Pencarian

Senin, 30 Desember 2019

Akal dan Sikap Hanif

Setiap mukmin harus berusaha untuk mendapatkan penyaksian terhadap Allah. Setiap mukmin harus menumbuhkan jiwanya sebagai pohon thayyibah agar dirinya dapat mengenal kehadiran cahaya Allah dalam seluruh aspek kehidupannya. Pohon itu adalah akal yang ada di dalam jiwanya, yaitu bagian seseorang yang menghubungkan dirinya dengan cahaya Allah. Tanpa pertumbuhan akal tidak akan tumbuh pemahaman seseorang atas cahaya Allah, dan tidak akan tumbuh pengenalannya kepada Allah. Allah telah menebarkan cahaya-Nya dalam segenap ciptaan, dan akal jiwa manusia yang akan mengenali cahaya-Nya. Cahaya ini akan menerangi orang-orang yang mempunyai akal dan kurang bermanfaat bagi orang yang tidak mempunyai akal. 

Akal adalah kecerdasan untuk mengenali kebenaran dari Allah. Ini berbeda dengan kecerdasan yang tumbuh pada tataran jasadiah yang ditentukan oleh perkembangan hawa nafsu. Hawa nafsu tumbuh pada jasad manusia yang hidup karena adanya interaksi dengan jiwa. Ketika mati, hawa nafsu itu akan lenyap. Akal akan tumbuh bila seseorang mempunyai keinginan untuk memperhatikan alam sekitarnya dengan hatinya, sebaliknya kecerdasan hawa nafsu cenderung akan tumbuh dengan kecenderungan mementingkan diri sendiri. 


أَفَلَمۡ يَسِيرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَتَكُونَ لَهُمۡ قُلُوبٞ يَعۡقِلُونَ بِهَآ أَوۡ ءَاذَانٞ يَسۡمَعُونَ بِهَاۖ فَإِنَّهَا لَا تَعۡمَى ٱلۡأَبۡصَٰرُ وَلَٰكِن تَعۡمَى ٱلۡقُلُوبُ ٱلَّتِي فِي ٱلصُّدُورِ [ الحج:46-46] 

maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. [Al Hajj:46] 

Kecerdasan jiwa tidak ditunjukkan oleh kecerdasan dalam lisan, tetapi ditunjukkan dengan kepedulian untuk memperhatikan kebaikan bagi sekitarnya. Wujud kecerdasan akal itu akan terlihat dalam bentuk akhlak mulia, yaitu kemampuan seseorang untuk bertindak sesuai dengan kehendak Allah. Tindakan berdasarkan akhlak mulia tidak selalu menyenangkan bagi manusia lain, akan tetapi selalu baik karena sesuai dengan kehendak Allah. Seorang pengajar agama yang pandai mengajarkan teori-teori agama tetapi tidak bisa mengenali kebenaran yang datang padanya bukanlah seseorang yang cerdas akalnya. Dengan kekurangan akalnya, orang tersebut tidak bisa berakhlak mulia. Akhlak yang buruk boleh jadi mewarnai kehidupan orang yang mempunyai gudang teori tentang agama. Teori-teori yang dimilikinya menjadi taghut yang memandu dirinya menuju kegelapan. 

Kadangkala kegelapan taghut menutup seseorang yang berilmu hingga orang itu bersembah kepada taghut, tidak sekadar berakhlak buruk, baik taghut berupa perkataan-perkataan tentang Allah yang disusun berdasarkan hawa nafsu, taghut manusia suci seperti nabi Isa a.s dan para alim ulama, ataupun teks kitab suci dan perkataan-perkataan yang tidak dipahami akalnya dengan benar sesuai kehendak Allah. Boleh jadi teks-teks mulia itu dikuasainya dengan fasih, tetapi akhlak mulia tidak muncul dalam jiwanya. Ketika ulamanya menghalalkan yang haram, dirinya ikut serta menghalalkannya, dan sebaliknya dalam pengharaman. Dirinya terkungkung dalam dogma dan doktrin, tidak dapat mengenali kebenaran cahaya Allah dengan hatinya, mendustakan ayat-ayat Allah walaupun ayat tersebut terjadi pada semestanya dan secara bersamaan telah tertulis dalam kitab suci, dan lebih memilih dogma dan doktrin yang diterima dari taghutnya. Akalnya terjebak dalam kegelapan yang tampak bagai cahaya. 


Hanif sebagai pembuka Akal 


Untuk memperoleh shirat al-mustaqim, setiap orang harus mempunyai sebuah sikap dasar yang telah dicontohkan oleh Ibrahim a.s semenjak muda. Beliau bersikap hanif dalam mencari kebenaran, tidak terpaku pada sebuah pemikiran sendiri ataupun dogma dan doktrin lain yang diajarkan kepada dirinya, tetapi selalu berusaha memikirkan segala sesuatu dalam sudut pandang yang lebih baik dan lebih baik lagi. Beliau menolak bersembah kepada patung-patung, dan berusaha mencari tuhan yang sebenarnya hingga Allah memperkenalkan diri-Nya kepadanya. Beliau tidak berhenti pada satu konsep tuhan atau kebenaran yang ada dalam pikirannya sendiri. 

ثُمَّ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ أَنِ ٱتَّبِعۡ مِلَّةَ إِبۡرَٰهِيمَ حَنِيفٗاۖ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ١٢٣ 

Kemudian Kami wahyukan kepadamu : "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.  QS An-Nahl : 123) 

Menurut bahasa, istilah hanif berasal dari kata kerja hanafa yang mempunyai arti condong atau cenderung. Hanif diartikan setiap orang yang mengikuti millah Nabi Ibrahim yang selalu condong pada kebenaran, selalu berusaha mengikuti kebenaran yang lebih baik. 

Sikap tersebut kemudian diperintahkan untuk diikuti oleh segenap manusia. Allah SWT mewahyukan kepada rasulullah SAW agar mengikuti millah Ibrahim a.s yaitu sikap hanif. Sekalipun Ibrahim pernah mempertuhankan bintang, bulan dan matahari dalam hidupnya, hal itu tidak menunjukkan bahwa beliau termasuk orang-orang yang musyrik. Ibrahim bukanlah termasuk dalam golongan orang-orang musyrik. 

Sikap hanif merupakan pangkal pertumbuhan akal. Tanpa sikap hanif, tidak akan tumbuh akal pada diri seseorang sehingga sangat mungkin orang tersebut terjebak dalam penyembahan kepada thaghut. Kedua hal ini kadangkala sangat tipis perbedaannya pada masyarakat yang taat pada ajaran agama. Kitab suci, orang-orang suci dan segala hal yang membawa cahaya Allah harus disikapi sebagai sebuah media untuk mengenal kehendak Allah melalui akal, jangan sampai menjadi thaghut yang membawa manusia dari cahaya menuju kegelapan. Bila terjebak dalam thaghut, segala ayat/tanda dari Allah yang dihadirkan dalam ruang kehidupannya tidak akan dapat dirasakan atau dimengerti, atau bahkan malah dijadikan bahan olok-olokan yang akan memberatkan kehidupannya. Hal itu sebenarnya mencerminkan keadaan dirinya sendiri yang patut menjadi olok-olokan karena kelemahan akalnya. 


Menumbuhkan Akal 


Manusia diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna. Ada entitas jasadiah dalam diri seorang manusia yang setara dengan batuan, tanah, binatang dan makhluk lain di bumi. Tetapi ada juga dalam diri setiap manusia unsur ruh dan jiwa yang setara dengan para malaikat. Hal ini merupakan sebuah tanda bahwa manusia adalah sebuah entitas tasbih yang mampu menghubungkan makhluk bumi untuk menghadap Allah. 

Dalam penciptaan, makhluk diciptakan dalam berbagai martabat yang terpisah . Ini adalah sifat tanzih, di mana alam-alam diciptakan dalam berbagai lapisan yang terpisah. Terdapat makhluk mulkiyah di bumi yang terpisah dengan makhluk langit di alam malakut. Seekor domba tidak akan dapat menghubungkan diri dengan seorang malaikat. Demikian pula seorang malaikat tidak akan dapat mencari jalan ke alam ruh tanpa ijin Allah. 

Akan tetapi Allah memberikan pula jalan tasbih, sebuah jalan bagi makhluk untuk mendaki agar bertemu Allah. Hal ini diberikan kepada manusia. Setiap manusia dapat menemukan jalan tasbih agar dapat bertemu Allah, akan tetapi hanya sedikit manusia yang memperolehnya. Seorang manusia diciptakan dari bahan tanah yang merupakan entitas paling jauh dari cahaya sumber cahaya, akan tetapi disediakan jalan bagi manusia untuk mendekat kepada Allah, dengan dirinya sendiri. Tidak hanya dari tanah, manusia juga diciptakan dengan kelengkapan entitas dari alam malakut dan ruh. Keseluruhan entitas dalam diri seorang manusia itulah jalan tasbih yang disediakan bagi manusia untuk berjalan untuk menuju Allah. Manusia dapat mengenal Allah dengan jalan tasbih itu. Dengan mengenal dirinya, maka manusia akan mengenal rabb-nya. Tidak ada jalan lain untuk mendekat kepada Allah dari alam mulkiyah kecuali jalan tasbih ini. 

Jalan itu diperpanjang untuk menjangkau alam mulkiyah. Setiap manusia diciptakan berpasang-pasangan agar seorang laki-laki yang mengenal Allah dapat menunjukkan ayat Allah kepada semestanya. Seorang istri adalah pemimpin bagi semesta seorang laki-laki agar dapat mengerti ayat Allah yang ditunjukkan oleh suaminya. Seorang istri harus mengerti suaminya agar semesta mereka mengerti ayat Allah yang ditunjukkan suaminya. Seorang suami adalah jalan tasbih bagi setiap perempuan, tidak ada jalan tasbih lain bagi seorang istri kecuali suaminya sebagaimana jiwa seorang laki-laki menjadi jalan tasbih bagi laki-laki itu sendiri. Fir’aun menjadi jalan tasbih bagi Asiyah binti Muzahim r.a. Tanpa bantuan seorang istri, sang Nabi SAW tidak akan menjadi nabi, dan seorang Nuh a.s dipandang sebagai orang yang tidak mempunyai kelebihan apa-apa di antara umatnya. Dakwahnya selama 950-an tahun tidak membuat umatnya mengerti kebenaran yang diajarkan. 

Untuk menempuh jalan tasbih itu, setiap manusia harus menumbuhkan akalnya dengan memperhatikan semestanya. Seorang suami harus memperhatikan istrinya, dan berusaha memberikan kebaikan-kebaikan bagi semesta yang dibawa oleh istrinya. Seorang istri harus memperhatikan suaminya, dan berusaha menjadi lahan yang subur bagi pertumbuhan akal suaminya. Suami dan istri merupakan satu entitas yang terpisah agar seseorang dapat melihat bayangan dirinya pada bagian lain dirinya. Hal ini telah ditetapkan sejak penciptaan Adam dan Hawa, dimana mereka mempunyai satu pohon yang sama, yang telah menggelincirkan keduanya. Dengan memperhatikan semesta mereka, maka akal akan tumbuh pada diri setiap orang.

Senin, 16 Desember 2019

Akal dan Thaghut

Setiap mukmin harus berusaha untuk mengenal Allah SWT dengan menumbuhkan pohon kalimah thayyibah dalam dirinya. Pohon itu adalah akal yang ada di dalam jiwanya, yaitu bagian seseorang yang menghubungkan dirinya dengan cahaya Allah. Tanpa pertumbuhan akal tidak akan tumbuh pemahaman seseorang atas cahaya Allah, dan tidak akan tumbuh pengenalannya kepada Allah. 

Akal jiwa tidak sama dengan logika. Akal jiwa adalah kecerdasan untuk mengenali kebenaran dari Allah, sedangkan Logika adalah kecerdasan yang tumbuh pada tataran jasadiah, yang ditentukan oleh perkembangan hawa nafsu. Hawa nafsu merupakan entitas yang tumbuh pada jasad manusia yang hidup karena adanya interaksi dengan jiwa. Akal jiwa itu akan tumbuh bila seseorang mempunyai keinginan untuk memperhatikan alam sekitarnya dengan hatinya, sebaliknya kecerdasan hawa nafsu cenderung akan tumbuh dengan kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri. 



أَفَلَمۡ يَسِيرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَتَكُونَ لَهُمۡ قُلُوبٞ يَعۡقِلُونَ بِهَآ أَوۡ ءَاذَانٞ يَسۡمَعُونَ بِهَاۖ فَإِنَّهَا لَا تَعۡمَى ٱلۡأَبۡصَٰرُ وَلَٰكِن تَعۡمَى ٱلۡقُلُوبُ ٱلَّتِي فِي ٱلصُّدُورِ [ الحج:46-46] 

maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. [Al Hajj:46] 



Akal jiwa itulah yang harus tumbuh di dalam diri setiap mukmin untuk mengenal Allah. Dengan akal itulah pohon kalimah thayyibah dalam diri seseorang dapat tumbuh untuk memahami kehendak Allah bagi dirinya, mencerap cahaya Allah yang sampai kepada dirinya dengan baik. Tanpa akal, cahaya Allah yang menerangi setiap penciptaan tidak mendatangkan makna bagi seseorang. 

Thaghut Menutup Akal 


Dalam sebuah hadits, sebagian mengatakan hadits dlaif, rasulullah SAW bersabda : “agama adalah aql, tidak ada agama bagi yang tidak memiliki aql”. Bila dipahami bahwa akal yang dimaksud adalah akal sebagai organ untuk mencerap cahaya Allah, maka hadits ini adalah benar tanpa keraguan dalam sisi matan. Agama adalah tumbuhnya kekuatan untuk memahami cahaya Allah. Tidak ada agama bagi orang yang tidak berusaha memahami cahaya Allah yang terhampar di alam penciptaan. 

Tanpa menumbuhkan akal, boleh jadi seseorang akan terjebak dalam penyembahan kepada thaghut. Thaghut akan membawa manusia dari cahaya menuju kegelapan. Thaghut bukanlah berhala yang terlihat jelas bagi manusia, tetapi berhala yang terlihat seperti cahaya bagi manusia, tetapi kemudian membawanya menuju kegelapan. Orang-orang yang menyembah berhala thaghut itu menyangka bahwa dirinya mengikuti cahaya, akan tetapi sebenarnya mereka bersembah kepada thaghut yang menyesatkan. Bahkan acapkali seseorang yang tersesat dalam kegelapan karena thaghut lebih sulit untuk disadarkan daripada orang-orang yang hidup dalam kegelapan. 


ٱللَّهُ وَلِيُّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ يُخۡرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِۖ وَٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ أَوۡلِيَآؤُهُمُ ٱلطَّٰغُوتُ يُخۡرِجُونَهُم مِّنَ ٱلنُّورِ إِلَى ٱلظُّلُمَٰتِۗ أُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ [ البقرة:257-257] 

Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah thaghut, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. [Al Baqarah:257] 

Orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang Allah angkat dari kehidupan yang gelap menuju cahaya. Kehidupan mereka mungkin dahulunya gelap, akan tetapi Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Tentulah orang itu mengerti bahwa Allah telah memindahkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Pengenalan kehidupan dalam cahaya adalah fungsi dari akal dalam diri seorang mukmin. Tanpa adanya akal, seseorang tidak akan mengetahui apakah dirinya berada dalam kegelapan atau berada dalam kehidupan penuh cahaya. Kejahatan diri ataupun kebaikan tidak akan terasakan oleh orang-orang tanpa akal. 

Sebagian di antara umat nabi adalah orang-orang kafir. Mereka pernah berada dalam kehidupan cahaya akan tetapi kemudian thaghut mengeluarkan mereka dari kehidupan penuh cahaya menuju kehidupan yang gelap. Hal ini terkait dengan tipuan syaitan terhadap akal. Syaitan membuat mereka memandang baik apa yang mereka kerjakan. Syaitan menipu akal mereka sehingga menganggap pemahaman-pemahaman mereka adalah kebaikan, padahal itu adalah waham kegelapan. Kaum khawarij merupakan contoh orang-orang yang terjebak dalam waham tauhid yang salah, bersembah kepada thaghut. 

Penyembahan Thaghut 

Thaghut merupakan tuhan yang disembah karena kelemahan akal. Perkataan-perkataan tentang Allah yang disusun berdasarkan hawa nafsu dan diajarkan kepada manusia tanpa menumbuhkan akal jiwa dapat menjerat manusia dalam penyembahan kepada thaghut. Akal jiwa menjadi kunci agar manusia tidak bersembah kepada thaghut, yaitu akal jiwa yang berguna untuk mengenal kebaikan bagi semua, bukan kecerdasan yang menuntut penyembahan diri. 

Dalam tataran jasadiah, seorang nabi pun dapat menjadi berhala bagai para pengikutnya. Nabi Isa a.s dengan mu’jizatnya yang menakjubkan menjadi berhala bagi sebagian besar umat yang mengikutinya. Demikian pula banyak para alim ulama dan para pendeta yang menjadi berhala bagi para pengikutnya. Penyembahan itu bermula dari akal jiwa yang tidak tumbuh dalam menempuh jalan agama. Umat yang mengikuti nabi, alim ulama atau para rahib tanpa menumbuhkan akal jiwa akan rentan terjebak dalam penyembahan terhadap panutannya. Seringkali penyembahan itu bukan berupa sikap menjadikan seseorang menjadi tuhan, tetapi sikap mengikuti panutan dengan mengesampingkan akal dalam dirinya. 


‘Adi bin Hatim berkata bahwa dirinya mendatangi Nabi SAW dan di lehernya terdapat salib dari emas. Nabi SAW bersabda : “Wahai ‘Adi buang berhala yang ada di lehermu.” Dia mendengar Nabi SAW membaca : 

ٱتَّخَذُوٓاْ أَحۡبَارَهُمۡ وَرُهۡبَٰنَهُمۡ أَرۡبَابٗا مِّن دُونِ ٱللَّهِ وَٱلۡمَسِيحَ ٱبۡنَ مَرۡيَمَ وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُوٓاْ إِلَٰهٗا وَٰحِدٗاۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۚ سُبۡحَٰنَهُۥ عَمَّا يُشۡرِكُونَ ٣١ 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, 

« أَمَا إِنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا يَعْبُدُونَهُمْ وَلَكِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا أَحَلُّوا لَهُمْ شَيْئًا اسْتَحَلُّوهُ وَإِذَا حَرَّمُوا عَلَيْهِمْ شَيْئًا حَرَّمُوهُ 

“Adapun mereka tidaklah menyembah rahib mereka. Akan tetapi, mereka menghalalkan apa yang dihalalkan oleh rahib mereka dan mengharamkan apa yang diharamkan rahib mereka.” (HR. Tirmidzi no. 3095). 

Kisah ‘Adiy bin Hatim menggambarkan bagaimana manusia terjatuh pada penyembahan-penyembahan kepada sesuatu yang tampak sebagai cahaya. Pembawa cahaya itu pada dasarnya akan menuntun orang yang mengikutinya untuk semakin dekat dengan Allah. Akan tetapi kadangkala manusia terjebak dalam sikap-sikap penyembahan tersamar kepada pembawa cahaya-cahaya itu, bila akal yang ada dalam dirinya tidak ditumbuhkan. 

Menghalalkan apa-apa yang dihalalkan oleh para alim ulama atau para rahib, sementara hal itu merupakan suatu yang diharamkan adalah sebuah bentuk penyembahan terhadap alim ulama atau rahib. Demikian pula mengharamkan apa-apa yang diharamkan para alim ulama atau para rahib, sementara hal itu merupakan sesuatu yang dihalalkan juga merupakan sebuah bentuk penyembahan terhadap alim ulama atau rahib. Tidak boleh seseorang mengikuti seorang alim tanpa menumbuhkan akal sama sekali. Demikian pula para alim ulama tidak boleh membiarkan sikap membebek tumbuh pada umatnya hingga akal mereka tidak tumbuh untuk mengenal Allah. 

Setiap manusia harus menumbuhkan akal jiwanya agar agama di dalam dirinya tegak. Agama adalah akal yang mencerap cahaya Allah bagi dirinya dan semestanya. Tidak ada agama bagi orang yang tidak menumbuhkan akalnya. Kaum khawarij merupakan contoh lain bentuk penyembahan pada thaghut. Mereka mengikuti teks-teks yang merupakan pembawa cahaya, tetapi tidak berusaha memahaminya sesuai dengan kehendak Allah berdasarkan akalnya, tetapi mengikuti perkataan-perkataan sumir dari para alim ulama mereka.  Para alim mereka mencampuradukkan pengertian akal dengan logika jasadiah, kemudian mencegah umat islam untuk menumbuhkan akal. Para alim mereka kebanyakan pada dasarnya juga tidak mengetahui apa yang dimaksudkan dengan akal dalam firman Allah. Mereka adalah para shagair yang dijadikan panutan, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.

Jumat, 22 November 2019

Riba dan Bibit-Bibitnya



Riba sangatlah terlarang dalam islam. Orang-orang yang memakan riba dan dapat hidup tegak di atas riba sebenarnya adalah orang-orang yang tegak karena kekuasaan syaitan. Mereka berada dalam pengaruh syaitan, bukan sekadar pengaruh tetapi tergenggam erat dalam kekuasaan syaitan. Orang yang demikian telah kehilangan dirinya, tenggelam dalam harta benda, dan tidak mampu melihat beban kehidupan yang ditanggung orang lain karena perbuatannya. 

ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمۡرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَنۡ عَادَ فَأُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ ٢٧٥
Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu berhenti, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu; dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. [Al Baqarah:275] 

Perbuatan memakan riba merupakan pekerjaan yang sangat merugikan orang lain. Pemakan riba menghisap darah orang lain sehingga orang lain tidak dapat hidup dengan baik, selalu dalam penyakit kehidupan. Kelak para pemakan riba akan tenggelam dalam sungai darah dan para korbannya akan mencegah mereka keluar dari sungai darah itu, sesuai dengan pekerjaan mereka di bumi dalam menghisap darah orang lain. 

عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِى ، فَأَخْرَجَانِى إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ ، فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ رَجُلٌ قَائِمٌ ، وَعَلَى وَسَطِ النَّهْرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ ، فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِى فِى النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِى فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ ، فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِى فِيهِ بِحَجَرٍ ، فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ ، فَقُلْتُ مَا هَذَا فَقَالَ الَّذِى رَأَيْتَهُ فِى النَّهَرِ آكِلُ الرِّبَا
Dari Samurah bin Jundub, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tadi malam aku bermimpi ada dua laki-laki yang mendatangiku, keduanya membawaku ke kota yang disucikan. Kami berangkat sehingga kami mendatangi sungai darah. Di dalam sungai itu ada seorang laki-laki yang berdiri. Dan di pinggir sungai ada seorang laki-laki yang di depannya terdapat batu-batu. Laki-laki yang di sungai itu mendekat, jika dia hendak keluar, laki-laki yang di pinggir sungai itu melemparkan batu ke dalam mulutnya sehingga dia kembali ke tempat semula. Setiap kali laki-laki yang di sungai itu datang hendak keluar, laki-laki yang di pinggir sungai itu melemparkan batu ke dalam mulutnya sehingga dia kembali ke tempat semula. Aku bertanya, “Apa ini?” Dia menjawab, “Orang yang engkau lihat di dalam sungai itu adalah pemakan riba’”. [HR. al-Bukhâri] 


Bibit-bibit Riba 


Keadaan mereka semacam itu bermula dari memandang bahwa riba sama saja dengan mengambil keuntungan dalam jual beli. Riba tidaklah sama dengan jual beli. Jual beli merupakan salah satu bentuk pertukaran barang atau harta yang memberikan kebaikan bagi setiap pihak yang melakukan pertukaran. Masyarakat merupakan kumpulan manusia yang hidup bersama saling bekerja sama untuk memperoleh kebaikan antara satu terhadap yang lain. Masing-masing pihak yang melakukan jual beli harus mendapatkan keuntungan dari pihak lain. Sedangkan riba merupakan bentuk pertukaran yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak yang lain. 

Riba dapat tumbuh subur ketika masyarakat kehilangan rasa adil dalam perdagangan, sedemikian bahwa perdagangan itu menguntungkan hanya salah satu pihak dan merugikan pihak yang lain. Hal ini dapat tumbuh bila paradigma perdagangan dan jual beli semata-mata untuk mencari keuntungan saja tanpa mempertimbangkan asas manfaat.  Dengan kebiasaan jual beli demikian, seseorang, atau malah masyarakat, akan memiliki anggapan bahwa jual beli semisal dengan riba dan riba semisal dengan jual beli. Bila cara pandang demikian telah terbentuk, masyarakat akan mudah terbelit dalam sistem riba. Sebagian masyarakat menjadi orang-orang kuat yang mengeruk keuntungan dengan riba, dan sebagian besar masyarakat menjadi korban riba yang harus memberikan keuntungan bagi pemakan riba. 

Banyak bentuk-bentuk perdagangan yang dilarang rasulullah SAW dan beliau menggolongkan perdagangan tersebut sebagai riba. Ini menunjukkan adanya zona abu-abu yang memungkinkan kejadian campuraduknya antara jual beli dengan riba. Bila fenomena perdagangan dengan jenis yang dilarang rasulullah SAW marak terjadi, maka sebenarnya masyarakat tersebut telah terbelit dalam sistem riba. Boleh jadi syariat masih dipegang oleh masyarakat, tetapi sebenarnya masyarakat telah kehilangan pemahaman terhadap jual beli dan riba. Sendi-sendi kehidupan dalam masyarakat demikian sebenarnya berada dalam tekanan, dan akan semakin berat dari waktu ke waktu bila tidak dibenahi. 

Memberantas Riba Memakmurkan Bumi 


Setiap orang hendaknya menghentikan perbuatan riba, baik yang jelas ataupun yang tersamar dalam bentuk-bentuk perdagangan. Boleh jadi seorang muslim tidak melakukan riba secara jelas, tetapi terpeleset dalam melakukan perdagangan ribawi. Umat islam hendaknya berusaha merumuskan sebuah panduan (mauidzhah) dalam ekonomi perdagangan yang dapat diterapkan sesuai keadaan masyarakat saat itu, berdasarkan petunjuk Allah. Dengan mauidzah yang telah terumuskan, masyarakat harus dicegah untuk melakukan riba hingga yang tersamar. Masyarakat harus menghentikan praktik riba dan mengambil hanya bagian pokoknya saja. Barang siapa tetap melakukan riba setelah mauidzah ditetapkan, maka orang tersebut termasuk golongan ahli neraka. 

Allah akan memusnahkan riba, dan akan menyuburkan shadaqah. Ekonomi masyarakat akan tumbuh dengan baik oleh shadaqah-shadaqah yang dilakukan di antara masyarakat, dan Allah akan mempersulit kehidupan bermasyarakat bilamana riba tumbuh berkembang. 

يَمۡحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰاْ وَيُرۡبِي ٱلصَّدَقَٰتِۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ ٢٧٦ [ البقرة: 276] 

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. [Al Baqarah:276] 



Menolak mengakhiri riba merupakan bentuk kekafiran dan perbuatan dosa. Allah tidak menyukai orang-orang yang menolak untuk menghentikan perbuatan riba yang mereka lakukan, karena hal itu merupakan bentuk kekafiran dan perbuatan dosa yang melekat kuat bagi orang yang melakukannya. 

Orang-orang beriman harus berusaha menghentikan seluruh praktik riba yang terjadi di masyarakat dengan seluruh usaha, dimulai dengan perumusan mauidzah yang baik. Hal itu harus disertai dengan menegakkan diri dalam syariat agama berupa perbuatan shalih, penegakan shalat, dan menunaikan zakat agar pahala dari Allah mengalir. Hal itu akan membuat masyarakat dapat hidup dengan baik. Bilamana riba itu tetap terjadi di antara masyarakat, maka hendaknya diumumkan bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangi mereka. 

فَإِن لَّمۡ تَفۡعَلُواْ فَأۡذَنُواْ بِحَرۡبٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَإِن تُبۡتُمۡ فَلَكُمۡ رُءُوسُ أَمۡوَٰلِكُمۡ لَا تَظۡلِمُونَ وَلَا تُظۡلَمُونَ ٢٧٩ [ البقرة-279] 

Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [Al Baqarah:279] 

Memasuki zaman akhir, akan ada masa peperangan besar antara kebenaran dengan para pendosa. Allah akan menunjukkan sebuah tajalliat-Nya dalam martabat rabbul ‘alamin yang dapat dilihat oleh makhluk di bumi, yaitu tajalliat-Nya berupa Malik. Tajalliat tersebut akan lebih besar daripada tajalliat-Nya ketika menuntun Bani Israel lari dari negeri Mesir. Peperangan akhir jaman itu akan terjadi antara orang beriman terhadap para pendosa, dan orang-orang beriman akan dituntun oleh tajalliat-Nya sebagai Malik. Para penguasa dunia dengan sistem riba, hingga para pelaku riba yang kecil akan diperangi hingga tuntas. 

Kamis, 14 November 2019

Ta’addud/Poligami dan Amal Shalih

Pernikahan merupakan media bagi seseorang untuk menumbuhkan pohon thayibah dalam dirinya. Seorang laki-laki adalah benih pohon thayyibah dan perempuan menjadi ladang tempat pertumbuhan jiwa suaminya. Untuk menjadi pohon thayyibah, seorang laki-laki harus menikah dengan perempuan. Pertumbuhan pohon thayyibah seorang laki-laki akan menjadikan laki-laki tersebut dapat memperoleh jalan kehidupan yang telah ditentukan baginya. Dirinya akan mengerti amal-amal yang harus dikerjakannya sebagai amal shalih. 

Amal shalih itu adalah buah-buahan yang harus dihasilkannya bagi orang lain. Dengan demikian dirinya menjadi orang yang mendapatkan nikmat Allah. Dengan menikah, dirinya akan mengerti buah yang harus dihasilkan. Hal ini bisa terjadi bila sebuah pohon tertanam pada media ladang. Tanpa media ladang, sebuah pohon akan kesulitan memperoleh bahan-bahan untuk menghasilkan buah. Hal itu adalah permisalan pernikahan. 

Untuk urusan demikianlah petunjuk jodoh dari jiwa dihadirkan. Kadang-kadang seorang laki-laki sedemikian dipaksa untuk menikah lagi dengan seorang perempuan. Surah An-Nisaa menyebutkan pernikahan ta’addud mendahului perintah menikah dengan satu perempuan. Ada urgensi tertentu menyangkut keumatan yang harus ditunaikan terkait seorang laki-laki yang menyebabkan perintah menikah ta’addud tersebut datang. 



وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ ٣ [ النساء:3-]3

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku setimbang terhadap perempuan yatim, maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. [An Nisa":3] 


Kadangkala seorang laki-laki harus melakukan pernikahan ta’addud. Menikah ta’addud merupakan fungsi pelaksanaan keadilan. Setiap laki-laki mempunyai amanah dari Allah yang harus ditunaikan bagi kepentingan orang lain. Untuk melaksanakan amanah tersebut, terdapat pasangan perempuan pembawa khazanah yang menjadi representasi amanahnya, yang menuntun laki-laki tersebut melaksanakan amanahnya. Jika seorang laki-laki mampu melihat khazanah seorang perempuan, dan melihat bahwa khazanah itu bagi dirinya, maka laki-laki itu dikatakan laki-laki adil. Bila tidak, seorang laki-laki belum termasuk dalam kategori adil, maka hendaknya laki-laki tersebut menikah hanya dengan satu isteri saja sebagai media untuk pertumbuhan jiwa. 

Jodoh, Rezeki dan Iman 


Perjodohan merupakan salah satu kunci dalam mencari nikmat Allah. Jodoh yang berasal dari nafs seorang laki-laki akan dapat mewujudkan wahana untuk mengantarkan laki-laki itu mencapai kedudukan sebagai orang yang diberi nikmat Allah, yaitu termasuk dalam golongan shalihin, syuhada atau shiddiqin. Setiap mukmin atau mukminat hendaknya memperhatikan calon pasangan dengan sebaik-baiknya agar menemukan jodoh yang berasal dari satu jiwa. 

Perjodohan yang tepat juga akan membuka jalan rezeki bagi pasangan yang menikah. Allah membukakan sebuah jalan rezeki tertentu bagi setiap pasangan. Jalan rezeki ini juga merupakan nikmat Allah. Perjodohan jiwa adalah gerbang nikmat Allah bagi setiap manusia, demikian pula jalan rezeki dari keberpasangan ini merupakan nikmat Allah. Jalan rezeki ini acapkali terkalahkan oleh perhitungan-perhitungan yang bathil. 


وَٱللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا وَجَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَزۡوَٰجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةٗ وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِۚ أَفَبِٱلۡبَٰطِلِ يُؤۡمِنُونَ وَبِنِعۡمَتِ ٱللَّهِ هُمۡ يَكۡفُرُونَ ٧٢ [ النحل:72-72] 

Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jiwa kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?" [An Nahl:72] 

Kadangkala jodoh yang diciptakan dari jiwa tidak sesuai dengan selera hawa nafsu seseorang. Satu sama lain tidak mau menerima pasangan jiwanya. Hal ini sebenarnya dipermasalahkan dalam beragama. Allah menyindir keimanan orang-orang yang menolak jodoh yang diciptakan dari jiwanya, atau orang yang ragu dengan rezeki untuk menikah, dengan firman-Nya : Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?" [An Nahl:72] 

Mengetahui jodoh yang diciptakan dari satu jiwa tidak terjadi pada banyak orang. Orang-orang tertentu dapat mengenali jodoh dari satu jiwa melalui keimanannya. Akan tetapi hal itu tidak menjamin keimanannya, karena bisa jadi dia terpeleset karena menolak jodoh jiwanya. Orang-orang demikian hampir-hampir terjebak pada keimanan kepada hal bathil dan kufur terhadap nikmat Allah. Allah mempertanyakan keimanan orang-orang yang berbuat demikian. 

Barangkali tidak seluruh fenomena terpisahnya seseorang dengan jodoh jiwanya setelah mengetahuinya termasuk dalam kekufuran, sehingga Allah menggunakan kalimat pertanyaan. Setiap pihak harus mengevaluasi dengan sebaik-baiknya seluruh perbuatannya yang terkait dengan penolakan atas jodoh jiwanya dan memperbaiki kesalahan tersebut. Bila Allah masih berkenan memperbaiki kesalahan, boleh jadi Allah menimpakan beberapa musibah agar seseorang mau menempuh jalan yang dikehendaki-Nya. Bila Allah tidak berkenan, maka akan dibiarkan orang itu bergelimang dalam kebathilan. 

Misalnya bila seorang yang shalih yang berhasil dalam kehidupannya, dan merasa nyaman dan tenteram dengan istrinya, kemudian memperoleh berita tentang jodoh jiwanya. Hal ini mungkin membuat tidak nyaman dan laki-laki tersebut boleh jadi cenderung untuk mengabaikan berita, menduga bahwa berita itu berasal dari hawa nafsu. Jika Allah berkenan, berita itu akan diulang kembali dengan intensitas lebih kuat. Bila tidak meyakini kebenaran beritanya, boleh jadi Allah akan membuat laki-laki tersebut mengetahui secara nyata hingga jasadiah bahwa perempuan tersebut adalah jodoh jiwanya. Bila merasa berat juga, boleh jadi Allah akan menghilangkan hijab yang menutup hatinya dengan paksa sehingga jodoh jiwa itu masuk ke dalam hatinya. Misalnya bila hijabnya adalah kenyamanan berumah tangga dengan istrinya, maka Allah dapat membuat seolah-olah istrinya meninggalkan dirinya, sehingga jodoh jiwanya masuk ke dalam hatinya. Mungkin ada hukuman-hukuman atas seluruh tindakan yang dilakukan seseorang dalam menolak jodoh jiwanya, bila Allah masih berkenan mengampuninya. Bila Allah tidak berkenan atas tindakan penolakan seseorang atas jodoh jiwanya, boleh jadi Allah membiarkannya dalam kebathilan. 

Tanda-Tanda Jodoh Jiwa 


Menemukan jodoh jiwa adalah gerbang keselamatan dari kedzaliman. Hal ini terkisahkan dalam peristiwa Musa ketika memberikan minum bagi puteri Syuaib a.s di Madyan. Beberapa tanda keberjodohan jiwa dapat kita temukan pada kisah tersebut. 

فَجَآءَتۡهُ إِحۡدَىٰهُمَا تَمۡشِي عَلَى ٱسۡتِحۡيَآءٖ قَالَتۡ إِنَّ أَبِي يَدۡعُوكَ لِيَجۡزِيَكَ أَجۡرَ مَا سَقَيۡتَ لَنَاۚ فَلَمَّا جَآءَهُۥ وَقَصَّ عَلَيۡهِ ٱلۡقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفۡۖ نَجَوۡتَ مِنَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلظَّٰلِمِينَ ٢٥ [ القصص:25-25

Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan malu-malu, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu untuk memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum kami". Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu". [Al Qasas:25] 

Seorang laki-laki pasangan jiwa adalah laki-laki yang dapat memberikan minuman pengetahuan bagi jiwa pasangannya. Seorang puteri pasangan jiwa akan datang dengan malu-malu, membawa harapan terpendam terhadap sang laki-laki untuk menumbuhkan jiwa mereka bersama-sama. Dengan kemampuan Musa memberikan minum, puteri Syuaib a.s sangat berharap agar Musa menggembalakan ternak-ternak mereka. Tentu hal ini hanya bisa terjadi bila telah terjadi interaksi atau ta’aruf antara seorang laki-laki dan perempuan. Tanpa ta’aruf, seringkali hanya prasangka yang timbul di antara seorang laki-laki dan perempuan, bukan pengenalan yang benar antara satu pihak terhadap yang lain. 

Tingkat keberpasangan jiwa antara seorang laki-laki dan perempuan dapat diukur berdasarkan nilai khazanah jiwa wanita yang dapat ditimba dan diberikan oleh seorang laki-laki kepada pasangannya. Ini merupakan parameter utama dalam mencari keberjodohan. Ada keberpasangan yang rapi dalam jodoh jiwa, dimana kemampuan laki-laki menimba khazanah akan setimbang dengan kehausan wanita akan kebenaran. Wanita yang kuat dalam keinginan mencari makna kehidupan, haus akan kebenaran, seharusnya berpasangan laki-laki yang kuat menimba khazanah pengetahuan dalam diri istrinya. Haus dan kekuatan menimba adalah hal yang sama dalam peran yang berbeda. Kemampuan menimba ilmu pada diri laki-laki tergantung ukuran timba, yang selaras dengan tingkat kehausannya. Musa yang haus kebenaran menjadi kuat dan terpercaya, harus dipasangkan dengan putri Syuaib a.s. 

Hal ini harus dimengerti oleh wali sang perempuan. Wali harus mempertimbangkan keberjodohan jiwa puterinya, dan melakukan komunikasi kepada jodoh yang puterinya cenderung kepadanya. Mekanisme penemuan jodoh harus berjalan oleh, atau setidaknya melibatkan masing-masing pasangan, sedangkan mengukur perjodohan seorang puteri dan menikahkan, termasuk menanyakan pada pihak laki-laki, harus dilakukan oleh wali karena banyak hambatan psikologis dan hawa nafsu pada perempuan. Harta, kedudukan dan keelokan acapkali memburamkan pandangan seseorang dalam mencari keberjodohan. Dewasa ini bahkan banyak manusia sangat terampil untuk menebarkan pesona bagi lawan jenis, dengan tujuan jahat ataupun agar mendapatkan sekadar simpati dalam pergaulan. Hal ini tidak boleh membuyarkan pandangan dalam mencari jodoh. Keberpasangan itu pada jiwa yang haus akan kebenaran, sedangkan keterpesonaan mungkin terjadi pada hawa nafsu. Laki-laki yang thayyib harus mendapatkan perempuan thayyibat, dan laki-laki khabits harus dipasangkan dengan perempuan khabitsat.

Minggu, 10 November 2019

Menemukan Bumi Diri


Allah menciptakan manusia untuk menjadi pemakmur bumi. Allah menjadikan bumi sebagai tempat beredar dan menjadikan langit sebagai bangunan. Dengan bumi dan langit yang benar, Allah berkehendak untuk memberikan shurah kepada manusia dengan shurah yang sebaik-baiknya dan memberikan rezeki melalui ath-thayyibat agar manusia mengenal Allah. 

ٱللَّهُ ٱلَّذِي جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَرۡضَ قَرَارٗا وَٱلسَّمَآءَ بِنَآءٗ وَصَوَّرَكُمۡ فَأَحۡسَنَ صُوَرَكُمۡ وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِۚ ذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ رَبُّكُمۡۖ فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
QS Ghafir : 64. Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai bangunan, dan memberikan kamu shurah (citra) lalu membaguskan shurahmu serta memberi kamu rezeki dari yang baik-baik (Ath-Thayibaat). Yang demikian itu adalah Allah Tuhanmu, Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam. 

Bumi adalah alam jasadiah manusia. Di alam jasadiah itulah manusia ditempatkan agar menjadi pemakmurnya. Akan tetapi manusia bukanlah sepenuhnya makhluk jasadiah. Ada aspek langit yang merupakan jati diri manusia, yaitu jiwa manusia. Jiwa manusia adalah langit yang harus dibangun oleh setiap manusia agar mengenal Allah. Allah menjadikan jiwa sebagai lokus pembangunan/pembinaan setiap manusia, sedemikian jiwa itu akan terbina sesuai dengan shurah (citra) yang dikehendaki Allah dalam citra yang sebaik-baiknya. 

Untuk pembinaan jiwa yang sebaik-baiknya, setiap orang harus menemukan bumi yang tepat sebagai tempat tinggal. Bumi diri yang tepat akan mengantarkan manusia untuk membangun jiwanya hingga memperoleh shurah yang sebaik-baiknya. Jiwa itu adalah jati diri manusia yang dapat mengenal Allah. Terdapat qalb dalam jiwa manusia yang dapat menjadi tempat bagi bangunan baitullah. 

Ismail a.s telah menggambarkan bagaimana seseorang berproses untuk membangun baitullah. Ketika masih bayi, beliau bersama ibunya Hajar r.a harus menempati bumi yang tepat. Mereka berdua adalah representasi dari seorang manusia yang harus berjalan menuju Allah dengan membangun baitullah. Bayi Ismail adalah representasi jiwa yang terdapat dalam diri seorang manusia, dan Hajar r.a merupakan representasi raga manusia. Raga yang membawa jiwa yang masih bayi itu harus menempati bumi diri yang tepat agar seseorang dapat membangun baitullah dalam dirinya. 

Demikian pula setiap manusia harus berusaha untuk menemukan, menempati dan memakmurkan bumi diri untuk membangun baitullah di dalam dirinya. Setiap manusia harus mengusahakan dengan sepenuh jiwa raga pemakmuran bumi diri sehingga muncul sumber-sumber kehidupan dalam ruang buminya. Hal itu tergambar dalam upaya Hajar r.a mencari sumber mata air dengan tujuh kali bolak-balik melakukan pencarian pada bukit Shafaa dan Marwa, hingga muncul sumber air pada jejak kaki bayi Ismail. 

۞إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلۡمَرۡوَةَ مِن شَعَآئِرِ ٱللَّهِۖ فَمَنۡ حَجَّ ٱلۡبَيۡتَ أَوِ ٱعۡتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَاۚ وَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرٗا فَإِنَّ ٱللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ 

QS Al-Baqarah : 158. Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber'umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebaikan dengan ketaatan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui. 

Peristiwa tersebut diabadikan dalam ibadah sa’I, yaitu melakukan thawaf pada kedua bukit Shafaa dan Marwa. Bagi setiap manusia yang hendak membangun baitullah dalam dirinya, atau menjalankan urusan pemakmuran bumi, hendaknya dirinya mencontoh Hajar r.a menemukan bumi diri dan mengusahakan sumber-sumber kehidupan padanya. Shafaa dan Marwa merupakan syi’ar Allah yang menjadi monumen panduan bagi yang ingin mengikutinya. Berhaji dan umrah adalah membangun baitullah dalam diri, dan berupaya memakmurkan bumi. 

Membangun baitullah dalam jiwa dan pemakmuran bumi adalah ketaatan dalam mencari kebaikan. Barangsiapa mengerjakan ketaatan dalam mencari kebaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri dan Maha Mengetahui. Allah akan memberikan rizki melalui Ath-Thayyibaat bagi orang-orang yang memakmurkan buminya dan membangun jiwanya hingga terbentuk baitullah dalam dirinya. 


Bumi Diri Umat 



Agama telah diturunkan secara sempurna bagi manusia. Syiar-syiar telah dipancangkan agar manusia mengikuti langkah-langkah para panutan umat dalam mencari jalan bagi masing-masing untuk berjalan menuju Allah. Jalan-jalan itu telah diletakkan Allah bagi masing-masing manusia di bumi saat ini, lengkap dengan segala petunjuknya dalam kitabullah. Manusia hendaknya mencari jalan bagi masing-masing sesuai dengan agama. 

Allah telah meletakkan kiblat bagi kehidupan manusia. Ka’bah adalah monumen baitullah yang dijadikan kiblat bagi manusia. Demikian pula tabut Musa dijadikan monumen baitullah bagi bani Israel. Keduanya adalah monumen yang dijadikan kiblat bagi umat. Akan tetapi baitullah yang sebenarnya harus dibangun adalah baitullah yang ada di dalam hati. Untuk membangun baitullah itu, seseorang harus menemukan bumi diri. Bumi diri bagi pohon thayyibah adalah pasangan yang diciptakan dari jiwanya. Wanita itu adalah ladang bagi laki-laki, 

Menemukan bumi diri adalah menemukan sumber air. Hal ini dikisahkan oleh Musa ketika pergi dari mesir ke negeri Madyan. Hajar r.a dan bayi Ismail menemukan sumber air di lembah Bakkah, demikian pula Musa muda menemukan sumur di negeri Madyan. Itu adalah sumber air bagi mereka masing-masing. Ada kesamaan cerita pada kedua kisah tersebut, yaitu adanya laki-laki dan perempuan sebagai representasi jiwa dan raga. Bayi Ismail bersama Hajar r.a sedangkan Musa muda menemukan calon pasangan hidupnya, yaitu puteri sulung Syuaib a.s. 

Perjodohan merupakan sebuah ayat yang besar. Pernikahan menjadi setengah bagian dari agama. Pernikahan berdasarkan perjodohan yang tepat akan menjadi setengah bagian dari agama seseorang, sedangkan memilih perjodohan berdasarkan pertimbangan lain dengan mengalahkan perjodohan jiwa merupakan kebathilan. Perjodohan yang tepat adalah gerbang untuk mencapai nikmat Allah, yaitu shirat al-mustaqim. Dengan perjodohan yang tepat itulah seseorang akan memperoleh bumi diri yang tepat, tempat dimana sumber air bagi jiwanya muncul, tempat baitullah dapat terbina dengan baik di dalam hati karena jiwa yang memperoleh bagian dirinya secara tepat. 

وَٱللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا وَجَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَزۡوَٰجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةٗ وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِۚ أَفَبِٱلۡبَٰطِلِ يُؤۡمِنُونَ وَبِنِعۡمَتِ ٱللَّهِ هُمۡ يَكۡفُرُونَ 

QS An-Nahl : 72. Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jiwa kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?" 

Pasangan jiwa merupakan bagian diri dari seseorang. Menikah dengan pasangan jiwa adalah mengumpulkan bagian diri yang terserak. Kesatuan jiwa seseorang akan sempurna hanya dengan menikah dengan pasangan jiwanya. Dengan jiwa yang sempurna, maka bangunan jiwa itu akan dapat mencapai sempurna sebagai shurah yang sebaik-baiknya. 

Memilih pasangan wanita merupakan cerminan sikap seseorang terhadap dunia. Seseorang yang mencintai dunia akan mudah terombang-ambingkan oleh waham dunia dalam memilih pasangan wanita. Seseorang yang hatinya tulus ikhlas menuju Allah akan mudah melihat dan memilih pasangan yang diciptakan dari jiwanya, sedangkan hati yang masih bercampur-campur akan membuat proses pemilihan pasangan akan berganti-ganti, sesuai dengan keadaan dirinya. 

Seseorang yang ikhlas seringkali dapat menentukan pasangan jiwanya di antara banyak pilihan para wanita yang baik dan menarik hatinya, atau kadang Allah menutup pilihan terhadap para wanita dan membuka pilihan pada jodoh jiwanya saja, atau kadangkala Allah menghadirkan berita wanita pasangan jiwanya tanpa sebuah keinginan sedikitpun. Keikhlasan hati akan mewarnai proses pemilihan bagi dirinya. Ibarat Musa yang harus memilih, atau hajar r.a yang tidak mempunyai pilihan, dirinya akan mendapatkan bumi diri yang tepat. 

Seseorang yang mencintai dunia akan mendapatkan pilihan yang banyak sesuai dengan keadaan dirinya. Seringkali tidak satupun di antara para wanita yang menjadi pilihannya adalah pasangan jiwanya, tetapi hanya wanita-wanita yang sesuai dengan hawa nafsu ataupun malah hanya syahwatnya semata. 

Banyak di antara manusia yang berusaha mencari pasangan jiwa untuk kebaikan dirinya, akan tetapi masih ada kecintaan-kecintaan pada dunia yang melekat dalam hati. Ini akan mempengaruhi proses pemilihan pasangan. Banyak wanita yang baik datang dalam pikirannya dengan berbagai variasi kriteria dan bermacam-macam kombinasi. Ada kecantikan, kekayaan, kedudukan dan keshalihan calon-calon yang ingin dipilihnya. Bila datang berita tentang pasangan, berita itu kadang datang banyak dan berganti-ganti. Mungkin di antara yang datang ada pasangan yang diciptakan dari jiwanya. Semua proses pemilihan pasangan itu tergantung bagaimana keikhlasan hati seseorang. 

Pada masalah berita tentang jodoh, Allah menyindir keimanan seseorang yang lebih memilih kebatilan daripada nikmat Allah. Bila seseorang telah mendapatkan berita tentang jodoh jiwanya, hendaknya dirinya memilih jodoh jiwanya. Menolak atau memilih pasangan yang lain adalah kebatilan. Jodoh dari jiwa adalah suatu hal yang besar untuk membangun baitullah dalam diri seseorang, sehingga tidak pantas seseorang lebih beriman pada kebatilan daripada nikmat Allah. Jodoh jiwa adalah bumi diri bagi seseorang. Kehidupannya akan bergerak mengarah pada penyempurnaan jiwanya dengan shurah yang sebaik-baiknya dengan menikahi jodoh jiwanya.

Kamis, 07 November 2019

Menemukan Rezeki dalam Pernikahan


Menikah akan mendatangkan rezeki. Seorang laki-laki atau perempuan hendaknya tidak menunggu memiliki kekayaan yang banyak untuk menikah, atau merasa ragu untuk menikah ketika sedang tidak memiliki harta yang banyak. Allah akan memberikan suatu jalan rezeki kepada orang-orang yang menikah bila terbentuk suatu ikatan tertentu di antara mereka. Ikatan tersebut adalah at-thayyibaat. 

وَٱللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا وَجَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَزۡوَٰجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةٗ وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِۚ أَفَبِٱلۡبَٰطِلِ يُؤۡمِنُونَ وَبِنِعۡمَتِ ٱللَّهِ هُمۡ يَكۡفُرُونَ

QS An-Nahl : 72. Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jiwa-jiwa kalian sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberi kalian rezeki dari yang baik-baik (atthayyibaat). Maka apakah mereka beriman terhadap yang bathil dan kufur terhadap nikmat Allah?"

Ath-thayyibaat dalam ayat tersebut menunjuk pada suatu bentuk hubungan yang tumbuh di antara seorang suami dengan istrinya. Ikatan suami istri akan membuat seorang laki-laki terhubung secara bathin terhadap istrinya sebagaimana suatu pohon terhubung dengan ladang tempat tumbuhnya. Ada hakikat-hakikat kebenaran yang terkandung dalam diri seorang istri yang dapat diperoleh oleh suaminya. Dengan pernikahan, seorang laki-laki akan tumbuh bagaikan pohon. Seorang istri adalah bagian dari diri suaminya, dan suami merupakan asal penciptaan dari seorang istri. 

Mengusahakan Jalan Rezeki


Untuk memperoleh jalan rezeki itu, harus terbentuk hubungan yang baik di antara suami istri, ibarat perakaran harus terbentuk oleh pohon pada sebuah ladang. Sebagai langkah awal, masing-masing harus berusaha memilih dan mengenali dengan sebaik-baiknya calon pasangan menikahnya. Pohon dengan ladang harus bersesuaian. Setiap perempuan diciptakan dari nafs laki-laki tertentu, yang diberi amanat tertentu diantara jamaah manusia. Hendaknya laki-laki dan perempuan berusaha menemukan pasangan jiwanya, atau berusaha menemukan setidaknya yang urusannya mendekati pasangan jiwanya. Langkah berikutnya, seorang suami harus berusaha meningkatkan akhlak al karimah dalam dirinya, dan istri harus berusaha menjadi wanita yang penuh cinta kasih, subur dan selalu berusaha kembali kepada suaminya. Dengan memperbaiki keadaan diri masing-masing, akan tumbuh ikatan yang baik di antara keduanya berupa ath-thayyibat. Ikatan itu yang akan membentuk sebuah jalan rezeki dari Allah. 

Keterbukaan jalan rezeki semacam itu mungkin tidak terasakan jelas pada awal-awal pernikahan, karena ikatan ath-thayyibat belum terbentuk kuat. Seorang suami harus berusaha memperhatikan istrinya dengan hatinya, dan isteri harus memperhatikan perkembangan suaminya dan mengikutinya. Perlahan-lahan akan terbentuk suatu jalan rezeki yang baik bagi keduanya. Sumber rezeki duniawi bagi keduanya akan tampak pada isteri, dan suami dapat melihatnya. Bila telah terbentuk, kadang-kadang jalan rezeki ini terbuka dengan lebar dan deras melampaui kemampuan suaminya menangani. Demikian pula jalan rezeki bagi jiwa mereka akan terbuka dari langit. 

At-thayyibat merupakan bentuk hubungan yang memunculkan keharuman-keharuman asma Allah dalam bentuk-bentuk keadaan, bagi seseorang yang berjalan menuju Allah. Selain terbentuk dari hubungan yang baik di antara suami-istri, keterbukaan jalan rezeki melalui ath-thayyibat juga harus diusahakan secara bersamaan dengan memperhatikan keadaan bumi dan langit, alam jasadiah dan jiwa. Ikatan pernikahan dan memperhatikan langit dan bumi akan membentuk Ath-thayyibaat. Keduanya merupakan jalan parallel yang harus ditempuh bersamaan oleh seorang laki-laki untuk menemukan jalan munculnya rezeki, yaitu dengan memperhatikan istrinya dan memperhatikan keadaan bumi dan langitnya. Mengabaikan satu hal akan berpengaruh terhadap jalan lainnya. 

ٱللَّهُ ٱلَّذِي جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَرۡضَ قَرَارٗا وَٱلسَّمَآءَ بِنَآءٗ وَصَوَّرَكُمۡ فَأَحۡسَنَ صُوَرَكُمۡ وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِۚ ذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ رَبُّكُمۡۖ فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ

QS Ghaafir : 64. Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kamu sebagai tempat menetap dan langit sebagai bangunan, dan memberikan kalian shurah (citra) lalu membaguskan shurah (citra) kalian serta memberi kamu rezeki dari yang baik-baik (at-thayyibaat). Yang demikian itu adalah Allah Tuhanmu, Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam.

Ath-thayyibat dalam ikatan pernikahan mempunyai makna yang sama dengan ath-thayyibaat dengan memperhatikan langit dan buminya. Hal itu berkaitan dengan pengenalan terhadap citra (shurah) yang diberikan Allah terhadap seseorang. Citra diri (Shurah) tersebut akan dikenali seseorang melalui pengamatan terhadap keadaan bumi dan langit. Seseorang akan mengenali citra dirinya dengan mengenali fungsinya bagi bumi dan langitnya. Seiring dengan hal itu, dirinya juga dapat mengenali shurahnya melalui diri istrinya sebagai cermin. Pengenalan citra diri tersebut tidak akan diperoleh bila seseorang tidak memperhatikan bumi dan langitnya, atau mensia-siakan istrinya. Rezeki bagi jiwa mereka akan mengantarkan seorang laki-laki untuk mengenal citra diri yang diberikan Allah. Dia akan mengenal untuk apa dirinya diciptakan. Bila istrinya berjalan seiring bersama suami, istri juga akan mengenal bahwa dirinya adalah pendamping yang membantu suaminya dalam menjalankan urusan Allah. Istri akan menemukan sumber mata airnya pada diri suaminya. Dengan kesepahaman ini maka seorang laki-laki akan menjadi khalifatullah yang bertugas untuk menjadi pemakmur bumi. 

Menjaga Jalan Rezeki

Banyak hal yang akan menghambat perkembangan hubungan antara suami istri. Setiap pihak harus mempunyai niat yang ikhlas dalam hubungan pernikahan mereka. Perbedaan-perbedaan cara pandang antara suami istri pasti akan terjadi. Hal ini seharusnya menjadi sarana untuk mempertajam citra diri mereka dan mengarahkan tujuan kehidupan mereka pada tujuan yang lebih tepat. Akan tetapi tidak jarang perbedaan ini justru menjadi kerikil yang menghancurkan sarana turunnya rezeki bagi mereka, atau malah dapat menghancurkan pernikahan. Setiap pihak harus berusaha memperhatikan satu sama lain agar kehidupan mereka berjalan baik. 

Bentuk perhatian antar pihak harus tumbuh dari hati. Namun demikian bentuk-bentuk ekspresi perhatian tetaplah diperlukan. Kadangkala cara berkomunikasi menjadi kendala. Beberapa orang memperhatikan pasangannya bagaikan silent reader yang menelaah bacaannya secara komprehensif. Hal ini bisa menjadi masalah, seolah-olah dirinya tidak memperhatikan pasangannya, padahal dirinya sangat mengerti pasangannya. Bila diperhatikan dengan menggunakan hati, mungkin masalah itu tidak terjadi, namun kebanyakan orang membutuhkan ekspresi yang bisa dipersepsi dengan jelas. 

Kadangkala kerusakan muncul dari luar karena ulah syaitan yang berusaha memisahkan seorang laki-laki dari istrinya. Dengan kerusakan pernikahan, jalan rezeki berupa ath-thayyibaat itu pun menjadi rusak sehingga sepasang suami istri tidak mendapatkan rezeki melaluinya. Syaitan mempunyai banyak cara dan tipuan untuk memisahkan suami istri. Beberapa cara syaitan memisahkan suami dan istri membutuhkan campur tangan manusia lain agar tipuan itu berguna. 

Syaitan tidak hanya mengandalkan keahlian mereka sendiri berupa sihir untuk menipu manusia. Syaitan juga mempelajari ilmu dari malaikat, di antaranya ilmu malaikat Harut dan Marut, untuk memisahkan seorang laki-laki dengan istrinya. Bila sihir mempunyai aroma syaitan yang kuat, tidak demikian dengan ilmu malaikat Harut dan Marut. Ilmu itu tampak seperti ilmu yang membina kasih sayang antara laki-laki dan perempuan, tetapi sebenarnya itu sebuah fitnah yang dapat digunakan oleh syaitan untuk memisahkan antara seorang suami dengan istrinya. 

Qadzaf merupakan suatu contoh pekerjaan syaitan merusak pernikahan melalui tangan manusia, yaitu menanamkan sesuatu di dalam hati orang lain. Sihir, pengasihan dan guna-guna merupakan bentuk contoh qadzaf. Seorang mukminat yang shalihah dan benar-benar menjaga kehormatan diri dalam rumah tangganya dapat tertimpa qadzaf, sehingga tumbuh dalam hatinya suatu perasaan tertentu kepada seorang laki-laki selain suaminya sedemikian sehingga tingkah lakunya terpengaruh oleh laki-laki lain tersebut. Hal ini bukan kesalahan dari wanita tersebut. Dalam hal qadzaf, seorang mukmin atau mukminat tidak selalu terlindungi karena ada ilmu malaikat yang bisa digunakan oleh seseorang yang melakukan qadzaf, tidak semata-mata ilmu sihir dari syaitan. 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اِجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوْا: وَمَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ.

“Jauhilah tujuh dosa besar yang membinasakan.” Para Sahabat bertanya, “Apa itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan qadzaf terhadap wanita mukminat yang lalai serta menjaga kehormatannya.” (HR. Bukhari, no. 2766)

Melakukan qadzaf merupakan sebuah dosa besar yang diberi istilah al-mubiqaat. Dosa akibat qadzaf dapat disetarakan dengan dosa besar lain semacam syirik, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan, memakan riba, memakan harta anak yatim dan lari dari medan perang. Qadzaf dapat menghancurkan kehidupan bermasyarakat, dimulai dengan menghancurkan sepasang laki-laki dan perempuan dalam pernikahan mereka. Suaminya akan merasakan hal yang aneh dengan istrinya, dan pernikahannya, dan istrinya mengetahui lebih jelas keanehan dalam dirinya ketika tertimpa qadzaf, tetapi untuk mengatakan atau berterus-terang kepada suaminya sangat memalukan. Dengan qadzaf, jalan rezeki dari ath-thayyibaat di antara keduanya akan hancur sehingga rezeki mereka terhambat. 

Dalam hal bathin, seorang laki-laki masih mungkin mendapatkan rezekinya walaupun keluarganya tertimpa qadzaf dari orang lain. Khazanah bathiniyah istrinya masih dapat dibaca oleh suaminya bila suaminya bertaubat menuju Allah, tetapi itu tidak merembes hingga jasadiahnya. Istri merupakan sarana agar keberhasilan terlahir secara dzahir. Khazanah untuk rezeki dzahir mereka melalui jalan ath-thayyibaat akan tertutup. Suasana dalam rumah tangga relatif sangat panas, dimana hawa nafsu kemarahan sangat mudah tersulut. Istri tidak akan dapat berjalan dengan benar untuk menjadi wanita yang penuh cinta kasih, subur dan selalu kembali kepada suaminya, sebaliknya akan tajam dan peka dalam melihat kekurangan dan kesalahan-kesalahan suaminya, sedangkan suaminya akan secara nyata melakukan banyak kesalahan karena wahana jiwanya buruk. Walaupun secara dzahir mungkin menampakkan ibadah yang baik, seorang wanita yang tertimpa hal demikian akan sangat sulit menumbuhkan sifat-sifat wanita ahli surga dalam dirinya. 

Dalam hal ini, kesalahan tidak disebabkan oleh salah satu pihak dalam pernikahan, tetapi karena syaitan berhasil menimpakan madlaratnya kepada mereka melalui orang lain. Bilamana pasangan tersebut berhasil keluar dari qadzaf, keduanya harus berusaha membangun kembali hubungan ath-thayyibat di antara mereka. Jalan rezeki itu tidak akan berhasil dibangun oleh salah satu pihak saja. Suami dan istri harus bersama-sama kembali menjalin hubungan yang baik di antara mereka, seperti memulai rumah tangga. 

Ath-thayyibat Sebagai Bagian Dari Iman

Jalan rezeki at-thayibat ini akan membuat seseorang selalu menyadari bahwa Allah lah yang memberikan rezeki kepada mereka, bukan hanya perkataan yang diucapkan. Seseorang dapat tumbuh sebagai pelaku ekonomi atau tokoh pada bidangnya yang tidak tergoyahkan oleh kekacauan-kekacauan yang terjadi pada lingkungan sekitarnya bila telah menemukan jalan rezeki demikian. Jalan rejeki ini merupakan jalan rezeki yang tumbuh berdasarkan keimanan. 

Allah mempertanyakan keimanan orang yang meragukan hal ini. Maka apakah mereka beriman terhadap yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?". (QS An-Nahl : 72) 

Perjodohan jiwa manusia adalah nikmat Allah, sedangkan kedudukan, harta, kecantikan dan hawa nafsu lain adalah kebathilan bila dijadikan prioritas lebih utama dalam memilih suami atau istri daripada perjodohan jiwa. Jalan rejeki dari ath-thayyibaat adalah nikmat Allah bagi umat manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman kepadanya, justru kebanyakan beriman kepada jalan-jalan rezeki yang lain yang boleh jadi merupakan jalan kebatilan. Jalan rezeki ini terdapat dalam pernikahan, bila disertai dengan kepedulian dalam memperhatikan kepada bumi dan langit mereka. 

Menolak jodoh jiwanya setelah Allah memberikan berita adalah kekufuran terhadap nikmat Allah. Ini bisa terjadi pada orang yang sebenarnya telah bertaubat menuju Allah. Jodoh jiwa merupakan tangga awal untuk mengenal Allah. Pengenalan dan pernikahan terhadap jodoh jiwa akan mengantar seseorang untuk mengenal nafs, dan mengenal nafs merupakan gerbang pengenalan kepada Allah. Jodoh jiwa adalah gerbang orang yang akan diberi nikmat, sehingga dirinya melihat shirat al-mustaqim. 

Rabu, 30 Oktober 2019

Perjodohan yang Baik Sebagai Proses Pemakmuran Bumi


Pembinaan jiwa, penghamparan wawasan dan tumbuhnya akal akan memulai proses pemakmuran bumi sesuai dengan kehendak Allah. Namun semua hal itu belum tentu dapat terimplementasi di bumi, karena harus melalui perjodohan sebagaimana seorang laki-laki tidak dapat melahirkan seorang anak tanpa istri. Ada sebuah proses yang akan membuat semua kemajuan itu dapat diimplementasikan secara membumi, yaitu dengan proses perjodohan. 
 
وَٱلۡأَرۡضَ مَدَدۡنَٰهَا وَأَلۡقَيۡنَا فِيهَا رَوَٰسِيَ وَأَنۢبَتۡنَا فِيهَا مِن كُلِّ زَوۡجِۢ بَهِيجٖ 

QS Qaaf : 7. Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam pasangan yang menyenangkan, 
Ayat ini dapat ditinjau sebagai penjelasan bagi ayat 10 yang menyebutkan tentang proses menghidupkan negeri yang mati. Disebutkan dalam ayat ini tentang tumbuhnya segala macam keberpasangan yang terjadi mengikuti pembinaan jiwa seorang mukmin sebagaimana ayat 6. Salah satu peristiwa penting pertumbuhan jiwa adalah keberpasangan. Keberpasangan itu sesuatu yang ditumbuhkan Allah pada jiwa. Sebagaimana raga seseorang yang tumbuh dewasa kemudian membutuhkan pasangan dan pekerjaan, demikian pula jiwa seseorang yang tumbuh dewasa akan menyadari bahwa dirinya memiliki pasangan-pasangan. Wawasan yang meluas dan tumbuhnya akal akan membuat jiwa itu mampu merasakan pekerjaan apa yang menjadi tugas dirinya, dan mengenali wanita yang urusannya berdekatan dengan urusan dirinya. Namun tahap itu barulah sebuah pendekatan. 

Akan ada waktu ketika seseorang mengalami keterbukaan urusan dirinya, secara tiba-tiba atas kehendak Allah. Dirinya mengenal untuk apa diciptakan, mengetahui shirat al mustaqim yang ditentukan bagi dirinya. Dengan hal ini seorang laki-laki mengenal pasangan sejatinya, baik pasangan berupa pekerjaan dan semestanya, maupun pasangan berupa perempuan yang menjadi kunci untuk membuka semestanya guna melaksanakan amal shalih. 

إِنَّا فَتَحۡنَا لَكَ فَتۡحٗا مُّبِينٗا 

QS Al-fath : 1. Sesungguhnya Kami telah membukakan kepadamu keterbukaan yang nyata, 

Setiap orang diciptakan untuk urusan tertentu. Amal-amal shalih itu telah ditetapkan bagi setiap orang sebagaimana ditetapkannya kalung pada lehernya. Amal-amal itu akan dibukakan ketika Allah memberikan al-fath kepada seseorang. 

وَكُلَّ إِنسَٰنٍ أَلۡزَمۡنَٰهُ طَٰٓئِرَهُۥ فِي عُنُقِهِۦۖ وَنُخۡرِجُ لَهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ كِتَٰبٗا يَلۡقَىٰهُ مَنشُورًا 

QS Al-Israa’ : 13. Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. 

Demikian pula setiap orang diciptakan dengan pasangan berupa pasangan wanita. Setiap wanita diciptakan dari nafs wahidah seorang laki-laki tertentu. Wanita itu akan dikenal sang laki-laki setelah mengenal nafs wahidah dirinya. 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا 

QS An-nisaa’ : 1. Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari nafs wahidah, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (bertakwalah tehadap) al-arham. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. 

Keberpasangan-keberpasangan itu akan terbuka ketika Allah memberikan keterbukaan (alfath) bagi seorang laki-laki. Perjodohan itu akan memberikan visi dan pengetahuan yang banyak bagi setiap hamba yang kembali kepada Allah, bukan hanya bagi laki-laki, tetapi bagi setiap hamba baik laki-laki ataupun perempuan yang kembali kepada Allah. Visi dan pengetahuan itu akan memberikan banyak penjelasan untuk kembali kepada-Nya. 

تَبۡصِرَةٗ وَذِكۡرَىٰ لِكُلِّ عَبۡدٖ مُّنِيبٖ
QS Qaaf : 8. untuk memberikan bashirah dan pelajaran bagi tiap-tiap hamba yang kembali (kepada Allah). 

Seseorang yang menikah dengan pasangan sejatinya akan mendapatkan visi dan pengetahuan yang besar. Akan tetapi sebenarnya setiap keberpasangan akan menumbuhkan visi dan pengetahuan, bukan hanya pada orang-orang yang mendapatkan keterbukaan diri (alfath), walaupun berbeda kekuatannya. Seseorang yang mempunyai pengalaman kerja akan mempunyai visi dan pengetahuan yang lebih baik tentang pekerjaannya dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki pengalaman kerja. Seseorang yang berkeluarga akan memiliki visi dan pengetahuan lebih baik tentang kehidupan dibandingkan orang yang melajang. Pada orang-orang yang berpasangan sejati, kualitas visi dan pengetahuan itu akan jauh lebih kuat. 

Memilih Jodoh 


Pernikahan biasanya dilakukan seseorang pada usia remaja dewasa, mendahului proses alfath yang terjadi pada kisaran usia 40 tahun. Kedewasaan jasadiah mendahului kedewasaan jiwa. Dengan demikian, biasanya seseorang harus memilih jodohnya tanpa penglihatan jiwa yang jelas. Seseorang tidak perlu merasa terlalu khawatir dalam memilih jodohnya. Perintah menikah dalam alquran adalah dalam kriteria pasangan yang thayyib, tidak harus menemukan pasangan yang diciptakan dari jiwanya, dan menemukan pasangan jiwa lebih dikhususkan bagi golongan ulul-arham, golongan yang diberi kedudukan lebih utama daripada kaum mukminin dan muhajirin secara umum. 

وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ 

QS An-Nisaa’ :3. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang thayyib bagi kamu: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. 

Namun demikian, seorang remaja tetap mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pasangan yang diciptakan dari jiwanya. Rasulullah SAW memperisteri Khadijah r.a sejak awal pernikahan, demikian pula Ali K.W memperisteri Fathimah r.a. 

Keikhlasan menjadi salah satu kunci untuk menemukan pasangan jiwa. Kebersihan hati, kekuatan niat untuk menuju Allah dan pengetahuan syariat akan menjaga atau menuntun seseorang untuk memperoleh pasangan yang sesuai. Tiga hal tersebut merupakan komponen keikhlasan. Bila seorang remaja menjaga kebersihan hatinya dan mempunyai keinginan kuat untuk kembali kepada Allah dengan berlandaskan pengetahuan syariat, hal itu akan membuka kesempatan untuk memperoleh pasangan yang diciptakan dari jiwanya. 

Melihat atau mimpi bisa menjadi sebuah petunjuk untuk memperoleh pasangan yang tepat. Hal itu ibarat bintang yang menembus kegelapan malam. Akan tetapi penglihatan itu bukan sesuatu yang selalu benar, tergantung keikhlasan hati seseorang. Di sisi lain, boleh jadi seorang remaja tidak mempunyai penglihatan atau mimpi terhadap seorang perempuan atau laki-laki yang menarik hatinya. Ketertarikan hati ini mungkin bukanlah perbuatan memperturutkan hawa nafsu bilamana keikhlasan ada dalam hatinya. Bahkan keikhlasan semacam ini kadangkala dapat menggerakkan perubahan radikal. Misalnya bila seorang pria remaja yang ikhlas tiba-tiba tertarik hatinya pada seorang gadis yang shalihah, padahal gadis itu telah menentukan hari pernikahan dengan seorang laki-laki lain. Boleh jadi pernikahan itu menjadi tidak terlaksana, tanpa satupun perbuatan tercela dari salah satu pihak, dan kemudian gadis itu menikah dengan remaja yang ikhlas tersebut. Keikhlasan mempunyai kekuatan mengarahkan perjodohan. 

Kadangkala seseorang melihat petunjuk jodoh melalui mimpi. Hal ini tidak selalu sebuah petunjuk yang benar tetapi dapat digunakan untuk mengukur diri. Mimpi atau penglihatan sangat bisa dipengaruhi oleh hawa-nafsu yang banyak. Kadangkala petunjuk itu berubah-ubah sesuai dengan keadaan hawa nafsu. Petunjuk pasangan sejati tidak akan berubah-ubah. Suka atau tidak suka terhadap pasangan yang ditunjukkan, petunjuk tersebut akan tetap. Perubahan petunjuk pasangan bisa terjadi bila berpasangannya dalam kategori thayyib atau lebih rendah. Kadangkala petunjuk antara pasangan sejati dan pasangan lainnya bercampur, karena keikhlasan yang tidak sempurna. Bila hatinya jujur, dirinya dapat mengukur intensitas semua penglihatannya, dan menentukan keberjodohan yang paling baik. Namun ini tidak mudah, dan biasanya memerlukan bimbingan. 

Keikhlasan dapat menjaga seseorang untuk memperoleh pasangan yang diciptakan dari jiwanya. Seorang perempuan akan terjaga dengan keikhlasannya, dan demikian pula seorang laki-laki mendapatkannya. Perjodohan semacam ini tidaklah mudah. Kadangkala penjagaan oleh keikhlasan itu terlihat bagaikan benteng yang menghalangi perjodohan, atau bisa jadi seseorang memperoleh jodoh sejatinya pada usia remaja karena keikhlasannya. Tidak ada yang lebih mudah di antara keduanya. Pernikahan dengan pasangan sejati akan menuntut ketakwaan, karena pernikahan dengan pasangan sejati menjadi sasaran utama syaitan untuk dipecahkan, bahkan oleh syaitan yang berkedudukan sangat tinggi di arsy iblis. Bukan tidak mungkin ketika seorang laki-laki memperoleh keterbukaan jati dirinya (alfath), pasangan jiwa yang kemudian diketahuinya adalah mantan istrinya. Merajut kembali puing-puing cinta yang telah runtuh bukanlah hal mudah, tetapi perlu dilakukan bila masih mungkin dilakukan. Demikian pula penjagaan keikhlasan dalam menunggu jodoh sejati dalam kesendirian pun tidak kalah sulit, penuh dengan tekanan dan godaan, baik dari alam dunia maupun alam syaitan. 

Pada sisi lain, Allah akan memberikan suatu ujian besar berupa kekurangan harta, jiwa, dan buah kepada hambanya agar menjadi hamba yang mendapatkan shalawat dan rahmat Allah. Hal itu terjadi ketika seseorang mengenal buah apa yang harus keluar dari dirinya. 

وَلَنَبۡلُوَنَّكُم بِشَيۡءٖ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ 

155. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. 

Salah satu yang mungkin terjadi dalam ujian itu adalah perpisahan dengan istri yang berasal dari jiwanya. Seorang laki-laki akan merasa kehilangan segalanya dengan kehilangan belahan jiwanya. Perpisahan dengan istri dapat diibaratkan pohon yang dicabut dari ladangnya. Bukan harta atau kedudukan diri yang terasa berat baginya. Pada masa itu, tumbuh tekad berupa Azam yang terasa terpotong-potong. Orang tersebut mungkin merasakan malu untuk menghadap Allah sendirian tidak bersama umatnya, maka dia bertekad untuk menyeru umatnya untuk kembali kepada Allah. Tetapi seluruh eksistensi dirinya justru terpotong-potong sehingga dirinya harus dan hanya bisa berserah kepada Allah. 

Anjuran Menikah 

Pernikahan dengan pasangan sejati mempunyai keutamaan yang sangat besar. Visi dan pengetahuan yang terbuka dalam pernikahan semacam ini sangat besar. Namun perlu disadari bahwa hal ini tidak mudah. Sebelum mendapatkan keterbukaan jati diri, pernikahan ini menjadi sasaran syaitan yang akan menyerang dengan sangat intensif dengan tipuan yang sangat lihai. Semua serangan syaitan terhadap pasangan ini akan menjadi ilmu, menjadi bagian dari visi dan pengetahuan yang akan diperoleh bila pasangan tersebut bertakwa. 

Bila seseorang dikadarkan untuk bisa menemukan pasangan sejati, hendaknya dia menikah dengan pasangan sejatinya. Sebagaimana mengenal nafs wahidah tidak mudah, demikian pula mengenal pasangan sejati tidak mudah sehingga tidak seharusnya ditinggalkan. Segala ujian yang akan datang seluruhnya telah terukur, sehingga pasangan tersebut hanya perlu bertakwa, tidak perlu takut dengan ujian yang akan datang. Khazanah, visi dan pengetahuan yang akan terungkap dalam pernikahan tersebut sangat bermanfaat bagi kemakmuran masyarakat. Ada keutamaan yang sangat besar dalam pasangan sejati sehingga mengangkat pasangan tersebut sebagai ulul-arham, sebuah sarana menurunkan khazanah rahmaniah Allah bagi semesta mereka. 

Setiap orang disunnahkan untuk menikah. Parameter yang harus dipenuhi untuk memilih pasangan adalah thayyib/thayyibah. Kehidupan di bumi akan membuat seseorang sulit untuk menemukan pasangan dari jiwanya sendiri. Perkara memperoleh pasangan sejati merupakan anugerah karena Allah lah yang mengatur seseorang untuk mendapatkan pasangan sejatinya. Namun demikian, hendaknya setiap orang berusaha menemukan pasangannya dengan berdasarkan keikhlasan, yaitu kebersihan hati dan landasan pengetahuan syariat yang benar. Keikhlasan adalah pengetahuan tentang Allah, yaitu berdasarkan hati dan pengetahuan yang benar. Pernikahan akan membuat bijaksana dalam kehidupannya.

Minggu, 27 Oktober 2019

Membina Jiwa Raga Memakmurkan Bumi

Memakmurkan bumi harus dimulai dengan membangun jiwa dan raga manusia yang menjadi penghuni bumi. Pemakmuran bumi akan terjadi mengikuti pembinaan manusianya. Tidak akan terjadi pemakmuran bumi tanpa melakukan pembinaan penghuninya. Bilamana terjadi peningkatan jumlah pemilikan materi pada masyarakat tanpa pembinaan jiwa raganya, hal itu tidak menunjukkan kemakmuran bumi. Terjadi ketimpangan pada masyarakat, baik karena eksploitasi berlebihan pada sumber daya alam ataupun eksploitasi satu individu atau kelompok masyarakat terhadap lainnya. Kemajuan semacam itu akan runtuh pada suatu saat. Pembinaan jiwa raga masyarakat menjadi syarat mutlak untuk memakmurkan bumi. 

Pembinaan manusia harus bersamaan dilakukan antara jiwa dan raga. Pembinaan raga saja akan cenderung menjadikan manusia sebagai perusak bumi, sehingga pada akhirnya bumi dapat mengalami kematian tidak memberikan daya dukung kehidupan bagi para penghuninya. Sedangkan pembinaan jiwa tidak dapat dilakukan dengan baik tanpa membangun raga. Jiwa dan raga merupakan pasangan yang mendukung kemajuan satu dengan yang lain, dan akan menghidupkan kembali negeri yang mati. 

Akal Sebagai Langit Diri 


Yang mengawali kembali kehidupan suatu negeri adalah dengan mengamati bagaimana Allah meninggikan dan menghiasi langit tanpa sedikitpun cacat dan cela. 

أَفَلَمۡ يَنظُرُوٓاْ إِلَى ٱلسَّمَآءِ فَوۡقَهُمۡ كَيۡفَ بَنَيۡنَٰهَا وَزَيَّنَّٰهَا وَمَا لَهَا مِن فُرُوجٖ 

QS Qaaf : 6. Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami membinanya dan menghiasinya, dan (langit itu) tidak mempunyai retak-retak sedikitpun? 

Ayat ini merupakan penjelasan bagi ayat 10 tentang urutan mekanisme penghidupan kembali negeri yang mati. Langit dalam ayat ini bukan hanya langit yang berada di atas kepala. Langit yang lebih mudah teramati oleh setiap diri manusia adalah jiwa dalam dirinya sendiri. Manusia kebanyakan hidup di bumi hanya dengan jasad beserta hawa nafsu yang tumbuh seiring pertumbuhan jasadnya. Sebenarnya, bila diteliti dengan seksama, ada jiwa yang menuntun manusia untuk mencari kebenaran, bersuara lirih dalam lubuk hati untuk ditaati. Suara kebenaran di lubuk hati yang menuntun pengenalan terhadap rahmaniah dan rahimiah Allah itu adalah jiwanya. Dengan mentaati suara kebenaran dalam hatinya, seseorang akan mengetahui bagaimana Allah membangun langit jiwanya yang berada di atas jasad dan hawa nafsunya. 

Jiwa itu adalah pasangan langit bagi bumi jasadnya, sedangkan kecerdasan jasadiah merupakan anak-anak yang terbentuk karena interaksi antara keduanya. Kecerdasan jasadiah itu adalah hawa nafsu manusia. Kecerdasan jasad atau hawa nafsu itu akan hilang ketika jasad mati, tetapi terdapat hubungan yang sangat erat antara hawa nafsu dengan keadaan jiwa seseorang. Bentuk-bentuk hawa nafsu seseorang akan menentukan keadaan jiwanya. Setiap manusia harus mendidik hawa nafsunya agar jiwanya mendapatkan pembinaan. 

Pada jasad manusia terdapat kecerdasan jasadiah, dan pada jiwa manusia terdapat akal yang berguna untuk memahami kehendak Allah. Akal merupakan tali kendali yang menghubungkan manusia terhadap kehendak Allah. Entitas akal inilah yang sering disebutkan dalam alquran, bukan kecerdasan jasadiah manusia. Kecerdasan jasadiah manusia tidak akan mampu mengerti kehendak Allah. Bila selalu diperturutkan, kecerdasan jasadiah ini dapat berkembang liar menyesatkan manusia. Akal jiwa lah yang menjalin hubungan kepada Allah. Sebagaimana jasad memiliki indera-indera, demikian pula jiwa memilikinya berupa penglihatan dan pendengaran untuk mencerap kebenaran. Namun seringkali manusia tidak dapat merasakan indera-indera jiwanya. Hal ini terjadi karena ketertutupan qalb. 

Membangun Hubungan Jiwa dan Raga 


Untuk menumbuhkan akal jiwa, seseorang harus menumbuhkan qalb. Yang menghubungkan antara jasad dan jiwa adalah qalb. Jika dan hanya jika qalb tumbuh dalam diri seseorang maka akalnya akan tumbuh. Qalb merupakan operating system bagi terbentuknya akal yang menghubungkan seseorang dengan kehendak Allah. 

أَفَلَمۡ يَسِيرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَتَكُونَ لَهُمۡ قُلُوبٞ يَعۡقِلُونَ بِهَآ أَوۡ ءَاذَانٞ يَسۡمَعُونَ بِهَاۖ فَإِنَّهَا لَا تَعۡمَى ٱلۡأَبۡصَٰرُ وَلَٰكِن تَعۡمَى ٱلۡقُلُوبُ ٱلَّتِي فِي ٱلصُّدُورِ  

QS Al-Hajj : 46. maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati (qalb) yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. 

Pembinaan qalb harus dilakukan dengan memperhatikan keadaan bumi. Setiap orang harus diperjalankan di bumi dan memperhatikan dengan hatinya kebutuhan masyarakat dan lingkungan agar tumbuh qalb dalam dirinya. Bila seseorang hanya bergelut dengan kepentingan dirinya sendiri tanpa memperhatikan kebaikan bagi keadaan sekitarnya, tidak akan tumbuh qalb pada dirinya. 

Dengan memperhatikan buminya seseorang dapat membangun jiwanya. Tanpa memperhatikan buminya seseorang tidak mempunyai pijakan berupa qalb untuk mengembangkan langit dirinya dengan akal, pendengaran dan penglihatan jiwa. Perjalanan di bumi harus dilakukan untuk menumbuhkan kasih sayang. Hubungan seorang manusia dengan Allah harus dibangun berdasarkan rasa kasih sayang terhadap sesama makhluk, tidak mengawang-awang dengan menanamkan teori-teori dan perkataan tentang Allah tanpa disertai pengetahuan. Ilmu harus dicari agar seseorang memperoleh sudut pandang yang semakin tepat terhadap dirinya dan lingkungannya, sehingga jiwanya mendapatkan pijakan untuk berkembang. 

Di sisi lain, perjalanan di muka bumi ini seringkali menghisap seseorang dengan ketertarikan terhadap dunia. Dunia ini bagaikan seorang puteri cantik jelita bagi orang-orang yang mengejar dunia, yang mengakibatkan orang tersebut terjatuh pada perjalanan untuk kepentingan diri sendiri, tidak memperjuangkan kebaikan bagi masyarakat dan kepentingan sekitar. Dengan hal ini, dirinya tidak lagi mempunyai hubungan dengan jiwanya. Dirinya menjadi terpecah menjadi manusia tanpa integritas, hanya menjadi makhluk jasadiah tanpa hubungan dengan jiwanya, padahal jiwanya merupakan entitas yang mempunyai akal yang dapat terhubung dengan kehendak Allah. 

Penghamparan Bumi Diri 


Dengan tumbuhnya qalb maka seseorang akan mendapatkan peluasan wawasan terhadap buminya. Indera-indera jiwanya akan terhubung dengan jasadnya, dan jasad dapat melihat buminya dengan perspektif jiwanya. Akan tumbuh kekuatan kecerdasan jasadiah yang membuat kokoh kehidupan dirinya, sebagaimana gunung yang menjadikan bumi tidak berguncang. 

وَٱلۡأَرۡضَ مَدَدۡنَٰهَا وَأَلۡقَيۡنَا فِيهَا رَوَٰسِيَ وَأَنۢبَتۡنَا فِيهَا مِن كُلِّ زَوۡجِۢ بَهِيجٖ 

QS Qaaf : 7. Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam pasangan yang menyenangkan. 

Dengan tumbuhnya kecerdasan jasadiah, seseorang dapat melihat kesesuaian antara dirinya dengan dunianya. Akan tumbuh wawasan keberpasangan yang menyenangkan dalam segala sesuatu yang menjadi bagian dari dirinya. Pada puncak wawasan itu, dirinya akan melihat keberpasangan jasadiahnya dengan jiwanya. Jasadnya mengenal jiwanya, dan mengetahui bahwa jiwanya merupakan pembimbing jalan pengabdiannya kepada Allah. Dengan mengenal jiwanya, jasadnya mengenal pasangan wanita yang diciptakan dari jiwanya, dan mengetahui bahwa wanita itu adalah jalannya untuk terhubung dengan dunianya dalam urusan Allah. 

Membina Jiwa 


Peluasan wawasan ini adalah penghamparan bumi. Hal ini dapat terbentuk bila seseorang memperhatikan pembinaan langitnya, yaitu jiwanya. Pembinaan jiwa harus dilakukan dengan memperhatikan dunianya dengan qalb, yaitu aspek dunia yang menjadi pasangan sejati dirinya. Untuk hal ini setiap orang harus berusaha untuk mengikuti suara hati dengan sebaik-baiknya. Bila terjebak oleh kecantikan dunia, seseorang tidak akan terhubung dengan jiwanya sehingga tidak akan terjadi pembinaan jiwa. Setiap orang harus setia dengan suara hati yang menunjukkan aspek dunia yang menjadi pasangan sejati dirinya, tidak tertipu dengan jumlah harta duniawi dari aspek dunia yang menggoda. Dunia akan tampil cantik menggoda hati agar manusia terikat kepadanya melupakan jiwanya. 

Sebenarnya rezeki yang terbaik selalu terdapat pada pasangan sejatinya. Dunia lain yang menggoda hanya akan membuat seseorang terombang-ambing dalam fatamorgana. Misalnya bila seseorang mempunyai ketertarikan hati dalam pengolahan limbah kotoran sapi, niscaya rezeki terbaik berada pada kotoran sapi, sekalipun terlihat menjijikkan. Akan terbuka jalan rezekinya pada kotoran sapi bila hatinya terbuka. Untuk membuka hal ini, perlu dibangun hati, yaitu dengan berjalan-jalan di muka bumi memperhatikan kebaikan bagi makhluk lainnya. Tanpa mengusahakan kebaikan bagi makhluk lain, qalb akan sulit tumbuh dalam diri seseorang. 

Gambaran keberpasangan seseorang dengan dunianya menyerupai keberpasangan antara seorang laki-laki dengan wanita. Ada wanita yang diciptakan dari diri seorang laki-laki sebagai pasangan sejatinya, dan ada banyak perempuan lain yang mungkin menarik hatinya. Seseorang dengan hawa nafsunya sangat mungkin tertarik pada pasangan yang menghancurkan dirinya karena kecantikan, sementara dirinya berpikir hal itu akan mengantarkan pada keberhasilan dan kebahagiaan. Sebenarnya kehidupan terbaiknya akan diperoleh dengan pasangan sejatinya. Banyak visi dan pelajaran yang muncul bila seseorang memperoleh pasangan sejatinya, baik urusan dunianya ataupun jodoh wanita/prianya. 

تَبۡصِرَةٗ وَذِكۡرَىٰ لِكُلِّ عَبۡدٖ مُّنِيبٖ
QS Qaaf : 8. Sebagai penglihatan dan pelajaran bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah). 

Untuk memperoleh pasangan sejati, dirinya harus berusaha memperhatikan suara kebenaran dalam hatinya, yaitu suara jiwanya, dan mentaatinya. Thariqah merupakan sebuah jalan agar seseorang terlatih untuk mendengar suara jiwanya dengan merendahkan hiruk pikuk hawa nafsu. Tetapi perlu kesiapan agar seseorang dapat menempuh thariqah dengan benar. Keikhlasan harus benar-benar terbangun kokoh dalam hati seorang murid, bahwa hatinya benar-benar mencari kebenaran saja bukan mencari kemegahan dunia. Seseorang sangat mungkin tersesat bila menempuh thariqah tanpa keikhlasan. Keikhlasan dapat dibangun dengan kebersihan hati dan mencari ilmu syar’i yang benar, ilmu syar’i yang menyentuh hatinya tidak mengurungnya hanya dalam batasan syariat yang kaku. Ikhlash adalah pengetahuan tentang Allah.

قُلۡ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ
Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa. 

Tanpa keikhlasan, seorang murid dapat tersesat jauh mengikuti hawa nafsu yang dikira sebagai jiwa yang harus dipatuhinya. Bila keikhlasan tidak sempurna, seorang murid mungkin dapat mendengar suara kebenaran dalam hatinya, tetapi tidak mampu mematuhinya karena lebih memilih kehendak hawa nafsu sehingga pertumbuhan jiwanya tidak mencapai sempurna, atau malah terpatahkan dalam tahap pertumbuhan tertentu. Dengan keikhlasan yang sempurna, seseorang dapat tumbuh mengikuti kebenaran dalam hatinya. Sekalipun mungkin muncul keengganan dalam melaksanakan karena kurang siap, kebenaran itu mungkin kembali mendatangi pintu hatinya, mengetuknya, menggedor atau bahkan mendobrak masuk dalam hatinya. Nabi Ibrahim a.s mungkin mengalami hal ini ketika harus menyembelih puteranya, atau menempatkan istri dan putranya di padang pasir.