Pencarian

Kamis, 22 Juni 2023

Kitabullah Sebagai Landasan Amal Shalih

Mendzikirkan asma Allah merupakan bentuk ibadah yang dikehendaki Allah sebagai bentuk ibadah yang paling besar bagi setiap manusia. Dzikir berarti menyatakan. Yang dimaksud dzikir adalah upaya seseorang merealisasikan pemahaman mereka tentang kehendak Allah bagi semesta mereka. Tidaklah manusia dan jin diciptakan Allah kecuali untuk beribadah, dan bentuk ibadah yang sebenarnya adalah berdzikir. Berdzikir dengan cara demikian hanya dapat dilakukan bila seseorang memahami kitabullah Alquran sedemikian Alquran menceritakan kepada dirinya suatu bentuk amal yang harus dilakukannya.

Alquran akan menuturkan kepada seseorang bentuk-bentuk amal yang harus dilakukannya. Tuturan demikian akan terbaca oleh hamba yang mengharapkan kedekatan kepada Allah. Mereka akan menemukan suatu kitab yang menuturkan sesuatu tentang apa yang mereka hadapi dengan kebenaran (al-haqq). Allah meletakkan kitab tersebut di sisi-Nya, yang akan ditunjukkan kepada hamba yang berharap didekatkan kepada-Nya. Kitab tersebut memberikan penuturan dengan kebenaran (Al-haqq). Pemahaman yang sebenarnya seorang hamba terhadap Alquran akan mengikuti pembacaan diri mereka terhadap kitab yang ada di sisi-Nya tersebut.

﴾۲۶﴿وَلَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا وَلَدَيْنَا كِتَابٌ يَنطِقُ بِالْحَقِّ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada suatu kitab yang memberikan tuturan dengan kebenaran, dan mereka tidak dianiaya. (QS Al-Mu’minun : 62)

Kitab tersebut merupakan bagian dari Alquran. Tidak ada sedikitpun bagian dari kitab tersebut yang keluar dari Alquran, berselisih ataupun bertentangan. Kitab itu merupakan bagian Alquran yang diperuntukkan bagi diri seorang hamba, dan dengan kitab tersebut ia akan mengenal Alquran sebagai firman Allah yang dipanjangkan hingga mencapai alam dunia bagi manusia, dan mengenal Rasulullah SAW sebagai ahli Alquran yang sebenarnya. Boleh jadi seorang hamba mempunyai bagian Alquran yang berbeda dengan sahabatnya, atau memperoleh penuturan dengan cara yang berbeda dengan sahabatnya akan tetapi tidak akan ada sedikitpun bagian atau penuturan itu yang keluar dari Alquran.

Kitab tersebut menuturkan kepada manusia pengetahuan dengan kebenaran (al-haqq). Manusia akan memperoleh pengetahuan-pengetahuan tentang apa yang terjadi pada semesta mereka dan mengerti hakikat yang ada dibalik semesta dirinya. Dengan hakikat itu, ia mengenal kehendak Allah atas diri mereka. Pengetahuan itu terkait dengan semesta kauniyah, dan hakikat itu terkait dengan akhlak al-karimah yang harus dibentuk seseorang di dalam dirinya. Akhlak al-karimah menempati kedudukan yang lebih tinggi maknanya daripada pengetahuan tentang semesta.

Kitab yang ada di sisi Allah ini secara umum telah mencukupi bagi manusia yang meminta petunjuk Allah. Seorang hamba tidak perlu bertindak lancang menghadap Allah untuk meminta petunjuk-Nya kemudian bersikap sewenang-wenang atas nama Allah. Keberjamaahan umat manusia terletak pada pemahaman yang benar terhadap kitab diri mereka. Kitab itu akan menuturkan kandungan dari firman Allah yang telah difirmankan dalam kitabullah Alquran, sedangkan Alquran telah menjelaskan semua hal tentang penciptaan-Nya. Hal ini tidak berarti mencegah seseorang bertawajuh kepada Allah, akan tetapi hendaknya setiap hamba menjaga akhlak dan adab diri dalam menghadap kepada Allah. Adab demikian hanya akan terbentuk bila seorang hamba telah berusaha sungguh-sungguh mentaati firman Allah yang dipanjangkan-Nya hingga alam dunia berupa buku kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Tanpa adab ketaatan demikian, bahkan mencari kitab di sisi-Nya pun merupakan bentuk akhlak dan adab yang tidak layak, apatah lagi langsung menghadap kepada-Nya untuk meminta petunjuk.

Di sisi lain, setiap hamba harus memohon petunjuk pada Shirat Al-Mustaqim. Upaya memohon petunjuk demikian hendaknya dilakukan setelah mencari pengetahuan tentang ayat-ayat dalam kitabullah. Petunjuk yang dimohon seorang hamba harus terkait dengan pengetahuan tentang ayat dalam kitabullah dan ayat kauniyah pada semesta mereka. Petunjuk akan menjelaskan sesuatu, maka petunjuk yang benar adalah petunjuk terhadap ayat Allah. Petunjuk yang diturunkan bagi permohonan demikian akan mengantarkan seorang hamba menuju Shirat Al-Mustaqim. Tanpa mempunyai landasan kitabullah, petunjuk yang diturunkan dapat bersifat bebas tidak mengarahkan pada Shirat Al-Mustaqim. Boleh jadi petunjuk itu tampak megah dan menjelaskan, akan tetapi sebenarnya tidak mempunyai arah yang tepat.

Amal Shalih

Pengetahuan yang dituturkan dari kitab diri akan membuat seseorang mengerti amal-amal yang harus dilakukan di alam dunia bagi semesta mereka. Pengetahuan tentang amal-amal ini merupakan turunan dari akhlak al-karimah dan pengetahuan tentang semesta. Amal-amal yang dapat diperbuat seseorang dapat dilakukan dari berbagai landasan, di antaranya landasan akhlak al-karimah dan pengetahuan tentang semesta. Itu adalah amal yang sebaik-baiknya. Sebagian orang beramal dengan landasan eksistensi diri mereka yang kadangkala terbungkus waham kebenaran sebagai jati diri. Sebagian orang beramal dengan landasan kebutuhan terhadap alam duniawi, yang seringkali disertai dengan ketamakan terhadap dunia. Sangat banyak kemungkinan yang bisa menjadi landasan seseorang melahirkan amal-amal mereka.

Tepatnya landasan amal seseorang ditentukan keadaan hati mereka. Seseorang yang ikhlas menginginkan kedekatan kepada Sang Sumber Kebaikan akan menemukan landasan amal dari kitab diri mereka. Sebagian besar manusia tidak dalam keadaan demikian. Mereka banyak berkecimpung dengan alam-alam yang rendah dan alam langit yang masih bersifat semu, hingga hati mereka terlalaikan oleh alam yang rendah dan alam yang semu. Hanya sebagian kecil manusia yang hatinya terpaut pada Sang Sumber Kebaikan.

﴾۳۶﴿بَلْ قُلُوبُهُمْ فِي غَمْرَةٍ مِّنْ هٰذَا وَلَهُمْ أَعْمَالٌ مِّن دُونِ ذٰلِكَ هُمْ لَهَا عَامِلُونَ
Tetapi hati mereka itu dalam kesesatan dari (kenyataan) ini, dan mereka banyak mengerjakan perbuatan-perbuatan selain daripada itu, mereka bersungguh-sungguh mengerjakan untuk mencapainya. (QS Al-Mu’minun : 63)

Kebanyakan manusia tidak menyadari keberadaan kitab ini. Hati manusia terlalaikan dari langkah menuju Allah dan dari keberadaan kitab ini karena banyak mengerjakan amal yang lain. Sebaliknya karena terlalaikan dari kitab ini, kebanyakan manusia bersungguh-sungguh dalam amal-amal yang mereka tentukan sendiri dan bersungguh-sungguh untuk mencapai sasaran mereka, tidak bertujuan melaksanakan apa yang ditentukan dalam kitab diri.

Setiap hamba Allah seharusnya mengerjakan amal-amal yang ditentukan bagi mereka sesuai dengan pengetahuan yang dituturkan kitab diri mereka. Itu adalah amal shalih yang sebenarnya. Sebagian hamba Allah berhasil membina bayt yang diijinkan Allah untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah dalam bayt itu. Pengetahuan yang diperoleh dari kitab diri mereka menjadi bahan untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allh. Mereka meninggikan asma Allah dan mendzikirkan asma tersebut berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari kitab diri, dan mereka meninggalkan amal-amal yang lain untuk amal yang ditentukan itu.

Tidak banyak orang yang berhasil mendirikan bayt demikian. Sebagian orang mengetahui kitab diri mereka, dan mereka beramal meninggikan dan mendzikirkan asma Allah akan tetapi tidak dapat meninggalkan amal-amal yang tidak mempunyai landasan dalam kitab diri mereka. Bagi orang-orang demikian, mereka akan dapat membuka tambahan khazanah dari kitab diri mereka melalui amal-amal yang ditentukan dalam kitab diri, dan memperoleh bagian lain bagi amal-amal yang dilakukan sesuai dengan landasan amal yang lain itu. Hendaknya mereka mengusahakan jalan agar dapat sepenuhnya melakukan amal-amal berdasarkan kitab diri mereka. Amal shalih mereka terletak pada amal yang dilakukan berdasarkan kitab diri mereka dan amal yang lain itu hanya diijinkan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Allah mencela orang-orang yang tidak peduli dengan amal-amal berdasarkan kitab diri mereka dan terus melakukan amal berdasarkan kepentingan mereka sendiri. Amal yang merupakan amr Allah adalah amal yang diturunkan dari pengetahuan kitab diri. Sebagian orang beriman menentukan amal shalih mereka tanpa berdasarkan pengetahuan kitab diri. Amal yang terlihat baik berdasarkan kriteria sendiri belum tentu merupakan perintah Allah, walaupun seringkali sama sekali bukan hal yang buruk. Hanya saja hendaknya disadari bahwa amal itu belum tentu merupakan amr Allah. Bila mereka mendustakan orang yang mengerjakan amr Allah karena mengikuti tujuan amal mereka sendiri, mereka akan celaka.

Kasus lainnya, kadangkala seseorang menemukan atau mengarah pada kitab diri yang palsu. Kitab palsu itu akan membalik secara halus urusan syaitan menjadi tampak seperti amr Allah. Orang yang membaca dan/atau mengikutinya akan berubah menjadi bodoh (munkar), atau keji atau mengatakan perkataan tentang Allah tanpa dasar pengetahuan. Sulit bagi seseorang melihat kesalahan kitab itu dengan kekuatannya sendiri karena kitab ini dari makhluk cerdas yang pernah tinggal di alam yang tinggi. Para pengikut mereka akan lebih sulit lagi melihat hal itu karena keadaan yang lebih rendah. Manakala suatu kitab berselisih atau bertentangan dengan Alquran, kitab itu palsu. Setiap orang harus berusaha mengarahkan kehidupan mereka untuk memahami kitab diri yang benar agar mengenali amal yang menjadi perintah Allah.

Jati diri seseorang juga merupakan bagian dari kitab diri. Bila seseorang memahami kitab dirinya, ia akan menemukan jati dirinya pada kitab tersebut. Seseorang bisa menemukan jati dirinya melalui jalan lain, tetapi pengenalan diri yang sebenarnya terjadi melalui pemahaman terhadap kitab diri. Kitab diri akan mengajarkan kepada seseorang pengetahuan tentang kauniyah mereka dan hakikat-hakikat yang menyertainya. Dengan pengetahuan tersebut, seseorang akan mendapat pijakan untuk mengenal penciptaan diri mereka di antara makhluk yang lain. Bila menemukan jati diri tanpa pengetahuan kauniyah dan hakikat yang menyertainya, seseorang dapat tergelincir dari ibadahnya kepada Allah sebagaimana dahulu Adam digelincirkan syaitan.

Mencari Amal Shalih

Kebanyakan manusia tidak mengetahui kitab diri mereka. Sebagian memperoleh kabar dan berusaha mengarahkan kehidupan mereka sesuai dengan kabar yang diterima, sebagian memperoleh kabar dan tidak peduli dengan kabar yang mereka terima, dan sebagian orang tidak memperoleh berita sama sekali karena tidak pernah mempedulikan arah kehidupan mereka.

Untuk memahami kitab diri, seseorang dapat mengikuti orang-orang yang telah mengenal kandungan dalam kitab diri mereka. Mereka adalah para ahlul bayt atau setidaknya orang yang mengenal kandungan kitab diri mereka tanpa suatu kesalahan. Bila seseorang menemukan ahlul bayt yang hidup pada ruang dan waktu yang sama dengan dirinya, pada dasarnya mereka mempunyai urusan yang beririsan, dan ia seharusnya lebih mudah menemukan bagian kitab diri mereka dengan mengikuti ahlul bayt tersebut. Dalam kasus ini, orang-orang hendaknya berhati-hati dalam bersikap. Mengingkari urusan seorang ahlul bayt atau orang yang mengenal kandungan kitab dirinya yang ada di dekat mereka pada dasarnya relatif akan bisa mendatangkan adzab, baik karena tidak bersyukur ataupun sikap pengingkaran. Keberadaan seorang ahlul bayt yang ada di dekat kaum pada dasarnya membawa kehendak Allah bagi suatu kaum.

Mengenali ahlul bayt akan selaras dengan pengenalan seseorang terhadap kitabullah. Seseorang hanya akan mengenali orang yang benar bila ia mengenali kebenaran. Bila seseorang tidak peduli dengan kebenaran, ia tidak akan mengenali orang yang benar. Manakala mereka memuji tanpa landasan kitabullah, pujian itu tidak menunjukkan kebenaran orang yang dipuji. Demikian pula manakala mereka mengikuti orang yang mereka puji, hal itu tidak menunjukkan mereka telah mengikuti kebenaran. Seseorang dikatakan mengenali ahlul bayt manakala mereka memahami kebenaran ahlul bayt tersebut berdasarkan kitabullah. Dalam hal mengikuti ahlul bayt untuk memahami kitab diri, seseorang harus berpegang pada kitabullah dan berusaha memahaminya berdasarkan penjelasan dari ahlul bayt, tidak bersikap mengikuti ahlul bayt tanpa suatu tujuan. Bagi ahlul bayt, sikap mengikuti tanpa tujuan itu akan menjadi beban yang harus mereka pertanggungjawabkan hingga kelak di akhirat.

Pengenalan seseorang terhadap kitab dirinya akan tampak pada pengenalannya terhadap ayat-ayat Allah secara integral, yaitu ayat kitabullah dan ayat Allah pada semesta mereka. Demikian pula ahlul bayt akan terlihat dari pengenalan mereka terhadap ayat Allah. Hal utama yang menjadi perhatian mereka bagi kaumnya adalah jalan menuju Allah, bukan pengetahuan mereka tentang ayat kauniyah. Boleh jadi mereka tidak akan menunjukkan jalan menuju kauniyah selama seseorang tidak mengarahkan perhatian mereka kepada Allah, karena mungkin saja jalan menuju kauniyah itu akan merusak.

Penting bagi setiap orang untuk berusaha memahami kitab diri mereka dan menemukan orang yang menuju Allah bersama mereka hingga mereka dapat melaksanakan amal-amal yang ditentukan bagi mereka dengan benar. Kebersamaan itu penting karena merupakan perpanjangan dari al-jamaah. Orang yang belum mengetahui urusan diri mereka dapat mengikuti orang lain yang telah mengetahuinya, dan mereka akan mengetahui bahwa urusan Allah bagi mereka akan berdekatan. Amal mereka dapat diperkirakan berdasarkan amal shalih sahabat yang telah mengetahuinya. Manakala setiap orang dalam kebersamaan itu telah mengetahui amr Allah bagi masing-masing, mereka dapat melakukan amal secara berjamaah bersinergi satu terhadap yang lain hingga hasil yang mereka peroleh akan bernilai tinggi.

Selasa, 20 Juni 2023

Memperhatikan Ajaran Alquran

Tujuan akhir perjalanan kehidupan setiap manusia adalah mengikuti Rasulullah SAW hingga menjadi hamba yang didekatkan kepada Allah. Tidak ada makhluk yang mengenal Allah dengan benar melalui jalan lain tanpa mengikuti tauladan Rasulullah SAW. Untuk menjadi hamba yang didekatkan, beliau SAW menegakkan dzikir dari bait yang diijinkan Allah untuk ditinggikan dan didzikirkan asma-Nya dalam rumah itu.

Mendzikirkan asma Allah merupakan bentuk ibadah yang dikehendaki Allah sebagai bentuk ibadah yang paling besar bagi setiap makhluk. Dzikir berarti menyatakan. Yang dimaksud dzikir adalah upaya seseorang merealisasikan pemahaman mereka tentang kehendak Allah bagi semesta mereka. Tidaklah manusia dan jin diciptakan Allah kecuali untuk beribadah, dan bentuk ibadah yang sebenarnya adalah berdzikir. Berdzikir dengan cara demikian hanya dapat dilakukan bila seseorang memahami kitabullah Alquran sedemikian hingga Alquran menceritakan kepada dirinya suatu bentuk amal yang harus dilakukannya.

Mengabaikan Pengajaran Alquran

Manakala seseorang memperoleh dzikir mereka, hendaknya orang lain memperhatikan dzikir tersebut agar mereka memahami kehendak Allah. Seringkali terjadi penolakan atau pengabaian oleh suatu kaum terhadap suatu dzikir yang diturunkan kepada seorang hamba Allah. Hal demikian itu sebenarnya akan mendatangkan suatu adzab kerendahan dan kehinaan bagi kaum tersebut. Alquran akan meninggikan derajat orang-orang yang mengikutinya, dan menghinakan dan merendahkan orang-orang yang menolaknya. Manakala suatu dzikir yang diturunkan Allah melalui Alquran dibacakan oleh seseorang bagi suatu kaum, hendaknya mereka memperhatikan dzikir tersebut agar mereka menjadi mulia karena Alquran, atau mereka akan direndahkan karena penolakan kepada Alquran.

﴾۴۳۱﴿وَلَوْ أَنَّا أَهْلَكْنَاهُم بِعَذَابٍ مِّن قَبْلِهِ لَقَالُوا رَبَّنَا لَوْلَا أَرْسَلْتَ إِلَيْنَا رَسُولًا فَنَتَّبِعَ آيَاتِكَ مِن قَبْلِ أَن نَّذِلَّ وَنَخْزَىٰ
Dan sekiranya Kami binasakan mereka dengan suatu azab sebelum Al Quran itu, tentulah mereka berkata: "Ya Tuhan kami, mengapa tidak Engkau utus seorang rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau sebelum kami menjadi hina dan rendah?" (QS Thahaa : 134)

Penolakan terhadap suatu dzikir demikian akan mendatangkan kebinasaan yang membawa kehinaan dan kerendahan. Allah tidak mendatangkan adzab demikian kecuali Allah telah mendatangkan rasul yang membacakan ayat Alquran dan kaum tersebut menolaknya. Orang yang memperoleh pemahaman dari Alquran tentang bentuk dzikir mereka adalah orang-orang yang telah mencapai kebersamaan dengan Rasulullah SAW dalam al-jamaah. Mereka mengatakan apa yang mereka pahami, sedangkan pemahaman mereka sepenuhnya merupakan bagian dari pemahaman Rasulullah SAW. Bila mereka salah, kesalahan itu tidak merusak ajaran Rasulullah SAW. Manakala mereka membacakan ayat Allah, mereka sebenarnya menyampaikan kepada kaumnya bacaan Rasulullah SAW, walaupun terbatas dalam pemahaman dirinya.

Seandainya adzab tersebut diberikan sebelum dibacakan kepada mereka ayat Alquran, tentulah kaum itu akan bisa berkata : "Ya Tuhan kami, mengapa tidak Engkau utus seorang rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau sebelum kami menjadi hina dan rendah?" Tetapi Allah telah menurunkan ayat Alquran, maka hendaknya dipikirkan mengapa terjadi peng-andaian. Perkataan demikian menggambarkan keadaan yang akan menimpa suatu kaum manakala mereka ditimpa adzab karena tidak mengikuti bacaan Alquran. Barangkali mereka menyangka bahwa Allah tidak mengutus kepada mereka rasul yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Alquran. Barangkali mereka kebingungan mengapa mereka tidak mengikuti saja ayat-ayat Allah. Barangkali mereka merasa kebingungan mengapa tiba-tiba mereka menjadi hina dan rendah.

Keseluruhan tanda tanya itu hanya ada dalam pikiran mereka. Kenyataan yang sebenarnya, Allah telah mengutus rasul untuk membacakan kepada mereka ayat-ayat Alquran sedangkan mereka tidak mengikuti bacaan Alquran itu sehingga mereka ditimpa adzab yang menjadikan hina dan rendah. Adzab yang diancamkan itu diperuntukkan bagi umat manusia setelah Alquran diturunkan. Manakala adzab itu terjadi, Allah sebenarnya telah mengutus rasul membacakan ayat Alquran kepada mereka. Bila mereka bersikap tidak benar pada pembacaan ayat Alquran, maka Allah akan memberikan adzab demikian sedangkan mereka mengira Allah tidak mengutus rasul untuk membacakan kepada mereka ayat Alquran. Allah telah mengutus rasul membacakan kepada mereka Alquran sedangkan mereka tidak memperhatikan bacaan itu. Mereka lebih meyakini pemahaman mereka daripada bacaan rasul terhadap ayat Allah.

Ketika mereka mengira Allah tidak mengutus rasul membacakan ayat Allah, barangkali mereka terkena fitnah atau mereka tidak menggunakan akal mereka. Fitnah dapat menjadikan seseorang berpikir tentang sesuatu secara tidak semestinya atau bahkan berkebalikan. Demikian pula kelemahan akal akan menjadikan seseorang sulit untuk memberikan nilai secara benar terhadap suatu kebenaran atau kesesatan. Bila kedua hal tersebut terjadi, maka suatu kaum tidak akan menyadari manakala suatu ayat Alquran dibacakan kepada mereka oleh seseorang yang perkataan mereka sesuai dengan perkataan Rasulullah SAW, sebagai kalimat dalam tingkatan dzikir yang sebenarnya.

Apabila kaum itu terkena fitnah dalam kejadian demikian, fitnah itu sebenarnya terjadi karena perbuatan kaum itu sendiri, bukan karena perbuatan orang yang membacakan ayat Allah kepada mereka. Orang yang membacakan ayat Allah berdasar dzikir tidak mempunyai tanggung jawab terhadap fitnah yang menimpa kecuali dalam lingkup yang sangat terbatas. Bila kaum itu tetap membiarkan perbuatan mereka yang menimbulkan fitnah, mereka akan tertimpa fitnah mereka sendiri. Kadangkala keadaan lebih buruk, mereka boleh jadi mengagungkan sumber-sumber fitnah yang dilakukan di antara mereka atau menghalangi orang-orang yang berusaha menutup fitnah di antara mereka karena tipuan syaitan.

Demikian pula kelemahan dalam menggunakan akal akan menghalangi mereka memahami pembacaan ayat Alquran dengan pemahaman secara semestinya. Mereka bisa menganggap suatu kebenaran sebagai kesesatan dan menganggap kesesatan sebagai kebenaran. Itu merupakan kotoran yang ditimpakan Allah kepada orang yang tidak menggunakan akalnya. Setiap orang hendaknya berusaha menggunakan akalnya untuk memahami ayat-ayat Allah, tidak hanya mengikuti perkataan panutan mereka. Bila pemahamannya benar, akalnya akan menguat untuk memahami kehendak Allah. Bila ia keliru, sama saja bobot dosanya baik kekeliruan itu dari pemahamannya sendiri ataupun ketika ia mengikuti pemahaman orang lain. Selama ia berusaha berpikir dan memahami dengan benar sesuai batas kemampuan akalnya, ia tidak akan terbebani dosa yang berat. Bila pemahamannya salah, setidaknya ia tidak ditimpa Allah dengan kotoran akal, sedangkan bila ia hanya mengikuti perkataan orang lain tanpa memahami ia mungkin akan keliru dan tertimpa kotoran pada akalnya.

Setiap orang harus memperhatikan ayat-ayat Allah. Berusaha memahami ayat Allah merupakan pokok yang harus diupayakan. Untuk memahami ayat Allah, ia bisa mengikuti orang lain yang dapat membimbingnya, akan tetapi hendaknya ia tidak melupakan tujuannya untuk memahami ayat Allah dengan akalnya. Bila seseorang berusaha sendiri untuk memahami, ia mungkin akan menyusun pemahaman secara sembarangan dan tidak akan mengetahui kesalahan dalam menyusun pemahamannya. Seorang guru yang benar akan sangat membantu menyusun pemahaman yang benar. Ada adab murid yang harus dipenuhi dalam urusan ini, akan tetapi hendaknya adab itu tidak menjadikan seseorang murid boleh melanggar kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Guru yang benar akan mengajarkan tazkiyatun nafs sebagai landasan memahami ayat Allah.

Bila seseorang melanggar kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW dalam upaya memahami, atau mereka kacau dalam menyusun pemahaman, barangkali ia akan menjadi kaum yang bertanya mengapa tidak diutus kepada mereka rasul hingga mereka dapat mengikuti ayat Allah. Boleh jadi ia salah dalam memahami pengajaran gurunya, atau ia menutup mata dalam menyusun pemahaman yang benar tentang ayat Allah. Hal demikian tidak boleh terjadi. Setiap orang hendaknya menggunakan akalnya untuk memahami ayat-ayat Allah dan sunnah Rasulullah SAW dengan benar. Bila seseorang menjadi fanatik tidak melihat tuntunan ayat kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, mereka dapat menjadi kelompok orang yang ditimpa adzab yang menjadikan mereka rendah dan hina.

Penantian Bukti Kebenaran

Kelompok demikian akan menjadi penentang bagi penyampai ayat Allah, baik secara terang-terangan maupun hanya pada sikap dan pendirian mereka. Dalam pertentangan demikian, setiap pihak sebenarnya menantikan suatu peristiwa terbuktinya kebenaran pemahaman masing-masing. Penentang itu mengharapkan munculnya bukti kesalahan orang-orang yang mengikuti ayat Allah dan sunnah Rasulullah SAW, sedangkan orang yang mengikuti kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW mengharapkan para penentang memahami dan mengikuti kebenaran sesuai kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Masing-masing merasa benar dan menantikan bukti kebenaran dimunculkan.

﴾۵۳۱﴿قُلْ كُلٌّ مُّتَرَبِّصٌ فَتَرَبَّصُوا فَسَتَعْلَمُونَ مَنْ أَصْحَابُ الصِّرَاطِ السَّوِيِّ وَمَنِ اهْتَدَىٰ
Katakanlah: "Masing-masing (kita) menanti, maka nantikanlah oleh kamu sekalian! Maka kamu kelak akan mengetahui, siapa yang menempuh jalan yang lurus dan siapa yang telah mendapat petunjuk". (QS Thahaa : 135)

Masing-masing pihak merasa sebagai kelompok yang menempuh jalan yang lurus dan mendapat petunjuk, hanya saja ada perbedaan sikap di antara mereka. Salah satu pihak benar-benar menginginkan berusaha mengikuti ayat Allah dan sunnah Rasulullah SAW, sedangkan pihak lain merasa sebagai pihak yang benar dan mendapat petunjuk. Pihak yang berusaha mengikuti ayat Allah dan sunnah Rasulullah SAW berusaha mengetahui kebenaran dan kesalahan untuk membantu pemahaman penentangnya, sedangkan para penentang ingin melihat bukti kesalahan dari pihak lain. Masing-masing menanti, dan kelak akan mengetahui siapa yang menempuh jalan yang lurus dan mendapat petunjuk.

Bagi para pengikut Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, perbedaan seringkali tidak dapat diabaikan layaknya perbedaan pendapat manusia secara umum. Mereka mengetahui dan berkeinginan menunjukkan kepada kaumnya jalan untuk dekat kepada Allah. Itu merupakan hal yang sangat berharga yang ingin diberikan kepada kaumnya. Pada kasus lain, seringkali mereka mengetahui betapa berbahaya kesalahan yang dilakukan oleh para penentang mereka. Bila tidak diperingatkan, akan timbul bahaya yang sangat besar menimpa mereka. Mereka tidak akan mendekati perbantahan selama tidak ada hal yang berbahaya bagi kaumnya, dan akan berusaha menyelamatkan kaumnya manakala melihat bahaya. Hal-hal demikian akan membuat mereka tidak dapat tenang membiarkan perbedaan yang terjadi.

Demikian pula seringkali para penentang tidak dapat menerima penjelasan dari penyeru kepada ayat Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Manakala terjadi hal demikian, para penyeru akan berpegang pada prinsip dan mengatakan : "Masing-masing (kita) menanti, maka nantikanlah oleh kamu sekalian! Maka kamu kelak akan mengetahui, siapa yang menempuh jalan yang lurus dan siapa yang telah mendapat petunjuk". Ujung akhir dari penantian itu akan terjadi manakala terjadi adzab. Perbedaan itu tidak selalu mencapai ujung akhir manakala para penentang bertaubat kembali berusaha memahami ayat Allah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak memaksakan pemahaman mereka sebagai kebenaran. Selama pemahaman kebenaran mereka dipaksakan tanpa berlandaskan ayat Allah dan sunnah Rasulullah SAW, akan terjadi penantian dari masing-masing pihak hingga adzab Allah diturunkan di antara mereka.



Minggu, 18 Juni 2023

Mendzikirkan Asma Allah dengan Alquran

Tujuan akhir perjalanan kehidupan setiap manusia adalah mengikuti Rasulullah SAW hingga menjadi hamba yang didekatkan kepada Allah. Rasulullah SAW merupakan manusia yang dijadikan Allah sebagai penghulu semesta alam. Semesta alam diciptakan Allah untuk memperkenalkan Rasulullah SAW. Beliau adalah makhluk yang mampu mengenal seluruh hakikat penciptaan alam semesta yang hendak Allah perkenalkan, dan dengan keadaan itu beliau SAW dijadikan sebagai panutan bagi setiap makhluk untuk mengenal Allah. Tidak ada makhluk yang mengenal Allah dengan benar melalui jalan lain tanpa mengikuti tauladan Rasulullah SAW. Untuk menjadi hamba yang didekatkan, beliau SAW menegakkan dzikir dari bait yang diijinkan Allah untuk ditinggikan dan didzikirkan asma-Nya dalam rumah itu.

Mendzikirkan asma Allah merupakan bentuk ibadah yang dikehendaki Allah sebagai bentuk ibadah yang paling besar bagi setiap makhluk. Mendzikirkan asma Allah merupakan tugas yang ditetapkan bagi setiap manusia. Yang dimaksud dzikir adalah upaya seseorang merealisasikan pemahaman mereka tentang kehendak Allah bagi semesta mereka. Allah telah menentukan kewajiban mendzikirkan asma Allah sebelum nabi Adam a.s dan Hawa diturunkan ke bumi. Tidaklah manusia dan jin diciptakan Allah kecuali untuk beribadah, dan bentuk ibadah yang sebenarnya adalah berdzikir.

Berdzikir dengan cara demikian hanya dapat dilakukan bila seseorang memahami kitabullah Alquran hingga Alquran menceritakan kepada dirinya suatu bentuk dzikir yang harus dilakukannya. Tidak ada suatu dzikir tanpa landasan pengetahuan kitabullah Alquran. Seseorang mungkin bisa belajar berdzikir berdasarkan bacaan orang lain yang memahami kitabullah Alquran, tetapi dzikir yang sebenarnya terjadi manakala kitabullah Alquran memberikan cerita kepada dirinya tentang dzikir yang harus dilakukan dirinya.

﴾۳۱۱﴿وَكَذٰلِكَ أَنزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا وَصَرَّفْنَا فِيهِ مِنَ الْوَعِيدِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ أَوْ يُحْدِثُ لَهُمْ ذِكْرًا
Dan demikianlah Kami menurunkan Al Quran dalam bahasa Arab, dan Kami telah menerangkan dengan berulang kali, di dalamnya sebahagian dari janji-janji agar mereka bertakwa atau (agar) Al Quran itu menceritakan adz-dzikra bagi mereka. (QS Thahaa : 113)

Cerita dari Alquran tentang bentuk dzikir yang harus dilakukan seseorang merupakan bentuk ketakwaan yang diberikan Allah. Bia ia melaksanakan dzikir itu, ia menjadi orang yang bertakwa dengan sebenarnya. Seseorang dapat mengetahui kadar ketakwaannya berdasarkan nilai bacaan Alquran yang ditampakkan kepada dirinya. Atau seseorang belajar bertakwa dengan mengukur kesesuaian keadaannya dengan lafadz Alquran yang dapat dipahaminya. Seseorang tidak dapat mengukur kadar ketakwaan dirinya berdasarkan emosi yang ada pada suatu saat. Manakala seseorang merasa dekat kepada Allah, belum tentu sebenarnya ia dekat kepada Allah karena boleh jadi itu hanya luapan hawa nafsu. Hal demikian bisa digunakan untuk membina diri seseorang dalam ketaatan kepada Allah dengan menyentuh hawa nafsu, dan sangat mungkin merupakan suatu kebaikan, akan tetapi bukan suatu ukuran ketakwaan yang benar. Nilai ketakwaan seseorang dapat dilihat dari adz-dzikra yang muncul dari Alquran kepada dirinya.

Tanpa landasan Alquran, pengikut Rasulullah SAW tidak dapat mengukur ketakwaan diri. Setiap pengetahuan langit yang terbuka kepada seorang hamba hendaknya memperoleh landasan dari Alquran agar dapat diukur kebenarannya. Alquran dapat menunjukkan pengetahuan yang terbuka kepada seseorang dan mengklasifikasinya sebagai inti pengetahuan, pengetahuan sekunder atau hiasan-hiasan bagi pengetahuan yang terbuka atau bahkan bunga-bunga hawa nafsu yang terkandung dalam suatu pengetahuan. Dengan mengetahui klasifikasi pengetahuan berdasarkan Alquran, seseorang dapat mengukur kadar ketakwaan dirinya.

Sebagian dari pengetahuan inti yang terbuka kepada seorang hamba dari Alquran adalah adz-dzikra yang akan menceritakan kepada mereka bentuk amal ibadah yang terbesar bagi mereka. Tidak ada adz-dzikra yang tidak secara langsung berhubungan dengan suatu nash dari Alquran. Adz-dzikra tidak berbentuk sebagai pengetahuan turunan dari Alquran, tetapi selalu sebagai pengetahuan inti tentang suatu kandungan dalam nash Alquran. Suatu ayat Alquran boleh jadi membuka suatu pengetahuan yang sangat besar tentang ayat kauniyah pada semesta dan semua itu menjadi pengetahuan inti dari suatu ayat Alquran. Walaupun demikian hendaknya seseorang yang mengalami keterbukaan tetap berhati-hati terhadap kemungkinan kesalahan informasi, tanpa mengingkari adz-dzikra yang terbuka pada mereka.

Suatu adz-dzikra yang diberikan kepada seorang hamba berkaitan dengan adz-dzikra bagi sahabatnya. Suatu jamaah dapat mengikuti langkah sahabatnya untuk memperoleh adz-dzikra bagi masing-masing. Adz-dzikra bagi seseorang berkaitan dengan ruang dan jaman mereka, dan setiap orang pada ruang dan jaman yang sama pada dasarnya akan menghadapi ayat kauniyah yang sama, walaupun mungkin berbeda-beda dalam detail masalahnya. Dengan keadaan demikian, suatu adz-dzikra yang terbuka pada salah seorang di antara kaum akan dapat menjadi sumber adz-dzikra bagi yang lain, hanya saja bentuk-bentuk pengetahuan mereka mungkin berbeda.

Suatu adz-dzikra akan mempunyai dampak yang berbeda-beda terhadap kaum yang berbeda. Sekalipun sama-sama muslim, seringkali dampak yang timbul berbeda-beda tergantung akal mereka. Suatu kaum yang menggunakan akal akan mudah untuk mengenali dan bersama-sama mengerjakan amr Allah untuk ruang dan jaman mereka manakala suatu adz-dzikra diturunkan kepada salah seorang di antara kaum tersebut. Kaum yang tidak menggunakan akal dan pikiran seringkali hanya akan ditimpa kebingungan membaca suatu adz-dzikra yang diberikan. Mereka tidak akan mudah untuk menilai bobot suatu kebenaran dan membedakannya dari kesesatan hingga suatu kesesatan disangka sebagai kebenaran dan suatu kebenaran disangka sebagai kesesatan. Kebingungan demikian merupakan najis (ar-rijs) yang ditimpakan Allah kepada kaum yang tidak menggunakan akalnya.  

Mawas Diri dengan Alquran

Bila seseorang melaksanakan dzikir mereka, mereka sebenarnya juga meninggikan asma Allah bagi semesta mereka. Semesta mereka akan melihat bahwa Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya. Mereka memahami hal demikian dengan akal mereka, tidak berdasarkan suatu doktrin yang tidak mereka pahami maknanya. Sebagian manusia menyusun perkataan tentang Allah tanpa berdasar pengetahuan karena mengikuti syaitan tanpa menyadari. Sebagian orang berusaha mengagungkan asma Allah dengan hawa nafsu mereka, maka mereka tidak berhasil mengantarkan orang-orang yang mengikuti menjadi memahami bahwa Maha Tinggi Allah Raja yang sebenar-benarnya kecuali hanya anggukan kepala tanpa memahami maknanya. Sebagian di antara orang yang mengagungkan asma Allah justru mencegah para pengikut mereka menggunakan akal dan pikiran mereka dan menjadikan mereka sebagai kaum yang bodoh tanpa akal hingga mungkin mereka menghinakan orang-orang yang memperoleh adz-dzikra.

﴾۴۱۱﴿فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِن قَبْلِ أَن يُقْضَىٰ إِلَيْكَ وَحْيُهُ وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا
Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan". (QS Thahaa : 114)

Salah satu keadaan yang justru bisa menjadikan suatu kaum menjadi bodoh adalah tergesa-gesanya seseorang dengan Alquran sebelum sempurna diturunkannya pemahaman mereka hingga mencapai keadaan adz-dzikra. Pada dasarnya ilmu dari Alquran bagi hamba-Nya tidak akan pernah mencapai kesempurnaan dan akan selalu bertambah hingga tidak akan pernah suatu pemahaman Alquran diturunkan secara sempurna. Akan tetapi ada suatu keadaan dimana suatu ayat Alquran dikatakan diturunkan secara sempurna, yaitu manakala Alquran memberikan cerita tentang Adz-dzikra yang menjadi amal shalih bagi seseorang bagi ruang dan jaman mereka.

Adz-dzikra akan menempatkan seseorang pada suatu kedudukan di antara al-jamaah, yaitu para pengikut Rasulullah SAW yang sebenarnya. Mereka akan dijadikan memahami kedudukan Rasulullah SAW di antara semua ciptaan, dan memahami kedudukan dirinya di antara para pengikut Rasulullah SAW. Ia mengenal kepada siapa ia harus bermakmum agar terhubung kepada Rasulullah SAW. Ia mencapai sebuah musyahadah yang sebenarnya, bahwa tiada Ilah selain Allah dan bahwa nabi Muhammad SAW adalah Rasul Allah. Kedudukan ini akan diperoleh seorang hamba Allah setelah ia mengenal penciptaan dirinya. Walaupun seseorang yang mengenal diri dikatakan mengenal rabb-nya, pengesahan musyahadah seorang hamba yang sebenarnya terhadap ilahiah bukanlah musyahadah penciptaan diri, tetapi musyahadah bahwa nabi Muhammad SAW adalah Rasul Allah. Seseorang tidak dikatakan tergesa-gesa membacakan Alquran manakala ia mengetahui dzikirnya sebagai bagian dari amr jami’ yang diturunkan kepada Rasulullah SAW.

Ketergesaan seseorang membacakan Alquran ditunjukkan dengan pengakuan diri terhadap status dalam Alquran tanpa memahami kedudukan dirinya dalam Al-jamaah. Tidak ada salahnya bagi setiap orang mengajarkan kandungan kitabullah kepada orang lain selama dilakukan berdasar kebenaran dengan niat yang baik, akan tetapi pengajaran itu akan menjadi salah manakala ia melakukan pengakuan-pengakuan status diri dalam Alquran sedangkan ia tidak mengetahui kedudukan dirinya di antara jamaah Rasulullah SAW. Kesempurnaan pemahaman Alquran mempunyai beberapa parameter yang kokoh dan menyatu yang harus terpenuhi. Bila seseorang tergesa-gesa membacakan Alquran, ia tidak akan menemukan adz-dzikra dan tidak dapat mendzikirkan dan meninggikan asma Allah bagi semesta mereka, atau justru akan menimbulkan kerusakan di antara umatnya. Mereka akan terhijab karena ketergesa-gesaannya.

Orang yang telah memperoleh adz-dzikra tidak termasuk dalam golongan orang yang tergesa-gesa dengan Alquran. Hukum tentang ketergesaan dengan Alquran tidak berlaku bagi mereka sehingga mereka boleh melakukan pengakuan terhadap kedudukan diri dalam Alquran atau tidak melakukannya agar umat lebih tajam dalam memperhatikan Alquran. Manakala mereka menegaskan kedudukan diri mereka, mereka berkeinginan agar orang lain memperhatikan Alquran, tidak memperhatikan dirinya. Penegasan mereka bukan ketergesaan dengan Alquran, karena mereka mengetahui kandungan dalam Alquran bukan hanya sampulnya saja. Penegasan pengakuan seseorang yang memperoleh Adz-dzikra tentang kedudukan mereka dalam Alquran salah satunya seringkali menunjukkan adanya kelemahan akal suatu kaum dalam memperhatikan Alquran sedangkan mereka merasa mempelajarinya. Seseorang yang dengan mudah menunjukkan kedudukan diri mereka seringkali termasuk dalam golongan yang tergesa-gesa dengan Alquran tanpa mawas diri.

Bagi kaum yang mencari adz-dzikra bagi mereka, hendaknya mereka memperhatikan benar-benar kandungan Alquran yang disampaikan kepada diri mereka. Hanya pemahaman Alquran yang dikatakan sempurna yang dapat mengantarkan menemukan adz-dzikra. Tidak semua ilmu Alquran yang disampaikan orang lain kepada mereka merupakan pemahaman yang sempurna yang dapat mengantarkan mereka menemukan adz-dzikra. Sebagian dari ilmu Alquran yang menakjubkan kadangkala hanya merupakan sampul-sampul pengetahuan yang diturunkan melalui Alquran, bukan kandungan yang sebenarnya yang dapat mengantarkannya memperoleh adz-dzikra. Sumpah-sumpah seorang pengajar tentang keadaan diri mereka tidak dapat dijadikan pegangan bahwa mereka tidak tergesa-gesa dengan Alquran, karena hal itu seringkali justru menunjukkan ketergesa-gesaan dengan Alquran. Setiap orang hendaknya memperhatikan kandungan Alquran untuk dapat melihat orang-orang yang dapat mengantarkan diri mereka menuju adz-dzikra.

Bagi orang-orang dalam Al-jamaah, tidak ada yang merasa bahwa mereka adalah orang yang paripurna. Hanya Rasulullah SAW insan yang paripurna, sedangkan yang lain menempati hanya kedudukan tertentu sebagai bagian dalam al-jamaah. Hal ini tidak berarti menghilangkan adanya hirarki imam dan makmum, hanya saja setiap diri akan berusaha sebaik-baiknya untuk memperoleh pengetahuan terbaik melalui ketakwaan. Kebersamaan dalam al-jamaah itu telah mencukupi bagi mereka, akan tetapi dalam hal ilmu mereka selalu memohon kepada Allah agar Allah menambahkan kepada mereka ilmu yang bermanfaat. Hal itu terkait dengan kebutuhan pengetahuan mereka tentang Allah dan kehendak-Nya, bukan untuk kemegahan diri mereka sendiri. Tidak ada seseorang dalam Al-jamaah merasa lebih unggul karena pengetahuannya, tetapi lebih merasa perlu memperoleh pengetahuan bersama yang lain.

Selasa, 13 Juni 2023

Dzikir Sebagai Jalan Taubat

Manusia diciptakan sebagai khalifatullah di bumi yang memperoleh amanah untuk memakmurkan bumi mereka. Walaupun demikian, manusia bukan sepenuhnya makhluk bumi. Mereka adalah makhluk yang diciptakan di surga yang dilengkapi dengan jasmani dari bumi. Sebenarnya jati diri penciptaan manusia adalah nafs wahidah yang ada dalam diri mereka sebagai entitas yang layak tinggal di surga, dan jasmani mereka merupakan kelengkapan yang dipakaikan kepada mereka untuk kehidupan di bumi dan di akhirat kelak.

Manusia akan ditarik oleh kehidupan jasmani mereka hingga mereka hidup layaknya makhluk bumi sepenuhnya atau lebih buruk lagi. Hal itu merupakan penurunan dari keadaan yang tinggi, dan telah dialami oleh manusia sejak penciptaan Adam dan Hawa di surga. Hampir setiap manusia akan mengalami penurunan derajat dari makhluk langit menuju makhluk bumi kecuali beberapa insan yang dikehendaki Allah. Akan tetapi Allah menghendaki manusia menjadi pemakmur bumi mereka. Hal ini hanya akan dapat dilakukan bila manusia menempuh jalan kembali kepada Allah hingga mereka mengetahui jati diri penciptaan diri mereka.

﴾۳۲۱﴿قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ
Allah berfirman: "Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. (QS Thahaa : 123)

Ayat di atas menjelaskan peristiwa pengusiran Adam dan Hawa dari surga menuju bumi. Adam dan Hawa merupakan gambaran tentang kesatuan diri manusia dengan bagian dirinya. Adam lebih menunjukkan jati diri manusia sebagai nafs wahidah yang mempunyai akal kuat untuk memahami kehendak Allah, sedangkan Hawa lebih menunjukkan aspek manusia pada sisi jasmaniah yang membawa khazanah duniawi bagi suami mereka. Penyatuan kedua entitas itu akan membawa pemakmuran bagi alam bumi mereka karena terlahirnya pemahaman seseorang terhadap kehendak Allah ke alam bumi. Akan tetapi dalam kehidupan di bumi, kedua entitas dalam diri setiap manusia akan diturunkan derajat mereka ke alam bumi karena pengaruh aspek jasmaniah dan tipu daya syaitan.

Turunnya manusia dari keadaan mereka menjadi serupa dengan makhluk bumi akan menjadikan mereka bermusuh-musuhan satu dengan yang lain. Akal mereka menjadi lemah dan hawa nafsu menguat hingga timbul permusuhan satu dengan yang lain. Permusuhan itu muncul dalam diri setiap manusia karena tumbuhnya hawa nafsu. Bila akal menguat hingga dapat memahami kehendak Allah, manusia akan mempunyai jalan untuk mengurangi dorongan permusuhan dalam diri mereka. Bila tidak ada akal yang kuat manusia akan cenderung selalu bermusuh-musuhan satu dengan yang lain.

Kekuatan akal ditunjukkan dengan kemampuan untuk memahami dan melaksanakan kehendak Allah yang diturunkan melalui petunjuk-petunjuk-Nya. Orang yang memahami dan melaksanakan petunjuk-petunjuk yang diturunkan Allah kepada mereka merupakan orang-orang yang mengikuti petunjuk-Nya. Sebagian orang tidak menerima petunjuk, sebagian menerima petunjuk tetapi tidak memahami, sebagian memahami tetapi tidak mempunyai keberanian melaksanakan, atau tidak mempunyai kemampuan melaksanakan hingga menunda pelaksanaannya atau tidak melaksanakannya, dan sebagian orang memahami dan melaksanakan. Orang yang memahami dan berusaha melaksanakan petunjuk Allah itulah orang yang mengikuti petunjuk Allah. Mereka itulah orang-orang yang tidak tersesat dan tidak akan celaka.

Petunjuk Allah adalah petunjuk yang diturunkan Allah kepada hamba-Nya. Sangat banyak petunjuk yang mungkin diterima oleh seorang manusia, dan sebagian di antara petunjuk itu adalah petunjuk Allah. Selain Allah, banyak makhluk dapat memberikan petunjuk kepada manusia, di antaranya syaitan selalu memberikan hembusan-hembusan ke dada-dada setiap manusia agar manusia mengikuti kehendak syaitan. Hendaknya setiap orang tidak bermudah-mudah menyangka bahwa petunjuk kepada dirinya adalah petunjuk Allah. Ia harus menguji dengan benar petunjuk yang diterima dirinya.

Petunjuk dan Dzikir

Petunjuk Allah diberikan kepada hamba-Nya yang ingin berdzikir kepada Allah. Dzikir kepada Allah adalah keinginan mewujudkan kehendak Allah yang menjadi amanah bagi dirinya dalam kehidupan di alam dunia. Berdzikir merupakan jalan ibadah yang paling besar bagi setiap hamba Allah. Manakala petunjuk-petunjuk yang diterima oleh seorang manusia tidak terkait dengan suatu keinginan untuk berdzikir kepada Allah, petunjuk itu belum tentu merupakan petunjuk Allah. Seseorang yang tidak mempunyai bersit keinginan mengetahui kehendak Allah atas dirinya sebagai jalan penghambaan dirinya tidak akan menerima petunjuk Allah, walaupun sangat mungkin ia menerima banyak petunjuk dari yang lain.

﴾۴۲۱﴿وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ
Dan barangsiapa berpaling dari dzikir kepada-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". (QS Thahaa: 124)

Wujud petunjuk Allah akan tumbuh dalam diri setiap hamba Allah selaras dengan langkah uswatun hasanah dalam berdzikir kepada Allah. Petunjuk-petunjuk Allah akan mengarahkan seseorang untuk mengenal jati diri penciptaannya dan mengenali kebersamaan dengan pasangannya dan dapat mendzikirkan dan meninggikan asma Allah melalui kebersamaan itu. Barangkali pada awalnya seseorang tidak mengerti makna petunjuk yang diberikan kepada diri mereka. Petunjuk itu akan tumbuh pemahamannya bila digunakan untuk memahami kitabullah dan ayat-ayat kauniyah dirinya dengan hati yang hanif dan berharap memahami kehendak Allah atas dirinya.

Dengan cara demikian, seseorang akan menuju dan melewati tahapan tiba di tanah haram yang dijanjikan bagi dirinya, kemudian menuju tahapan membentuk bayt di tanah haramnya tersebut bersama isterinya hingga memperoleh izin Allah untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah di dalam bait mereka. Bila suatu petunjuk tidak menjadikan seseorang melewati tahapan-tahapan itu, boleh jadi petunjuk itu bukan petunjuk Allah atau sebenarnya ia tidak mengikuti petunjuk Allah. Atau tidak ada keinginan berdzikir kepada Allah.

Tahapan itu hendaknya dijadikan alat untuk mengevaluasi langkah dzikir mereka kepada Allah. Tahapan itu bersifat integral dan saling membantu. Mencari bentuk dzikir, mengelola pernikahan dan mencari pengenalan diri harus dilakukan secara sinergis bersama karena saling menentukan keberhasilan. Berusaha mengenali bentuk dzikir akan mengantarkan seseorang untuk mengenali jati dirinya. Demikian pula pernikahan yang baik akan memudahkan seseorang mengenal penciptaan dirinya. Jati diri seseorang sebenarnya menyatu dengan jati diri isteri sehingga profil jati diri dapat dilihat secara lebih komplit melalui pernikahan. Pengenalan terhadap diri dan terhadap isteri akan menjadi bekal seseorang membentuk bayt untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah. Bila seseorang melupakan salah satunya, ia akan kehilangan salah satu alat kontrol dan evaluasi. Misalnya bila tidak menyadari bahwa keberhasilan mereka diperoleh melalui proses kebersamaan dalam pernikahan, ia atau mereka akan mudah didorong syaitan pada suatu kekejian dan kemunkaran tanpa kendali evaluasi. Mereka bisa saja kemudian kehilangan media berdzikir berbentuk bayt untuk berdzikir dan meninggikan asma Allah.

Setiap orang hendaknya memperhatikan proses setiap tahapan dengan sebaik-baiknya karena akan mempengaruhi kualitas tahap berikutnya. Setiap akhir tahapan menuju tahap baru hendaknya diperhatikan dengan sebaik-baiknya hingga tahapan berikutnya dapat ditempuh dengan baik. Manakala seseorang mengalami keterbukaan pengenalan jati diri penciptaannya, hendaknya ia memeriksa semua pengetahuannya dengan kitabullah dan menimbang manfaat pengetahuannya. Tanpa hal ini, syaitan akan mudah menyesatkan. Syaitan telah menunggu setiap manusia pada masa terbit dan tenggelamnya ruh. Barangsiapa berpaling dari dzikir kepada Allah maka bagi mereka kehidupan yang sempit dan kelak akan dikumpulkan dalam keadaan buta.

Setiap orang hendaknya mengikuti petunjuk Allah. Seringkali petunjuk Allah itu berat bagi hawa nafsu, tetapi mengikutinya akan menyelamatkan langkah mereka dari kesesatan dan kesengsaraan. Petunjuk itu akan mengarahkan manusia pada jalan menuju Allah melalui dzikir kepada-Nya. Dzikir seseorang kepada Allah akan mendatangkan banyak rezeki bagi dirinya baik rezeki jasmaniah maupun rezeki bagi bathin mereka, karenanya mereka akan terhindar dari kesengsaraan dengan mengikuti petunjuk Allah. Itu merupakan nikmat Allah. Kufur kepada nikmat Allah akan mendatangkan adzab yang menyengsarakan.

Menolak petunjuk akan mendatangkan kesengsaraan karena adzab Allah, yaitu bila petunjuk itu terkait dengan jalan berdzikir kepada Allah. Suatu petunjuk terkait dengan pernikahan merupakan petunjuk yang sangat besar karena terkait bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah. Petunjuk pernikahan terkait pula dengan jati diri nafs wahidah. Di tahapan apapun, petunjuk pernikahan merupakan petunjuk yang bernilai besar. Manakala berat bagi hawa nafsu, petunjuk itu sangat mungkin merupakan petunjuk yang benar, sedangkan bila menyenangkan bagi hawa nafsu maka sulit untuk mengukur bobot kebenaran petunjuk itu. Setiap orang hendaknya berusaha mengikuti petunjuk tidak menolaknya. Bila belum diberi kemampuan atau kesempatan, ia mungkin boleh menunda pelaksanaan petunjuk itu tetapi tidak menolaknya. Bila ia menolak petunjuk, ia akan sangat mudah atau telah tersesat karena memilih jalan kehidupan berdasarkan hawa nafsu, dan akan menghadapi kehidupan yang menyengsarakan.

Kitabullah dan Sunnah Sebagai Petunjuk

Banyak orang merasa mengikuti petunjuk tetapi tidak mengerti keterkaitannya dengan dzikir dan jalan berdzikir mereka kepada Allah. Petunjuk-petunjuk bagi mereka barangkali akan banyak bermunculan tetapi sebenarnya tidak benar-benar menjadi petunjuk karena tidak berkaitan dengan dzikir kepada Allah. Sebagian manusia tidak membina sarana untuk berdzikir dengan petunjuk karena tidak mempunyai keinginan berdzikir tetapi hanya berkeinginan terhadap petunjuk. Kadangkala mereka membina sarana berdzikir berdasarkan petunjuk sembarangan atau petunjuk yang salah tidak menimbang dengan berdasar kebutuhan untuk berdzikir yang terbebas dari kekejian dan kemunkaran. Kelak mereka boleh jadi akan dibangkitkan di akhirat dalam keadaan buta meskipun memperoleh banyak petunjuk-petunjuk selama kehidupan di dunia.

Berdzikir kepada Allah hanya dapat dilakukan bila seseorang memahami kehendak Allah berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Manusia tidak dapat memahami dengan akurat kehendak Allah tanpa berpegang pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Setiap orang harus berusaha menselaraskan pemahaman mereka dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW hingga masalah-masalah detail yang terkait diri mereka. Membina pemahaman demikian itu kelak akan menjadi syafaat bagi mereka di hadapan Allah, hingga mungkin Allah akan memberikan izin kepada orang-orang yang diridhai perkataan mereka untuk memberikan syafaat setelah Rasulullah SAW, yaitu orang yang mempunyai perkataan selaras dengan kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW.

﴾۹۰۱﴿يَوْمَئِذٍ لَّا تَنفَعُ الشَّفَاعَةُ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمٰنُ وَرَضِيَ لَهُ قَوْلًا
Pada hari itu tidak berguna syafa'at, kecuali (syafa'at) orang yang Ar-Rahman telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya. (QS Thahaa : 109)

Mengikuti kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW bersifat wajib bagi setiap orang yang berusaha kembali kepada Allah dengan mendzikirkan asma Allah. Seseorang tidak bisa mengandalkan dirinya sendiri untuk kembali kepada Allah, tetapi harus berpegang pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Sebelum Rasulullah SAW diutus, Iblis masih sangat merindukan Rabb yang dahulu mengusirnya dari surga dan ingin kembali kepada-Nya tetapi ia memilih jalannya sendiri untuk kembali kepada-Nya, tidak mau menerima jalan yang ditentukan Allah. Seberapapun besar kerinduannya pada Rabb-nya tidak dapat menjadikannya dekat kepada Allah. Demikian pula manusia, ia harus mencari jalan yang ditentukan Allah dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW tidak mengandalkan dirinya sendiri.

Minggu, 11 Juni 2023

Peran Perempuan dalam Pembinaan Umat

Rasulullah SAW dan orang-orang yang bersama beliau senantiasa menyeru manusia untuk kembali kepada Allah. Allah telah menurunkan suatu tauladan yang baik dalam diri Rasulullah SAW dan Ibrahim a.s. Beliau menjadi panutan bagi manusia untuk menempuh perjalanan kembali kepada Allah. Nabi Ibrahim a.s telah melakukan perjalanan kembali kepada Allah hingga Allah berkenan memperkenalkan suatu tajalli diri-Nya kepada beliau a.s, sedangkan Rasulullah SAW dimi’rajkan untuk bertemu dengan tajalli Allah dalam derajat yang paling tinggi di semesta alam. Perjalanan beliau untuk bertemu dan mengenal tajalli Allah dijadikan sebagai tauladan bagi umat manusia yang berharap untuk mengenal Allah dan berharap kehidupan akhirat.

Allah berkedudukan Maha Tinggi yang tidak dapat dijangkau atau dikenali oleh makhluk, akan tetapi Dia menurunkan arah perjalanan yang dapat ditempuh oleh manusia agar bisa berjalan mendekat kepada Allah. Arah itu berupa kiblat. Kiblat paling utama bagi orang yang bertaubat adalah bayt al-haram di makkah. Bayt tersebut merupakan representasi dari keluarga nabi Ibrahim a.s bersama siti Hajar dan Ismail. Setiap orang hendaknya mengambil arah kehidupan di bumi meniru kehidupan beliau dengan membentuk rumah untuk meninggikan asma Allah dan mendzikirkannya.

Menumbuhkan Kasih Sayang Umat Manusia

Salah satu fungsi terbentuknya bayt untuk meninggikan asma Allah dan mendzikirkannya adalah terwujudnya rasa mawaddah dalam diri seseorang terhadap umat mereka bahkan hingga terhadap orang-orang yang pernah dimusuhi. Ada suatu fungsi keumatan yang melekat pada perempuan dan menjadi jalan bagi suaminya untuk menumbuhkan rasa mawaddah terhadap umat mereka. Mawaddah yang demikian itu mungkin terbentuk selama tidak terjadi pengusiran atau peperangan terhadap orang beriman, dan orang beriman berusaha mengikuti uswatun hasanah kembali kepada Allah dengan mengikuti kiblat membentuk bait untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah.

﴾۷﴿ عَسَى اللَّهُ أَن يَجْعَلَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الَّذِينَ عَادَيْتُم مِّنْهُم مَّوَدَّةً وَاللَّهُ قَدِيرٌ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Mumtahanah : 7)

Permusuhan terjadi di antara manusia karena perbedaan, baik arah langkah kehidupan maupun adanya perbedaan ragam di antara manusia. Bila suatu bangsa mempunyai kelompok-kelompok yang mempunyai arah kehidupan berbeda, mereka akan terpecah belah dan sulit disatukan. Demikian pula perbedaan ragam bisa menyebabkan suatu bangsa bertengkar dan bermusuhan, tetapi akan bisa disatukan manakala mengetahui arah yang sama di antara mereka. Menyatukan hal demikian membutuhkan pedoman berupa pengetahuan mengikuti uswatun hasanah di antaranya dalam membentuk bayt.

Bayt merupakan representasi pencapaian kesempurnaan manusia sebagai makhluk langit dan bumi. seorang laki-laki merupakan makhluk dengan akal yang kuat dan seorang perempuan merupakan makhluk yang membawa khazanah kebumian. Laki-laki shalih akan memperoleh akses ke khazanah bumi bila menikah bersama perempuan shalihah. Tanpa pernikahan, seorang laki-laki hamba Allah akan berstatus sebagai orang asing bagi alam bumi, seperti Musa yang lemah sangkut paut identitasnya dengan sumur madyan dan umatnya. Bila menikah dengan perempuan shalihah, seorang laki-laki hamba Allah memperoleh pintu masuk menuju sumber air pengetahuan dan memberikan airnya kepada umat. Ada identitas terkait dengan umat dan sumber pengetahuan mereka yang akan melekat pada laki-laki itu karena pernikahannya. Jiwa perempuan membutuhkan seorang suami yang shalih agar dapat memberikan minuman kepada gembalaannya, dan dirinya adalah pintu bagi suaminya agar memiliki identitas terhadap sumber pengetahuan bagi umatnya.

Dengan pernikahan untuk menempuh jalan kembali kepada Allah, seorang beriman dapat membina rasa mawaddah terhadap umat mereka bahkan hingga orang-orang yang mereka musuhi. Setiap perempuan mempunyai peran sangat besar dalam membentuk suasana keumatan yang baik di antara masyarakat karena suami mereka hanya akan mempunyai akses terhadap suasana keumatan manakala mereka menempatkan suami mereka sebaik-baiknya. Bila para perempuan suatu negeri rusak, maka negeri itu akan rusak tidak akan dapat membina kebersamaan dalam masyarakat. Misalnya para laki-laki di antara mereka shalih, mereka tidak akan mempunyai kemampuan membina masyarakat mereka karena tidak mempunyai akses kepada masyarakat. Perempuan mempunyai peran kunci dalam membentuk masyarakat, bila mereka baik maka akan baik pula masyarakat suatu negeri, dan bila mereka rusak maka akan rusak pula keadaan masyarakat di suatu negeri.

Orang-orang musyrik akan sangat mudah menceraiberaikan umat islam manakala tidak memperhatikan kiblat mereka. Umat islam akan mudah dibuat berselisih dengan sesama muslim. Sebagian muslim menjadi kacung bagi propaganda musyrikin terhadap muslim yang lain, sebagian muslim dikelola untuk membuat rumusan teori agama yang melemahkan akal umat, sebagian dibuat mennghalangi sahabatnya, sebagian melawan propaganda tanpa mengetahui jalan keluar dari masalahnya, dan hanya sedikit orang yang menempuh jalan lurus mengikuti kiblat untuk memperoleh jalan keluar bagi umat islam.

Perempuan Sebagai Makmum

Dalam urusan meninggikan dan mendzikirkan asma Allah, perempuan harus menjadi pengikut bagi laki-aki yang beriman. Ada batas yang tidak dapat dilewati perempuan dalam hubungan mereka kepada Allah. Setiap laki-laki pun sebenarnya mempunyai batas yang tidak dapat mereka lewati kecuali Allah memberikan jalan bagi mereka untuk mendekat, tetapi sifatnya kurang terlihat umum sebagaimana perempuan. Jalan bagi laki-laki adalah mengenal nafs diri mereka, sedangkan bagi perempuan adalah suami mereka. Dalam urusan ini, setiap perempuan harus berusaha mengikuti laki-laki beriman. Setiap perempuan yang ingin serta dalam meninggikan dan mendzikirkan asma Allah hendaknya datang kepada kaum laki-laki beriman.

﴾۰۱﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُم مَّا أَنفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنفَقُوا ذٰلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS Al-Mumtahanah : 10)

Ayat ini terkait kaum wanita yang berhijrah kepada kaum beriman karena keimanan, dan mewajibkan orang beriman melindungi mereka dengan seksama. Orang-orang beriman hendaknya menguji para perempuan yang hijrah menuju keimanan yang datang kepada mereka. Banyak latar belakang yang menjadi dasar seseorang berhijrah kepada kaum beriman, dan boleh jadi mereka datang bukan karena keimanan. Sebagian orang hijrah karena menginginkan harta, sebagian menginginkan laki-laki yang diinginkan, dan ada orang yang menginginkan kedudukan. Sangat banyak motivasi yang menjadi latar berhijrahnya perempuan.

Menguji keimanan itu bertujuan agar kaum laki-laki beriman mengetahui bahwa iktikad para perempuan yang berhijrah tersebut di atas landasan keimanan. Allah telah dan lebih mengetahui keimanan mereka, akan tetapi kaum laki-laki beriman perlu mengetahui keimanan dari kaum perempuan itu secara langsung dengan mengujinya. Manakala telah jelas bagi orang beriman bahwa para perempuan itu hijrah karena keimanan dalam diri mereka, orang beriman terikat pada suatu perintah Allah. Bilamana suami mereka adalah orang-orang kafir yang memerangi atau mengusir orang beriman, mereka tidak boleh dikembalikan kepada suami mereka. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir yang memerangi orang beriman, dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi perempuan-perempuan beriman. Hukum demikian bersifat timbal balik. Kaum laki-laki beriman hendaknya tidak mempertahankan isteri-isteri mereka yang kafir dan memusuhi orang beriman.

Tujuan utama menguji para perempuan yang berhijrah adalah agar orang beriman tidak mengembalikan mereka kepada orang-orang kafir, sedangkan mereka menginginkan hijrah bersama orang-orang beriman menjauh dari orang-orang kafir yang memerangi atau mengusir orang beriman. Banyak parameter yang dapat diperoleh orang beriman dari menguji para perempuan yang berhijrah. Parameter utama yang hendaknya orang beriman lihat adalah keimanan yang ada pada mereka yang melatarbelakangi hijrah mereka. Bila ada parameter lain, tingkatan parameter itu ada di bawah keimanan sebagai motivasi hijrah itu. Parameter yang lain itu barangkali dapat digunakan untuk mengambil tindakan yang paling tepat, tetapi hendaknya dilakukan setelah melihat keimanan dalam motivasi hijrah mereka.

Demikian hukum yang berlaku dalam langkah mengikuti uswatun hasanah nabi Ibrahim a.s terkait para perempuan yang berhijrah. Kaum perempuan demikian itu merupakan pelaku utama membangun mawaddah di antara masyarakat. Sulit diharapkan kebaikan pada masyarakat bila tidak ada perempuan yang berhijrah mengikuti keimanan. Kesalahan dalam mensikapi keinginan perempuan berhijrah akan membuat suasana bermasyarakat mudah berselisih dan tidak nyaman. Para laki-laki beriman hendaknya menikah dengan perempuan beriman dan perempuan beriman hendaknya menikah dengan laki-laki beriman. Setiap akal yang terhubung dengan pengetahuan ilahiah hendaknya dihubungkan hingga bumi mereka, dan setiap keinginan untuk terhubung kepada Allah hendaknya dihubungkan tidak diputuskan. Tidak halal memutuskan keinginan untuk terhubung kepada Allah dengan memutuskan sarana yang mungkin dapat menghubungkan mereka. Dalam hal perempuan, media untuk menghubungkan kepada Allah adalah suaminya. Akan tetapi hendaknya keinginan dari alam jasmaniah diperiksa dengan benar agar diperoleh langkah yang paling baik.

 

Menguji Perempuan Berhijrah

Pada dasarnya hanya perlu langkah sederhana bagi perempuan untuk membuktikan bahwa iktikad hijrah mereka berdasar keimanan, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan terjadi salah paham terhadap orang yang menguji mereka. Pada pokoknya, orang beriman yang menguji para perempuan itu harus melihat keimanan yang ada dalam hati para perempuan yang berhijrah tersebut, maka kemudian ia berkewajiban melindungi para perempuan itu. Mungkin saja ada keimanan perempuan tersebut dalam pandangan Allah tetapi tidak terlihat oleh manusia, karenanya orang beriman yang menguji berhukum pada apa yang dipersepsinya. Hendaknya para perempuan yang berhijrah menunjukkan keimanan dan motivasi hijrah mereka dengan baik, tidak membuat persepsi yang keliru bagi kaum laki-laki beriman.

Hendaknya para perempuan yang berhijrah menghindari segala sesuatu yang menunjukkan kesan fanatik pada sesuatu yang mungkin akan menghalangi mereka untuk melangkah pada jalan yang baru. Hal itu terkait dengan keimanan yang ada pada diri mereka. Bila ada kesan demikian, tidak ada kewajiban bagi orang beriman untuk mempertahankan mereka bersama orang beriman. Dalam beberapa kasus, orang beriman boleh jadi mempunyai sentimen tertentu terkait perlakuan orang-orang yang memusuhi sehingga mempengaruhi sikapnya terhadap para perempuan yang diuji. Bila demikian, sangat mungkin seorang yang menguji salah dalam mengambil kesimpulan. Hendaknya perempuan yang diuji memperhatikan hal demikian. Banyak hal yang hendaknya dipertimbangkan seorang perempuan dalam pengujian itu untuk menunjukkan keimanan sebagai landasan hijrahnya.

Hijrah para perempuan dari kaum kafir menuju kaum beriman adalah hijrah terbesar mereka. Banyak tingkatan hijrah kaum perempuan menuju keadaan yang lebih baik yang tidak sampai menjadikan mereka boleh diceraikan dari suami mereka, tetapi mungkin masih perlu tindakan yang bersifat diceraikan dari keadaan lama. Hijrahnya perempuan menuju keadaan yang lebih mengikuti millah nabi Ibrahim a.s akan membawa kebaikan bermasyarakat. Terbukanya kemampuan perempuan memahami suami merupakan contoh hijrah dalam jenis ini, sedangkan fanatisme yang merusak kemampuan memahami merupakan contoh buruknya. Kadangkala untuk suatu kebaikan, perempuan yang berhijrah perlu dipisahkan dari alamnya yang terdahulu agar ia memperoleh jalan menuju keimanannya, maka hendaknya para perempuan mempersiapkan keadaannya untuk dipisahkan dari keadaan lama menuju keadaan baru.

Suatu perceraian hendaknya diikuti dengan pernikahan, tidak semata diceraikan dari arah kehidupan mereka. Setiap perempuan yang berhijrah hendaknya bersegera mengikuti kiblat baru kehidupan mereka, tidak dibiarkan mengambang hidup tanpa arah. Manakala seorang yang tidak bersuami menemukan jodohnya, hendaknya mereka ditolong untuk memperoleh keadaan barunya. Hijrah mereka akan mendatangkan kebaikan pada masyarakat berupa mawaddah pada masyarakat tersebut dan berkurangnya permusuhan yang mungkin timbul pada masyarakat. Bila dibiarkan menyendiri, masyarakat di sekitar mereka akan mudah tersulut fitnah yang mengacaukan keadaan masyarakat.

Dalam kasus perempuan beriman yang sendirian, seringkali fitnah bukan berasal dari perempuan itu, tetapi dari sikap masyarakat yang mengundang fitnah melalui mereka. Masalah berat yang melanda masyarakat muslim modern dalam perkara demikian bukan pilihan kufur atau iman, tetapi bercampurnya kebathilan terhadap yang haq. Para perempuan akan kesulitan berhijrah menuju keimanan karena akal mereka tidak dapat membedakan yang hak dan bathil, maka masyarakat akan mudah dilanda fitnah yang membuat kehidupan mereka bergoyang. Pembinaan para perempuan membutuhkan laki-laki yang mampu berjuang membela yang haq. Menceraikan merupakan tugas orang beriman yang mengetahui keimanan perempuan yang berhijrah. Perempuan yang berhijrah tidak dapat mengukur keadaan diri mereka sendiri bila mereka meminta perceraian, apakah mereka menuju keimanan atau mereka berkhianat kepada suami mereka.

Para perempuan menentukan keadaan masyarakat dan bangsa. Perselisihan, permusuhan dan konflik di masyarakat akan berkurang bila para perempuan mereka berhijrah menuju keimanan yang lebih baik. Keimanan dalam hal ini diukur mengikuti kiblat sesuai tahapan langkah uswatun hasanah, bukan selera masing-masing. Bahkan akan dapat terbentuk rasa mawaddah di antara masyarakat pada suatu negeri sekalipun asalnya bermusuhan bilamana para perempuan mereka berhijrah menuju keimanan. Masyarakat boleh jadi akan dapat melihat dan berusaha menggapai suatu tujuan bersama tanpa saling mempermasalahkan perbedaan yang ada pada mereka. Bila tidak ada perempuan berhijrah, umat manusia akan mudah dikacaukan oleh kejahatan yang mengambil keuntungan dari perselisihan yang mereka buat.

Rabu, 07 Juni 2023

Dzikir Sebagai Ibadah Terbesar

Tujuan akhir perjalanan kehidupan setiap manusia adalah mengikuti Rasulullah SAW hingga menjadi hamba yang didekatkan kepada Allah. Perjalanan menuju kemuliaan itu hanya dapat dilakukan dengan mengikuti tahapan millah Ibrahim a.s. Tahap awal perjalanan kembali adalah berhijrah ke tanah yang dijanjikan berupa pengenalan diri sendiri, kemudian tahap berikutnya membentuk bayt untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah. Dengan bayt yang terbentuk, seseorang dapat memberikan layanan kepada umatnya untuk kembali kepada Allah dan untuk memakmurkan bumi. Dengan langkah-langkah tersebut, seseorang dapat datang untuk mengikuti Rasulullah SAW hingga menjadi hamba yang didekatkan kepada Allah.

Mendzikirkan asma Allah merupakan tugas yang ditetapkan bagi setiap manusia. Yang dimaksud dzikir adalah upaya seseorang merealisasikan pemahaman mereka tentang kehendak Allah bagi semesta mereka. Allah telah menentukan kewajiban mendzikirkan asma Allah sebelum nabi Adam a.s dan Hawa diturunkan ke bumi. Tidaklah manusia dan jin diciptakan Allah kecuali untuk beribadah, maka mendzikirkan asma Allah merupakan bentuk ibadah yang dikehendaki Allah sebagai bentuk ibadah yang paling besar bagi setiap makhluk.

﴾۵۴﴿اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
Bacakanlah apa yang telah diwahyukan kepadamu bagian dari Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya berdzikir kepada Allah adalah lebih besar (dari yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Ankabut : 45)

Berdzikir kepada Allah adalah ibadah yang paling besar, puncak ibadah yang seharusnya dicapai oleh setiap orang yang mencari jalan ibadahnya. Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan oleh setiap hamba Allah agar mereka dapat mendzikirkan asma Allah dengan sebaik-baiknya. Hal pertama yang harus diperhatikan adalah bacaan bagian dari kitabullah Alquran yang sesuai dengan pembacaan Rasulullah SAW, dan hal kedua adalah mendirikan shalat hingga shalat mereka mencegah mereka dari perbuatan keji dan kebodohan. Kedua hal ini adalah kondisi yang dipersyaratkan agar seseorang dapat berdzikir dengan sebenar-benarnya kepada Allah. Hendaknya kalimat ini tidak menjadi bahan perdebatan membandingkan kedudukan shalat terhadap dzikir atau perdebatan lainnya.

Bacaan Kitabullah Oleh Rasulullah SAW

Rasulullah SAW diperintahkan untuk membacakan bagian dari kitabullah Alquran kepada umatnya. Bacaan Rasulullah SAW itulah bacaan Alquran yang dapat dijadikan umatnya sebagai materi dzikir merealisasikan kehendak Allah. Bacaan itu merupakan penjelasan amr jami’ untuk setiap jaman yang menjadikan seseorang masuk dalam golongan al-jamaah. Banyak orang beriman yang mengetahui bagian dari kitabullah bagi mereka yang merupakan bacaan Rasulullah SAW, walaupun mereka terpisah dari masa Rasulullah SAW. Pemahaman bacaan itu diturunkan Allah ke dalam dada mereka sebagai adz-dzikra, maka kitabullah Alquran menjadi mukjizat Rasulullah SAW yang muncul kepada mereka dan menakjubkan mereka. Setiap orang yang memahami bacaan demikian sangat mungkin memahami dari sudut pandang yang berbeda-beda, akan tetapi menyatu pada urusan Rasulullah SAW untuk jaman mereka.

Mengikuti pengajaran kitabullah yang sesuai dengan pembacaan Rasulullah SAW akan membuat seseorang bisa menemukan materi dzikir mereka. Pengajaran demikian akan membuat seseorang melihat kesatuan ayat Allah, yaitu ayat Allah dalam kitabullah, ayat Allah dalam wujud kauniyah, dan ayat Allah dalam hati. Orang yang memahami bacaan Rasulullah SAW dikatakan sebagai orang yang mengetahui urusan zamannya, yaitu urusan yang dikandung dalam pembacaan ayat Allah oleh Rasulullah SAW.

Banyak pembacaan ayat Allah yang tingkatannya berada di bawah pembacaan oleh Rasulullah SAW, maka semuanya mempunyai manfaat yang sangat banyak, akan tetapi materi dzikir ada pada bacaan Rasulullah SAW. Pengajaran yang benar tidak akan berselisih atau bertentangan sedikitpun dari seluruh ayat Allah dan sunnah Rasulullah SAW, bahkan berjalan selaras saling menjelaskan. Detail dan turunan dalam pengajaran mereka dapat ditemukan dari firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW sekalipun mungkin mereka tidak mengetahui sebelumnya kecuali hanya menemukan penjelasan ayat Allah yang berkaitan. Bila umat menemukan dan mengikuti pembacaan bagian kitabullah sesuai pembacaan Rasulullah SAW, mereka dapat menemukan materi dzikir yang harus mereka realisasikan.

Boleh jadi ada suatu kesalahan kecil dalam bacaan seseorang dari kitabullah, maka kesalahan itu berasal dari orang tersebut dan yang benar adalah firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Selama tidak bertentangan dengan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW, atau tidak mengubah fondasi agama maka suatu kesalahan tidak perlu dijadikan bahan perbantahan. Hal ini berbeda dengan kesalahan yang muncul dari syaitan. Bila suatu kesalahan berasal dari syaitan, ada hal fundamental yang akan berubah dalam agama seseorang, maka hendaknya setiap orang memeriksa pemahaman mereka. Kadangkala suatu kesalahan itu terlihat kecil di mata manusia, tetapi mempunyai dampak yang sangat besar bagi umat seluruhnya. Kesalahan demikian dapat dilihat dari pertentangannya dengan firman Allah atau sunnah Rasulullah SAW, tidak dinilai dengan pemahaman sendiri.

Shalat Sebagai Landasan Dzikir

Landasan kedua yang akan memperkuat dzikir seseorang adalah mendirikan shalat. Shalat merupakan sarana keterhubungan seorang hamba kepada Allah. Seorang hamba akan ditarik Allah menuju tempat yang terpuji berupa kedekatan kepada Allah bila mereka menegakkan shalat dengan sebaik-baiknya. Mereka akan memperoleh kedudukan yang kuat untuk melaksanakan amal-amal yang mereka pahami dari kitabullah. Tanpa shalat yang tegak, seseorang hanya dapat berusaha dengan kekuatan sendiri berdasarkan pemahaman diri mereka.

Salah satu landasan tegaknya shalat seseorang adalah kiblat yang benar. Kiblat merupakan arah yang diturunkan Allah bagi para hamba untuk mendekat kepada Allah. Dengan kiblat yang benar, seseorang akan memperoleh arah melangkah yang tepat agar menjadi dekat kepada Allah pada kedudukan masing-masing. Allah berkedudukan Maha Tinggi yang tidak dapat dijangkau atau dikenali oleh makhluk, akan tetapi Dia menurunkan arah perjalanan yang dapat ditempuh oleh manusia agar bisa berjalan mendekat kepada Allah. Arah itu berupa kiblat. Kiblat dibuat bertingkat-tingkat dan integral, mulai kiblat di sisi-Nya hingga kiblat yang menyentuh diri seorang manusia. Setiap orang harus berjalan mengikuti kiblat secara integral tidak terpisah-pisah dalam keping-keping kiblat.

Kiblat fisik yang dikenali oleh manusia adalah bait al-haram. Sebenarnya terdapat beberapa kiblat lain yang masing-masing mempunyai makna bagi setiap manusia. Bait al-quds merupakan kiblat yang ditentukan bagi manusia sebelum bait al-haram. Bait Al-quds merupakan representasi tanah yang dijanjikan. Menghadap kepada bait alquds bermakna perintah bagi manusia untuk menemukan jati diri masing-masing sebagai tanah yang dijanjikan baginya. Bait al-haram merupakan kiblat yang permanen sebagai representasi dari bait yang diijinkan untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah. Perintah menghadap bait al haram bermakna perintah untuk membina fungsi sosial diri mereka bersama keluarga memberikan layanan kepada umat mereka untuk kembali kepada Allah atau untuk memakmurkan bumi. Bait al-haram merupakan kiblat lanjutan bagi seseorang yang telah mencapai tanah yang dijanjikan berupa pengenalan diri.

Bagi perempuan, secara tersirat kiblat tersebut diturunkan lebih panjang lagi berupa suaminya, hingga dikatakan bahwa tidaklah seorang perempuan menunaikan hak Allah hingga ia menunaikan hak-hak suaminya. Hal ini merupakan gambaran yang paling jelas tentang jalan menuju Allah. Tidaklah seseorang kembali kepada Allah hingga ia menempuh perjalanan menuju kiblat-kiblat terdekat yang ditentukan baginya. Seorang isteri harus menunaikan hak suaminya dalam rangka ketaatan kepada Allah. Setiap laki-laki harus berhijrah menemukan jati diri penciptaan mereka agar dapat menunaikan ibadah kepada Allah dengan sebenarnya. Setiap laki-laki yang mengenal jati diri hendaknya membina keluarganya membentuk bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah, maka ia akan memperoleh jalan untuk menjadi hamba yang didekatkan kepada Allah. Demikian itu merupakan gambaran jalan menuju Allah yang diturunkan dalam wujud kiblat-kiblat bagi manusia.

Setiap orang hendaknya mengikuti kiblat pada setiap tingkat kehidupannya tanpa melepaskan konteksnya dengan keinginan bertemu Allah mengikuti langkah Rasulullah SAW. Membina bayt sebagaimana nabi Ibrahim a.s dan mi’raj ke hadirat Allah sebagaimana nabi Muhammad SAW hanya dapat dilakukan bila seseorang menemukan tanah yang dijanjikan berupa pengenalan jati diri penciptaan mereka dan membina bait untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah. Kiblat-kiblat tersebut merupakan kesatuan kiblat yang tidak dapat dipisahkan, satu kiblat menjadi syarat bagi kiblat yang lain. Tanpa kiblat yang benar, seseorang dapat tersesat ketika menghadap Allah. Bilamana ia diijinkan menghadap Allah, ia tidak akan mengetahui wajah Allah yang diperkenalkan baginya saat itu, apakah wajah yang Dia kehendaki diperkenalkan padanya atau wajah-Nya yang hendak memberikan makar.

Bayt dalam bentuk keluarga menjadi basis kiblat menuju Allah. Banyak pengajaran diperoleh seseorang untuk menuju Allah melalui pernikahan. Dalam pernikahan, terdapat prinsip yang memperkenalkan manusia dasar-dasar membangun hubungan kepada rabb mereka, diantaranya yang paling penting berupa pencegahan terhadap perbuatan keji dan kemunkaran. Mereka menerima pernikahan dengan suatu akad yang mengikat hingga akhir hayat. Akad itu merupakan gambaran akad yang harus dibina dalam hati seseorang terhadap Allah. Bagi isteri, itu adalah penerimaan pengabdian terhadap wakil Allah yang ditetapkan bagi dirinya berupa suaminya. Manakala ia tidak menepati akad tersebut, ia telah tergelincir pada perbuatan keji. Seorang laki-laki memperoleh suatu tempat berdiam dan media yang menjadi jalan untuk kembali kepada Allah berupa isterirnya. Hal itu akan membuka pengetahuan yang sangat banyak tentang kehendak Allah. Perbuatan keji dan kebodohan akan terlihat jelas hingga hal-hal yang halus bagi setiap orang melalui pernikahan sehingga mereka dapat tercegah dari keduanya.

Dengan berkiblat pada bayt al-haram, sepasang manusia yang menikah akan tercegah dari perbuatan keji dan kebodohan. Bila tidak berkiblat pada bayt al-haram, seseorang mungkin akan terombang-ambing dalam kegelapan fitnah perbuatan keji dan kebodohan. Tiap-tiap kiblat itu mempunyai kriteria yang harus dipenuhi sebagai kriteria turunan dari bayt al-haram, tidak dibuat oleh masing-masing. Seorang isteri tidak boleh durhaka atau merendahkan suaminya selama terikat dalam pernikahan, atau ia sebenarnya tidak memenuhi kriteria pada salah satu kiblatnya. Bagi seorang laki-laki, hendaknya ia memilih isteri dari perempuan yang bisa dan mau menghormatinya karena pertanggungjawabannya akan berat manakala seorang perempuan tidak mentaati suaminya. Bila hanya memilih berdasar syahwat dan hawa nafsu, mungkin ia akan kesulitan memenuhi kriteria yang dibutuhkan. Bila seseorang tidak mempunyai kiblat yang benar, seringkali seorang menyangka melakukan perbuatan shalih sedangkan dalam ukuran kitabullah ia melakukan perbuatan keji dan kemunkaran.

Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Hal itu dapat dicapai dengan menghadapkan wajah pada kiblat yang benar. Bila mengabaikan ke arah mana wajah menghadap, seseorang tidak akan terjaga dari perbuatan keji dan munkar. Shalat akan mengingatkan setiap orang pada setiap waktunya untuk kembali menghadapkan wajah mereka kepada Allah dan meluruskan kembai kiblat-kiblatnya hingga menjadi lurus kepada Allah, dari kiblat yang terdekat dalam diri mereka sendiri hingga pada kiblat di hadirat Allah semampu yang dapat dicapai. Dengan demikian maka mereka akan tercegah dari perbuatan keji dan kemunkaran.

Dzikir merupakan ibadah terbesar yang dapat dilakukan seorang hamba, yaitu dzikir dalam bentuk merealisasikan kehendak Allah di atas landasan pemahaman terhadap ayat-ayat Allah baik ayat kitabullah dan ayat kauniyah secara integral, dan mereka terhubung kepada Allah melalui shalat mereka tanpa terdapat kekejian atau kemunkaran dalam diri mereka. Seseorang yang berhasil membina bait sesuai dengan kehendak Allah, maka bayt itu akan menjadi bayt yang diijinkan Allah untuk berdzikir dan meninggikan asma Allah di dalamnya. Dzikir tidak benar-benar dapat dilakukan oleh seseorang bila ia tidak memahami ayat-ayat Allah dan terdapat kekejian dan kemunkaran dalam diri mereka. Dzikir yang sebenarnya akan dapat dilakukan seseorang bila ia mengikuti pembacaan kitabullah sesuai dengan pembacaan Rasulullah Saw, dan ia mendirikan shalat.