Pencarian

Minggu, 28 Januari 2024

Mencegah Kesewenang-wenangan

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Manusia ditempatkan di alam dunia sebagai tempat pembinaan diri. Mereka harus kembali ke hadirat Allah untuk memperoleh kedudukan mereka sebagai khalifatullah dari alam bumi yang paling jauh dari sumber cahaya Allah. Karena jauhnya dari cahaya Allah, bumi merupakan alam yang paling gelap, penuh kesewenang-wenangan dan penentangan terhadap ketentuan Allah. Demikian pula banyak umat manusia sebagai makhluk bumi menjadi makhluk yang bodoh dari pengetahuan terhadap ayat Allah hingga mereka menentang ayat-ayat Allah. Karena kebodohan, terjadi banyak kesewenang-wenangan di antara manusia dan sikap menentang kebenaran.

Allah mengutus rasul-Nya untuk menyeru umat manusia kembali kepada cahaya Allah. Di antara rasul yang diutus Allah adalah nabi Huud a.s kepada kaum ‘Aad. Kaum ‘Aad merupakan kaum yang menjadi representasi tabiat dasar kehidupan jasmani manusia di bumi berupa tabiat bodoh terhadap ayat-ayat Allah dan justru mengikuti orang-orang yang berbuat sewenang-wenang dan menentang kebenaran.

﴾۹۵﴿وَتِلْكَ عَادٌ جَحَدُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَعَصَوْا رُسُلَهُ وَاتَّبَعُوا أَمْرَ كُلِّ جَبَّارٍ عَنِيدٍ
Dan itulah (kisah) kaum 'Ad yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Tuhan mereka, dan mendurhakai rasul-rasul Allah dan mereka menuruti perintah semua penguasa yang sewenang-wenang lagi menentang (kebenaran). (S Huud : 59)

Dalam fragmen kisah rasul dalam Alquran, nabi Huud a.s diceritakan sebelum kisah nabi Shalih a.s yang memberi cerita pemakmuran bumi, dan setelah nabi Nuh a.s. Kisah nabi Huud a.s dan kaum ‘Aad memberikan kisah seruan terhadap umat manusia untuk mulai mengenal ayat-ayat Allah dan mulai melangkah kembali bertaubat kepada-Nya. Kaum ‘Aad benar-benar menggambarkan tabiat dasar badan jasmaniah manusia yang bodoh terhadap kebenaran, hingga bahkan mereka mendukung orang-orang yang berbuat sewenang-wenang terhadap diri mereka dan menentang kebenaran. Allah melarang umat manusia untuk mengikuti orang-orang yang berbuat sewenang-wenang dan durhaka kepada Allah, dan untuk hal demikian Allah mengutus rasul agar ditaati seruannya.

Persoalan kesewenang-wenangan ini harus dilihat secara seksama. Dalam sejarah, kaum ‘Aad merupakan kaum yang mempunyai peradaban yang terlihat sangat maju pada jamannya. Banyak bangunan-bangunan megah yang didirikan di kota-kota mereka, dan juga infrastruktur untuk memenuhi kebutuhan manusia. Hal-hal demikian bagi kebanyakan manusia merupakan indikator kemajuan peradaban, tetapi bagi sebagian manusia yang lain merupakan wujud kesewenang-wenangan suatu pihak terhadap pihak yang lain. Kemajuan peradaban kaum ‘Aad itu hanya representasi satu sisi yang disisakan Allah bagi generasi saat ini, sedangkan kesewenang-wenangan yang terjadi telah memperoleh adzab.

Di jaman ini, contoh kesewenang-wenangan demikian dapat terlihat pada ketidakadilan yang terjadi seiring pembangunan, misalnya naiknya pajak bagi masyarakat miskin untuk memberikan subsidi pada orang-orang kaya yang bisa menikmati infrastruktur modern. Banyak pula kerusakan tatanan masyarakat terkait penegakan hukum dan keadilan, serta kerusakan alam karena keserakahan untuk mempertahankan jabatan dan perbuatan lain yang merugikan. Hal itu merupakan gambaran kesewenang-wenangan yang terjadi pada suatu kaum yang dipandang sebagai maju, sedangkan sebenarnya tidak.

Keadaan Umat

Kesewenang-wenangan akan mendatangkan kesengsaraan bagi umat manusia. Pembinaan sendi-sendi kehidupan umat manusia tidak dapat dipenuhi hanya dengan sarana dan prasarana fisik, tetapi juga harus dipenuhi dari sisi keadilan di masyarakat, dan aspek keadilan ini merupakan pilar utama yang menjadi dasar pembangunan. Setiap orang harus menghayati nilai-nilai kebenaran dan mewujudkan kebenaran yang dikenalnya untuk memberikan manfaat kepada orang lain. Suatu pemakmuran tanpa melibatkan keberyukuran penduduk terhadap potensi yang diberikan kepada bangsa mereka hanyalah suatu pemakmuran semu yang banyak mengandung madlarat dan tanpa kebaikan. Pemberian bantuan tanpa menyentuh langkah perbaikan keadaan masyarakat bukanlah suatu pertolongan tetapi pembodohan. Demikian itu merupakan contoh-contoh perbuatan yang tampak baik tetapi hanya membungkus keburukan yang berisi kesewenang-wenangan.

Penguasa yang tidak memperhatikan aspek keadilan dan kemakmuran adalah penguasa yang berbuat sewenang-wenang dan menentang kebenaran. Suatu negeri akan mengalami penderitaan manakala penguasa di antara mereka adalah penguasa yang sewenang-wenang. Penduduk suatu negeri tidak boleh terus menerus menuruti penguasa yang sewenang-wenang karena mereka akan menderita apabila terus-menerus menuruti penguasa demikian. Tindakan ini tidak boleh dilakukan dengan melakukan kerusuhan, tetapi harus dilakukan dengan menekankan pentingnya pengetahuan tentang kehendak Allah. Bila dilakukan dengan membuat kerusuhan, seringkali timbul madlarat yang lebih besar daripada menuruti penguasa yang sewenang-wenang. Pengetahuan tentang kehendak Allah itu harus dilakukan hingga terwujud dalam dalam bentuk akhlak mulia, bukan pengetahuan yang mempengaruhi cara berpikir manusia saja. Pikiran harus dijadikan dasar untuk melangkah membentuk akhlak mulia.

Allah memerintahkan orang-orang beriman agar taat kepada Allah dan taat kepada Rasulullah SAW serta para ulil amr. Ketaatan demikian harus dilakukan dengan dasar pengetahuan. Manakala seseorang tidak mengetahui, hendaknya ia mentaati hingga ia memperoleh pengetahuan tentang ketaatan yang dilakukannya. Bila ia mentaati seorang ulil amr dan menemukan kemunkaran pada perbuatan ulul amr, hendaknya ia mencegah kemunkaran yang dilakukan disertai dengan memberikan pengetahuan tentang al-ma’ruf. Bila ulul amr tidak peduli pada amar ma’ruf nahy munkar yang dilakukan, mereka sebenarnya hanya orang-orang berkuasa yang berbuat sewenang-wenang terhadap bangsa mereka sendiri, bukan ulul amr yang Allah memberikan perintah kepada manusia untuk mentaati mereka dalam rangka taat kepada Allah dan taat kepada Rasulullah SAW. Yang dinamakan ulul amr adalah orang yang peduli pada amr Allah, bukan semata penguasa terhadap urusan masyarakat.

Pada kaum muslimin, keadaan yang buruk demikian tidak semata-mata disebabkan keburukan para penguasa, tetapi terkait pula dengan keadaan masyarakatnya. Allah akan mengangkat para pemimpin bagi kaum muslimin sesuai dengan keadaan mereka. Apabila Allah murka terhadap kaum muslimin, Allah akan mengangkat orang-orang yang paling buruk di antara muslimin sebagai pemimpin, dan mengangkat orang-orang yang paling baik di antara para muslimin manakala Allah ridha kepada mereka. Baik atau buruknya keadaan kaum muslimin akan menentukan kualitas pemimpin yang diangkat di antara mereka, karenanya hendaknya setiap orang beriman meneliti keadaan diri mereka dalam hubungan mereka kepada Allah, tidak membuat kerusuhan manakala Allah mengangkat pemimpin yang buruk bagi mereka.

Semakin jauh langkah taubat yang ditempuh seorang beriman, semakin besar pengaruh keadaannya terhadap pemimpin yang diangkat Allah bagi mereka. Sebagian orang beriman akan mengikuti orang yang mencapai langkah lebih jauh dalam taubatnya, akan tetapi mungkin ada banyak kelompok lain yang mengikuti panutan lainnya, tidak semua orang mengikuti satu orang yang telah paling jauh menempuh langkah taubat. Bila kelompok yang telah jauh menempuh langkah taubat dimurkai Allah, maka Allah akan mengangkat bagi mereka pemimpin dari orang-orang yang paling buruk. Hendaknya setiap orang waspada untuk tidak menempuh jalan yang salah, karena keadaan mereka paling menentukan pemimpin yang akan diangkat. Jauhnya langkah taubat yang ditempuh seseorang tidak menentukan benar atau salah langkahnya. Setiap langkah harus diukur kebenarannya berdasarkan tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, maka itulah yang akan menentukan ridha Allah atau murka-Nya yang menentukan pemimpin yang diangkat. Salahnya orang yang berilmu akan mempunyai dampak lebih besar daripada orang-orang umum.

Mensyukuri Setiap Kesempatan

Kisah kaum ‘Aad terjadi pada masa lampau yang harus dijadikan pelajaran bagi umat manusia jaman sekarang. Sekalipun jaman telah berubah, Rasulullah SAW telah diutus ke dunia dan sangat banyak umat manusia mengikuti langkah beliau SAW, orang-orang yang bersikap layaknya manusia tanpa pengetahuan tentang kebenaran tetap ada dalam jumlah sangat banyak. Dengan keadaan demikian, masalah kesewenang-wenangan di antara umat manusia tetaplah ada bahkan terjadi secara legal. Kaum muslimin hendaknya menemukan cara untuk memperbaiki kesewenang-wenangan dan mengentaskan umat manusia dari hal itu melalui jalan yang ditentukan Allah. Setiap diri muslim dapat memberikan kontribusi untuk mengentaskan kesewenang-wenangan terhadap umat manusia bila masing-masing berusaha untuk kembali kepada Allah.

Setiap muslimin hendaknya berusaha untuk melakukan amar ma’ruf nahy munkar apabila ada kesempatan untuk melakukannya. Ada saatnya seseorang harus mencegah kemungkaran yang terjadi tanpa harus menunjukkan al-ma’ruf karena keterbatasannya. Hal itu boleh dilakukan selama tidak menimbulkan madlarat yang lebih besar. Kadangkala mencegah kemunkaran tidak boleh berhenti pada pencegahan saja, harus disertai dengan perbuatan menyuruh kepada Al-ma’ruf. Apabila seseorang membongkar kemunkaran yang terjadi, hendaknya ia menyajikan pula pengetahuan kebenaran (al-ma’ruf) sehingga umat manusia mengetahui jalan keluar dari kemunkaran itu. Langkah itu adalah langkah terbaik yang bisa dilakukan.

Dalam kehidupan demokrasi, pemilihan umum bisa dipandang sebagai kesempatan besar melibatkan massa akar rumput untuk melakukan amar ma’ruf nahy munkar guna menghindarkan kesewenang-wenangan yang mungkin timbul di antara masyarakat. Asas sistem kepemimpinan di antara umat islam adalah ulul amr, terpisah dari bentuk-bentuk administrasi sistem pemerintahan seperti demokrasi atau kerajaan. Dalam sistem ulul amr, setiap orang mempunyai amanah Allah yang harus ditunaikan dalam kehidupannya di bumi, berupa amal-amal yang telah ditetapkan sejak sebelum dilahirkan ke bumi. Setiap orang yang mengenal amanah Allah yang harus ditunaikan adalah ulul amr, baik berurusan dengan masyarakat banyak atau hanya kalangan yang sedikit. Ada ulul amr yang berurusan dengan masalah besar umat manusia layaknya khalifah atau nabi, ada yang berurusan dengan kalangan tertentu saja.

Di dunia modern, sistem ulul amr ini harus diwdadahi dalam sistem pemerintahan yang sesuai baik berupa kerajaan atau demokrasi. Bila adab masyarakat rendah, sistem demokrasi akan lebih sesuai diterapkan karena dapat mencegah atau memutus timbulnya rantai penguasa yang sewenang-wenang. Bila sistem dinasti diterapkan, penguasa yang mempunyai adab rendah akan mudah melanjutkan kesewenang-wenangannya tanpa suatu mekanisme kontrol. Bila adab masyarakat mencapai kualitas tertentu yang cukup baik, sistem aristokrasi akan lebih sesuai diterapkan. Amanah Allah dalam banyak hal diturunkan melalui garis yang bersambung, tidak tiba-tiba berpindah. Sistem Aristokrasi bisa diterapkan bila para ulul amri dapat terbina melalui pembinaan sesuai kehendak Allah, dan akan buruk bila diterapkan pada masyarakat yang mempunyai kualitas adab rendah.

Umat hendaknya tidak terlalu jauh mempermasalahkan sistem pemerintahan karena hal demikian merupakan bentuk turunan sebagai wadah bagi terlahirnya para ulul amr. Ibarat kasarnya, tanpa mewakili seluruhnya, untuk bepergian pada setiap jaman tidak harus memakai unta, karena jaman ini sudah ada kendaraan dalam bentuk lain. Kebaikan dari masing-masing kendaraan tidak menjadi pokok dari perjalanan yang harus ditempuh. Keadaan aktual pada suatu jaman harus dipertimbangkan dengan baik untuk menentukan sistem yang tepat untuk diterapkan. Sistem demikian tidak terkait langsung dengan suatu dasar hukum tertentu dalam Alquran, tetapi bersifat terapan yang bersifat lokal dan temporer. Sebagian kelompok umat terlalu rigid dalam mensikapi wadah sistem pemerintahan hingga sebagian bermudah-mudah mengharamkan sistem yang digunakan, tanpa mengetahui manfaat dan madlarat sistem yang digunakan untuk jamannya. Hal demikian menunjukkan kurang akal untuk memahami makna kitabullah sebagai tuntunan yang berlaku bagi setiap jaman dan selaras dengan ayat kauniyah. Setiap muslim harus berusaha memahami pokok dari tuntunan kitabullah dan cabang yang mungkin diturunkan, dan memilih yang mempunyai nilai paling baik dari sistem yang tersedia. Sebagian orang memutuskan untuk tidak berpartisipasi dalam sistem yang ada karena dasar pemahaman yang keliru, dan sebagian tidak mempunyai landasan yang cukup untuk menentukan. Hal-hal demikian akan menjadikan kesewenang-wenangan tetap berlanjut dengan mudah. Landasan pemahaman yang keliru harus diluruskan karena dapat menimbulkan kerusakan lebih besar pada tatanan masyarakat.


Selasa, 23 Januari 2024

Pemakmuran Bumi dan Keadilan

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Menempuh jalan taubat tidak dapat dilakukan tanpa disertai dengan kepedulian terhadap makhluk lain. Setiap orang yang bertaubat dituntut untuk melakukan pemakmuran terhadap bumi mereka. Pemakmuran bumi merupakan syarat dalam taubat seseorang kepada Allah, dan salah satu indikator dari kemurnian ibadah seorang hamba kepada Allah. Orang yang berusaha memakmurkan bumi akan mengetahui kebutuhan dirinya untuk kembali kepada Allah dengan segala masalah yang mereka temukan dalam upaya mereka.

﴾۱۶﴿ وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلٰهٍ غَيْرُهُ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُّجِيبٌ
Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)". (QS Huud : 61)

Pemakmuran yang sebenarnya akan diperoleh bila seseorang menyambungkan alam bawah (yang relatif rendah) kepada kebenaran dari sisi Allah hingga muncul kesejahteraan. Hal itu akan dicapai dengan taubat. Adanya upaya yang terhubung pada kebenaran pada usaha pemakmuran akan menentukan adanya kemajuan langkah pemakmuran. Setiap kebenaran sekalipun nampak bernilai kecil akan mendatangkan pemakmuran. Banyak orang yang berusaha melakukan pemakmuran dengan pikiran mereka sendiri pada akhirnya menemukan bahwa pemakmuran yang mereka lakukan hanya semu. Tidak sedikit yang menemukan bahwa mereka hanya berputar-putar dari satu keadaan ke keadaan yang lain tanpa kemakmuran yang sebenarnya.

Manusia menjadi kunci terwujudnya keadilan dan kemakmuran di bumi. Dalam perbincangan di antara masyarakat, kata makmur seringkali disandingkan dengan keadilan, dan diucapkan dengan bunyi adil makmur. Perbuatan adil bisa dilakukan seseorang dengan dasar pengetahuan kebenaran dari sisi Allah, dan makmur adalah wujud kesejahteraan yang muncul dari alam duniawi karena pengenalan kebenaran. Kemakmuran lebih melekat pada aspek perempuan sebagai pasangan bagi adil. Dalam upaya mewujudkan kemakmuran pada suatu wilayah, aspek perempuan yang ada pada wilayah harus diperhatikan dengan seksama. Demikian pula untuk mewujudkan keadilan aspek laki-laki pada wilayah tersebut harus diperhatikan. Seorang laki-laki akan menjadi kunci terwujudnya keadilan manakala mereka memperoleh pengetahuan kebenaran dari sisi Allah, dan para perempuan menjadi kunci terwujudnya pemakmuran di bumi bila mereka bisa menjadi perempuan shalihah yang tenang dan menjaga diri bagi suaminya, baik dalam hal yang dzahir ataupun yang ghaib.

Tingkat kemakmuran dapat dinilai dari tumbuhnya produktifitas pada masyarakat. Masyarakat yang produktif merupakan masyarakat yang makmur, dan hal ini utamanya dipengaruhi tingkat terdidiknya para perempuan sesuai dengan tuntunan Allah. Pada masyarakat yang adil, para laki-laki akan mudah melihat kebenaran sekalipun tersamar. Sebaliknya, banyaknya kaum laki-laki di masyarakat yang terjebak pada gimmik menunjukkan keadilan yang rendah. Nasionalisme bagi sebagian orang yang kurang wawasan hanya merupakan label yang digunakan untuk memecahbelah masyarakat dalam golongan-golongan untuk bahan berseteru, bukan sebuah tata nilai yang seharusnya dihayati untuk meningkatkan diri dalam memberikan nilai diri yang sebaik-baiknya bagi masyarakat luas. Bila para laki-laki dibina dengan sebaik-baiknya, mereka seharusnya memahami nilai nasionalisme dalam sudut pandang yang luas. Rendahnya keadilan juga ditunjukkan dengan kesemuan kemakmuran. Terwujudnya infrastruktur modern yang tidak melibatkan sumber daya dalam negeri tidak bisa dipandang sebagai suatu parameter kemajuan bangsa.

Kemakmuran Mendahului Keadilan

Kunci pemakmuran bumi terdapat pada terbinanya laki-laki dan perempuan dalam mengenal penciptaan diri mereka. Para laki-laki hendaknya berusaha mengenal kehendak Allah melalui terbentuknya diri mereka sebagai misykat cahaya, dan para perempuan mengenal kehendak Allah mengikuti suami mereka. Para laki-laki yang mengenal Allah tidak akan benar-benar terhubung pada alam duniawi mereka tanpa isteri yang mempunyai ghirah yang sama dengan suaminya. Hubungan seorang laki-laki yang shalih dengan duniawi mereka pada dasarnya renggang dan ia merasa ringan untuk meninggalkannya. Seorang isteri shalihah harus mengisi kerenggangan itu agar amr Allah yang dikenal suaminya terhubung ke dunia. Pemakmuran bumi yang sebenarnya akan lebih bergantung pada terbinanya para wanita dibandingkan dengan laki-laki, sedangkan keadilan lebih tergantung pada terbinanya laki-laki.

Pembinaan keadilan dan kemakmuran harus dilaksanakan bersama, akan tetapi secara proses kebanyakan manusia lebih terikat kepada dunia. Dengan keadaan demikian maka pembinaan untuk mencapai kemakmuran lebih mudah dilakukan terlebih dahulu mendahului peningkatan keadilan. Pembinaan perempuan yang baik akan menjadi media pertumbuhan utama bagi pohon thayyibah laki-laki. Bila baik media pertumbuhannya, akan baik pula pertumbuhan pohon thayyibahnya, dan begitu juga sebaliknya. Suatu masyarakat akan sulit meningkatkan pengetahuan tentang kehendak Allah tanpa tertatanya kemakmuran di antara mereka. Membangun keadilan di antara masyarakat akan berjalan mengikuti kemakmuran yang terbangun. Semakin meningkat kemakmuran di masyarakat, semakin tinggi tingkat keadilan yang dapat dikenali dan diwujudkan. Dalam gambaran produk, kualitas produk suatu bangsa akan bisa meningkat seiring dengan kemakmuran yang tercapai. Bila kemakmuran terhambat, tingkat keadilan di antara masyarakat akan rendah dan sulit untuk ditingkatkan. Pembicaraan di antara masyarakat yang akan terjadi akan bernilai rendah, tidak membicarakan sesuatu yang bernilai mulia baik di kalangan laki-laki maupun perempuan. Barangkali suatu pembaruan akan terjadi manakala masyarakat berada pada nadir kemerosotan keadilan, tetapi akan terjadi hanya pada suatu kalangan kecil atau laki-laki tertentu saja. Untuk mewujudkan keadilan yang lebih luas, kemakmuran harus dibina terlebih dahulu dan peningkatan level keadilan akan mengikuti kemakmuran.

Hal ini harus dilakukan dengan memperhatikan aspek perempuan bangsa. Aspek perempuan bagian besarnya terdapat pada kaum perempuan. Pembinaan kaum perempuan menjadi pilar utama pemakmuran suatu bangsa, dan merupakan pilar utama tegaknya suatu bangsa. Para laki-laki sangat membutuhkan peran para isteri mereka untuk dapat mewujudkan ide-ide yang tumbuh dalam diri mereka.

Ada satu kesamaan pada pembinaan laki-laki dan perempuan, yaitu hendaknya masing-masing menemukan jalan kembali kepada Allah dalam kehidupan mereka di bumi berupa shirat al-mustaqim. Setiap orang pada prinsipnya harus mengenal nafs wahidah diri masing-masing agar menemukan jalan lurus untuk kembali kepada Allah, karena nafs wahidah itu yang mengenal jalan masing-masing. Akan tetapi terdapat perbedaan pada sarana untuk menemukan. Sarana bagi seorang perempuan untuk mengenal nafs wahidah adalah suaminya, dan sarana bagi setiap laki-laki adalah pengenalan terhadap kehendak Allah. Nafs wahidah setiap perempuan terdapat pada suaminya, dan nafs wahidah setiap laki-aki akan dikenali manakala mengenal kehendak Allah melalui terbentuknya misykat cahaya.

Melekatnya pengenalan diri perempuan pada nafs wahidah suaminya sebenarnya merupakan hal yang sama dengan pengenalan laki-laki terhadap kehendak Allah, hanya bersifat turunan. Pengenalan diri seorang laki-laki sebenarnya juga melekat terhadap yang lain, yaitu melekat pada amr jami’ Rasulullah SAW. Seorang laki-laki tidak dapat mengenal kehendak Allah dengan benar tanpa mengenal amr jami’ Rasulullah SAW untuk ruang dan jamannya. Bila seseorang merasa telah mengenal diri tanpa mengenal amr Rasulullah, boleh jadi pengenalan dirinya hanya secara mengambang tanpa memperoleh landasan yang kokoh, atau mungkin pula sebenarnya ia hanya tertipu telah mengenal nafs wahidah dirinya, atau kasus lainnya. Pengenalan diri seseorang yang benar dan kokoh terjadi bila seseorang mengenal Rasulullah SAW dan urusan beliau untuk ruang dan jamannya. Setara dengan melekatnya pengenalan diri laki-laki terhadap Rasulullah SAW, demikian pula pengenalan diri seorang perempuan terikat pada suaminya atau melalui pengenalan terhadap suaminya, sekalipun misalnya berbentuk seperti Asiyah binti Muzahim yang bersuamikan Fir’aun.

Dalam prosesnya, jauh lebih mudah dan aman bagi seseorang untuk mencari jalan mengenal diri melalui pengenalan terhadap Rasulullah dan amr jami’ beliau untuk ruang dan jamannya, daripada mencari pengenalan diri melalui jalan yang lain. Umat akan memperoleh syafaat dengan jalan itu, sehingga lebih mudah memperolehnya daripada mengusahakan cara sendiri. Dalam pandangan sebagian orang, mustahil seseorang bisa mengenal diri dengan selamat tanpa mengandalkan syafaat beliau SAW. Alquran dan Syafaat beliau SAW merupakan bukti bebergantungan seseorang kepada Allah secara nyata. Kadangkala seseorang merasa telah mengandalkan Allah tetapi tanpa suatu dasar konkrit hanya hawa nafsu, maka hal itu tidak benar-benar menunjukkan kebergantungan kepada Allah.

Pembinaan Perempuan untuk Pemakmuran

Tujuan utama pembinaan perempuan adalah agar mereka mengenal urusan Allah melalui suami mereka. Pembinaan harus dilakukan tidak hanya ketika menikah. Setiap mukminat harus mulai belajar mengenal hakikat kehidupan diri mereka melalui keberpasangan sebelum mereka menikah. Prinsipnya, setiap perempuan diciptakan dari nafs wahidah seorang laki-laki tertentu, bukan diciptakan secara acak dari nafs wahidah sembarang. Urusan Allah bagi mereka yang sesungguhnya melekat pada nafs wahidah suaminya. Manakala seorang perempuan bisa menemukan suami yang diciptakan dari nafs wahidah yang sama, mereka akan mudah menemukan urusan penciptaan diri mereka karena keberpasangan yang hakiki. Bila tidak menemukan suami yang demikian, urusan dirinya akan melekat bersama suami yang menikah dengan dirinya, akan tetapi barangkali urusan-urusan yang akan ditemukan tidak sejelas manakala bersuami yang dari nafs wahidah yang sama. Apapun jenis keberpasangannya, setiap perempuan harus berusaha memperoleh pengetahuan kehendak Allah melalui suami yang menikah dengan mereka, tidak berusaha melalui jalan sendiri dengan meninggalkan suaminya.

Pada masa sebelum menikah, sebagian perempuan bisa memperoleh petunjuk tentang jodoh bagi dirinya. Petunjuk itu harus disadari merupakan suatu petunjuk yang besar karena sungguh-sungguh terkait dengan setengah bagian agama. Petunjuk itu mengarahkan seseorang pada jati dirinya yang sebenarnya, tidak boleh dianggap ringan sebagai urusan remeh. Pengenalan terhadap nafs wahidah hanya berjarak satu langkah dari musyahadah terhadap Rasulullah SAW, dan dua langkah dari musyahadah terhadap Allah. Urusan lain merupakan cabang atau anak-anak dari pengenalan terhadap nafs wahidah, bukan hal yang lebih penting darinya. Langkah awal pengenalan nafs wahidah diri terletak pada jodoh yang tepat, dan petunjuk jodoh yang tepat merupakan petunjuk yang sangat besar nilainya untuk mengenal nafs wahidah.

Seringkali seorang perempuan tidak dapat menerima objek petunjuk dan menginginkan objek petunjuk yang lain. Hal demikian merupakan sikap kufur terhadap nikmat Allah yang akan menjadikan kehidupan dirinya menjadi sulit, setidaknya ia akan kesulitan untuk menemukan jati dirinya. Tidak jarang kesulitan itu juga berupa kesulitan pada setiap langkah kehidupan. Penolakan terhadap petunjuk demikian seringkali menjadi dosa yang tidak dapat dihapuskan kecuali dengan kesulitan kehidupan. Itu lebih baik daripada dosa yang tidak ditebus dalam kehidupan dunia. Dalam kasus tertentu, menolak perjodohan bisa bernilai sebuah kemurtadan (berbalik) dari agama, karena pernikahan merupakan setengah bagian dari agama, dan arah kembali setiap orang dalam bertaubat adalah nafs wahidah asal-usul dirinya dan baytnya. Manakala menolak, ia telah mengubah arah taubatnya hingga bisa menjadi murtad. Bilamana ada kemungkinan, langkah kembali untuk mengikuti petunjuk harus ditempuh selama tidak mendatangkan dosa yang lebih nyata.

Manakala telah menikah, setiap isteri harus berusaha melihat kehendak Allah melalui suaminya dan apa-apa yang terwujud melalui kebersamaan mereka. Tidak selayaknya seorang isteri menganggap sesuatu di luar mereka menjadi urusan yang lebih diutamakan, karena urusan bersama suami itulah yang akan memunculkan kehendak Allah atas dirinya dan mereka. Perhatian seorang isteri terhadap urusan bersama suaminya itulah yang akan melahirkan ke alam duniawi apa yang tumbuh dalam diri suami, baik berupa pemahaman kehendak Allah, hasrat terhadap kedudukan atau harta benda duniawi ataupun berupa anak-anak biologis yang dilahirkan. Pohon tayyibah seorang suami akan tumbuh subur bila isteri memperhatikan apa yang tumbuh pada dirinya, dan sebaliknya sulit untuk menumbuhkan pohon thayyibah tanpa media ladang yang bisa menerimanya. manakala tidak diterima, pohon thayyibah pada suaminya itu bila terbentuk hanya akan terlihat bagai bayang-bayang kebaikan yang tidak mempunyai akar, karena tidak terhubung ke bumi. Bila seorang isteri lebih memperhatikan sesuatu di luar diri mereka, perhatiannya itu bisa membuat kesuburan dirinya terhadap suaminya berkurang atau dalam kasus tertentu menjadi kering sama sekali. Hendaknya setiap isteri memperhatikan kebersamaan dengan suaminya dan melahirkan apa yang tumbuh dalam diri suaminya, dan mengasuhnya untuk mencapai kebaikan.

Banyak hal yang dapat merusak kesuburan seorang perempuan terhadap suaminya. Setiap perempuan harus menjaga dirinya baik pada sisi lahiriah ataupun bathiniah bagi suami, dan berusaha mengikuti langkah suaminya dengan mencari kehendak Allah padanya dengan tenang. Tenang dalam mengikuti suami akan menjadi pertahanan yang kuat terhadap potensi hal yang merusak yang mungkin datang. Bila seorang isteri tidak dapat tenang dalam mengikuti suaminya, potensi merusak itu dapat menimbulkan kerusakan yang besar pada dirinya. Bila tenang, ia tahan terhadap perusakan. Dalam beberapa kasus, ada kerusakan yang tidak dapat ditahan oleh perempuan mukminat karena diijinkan Allah. Kekejian merupakan hal yang diharamkan Allah atas orang-orang beriman, baik kekejian yang bersifat dzahir ataupun kekejian yang hanya berupa bathin.

Pembinaan yang baik terhadap para perempuan akan mewujudkan pemakmuran di bumi, dan keadilan akan tumbuh mengikuti kemakmuran. Pembinaan perempuan tidak boleh dilakukan secara salah karena akan menimbulkan kesengsaraan bagi umat manusia Konsep-konsep yang baik dalam urusan lain tidak sebanding dengan pembinaan setengah bagian agama, tidak akan bisa menutupi keburukan yang diakibatkan kesalahan pembinaan pernikahan. Kaum laki-laki di suatu masyarakat akan memperoleh kemampuan lebih baik untuk memperoleh pengetahuan tentang kehendak Allah melalui kemakmuran yang tumbuh melalui pembinaan para perempuan. Bila tidak terwujud pemakmuran bumi dengan cara demikian, kaum laki-laki di kalangan orang-orang beriman akan berada pada pemikiran pada tingkatan yang rendah dan bisa saja kalah dengan tingkatan pemikiran orang umum. Keadilan akan tumbuh mengikuti kemampuan kaum laki-laki beriman dalam memahami pengetahuan tentang kehendak Allah.

Selasa, 16 Januari 2024

Berbagai Masalah dalam Membina Keikhlasan

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Kedekatan kepada Allah akan diperoleh seseorang bila melakukan Ibadah secara ikhlas kepada Allah. Keikhlasan suatu amal ibadah tidak hanya terkait dengan niat di dalam hati, akan tetapi juga terkait dengan terhubungnya amal itu terhadap kehendak Allah. Suatu amal yang membantu musuh Allah walaupun seseorang tidak meniatkannya dalam beramal atau justru berniat sebaliknya, tidak dapat dikatakan sebagai amal berdasar keikhlasan. Setiap orang harus membangun keikhlasan dengan suatu pemahaman terhadap kehendak Allah berdasar kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Ibadah yang ikhlas semata-mata kepada Allah akan diperoleh seseorang yang peduli terhadap tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.

﴾۳﴿أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
Bukankah hanya bagi Allah-lah agama yang murni? Dan orang-orang yang mengambil wali-wali selain Allah (berkata): "Kami tidaklah menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (QS Az-Zumar : 3)

Allah bertanya kepada para hamba-Nya, bukankah hanya bagi Allah-lah agama yang murni? Pertanyaan itu terkait dengan ayat sebelumnya, bahwa Allah telah menurunkan kitabullah dengan alhaq, agar manusia dapat beribadah kepada-Nya dengan ibadah yang murni semata-mata bagi Allah. Seseorang tidak akan bisa memperoleh kedekatan kepada Allah tanpa suatu keikhlasan berlandaskan pemahaman terhadap tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, karena pemahaman terhadap tuntunan Allah dan sunnah Rasulullah SAW merupakan dasar dari keikhlasan. Allah bertanya demikian agar para hamba-Nya memperhatikan tuntunan kitabullah sehingga dapat beribadah kepada Allah dengan ibadah yang murni semata-mata kepada Allah tidak tercampur dengan kesalahan dan sisipan. Kesalahan dan sisipan akan menjadikan ibadah tidak murni bagi Allah, dapat terjadi baik karena hawa nafsu dan syahwat hamba-Nya ataupun tipuan syaitan yang mungkin dihembuskan ke shadr manusia, baik diri hamba itu ataupun melalui orang lain. 

Syubhat dalam Keikhlasan 

Ada banyak sarana bagi hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan kitabullah merupakan jalan yang paling disukai Allah untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Selain itu, terdapat hamba-hamba Allah yang bisa dijadikan jalan untuk mendekat kepada Allah dengan cara mengikutinya. Para rasul dan para wali Allah bisa mengajarkan kepada manusia jalan-jalan yang mendekatkan diri kepada Allah. Bila seseorang mengikuti langkah-langkah orang-orang yang mengikuti Rasulullah SAW kembali kepada Allah, maka mereka akan menemukan pula jalan mereka untuk mendekat kepada Allah.

Akan tetapi hendaknya setiap orang beriman tidak melupakan tujuan utama dari amal-amal yang dilakukannya, yaitu untuk beribadah secara ikhlas semata-mata kepada Allah. Keikhlasan itu tidak berkurang dan tidak berubah manakala seseorang mentaati atau mengikuti para awliya Allah yang ada di antara mereka selama tetap berpegang teguh pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Ketaatan kepada makhluk tidak akan mengurangi nilai keikhlasan beribadah semata-mata untuk Allah selama amalnya berada dalam kerangka memperoleh keikhlasan. Hanya saja ada batas-batas yang harus diketahui oleh setiap orang beriman dalam mengikuti langkah makhluk-Nya. Ada sikap-sikap melanggar batas yang merusak nilai keikhlasan ibadah seseorang kepada Allah ketika mengikuti orang lain.

Ada orang-orang yang terjerumus menjadikan manusia sebagai tuhan-tuhan selain Allah sebagaimana sebagian pengikut nabi Isa a.s menjadikan beliau a.s sebagai tuhan selain Allah. Mereka bertuhan kepada Allah, tetapi sekaligus menjadikan manusia sebagai tuhan selain Allah. Menjadikan manusia sebagai tuhan selain Allah tidak terbatas pada kasus nabi Isa a.s. Orang yang mengikuti para ulama dalam menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah termasuk dalam kelompok orang yang menjadikan manusia sebagai tuhan selain Allah. Mereka melanggar hak rububiyah Allah.

Dalam kasus lain, ada orang-orang yang menjadikan manusia sebagai wali-wali selain Allah. Ini sangat dekat dengan orang yang menjadikan manusia sebagai tuhan selain Allah, atau menganggap Allah mempunyai anak. Mereka menjadikan manusia sebagai wali-wali yang menjadi representasi Allah dan kehilangan kemampuan membedakan kedudukan Allah dengan kedudukan wali-Nya. Segala sesuatu yang tampak dari wali mereka dipandang sebagai representasi dari Allah. Demikian pula manakala beramal untuk wali-wali mereka dipandang sebagai telah beramal yang sepenuhnya ikhlas semata-mata untuk Allah, tanpa merasa perlu mencari pengetahuan tentang kehendak Allah bagi diri mereka sendiri dalam amal itu sehingga tidak memperhatikan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Dengan keadaan demikian, mereka beribadah kepada para wali mereka sedangkan itu dipandang sebagai ibadah kepada Allah.

Keadaan demikian terjadi pada orang-orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah, bukan keadaan orang-orang yang musyrik. Mereka beribadah kepada Allah tanpa kewaspadaan terhadap bercampurnya ibadah mereka dengan ibadah kepada selain Allah. Mereka justru memandang ibadah mereka kepada wali-wali mereka bertujuan untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan kedekatan yang sedekat-dekatnya. Para wali itu dipandang sebagai sarana ibadah yang bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan kedekatan yang sedekat-dekatnya.

Sikap demikian merupakan sikap yang kacau. Setiap orang hendaknya berusaha memahami kehendak Allah melalui sarana yang diturunkan kepada mereka dengan batas yang jelas sesuai tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Allah tidak ada sesuatu yang menjadi mitsal bagi-Nya, dan segala sesuatu diciptakan dalam kedudukan tertentu sebagai makhluk yang mengungkap kebenaran dari-Nya secara terbatas. Hendaknya setiap orang dapat melihat batas kebenaran yang dimanifestasikan setiap sarana yang diturunkan sampai kepada mereka, tidak memandang setiap sarana itu sebagai representasi Allah sepenuhnya. Nabi Muhammad SAW adalah rasulullah, maka hendaknya beliau dipandang sebagai rasul Allah tidak lebih dari itu dan tidak kurang. Kebenaran yang sepenuhnya ada pada beliau bukan disebabkan karena beliau representasi sepenuhnya dari Allah, tetapi karena beliau SAW diberi anugerah untuk mengenal semua kebenaran yang diajarkan Allah. Wali Allah yang lain juga mengenal kebenaran dari Allah dalam lingkup yang lebih terbatas, maka hendaknya mereka memandang wali Allah dengan selayaknya, tidak lebih dan tidak kurang.

Sikap yang tepat terhadap hubungan Rasulullah SAW dan para wali dapat diibaratkan layaknya suatu event dan dokumentasi peristiwanya. Dokumentasi itu bisa berupa macam-macam, baik video, gambar ataupun fotocopy dari gambar dan yang lainnya. Setiap video, potongan video, screenshot video, gambar foto dan dokumentasi lain pada event tersebut merupakan salinan yang bisa bercerita atas peristiwa yang terjadi pada event, akan tetapi tidak menggambarkan semua peristiwa yang terjadi dan mungkin ada distorsi pada dokumen tersebut. Untuk tujuan tertentu, hanya suatu dokumentasi khusus yang dapat digunakan untuk menentukan kebenarannya. Misalnya finishnya para pembalap hanya dapat ditentukan dari foto pada garis finish panitia, tidak bisa ditentukan dari sembarang dokumentasi. Pengetahuan para nabi dan wali Allah merupakan salinan dari pengetahuan Rasulullah SAW secara terbatas.

Hubungan yang seharusnya terbangun di antara seorang wali dengan pengikutnya dapat digambarkan layaknya hubungan antara suami dan isteri. Seorang suami mengetahui bahwa ia membawa khazanah kebenaran Allah bagi isterinya, tetapi ia tidak ingin dan tidak mau dianggap sebagai Allah yang tidak mempunyai kekurangan. Ia berkeinginan untuk diterima isterinya sepenuhnya dengan kekurangannya, untuk menjadi baik bersama, tidak hanya diterima kelebihannya. Seorang isteri harus bersikap bahwa suaminya menjadi jalan untuk mendekat kepada Allah, tanpa menutup mata terhadap keterbatasan suaminya layaknya aurat yang harus ia tutup. Kekurangan dan keterbatasan suaminya tidak boleh menjadikan dirinya bersikap merendahkan karena hal itu suatu sikap kufur. Bila muncul sikap kufur, maka hubungan yang baik akan sulit dibina dengan semestinya. Seorang wali tidak akan memegang tali perwaliannya terhadap orang yang mengingkarinya, dan seorang laki-laki akan enggan mengikat tali pernikahan dengan perempuan yang tidak mau atau tidak bisa menghormatinya. Dalam hal ini enggan seringkali bukan karena tidak suka atau benci tetapi lebih terkait penghormatan terhadap urusan Allah yang ada di antara mereka.

Kitabullah adalah firman Allah yang dijadikan sebagai panduan yang sempurna bagi orang yang ingin dekat kepada Allah. Rasulullah SAW adalah makhluk yang mengenal dengan benar seluruh kandungan di dalam Alquran. Dengan mengikuti kedua panduan tersebut, seseorang akan bisa mencapai kedekatan kepada Allah karena kedua panduan tersebut merupakan hal yang sampai dan telah sampai di sisi Allah. Hal ini tidak dapat disamai oleh makhluk yang lain. Tidak ada makhluk yang mencapai kedekatan kepada Allah sama atau lebih dekat daripada Rasulullah SAW. Setiap hubungan yang diinginkan seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah hendaknya dipahami dalam kerangka dan batas-batas tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak berlebihan hingga terjadi penghambaan terhadap para wali selain Allah. Penghambaan demikian tidak akan mendekatkan orang-orang beriman kepada Allah, tetapi justru akan mengotori keikhlasan ibadah kepada Allah.

Perselisihan Antara Pentaubat

Tercampurnya keikhlasan ibadah kepada Allah dengan penyembahan pada wali-wali selain Allah akan menyebabkan perselisihan di antara orang-orang beriman. Orang-orang yang berusaha ikhlas akan terganggu dengan sikap penyembahan kepada selain Allah. Yang dimaksud orang ikhlas dalam perkara ini adalah orang-orang yang berusaha untuk memahami kehendak Allah sebagai landasan mereka beramal, bukan ikhlasnya orang-orang yang menyangka niat mereka telah bersih semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah. Perselisihan ini terjadi di antara orang-orang yang ingin mendekatkan diri mereka kepada Allah hingga sedekat-dekatnya, akan tetapi satu pihak berusaha sungguh-sungguh untuk memahami kehendak Allah sebagai landasan amal mereka, dan pihak lain hanya berdasarkan niat saja atau persangkaan bahwa jalan mereka telah lurus, atau persangkaan bahwa mereka adalah orang-orang yang memperoleh petunjuk tanpa memeriksa petunjuk mereka dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.

Perselisihan demikian ini seringkali tidak menemukan jalan keluar bagi keduanya. Setiap pihak mempunyai pengetahuan berdasarkan jalan masing-masing dan keduanya menyangka pengetahuan mereka adalah pengetahuan yang benar. Orang yang berpegang pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW tidak akan mau berkompromi dengan jalan pihak yang lain dalam berpegang pada kitabullah. Orang yang mengira diri mereka adalah pihak yang mendapat petunjuk memandang orang-orang yang mengikuti kitabullah adalah orang-orang yang berpegang kepada kitabullah hanya dengan logika tanpa mengetahui kehendak Allah dengan hatinya. Perselisihan demikian akan sulit menemukan titik temu. Dengan keadaan ini, Allah-lah yang akan memutuskan perkara yang diperselisihkan di antara mereka.

Ketetapan Allah demikian menakutkan bagi orang-orang yang mengharapkan petunjuk. Orang yang mengira telah memperoleh petunjuk mungkin tidak merasa takut. Sekalipun orang-orang yang berharap petunjuk mengira pula bahwa mereka telah mendapatkan petunjuk dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tetap saja suatu perselisihan beradu petunjuk akan menjadikan mereka merasa takut. Rasa takut itu akan menjadikan orang-orang yang berharap petunjuk akan berharap lebih banyak petunjuk, dan ia berhati-hati dalam berselisih. Orang yang mengira telah mendapatkan petunjuk akan mengira bahwa mereka akan memenangkan perselisihan itu, sedangkan tidak demikian keadaan yang akan terjadi.

Kemenangan atau kekalahan dalam berselisih seringkali tidak menunjukkan kebenaran atau kesesatan seseorang. Orang-orang yang tidak mempunyai rasa takut akan mudah memenangkan perselisihan akan tetapi kemenangan itu tidak menunjukkan kebenaran pada pihak mereka. Semakin tidak ada rasa takut, semakin mudah memenangkan perselisihan, termasuk dalam hal ini keberanian menggunakan dasar-dasar dari tuntunan Allah untuk memenangkan perselisihan. Orang yang benar akan mengikuti tuntunan Allah dengan sebaik-baiknya, tidak mempergunakan untuk berselisih. Yang mereka lahirkan dari perselisihan itu merupakan penjelasan yang sebaik-baiknya tentang pemahaman mereka dalam mengikuti kitabullah. Mereka itulah yang lebih mungkin mengikuti kebenaran.

Implikasi demikian akan terlihat pada keadaan setelahnya. Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang mendustakan kebenaran dan bersikap kufur. Orang-orang yang mendustakan kebenaran dan kufur tidak akan memperoleh petunjuk karena perselisihan mereka, dan pengetahuan mereka tidak bertambah setelah berselisih. Manakala mereka menuduh orang lain salah, mereka mungkin saja tidak mengetahui kesalahan orang lain tersebut. Sekalipun orang lain itu meminta ditunjukkan kesalahannya dengan sungguh-sungguh, mereka merasa tidak perlu menunjukkan kesalahannya karena lebih penting menunjukkan bahwa diri mereka itulah orang yang benar. Tidak terpikir bagi mereka untuk menyuruh umat manusia pada pengetahuan dan mencegah dari kemunkaran. Di sisi lain, orang-orang yang berharap petunjuk mungkin akan memperoleh petunjuk tentang perselisihan mereka. Mereka boleh jadi akan melihat keadaan diri mereka secara lebih baik, dan melihat pula keadaan perselisihan mereka termasuk keadaan orang yang berselisih dengan mereka. Dengan petunjuk itu, mereka tetap akan berusaha melakukan amar ma’ruf nahy munkar.

Ayat ini hendaknya menjadi pedoman bagi tiap-tiap muslimin ketika berselisih, yaitu hendaknya mereka selalu berharap memperoleh petunjuk Allah yang menjelaskan keadaan perselisihan mereka. Manakala Allah tidak memberikan petunjuk tentang keadaan mereka, boleh jadi meraka adalah orang yang mendustakan kebenaran dan bersikap kufur terhadap sahabatnya. Setiap orang beriman hendaknya berhati-hati dengan sikap demikian. Tidak penting bagi seseorang untuk memenangkan perselisihan, kecuali ada orang-orang yang bisa memperoleh hidayah dengan perkataan yang hendak disampaikan. Perkataan itu hanya layak disampaikan dalam perselisihan setelah jelas bahwa perkataan itu mengikuti petunjuk berupa kebenaran, bukan petunjuk untuk memenangkan perselisihan terhadap orang lain yang juga beriman.

Minggu, 14 Januari 2024

Ikhlas Dengan Kitabullah

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Kedekatan kepada Allah akan diperoleh seseorang bila melakukan Ibadah secara ikhlas kepada Allah. Ibadah yang ikhlas semata-mata kepada Allah akan diperoleh seseorang yang peduli terhadap tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Seseorang tidak akan bisa memperoleh kedekatan kepada Allah tanpa suatu keikhlasan berlandaskan pemahaman terhadap tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, karena pemahaman terhadap tuntunan Allah dan sunnah Rasulullah SAW merupakan dasar dari keikhlasan.

﴾۲﴿إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ
Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan al-haq. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. (QS Az-Zumar : 2)

Banyak orang-orang yang menyangka telah beribadah semata-mata kepada Allah dan kemudian memerangi kesyirikan dan bid’ah dengan menuduh orang-orang lain berbuat demikian, sedangkan sebenarnya mereka itu hanya mengikuti para panutan mereka tanpa memahami kitabullah. Keadaan demikian tidak menunjukkan keikhlasan, karena keikhlasan yang sebenarnya hanya dapat dicapai dengan melakukan amal shalih berdasarkan pemahaman terhadap tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Amal berdasarkan pemahaman yang sedikit terhadap kitabullah bukanlah masalah utama walaupun tingkat keikhlasannya rendah, tetapi terselipnya keburukan dan terwujudnya banyak amal buruk karena pemahaman yang salah akan menimbulkan kerusakan. Kaum khawarij terlahir dari sedikit dan dangkalnya pemahaman yang benar terhadap kitabullah, kemudian mereka tidak membina akhlak mulia dan justru memerangi umat islam dengan pemahaman mereka yang bengkok.

Pemahaman yang benar terhadap kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW berbentuk pohon thayibah dan hanya akan diperoleh melalui proses tazkiyatun-nafs. Tazkiyatun-nafs akan membentuk semua entitas dalam diri manusia sebagai misykat cahaya, dan misykat itu mewujudkan bayangan cahaya Allah sebagai kehendak-Nya dalam diri manusia dalam wujud pohon thayibah. Misykat ini dapat diibaratkan dengan kamera yang berfungsi membentuk bayangan dari objek yang dibidik hingga gambaran objek dapat terwujud di dalam kamera. Objek yang dibidik dalam hal ini adalah cahaya Allah berupa ayat kauniyah dan ayat kitabullah yang terhampar bagi manusia, dan bayangan itu adalah citra kehendak Allah yang terpahami di dalam hati dalam bentuk pohon thayibah. Fungsi demikian tidak akan diperoleh seseorang tanpa melakukan tazkiyatun-nafs membentuk akhlak mulia. Misykat cahaya itu hanya dapat berfungsi benar dengan akhlak mulia.

Pemahaman berupa pohon thayibah demikian itu yang akan menjadikan seseorang memperoleh keikhlasan beribadah semata-mata karena Allah. Banyak orang menyangka telah beribadah dengan ikhlas semata-mata kepada Allah dengan berlandaskan perkataan orang lain. Hal demikian tidak benar, karena ia belum mencapai keikhlasan. Keikhlasan akan tampak bagi seseorang manakala ia memahami perintah Allah berdasarkan akhlak mulia berupa sifat ar-rahman ar-rahiim. Mereka tidak akan memaksakan suatu kebenaran yang dipahaminya kepada orang lain, tetapi akan mengajak orang lain untuk memperoleh pemahaman yang sama. Hal ini tidak menafikan kemungkinan berperang manakala orang lain menyerang atau merendahkan kebenaran, hanya saja ia tidak akan memaksakan kebenaran dirinya manakala orang lain belum siap untuk menerimanya. Manakala ia melihat orang lain menempuh jalan yang berbahaya, ia akan memperingatkan mereka akan tetapi tidak akan memaksakan kecuali karena adanya kemungkinan orang lain yang terseret menuju bahaya.

Madlarat dalam Ketidak-Ikhlasan

Keikhlasan dalam beribadah kepada Allah akan mewujudkan pemakmuran di muka bumi, dan adanya campuran-campuran dalam ubudiyah akan melahirkan kekacauan di muka bumi. Terdapat sekelompok manusia yang menginginkan harta kekayaan dan jabatan di antara manusia dengan menyembah orang lainnya. Mereka membuat suatu -isme tertentu dan melakukan perbuatan sesuai dengan perintah orang yang mereka pertuhankan. Mereka membantu melemahkan sendi-sendi negara dengan pengubahan peraturan yang menjadikan bangsa menjadi lemah, menyerang dan menghancurkan orang baik yang berpotensi mengganggu mereka, menghancurkan karya-karya atau menegasikannya agar tidak dikenali sedangkan karya-karya itu menunjukkan suatu tingkat kebersyukuran bangsanya terhadap karunia Allah. Tidak luput dari itu, mereka menyebarkan diantara masyarakat konsep-konsep baru yang kandungan nilainya sangat buruk tetapi terlihat benar tanpa mempertimbangkan nilai-nilai dengan seksama. Perbuatan itu dilakukan untuk memperkuat kedudukan mereka di antara manusia. Mereka tidak melihat kebaikan dari pemakmuran yang dilakukan dan tidak melihat keburukan dari apa yang mereka perbuat, hanya mengikuti hasrat untuk memperoleh kekayaan dan jabatan dengan menyembah junjungan mereka.

Keberadaan kaum yang buruk demikian tidak terlepas dari adanya ketidak-ikhlasan ibadah kepada Allah pada kalangan orang-orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah. Sulit untuk menahan perbuatan penyembah manusia bila orang beriman tidak membersihkan keikhlasan mereka dalam beribadah kepada Allah. Manakala orang beriman mendekatkan diri kepada Allah dengan mengabaikan tuntunan kitabullah, mensia-siakan akalnya dalam memahami tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, mereka dapat terjatuh pada penyembahan kepada selain Allah. Menjadikan manusia sebagai tuhan selain Allah ditandai dengan adanya sikap menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah. Bila terjadi hal demikian, maka sebenarnya mereka telah menjadikan manusia sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Mereka menjadikan Allah sebagai tuhan, dan menjadikan pula manusia sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Bila demikian, para penyembah kekayaan dan jabatan itu akan leluasa melakukan perbuatan mereka terhadap umat manusia.

Dalam masalah keikhlasan, banyak jenis manusia menjalaninya. Ada orang-orang yang beribadah benar-benar secara ikhlash kepada Allah dengan tuntunan kitabullah. Ada orang-orang yang berusaha ikhlas tetapi syaitan menipu mereka. Manakala bertentangan dengan kitabullah, mereka mengikuti pendapat mereka sendiri. Ada orang yang merasa ikhlas beribadah sedangkan mereka tidak berusaha memahami kehendak Allah dengan cara yang benar tetapi dengan hawa nafsu. Sebagian orang sepenuhnya mengikuti hawa nafsu dan syahwat mereka tanpa peduli dengan tuntunan Allah kepada umat manusia. Masing-masing tingkatan akan mempunyai tingkat kekacauan masing-masing, dan kebaikan akan dimunculkan dari orang-orang yang benar-benar ikhlas kepada Allah dengan tuntunan kitabullah.

Membina keikhlasan harus dilakukan dengan membina akal untuk berpegang pada kitabullah dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Mengikuti orang lain tanpa menggunakan akal untuk memahami kitabullah tidak akan menjadikan seseorang mencapai keikhlasan dan justru bisa menjauhkan dari keikhlasan. Selanjutnya suatu pemahaman yang tidak digunakan untuk melangkah mengikuti sunnah Rasulullah SAW tidak akan mengantar seseorang mencapai keikhlasan. Mengikuti sunnah Rasulullah SAW adalah melangkah kembali menuju Allah dengan membina akhlak mulia. Ada orang-orang yang merasa mempunyai pemahaman terhadap kehendak Allah tetapi tidak melangkah mengikuti sunnah Rasulullah SAW, atau menyimpang dan/atau berbalik setelah mengikuti, maka pemahaman yang demikian tidak mencapai keikhlasan yang sempurna, atau mungkin suatu pemahaman yang keliru.

Ada beberapa penanda dalam mengikuti sunnah Rasulullah SAW, di mana bila seseorang tidak menemukan tanda itu tidak dapat dikatakan benar-benar mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Tanda-tanda itu adalah arah yang harus ditempuh dalam mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Di antara tanda-tanda mengikuti sunnah Rasulullah SAW adalah tercapainya pengenalan diri sebagai tanah haram tempat dirinya bersujud, terbentuknya bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah, serta mi’raj mencapai kursi yang disediakan bagi diri masing-masing di surga. Hal itu akan tercapai secara terurut. Tercapainya salah satu di antara tanda-tanda itu menunjukkan seseorang telah mengikuti sunnah Rasulullah SAW selama langkahnya kemudian tidak berbalik.

Akal Mengikuti Tuntunan Kitabullah

Pembinaan akal menjadi dasar keikhlasan. Semakin tinggi pemahaman akal terhadap kitabullah, semakin besar nilai keikhlasan yang dapat diperoleh. Tanpa akal atau pikiran yang memahami kitabullah tidak mungkin ada keikhlasan. Bercampur-campurnya hawa nafsu dan kebodohan pada amal-amal seseorang menunjukkan keikhlasan yang tercampur-campur. Hal demikian tidak jarang menimbulkan madlarat yang sangat besar. Madlarat yang timbul demikian seringkali tidak disadari oleh orang-orang yang melakukannya. Mereka bisa memandang indah perbuatan mereka yang berbuat kerusakan karena kebodohan mereka sendiri.

Misalnya manakala ada sepasang manusia yang ingin melakukan ishlah justru dipisahkan dan dijadikan bermusuhan, maka hal itu merupakan kebodohan karena kitabullah memerintahkan orang beriman untuk mengishlahkan orang yang bermusuhan. Demikian pula manakala suami isteri yang ingin membentuk bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah justru dibuat kacau dan kesulitan untuk melangkah, maka hal demikian akan menimbulkan kerusakan di bumi. Tidak ada yang memperoleh kebaikan dari perbuatan demikian. Dua pihak yang menginginkan ishlah akan mengalami penderitaan karena dijauhkan dari jalan Allah, dan orang-orang yang memisahkan tidak memperoleh kebaikan dari terjalinnya hubungan silaturahmi yang seharusnya terjadi di antara mereka. Yang memperoleh keuntungan hanyalah syaitan dan golongan mereka yang berhasil mengacaukan umat manusia. Kedua perbuatan di atas merupakan contoh yang sangat dekat dengan sasaran puncak perjalanan manusia di dunia yaitu membentuk bayt.

Hal demikian seringkali tidak disadari oleh orang-orang yang tidak menggunakan akalnya untuk memahami kitabullah. Mereka bisa memandang indah perbuatan merusak silaturahmi yang seharusnya dibangun di antara masyarakat mereka, mengira bahwa perbuatan merusak demikian merupakan perintah Allah karena mereka tidak menggunakan akalnya untuk memahami kitabullah. Atau perbuatan itu mungkin hanya mengikuti perkataan manusia yang merasa lebih mengetahui kehendak Allah, sedangkan mereka tidak berpegang pada ayat kitabullah dan/atau ayat kauniyah berupa keadaan orang-orang yang menginginkan terjalinnya shilaturahmi di antara mereka. Tidak jarang perbuatan demikian terlahir karena mereka menjadikan manusia sebagai tuhan-tuhan selain Allah, mengira perbuatan demikian mendatangkan kebaikan. Keadaan ini hampir sama dengan orang-orang yang memandang baik semua perbuatan mereka selama bisa memperoleh kekayaan atau jabatan sekalipun harus merusak bangsa. Perbedaan hanya pada orang yang mereka jadikan tuhan selain Allah.

Setiap orang harus berusaha beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan semata-mata hanya untuk Allah memurnikan ibadah dari penyembahan kepada yang lain, baik berupa hasrat jasmaniah, hawa nafsu ataupun tuhan-tuhan lain selain Allah. Murninya keikhlasan ibadah kepada Allah akan diperoleh seseorang jika ia memperoleh pemahaman terhadap kitabullah secara benar. Tanpa suatu pemahaman terhadap kitabullah, seseorang tidak akan memperoleh keikhlasan ibadah kepada Allah. Pemahaman yang benar terhadap ayat kitabullah itu akan diperoleh melalui tazkiyatun-nafs, yaitu proses tazkiyatun-nafs untuk membentuk diri menjadi misykat cahaya yang menghasilkan bayangan kehendak Allah dalam diri manusia.

Kamis, 11 Januari 2024

Ulil Amri dan Amanah

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Mengikuti jejak langkah Rasulullah SAW harus dilakukan dengan terwujudnya ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW. Ketaatan itu tidak hanya berhenti pada ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW, juga diperpanjang bagi manusia dalam wujud ketaatan kepada ulil amr. Mereka adalah orang-orang yang mengenal urusan diri mereka sebagai bagian dari amr jami’ Rasulullah SAW. Manakala ada seseorang yang mengenal urusan Allah yang dijadikan amanat bagi diri mereka, dan mengenal urusan itu sebagai bagian dari amr jami’ Rasulullah SAW untuk ruang dan jaman mereka, maka mereka itulah yang disebut sebagai ulul amr. Kadang seorang ulul amr terlihat tidak mempunyai urusan apa-apa di antara masyarakat karena tidak memperoleh tempat yang layak, tetapi selama mereka mengenali amanat Allah bagi dirinya, mereka adalah ulul amr. Sebaliknya, banyak orang-orang jahat tanpa pengetahuan memegang urusan keumatan mengikuti hawa nafsu mereka, dan mereka memperoleh kedudukannya karena keadaan umat kebanyakan bodoh.

﴾۹۵﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An-Nisaa : 59)

Ada orang-orang yang mengenali urusan mereka di antara manusia, maka hendaknya orang-orang beriman mentaati apa yang diberikan oleh orang-orang tersebut. Mereka pada dasarnya menyampaikan amanat Allah kepada para ahlinya. Allah memberikan kepada mereka perintah untuk menyampaikan amanah kepada para ahlinya dan untuk memberikan hukum dengan keadilan. Apabila seseorang mentaati ulil amri, mereka akan mempunyai pijakan pada amanah yang harus mereka laksanakan masing-masing. Bila mereka meninggalkan apa yang diberikan oleh ulil amri, mereka telah meninggalkan amanah Allah bagi masing-masing.

Amanah itu adalah apa-apa yang terhubung dengan tuntunan Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Manakala seseorang tidak peduli terhadap tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW dalam mentaati ulil amri, mereka tidak akan memperoleh amanah itu walaupun melaksanakannya. Demikian pula manakala tidak mentaatinya. Ibadah semata-mata kepada Allah akan diperoleh seseorang yang peduli terhadap tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW dengan mentaati ulil amr. Ketaatan demikian tidak menjadikan mereka sebagai penyembah-penyembah selain Allah walaupun secara fenomena tampak melakukan amal-amal berdasarkan perkataan makhluk. Sebaliknya bila mereka menjadikan ulil amr sebagai pusat ketaatan tanpa menghubungkannya dengan tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, maka bisa saja mereka tergelincir mengambil tuhan-tuhan selain Allah berupa ulil amr.

Seringkali terjadi seseorang berusaha mentaati ulil amr di antara mereka tetapi tidak juga memperoleh pengetahuan tentang amanah bagi diri mereka, atau tidak menambah pengetahuan tentang diri sendiri. Hal ini benar-benar terkait dengan kepedulian seseorang terhadap tuntunan Allah dan sunnah Rasulullah SAW, bukan terkait dengan ulul amr. Kadangkala urusan seseorang terlalu jauh dari ulul amri tertentu sehingga tidak bisa memperoleh amanah melaluinya. Seorang ulul amri hanya menjadi penyambung para ahli amanah kepada Allah dan Rasulullah SAW, sedangkan isi dari pengetahuan itu ada pada tuntunan Allah dan Rasulullah SAW, tidak pada ulul amri. Hal ini tidak berarti peran ulul amri kecil. Sangat beruntung orang yang bisa mengenal dan mentaati ulil amr, tetapi setiap orang harus memperhatikan kandungan tuntunan Allah dan sunnah Rasulullah SAW melalui ketaatan kepada ulul amr. Seorang ulul amr biasanya benar, tetapi mungkin saja berbuat salah. Bila seseorang berkeinginan untuk memperoleh pengetahuan tentang diri sendiri, mereka harus menemukannya dalam tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, sedangkan ulul amr akan membantu mengenali.

Untuk memudahkan mengenali amanahnya, setiap orang hendaknya lebih memperhatikan penjelasan ulul amri tentang amanah mereka yang terkait dengan kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, dan amanah yang lain diperhatikan setelahnya. Kadangkala seorang ulul amri menyampaikan amanah tanpa menjelaskan kedudukannya dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, maka hendaknya mereka mencarinya sendiri pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Bila tidak menemukan, mungkin penjelasan itu tidak penting untuk sementara. Setiap orang hendaknya berpijak berdasarkan tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, bukan pada setiap perkataan manusia.

Para ahli amanah adalah orang-orang yang telah siap untuk menerima amanah. Setiap orang diciptakan dengan amanah tertentu, tetapi baru akan diketahui manakala ia telah siap. Mereka adalah orang-orang yang ingin menemukan jalan ibadah mereka kepada Allah dengan mengalahkan hawa nafsu. Manakala seseorang telah berkeinginan untuk menemukannya, mereka adalah ahli amanah, maka hendaknya ulul amri menyampaikan kepada mereka jalan untuk mengenalnya. Pada dasarnya Allah yang memberikan keterbukaan kepada masing-masing tentang jalan ibadah mereka, dan para ulul amri menunjukkan jalan untuk mengenalnya. Memberitahukan amanah secara langsung akan menjadikan seseorang tumbuh tidak seimbang antara akal dengan keteguhan hatinya. Setiap orang harus tumbuh ‘azam yang cukup terlebih dahulu untuk mengenal amanahnya.

Manakala terjadi perselisihan pemahaman seseorang terhadap ulul amr dalam masalah pedoman kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, hendaknya setiap orang mengikuti apa yang tertuntun dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak mengikuti ulul amr. Tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW tidak dapat dikalahkan oleh perkataan ulul amr, dan kedudukan ulul amr tidak dapat disejajarkan dengan tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Apabila seorang ulul amr menekankan kedudukan dirinya di hadapan Allah agar manusia mengikutinya melanggar kitabullah, setiap orang hendaknya berpegang bahwa kedudukan itu tidak sejajar dengan kedudukan kitabullah dan Rasulullah SAW. Dalam prakteknya, hal ini seringkali tidak mudah dilaksanakan karena seorang ulul amr akan terlihat lebih hidup dalam pandangan kebanyakan orang daripada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.

Kesungguhan Iman

Setiap ulul amr mempunyai bentuk-bentuk amanah yang mungkin berbeda untuk disampaikan kepada para ahli amanah. Amanah-amanah yang disampaikan oleh berbagai ulul amr kepada seseorang itu hendaknya dapat berjalin secara proporsional pada ahli amanah. Ahli amanah akan mempunyai pemahaman amanahnya secara lebih tepat dan akurat karena terpandu berbagai perkataan para ulul amr yang sampai kepada dirinya. Tetapi para ulul amr bisa keliru, dan ketepatan ulul amr terletak pada tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Perkataan makhluk akan menjadi berbahaya bagi umat manusia dalam melangkah menuju Allah manakala perkataan itu membuat umat manusia mengabaikan perkataan yang terkait dengan tuntunan Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Apalagi bila disampaikan oleh ulul amr sebagai amanah Allah yang harus disampaikan kepada umatnya.

Kesungguhan orang beriman dalam mengikuti kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW harus terlihat hingga amal-amal lahiriah, bukan dinilai hanya dari baiknya iktikad yang menjadi niat. Amal hendaknya bersesuaian dengan kitabullah, atau setidaknya setiap orang harus mengetahui kesalahannya manakala Alquran menunjukkannya, tidak memandang bahwa Alquran salah atau penjelasan yang sesuai dengannya salah. Bila seseorang lebih meyakini kabaikan iktikadnya daripada tuntunan kitabullah, thaghut akan datang kepada dirinya.

Setiap orang beriman hendaknya berusaha memahami tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW dengan tepat dan benar, dan kemudian mewujudkan amal-amal lahiriah yang menjadi turunan dari pemahaman yang benar tersebut. Orang beriman tidak boleh berbuat dengan berdasarkan persangkaan keimanannya terus menerus, tanpa keinginan mengetahui timbangan amalnya dalam kitabullah dan sunnah beliau SAW. Boleh jadi amal-amal itu tidak bersesuaian atau justru bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, maka amalnya akan menimbulkan kerusakan pada umat.

﴾۰۶﴿أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS An-Nisaa’ : 60)

Bagi beberapa orang, ayat tersebut mempunyai sedikit nuansa ghibah, di mana seorang hamba khususnya ulil amri diperintahkan untuk memperhatikan keadaan orang lain dalam konteks negatif, yaitu terhadap orang yang merasa dirinya beriman kepada kitabullah dan yang diturunkan sebelumnya. Bagi beberapa hamba Allah, ayat tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan dalam dirinya tentang orang lain, di mana hamba itu mungkin tidak lagi merasa punya kemampuan memberikan masukan kepada orang lain tersebut, maka ia berghibah kepada Allah karena merasa lemah. Manakala ada hamba lain yang mungkin bisa mengerti permasalahan, para hamba tersebut mungkin saja berghibah di antara mereka karena tidak lagi mampu memberitahu orang yang mereka perhatikan. Seandainya orang tersebut mau memperhatikan kata-kata ulil amri tentang ayat Allah, niscaya para hamba tersebut tidak berghibah, dan Allah tidak memerintahkan mereka untuk memperhatikan orang tersebut.

Keimanan terhadap kitabullah harus ditunjukkan dengan amal-amal yang jelas mengikuti kitabullah, bukan hanya mengikuti persangkaan keimanan sendiri. Ada orang-orang yang menyangka bahwa diri mereka beriman kepada apa yang diturunkan kepada Rasulullah SAW dan yang sebelumnya akan tetapi sebenarnya tidak benar-benar mengikuti kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Mereka mempunyai banyak kesamaan dalam tujuan dan cara pandang dengan para pengikut Rasulullah SAW akan tetapi langkah dalam menempuh jalan taubat tampak terbalik. Persangkaan terhadap iman bernilai tidak benar bila tidak disertai dengan ketaatan kepada kitabullah, apalagi bila disertai dengan sikap membantah kitabullah dan sunnah Rasulullah. Penyangkalan terhadap kitabullah merupakan tanda yang menunjukkan bahwa keimanan itu hanya persangkaan saja.

Penyangkalan terhadap kitabullah itu dari taghut yang muncul pada orang-orang yang menyangka dirinya beriman. Taghut akan menjadikan mereka keluar dari cahaya iman menuju kegelapan, dan mereka tidak menyadari bahwa mereka keluar dari cahaya iman. Orang beriman hendaknya tidak mengharapkan datangnya suatu perintah atau penjelasan dari Allah secara diskrit karena islam telah diturunkan secara sempurna. Orang beriman hendaknya berusaha memahami kehendak Allah yang terhampar pada semesta mereka selaras dengan ayat kitabullah, tidak membiasakan diri berusaha memahami kehendak-Nya secara diskrit. Itu merupakan bentuk pemahaman terhadap kehendak Allah yang seharusnya diharapkan oleh orang beriman. Petunjuk yang diskrit hendaknya lebih diharapkan hanya sebagai teguran terhadap suatu kesalahan diri, atau kasus khusus lain. Bila membiasakan diri mencari kehendak-Nya secara diskrit, syaitan bisa masuk kepada mereka sebagai taghut.

Syaitan berkeinginan menyesatkan manusia sejauh-jauhnya. Hal ini dapat dilakukan syaitan melalui manusia yang mencapai akhlak yang tinggi tanpa kemuliaan. Hal ini terbentuk pada seseorang yang tidak berusaha membina akal untuk memahami kehendak Allah sedangkan mereka mempunyai indera-indera bathin. Membina akal yang benar hanya dapat dilakukan dengan mengikuti kitabullah. Bila hanya mengandalkan indera bathin, syaitan bisa menyertai langkah manusia sebagai taghut dan menyesatkan dengan kesesatan sejauh-jauhnya. Sebaliknya indera bathin harus digunakan untuk memahami kehendak Allah dengan tuntunan kitabullah, tidak melepaskannya tanpa tuntunan. Dalam banyak kasus, syaitan seringkali tidak menyesatkan manusia secara keseluruhan tetapi hanya pada poin-poin penting yang menentukan, karenanya setiap orang hendaknya selalu berusaha mencari tuntunan kitabullah untuk petunjuk yang diterimanya.

Sindiran Allah terhadap orang yang menyangka dirinya beriman sangat terkait dengan penyampaian amanah melalui para ulil amr. Barangkali bentuk masalah karena orang demikian yang di alami masing-masing ulil amri berbeda, tetapi sama-sama mengalami kesulitan karena thaghut. Para ulil amri akan berusaha menyampaikan amanah Allah kepada para ahlinya, tetapi hal demikian akan terusik dengan hadirnya thaghut melalui orang-orang yang disukai syaitan. Para ahli amanah akan sulit menemukan amanah bagi diri mereka kecuali terdistorsi dengan perkataan yang tidak haq, dan para ulil amr mengalami kesulitan untuk menyampaikan amanah kepada para ahli tersebut. Kadangkala suatu amanah dari kitabullah tidak dianggap amanah oleh para ahlinya, sedangkan urusan yang tidak diketahui landasannya dari kitabullah dijadikan amanah. Tidak terbatas dilakukan terhadap para ahli amanah, tetapi juga akan mengganggu jalan yang harus ditempuh para ulil amr untuk menyampaikan, maka ulil amr akan kesulitan menyampaikan amanah kepada para ahli.

Pelaksanaan amr Allah akan menjadi bentuk ibadah yang sebenarnya bagi setiap makhluk. Hal itu merupakan wujud keimanan yang sebenarnya. Pemahaman seseorang terhadap amr Allah bagi masing-masing menjadi kunci pemahaman terhadap kitabullah secara benar dan tertuntun. Manakala seseorang memahami amr Allah bagi dirinya sebagai bagian dari amr jami’ Rasulullah SAW, maka ia akan mudah memahami kitabullah Alquran secara benar terutama bagian yang diperuntukkan bagi dirinya. Sebelum mengenal amr jami’ Rasulullah SAW untuk ruang dan jamannya, pemahaman seseorang terhadap kitabullah Alquran bisa meleset, atau setidaknya tidak mengenali sungguh-sungguh kandungan firman Allah. Bila seseorang bertindak menentang kitabullah dengan keimanannya, maka Allah memerintahkan kepada ulil amr untuk memperhatikan keburukan mereka.

Senin, 08 Januari 2024

Wanita Sebagai Pintu Pemakmuran Dunia

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Ibadah yang sebenarnya dari setiap manusia akan mendatangkan kemakmuran di bumi, dan pemakmuran bumi merupakan jalan ibadah manusia. Pemakmuran bumi akan terjadi bila umat manusia membentuk bayt untuk mendzikirkan asma Alah Setiap orang baik laki-laki maupun perempuan diciptakan dengan jasmani dan nafs untuk memahami kehendak Allah, tetapi terdapat sedikit perbedaan peran antara suami dan isteri dalam membentuk misykat cahaya. Seorang suami mempunyai peran besar dalam urusan membentuk mitsal cahaya berupa pohon thayyibah dengan misykat cahaya dirinya, sedangkan seorang isteri mempunyai peran besar dalam menerima mitsal cahaya berupa pohon thayyibah dan menumbuhkannya di bumi. Isteri sebagai reseptor bayangan cahaya Allah juga berfungsi untuk menghubungkan bayangan itu ke alam duniawi. Para isteri adalah ladang tempat tumbuhnya pohon thayibah di bumi mereka, yaitu pohon thayibah yang dibentuk oleh misykat cahaya suaminya.


﴾۳۲۲﴿نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لِأَنفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُم مُّلَاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Isteri-isterimu adalah ladang (tempat kamu bercocok tanam) bagimu, maka datangilah ladangmu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan dahulukanlah untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman (QS Al-Bqarah : 223)

Fungsi perempuan sebagai ladang terjadi pada setiap tingkatan entitas di dalam diri. Setiap pasangan menikah yang bisa bersinergi dengan baik akan memperoleh manfaat dari sinergi mereka. Manakala terjadi sinergi antara seorang suami dengan isterinya pada tingkatan jasadiah, akan terlahir anak-anak biologis dari mereka. Bila sinergi terjadi di tingkat hawa nafsu, maka hawa nafsu itu akan memperoleh penguatan yang banyak, baik hawa nafsu itu buruk atau tampak baik. Manakala terjadi sinergi di tingkat nafs wahidah, nafs mereka akan menjadi insan yang sempurna. Penyatuan berupa sinergi yang terbentuk antara seorang laki-laki dan perempuan dalam suatu pernikahan akan menumbuhkan tambahan yang banyak bagi kehidupan mereka bersama, baik di tingkat nafs, jasmani ataupun hawa nafsu.

Hal utama yang seharusnya ditumbuhkan orang-orang beriman pada ladang mereka adalah pohon thayibah dari kalimah thayyibah yang mereka pahami. Kalimah thayyibah yang terwujud melalui misykat cahaya orang beriman hendaknya dapat terhubung dan terwujud ke alam duniawi melalui ladang mereka. Setiap isteri harus berusaha untuk dapat memahami pohon thayibah dalam diri suaminya dan berupaya untuk bersama-sama mewujudkannya di alam duniawi mereka. Bila isteri tidak mempunyai keinginan untuk memahami pohon thayibah dalam diri suaminya, pohon thayyibah itu tidak akan terwujud di alam dunia.

Prinsip sebagai ladang demikian berlaku pada setiap terwujudnya keadaan sinergis di antara suami dan isteri, tidak terbatas pada terbentuknya pohon thayyibah. Dalam suatu sinergi yang baik dengan isterinya, seorang laki-laki yang tidak terlalu dipandang di antara manusia dapat menjadi laki-laki yang sangat kuat dalam mengendalikan dunia mereka. Konstitusi suatu negara dapat diubah dengan mudah untuk kepentingan sendiri karena perempuan yang bisa memberikan sinergi yang baik terhadap suaminya. Semua aparatur yang harus dikendalikan suami dapat dikendalikan dengan baik karena terbentuknya sinergi yang baik antara suami dengan isterinya. Sinergi yang baik bersama isteri akan menjadikan seorang laki-laki terhubung dengan baik ke alam duniawi mereka, dalam perkara-perkara yang mereka perhatikan bersama tidak terbatas pada urusan kalimah thayibah. Kadangkala bayang-bayang manfaat sinergi demikian terlihat pula pada laki-laki dan perempuan yang dapat menikah.

Kerusakan dalam pembinaan akhlak perempuan bersifat sangat merusak tatanan dunia. Dalam kasus ekstrim, datangnya seorang nabi justru akan mengundang adzab bagi kaumnya karena isteri yang celaka. Tidak terwujudnya atau tersendatnya upaya mewujudkan pohon thayibah di alam duniawi merupakan kerusakan perempuan. Hal demikian biasanya disertai dengan terbalik-baliknya persepsi masyarakat terhadap kebenaran, sehingga kerusakannya sebenarnya lebih besar dari sekadar tidak terwujudnya pohon thayyibah. Setiap mukmin dan mukminat hendaknya berusaha mewujudkan bayt sesuai dengan tuntunan uswatun hasanah. Memenuhi mitsaqan ghalidza, membentuk akhlak mulia dan menghindari kekejian harus dijadikan asas dalam membentuk bayt. Manakala seseorang memandang lebih baik pada asas yang bertentangan dengan tauladan uswatun hasanah, hal itu merupakan kesesatan.

Pohon Thayyibah dan Pemakmuran

Allah memberikan perintah agar setiap laki-laki mendahulukan dirinya terlebih dahulu, mendahului terbentuknya sinergi bersama isterinya sebagai ladang. Hal ini terkait dengan diutamakannya terbentuknya pohon thayibah dalam diri laki-laki, dan  ladang itu ikut diperhatikan agar pohon thayyibah itu dapat terwujud di alam duniawi. Bila ladang lebih diutamakan terbentuknya, arah pemakmuran bumi akan berjalan tanpa arah. Bila sepasang manusia tidak memperhatikan perintah Allah, dunia akan terwarnai dengan kekuatan hawa nafsu. Bila seorang isteri lebih diutamakan dari suaminya dalam pemakmuran bumi, pemakmuran yang terjadi akan menjadi bengkok karena sifat bengkoknya akal perempuan. Misalnya pemakmuran di tingkat negara yang seharusnya memakmurkan seluruh penduduk negeri akan menjadi pemakmuran untuk keluarga sendiri karena sifat bengkoknya akal perempuan. Setiap orang harus mendahulukan urusan Allah yang diturunkan melalui laki-laki, kemudian diwujudkan melalui ladang dalam pernikahan maka pemakmuran dunia akan dapat tercapai dengan baik.

dari Abu Hurairah r.a dari Rasulullah SAW, beliau bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِيْ جَارَهُ، وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْئٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا.
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia mengganggu tetangganya, dan berikanlah kebaikan kepada wanita, sebab, mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan sesuatu yang paling bengkok pada tulang rusuk adalah yang paling tingginya. Jika engkau meluruskannya, maka engkau mematahkannya dan jika engkau biarkan, maka akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berbuat baiklah kepada wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 5185 Muslim no. 60)

Hadits tersebut sangat terkait dengan pemakmuran bumi. Setiap laki-laki harus berbuat baik kepada isteri mereka dengan memberikan kebaikan walaupun terlihat kebengkokan pada isteri mereka, karena setiap perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Sesuatu yang paling bengkok pada tulang rusuk adalah paling atasnya. Sifat kebengkokan perempuan itu merupakan fitrah yang tidak dapat dipersamakan dengan laki-laki, karena itu usaha meluruskan perempuan merupakan hal yang sulit dan bila dipaksakan akan dapat mematahkannya. Para suami hendaknya tidak terlalu memaksakan meluruskan isterinya. Hal terpenting yang dilakukan oleh para laki-laki adalah memberikan kebaikan kepada para isteri mereka, tidak memaksa meluruskannya.

Fitrah perempuan adalah bengkok, tetapi ada kebengkokan yang bersifat fitrah dan ada kebengkokan yang bersifat kerusakan. Kecenderungan para perempuan untuk mementingkan diri dan keluarganya merupakan contoh kebengkokan perempuan yang bersifat fitrah. Bila ia mempunyai kekuasaan kemudian memanfaatkan kekuasaan itu untuk keluarganya, itu merupakan kebengkokan yang bersifat fitrah, dan kesalahan terletak pada sistem yang memberikan kekuasaan padanya tanpa suatu kontrol. Seorang penguasa yang berbuat seperti perempuan karena mengikuti isterinya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sebagai laki-laki. Bila seorang perempuan mementingkan orang lain daripada keluarganya atau suaminya, maka itu merupakan kebengkokan yang merupakan kerusakan. Hendaknya setiap suami mengenali kebengkokan pada isterinya dan menghindarkan bengkok yang bersifat rusak, sedangkan ia memberikan keleluasaan secukupnya bagi isterinya tanpa memaksakan untuk lurus dan tetap menjaga agar tidak mengalami kebengkokan yang berupa kerusakan.

Urusan pemakmuran paling utama yang dibawakan oleh isteri bagi suaminya terletak pada hal yang paling bengkok isterinya. Setiap orang beriman dituntut untuk memberikan kebaikan kepada isteri-isteri mereka walaupun isteri mereka terlihat bengkok dalam pandangannya, selama kebengkokan itu merupakan kebengkokan yang fitrah. Kemampuan melihat batas demikian akan menjadikan seorang laki-laki memahami karakter dunia yang harus dimakmurkan sesuai dengan kehendak Allah. Ada kebengkokan dan keterbatasan yang harus diakomodasi, tetapi harus tetap disertakan untuk mewujudkan kehendak Allah. Dalam urusan perempuan, setiap isteri harus disertakan oleh suami untuk memahami dan mewujudkan kehendak Allah berupa pohon thayyibah yang dibentuk suaminya, dalam batas kemampuan isterinya.

Pembinaan para perempuan harus dilakukan agar terjadi pemakmuran di bumi. Kapasitas pemakmuran bumi akan meningkat manakala para wanita terdidik untuk mewujudkan kehendak Allah melalui bayt bersama suaminya. Kemampuan perempuan untuk memahami suaminya akan menentukan tingkat pemakmuran duniawi yang dapat diusahakan, baik diusahakan bersama-sama ataupun oleh suaminya saja atau oleh dirinya sendiri saja. Sekalipun suami mengusahakan sendiri, kemampuan isteri untuk memahami suaminya akan menentukan hasil usaha suaminya dalam memakmurkan bumi. Tidak ada salahnya bagi isteri untuk ikut mengusahakan terwujudnya pemakmuran bumi bersama mengikuti suaminya, atau mengusahakan sendiri bila suaminya tidak mempunyai kesempatan mewujudkan pemakmuran itu. Kemampuan memahami suami akan menjadi penentu kesuburan seorang isteri terhadap suaminya.

Isteri yang subur akan menumbuhkan pohon thayibah yang subur. Manakala seseorang menemukan pasangan yang diciptakan dari nafs wahidah yang sama, kemungkinan untuk dapat menumbuhkan kesuburan pohon thayyibah sangat besar. Di antara tanda keberpasangan yang tepat antara seorang laki-laki dan perempuan dalam menemukan jodoh adalah kemudahan pengenalan urusan Allah atas diri mereka melalui kebersamaan. Seorang laki-laki akan mudah meraba dan kemudian mengenali urusan yang dibawa perempuan jodohnya, dan begitu pula sebaliknya. Rasa cinta di tingkat hawa nafsu tidak menjadi tanda keberpasangan, terutama hawa nafsu yang kurang terdidik. Rasa cinta pada masa perkenalan merupakan bekal yang baik, tetapi sebenarnya cinta harus diwujudkan dalam pernikahan bukan pada masa pencarian jodoh..

Nafs wahidah yang sama bukan faktor kesuburan satu-satunya. Terdapat banyak hal yang dapat mempengaruhi kesuburan di antara pasangan menikah. Akhlak masing-masing pihak juga akan mempengaruhi kesuburan di antara pasangan. Seorang isteri yang tidak bisa bersyukur terhadap suami akan sulit memperoleh kesuburan. Semakin besar rasa syukur seorang perempuan akan semakin subur. Suatu keluhan, kemarahan dan sikap-sikap bathin seorang isteri terhadap suami akan mempengaruhi kesuburan. Kemuliaan akhlak seorang isteri ditentukan dari sifat qanit (tenang) dalam mengikuti suaminya. Bila seorang perempuan tidak dapat menerima suaminya, akan sulit bagi suaminya untuk memakmurkan buminya. Setiap isteri harus dibina untuk dapat mengikuti suami dengan menyertakan hatinya. Kesertaan hatinya bersama suaminya menentukan kekuatan akalnya, dan akan menentukan besarnya pemakmuran yang dapat diberikan kepada alam duniawi mereka.

Sifat keji memberikan pengaruh paling besar terhadap sifat kesuburan di antara pasangan. Bila tertanam suatu kekejian pada salah satu pihak, terutama pihak perempuan, sifat kesuburan itu akan hilang dari antara mereka. Setiap pihak harus menjauhkan diri dari sifat keji (fahsya’) agar kehidupan mereka thayyib, baik kekejian yang dzahir maupun kekejian di dalam bathin. Suatu kekejian di dalam bathin walaupun tidak pernah didzahirkan akan mempengaruhi kesuburan. Kekejian dalam bathin bisa merupakan kekejian besar walaupun seseorang menahan untuk tidak melahirkannya, karena syaitan kadangkala berhasil memasukkan kekejian itu dengan metode tertentu. Bila kekejian demikian terjadi, kerusakan yang ditimbulkannya akan besar. Demikian pula kekejian yang didzahirkan akan menyebabkan kerusakan kesuburan.

Kebengkokan Fitrah

Kebengkokan seorang perempuan tidak selalu menunjukkan buruknya akhlak. Dalam beberapa kasus, kebengkokan seorang isteri lebih merupakan cermin kebengkokan umat mereka daripada kebengkokan diri mereka sendiri. Kebengkokan itu menjadi amanat yang harus diperbaiki pasangan tersebut dari umat mereka. Sangat banyak faktor dapat mempengaruhi kebengkokan perempuan. Ada faktor-faktor luar yang dapat mempengaruhi bentuk kebengkokan seorang perempuan, hingga ada suatu pengaruh paksa tanpa dapat dihindari. Syaitan akan menghantam setiap pihak yang menikah untuk mencari jalan Allah, dan kadang Allah mengijinkan suatu peristiwa terjadi untuk menjadi pengajaran bagi umat manusia.

Termasuk dalam hal yang dijinkan ini adalah peristiwa kebengkokan paksa yang dapat terjadi pada seorang perempuan. Hal itu tidak serta merta membuat perempuan itu menjadi buruk. Di antara perempuan yang paling tinggi kedudukannya, terdapat perempuan yang akhlaknya bengkok. Ada isteri seseorang yang paling bengkok tetapi ia merupakan perempuan yang kedudukannya paling tinggi di antara perempuan jamannya, karena urusan yang dibawanya menjadi inti agama dan musuh besar syaitan, yaitu bila mereka mengikuti petunjuk Allah tidak mengikuti langkah syaitan. Bila mereka mengikuti syaitan, bengkoknya seorang istri tidak menjadi penanda tingginya kedudukannya.

Bengkoknya akhlak perempuan merupakan fitrah, tetapi kebengkokan itu tidak boleh dibangga-banggakan. Sebaik-baik bengkoknya perempuan adalah mengikuti shadr suaminya. Setiap perempuan hendaknya tidak berusaha mencari kelurusan dirinya langsung kepada Allah tanpa melihat media yang disediakan baginya berupa suaminya. Hal ini merupakan sifat turunan bahwa lurusnya akhlak setiap laki-laki adalah mengikuti akhlak Rasulullah SAW. Tidak mungkin bagi seorang laki-laki mencapai akhlak mulia terhadap Allah tanpa memahami urusan Rasulullah SAW dan/atau orang-orang yang mengikuti beliau SAW. Dalam hal ini setiap laki-laki bisa dikatakan lurus karena bisa langsung mengikuti kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, sedangkan pada perempuan selalu ada kebengkokan padanya. Bahkan seorang perempuan seringkali harus membina diri berdasar suami yang bengkok atau kosong dari kebenaran. Hendaknya setiap mukminat bisa memperoleh kebengkokan yang terbaik yaitu mengikuti shadr suaminya. Seandainya bersuami fir’au, seorang isteri hendaknya bisa membina diri layaknya Asiyah binti Muzahim r.a.

Setiap perempuan hendaknya tidak membengkok-bengkokkan diri atau mencari kelurusan lebih dari dada suaminya. Akhlak diri seorang perempuan harus dibentuk secara fitrah sesuai dengan suaminya. Semua pemahaman suaminya hendaknya dapat dipahami isteri berdasarkan tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, dan ia memberikan perimbangan dan perlindungan yang cukup bagi suaminya hingga tidak salah melangkah atau celaka, dan menjadikan suaminya sebagai tumpuan perhatiannya dalam mencari jalan kembali kepada Allah. Seorang isteri hendaknya mencukupkan diri pada memahami suaminya sesuai dengan kehendak Allah, tidak mengharapkan yang di luar itu. Sebaliknya, hendaknya ia tidak membengkokkan dirinya kurang dari yang dibutuhkan oleh suaminya. Bila seorang perempuan mencari pemahaman dengan berdasar laki-laki lain yang dipandang lebih lurus, ia tidak akan menemukan fitrah dirinya. Mengikuti suami berdasarkan kitabullah dan sunnah rasulullah SAW itu adalah kebengkokan yang merupakan fitrah diri perempuan.

Kecukupan seorang perempuan dalam membentuk fitrah diri sesuai dengan dada suaminya akan menentukan besarnya pemakmuran yang bisa diberikan kepada semesta mereka. Bila perempuan terlalu bengkok, ia akan menjadi sempit bagi suaminya. Hal ini dapat mengganggu dinamika interaksi antara suami dan isteri. Kadangkala sepasang suami isteri harus ridla untuk mengarungi rumah tangga yang tidak sesuai harapan, sedangkan keduanya telah menetapi fitrah masing-masing. Hal ini terkait dengan bentuk kebengkokan yang terjadi. Barangkali seorang suami hanya dapat memberikan rejeki yang sedikit kepada isterinya walaupun kemampuannya besar, sedangkan isteri tidak dapat memahami apa yang menjadi keinginan suaminya di jalan Allah, maka keduanya harus menjalani kehidupan yang tidak sesuai harapan masing-masing.

Hendaknya para perempuan tidak bermudah-mudah merendahkan perempuan yang bengkok di antara mereka, karena boleh jadi yang direndahkan termasuk perempuan yang paling tinggi di antara mereka. Demikian pula seorang suami hendaknya dapat bersabar berjalan beriring dengan isterinya yang paling bengkok selama isterinya menempati fitrahnya, tidak menuntut yang berlebih dari isterinya. Dalam kasus demikian, suami hendaknya memberikan kebaikan yang cukup kepada isterinya dan menjaga agar tidak menjadi lebih bengkok, dan dapat menerima keadaan yang diberikan dengan lapang hati.

Dalam kasus ta’addud, seorang laki-laki tidak boleh mensia-siakan isteri yang hidup bersamanya secara bengkok dan dalam kesempitan, serta hendaknya tidak memandang lebih kepada isteri yang memberikan kelapangan. Ia harus mengetahui bahwa sangat mungkin isterinya yang rela hidup dalam kesempitan itu adalah isteri yang kedudukannya paling tinggi. Demikian pula isteri yang lain tidak boleh menganggap diri lebih tinggi karena kelapangan suaminya bersama dirinya, karena boleh jadi kedudukan isteri yang rela hidup dalam kesempitan itu lebih tinggi kedudukannya daripada dirinya. Hal ini tidak berarti ia harus merasa rendah terhadap isteri yang lain, hanya saja ia tidak boleh merendahkan yang lain. Manakala ia bersama isteri yang tinggi urusannya, urusan dirinya sebenarnya juga tinggi. Barangkali suaminya melihat pula urusan keumatan yang tinggi melalui kebengkokan dirinya, tanpa ia mengetahuinya. Ia hendaknya merasa setara dan berusaha menemukan kesenangan bersama suaminya sama seperti isterinya yang lain, tetapi tidak boleh dengan merendahkan. Demikian pula seorang suami harus bersikap adil terhadap semua isterinya, tidak boleh bersikap memandang rendah salah satu atau beberapa isterinya.