehendaki Allah dalam umatan wahidah tanpa membentuk keping fraktal berupa bayt dirinya sesuai millah Ibrahim a.s. Sebagian orang di akhirat kelak akan diseret ke neraka setelah berada di haudh Rasulullah SAW di surga karena tidak membentuk keping fraktal yang sesuai dengan kehendak Allah.

Tatanan bayt menjadi suatu bentuk contoh membentuk umat wahidah. Seorang imam mengenal nafs wahidah dan amr mereka dalam urusan Rasulullah SAW, dan ia menyayangi istrinya sebagai bagian dirinya. Seorang isteri berkhidmat kepada suaminya untuk melaksanakan urusan Rasulullah SAW, dan berbagi tugas berkhidmat dalam urusan nafs wahidah suaminya dengan isteri yang lain di jalan Allah. Ini merupakan gambaran tatanan umatan wahidah yang terwujud dalam sebuah bayt.

 

Ahlul Bayt

Allah telah menurunkan tali-Nya dari sisi-Nya hingga menjangkau alam jasadiah berupa Alquran yang dapat dibaca oleh setiap manusia. Kandungan Alquran adalah seluruh kehendak Allah yang Dia sampaikan kepada segenap makhluk-Nya melalui Rasulullah SAW. Segenap pemahaman terhadap ayat Alquran yang sesuai kehendak Allah adalah kandungan Alquran, dan banyak pemahaman manusia yang melenceng maka itu bukan merupakan kandungan Alquran, sekalipun manusia menggunakan ayat Alquran.

Rasulullah SAW menjelaskan bahwa ada sebagian manusia yang mempunyai pemahaman yang benar tentang kandungan Alquran dalam setiap pemahaman mereka tentang Alquran. Barangkali tidak seluruh kandungan Alquran mereka ketahui, akan tetapi setiap pemahaman dirinya tentang Alquran merupakan kandungan Alquran yang benar. Orang demikian merupakan penjelas Alquran yang melanjutkan urusan Rasulullah SAW. Bagaimanapun Alquran berkedudukan lebih tinggi dan lebih agung dari insan demikian, akan tetapi bila seseorang mengikuti mereka maka mereka tidak akan tersesat jalannya hingga kelak sampai di telaga Rasulullah SAW. Sebaik-baiknya manusia menurut Rasulullah SAW tidak lebih agung daripada Alquran, maka manusia tidak boleh mengikuti orang lain dengan menyelisihi Alquran, dan pemahaman seseorang yang menyelisihi Alquran adalah pemahaman bathil.

عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي أَحَدُهُمَا أَعْظَمُ مِنْ الْآخَرِ كِتَابُ اللَّهِ حَبْلٌ مَمْدُودٌ مِنْ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ وَعِتْرَتِي أَهْلُ بَيْتِي وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ فَانْظُرُوا كَيْفَ تَخْلُفُونِي فِيهِمَا
dari Zaid bin Arqam r.a keduanya berkata; Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian sesuatu yang sekiranya kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya kalian tidak akan tersesat sepeninggalku, salah satu dari keduanya itu lebih agung dari yang lain, yaitu; kitabullah adalah tali yang Allah bentangkan dari langit ke bumi, dan keturunanku dari ahli baitku, dan keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya datang menemuiku di telaga, maka perhatikanlah apa yang kalian selisihi aku tentang keduanya." (HR At-Tirmidzi No. 3720)

Orang-orang itu adalah keturunan Rasulullah SAW (عِتْرَتِي) yang termasuk dalam golongan ahlul bayt (أَهْلُ بَيْتِي). Keturunan Rasulullah SAW (عِتْرَتِي ) menunjuk pada orang yang terlahir dalam garis keturunan Rasulullah SAW walaupun telah bercampur-baur dengan sangat banyak garis keturunan yang lain, dan mereka merasakan kebutuhan yang besar untuk mengikuti Rasulullah SAW. Orang yang dalam garis keturunan beliau SAW dalam semangat kebanggaan menunjuk hanya setengah makna kata yang disebut Rasulullah SAW. Dari golongan عِترة Rasulullah SAW yang sepenuhnya, terdapat orang-orang yang menempuh perjalanan taubat hingga mencapai kedudukan sebagai ahlul bayt. Mereka adalah keturunan Rasulullah SAW yang mengenal kedudukan diri mereka dalam amr Rasulullah SAW dan menyatukan nafs wahidah mereka membentuk bayt yang diijinkan untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah.

Mereka itulah yang disebut Rasulullah SAW sebagai عِتْرَتِي أَهْلُ بَيْتِي. Mereka tidak akan berpisah dari Alquran dalam perjalanan mereka hingga sampai di telaga Rasulullah SAW di surga kelak. Mereka tidak menempuh langkah perjalanan menyelisihi Alquran. Barangkali ada perbuatan lain yang mereka lakukan tanpa dasar Alquran akan tetapi tidak dalam langkah mereka dalam agama. Mereka tidak membuat perkataan yang menyelisihi Alquran dengan keinginan mereka. Barangkali mereka berkata-kata yang lain, akan tetapi tidak akan mengatakan sesuatu yang menyelisihi Alquran. Apabila beban berat kehidupan dunia menimpa mereka, mereka tidak akan menyelisihi Alquran. Mereka memahami Alquran sesuai dengan keadaan mereka dan tidak akan berpisah dari kandungan Alquran bagi mereka.

Umat Rasulullah SAW akan menyelisihi kedua warisan Rasulullah SAW yang seharusnya menjadi pegangan mereka. Hal itu sebenarnya menyelisihi Rasulullah SAW. Itu yang akan terjadi pada umat Rasulullah SAW, karena itu Rasulullah SAW memerintahkan kepada umatnya : “maka perhatikanlah apa yang kalian selisihi aku pada keduanya." Umat Rasulullah SAW akan menyelisihi Alquran dan akan menyelisihi seruan Ahlul bayt dari keturunan beliau SAW mengikuti waham mereka sendiri.

Rasulullah SAW memerintahkan umat dengan tegas untuk memperhatikan keduanya. Manakala seseorang menyelisihi keduanya dengan mengetahui hal itu, maka lebih mudah baginya untuk kembali mengikuti Rasulullah SAW. Umat islam sangat mungkin akan menyelisihi keduanya dan merasa benar ketika menyelisihi, maka ini menjadi masalah yang lebih berat. Ketika seseorang mengajak umat untuk memperhatikan kandungan Alquran tanpa menyelisihinya, hendaknya mereka memperhatikan kandungan Alquran tidak menyelisihinya, tidak mengikuti perkataan sendiri. Orang yang berpegang teguh kepada Alquran dengan benar akan selamat dalam menapak perjalanan taubat, dan cara berpegang teguh itu akan dicontohkan oleh keturunan Rasulullah SAW yang menjadi golongan Ahlul Bayt.

Berpegang pada kitabullah mengikuti contoh ahlul bayt akan mengantarkan seseorang untuk dapat menyusun hati mereka dalam suatu jamaah mengikuti Rasulullah SAW. Menghalangi atau menyelewengkan langkah manusia dalam mengikuti Rasulullah SAW membentuk bayt akan menimbulkan perselisihan yang banyak dan mengacaukan manusia dalam memahami kitabullah. Terbentuknya persaudaraan di atas nikmat Allah akan terjadi manakala terbentuk bayt yang diijinkan untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah. Sulit bagi manusia untuk mendzikirkan asma Allah dengan baik dan benar manakala mereka dihalangi atau diselewengkan untuk membentuk bayt dan barangkali Allah tidak akan mengirimkan keselamatan kepada mereka. Fitnah terbesar umat manusia akan terjadi disebabkan karena syaitan berhasil merusak terbentuknya bayt dengan terpisahnya seseorang dengan isterinya.

Keselamatan dalam ayat tersebut di atas mencakup keselamatan di dunia dan akhirat. Kesejahteraan di muka bumi yang sebenarnya hanya akan terbentuk manakala manusia berpegang teguh kepada Alquran, dan keselamatan di akhirat hanya akan dicapai dengan berpegang teguh pada Alquran. Hanya mereka saja yang diselamatkan, karena Allah yang menyelamatkan bukan karena usaha mereka atau pemahaman yang mereka peroleh. Rasulullah SAW mengajarkan lebih lanjut, hendaknya manusia mengikuti ahlul bayt dari keturunan Rasulullah SAW dalam cara berpegang pada kitabullah, karena pemahaman mereka tidak terpisah dari Alquran hingga kelak minum dari haudh. Orang lain mungkin melangkah mengikuti Rasulullah SAW menuju haudh, akan tetapi boleh jadi mereka terpisah dengan Alquran sebelum meminum dari haudh. Manakala seseorang menyelisihi sesuatu dari Alquran dalam langkah taubat mereka, mereka bukanlah ahlul bayt yang dimaksudkan Rasulullah SAW. Penyatuan hati hanya dapat dilakukan dengan mengikuti langkah Rasulullah SAW dengan benar dan Allah yang menyatukan hati orang beriman.