Pencarian

Minggu, 28 April 2024

Membina Hubungan Sesuai Kehendak Allah

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan. Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah.

Pemakmuran hanya dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya melalui penghambaan yang sungguh-sungguh kepada Allah. Orang-orang yang mengikuti langkah Rasulullah SAW akan memperoleh washilah kepada Allah dan dapat mengalirkan khazanah dari sisi Allah, dan khazanah itu akan menjadi sumber bagi terjadinya pemakmuran di bumi. Pemakmuran bumi yang sebenarnya hanya akan dapat dilakukan dengan jalan demikian, sedangkan upaya-upaya pemakmuran yang dilakukan tanpa terhubung kepada Allah seringkali tidak mendatangkan pemakmuran dengan baik.

Mengalirkan khazanah dari sisi Allah hingga terwujud di alam dunia merupakan peran manusia sebagai khalifatullah di bumi. Ada berbagai sarana yang disediakan bagi manusia hingga manusia dapat melakukan pemakmuran di bumi. badan jasmaniah mereka dapat dipergunakan untuk melakukan kebaikan di bumi. Badan jasmaniah mereka dapat dipergunakan untuk melakukan kebaikan di bumi. Beberapa upaya manusia akan mendatangkan suatu janji Allah yang dapat diwujudkan di muka bumi melalui hubungan-hubungan yang harus dibentuk di antara mereka. Hal-hal demikian menjadi sarana bagi manusia untuk mengalirkan khazanah dari sisi Allah ke bumi.

Di antara manusia, ada orang-orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan proses pemakmuran.

﴾۷۲﴿الَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
(yaitu) orang-orang yang mengurai janji Allah sesudah perjanjian itu diperikatkan, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi (QS Al-Baqarah :27)

Ketiga hal di atas merupakan hal-hal yang akan merusak proses pemakmuran bumi bila dilakukan manusia. Proses dan sarana-sarana yang disediakan bagi dirinya dan masyarakat untuk melakukan pemakmuran bumi justru dirusak hingga tidak terjadi pemakmuran pada bumi mereka. Manakala ada suatu potensi pemakmuran yang terbentuk, mereka merusak potensi-potensi yang telah tumbuh hingga tidak dapat terwujud di bumi. Sebagian manusia melakukan hal-hal demikian, dan ayat ini membahas mereka yang melakukannya.

Hubungan Antar Insan Sebagai Sarana Pemakmuran

Salah satu sarana yang disediakan bagi manusia adalah terbentuknya jalinan hubungan antar manusia. Allah sebenarnya telah memberikan perintah kepada masing-masing manusia untuk membentuk suatu hubungan tertentu dengan orang lain dalam rangka mewujudkan pemakmuran bumi. Bentuk hubungan itu utamanya adalah hubungan washilah, berupa jalinan urusan yang harus ditunaikan oleh setiap manusia yang berfungsi mengalirkan khazanah dari sisi Allah hingga terwujud di alam bumi. Setiap manusia mempunyai urusan dari sisi Allah yang dijadikan amanah bagi mereka untuk ditunaikan di bumi, dan urusan itu saling berjalin antara satu dengan yang lain yang harus ditunaikan secara sinergis. Setiap manusia hendaknya melaksanakan urusan yang menjadi bagian dirinya, sedangkan bagian lain harus ditunaikan oleh ahlinya. Seseorang tidak akan dapat mewujudkan pemakmuran bumi sendirian, harus membangun hubungan dengan orang-orang lain yang urusan dirinya berdekatan.

Tidak semua orang memahami perintah tersebut. Sebagian besar manusia merasa tidak mempunyai urusan dengan washilah. Sebagian kecil manusia tumbuh menyadari kebutuhan dirinya terhadap pemimpin yang menuntun dirinya dalam urusan Allah, di antaranya ada yang benar-benar mencari washilah hingga memperoleh washilah yang tepat bagi dirinya, dan sebagian merasa tenteram mengikuti orang lain dengan bertaklid tanpa menambah pengetahuan terhadap kedudukan dirinya dalam penghambaan kepada Allah. Ada orang-orang yang merusak hubungan-hubungan washilah yang terbentuk di antara manusia. Ada pula orang-orang yang tidak mempunyai rasa tentang hubungan washilah tetapi merasa telah memperhatikan perintah Allah. Tidak adanya rasa demikian menunjukkan lemahnya akal dalam memahami perintah Allah. Sangat banyak macam manusia dalam bersikap terhadap perintah membina hubungan dengan orang lain sesuai dengan kehendak Allah.

Orang-orang yang mencari bentuk hubungan yang tepat kepada para washilahnya dan orang-orang lain itu adalah orang-orang yang paling bersungguh-sungguh memperhatikan perintah Allah. Allah benar-benar telah memberikan perintah kepada manusia untuk membina hubungan washilah. Keinginan membina washilah demikian kadangkala tumbuh dalam diri seseorang tanpa suatu pengajaran dari orang lain ataupun dari suatu pembacaan ayat tertentu, akan tetapi tumbuh dengan sendirinya dalam hati karena kebutuhan dirinya. Kalaupun demikian, tumbuhnya keinginan itu tetaplah merupakan bentuk memperhatikan perintah Allah, karena benar Allah telah memberikan perintah untuk membina hubungan washilah. Orang yang merasa belum tenteram manakala belum menemukan bentuk washilah yang tepat tidak berarti memberontak terhadap masyarakat mereka atau secara khusus terhadap atasan mereka, tetapi mungkin mereka mengikuti dorongan hati untuk mengenal kedudukan diri mereka di antara orang beriman.

Setiap orang mempunyai washilah, dan bentuk washilah diri seseorang mungkin berbeda dengan orang lain. Pembinaan washilah demikian dilakukan terutama melalui pernikahan. Hubungan washilah yang seharusnya dibangun seseorang sepenuhnya merupakan fungsi dari nafs wahidah dirinya dan keberpasangannya dengan isterinya. Manakala seseorang mempunyai hubungan-hubungan duniawi yang baik dengan orang lain, kebaikan hubungan itu akan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka dalam banyak urusan. Tetapi khusus dalam urusan menurunkan khazanah dari sisi Allah, hubungan washilah yang tumbuh dari nafs wahidah itu yang menjadi jalan yang harus dibangun. Hubungan washilah dari nafs wahidah itulah hubungan yang diperintahkan Allah untuk disambungkan.

Dalam beberapa hal, dorongan diri seseorang untuk mengenal bentuk washilah lebih menunjukkan sungguh-sungguhnya keinginan untuk mengenal diri, karena mereka akan menemukan kedudukan diri secara tepat di antara aljamaah hingga tidak mudah terjatuh atau menyimpang sebagai orang yang dzalim manakala tiba masa pengenalan dirinya. Kadangkala orang demikian tidak memperhatikan jati dirinya, lebih memperhatikan urusan Allah untuk ruang dan jamannya, tetapi dengan jalan itu ia diijinkan mengenal dirinya. Bila terjadi perselisihan, orang-orang demikian mungkin tidak terlalu mengerti bila perselisihan mengarah pada hal personal tentang dirinya atau diri orang lain, tetapi akan lebih mudah mengerti bila pembicaraan dilakukan terkait tentang urusan Allah bagi mereka.

Orang-orang yang mengenal bentuk washilah mereka dengan tepat berarti telah membina hubungan yang tepat kepada Allah. Bilamana mereka mengalami kegagalan dalam membina hubungan kepada orang lain di masyarakat, kegagalan itu boleh jadi tidak menunjukkan kesalahan dalam membina hubungan kepada Allah, karena mungkin saja ada orang-orang lain yang memotong-motong bentuk hubungan shilaturahmi di antara manusia. Biasanya yang lebih mudah dipotong adalah bagian hubungan dengan manusia lainnya, bukan pada bagian hubungan seseorang terhadap washilahnya hingga kepada Rasulullah SAW. Terpotongnya hubungan seseorang kepada washilah lebih sering terjadi karena perbuatan orang itu sendiri.

Memutuskan Hubungan

Ada orang-orang yang memutus hubungan washilah yang seharusnya dibentuk. Ada banyak bentuk tindakan yang dilakukan manusia dapat memutuskan hubungan-hubungan yang terbentuk di antara manusia, bahkan hingga memutus hubungan-hubungan yang diperintahkan Allah untuk dihubungkan. Seseorang dapat terputus hubungannya dengan sahabatnya, atau kerabatnya, atau isterinya. Hal ini dapat dilakukan seseorang terhadap hubungan dirinya sendiri atau terhadap hubungan orang lain. Seseorang dapat pula memutuskan hubungan dirinya kepada washilahnya atau kepada Rasulullah SAW. Manakala seorang washilah mengusir pengikutnya, boleh jadi sebenarnya pengikut itu telah memutuskan hubungan kepada washilahnya. Seringkali terputusnya hubungan seseorang kepada washilahnya sebenarnya juga memutuskan hubungannya kepada Rasulullah SAW.

Skala kerusakan di masyarakat akibat ulah seseorang yang memutuskan hubungan yang diperintahkan Allah untuk dihubungkan tergantung pada objek hubungan yang dirusak. Derajat objek ditunjukkan sesuai dengan derajat fungsi objek dalam penghambaan kepada Allah. Derajat kerusakan paling tingga adalah merusak hubungan pernikahan, karena pernikahan terkait langsung dengan nafs wahidah yang merupakan entitas penghamba Allah yang paling sempurna. Fitnah terbesar syaitan akan dilakukan terhadap manusia melalui jalan memisahkan seseorang dari isteri-(isteri)nya.

Pernikahan merupakan media pertumbuhan manusia yang menyentuh nafs wahidah. Baiknya suatu pernikahan ditunjukkan dengan penyatuan nafs wahidah di antara suami dan isteri, di mana seorang laki-laki akan mengenal dan mempunyai akses terhadap khazanah dalam diri isterinya. Nafs wahidah merupakan jati diri penciptaan setiap manusia, nafs yang mampu mengetahui jalan penghambaan diri masing-masing. Penyatuan nafs wahidah hanya dapat dilakukan bila suami dan isteri menundukkan hawa nafsu mereka untuk menghambakan diri kepada Allah. Manakala keduanya tidak bersatu, kehidupan mereka akan menjadi sulit. Pemutusan hubungan yang diperintahkan Allah tidak hanya memisahkan suami dan isteri dalam wujud fisik saja, tetap dapat terjadi hanya pada hubungan penyatuan nafs wahidah demikian. Sekalipun hanya pada penyatuan nafs wahidah, akibat dari pemisahan demikian juga dapat menimbulkan masalah yang besar.

Sepasang manusia dapat menyatukan diri mereka dalam berbagai tingkatan diri mereka, baik nafs wahidah ataupun hawa nafsu dan syahwat. Mereka akan dapat tumbuh dengan baik melalui penyatuan itu di dunia, terlepas dari akhirat yang akan diperoleh masing-masing. Orang beriman hendaknya berusaha menyatukan diri mereka pada nafs wahidah ataupun hawa nafsu yang terbaik dari diri mereka. Bila seseorang dipengaruhi dengan kuat oleh hawa nafsu buruk, penyatuan nafs wahidah sulit dilakukan. Perempuan yang merendahkan seorang laki-laki tertentu karena takut kekurangan harta, takut tidak terpandang di masyarakat atau kurang tampan, ia akan sulit menyatukan nafs wahidah dengan laki-laki itu bila menikah. Perselisihan itu akan membuat perkembangan mereka terhambat. Penyatuan nafs wahidah itu dapat terjadi bila kedua pihak yang menikah mempunyai iktikad yang sama untuk menghambakan diri kepada Allah melalui pernikahan mereka. Manakala salah satu pihak mempunyai iktikad yang berbeda, perbedaan itu akan menghambat penyatuan yang seharusnya dilakukan.

Hal itu tidak berarti menafikan pengusahaan hal duniawi dalam pernikahan. Hanya saja rezeki duniawi hendaknya diusahakan dengan mengikuti kehendak Allah. Justru pernikahan sebenarnya berfungsi menyatukan hal duniawi dengan kehendak Allah. Seorang isteri merupakan pembawa khazanah duniawi yang harus diperhatikan suaminya, dan seorang suami harus menggunakan akalnya untuk memahami kehendak Allah terhadap khazanah dari isterinya. Setiap orang harus memperhatikan pihak lainnya untuk memperhatikan kehendak Allah. Bila seorang laki-laki tidak memperhatikan isterinya dalam beribadah, pada dasarnya Allah tidak membutuhkan ibadah dari laki-laki itu. Setiap perempuan harus berusaha memahami dan mendukung suaminya dalam mencari jalan penghambaan mereka melayani kehendak Allah agar menemukan rezeki duniawi mereka. Demikian setiap pihak harus memahami makna penghambaan melalui pernikahan yang mereka lakukan.

Ada batas-batas yang harus dipatuhi oleh setiap pihak dalam pernikahan agar hubungan yang diperintahkan Allah untuk disambungkan tidak terpotong. Sepasang manusia mungkin hanya berhasil membina sedikit bagian dari keseluruhan yang seharusnya dibangun, atau membangun banyak hubungan di antara mereka sesuai perintah Allah, maka sedikit atau banyaknya yang terbina itu hendaknya dijaga agar tidak terpotong. Terpotongnya hubungan yang diperintahkan Allah untuk dihubungkan di antara suami isteri itu terjadi manakala hal ghaib yang ada pada perempuan diberikan sepenuhnya kepada orang lain selain suaminya. Wujudnya berupa iktikad menyerahkan hidupnya untuk mendampingi laki-laki lain. Hal itu menunjukkan kekejian pada tingkatan bathiniah, maka ibadah mereka akan menyimpang. Hal demikian berlaku pula bagi laki-laki yang mempunyai keinginan meninggalkan isterinya untuk perempuan lain tanpa alasan yang benar. Putusnya hubungan itu menunjukkan telah terpotongnya hubungan secara bathin sekalipun tidak mewujud di tingkatan jasmaniah. Manakala kekejian itu menampakkan wujud pada tingkatan jasmaniah berupa hubungan jasmani, maka berlaku had terhadap bentuk hubungan yang keji demikian, dan hubungan itu telah pula terpotong bagi penyatuan nafs wahidah suami isteri.

Selain terpotong pada tingkatan penyatuan nafs wahidah, banyak perbuatan yang dapat menghambat terbentuknya hubungan yang diperintahkan Allah di antara suami dan isteri. Adab yang terbentuk di antara suami dan isteri harus dibina sesuai dengan tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak hanya mengikuti keinginan hawa nafsu dan syahwat. Suami dan istri harus dapat menerima pihak lain apa adanya, tidak boleh mencerca atau mencela kekurangan yang ada, setidaknya ia menyimpannya untuk dirinya sendiri walaupun mungkin itu akan mengganggu. Cercaan atau celaan yang keluar dari pasangan itu yang didengar oleh makhluk berpotensi merusak pembinaan hubungan yang seharusnya dibina sesuai dengan kehendak Allah. Suatu celaan rawan menimbulkan celaan balik dari pihak lainnya. Dalam beberapa hal, sikap buruk demikian akan menjadikan seseorang tidak dapat melangkah pada shirat manakala ia telah mengenal shiratal mustaqim dirinya.

Potensi merusak itu dapat diperbaiki atau dihilangkan dengan berkomunikasi dan saling memaafkan, tetapi syaitan akan berusaha merusak pula upaya perbaikan itu. Manakala syaitan dapat melibatkan orang lain, perbaikan hubungan itu akan menjadi rumit. Manakala suatu pihak yang menikah menyampaikan sesuatu secara langsung, hendaknya apa yang disampaikan lebih dipercaya pihak lainnya daripada omongan pihak ketiga. Sebisa mungkin komunikasi di antara suami dan isteri tidak melibatkan pihak ketiga agar tidak menimbulkan masalah di antara mereka. Manakala melibatkan, pihak ketiga yang terlibat hendaknya memperhatikan sebaik-baiknya keadaan semua pihak di antara laki-laki dan perempuan yang seharusnya membina hubungan sesuai perintah Allah, tidak justru memunculkan fitnah di antara suami isteri atau antara pihak yang seharusnya membina pernikahan.

Keberhasilan membina hubungan nafs wahidah di antara suami dan isteri akan menjadi bahan terbinanya hubungan yang diperintahkan Allah di antara masyarakat. Pernikahan merupakan hubungan washilah yang menjadi elemen dari suatu fraktal besar hubungan washilah yang seharusnya dibangun masyarakat. Bila keping elemen itu baik, fraktal besar yang dapat dibentuk akan baik. Bila keping element itu rusak, sulit membangun fraktal besar yang baik. Hubungan yang harus dibina sesuai kehendak Allah terkait secara langsung dengan nafs wahidah. Hubungan washilah yang seharusnya dibangun seseorang sepenuhnya merupakan fungsi dari nafs wahidah dirinya dan keberpasangannya dengan isterinya.

Jumat, 26 April 2024

Pemakmuran dan Hubungan Kehendak Allah

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan. Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah.

Rasulullah SAW merupakan washilah puncak bagi semesta alam untuk terhubung kepada Allah. Orang-orang yang mengikuti langkah Rasulullah SAW akan memperoleh washilah kepada Allah dan dapat mengalirkan khazanah dari sisi Allah, dan khazanah itu akan menjadi sumber bagi terjadinya pemakmuran di bumi. Pemakmuran bumi yang sebenarnya hanya akan dapat dilakukan dengan jalan demikian, sedangkan upaya-upaya pemakmuran yang dilakukan tanpa terhubung kepada Allah seringkali tidak mendatangkan pemakmuran dengan baik.

Sebagian manusia mendatangkan kerusakan terhadap hal-hal yang dapat mendatangkan pemakmuran di bumi. Mereka memutuskan hubungan antar hamba Allah hingga terputus dengan duniawi mereka. Hal ini tercantum dalam ayat berikut :

﴾۷۲﴿الَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
(yaitu) orang-orang yang mengurai janji Allah sesudah perjanjian itu diperikatkan, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi (QS Al-Baqarah :27)

Ketiga hal di atas merupakan prinsip pemakmuran bumi yang harus terbina dalam diri setiap manusia. Pada tataran jasmani, setiap orang tidak boleh berbuat kerusakan di muka bumi dan sebaliknya harus melakukan perbaikan. Pada tataran insaniah, setiap orang beriman harus membina hubungan kepada insan-insan yang lain tidak boleh mendatangkan kerusakan-kerusakan pada hubungan-hubungan yang terbina. Pada tataran akidah transenden, setiap orang beriman harus berusaha untuk memahami kehendak Allah untuk dimanifestasikan dalam amal-amal di bumi. Prinsip-prinsip ini harus terbina bersama-sama dalam diri orang-orang beriman, tidak dilakukan hanya salah satu karena sangat sukar mewujudkan pemakmuran hanya dengan upaya sendiri.

Pada tataran jasmaniah, pemakmuran harus dilakukan oleh setiap orang dengan melakukan amal yang baik tidak boleh menimbulkan kerusakan di muka bumi. Tanpa berusaha melakukan amal-amal jasmaniah yang membuat perbaikan di muka bumi, seseorang tidaklah akan memunculkan pemakmuran di bumi. Setiap orang harus berusaha melakukan perbaikan di bumi sesuai lingkup tugas masing-masing dan menghindarkan usaha-usaha memperoleh keuntungan dengan melakukan hal-hal yang merusak. Manakala suatu perbuatan merusak dilakukan, ia akan mendatangkan kerusakan di muka bumi yang menghambat pemakmuran.

Pada tingkatan insaniah, Allah memberikan perintah kepada orang beriman untuk menyambungkan amr-amr Allah bagi mereka. Pada prinsipnya, hal yang diperintahkan Allah untuk disambungkan adalah hubungan antar insan melalui kedudukan masing-masing dalam amr jami’ Rasulullah SAW. Setiap orang mempunyai kedudukan tertentu dalam amr jami’ Rasulullah SAW dan hendaknya mereka menjalin hubungan dengan orang-orang lain sesuai amr mereka. Secara praktis, hubungan demikian berupa suatu hubungan washilah dalam al-jamaah yang melibatkan satu insan dengan insan yang lain. Ada orang-orang yang menjadi washilah bagi orang lain kepada Rasulullah SAW, ada orang-orang yang menjadi shahabat dalam melaksanakan amr mereka, ada orang-orang yang merupakan kaum yang harus dipimpin untuk melaksanakan amr Allah dengan sebaik-baiknya.

Suatu pengetahuan tentang janji Allah akan muncul pada seseorang manakala ia membina sesuai dengan kehendak Allah hubungannya kepada orang lain. Suatu pernikahan yang berhasil dapat mendatangkan pengetahuan demikian, dan juga hubungan dirinya dalam al-jamaah terutama kepada washilahnya. Ia akan mengetahui kedudukan dirinya dalam amr Rasulullah SAW, dan mengetahui janji Allah yang dapat diwujudkan melalui kedudukan itu. Pengetahuan demikian itu akan menjadi suatu sumber pemakmuran di bumi yang dapat ditunaikan selama kehidupannya di bumi.

Membina Hubungan yang Dikehendaki Allah

Setiap upaya untuk menjalin kebersamaan dengan orang lain dalam kebaikan merupakan bagian dari upaya menyambungkan sesuatu yang diperintahkan Allah untuk disambungkan. Hal demikian merupakan bagian dari shilaturrahmi yang akan mendatangkan kebaikan bagi umat manusia. Secara khusus, hal yang paling mendatangkan pemakmuran di muka bumi melalui penghambaan adalah berupa pembinaan hubungan hingga memperoleh washilah kepada Rasulullah SAW. Seseorang hendaknya berusaha sungguh-sungguh untuk memperoleh pengetahuan dan memahami urusan Rasulullah SAW untuk ruang dan jaman mereka, memahami kedudukan diri dalam urusan tersebut, dan berusaha mengenali orang yang dapat memimpin dirinya untuk mengerjakan urusannya, serta sahabat-sahabat yang seharusnya bersama dengan dirinya. Dengan jalan demikian ia akan memperoleh washilah yang tersambung kepada Rasulullah SAW. Apabila telah menemukannya, ia hendaknya menyeru orang lain untuk memperoleh washilah yang serupa.

Hubungan demikian dapat dibina terutama melalui sarana yang disediakan Allah berupa pernikahan. Pernikahan merupakan suatu perjanjian di sisi Allah yang menyerupai perjanjian antara Allah dengan rasul-Nya, yang disebut dengan istilah yang sama yaitu “mitsaqan ghalidza”. Secara ideal, fungsi dari pernikahan merupakan pelengkap fungsi kerasulan, di mana setiap rasul akan sangat membutuhkan pernikahan para pengikutnya sebagai sarana membina mereka dalam memahami kesempurnaan ajarannya. Allah memerintahkan para rasul untuk mensucikan nafs umatnya dan mengajarkan kepada umatnya kitabullah. Untuk hal demikian, para rasul sangat membutuhkan pernikahan untuk dilakukan umatnya. Suatu pernikahan akan menyediakan bagi seseorang sarana untuk menghubungkan alam duniawi dirinya terhadap kehendak Allah.

Salah satu hal yang perlu diperhatikan oleh umatnya adalah terbinanya hubungan-hubungan yang dikehendaki Allah pada diri umatnya sesuai dengan nafs wahidah masing-masing. Hal itu ditumbuhkan pertama dan secara utama melalui pernikahan. Demikian pula pernikahan akan menghadirkan bagi pasangan itu suatu bentuk janji Allah yang seharusnya diwujudkan di bumi untuk pemakmuran bumi mereka. Tanpa pernikahan, umat akan kesulitan mengenali bentuk hubungan yang dikehendaki Allah untuk disambungkan, dan tidak memperoleh suatu bentuk janji Allah yang dapat diwujudkan sebagai pemakmuran bumi.

Hubungan yang harus dibina sesuai kehendak Allah akan memunculkan karakter masyarakat. Pada masyarakat yang tidak terbina hubungan demikian secara baik, karakter masyarakat akan menjadi tidak beraturan, lebih menyukai tampilan bungkusan daripada isi dari sesuatu. Masyarakat akan lebih menyukai kepalsuan daripada nilai-nilai hakikat yang bermakna bagi mereka. Orang-orang yang baik akan tersingkir dari masyarakat dan masyarakat akan memilih orang-orang buruk yang dapat bersandiwara daripada orang yang baik. Pada masyarakat yang hubungannya terbina dengan baik sesuai kehendak Allah, orang-orang yang baik akan terpilih untuk memimpin masyarakat tidak tertipu oleh kepalsuan-kepalsuan yang ditawarkan oleh orang-orang buruk yang hanya menginginkan kedudukan di antara masyarakat.

Hubungan yang buruk pada masyarakat dapat berupa tidak terbentuknya hubungan yang dikehendaki Allah, atau terjadinya kesalahan bentuk hubungan melenceng dari kehendak Allah. Sepadan dengan hal itu, suatu pernikahan tanpa suatu hubungan yang baik di antara anggota keluarga, atau tidak ada kasih sayang yang terbentuk di antara mereka, atau pernikahan yang diwarnai dengan munculnya hubungan yang keji di antara pernikahan itu, hal itu menunjukkan bahwa keluarga itu merupakan keluarga yang buruk. Keluarga yang baik adalah keluarga yang membentuk hubungan kasih sayang di antara anggota keluarga sesuai dengan tuntunan Allah. Demikian pula hubungan yang seharusnya dibentuk di masyarakat hendaknya mengarah sesuai kehendak Allah tidak melenceng. Hubungan yang baik di antara masyarakat hanya dapat terbentuk dari pernikahan yang baik, tidak dapat terbentuk dari suatu keluarga yang berantakan atau keluarga yang keji tidak mengikuti tuntunan Allah. Manakala suatu hubungan yang terbentuk tidak sesuai dengan kehendak Allah, masyarakat akan sulit melakukan pemakmuran negeri mereka.

Hubungan demikian harus dibentuk mengikuti tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak hanya mengikuti prasangka. Hubungan yang baik seharusnya menempatkan para washilah menjadi penuntun, dan umat mengikuti dengan kasih sayang tidak berebut kedudukan di antara mereka dengan hawa nafsu. Kedudukan di antara kaum mukminin ditentukan berdasar kedudukan mereka dalam amr jami’ Rasulullah SAW, tidak mengikuti keinginan masing-masing. Manakala belum mengenal kedudukan diri, hendaknya umat mengambil urusan mereka dari orang yang telah mengetahui kedudukannya dalam amr Rasulullah SAW. Hubungan itu harus menjadikan umat manusia mengikuti tuntunan Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Bila manusia membentuk hubungan yang menjadikan mereka menyalahi kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW maka hubungan demikian keliru. Kadangkala umat manusia mengikuti prasangka mereka hingga mereka secara keumatan tidak dapat mengikuti tuntunan Allah dan sunnah Rasulullah SAW karena membentuk hubungan berdasarkan prasangka tidak mengikuti kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.

Orang-Orang yang Merugi

Orang-orang yang memotong-motong hubungan yang dikehendaki Allah untuk dihubungkan termasuk dalam kelompok orang yang merugi. Orang merugi adalah orang-orang yang berusaha untuk memperoleh kebaikan dari sisi Allah akan tetapi usaha itu justru mendatangkan hal yang buruk. Menyambungkan hubungan di antara manusia sesuai kehendak Allah merupakan salah satu metode agar umat manusia dapat berusaha selaras dengan kehendak Allah. Manakala hubungan demikian dirusak atau dipotong-potong, keinginan umat manusia untuk memperoleh kebaikan dari sisi Allah bisa menjadi sesuatu yang justru mendatangkan keburukan. Untuk menghindari hal demikian, setiap orang harus berusaha menyambungkan hubungan di antara manusia sesuai dengan kehendak Allah. Membangun suatu kebutuhan dan pemahaman terhadap washilah sesuai kehendak Allah merupakan anak tangga yang menghindarkan manusia dari kerugian.

Yang mendatangkan kerugian itu di antaranya adalah perbuatan memotong-motong hubungan yang diperintahkan Allah untuk disambungkan. Hal ini biasanya dilakukan oleh orang yang tidak menghormati washilahnya, kemudian diikuti oleh orang-orang yang tidak menggunakan akalnya. Penghormatan terhadap washilah ditunjukkan dengan sikap ketaatan seseorang terhadap ajaran washilahnya ketika mengikuti tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Penghormatan demikian kadangkala diikuti sikap ketidaktaatan dalam urusan yang menyimpang dari tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tetapi hal demikian jarang terjadi. Penghormatan kadang tidak ditunjukkan pada pujian-pujian lisan terhadap washilah, karena tidak jarang pujian lisan merupakan kepalsuan yang dibuat oleh orang yang jahat untuk menipu, atau pujian kosong yang dibuat oleh orang yang tidak mengenal nilai kebenaran. Penghormatan seseorang terhadap washilah dinilai dari ketaatannya terhadap ajaran yang bertujuan mengikuti tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.

Banyak perbuatan menjadi contoh memotong hubungan demikian. Memutus tali shilaturrahmi merupakan bagian dari bentuk demikian. Memisahkan orang-orang yang berjodoh untuk menikah juga termasuk perbuatan memotong hubungan yang diperintahkan Allah untuk dihubungkan. Merusak hubungan kasih sayang yang seharusnya dibina di antara suami dan isteri merupakan bentuk memotong dalam derajat paling tinggi yang paling disukai oleh syaitan. Contoh-contoh itu merupakan contoh dalam bentuk yang jelas terlihat. Banyak bentuk perbuatan memotong dapat terjadi tanpa terlihat. Kadang umat manusia dijadikan bodoh terhadap kebutuhan membangun hubungan yang diperintahkan Allah berupa washilah-washilah yang terhubung kepada Rasulullah SAW. Kadangkala dibangun suatu bentuk hubungan antar manusia tanpa berdasar pengetahuan terhadap kehendak Allah sedangkan itu merusak hubungan yang dikehendaki Allah untuk dibina. Banyak bentuk perbuatan manusia yang tanpa disadari sebenarnya akan memotong hubungan-hubungan yang diperintahkan Allah untuk disambungkan.

Membangun hubungan yang diperintahkan Allah untuk dihubungkan akan mengantarkan manusia untuk mengenal janji Allah yang seharusnya diwujudkan untuk pemakmuran bumi. Janji demikian merupakan buah kebersamaan di antara beberapa pihak, buah lebih lanjut dari pengetahuan tentang jati diri. Janji demikian tidak selalu dapat diwujudkan oleh seseorang, dan dapat dirontokkan oleh perbuatan manusia baik dirinya sendiri atau orang lain. Manakala seseorang berhasil memotong-motong hubungan yang diperintahkan Allah untuk dihubungkan di antara manusia, janji tersebut tidak akan terwujud di bumi. Hubungan antar manusia sesuai kehendak Allah harus dibina dengan baik untuk mewujudkan khazanah dari sisi Allah. Bagi para rasul, membina hubungan demikian dapat dilakukan utamanya melalui pembinaan pernikahan di antara umat manusia. Kedudukan pernikahan umat di mata para rasul hampir setara nilainya dengan perjanjian Allah dengan diri mereka sebagai rasul, karena pernikahan umatnya merupakan media utama untuk mewujudkan risalah yang diemban masing-masing. Terpotongnya hubungan dengan janji Allah kadangkala terjadi melalui orang yang seharusnya tumbuh untuk melaksanakannya tidak dapat tumbuh karena media tumbuh yang disingkirkan, misalnya dengan rusaknya pernikahan.

Janji Allah yang menjadi dasar pemakmuran akan mungkin terwujud manakala semua pihak dapat menempati kedudukan dirinya dan memahami hubungan keberjamaahan yang diperintahkan Allah di antara mereka. Semakin baik pengetahuan hubungan keberjamaahan yang terbentuk, semakin besar nilai realisasi pemakmuran yang dapat diwujudkan. Sebaliknya semakin kacau hubungan keberjamaahan di antara manusia, semakin banyak janji Allah yang tidak dapat diwujudkan, dan pengetahuan tentang janji Allah itu seolah-olah hanya utopia yang tidak dapat terwujud. Lebih lanjut perlu disadari oleh umat manusia, bahwa mungkin saja keterpurukan umat disebabkan karena ada di antara mereka orang-orang yang memotong-motongan bentuk hubungan antar manusia yang diperintahkan Allah untuk dibentuk. Manakala hal demikian terjadi, manusia tidak akan terhubung dengan janji Allah, dan kerusakan akan terjadi di muka bumi.

Selasa, 23 April 2024

Hamba Allah yang Sesungguhnya

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan. Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah.

Suatu ibadah kepada Allah akan mendatangkan pemakmuran di bumi. Bumi adalah alam yang paling jauh dari sumber cahaya Allah sedangkan Allah adalah dzat yang Maha Mulia, dan orang-orang yang menghamba kepada-Nya akan mendatangkan kemuliaan berupa pemakmuran di bumi. Manakala seseorang menghamba kepada Allah dan mendatangkan permusuhan di bumi, jalan penghambaan yang dilakukannya sangat mungkin keliru di mana ia sebenarnya tidak memahami kehendak Allah. Manakala seseorang memahami kehendak Allah, maka ia akan mendatangkan pemakmuran di bumi bersama dengan manusia seutuhnya, bukan pemakmuran parsial yang mendatangkan kerusakan pada manusia.

﴾۱۶﴿ وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلٰهٍ غَيْرُهُ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُّجِيبٌ
Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh, ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)". (QS Huud : 61)

Pemakmuran itu hanya dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya melalui penghambaan yang sungguh-sungguh kepada Allah. Kesungguhan manusia dalam beribadah menghambakan diri kepada Allah ditunjukkan dengan terbentuknya bayt dirinya untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah. Orang yang berhasil membina bayt demikian merupakan hamba Allah yang sesungguhnya. Orang-orang yang berada semakin dekat dengan terbentuknya bayt demikian mempunyai sifat penghambaan yang semakin baik. Orang yang mengarah dengan benar pada pembinaan bayt demikian mempunyai sifat penghambaan yang benar kepada Allah, dan orang yang menyimpang arahnya dari terbentuknya bayt demikian telah menyimpang dari penghambaan yang benar. Penghambaan yang semakin baik akan mendatangkan pemakmuran yang semakin baik. Setiap bayt yang terbentuk akan memunculkan pemakmuran dalam bidang masing-masing ahlul bayt.

Sifat pemakmuran bumi telah dilekatkan pada setiap manusia, tetapi tidak semua dapat melakukan pemakmuran bumi dengan benar. Banyak orang menyangka mereka telah memakmurkan bumi, tetapi maksud mereka tidak selaras dengan kehendak Allah. Sebagian melakukan pemakmuran berdasarkan cara yang salah dan sebagian berusaha untuk mewujudkan pemakmuran dengan jalan yang benar dan sebaik-baiknya. Ada orang-orang yang melakukan pemakmuran bumi bagi diri sendiri dengan menjadikan orang lain sebagai tumbal untuk pemakmuran dirinya, atau menjual dirinya sendiri kepada syaitan. Sebagian orang melakukan pemakmuran bumi dengan berbuat dzalim kepada orang lain, dan sebagian manusia berusaha melakukan pemakmuran untuk bersama-sama.

Pemakmuran bumi hanya untuk kepentingan diri sendiri pada dasarnya bukanlah suatu pemakmuran, karena kecelakaan akan menimpa orang-orang yang melakukannya. Sehalus-halusnya perbuatan itu dilakukan, seseorang akan terlilit dengan suatu masalah. Manakala seseorang melakukan tumbal untuk pemakmuran dirinya, ia akan celaka dengan tumbalnya itu. Demikian pula manakala ia menjual dirinya kepada syaitan, syaitan akan menyiksa dirinya dengan penyiksaan dan kebencian mereka terhadap manusia. Syaitan tidak akan memberikan sesuatu secara sukarela kepada manusia, sedangkan pemberian mereka tidak akan dapat dinikmati oleh manusia sebagaimana mestinya. Apa yang tampak berlimpah itu seringkali hanya suatu penghias pandangan mata jasmaniah saja, tidak menjadi milik manusia yang diberi kecuali syaitan akan menuntutnya secara kejam manakala digunakan, untuk setiap sesuatu yang digunakan.

Banyak orang yang berusaha melakukan pemakmuran bersama di muka bumi akan tetapi mengalami kesulitan untuk melakukannya. Banyak manusia dengan keinginan pemakmuran diri sendiri menyertai usaha itu dengan menampilkan wajah pemakmuran bersama, dan mereka kemudian memanfaatkan keuntungan dari upaya pemakmuran itu. Tidak sedikit pula pemakmuran tipuan syaitan dengan wajah pemakmuran bersama, tetapi hasil yang terwujud dari pemakmuran bersama itu justru mendatangkan kesengsaraan bagi umat manusia. Segenap upaya pemakmuran bersama akan menghadapi halangan-halangan dan pembengkokan dari syaitan, sehingga umat manusia yang baik akan mengalami kesulitan dalam melakukan pemakmuran di bumi dengan upaya mereka sendiri.

Pemakmuran itu hanya dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya melalui penghambaan yang sungguh-sungguh kepada Allah, ditunjukkan dengan terbentuknya bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah. Semua orang yang mengarahkan kehidupan untuk membentuk bayt sebagai sarana meninggikan dan mendzikirkan asma Allah akan mendatangkan pemakmuran bumi terlepas dari jauh dekat langkahnya atau besar kecilnya nilai yang disumbangkan, sedangkan merusak pembentukan bayt akan mendatangkan kerusakan walaupun mereka menyangka telah menjadi baik dan berbuat baik.

Meningkatkan Kualitas Penghambaan

Terdapat fitur-fitur dalam pembinaan bayt yang akan memberi warna penghambaan seseorang kepada Allah, di antaranya adanya janji Allah yang diberikan setelah perjanjian diperikatkan, penyambungan hal-hal yang diperintahkan Allah untuk disambungkan, dan melakukan perbaikan di muka bumi. Hal ini secara tersirat tercantum dalam ayat berikut :

﴾۷۲﴿الَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
(yaitu) orang-orang yang mengurai janji Allah sesudah perjanjian itu diperikatkan, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi (QS Al-Baqarah :27)

Ayat di atas dituliskan dalam Alquran mendahului secara berdekatan ayat-ayat tentang penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Ada suatu kaitan yang sangat erat antara ketiga fitur di atas dengan manusia sebagai pemakmur bumi. Melakukan kerusakan di muka bumi, memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan dan mengurai janji Allah setelah perjanjian itu diperikatkan merupakan antitesis dari proses pemakmuran di muka bumi. Bila dibalik, proses pemakmuran harus dilakukan dengan melakukan perbaikan di muka bumi, menyambungkan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan dan mewujudkan janji Allah setelah perjanjian itu diperikatkan.

Terdapat suatu hierarki yang dapat dilihat dalam proses pemakmuran di atas, dengan kedudukan paling sempurna berupa mewujudkan janji Allah. Pada tingkatan bumi, setiap orang harus berusaha untuk melakukan perbaikan. Pada tingkatan insaniah, setiap insan harus berusaha menyambungkan apa-apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan. Dalam tingkatan hubungan kepada Allah, hendaknya manusia berusaha untuk mewujudkan janji Allah yang diberikan setelah perjanjian itu diperikatkan. Ketiga proses ini menjadi kunci pemakmuran bumi, merupakan satu kesatuan yang harus diwujudkan bersama-sama, tidak boleh dilanggar pada salah satu di antaranya. Seseorang tidak dapat melakukan perbaikan di muka bumi dengan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan, atau dengan berbuat merusak janji Allah setelah suatu perjanjian yang mendatangkan janji itu diperikatkan. Demikian pula pada setiap permutasi, proses itu tidak dapat dilakukan pada satu atau lebih proses dengan melanggar proses pada tingkatan yang lain. Melanggar satu proses akan mendatangkan konsekuensi yang sama pada proses yang lain.

Barangkali tidak setiap manusia mengenal janji Allah yang harus diwujudkan melalui perjanjian yang telah diperikatkan, tetapi setiap manusia dapat melakukan perbuatan mengurai janji Allah setelah perjanjian diperikatkan. Manakala seseorang tidak bertakwa dalam melakukan perbuatan di muka bumi dan/atau dalam hubungan antar manusia, seseorang dapat menimbulkan pembuyaran janji Allah setelah perjanjian itu diperikatkan. Mungkin janji yang dirusak itu bukan janji melalui dirinya, tetapi ia melakukan kerusakan pada janji Allah melalui perjanjian yang diperikatkan kepada orang lain. Sama saja bila ia berbuat demikian, maka ia akan menyebabkan kerusakan pada proses yang lain.

Ketiga proses tersebut merupakan penjelasan tugas diri manusia sebagai khalifatullah di muka bumi dalam memakmurkan bumi, yaitu ia harus melibatkan amal di tingkatan bumi, menjalin shilaturrahmi pada tingkatan insaniah dan memperhatikan janji Allah yang harus diwujudkan. Pada beberapa sisi, pelaksanaan hal-hal tersebut menunjukkan kualitas ibadah setiap manusia sebagai khalifatullah. Ada orang-orang yang hanya berbuat dengan amal tanpa rasa kasih sayang terhadap orang lain, ada orang yang beramal dengan kasih sayang kepada sesama manusia tanpa mempunyai pengetahuan tentang janji Allah, dan orang-orang yang sempurna melakukan amal dengan kasih sayang disertai dengan pengetahuan tentang janji Allah. Terbentuknya ketiga keadaan itu menunjukkan terhubungnya seseorang terhadap rahmat Allah.

Ukuran kualitas ibadah itu hendaknya digunakan untuk mengukur diri sendiri, tidak untuk menghukumi orang lain, atau boleh digunakan untuk menemukan kebersamaan dengan al-jamaah. Ukuran itu dapat berlaku selama tingkatan-tingkatan proses itu tidak disertai penyimpangan. Manakala ada penyimpangan, setiap orang harus mencari jalan untuk mengenali jamaah yang lurus jalannya. Dalam kasus khusus, ada orang-orang yang sebenarnya mengenal janji Allah melalui dirinya akan tetapi tidak dapat menyambung shilaturrahmi dan/atau tidak dapat beramal karena halangan yang diperolehnya. Bayt mereka mungkin tidak terbentuk sempurna, tetapi perkataan mereka dapat diikuti. Menerapkan ukuran kualitas ibadah dalam hal ini perlu dilakukan dengan cermat tidak diukur secara gegabah.

Proses-proses itu menunjukkan tingkatan terbentuknya bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah. Orang yang berusaha membina bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah akan mengalami perkembangan mengikuti tingkatan-tingkatan proses di atas. Orang yang melakukan kerusakan di muka bumi tidak dapat dikatakan membina bayt. Demikian pula orang-orang yang memotong apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan dan/atau mengurai janji Allah setelah perjanjian itu diperikatkan tidak termasuk orang yang membina bayt. Manakala seseorang yang ingin membina bayt melakukan hal demikian, mereka mungkin telah menyimpang dalam membina bayt tersebut. Hal ini tidak termasuk orang yang tidak/belum berhasil menyambungkan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan, atau orang yang belum mengenal janji Allah. Bila terjadi hal demikian, ia tidak termasuk orang yang menyimpang tetapi belum mencapai tingkatan tersebut.

Bentuk nyata amal dalam menunaikan janji Allah berkaitan dengan amaliah duniawi, tidak semata berbentuk syariat. Janji itu merupakan kunci dalam pemakmuran bumi, di mana pemakmuran yang dilakukan merupakan wujud dzahir dari pengetahuan seseorang terhadap kehendak Allah. Pengetahuan terhadap kehendak Allah selalu terkait dengan suatu ayat dalam kitabullah Alquran, akan tetapi amal yang terlahirkan dapat berupa amal-amal praktis duniawi yang memunculkan pemakmuran bumi.

Hubungan antara suatu ayat kitabullah dengan hal praktis akan dipahami oleh pemilik ilmu yang beramal mewujudkan janji Allah. Misalnya, seorang syaikh mungkin berharap buah amalnya berupa keberhasilan muridnya yang akan ditandai dengan meletusnya Gunung Kelud. Pengetahuan yang menghubungkan antara kitabullah Alquran dengan meletusnya Gunung Kelud telah dimiliki sang Syaikh dalam bentuk yang seringkali tidak mudah diceritakan kepada orang lain. Bahkan manakala Gunung Kelud telah meletus, mungkin kebanyakan murid tidak mengetahui makna sabda sang syaikh tentang hal itu, sedangkan sang syaikh benar-benar telah menyampaikan kepada para murid. Sebagian kecil muridnya mungkin akan mengetahui makna sabda sang syaikh, dan sebagian lainnya justru mengolok-olok pengetahuan murid yang mengetahuinya, dan sebagian besar murid hanya menganggap berita itu hanya angin lalu. Dalam hal ini, kebenaran itu hanya diketahui sang syaikh dan mungkin juga murid-murid yang mengetahui makna sabda sang syaikh.

Menggunakan Akal

Membina kesungguhan dalam penghambaan kepada Allah harus dilakukan dengan mengikuti kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW sejak dari upaya-upaya jasmaniah hingga pengenalan terhadap janji Allah. Melakukan perbaikan di muka bumi tidak boleh terlepas dari tuntunan Allah berupa kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Perbuatan-perbuatan baik yang mempunyai landasan dari tuntunan Allah itulah yang akan meningkatkan nilai penghambaan seseorang. Nilai penghambaan demikian tidak tergantung kemampuan logika, tetapi lebih pada kemuliaan akhlak, sedangkan akhlak itu terbentuk dari pemahaman pada tuntunan Allah. Pada dasarnya, pemahaman seseorang terhadap tuntunan Allah itulah yang meningkatkan nilai ibadahnya, dan amal-amalnya merupakan sarana meningkatkan pemahamannya dan mengokohkan akhlaknya.

Demikian pula kemampuan seseorang untuk menyambungkan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan dan kemampuan memahami janji Allah tergantung dari pemahaman seseorang terhadap tuntunan Allah. Mustahil melakukan kedua proses di atas manakala seseorang tidak memahami tuntunan Allah dalam kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Seseorang tidak akan mampu mengenali Rasulullah SAW dengan benar atau mengenali washilahnya kepada Rasulullah SAW tanpa mengenali keadaan washilahnya menurut tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Demikian pula seseorang tidak akan mengenali amal yang dijadikan amanah bagi dirinya tanpa mengenali urusan Rasulullah SAW yang tertera dalam kitabullah Alquran. Tanpa mengetahui tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, seseorang boleh jadi bertindak keliru justru memutuskan segala sesuatu yang diperintahkan Allah untuk disambungkan, mencerai-beraikan shilaturahmi umat manusia yang tersambung hingga kepada Rasulullah SAW sedangkan ia merasa sebagai hamba Allah yang baik. Tercerainya shilaturrahmi demikian pada kasus tertentu juga akan menguraikan janji Allah hingga tidak dapat terwujud di bumi karena kerusakan manusia.

Kebutuhan terhadap tuntunan Allah ini tidak boleh dikalahkan dengan hawa nafsu. Kadangkala seseorang atau suatu kaum mengikuti apa yang dipandang baik bagi mereka, sedangkan mereka meninggalkan tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW terkait dengan urusan bagi ruang dan jaman mereka di bumi. Mengabaikan pembacaan yang benar tentang tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW menunjukkan langkah seseorang hanya mengikuti hawa nafsu, dan hal ini akan menjadikan umat tidak menemukan peningkatan nilai penghambaan kepada Allah. Perbuatan perbaikan di muka bumi yang mereka lakukan sebenarnya tidak mempunyai bobot yang memadai selama tidak mengetahui janji Allah terhadap diri mereka, dan yang mengangkat bobot nilai itu adalah pengetahuan tentang tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW untuk urusan mereka.

Kecurigaan terhadap kesesatan orang lain dan tidak terhadap dirinya akan mewarnai proses mengikuti kebenaran. Hal itu seringkali merupakan hawa nafsu yang mempertakuti manusia. Seharusnya seseorang takut kesesatan terhadap dirinya maka ia takut kesesatan orang lain. Kadang manusia mengalami hal demikian secara berlebihan hingga curiga terhadap perkataan benar orang lain yang berlandaskan kitabullah, dan sebaliknya memandang keadaan diri mereka yang menyimpang atau menentang kitabullah sebagai mulia. Hal demikian menunjukkan lemah akal dalam berpegang pada kitabullah. Akal yang kuat akan mampu mencerap kebenaran dari sumber-sumber yang lemah sekalipun misalnya bila kebenaran itu muncul dari syaitan sekalipun. Terlepas bahwa kebenaran itu mungkin mengandung tipuan yang besar, orang berakal dapat mengenali kebenaran sebagai kebenaran. Seseorang tidak boleh mengikuti perkataan syaitan, tetapi boleh saja mengenali kebenaran yang keluar dari mereka. Bila mengenali nilai kebenarannya, ia akan mengenali tipuannya karena tipuan syaitan hampir selalu dilakukan dengan kebenaran nisbi. Orang berakal tidak akan berharap bahwa kebenaran itu hanya muncul dari malaikat yang berbicara kepada mereka.



Jumat, 19 April 2024

Mewujudkan Penghambaan Kepada Allah

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan. Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah.

Ibadah adalah bentuk penghambaan yang harus ditunaikan oleh setiap manusia bagi Allah. Seorang hamba adalah seseorang yang melaksanakan tanggung jawab yang diberikan oleh tuannnya kepada dirinya untuk mencapai sasaran yang dikehendaki tuannya. Untuk tugas demikian, seorang hamba seharusnya mempunyai pemahaman sebaik-baiknya tentang kehendak tuannya. Bila ia tidak memahami kehendak tuannya, ia tidak akan bisa menjadi hamba yang baik. Sebaliknya apabila ia memahami kehendak tuannya, ia akan bisa menjadi hamba yang sebaik-baiknya. Demikian itu berlaku dan bisa menjadi gambaran yang baik tentang kehambaan seseorang kepada Allah.

Pemahaman sesungguhnya seorang hamba terhadap kehendak Allah terletak pada pengenalan nafs wahidah dirinya. Nafs wahidah merupakan asal mula penciptaan manusia, bahwa setiap manusia diciptakan berdasarkan suatu nafs wahidah tertentu. Jati diri penciptaan setiap manusia terletak pada nafs wahidah, di mana seseorang akan mengenal kehendak Allah yang harus ditunaikan apabila ia mengenal nafs wahidah dirinya. Sebelum seseorang mengenal nafs wahidah dirinya, ia tidak benar-benar memahami kehendak Allah. Hal ini tidak menghilangkan nilai penghambaan seseorang sebelum mengenal nafs wahidah, akan tetapi menunjukkan bahwa nilai penghambaan seseorang yang mengenal nafs wahidah berbeda dengan nilai penghambaan orang yang tidak mengenal nafs wahidah dirinya.

﴾۱﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS An-Nisaa : 1)

Nafs wahidah diciptakan secara berpasangan. Setiap laki-laki dan pasangannya pada dasarnya diciptakan dari satu nafs wahidah tertentu. Setiap perempuan diciptakan dari suatu nafs yang berasal dari nafs wahidah laki-laki tertentu, sebagai bagian dari laki-laki tertentu tersebut. Hal ini berimplikasi bahwa penghambaan seorang laki-laki dilakukan dalam bentuk melayani Allah, dan penghambaan seorang perempuan dilakukan dalam bentuk membantu suaminya dalam melayani Allah. Untuk beribadah kepada Allah, seorang perempuan harus menemukan peran dirinya dalam membantu suaminya melayani kehendak Allah, seringkali tidak perlu mencari bentuk penghambaan secara langsung kepada Allah.

Bentuk ibadah demikian tidaklah menunjukkan suatu ketidakadilan. Sebenarnya setiap laki-laki pun tidak dapat mencari bentuk penghambaannya kepada Allah secara langsung, tetapi harus mencarinya melalui Rasulullah SAW. Ini merupakan bentuk kemudahan yang diberikan Allah sebagai rahmat bagi manusia. Setiap orang dapat membina hubungan transenden secara personal langsung kepada Allah, akan tetapi bentuk hubungan penghambaannya harus dilakukan secara terhubung kepada Allah melalui Rasulullah SAW. Membina washilah melalui Rasulullah SAW selain mengantar seseorang menemukan bentuk penghambaan juga akan sangat membantu seseorang dalam membina hubungan transenden kepada Allah. Hubungan semacam ini terpatri pula dalam bentuk ikatan suami isteri, di mana seorang isteri harus mengenal pelayanannya kepada suaminya untuk beribadah kepada Allah.

Nafs Wahidah dan Pernikahan

Ikatan pernikahan merupakan keping fraktal terkecil dalam membina penghambaan kepada Allah. Pernikahan bukanlah semata perjanjian antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Ada bentuk-bentuk perikatan yang terbentuk antara seseorang dengan orang lainnya melalui suatu pernikahan, dan bentuk-bentuk itu terhubung kepada Allah. Perjanjian dan perikatan itu akan mengantarkan sepasang manusia untuk membina bentuk penghambaan yang tepat kepada Allah dan sekaligus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada semesta alam. Bentuk perjanjian  melalui pernikahan itu dikenal sebagai mitsaq. Perikatan yang terbentuk merupakan hubungan washilah, di mana seorang perempuan memperoleh washilah kepada Allah melalui suaminya. Terlepas dari semua tingkah laku suaminya, seorang perempuan telah memperoleh washilah kepada Allah manakala ia menikah dengan seorang laki-laki. Sebenarnya seorang laki-laki juga memperoleh suatu penghubung yang menghubungkan dirinya kepada alam duniawi, dan hal itu akan membentuk suatu hubungan shilaturahmi, sedangkan washilahnya kepada Allah harus dikenal melalui shilaturrahmi yang terbina tersebut.

Suatu perjanjian (mitsaq) menunjuk pada terbentuknya suatu ide bersama yang dapat diwujudkan bilamana kedua pihak bersama-sama. Perjanjian (mitsaq) dapat diibaratkan kain tenun yang disusun dari satu benang dengan benang yang lain secara sinergis sehingga terbentuk suatu pola tertentu berdasarkan benang-benang yang tersusun. Suatu pernikahan antara seorang laki-laki dengan perempuan akan membentuk suatu suatu perjanjian (mitsaq) yang paling kokoh di semesta alam, berupa suatu mitsaqan ghalidza. Mitsaqan ghalidza tersebut mendatangkan suatu bentuk tertentu janji Allah bagi kedua insan yang menikah. Allah memberikan suatu bentuk janji tertentu kepada kedua insan yang menikah, janji yang seharusnya dapat diwujudkan oleh keduanya di alam dunia dan alam berikutnya manakala keduanya dapat bersama-sama merealisasikan bentuk janji tersebut. Barangkali tidak semua orang menikah mengetahui bentuk janji Allah bagi mereka pada saat menikah, tetapi sebagian manusia dapat melihat bentuk janji Allah bagi mereka. Hendaknya pasangan menikah tidak terpancing hasratnya untuk mengetahui bentuk janji itu karena akan muncul penghalang yang besar manakala pasangan itu mengetahuinya dan mengusahakannya. Pasangan itu hanya perlu mensyukuri setiap langkah kebersamaan mereka setiap saat untuk beribadah, maka janji itu akan terwujud.

Mensyukuri kebersamaan itu harus dilakukan dengan membina shilaturahmi bersama. Shilaturrahmi merupakan pembinaan hubungan kasih sayang di antara manusia yang dibentuk untuk membina hubungan kepada Allah. Bentuk dasar shilaturrahmi dalam pernikahan berupa suami sebagai washilah isteri kepada Allah. Shilaturahmi itu harus dibina dengan baik mencapai semesta mereka, tidak terbatas hanya pada hubungan antara suami dan isteri saja. Shilaturahmi ke pihak lain harus dibina berdasar kasih sayang di antara suami dan isteri, karena kasih sayang di antara keduanya menunjukkan kekuatan kasih sayang yang sesungguhnya, dan kasih sayang kepada pihak lain merupakan perpanjangan dari kasih sayang keduanya. Seorang isteri harus berusaha benar-benar memahami perkembangan suaminya dalam usaha menjadi hamba Allah, dan seorang suami harus terhubung juga dengan orang-orang yang terkait dengan isterinya dan membina kasih sayang dengan mereka dengan memberikan sumbangsih yang baik.

Tidak Merusak Janji Allah

Setiap manusia harus bertakwa dengan berusaha menjaga dan mewujudkan perjanjian (mitsaq) dan perikatan-perikatan melalui pernikahan. Pernikahan akan menghadapkan seseorang pada bentuk penghambaan dirinya kepada Allah bila  seseorang bertakwa dalam pernikahannya. Pengenalan kepada bentuk janji Allah akan menuntun seseorang mengenal bentuk penghambaannya, dan shilaturrahmi akan membantu mewujudkan amal-amal shalih yang harus dilaksanakannya. Setiap pihak harus berusaha bertakwa kepada Allah dalam pernikahannya, karena dengan ketakwaan kedua pihak maka perbaikan di muka bumi akan terjadi.

Apabila seseorang tidak bertakwa dalam pernikahannya, bentuk  janji Allah dan perikatan itu dapat mengalami kerusakan. Banyak hal-hal yang diperbuat manusia dapat merusak janji Allah dan perikatan di antara manusia, dan hal demikian harus dihindari. Orang-orang yang fasik melakukan banyak kerusakan dengan merusak perjanjian dan perikatan hingga timbul kerusakan yang sangat besar di muka bumi. Bentuk kerusakan demikian yang terbesar berupa kerusakan dalam pernikahan.

﴾۷۲﴿الَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
(yaitu) orang-orang yang mengurai janji Allah sesudah perjanjian itu diberikan, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi (QS Al-Baqarah :27)

Ayat di atas berbicara tentang perbuatan orang-orang fasik yang berbuat kerusakan di muka bumi dengan perbuatan mereka membuyarkan janji Allah setelah diberikan kepada manusia, memotong-motong apa-apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan, dan melakukan kerusakan di bumi. Mengurai perjanjian mencakup pula pengubahan yang menyebabkan janji Allah berubah dari keadaan terbaiknya, tidak terbatas hal yang membuyarkannya saja. Orang-orang fasik yang berbuat demikian itu adalah orang-orang yang merugi.

Janji Allah yang telah diberikan kepada seorang hamba dapat terbuyarkan kembali karena perbuatan atau sikap hamba. Seorang manusia atau sepasang manusia dapat membuyarkan janji Allah yang diberikan kepada mereka, sekalipun janji itu telah diberikan. Ibarat kain yang telah tertenun kemudian diuraikan kembali, demikian janji Allah yang telah tersusun itu dapat terurai kembali. Hal ini karena perbuatan manusia sendiri, bukan kehendak Allah. Kerusakan ini dapat terjadi termasuk pada janji Allah yang diberikan melalui pernikahan, dan pernikahan menjadi ikatan yang paling mewakili perjanjian demikian. Sepasang manusia bisa saja kehilangan bentuk kehidupan yang dijanjikan Allah kepada mereka sebagai jalan penghambaan manakala mereka tidak bertakwa kepada Allah. Orang-orang yang membuyarkan janji Allah merupakan orang-orang yang fasik.

Seorang laki-laki yang berkhianat kepada isterinya mengejar syahwat dan hawa nafsu bersama perempuan lain merupakan bentuk contoh perbuatan yang membuyarkan janji Allah kepada mereka. Demikian pula seorang isteri yang membawakan dirinya kepada laki-laki selain suaminya bisa menjadi contoh bentuk perbuatan membuyarkan janji Allah. Manakala seorang isteri membawakan sesuatu yang ghaib dalam dirinya, yang seharusnya dijaga untuk Allah, dibawakan kepada selain suaminya, suaminya akan benar-benar kehilangan media untuk mewujudkan janji Allah ke alam duniawi mereka. Tidak ada janji Allah tentang bentuk kehidupan penghambaan diri mereka yang akan terwujud. Manakala ada sedikit sisa dari hal ghaib itu, maka bagian itulah yang dapat menjadi media terwujudnya walau belum tentu dapat diwujudkan. Pasangan itu berikutnya akan kehilangan arah membentuk kehidupan mereka. Hal ini berbeda dengan kerusakan hubungan sebelum menikah dimana tidak ada bentuk janji Allah yang dirusak. Sebelum menikah, kerusakan itu hanya menyentuh bentuk-bentuk hawa nafsu tetapi tidak merusak janji Allah. 

Banyak bentuk-bentuk sikap dan perbuatan yang menyebabkan janji Allah kepada sepasang manusia terurai kembali. Perbuatan ini kadangkala bahkan dapat dilakukan oleh seseorang terhadap pernikahan orang lain, bukan hanya pernikahan dirinya sendiri. Manakala seseorang memunculkan suatu bentuk pengkhianatan pada pernikahan orang lain, maka ia telah membuyarkan janji Allah yang diberikan melalui pernikahan itu.   

Dengan buyarnya janji Allah, seseorang dapat kehilangan sarana mengenal bentuk penghambaan dirinya. Hal ini tidak selalu berlaku pada setiap orang yang dibuyarkan janji Allah baginya. Seorang pengkhianat akan kesulitan menemukan bentuk penghambaannya karena pengkhianatannya, akan tetapi pihak yang tidak berkhianat mungkin saja masih dapat melihat bentuk penghambaan yang dijanjikan bagi mereka walau tidak memperolehnya. Sekalipun ia tidak dapat memperoleh bentuk kehidupan yang dijanjikan, tetapi ia telah memahami bentuk penghambaan dirinya kepada Allah walau tidak dapat melaksanakannya. Dengan demikian, setiap orang hendaknya bertakwa dalam pernikahannya. Ia bisa kehilangan sarana mengenal bentuk penghambaan dirinya atau ia dapat menghilangkan bentuk penghambaan itu bila tidak bertakwa.

Ketakwaan itu dapat disiapkan pondasinya sebelum pernikahan dilakukan. Setiap orang hendaknya membangun keyakinan bersama dalam melaksanakan penghambaan kepada Allah. Setiap pihak harus melepas bayang-bayang masa lalu yang dapat merusak janji Allah, membatasi atau menghilangkan interaksi yang dapat mengganggu hati, dan menjauhkan orang lain yang mungkin merusak janji Allah yang diberikan melalui pernikahan yang akan dilalui. Dalam hal tertentu, mungkin ada orang-orang yang seharusnya tidak didekatkan dalam jarak tertentu terhadap hubungan mereka karena mungkin dapat menimbulkan kerusakan janji Allah dalam pernikahan mereka. Penilaian terhadap potensi yang merusak ini boleh pula dilakukan terhadap calon pasangannya dan mencegahnya agar tidak terjadi. Hal-hal demikian hendaknya dapat dimengerti oleh masing-masing pihak, dan ada baiknya tindakan itu dilakukan yang bersangkutan tanpa harus dicegah oleh pasangannya karena seringkali menimbulkan pertengkaran.

Celah yang berpotensi menimbulkan kerusakan demikian tidak boleh dianggap sepele. Syaitan akan berusaha keras untuk memanfaatkan setiap celah yang ada untuk mengurai kembali janji Allah di antara manusia. Pada pokoknya, setiap orang harus setia untuk menepati ikatan pernikahan mereka, sedangkan masalah potensi kerusakan itu (hanya) merupakan kepingan-kepingan yang mungkin merusak. Walaupun demikian, mensikapi secara salah kepingan tersebut benar-benar dapat mendatangkan kerusakan yang besar. Tindakan mendatangkan dengan sengaja potensi yang merusak harus dihindari. Tindakan itu setidaknya akan menurunkan kepercayaan terhadap kebersamaan dalam mewujudkan janji Allah pada satu pihak terhadap yang lain. Menjelang pernikahan, setiap pihak harus mempunyai keyakinan iktikad menepati sumpah setia pernikahan yang akan dilakukannya, dan juga mempercayai adanya keyakinan iktikad pada pasangannya. Tanpa keyakinan pada dan terhadap kedua pihak, pernikahan itu akan dihantui masalah kecurigaan dan pengkhianatan yang berpotensi merusak janji Allah.

Keyakinan di antara dua insan dalam pernikahan itu dapat berupa tujuan kehidupan yang sama. Hal ini dapat terwujud pada orang-orang yang mengenal tujuan kehidupan mereka. Pada dewasa pemula, tujuan semacam ini barangkali belum terbentuk kecuali hanya pada tingkatan hawa nafsu. Dalam keadaan ini, masing-masing  pihak harus memahami makna pernikahan yang akan mereka tempuh. Pernikahan merupakan jalan untuk mengenal nafs wahidah sebagai landasan penghambaan. Pengenalan ini harus ditempuh melalui perjuangan dalam kebersamaan. Manakala pernikahan dipandang sebagai penyatuan dan pemenuhan selera hawa nafsu dan syahwat masing-masing, sangat sulit menjaga kebersamaan dalam jangka panjang. Hawa nafsu dan syahwat itu akan berubah-ubah dalam waktu singkat, manakala pernikahan tidak dilandasi tujuan mengenal nafs wahidah maka mereka akan mudah mengalami kejenuhan.

Upaya sepasang manusia mewujudkan janji Allah melalui pernikahan termasuk bentuk perjanjian tertinggi. Hendaknya setiap pihak dapat menghormati perjanjian ini. Seorang isteri harus menghadapkan arah wajahnya melalui suaminya untuk menghadap kepada Allah, tidak mengharapkan wajah lain sebagai wasilah kepada Allah. Berbagai hal yang dihadirkan baginya melalui suaminya harus dipandang sebagai wujud yang dihadirkan Allah. Mengharapkan wujud-wujud dalam bentuk lain melalui orang lain selain suaminya akan memalingkan wajahnya dari penghadapan kepada Allah. Demikian pula suami harus menyambut isterinya sebagai amanah Allah yang harus disikapi dengan sebaik-baiknya.

Mengurai janji Allah setelah diperikatkan, memotong sesuatu yang diperintahkan Allah untuk dihubungkan dan membuat kerusakan di muka bumi membentuk suatu kesatuan rangkaian. Merusak janji Allah setelah diberikan akan diikuti perbuatan memotong sesuatu yang diperintahkan Allah untuk dihubungkan dan mendatangkan kerusakan di muka bumi. Dalam pernikahan, kerusakan janji Allah itu dapat menimbulkan kerusakan yang sangat besar.

Selasa, 16 April 2024

Menemukan Jalan Keselamatan

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan. Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah.

Orang-orang yang mengikuti keridlaan Allah akan memperoleh petunjuk jalan-jalan keselamatan, dikeluarkan dari kegelapan menuju cahaya, dan memperoleh petunjuk menuju shirat al-mustaqim.

﴾۶۱﴿يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan mengeluarkan mereka dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus (QS AL-Maidah : 16)

Pemahaman yang benar terhadap realitas kauniyah berdasarkan tuntunan ayat Allah akan menumbuhkan suatu petunjuk dalam menempuh jalan yang dikehendaki Allah berupa petunjuk dalam menghadapi problema kauniyah yang terjadi. Petunjuk demikian dikatakan sebagai petunjuk sabil (subulus-salaam). Bila seseorang memperoleh petunjuk sabilnya, ia akan mengetahui suatu permasalahan tertentu yang terjadi pada masyarakatnya, dan mengetahui jalan keluar dari permasalahan itu berdasarkan tuntunan kitabullah. Dengan petunjuk sabil itu, suatu masalah di masyarakat akan terurai hingga terwujud suatu bentuk kemakmuran di masyarakat.

Perlu tekad yang kuat (‘azam) berpegang teguh pada kitabullah Alquran agar seseorang bisa memperoleh petunjuk tentang sabil yang harus mereka tempuh. Syaitan akan benar-benar menghalangi umat manusia untuk mengerti sabil yang harus mereka tempuh. Bila seseorang atau suatu kaum bersikap abai dalam berpegang pada kitabullah Alquran, syaitan akan masuk menghalangi mereka dari petunjuk sabil. Mereka barangkali akan mengerjakan amal-amal yang tidak menjadi solusi bagi masalah yang ada pada masa dan ruang kehidupan mereka. Mungkin amal-amal yang mereka kerjakan begitu menakjubkan, tetapi tidak menyentuh masalah yang digelar Allah.

Syaitan akan menghantam dengan sungguh-sungguh manakala seorang manusia atau suatu kaum mengarah kepada sabil mereka. Manakala hakikat dari suatu fenomena terungkap, syaitan akan bersiap untuk menghalangi. Bila kebenaran yang diikuti manusia hanya merupakan kebenaran-kebenaran nisbi yang tidak mengantar manusia menemukan sabilnya, syaitan akan membiarkan atau justru ikut menurunkan petunjuk kebenaran yang setara. Manakala seseorang mulai mengenal hakikat dari firman Allah yang terjadi pada kauniyahnya, maka syaitan akan menghalangi langkah yang akan ditempuh orang-orang yang mengenalnya.

Beban Berat Dalam Sabil

Melaksanakan sabilussalaam seringkali menjadi beban berat yang membutuhkan tekad yang sangat kuat, terutama dalam menghadapi dorongan dalam diri sendiri. Upaya syaitan dalam menghalangi manusia dari jalan Allah sangat kuat. Demikian pula upaya mereka agar manusia tidak beriman. Sekalipun seseorang yang berusaha menjalankan sabilus-salaam mungkin tidak secara langsung terhalang oleh syaitan, akan tetapi akan timbul suatu beban berat dalam nafs hingga seseorang mungkin akan merasa kelelahan menanggung beban itu. Bahkan Rasulullah SAW termasuk orang yang kadang mengalami kelelahan dalam menanggung beban demikian.

Sikap kufur manusia akan menjadi beban berat bagi para nabi dan orang-orang mulia yang mengikuti. Kerusakan yang akan ditimbulkan oleh orang-orang yang bersikap mengingkari kebenaran dan mengikuti pendapat mereka sendiri seringkali sedemikian besar dan tidak disadari oleh orang-orang yang melakukannya, dan justru menjadi beban berat bagi orang-orang yang mulia sedangkan orang yang tidak beriman tidak mengetahui akibat dari perbuatan mereka karena kebodohannya.

Beban berat yang dirasakan oleh orang-orang mulia akibat kerusakan yang akan ditimbulkan orang-orang kafir itu kadangkala sedemikian berat hingga muncul suatu keinginan pada diri nabi dan orang-orang mulia untuk membinasakan diri karena kekufuran mereka.

﴾۳﴿لَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ أَلَّا يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu, karena mereka tidak beriman. (QS As-Syu’araa : 3)

Contoh perasaan ingin binasa pada nabi dapat dilihat pada nabi Musa a.s manakala bani Israel menyembah patung sapi emas yang dibuat oleh Samiri. Nabi Musa a.s menginginkan agar Allah membinasakan dirinya dengan gempa. Manakala malaikat Izrael diutus untuk menjemput, nabi Musa memukul malaikat tersebut hingga terlepas matanya karena beliau ingin mati dengan cara dibinasakan, bukan mati secara terpandang dijemput malaikat mulia. Tawaran tambahan umur untuk beramal shalih sebanyak bulu sapi yang dapat tertutupi oleh tangan beliau tidak menawarkan hati nabi Musa a.s yang ingin dibinasakan, sedangkan pada akhirnya beliau hanya akan dimatikan dengan cara biasa. Peristiwa demikian menjadi contoh perasaan ingin dibinasakan yang ada pada nabi karena perbuatan kaumnya.

Hal demikian pada dasarnya terjadi pula pada para nabi terhadap kekufuran pada umatnya. Sebagian orang yang dapat memahami perasaan para nabi mungkin bersikap pula demikian manakala menghadapi kekufuran dan kerusakan yang terjadi pada umatnya. Boleh jadi seorang mulia berharap datangnya gempa yang akan membinasakan dirinya bersama umat yang sesat karena kerusakan umatnya, akan tetapi Allah tidak mengijinkan kebinasaan itu baginya. Orang yang tidak memahami sikap demikian mungkin akan memandangnya aneh atau hanya mampu bertanya-tanya tentang yang diperbuat sang rasul atau orang mulia tersebut, sedangkan orang yang memahami akan turut bersedih bersama orang mulia. 

Kesedihan pada orang-orang yang mengikuti nabi semacam itu hendaknya dipahami oleh umatnya, bahwa kesedihan itu disebabkan karena adanya kerusakan pada diri mereka.  Ketidakbinasaan itu hanya karena Allah tidak mengijinkan, sedangkan para nabi dan yang mengikuti mereka benar-benar ingin dibinasakan. Kerusakan itu benar-benar terjadi dan harus diperbaiki walaupun tidak/belum mendatangkan adzab Allah, dan orang-orang yang bersedih itu tidak menjadi pihak yang salah hanya karena Allah tidak mengabulkan kebinasaannya. Ketidakbinasaan karena tidak diijinkan Allah itu hendaknya tidak digunakan sebagai bukti tentang kesalahan pendapat orang yang bersedih dan tidak sebaliknya sebagai bukti kebenaran pendapat mereka yang berbeda dengan rasul.

Manakala seorang rasul memililiki rasa ingin membinasakan diri, pada dasarnya kebinasaan itu sebenarnya akan menimpa umatnya. Kebinasaan yang sebenarnya justru terjadi pada umatnya bukan pada sang rasul. Masalah tidak adanya kesedihan pada umat dan adanya kesedihan pada rasul tidak menunjukkan bahwa jalan umat telah benar dan sang rasul salah, tetapi hanya karena umatnya tidak mengetahui dan sang rasul mengetahui. Hendaknya manusia mencari jalan keselamatan dengan berpegang pada kitabullah, dan di antara tanda jalan keselamatan itu adalah adanya orang yang memahami. Seringkali orang yang tidak memahami menyangka bahwa mereka telah menempuh jalan keselamatan, sedangkan mereka tidak memahami keadaan sang rasul. Petunjuk jalan keselamatan (Subulussalaam) akan diberikan kepada orang-orang yang mengikuti keridhaan Allah melalui kitabullah Alquran.

Di Antara Umat Rasulullah SAW

Pangkal dari kesedihan demikian adalah tidak berimannya manusia kepada Allah dan kekufuran mereka. Keimanan seseorang ditunjukkan dengan tumbuhnya kemampuan untuk memahami cahaya Allah yang diberikan kepadanya. Keimanan akan diberikan kepada seseorang setelah keislaman. Tidak semua orang islam merupakan orang beriman, sedangkan keislaman merupakan syarat dilimpahkannya keimanan. Tidak tumbuhnya seseorang menjadi orang yang beriman merupakan beban yang akan membuat Rasulullah SAW bersedih, dan dalam hal tertentu menginginkan kebinasaan.

Kekufuran tidak selalu berbentuk gerakan permusuhan terhadap nabi, sebagaimana bani Israel merupakan umat nabi Musa a.s. Sebagian bentuk pembangkangan dan penentangan merupakan bentuk kekufuran, secara khusus berupa kekufuran umat nabi dimana walaupun berstatus umat, mereka membangkang nabinya. Kekufuran yang demikian itu dapat terjadi pada setiap umat termasuk umat nabi Muhammad SAW, tidak terbatas pada bani Israel. Sebagian bentuk kekufuran pada umat memunculkan keinginan pada rasul terhadap kebinasaan dirinya. Kasus demikian tidak tercatat terjadi pada masa nabi Muhammad SAW hidup di dunia, akan tetapi umat nabi Muhammad SAW mencakup umat islam yang ada di seluruh dunia hingga hari kiamat kelak tiba, maka mungkin saja ada suatu kaum dalam umat islam pada suatu masa yang menjadikan Rasulullah SAW menginginkan kebinasaan.

Pembangkangan dan penentangan terhadap ayat kitabullah Alquran merupakan bentuk kekufuran yang mendatangkan kesedihan pada nabi Muhammad SAW. Orang yang membangkang atau menentang kitabullah adalah orang yang meyakini pendapat dan/atau perbuatan dirinya yang menentang atau menyimpang dari tuntunan kitabullah sebagai perbuatan yang benar atau lebih baik. Kadangkala seseorang menyangka bahwa ia berkedudukan khusus hingga suatu ayat kitabullah tertentu tidak berlaku bagi dirinya, maka ia juga termasuk orang yang membangkang. Orang yang berbuat tidak sesuai kitabullah tidak serta merta menjadikan ia orang yang membangkang atau menentang kitabullah, karena mungkin ia tidak menginginkan berbuat demikian, atau terpaksa berbuat demikian. Atau sekalipun ia senang berbuat demikian karena dorongan menyimpang sedangkan ia mengharap dapat mengikuti kitabullah, ia tidak tergolong sebagai orang yang membangkang.

Seorang yang membangkang kadangkala tidak menyadari perbuatannya karena syaitan menjadikannya memandang indah perbuatannya. Sekalipun terlihat baik, perbuatan menentang kitabullah tetaplah sebuah pembangkangan. Demikian pula perbuatan menentang perintah Rasulullah SAW sepenuhnya merupakan pembangkangan. Sekalipun misalnya seseorang mampu memperoleh pengetahuan seperti Azazel, firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW tetaplah lebih benar dari seluruh pengetahuan yang dikuasainya. Tidak ada manusia yang membangkang kepada Allah yang bisa mempunyai pengetahuan dan kemampuan yang lebih atau sekadar setara dengan Iblis. Seringkali membangkang ulul amr merupakan pembangkangan, akan tetapi manakala seseorang melakukan sesuatu karena lebih memilih mengikuti kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW dengan menyelisihi ulul amr, ia tidak dapat dikatakan membangkang. Hal ini sangat jarang terjadi manakala berurusan dengan ulul amr yang benar, tetapi kemungkinan itu tetap ada. Bila sekadar menyelisihi ulul amr atau atasan tanpa alasan yang benar, maka ia seorang yang bodoh dan tercela.

Manakala seseorang membangkang perintah Allah, salah satu perintah Allah telah ditinggalkan dan umat sebenarnya hanya mengerjakan urusan mereka sendiri. Kadangkala manusia sepenuhnya mengerjakan urusan mereka sendiri, atau kadangkala mereka mengerjakan urusan yang diperintahkan Allah dengan cara yang menentang tuntunan Allah. Akibat dari kedua perbuatan tersebut sama, bahwa sebenarnya mereka mengikuti syaitan menimbulkan madlarat yang besar bagi umat manusia. Hal demikian bisa terjadi karena lemahnya manusia dalam menggunakan akal hanya mengikuti penglihatan atau pendengaran mereka. Jalan taubat dari penyimpangan demikian hanya dapat dilakukan dengan sepenuhnya kembali kepada perintah Allah. Pujaan dan pujian Iblis kepada Allah dengan segenap pengetahuannya tidak dapat mengembalikan pada kedudukan dirinya di sisi Allah selama ia tidak mau bersujud kepada Adam sebagaimana perintah-Nya dahulu ketika ia membangkang. Demikian pula manakala manusia membangkang kepada Allah, jalan taubatnya hanya kembali kepada perintah Allah sepenuhnya, dan segenap pujaan dan pujian lain tidak bermakna di hadapan Allah selama ia tidak kembali.

Mencari Jalan Keselamatan (SubulusSalaam)

Dalam kasus tertentu, pembangkangan seseorang tidak didzahirkan Allah sebagaimana dahulu didzahirkannya pembangkangan Iblis dengan menolak bersujud kepada Adam. Boleh jadi seseorang yang taat kepada Allah dan orang yang membangkang tampak tetap berjalan bersama sedangkan ada perselisihan di antara mereka. Perselisihan itu kadangkala ditampakkan seseorang secara tersandi tanpa memberikan penjelasan pokok perselisihan mereka, hanya sekadar menunjukkan bahwa dirinya berselisih dengan pihak yang lain tanpa menimbulkan kegaduhan kepada orang lain yang tidak memahami. Mereka hanya berharap akan ada orang yang memahami kemudian membela dan melanjutkan apa yang perlu diperjuangkan bagi umatnya.

Sekalipun misalnya tampak bersama dalam banyak urusan yang tidak diperselisihkan, kedua pihak tidak akan dapat menyatu pada urusan yang mereka perselisihkan. Pembicaraan seringkali tidak akan dapat dilakukan dengan baik karena bahkan firman Allah pun tidak berusaha dipahami oleh salah satu pihak di antara mereka, maka mustahil pembicaraan di antara manusia dapat membantu keduanya. Seseorang yang memahami hanya dapat menunggu proses perubahan menuju kesadaran untuk mentaati perintah Allah pada kedua pihak, tidak dapat memberikan masukan berdasarkan pembicaraan dan upaya-upaya yang lain dalam waktu singkat. Panduan mewujudkan kehendak Allah itu barangkali dapat dibangun, akan tetapi barangkali perlu waktu untuk dibicarakan kepada pihak yang lain.

Kadangkala ada orang-orang tertentu yang sebenarnya menjadi kunci penyatuan perkara perselisihan demikian sehingga ia harus berusaha untuk memahami masalahnya secara setimbang. Orang demikian berasal dari kalangan yang mempunyai urusan yang dekat pada salah satu atau kedua orang yang berselisih, dan manakala telah terlibat dalam perselisihan itu, ia harus memberikan penjelasan sikap kedua pihak. Tugas penyatuan itu akan lebih mudah bila ia sungguh-sungguh menggunakan akalnya untuk menempati kedudukannya. Bila orang-orang kunci tersebut ikut bertaklid meninggalkan upaya memahami kehendak Allah dengan sebaik-baiknya, maka penyatuan tersebut akan sulit terjadi. Keimanan diri setiap orang harus difungsikan secara optimal agar terlahir orang-orang yang dapat memahami kehendak Allah, tidak hanya menjadi kaum yang bertaklid.

Jalan keluar dari perselisihan untuk menuju ketaatan termasuk dalam petunjuk jalan keselamatan (Subulussalaam). Pada prinsipnya, subulussalaam diperoleh dengan mengikuti sunnah Rasulullah SAW dan millah Ibrahim a.s membentuk bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah dengan basis mengenal nafs wahidah. Pengenalan nafs wahidah merupakan pokok bagi seseorang untuk berjamaah. Pokok itu mempunyai cabang-cabang yang tumbuh mengakar dari pokoknya, secara vertikal berupa pengenalan kedudukan diri dalam amr Rasulullah SAW melalui para wasilahnya, secara intrinsik berupa terkumpulnya hal-hal yang terserak dari dirinya baik berupa jodoh ataupun rezeki-rezeki baik duniawi ataupun bathiniah, dan secara horizontal berupa pengetahuan berjamaah dengan sahabat-sahabatnya.

Hendaknya manusia mengusahakan cabang-cabang itu agar memperoleh jalan keselamatan (subulassalaam). Bila seseorang merusak cabang-cabang itu, atau mengikuti langkah orang yang merusak, maka ia akan mendatangkan kecelakaan bagi umat manusia. Pada umumnya, manusia digoda dengan keinginan terhadap sesuatu secara bathil sehingga mendzalimi orang lain atau bughat, hingga puncaknya kadang seseorang dibujuk syaitan dengan keinginan terhadap isteri orang lain untuk menimbulkan madlarat yang sangat besar bagi umat manusia. Pada puncaknya, syaitan berusaha merusak dengan memisahkan seseorang dengan isterinya. Dengan keadaan itu, tanda-tanda cabang intrinsik dan cabang horizontal tidak bersifat mutlak. Suatu keberjamaahan boleh jadi hanya dapat dibangun setelah perselisihan diselesaikan karena masalah prinsip yang harus benar terlebih dahulu. Atau boleh jadi seseorang yang berhasil menemukan sabilassalaam dipisahkan secara bathin dengan isterinya hingga tidak mampu mengumpulkan apa-apa yang terserak bagi dirinya. Di lain sisi, boleh jadi seseorang mengumpulkan rezeki-rezeki hanya karena kecintaan terhadap duniawi tidak untuk meninggikan asma Allah. Tanda-tanda itu tidak bersifat mutlak, tetapi hendaknya dijadikan arah untuk menemukan sabilussalaam.