Pencarian

Kamis, 24 Oktober 2019

Fungsi Sosial Pernikahan


Dalam perspektif Al-Qur'an, manusia adalah makhluk yang harus mengembangkan diri menjadi makhluk yang memberikan manfaat bagi lingkungannya. Manusia diibaratkan sebagai syajarah thayyibah (pohon yang baik) yang memberikan buahnya setiap saat dengan izin Tuhannya. Pohon thayyibah ini merupakan ibarat bagi manusia yang tumbuh sempurna memberikan manfaat kepada lingkungan. 

Untuk menumbuhkan pohon thayyibah, seorang laki-laki harus menikah agar menemukan ladang tempat bertumbuh. Seorang laki-laki muda yang belum tumbuh sebagai manusia sempurna adalah benih atau tunas pohon yang harus ditumbuhkan di ladang berupa wanita yang menjadi istrinya. Dengan pernikahan dirinya tumbuh bersama dengan istrinya agar menjadi pohon thayyibah. 

Pertumbuhan dan Penyatuan Jiwa dalam Pernikahan 


Pernikahan akan menyatukan apa yang terserak diantara pasangan. Ada sebuah penyatuan yang menyebabkan dua manusia terpisah yang menikah berubah menjadi satu entitas yang tumbuh dalam satu ikatan bersama. Seorang suami bersama istrinya adalah satu entitas baru, bukan sekadar seorang laki-laki ditambah perempuan, tapi ibarat sebidang ladang ditanami benih. Ikatan yang terwujud dalam pernikahan mencakup ikatan jasmaniah hingga ikatan jiwa, beserta seluruh entitas yang ada pada dirinya. Apa yang dilakukan pada level jasmani bisa berpengaruh hingga jiwa mereka. 

Dengan ikatan demikian maka penyatuan syahwat jasmani dihalalkan. Penyatuan jasmaniah dalam ikatan pernikahan merupakan bagian dari usaha penyatuan segala sesuatu yang terserak diantara suami dan istrinya. Tanpa pernikahan, penyatuan semacam itu tidak dihalalkan karena akan menjadikannya sebagai manusia keji, tetapi dengan pernikahan penyatuan itu menjadi salah satu sebab penyatuan yang terserak. Kemungkinan terjadinya penyatuan hati di antara pasangan suami istri melalui penyatuan jasmaniah sangat besar. 

وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِفُرُوجِهِمۡ حَٰفِظُونَ إِلَّا عَلَىٰٓ أَزۡوَٰجِهِمۡ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُمۡ فَإِنَّهُمۡ غَيۡرُ مَلُومِينَ فَمَنِ ٱبۡتَغَىٰ وَرَآءَ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡعَادُونَ وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِأَمَٰنَٰتِهِمۡ وَعَهۡدِهِمۡ رَٰعُونَ وَٱلَّذِينَ هُمۡ عَلَىٰ صَلَوَٰتِهِمۡ يُحَافِظُونَ 

QS Al-Mu'minūn :5 - dan orang-orang yang menjaga kemaluannya :6 - kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela :8 - Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya :9 - dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. 

Penyatuan jiwa merupakan salah satu aspek yang mendukung tumbuhnya jiwa seseorang menjadi sempurna, sebagai mukmin yang sebenarnya. Pernikahan merupakan pemeliharaan pohon thayyibah laki-laki di ladang wanita sebagai tempat tumbuhnya. Kesempurnaan jiwa itu akan memperkuat aspek penunjang lain sebagai al-mukmin, berupa fungsi pelaksanaan amanah, janji, kekhusyukan dalam shalat dan lain-lain. Ayat-ayat di atas menyebutkan aspek-aspek yang menunjang status Al-Mu'minūn. 

Perbaikan Sayyiah 


Setiap orang terlahir dengan kelebihan dan kekurangan tertentu, dengan sayyiah masing-masing. Kadangkala seseorang sangat kewalahan berjibaku dengan keburukan yang diketahui ada dalam dirinya. Perjuangannya melawan sayyiah acapkali terkalahkan. Perjuangan semacam itu akan lebih ringan bila dirinya menemukan pasangan yang tepat. Pasangannya menjadi penutup bagi keburukan dirinya. Perbaikan ini bisa terjadi bila seseorang menyadari sayyiah dirinya dan mengetahui kebaikan pasangannya bagi dirinya. Bila seseorang merasa dirinya telah baik, dirinya tak akan merasa perlu berbenah. Bila dirinya tidak melihat kebaikan pasangannya bagi dirinya, dirinya tidak merasa memerlukan sesuatu dari pasangannya. Demikian perbaikan sayyiah itu bisa terjadi. Dari sisi sebaliknya, pasangannya hendaknya juga mau untuk bergaul dan merawat kekurangannya. Itu merupakan bentuk penyatuan jiwa. 

Kadangkala apa yang terlihat sebagai sayyiah itu sebenarnya merupakan bekal pelaksanaan amanah Allah bagi dirinya. Pernikahan yang baik akan mengubah cara pandang terhadap apa yang dipandang sebagai sayyiah itu dari sudut yang tepat. Kedua pihak dalam pernikahan dapat bekerja sama mencari sudut pandang positif yang tepat terhadap sesuatu yang ada. Hal ini akan mendukung pengenalan jati diri mereka. 

Pada awalnya mungkin ada keterpaksaan dalam perbaikan sayyiah melalui pernikahan. Dengan penyatuan jiwa, perbaikan sayyiah itu akan berjalan lebih mudah, sehingga sayyiah itu terisi atau berganti atau berubah sebagai hasanah. Dalam hal ini penyatuan jasmaniah akan mempermudah dan memperkuat penyatuan jiwa. Tetapi apabila tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan secara jasmani, dua orang menikah yang saling mencintai pada dasarnya akan tetap melakukan penyatuan jiwa. Orang yang kuat indera penglihatan batinnya akan melihat dirinya bersatu dengan pasangan nikahnya. Bila seseorang yang saling mencintai tidak melihatnya, dirinya akan merasakan kesegaran batin bersama pasangan nikahnya. 

Sebaliknya penyatuan jiwa tidak terjadi bila keadaan pernikahan atau keadaan masing-masing pihak tidak baik, walaupun telah dilakukan penyatuan jasmaniah. Beberapa keadaan lain juga mungkin menghambat penyatuan jiwa. Kadangkala penyatuan jiwa melalui penyatuan jasmaniah hanya terjadi dalam intensitas kecil. Hal semacam ini akan menggangu pertumbuhan jiwa terutama yang tampak pada sisi dzahir. Perkembangan batin akan terganggu tetapi seseorang akan tetap bisa memperbaiki jiwanya untuk dekat kepada Allah melalui pernikahannya. 

Efek gangguan semacam ini bukan sekadar pasangan menanggung suatu masalah sebagaimana yang terlihat di luar, tapi masalahnya juga mencakup pertumbuhan jiwa yang kurang optimal, dimana jiwa tidak mendapatkan kekuatan pendukung yang baik. Penyatuan jiwa antara suami istri akan memunculkan bentuk-bentuk hawa nafsu yang berfungsi sosial. Kegagalan penyatuan akan memunculkan hawa nafsu yang kurang baik, sehingga fungsi sosial suami istri akan terhambat. Misalnya bila hawa nafsu yang terlahir antara suami istri adalah kemarahan, maka keduanya akan kerepotan dan kesulitan untuk mengendalikan hawa nafsu itu, sampai hawa nafsu itu dikenali fungsinya. 

Sebab-sebab kegagalan dapat bersumber dari salah satu pihak atau keduanya, atau bahkan dari faktor eksternal tanpa sebab yang jelas. Kegagalan pada suami akan menyebabkan kegagalan dalam pengenalan terhadap khazanah Allah, sedangkan kegagalan pada istri akan menyebabkan kegagalan dalam melahirkan khazanah Allah dalam wujud dzahirnya. Keduanya menyebabkan khazanah Allah tidak mewujud. 

Kurangnya penyatuan jiwa ditandai dengan munculnya rasa kehilangan. Pasangan suami istri itu akan merasa kehilangan sesuatu namun sulit mengetahui apa yang hilang dalam hubungan pernikahan mereka, terutama bila pasangan itu pernah merasakan penyatuan jiwa. Hal itu akan terasa hingga dalam hubungan jasmani pasangan suami istri. Ketika hubungan jasmani terasa hanya sebuah hubungan jasmani tanpa ada kesegaran hati dan kasih, hal itu boleh jadi menunjukkan kurangnya atau tidak ada penyatuan jiwa. Sekalipun bila kedua pihak suami istri itu selalu berhasil mencapai puncak-puncak dalam hubungan jasmani, akan terasa ada yang hilang bilamana penyatuan jiwa tidak terjadi. 

Hal ini kadang menimbulkan rasa frustasi. Sifat kasar dan keras cenderung mudah tumbuh pada pasangan demikian. Hal itu karena penyatuan jiwa adalah inti pernikahan dan merupakan prioritas penting daripada penyatuan jasmaniah. Pada dasarnya penyatuan jasmaniah saja merupakan jalan yang keji. Setiap pihak harus lebih berusaha untuk menyatukan jiwa mereka daripada menyalurkan libido. Penyatuan jasmaniah antara suami dan istri sama sekali berbeda dengan selain suami istri. Penyatuan jiwa hanya dapat terjadi pada penyatuan jasmaniah pasangan suami istri, tidak pada pasangan selain suami istri. Penyatuan jasmaniah di antara pasangan menikah sangat dianjurkan untuk menyatukan hal yang terserak. Hal ini akan mendukung pasangan itu untuk mencapai keadaan sebagai Al-Mu'minūn. 

Fungsi Sosial 


Kadangkala terjadi kegagalan sepihak dalam pernikahan. Misalnya pernikahan nabi Nuh dan nabi Luth. Kedua istri mereka gagal menjadi istri yang shalihah, sedangkan kedua suami berhasil menjadi nabi. Kedua istri itu tidak mengenal kebaikan suami mereka bagi diri masing-masing sehingga mereka berkhianat kepada suaminya. Dalam kasus demikian, kedua suami itu secara bathiniah benar-benar berhasil menjadi golongan Al-Mu'minūn, tetapi fungsi sosial mereka secara dzahir tidak bisa dikenali oleh umatnya sehingga umat mereka menjadi kafir. Bahkan dalam lingkup dzahir tanggung jawab rumah tangga, kedua nabi tersebut akan tampak gagal memberikan kekayaan kepada istrinya. Allah mencegah keduanya untuk memperoleh kekayaan bagi istri-istri mereka. 

Keduanya adalah contoh kasus kegagalan yang ekstrim. Banyak kasus kegagalan yang lebih samar daripada kasus nabi Luth dan Nuh as. 

ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلٗا لِّلَّذِينَ كَفَرُواْ ٱمۡرَأَتَ نُوحٖ وَٱمۡرَأَتَ لُوطٖۖ كَانَتَا تَحۡتَ عَبۡدَيۡنِ مِنۡ عِبَادِنَا صَٰلِحَيۡنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمۡ يُغۡنِيَا عَنۡهُمَا مِنَ ٱللَّهِ شَيۡ‍ٔٗا وَقِيلَ ٱدۡخُلَا ٱلنَّارَ مَعَ ٱلدَّٰخِلِينَ 

QS At-Taĥrīm :10 - Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka kedua suaminya itu tiada dapat memberikan manfaat kepada mereka sedikitpun dari Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): "Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)". 

Dalam kasus pengkhianatan terhadap suami yang shalih, tidak ada sedikitpun manfaat dari Allah yang bisa diberikan seorang suami kepada istrinya, padahal segala manfaat yang diberikan orang shalih adalah dari Allah. Harta ataupun nasehat dan pengajaran kebenaran dari suami tidak akan bisa diterima istrinya. Peran pihak ketiga yang adil akan sangat diperlukan untuk mengislahkan keduanya terlebih dahulu, agar jiwa keduanya kembali memulai bersatu. 

Keluarga, Tatanan Sosial dan Kekejian 


Syaitan memerintahkan manusia agar berbuat dengan berdasarkan keburukan (su') dan kekejian, dan agar manusia mengatakan tentang Allah tanpa disertai pengetahuan. Ketiga hal tersebut menjadi prinsip kerja syaitan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah, agar manusia menjadi orang-orang yang dimurkai Allah atau orang-orang yang tersesat. 

إِنَّمَا يَأۡمُرُكُم بِٱلسُّوٓءِ وَٱلۡفَحۡشَآءِ وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ 

QS Al-Baqarah:169 - Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat buruk dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. 

Kekejian dan keburukan adalah sebuah bentuk yang digunakan syaitan untuk menyesatkan manusia. Manusia dibuat berpikir bahwa kehidupan hanyalah berupa kehidupan badaniah tanpa ada bentuk-bentuk bathiniah, dan dibuat untuk memperturutkan keinginan badaniah sendiri baik berupa hawa nafsu ataupun syahwat, karena kehidupan hanyalah kehidupan bentuk jasmani. Cita-cita berupa pemenuhan dan memperturutkan kehidupan badaniah sambil menafikan kehidupan bathiniah akan menyeret manusia berbuat keji. Manusia akan saling berbuat jahat satu terhadap yang lain bila kehidupan hanya untuk memenuhi kehidupan badaniah saja, apalagi bila memperturutkan segenap keinginan badaniah. Setiap manusia harus berpikir lebih komprehensif agar tidak terjadi perbuatan keji di antara masyarakat. 

Zina sebagai Kekejian 


Ada banyak bentuk-bentuk kekejian. Salah satu bentuk kekejian itu adalah perzinahan. Perzinahan merupakan perbuatan yang merangkum kekejian dan keburukan sekaligus. 

وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةٗ وَسَآءَ سَبِيلٗا 

QS Al-'Isrā':32 - Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk 

Manusia diciptakan sebagai makhluk kompleks yang menyatukan banyak entitas dalam satu wujud. Jiwa manusia sebagai makhluk langit harus hidup bersama jasadnya, bersama-sama pula dengan seluruh hawa nafsu dan syahwat yang muncul secara temporer dari penyatuan kehidupan dua entitas itu. 

Syahwat merupakan wujud hasrat paling dasar pada tataran jasadiah yang diberi kehidupan. Di antara syahwat itu terdapat satu jenis syahwat berupa syahwat seksual. Perzinahan adalah bentuk memperturutkan syahwat seksual secara bebas. Hal itu merupakan jerat syaitan bagi manusia agar manusia terikat pada kekejian dan jalan yang buruk. Dengan perzinahan, manusia dibuat untuk menjadi makhluk yang hanya mempunyai kepedulian terhadap kebutuhan jasmani dan melupakan bentuk kehidupan bathiniah, yang pada akhirnya akan membuat manusia menjadi makhluk yang sesat atau dimurkai Allah. 

Semua bentuk perzinahan merupakan jerat syaitan. Hasrat seksual merupakan modal yang diberikan kepada jasmani yang diberi kehidupan sebagai kebutuhan dasar untuk hidup bersama orang lain dalam kedekatan dan cinta berdasarkan sebuah tatanan. Pemenuhan hasrat ragawi dalam wujud seksual hanya dihalalkan untuk membangun kasih sayang diantara suami dan istri, tidak untuk yang lainnya. Manusia diberi hasrat seksual adalah agar dijadikan sarana menyuburkan kasih sayang diantara suami dan istri. Bila seorang manusia memperturutkan syahwat seksual secara bebas, syaitan akan mengikat dirinya dalam sebuah kekejian sehingga orang itu menjadi bodoh tidak mengerti kehidupan secara komprehensif. 

Perzinahan adalah jalan yang buruk, yang akan menjadikan seseorang sebagai orang yang buruk. Interaksi jiwanya dengan aspek jasmani akan melahirkan hawa nafsu buruk yang akan semakin mengikat seseorang pada paradigma duniawi semata, dan semakin sulit menemukan paradigma utuh dan komprehensif untuk mengantarkan dirinya menjadi makhluk mulia. Pandangan hidupnya akan menjadi sempit karena dibatasi oleh hawa nafsu yang tumbuh akibat perzinahan. 

Memperturutkan pemenuhan syahwat secara bebas adalah alat syaitan, agar seseorang melepaskan diri dari tujuan mulia dalam hasrat seksual. Manusia tidak diperbolehkan bahkan hanya untuk sekadar mendekati perzinahan. Semakin permisif seseorang terhadap perzinahan, semakin bodoh dirinya dalam mencari kebenaran dalam perspektif komprehensif. 

Boleh jadi perzinahan membuat dua orang saling mencintai, akan tetapi cinta yang tumbuh bukan sebuah cinta yang baik. Cinta di antara mereka merupakan cinta destruktif bagi masyarakat luas, dan juga bagi mereka sendiri. Satu pihak akan mencintai lainnya secara egois posesif berlebihan, dan kadangkala saling demikian mencintai. Apapun bentuk cinta yang tumbuh di antara mereka, ada sisi negatif dalam cinta itu, baik bagi diri mereka ataupun bagi masyarakat. Apabila dibiarkan, egoisme dalam cinta mereka akan membuat masyarakat terbelah menjadi banyak komunitas kecil yang saling merugikan satu terhadap lainnya. 

Setiap manusia harus mengendalikan hasrat seksual yang dimiliki. Hal itu akan menjadikan dirinya sebagai makhluk yang mampu untuk berpikir benar dan komprehensif, bukan makhluk bodoh yang memandang dirinya sebagai hewan yang hanya memiliki kehidupan badaniah saja. Berpikir benar dan komprehensif akan menuntun manusia untuk mencapai agama. 

وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِفُرُوجِهِمۡ حَٰفِظُونَ إِلَّا عَلَىٰٓ أَزۡوَٰجِهِمۡ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُمۡ فَإِنَّهُمۡ غَيۡرُ مَلُومِينَ 

QS Al-Ma`ārij :29-30 - Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya,- kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam tiada tercela. 

Penyaluran hasrat seksual dengan cara benar bukanlah berfungsi semata hanya untuk mengendalikan gejolak alamiah dengan benar. Ayat tersebut berbicara tentang salah satu ciri seseorang yang telah menegakkan shalat. Menjaga hasrat seksual dan menyalurkan dengan cara yang benar akan mengantarkan seseorang untuk menjadi penegak shalat. 

Metode penyaluran hasrat seksual yang benar dapat dilakukan pada dua cara sebagaimana disebutkan ayat di atas, yaitu menggauli budak yang dimiliki dan menggauli istri yang dinikahi. Budak adalah orang yang dimiliki oleh seseorang, tidak memiliki kebebasan pribadi. Budak melakukan perbuatan hanya untuk tuannya, dan kehidupannya dijamin oleh tuannya. Seorang wanita yang hidup sebagai budak diperbolehkan untuk digauli oleh tuannya saja yang menjamin hidupnya, untuk menyalurkan hasrat seksual tuannya. Barangkali zaman sekarang sudah tidak ada lagi manusia yang berstatus budak. 

Seorang istri adalah belahan jiwa seorang laki-laki. Hal ini berbeda dengan budak. Ada sebuah kesempurnaan terkait jati diri seorang manusia yang terdapat pada istrinya. Pergaulan seorang laki-laki terhadap istrinya merupakan pergaulan keseluruhan entitas diri, dari jiwa hingga jasadiah, termasuk segenap syahwat dan hawa nafsu. Seorang wanita disebut sebagai istri bila telah melakukan pernikahan dengan seorang laki-laki. Pernikahan adalah akad penerimaan kebersamaan dalam cinta, dimana terdapat sebuah penerimaan jiwa dan raga dalam pernikahan. Tanpa sebuah pernikahan, pergaulan laki-laki dan perempuan akan terbatas pada jasadiah hingga hawa nafsu. 

Penyaluran hasrat seksual dalam pernikahan bukanlah semata pelampiasan hasrat jasadiah tetapi merupakan suatu bentuk pewujudan cinta, perhatian dan penerimaan masing-masing pihak terhadap pasangannya, yang akan menjadi salah satu medium menumbuhkan cinta yang mendalam antara suami dan istri, dan itu menjadi bekal untuk berbuat shalih terhadap lingkungan sosial, dan menjadi modal untuk mengenal Ar-rahman Ar-rahiim. 

Terkait dengan shalat, shalat merupakan bentuk munajat seorang hamba kepada Allah. Dengan pengetahuan yang bertambah terhadap rahmaniah Allah, maka kualitas munajat seseorang akan meningkat. Hal ini dapat diperoleh dari pergaulan dengan istri yang akan menambah pengetahuan tentang rahmaniah Allah. Keihsanan dalam shalat seseorang akan meningkat seiring dengan pengenalan terhadap Allah, sehingga dirinya bisa seolah melihat-Nya ketika sedang shalat. Dengan keihsanan, maka shalat seseorang menjadi tegak. 

Hubungan yang Baik 


Seorang istri berbeda derajatnya dengan seorang budak, walaupun memiliki kesamaan yaitu penyaluran hasrat seksual diperbolehkan pada keduanya. Seorang laki-laki tidak semata-mata melepaskan hasrat seksual terhadap istrinya. Keinginan awal seorang suami terhadap istri, dan sebaliknya, adalah kasih sayang, bukan semata pelepasan hasrat. Hal itu tersirat dalam akad pernikahan. Walaupun demikian kadangkala atau seringkali seorang suami memerlukan istrinya sebagai sarana melepaskan hasrat itu secara darurat. 

Hal ini harus dipahami oleh pasangan yang menikah. Setiap pasangan sebisa mungkin melakukan hubungan mereka sebagai suami istri yang saling menyayangi, bukan sebagai tuan dan budak. Seorang suami akan merasa bahagia bila istri melayani sebagai belahan jiwa, memberikan jiwa dan raganya untuk bersatu. Suami akan merasa senang bila istrinya berkeinginan kepadanya. Begitu pula seorang istri semestinya bergembira bila suaminya berkeinginan terhadap dirinya. Hal itu akan menyatukan apa yang terserak di antara keduanya, dan menjauhkan warna hubungan mereka sebagai tuan dan budak, sebagai penyaluran hasrat jasadiah saja. Setiap pihak sebisa mungkin menghindari hubungan sebagai tuan dan budak karena hal itu memiliki efek yang rendah derajatnya. 

Namun demikian kadangkala warna hubungan dalam keterpaksaan harus dilakukan. Itu diperbolehkan sebagaimana hubungan dengan budak pun dihalalkan. Seorang istri harus melayani suami bila suaminya berkeinginan melepaskan hasrat, tanpa perlu merasa telah dilecehkan oleh suaminya. Suaminya telah mengakadkan kasih sayang dalam bentuk pernikahan mereka, bukan berkeinginan menjadikan istrinya budak yang harus melayani. Bilamana ada hal darurat, maka melepaskan itu melalui istrinya adalah jalan yang harus ditempuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar