Pencarian

Rabu, 21 Juli 2021

Alquran dan Perjalanan Manusia

Rasulullah SAW dan orang-orang yang bersama beliau dalam al-jama’ah mengajak umat manusia kembali kepada Allah. Perjalanan itu tidak akan dapat ditempuh kecuali melalui jalan mengubah keadaan dirinya menjadi makhluk dengan akhlak mulia. Untuk mengubah akhlak seseorang menjadi mulia, Allah menurunkan kalimat-kalimat-Nya yang tinggi hingga terwujud firman dalam bentuk kebumian yang dapat dipahami manusia. Bentuk firman Allah yang dapat digunakan oleh setiap manusia adalah kitab Alquran.

Alquran itu adalah firman Allah yang diturunkan dari tangan Allah hingga ke alam bumi. Alquran mengajarkan kepada manusia kebenaran, yaitu kebenaran dalam definisi shidqan yang berfungsi terutama sebagai media transformasi jiwa manusia menuju akhlak mulia. Dengan memahami kehendak Allah yang Dia firmankan dalam Alquran, maka akhlak seseorang akan berubah menjadi semakin mulia. Tanpa berusaha memahami shidqan melalui alquran, keadaan akhlak seorang manusia akan mengambang. Kadang seseorang menjadi buruk akhlaknya. Kadang seseorang tampak mulia, akan tetapi mudah terjatuh kembali dalam keadaan yang buruk. Kadang seseorang tampak mulia, tetapi syaitan memperoleh celah menyesatkannya. Banyak hal yang membuat manusia membangun akhlak yang tidak kokoh. Sangat penting bagi setiap orang untuk berpegang teguh dengan Alquran dan sunnah rasulullah SAW, karena kedua hal itulah yang menjadi jaminan keselamatan perjalanannya kembali kepada Allah.

﴾۵۱۱﴿وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا لَّا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kebenaran (shidqan) dan keadilan. Tidak ada yang mengubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS Al-An’aam : 115)

Selain sebagai media transformasi diri menuju akhlak mulia, Alquran juga berfungsi memberikan arah agar seseorang dapat bertindak Adil. Alquran itu adalah keadilan dari sisi Allah yang diturunkan melalui orang-orang yang memahami kalimat-kalimat-Nya. Bila seseorang mengenal kehendak Allah melalui Alquran yang dibacanya, ia akan mengetahui keadilan yang harus dilaksanakannya.

Semakin banyak shidqan yang dipahami seseorang, akan semakin mulia akhlaknya, hingga seseorang dapat mencapai kedudukan sebagai shiddiqin. Memahami kebenaran dalam definisi shidqan akan mengantarkan seseorang untuk menuju akhlak mulia, yaitu akhlak mulia yang menjadikan seseorang dapat melakukan amal-amal sesuai dengan kehendak Allah, bukan hanya amal yang terlihat baik tanpa mengetahui hubungannya dengan kehendak Allah. Tidak ada shidqan yang mengantarkan seseorang menjadi buruk akhlaknya hingga perbuatannya melenceng dari kehendak Allah. Bila seseorang menjadi buruk akhlaknya karena suatu ilmu yang dipegangnya, maka ilmu itu bukanlah kebenaran dalam kategori shidqan.

Memahami shidqan hanya dapat dilakukan dengan melalui ketakwaan. Keshiddiqan hanya diperoleh bila seseorang memperoleh pengajaran dari Allah karena ketakwaannya. Kadangkala seseorang mendengar suatu shidqan dari orang lain. Bila ia bertakwa, ia akan memahami bahwa itu adalah kebenaran dari Allah, maka akhlaknya berubah karena kebenaran itu. Bila ia tidak bertakwa, apa yang didengarnya hanya akan berlalu tanpa kesan dalam hatinya. Seseorang hanya akan memperoleh shidqan berdasarkan keadaan hatinya. Syaitan seringkali menghembuskan rasa waswas ke dalam hati manusia yang lemah terhadap kebenaran yang diperolehnya, sehingga kebenaran itu kembali lenyap dari hatinya.

Tanpa ketakwaan, ilmu-ilmu yang diperoleh seseorang belum bersifat sebagai shidqan yang akan mendukung seseorang untuk mencapai akhlak shiddiqin. Kebanyakan ilmu akan bermanfaat bagi orang yang memperolehnya, akan tetapi tidak jarang ilmu itu justru menjadikan seseorang sebagai orang yang kufur, terutama ilmu yang diperoleh tanpa disertai ketakwaan

Tidak ada makhluk yang dapat mengubah kalimat-kalimat dalam Alquran. Para malaikat yang mulia mengerti bahwa mereka tidak akan memperoleh apapun bila mengubah Alquran, kecuali kecelakaan. Dan sebenarnya mereka tidak mempunyai keinginan dan tidak pula mempunyai kemampuan sedikitpun mengubahnya, justru berkeinginan untuk mengetahui isi dari Alquran sebagaimana kehendak Allah. Para syaitan tidak mampu memahami dengan baik apa yang tercantum dalam alquran dan tidak akan mampu mengubahnya sedikitpun walaupun mereka menginginkannya. Manusia seringkali keliru dalam memahami Alquran, kadangkala melenceng menginginkan redaksi Alquran diubah sesuai dengan hawa nafsu mereka, tetapi Alquran tidak akan berubah karena banyaknya manusia yang keliru atau melenceng.

Kalimat dalam Alquran merupakan firman Allah yang abadi tidak akan ada perubahan, menuntun manusia kepada kebenaran dan keadilan. Kehidupan seseorang yang abadi harus dibentuk sesuai dengan Alquran dengan cara membentuk kerangka kebenaran dalam diri manusia berdasarkan Alquran. Di dunia, orang-orang yang mengikuti kebenaran dan keadilan Alquran masih bercampur dengan orang-orang yang menyelisihi firman Allah. Kelak setelah hari penghisaban, orang-orang akan dipisahkan berdasarkan ketaatan mereka terhadap Alquran. Orang-orang yang mentaati, memahami dan mengamalkan Alquran akan dikumpulkan bersama orang-orang yang sejenisnya. Melalui mereka terwujud kebenaran dan keadilan di alam mereka, yaitu surga. Demikian pula orang-orang yang mendustakan akan dikumpulkan bersama orang-orang yang sejenis.

Pada hari kiamat, Rasulullah SAW dibangkitkan di Maqaman Mahmuda dengan berpakaian. Sebagian besar manusia yang lain akan dibangkitkan di bumi yang datar tanpa penanda apapun dalam keadaan telanjang. Sebagian akan segera tersadar untuk segera melangkah mengikuti Rasulullah SAW bilamana terbentuk kerangka kebenaran dalam dirinya berdasarkan Alquran. Sebagian berjalan dengan secepat kilat mengikuti beliau, dan sebagian berjalan perlahan. Sebagian orang tidak mengetahui harus melakukan apa, dan kemudian mereka bertindak melampiaskan dendam-dendam mereka kepada orang-orang lain berlama-lama, dan sebaliknya mereka pun menjadi pelampiasan dendam-dendam orang lain. Lima puluh ribu tahun kehidupan di alam mahsyar tidak membuat mereka melangkah sedikitpun untuk mendekat kembali kepada Allah, hingga sebuah teriakan menyeru mereka berkumpul ke hadirat Allah untuk penghisaban.

Perbantahan Di Sisi Allah

Di antara manusia, ada orang-orang yang dapat hadir bersama rasulullah SAW di sisi Allah sebelum dilakukan seruan untuk penghisaban. Mereka dapat hadir di hadapan Allah sebelum mencapai 50 ribu tahun setelah kiamat dimulai, yang ditandai kebangkitan mereka dari bumi. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai arah tujuan yang benar dalam kehidupannya di bumi. Tetapi di antara mereka terjadi perbantahan-perbantahan tentang kebenaran di sisi Allah. Mereka adalah orang-orang yang mengikuti kebenaran tetapi tidak tuntas dalam membangun kerangka kebenaran dalam kehidupan mereka.

Sebagian di antara mereka berbantah hingga membuat-buat kedustaan atas Allah dan mendustakan kebenaran-kebenaran dari Alquran yang disampaikan kepada mereka. Hal itu terjadi karena dalam kehidupannya mereka tidak mengindahkan kebenaran dan sering mengikuti hawa nafsu mereka, sedemikian hingga mereka mendustakan kebenaran Alquran ketika kebenaran dibacakan kepada mereka. Sekalipun mereka mengikuti suatu konsep kebenaran, mereka diancam dengan tempat tinggal di jahannam sebagaimana orang-orang kafir tinggal di sana. Allah mempertanyakan keadaan mereka dengan perkataan : Bukankah di neraka Jahannam merupakan tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir? Hendaknya umat rasulullah SAW memperhatikan hal demikian.

﴾۲۳﴿ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن كَذَبَ عَلَى اللَّهِ وَكَذَّبَ بِالصِّدْقِ إِذْ جَاءَهُ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِّلْكَافِرِينَ
Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? Bukankah di neraka Jahannam merupakan tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir? (QS Az-Zumar : 32)

Kehadiran di sisi Allah merupakan hal yang besar bagi setiap makhluk, baik kehadiran yang terjadi ketika hidup di alam dunia ini ataupun kehadiran yang terjadi kelak pada hari kiamat. Akan tetapi kadang-kadang makhluk tidak menganggap besar kehadiran mereka di sisi Allah. Penghargaan seseorang terhadap nilai kehadiran di sisi Allah dapat dilihat dari bobot shidqan yang mereka bawa ketika menghadap Allah. Mungkin seseorang diperkenankan hadir ke hadapan Allah tanpa memiliki bobot shidqan yang mencukupi. Mereka adalah orang yang tidak memberikan penghargaan yang memadai terhadap nilai kehadiran mereka di hadirat Allah. Kehadiran seseorang di hadapan Allah harus disertai dengan shidqan dalam dirinya, dan dengan shidqan itu ia melihat dan mengenali kebenaran-kebenaran yang melimpah di sisi Allah.

﴾۳۳﴿وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُولٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkan dengannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa (QS Az-Zumar : 33)

Untuk memperoleh shidqan, seseorang di dunia harus mempelajari Alquran dengan ketakwaan. Tanpa ketakwaan, seseorang tidak akan dapat melangkah dengan baik dalam memahami Alquran, atau justru melenceng jauh dari kebenaran. Hanya dengan ketakwaan shidqan dapat diperoleh seseorang. Dengan memperoleh shidqan, seseorang dapat mengenali dan membenarkan kebenaran-kebenaran yang berasal dari sisi Allah. Kelak ketika dikumpulkan di sisi Allah pada hari kiamat, mereka akan mengenali kebenaran-kebenaran yang ada di hadapan Allah. Tanpa shidqan, seseorang tidak dapat mengenali kebenaran yang datang dari sisi Allah. Demikian pula kelak mereka akan berbantah-bantahan tentang kebenaran ketika di hadapan Allah.

Dalam kehidupan di dunia, kadangkala seseorang tidak mengenali sama sekali shidqan yang disampaikan seseorang kepada dirinya. Mereka itulah orang yang kafir yang akalnya tertutup dari kebenaran. Kadangkala seseorang mengenali suatu shidqan yang sampai kepada dirinya, tetapi kemudian syaitan menghembuskan waswas sehingga shidqan itu tidak mempunyai bekas dalam hatinya. Syaitan kadang meniup-niup hawa nafsu seseorang hingga terjebak mendustakan shidqan dari Alquran yang dibacakan kepada mereka. Di antara yang demikian, ada orang yang mendustakan shidqan ketika dibacakan kepada mereka walaupun mereka berusaha mengikuti kebenaran. Mereka itulah yang diancam dengan pertanyaan : Bukankah di neraka Jahannam merupakan tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir?. Mereka akan terbingungkan dan menyesali diri mereka karena pertanyaan Allah tersebut, bahwa mereka mengenali jahannam sebagai tempat tinggal orang-orang kafir, tetapi mereka terseret atau hampir-hampir terseret dalam sikap-sikap orang kafir. Mereka lemah dalam mengikuti petunjuk Alquran sebagai shidqan yang akan mentransformasi akhlak mereka.

Sangat penting bagi setiap orang untuk berpegang teguh dengan Alquran dan sunnah rasulullah SAW. Setiap orang harus berusaha membangun pemahaman kebenaran berdasarkan Alquran dengan mengikuti Rasulullah SAW, dan dengan pemahaman itu seseorang harus dapat mengenali kebenaran-kebenaran yang sampai kepadanya. Tanpa membangun sebuah pemahaman terhadap suatu kebenaran berdasarkan Alquran, seseorang tidak akan dapat memberikan kesaksian benar atau salahnya suatu masalah. Di hadirat Allah kelak, seseorang hanya akan dapat mengenali kebenaran di sisi Allah dengan kerangka kebenaran yang dibangun dalam dirinya. Ketika seseorang tidak mengenali kebenaran dari sisi Allah, orang itu akan disingkirkan menjauh dari Allah, sejauh keasingannya dan pendustaannya terhadap kebenaran itu. Sebagian akan tersingkir hingga masuk ke neraka.

Iblis adalah penghulu penghuni neraka. Tetapi dahulu, Iblis tampak bagai penghulu surga. Banyak kebenaran yang dikenali Iblis ketika hidup di alam yang tinggi, akan tetapi ada kesalahan pemahaman terhadap kebenaran yang harus diperbaiki Iblis. Ketika Adam diciptakan, Iblis memperoleh media memperbaiki kesalahan pemahamannya itu, tetapi Iblis tidak mau memperbaiki kesalahannya. Kebenaran yang diperkenalkan Allah dalam penciptaan Adam tidak dikenali oleh Iblis, kemudian terungkaplah pendustaan Iblis terhadap kebenaran, serta kesombongan dan kekafirannya.

Dengan hal itu, Iblis terusir dari surga. Keterusiran Iblis menyeret hampir sepertiga makhluk langit yang dikenali Iblis. Sebagian dari makhluk yang mengikuti Iblis kemudian belajar kebenaran dari manusia dan berusaha kembali lagi kepada Allah, dan sebagian lainnya tetap mempertahankan pemahamannya tentang kebenaran versi mereka sebagaimana Iblis. Dengan pemahaman itu, mereka berusaha menyeret manusia mengikuti langkah-langkah mereka, termasuk menyeret orang-orang yang berusaha mengikuti kebenaran. Bila seseorang tidak berusaha membangun pemahaman terhadap kebenaran berdasarkan Alquran, Iblis akan lebih mudah mengkait mereka menuju neraka. Tidak hanya demikian, orang yang belajar Alquran pun akan disesatkan bila tidak berdasarkan keikhlasan dan ketakwaan. Harus diperhatikan bahwa Iblis semakin menyukai untuk menggelincirkan orang yang lebih berilmu karena akan menyeret lebih banyak manusia bersama mereka.

Kamis, 15 Juli 2021

Menuju Ulul Albab

Rasulullah SAW dan orang-orang yang bersama beliau dalam al-jamaah senantiasa menyeru umatnya untuk kembali kepada Allah. Dalam perjalanan kembali kepada Allah, setiap mukmin akan menemukan keadaan dimana Allah SWT memberikan kabar gembira kepada dirinya. Di antara kabar gembira itu adalah kabar tentang kedudukan dirinya dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Itu akan dilimpahkan bagi orang-orang yang termasuk dalam golongan Ulul Albab yang dikehendaki Allah.

Menghindari Thaghut

Berita gembira itu adalah hadiah bagi seseorang yang telah menempuh perjalanan kembali kepada Allah dengan membersihkan kesalahan dalam mengenali tujuan kehidupannya, yaitu Allah. Harus disadari bahwa syaitan sangat menginginkan untuk menghalangi setiap manusia untuk mengenal Allah. Mereka membuat perkataan-perkataan tentang Allah agar manusia mengikuti perkataan-perkataan itu tanpa memiliki pengetahuan. Dengan konsep dan perkataan mereka tentang Allah, mereka menghalangi manusia untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang Allah, dan seringkali manusia tidak mengetahui kesalahan yang terjadi atas pengetahuan mereka tentang Allah.

﴾۷۱﴿ وَالَّذِينَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوتَ أَن يَعْبُدُوهَا وَأَنَابُوا إِلَى اللَّهِ لَهُمُ الْبُشْرَىٰ فَبَشِّرْ عِبَادِ
Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (agar) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; maka sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku (QS Az-Zumar : 17)

Agar seorang muslim dapat memperoleh berita gembira tentang diri mereka dari Allah, hal pertama yang harus dilakukan adalah dirinya harus berusaha sungguh-sungguh menghindari thaghut yang dibangun syaitan untuk menjerat. Tanpa berusaha menghindari thaghut, ia tidak akan menemukan berita gembira dari Allah. Menghindari thaghut merupakan pondasi kecintaan seseorang kepada Allah, bahwa Allah menguji kekokohan pondasi cinta seorang hamba kepada Allah melalui upaya syaitan berupa thaghut. Orang yang menghindari thaghut adalah orang yang akan mempunyai kecintaan yang kokoh kepada Allah, sebagaimana Ibrahim kecil menghindari penyembahan secara keliru kepada tuhannya.

Perkataan syaitan bagi manusia tentang Allah adalah suatu thaghut yang akan menghalangi dan menyesatkan manusia. Mereka membuat perkataan-perkataan itu dengan dasar ajaran-ajaran yang diturunkan Allah, tetapi disusun sedemikian agar manusia tidak dapat memperoleh pengetahuan tentang Allah. Dalam sejarahnya, mereka dapat membuat thaghut sedemikian hingga mengubah apa yang diturunkan Allah bagi manusia. Tentang nabi Isa a.s misalnya, beliau bisa dijadikan syaitan sebagai suatu thaghut bagi mayoritas umat pengikut beliau a.s dengan diberikan dasar suatu kitab suci yang terkodifikasi bagi umatnya.

Dalam islam, thaghut tidak dapat dibuat syaitan dengan sedemikian bebas. Akan tetapi tidak berarti syaitan tidak bisa membuat thaghut di antara umat islam. Alquran sangat banyak memberikan peringatan tentang thaghut atau tentang syaitan yang menyuruh manusia mengatakan tentang Allah tanpa pengetahuan. Hal itu menunjukkan adanya upaya syaitan untuk membuat perkataan-perkataan tentang Allah agar manusia mengatakan tentang Allah tanpa pengetahuan. Hal yang harus digarisbawahi, ini tidak selalu berarti syaitan membuat perkataan yang salah tentang Allah, tetapi mereka hanya membuat manusia mengikuti perkataan tentang Allah tanpa mencari makna dan pengetahuan tentang hal itu.

Ada kaum yang menghamba kepada syaitan menyebarkan perkataan-perkataan itu di antara muslimin, yang berciri memecah belah agama menjadi beberapa golongan dan setiap golongan berbangga dengan apa yang ada pada mereka. Mereka adalah orang musyrik yang menyebarkan perkataan syaitan tentang Allah di antara umat islam. Selain itu, syaitan pun selalu berusaha menyelipkan perkataan mereka itu melalui hembusan ke dalam hati di antara orang-orang yang tidak bertakwa ketika mengatakan sesuatu tentang Allah.

Kembali Kepada Allah

Selain menghindarkan diri dari thaghut, seorang hamba harus mendekat kembali kepada Allah agar Allah memberikan berita gembira kepada dirinya. Mendekat kembali kepada Allah adalah langkah mengikuti para uswatun hasanah kembali kepada Allah sebagaimana nabi Muhammad SAW dan nabi Ibrahim a.s. Dalam millah Ibrahim a.s, beliau diperintahkan untuk mencari tanah suci, kemudian membangun baitullah di tanah suci bersama keluarga beliau. Sedangkan rasulullah SAW memberikan contoh Isra’ dan Mi’raj sebagai langkah kembali kepada Allah.

Langkah-langkah demikianlah yang harus diikuti oleh setiap manusia tanpa terkecuali sebagai sunnah dan millah. Berhijrah ke tanah suci merupakan pencarian jati diri seseorang hingga seseorang mengenal untuk apa dirinya diciptakan Allah. Dalam tataran praktis, seseorang yang tiba di “tanah suci”nya akan mengenal amal-amal yang ditetapkan bagi dirinya sebelum kelahirannya ke dunia. Itu adalah hijrah dalam tahapan pertama, sebagaimana Ibrahim a.s bersama keluarganya hijrah ke lembah Bakkah, atau seperti Musa a.s menghijrahkan bani Israel ke tanah yang dijanjikan. Tahap berikutnya setelah mengenal penciptaan diri, setiap orang harus membangun bait yang diijinkan untuk disebut dan ditinggikan asma-Nya di dalam bait itu. Bait itu secara konkrit terbentuk dalam wujud keluarga yang sakinah sebagai perpanjangan fungsi sosial dirinya dalam berkiprah bagi umat manusia. Dengan bait sakinah itu, seseorang dapat meninggikan asma Allah bagi umatnya.

Dengan menjalankan tugas dirinya dalam meninggikan asma Allah melalui baitnya, seseorang dapat berharap agar Allah memperjalankan dirinya isra’ dan mi’raj sebagaimana rasulullah SAW mi’raj. Tentu saja ada perbedaan dengan mi’raj rasulullah SAW. Seseorang hanya akan mi’raj hingga kedudukan yang disediakan bagi dirinya, tidak akan mampu melampaui sedikitpun, tidak akan mampu mencapai kedudukan rasulullah SAW ketika mi’raj. Bila seseorang mencapai keadaan demikian, ia telah ikut bersama memenuhi seruan rasulullah SAW kembali kepada Allah.

Memperkuat Akal

Perjalanan demikian tidak akan dapat ditempuh seseorang dengan raganya. Seseorang hanya dapat menempuh perjalanan demikian dengan melibatkan jiwa dan raganya. Akal raga dalam bentuk logika tidak akan mampu melampaui alam raga. Ada Akal dalam jiwa yang bisa memahami apa yang ada dibalik alam raga. Akal yang ada dalam jiwanya harus berkembang hingga sempurna untuk memahami cahaya Allah yang digelar di seluruh semesta.

Orang yang memperoleh berita gembira tentang dirinya adalah seseorang yang memiliki kualitas akal lubb, termasuk dalam kategori ulul albab. Hal itu dapat dicapai oleh seseorang yang berupaya kembali kepada Allah dengan akal terbuka. Seseorang yang menutup akalnya atau mempunyai fanatisme tidak akan dapat mencapai kualitas akal demikian.

﴾۸۱﴿الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولٰئِكَ هُمْ أُولُوا الْأَلْبَابِ
(18)yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.

Alquran mendetailkan sifat keterbukaan itu dalam ungkapan memperhatikan perkataan dan mengikuti yang terbaik di antara perkataan-perkataan. Secara tersirat, seorang muslim tidak boleh terjebak dalam kejumudan suatu pemikiran agar akalnya bisa berkembang mencapai kualitas lubb. Setiap muslim harus berusaha mendengarkan hal-hal terbaik dalam suatu perkataan dan mengikuti kebaikan yang ada dalam perkataan itu.

Kebaikan dan baiknya suatu perkataan adalah pemahaman-pemahaman yang mengantarkan seseorang untuk mengenal Allah dengan lebih baik. Akan tetapi mengenal Allah bukanlah bidang garapan logika yang dapat disusun dengan kata-kata, tetapi mengenal Allah adalah dengan mempunyai sifat yang sesuai dengan Allah. Allah yang Maha Rahman dan Maha Rahim itu hanya akan dapat dikenal oleh orang yang mempunyai sifat rahmaniah dan rahimiah. Orang-orang yang mencintai dan memiliki sifat-sifat tersebut adalah orang-orang yang mempunyai pengenalan kepada Allah, sedangkan orang membenci kedua sifat tersebut adalah orang-orang yang tidak akan mengenal Allah. Kebaikan suatu perkataan adalah kata-kata yang mengantarkan seseorang untuk memiliki sifat rahmaniyah dan rahimiyah karena kedua sifat itu adalah nama Allah yang paling utama. Demikian pula apa yang mengantarkan seseorang mempunyai sifat mulia dan akhlak mulia, itu adalah perkataan yang baik (ahsan).

Perkataan yang baik akan membangun pemahaman agama (tafaqquh fiddiin) dalam diri seseorang. Kerangka pemahaman agama hanya akan dapat di bangun bila seseorang bisa mendengarkan perkataan yang paling baik (ahsan) dan mempunyai keinginan mengikuti perkataan yang baik itu. Perdebatan bukanlah perkataan yang baik kecuali perdebatan itu dapat menunjukkan seseorang untuk memiliki sifat dan akhlak yang mulia. Tanpa hal itu, perdebatan merupakan perbuatan sia-sia. Perdebatan dengan mengadu dalil-dalil agama ataupun logika tidaklah akan menunjukkan seseorang pada suatu kebaikan.

Tafaqquh dalam agama akan menjadikan seseorang memiliki keemampuan mengerti kehendak Allah bagi dirinya dalam kehidupan di dunia. Ketika sebuah berita gembira dari Allah dikenalkan dalam hatinya, pikirannya tidak melambung jauh melampaui batas-batas yang ditentukan Allah dalam berita itu. Yang lebih penting, berita dari Allah itu harus benar-benar dipahami sesuai dengan kehendak-Nya, tidak melenceng karena hawa nafsu. Cirinya, ia mengetahui kedudukan dirinya dalam perjuangan rasulullah SAW. Hal ini hanya dapat dilakukan bila seseorang memiliki kerangka agama yang benar. Ia telah mengenali thaghut-thaghut yang mungkin menjebak dirinya, dan ia mengenal jalan kembali kepada Allah sebagaimana dicontohkan uswatun hasanah Rasulullah SAW dan nabi Ibrahim a.s serta keluarganya, kemudian ia membuka akalnya untuk mengikuti perkataan terbaik yang mengantarkannya mengenal Allah dengan cara yang benar.

Selasa, 13 Juli 2021

Azab dan Kembali Kepada Allah

Allah menyeru hamba-hamba-Nya untuk kembali kepada Allah dan berserah diri kepada-Nya sebelum datang azab bagi mereka dan mereka kemudian tidak lagi ditolong. Seruan ini ditujukan kepada hamba-hamba Allah yang melampaui batas. Sebagian dari hamba Allah melakukan hal-hal yang melampaui batas yang telah ditetapkan Allah bagi mereka, dan dengan hal itu maka mungkin Allah akan menimpakan azab bagi mereka semuanya. Dengan keadaan itu bisa jadi timbul rasa putus asa dalam diri mereka terhadap rahmat Allah karena segala sesuatu yang menimpa mereka. Hendaknya mereka menyadari bahwa Allah tidak menutup pintu maghfirah bagi seluruh dosa-dosa.

Hamba tersebut tidak boleh berhenti pada keadaan demikian. Ia diseru lebih lanjut untuk kembali kepada rabb mereka dan berserah diri kepada-Nya sebelum datang azab kepada mereka dan mereka tidak lagi ditolong. Perbuatan melampaui batas yang mereka lakukan pada dasarnya mendatangkan azab bagi mereka dan manusia umumnya. Allah akan memberikan ketetapan sesuai dengan keadaan mereka dalam memenuhi seruan-Nya, apakah adzab itu tidak didatangkan kepada mereka, atau adzab itu didatangkan menimpa mereka sedangkan mereka diselamatkan, atau adzab itu didatangkan dan mereka tidak diselamatkan. Maka hendaknya seorang hamba yang melampaui batas kembali kepada Allah dan berserah diri sebelum datang azab Allah dan mereka tidak ditolong.

﴾۴۵﴿وَأَنِيبُوا إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِن قَبْلِ أَن يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ
Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak ditolong (lagi). (QS Az-Zumar: 54)

Kembali kepada Allah dapat dilakukan dengan bersungguh-sungguh memahami seruan rasulullah SAW untuk kembali kepada Allah, tidak hanya memahami istilah 'kembali' dengan hawa nafsunya saja. Jaman modern ini, banyak orang menyeru untuk kembali kepada Allah tetapi sebenarnya seruan itu tidak menyentuh esensi makna 'kembali' sebagaimana yang diserukan rasulullah SAW. Sebagian tidak memahami seruan itu tetapi menjadikannya sebagai kata-kata hiasan yang mereka serukan, dan sebagian memahami seruan itu dan kembali kepada Allah, tetapi kemudian terlalaikan kembali dalam memahami sepenuhnya seruan rasulullah SAW. Sebagian memahami seruan itu tetapi terhalangi berbagai masalah yang menghadang. Setiap hamba harus berusaha mengerti kedudukannya dengan benar dalam upaya mereka kembali kepada Allah.

Berserah diri kepada Allah adalah melakukan segala sesuatu yang menjadi kehendak Allah atas diri-Nya. Hal ini tentu saja tidak mudah. Sebagian besar orang mengira melakukan kehendak Allah tetapi sebenarnya hanya mengikuti hawa nafsu mereka karena tidak memahami kehendak Allah. Sebagian disesatkan syaitan dengan perkataan-perkataan yang terdengar indah tetapi menyesatkan. Sebagian dapat meraba-raba kehendak Allah dengan benar setelah berusaha membangun jiwa mereka dengan kepingan-kepingan akhlak mulia, dan mereka berbuat dengan apa yang mereka rasakan. Sebagian mengikuti orang-orang yang benar dan dimudahkan untuk melakukan perbuatan berserah diri.

Berserah diri sepenuhnya adalah mengenali dan menemukan jihad rasulullah SAW untuk waktu dan jaman mereka. Seringkali hal itu harus dikenali seseorang melalui beberapa wasilah manusia yang lain. Para awliya di tanah jawa misalnya, datang berbondong ke nusantara untuk membantu mewujudkan nubuwah rasulullah SAW untuk membantu seseorang. Para khulafa ar-rasyidiin merupakan kelompok manusia yang memperoleh wasilah langsung rasulullah SAW dalam garis tertentu. Pada garis yang lain, Ibrahim a.s merupakan orang yang memperoleh wasilah rasulullah SAW secara langsung, bahkan sebagai uswatun hasanah sebagaimana rasulullah SAW sendiri. Banyak bentuk wasilah yang dapat menghubungkan seseorang kepada rasulullah SAW.

Setiap orang harus berusaha menemukan wasilah kepada rasulullah SAW. Kadang seseorang mengira bahwa dirinya berjuang untuk membantu rasulullah SAW, tetapi sebenarnya tidak mempunyai wasilah kepada beliau SAW. Bahkan kadangkala sebenarnya ia tidak mengenali perjuangan beliau SAW dengan benar. Kadangkala Allah berkenan menjelaskan baginya keadaannya, kadang dimengerti kadang tidak atau salah dimengerti. Kadang Allah membiarkan mereka tanpa petunjuk. Kitabullah dengan cara tertentu bisa menjadi parameter apakah seseorang mempunyai wasilah yang benar kepada rasulullah SAW. Wasilah yang benar kepada rasulullah SAW akan diketahui seseorang bersamaan dengan keterbukaan makna kitabullah bagi dirinya, sedangkan makna itu memperkenalkannya pada keagungan Sang Sumber Kebenaran.

Mengikuti Hal Terbaik (Ahsan)

Untuk berserah diri dengan benar, seseorang harus bisa memahami dan mengikuti hal terbaik (ahsan) yang diturunkan Allah kepada mereka. Yang dimaksud ahsan (hal terbaik) adalah sesuatu yang mengungkap pengetahuan tentang Allah. Seseorang mungkin dapat membaca ayat dalam kitabullah dengan landasan pemahaman tentang kehendak Allah, sedangkan orang lainnya mungkin hanya menebak makna ayat tersebut. Bila seseorang menemukan penjelasan terbaik tentang suatu ayat, hendaknya ia mengikuti penjelasan terbaik tersebut.

﴾۵۵﴿وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya (QS Az-Zumar : 55)

Sebaik-baik yang diturunkan Allah bagi manusia adalah Alquran. Akan tetapi mungkin tidak banyak orang yang dapat mengerti Alquran secara langsung, maka hendaknya ia mencari penjelasan-penjelasan terhadap ayat-ayatnya. Sebaik-baik yang diturunkan baginya dalam keadaan tersebut adalah penjelasan ayat Alquran yang dibaca sesuai dengan kehendak Allah. Pada puncaknya, bacaan seseorang terhadap suatu ayat merupakan ayat yang diturunkan Allah, bukan hasil upaya pembacaan manusia itu. Seseorang mungkin saja diijinkan Allah dapat membaca Alquran yang ada di tangan Allah sebagai realitas lain dari ayat yang tertulis dalam mushaf yang dibacanya. Sesedikitnya apa yang diijinkan Allah bisa dibaca seseorang dari sisi -Nya bernilai jauh lebih berharga dari banyaknya pengetahuan dari pengamatan-pengamatan dalam bentuk yang lain.

Tentu tidak akan ada perbedaan makna di antara ayat yang dibaca dari sisi Allah dengan ayat yang ada di tangan manusia, karena apa yang ditangan manusia pun sebenarnya adalah firman Allah juga. Apa yang sampai di tangan manusia berupa mushaf Alquran sebenarnya telah menceritakan keseluruhan ayat yang sama di sisi Allah yang diperuntukkan bagi seseorang. Hanya saja masing-masing manusia akan menemukan di sisi Allah penjelasan yang spesifik bagi dirinya. Kebanyakan manusia tidak dapat menyentuh makna Alquran, dan sebagian manusia dapat membaca sebagian-sebagian. Kadang pengetahuan dari sisi Allah tercampur dengan pengetahuan yang lain karena belum kuatnya akal seseorang. Hal itu tidak boleh diabaikan selama tidak ada khianat dalam hati orang tersebut. Bilamana ada bacaan yang mengungkap pengetahuan tentang Allah atau kehendak-Nya, maka itu hendaknya diikuti.

Tidak mengikuti hal terbaik (ahsan) akan mendatangkan suatu adzab bagi manusia. Ini adalah ketetapan Allah bagi hamba-hamba-Nya, bukan bagi orang-orang yang kafir. Azab yang diancamkan adalah azab bagi hamba-hamba Allah yang lalai. Urusan azab dalam perkara ini lebih menyangkut perkara akhirat yang akan mereka sesali dalam waktu yang sangat panjang, bukan azab yang dapat dilihat dalam bentuk luar jasadiah. Misalnya seorang hamba yang meninggal dalam wabah yang diturunkan Allah bagi dunia, mereka dapat tergolong dalam golongan orang yang syahid, atau ia termasuk dalam orang yang mendapat azab Allah berupa azab yang tiba-tiba  dihadapi seorang hamba yang mendustakan ayat Allah ketika menghadapi kematiannya.

Kadang seorang hamba terlena dalam waham yang menipu. Boleh jadi ia merasa aman dalam jaminan Allah di antara bencana yang terjadi di antara manusia, sedangkan ia masih mendustakan kebenaran yang dibacakan kepada mereka. Para hamba itu mungkin saja benar-benar tidak menyadari bahwa mereka masih mendustakan kebenaran yang dibacakan kepada mereka, dan mereka memperoleh azab secara mendadak ketika kematian mendatangi mereka.

Syaitan mempunyai teknik yang sangat lihai dalam mengelabuhi manusia dalam urusan demikian. Dahulu umat nabi Nuh dibinasakan dalam bencana banjir karena kufur kepada nabi Nuh. Pakaian nabi Nuh a.s di hadapan umat manusia dalam wujud isteri dibuat berkhianat sehingga umat nabi Nuh kufur. Bagi umat rasulullah SAW, teknik demikian akan kembali terjadi. Itu merupakan sumber fitnah yang paling dahsyat bagi umat manusia, termasuk bagi orang-orang beriman.

Para hamba Allah yang mendustakan kebenaran kelak akan menemukan fakta yang mengejutkan bagi mereka dalam kehidupan selanjutnya. Allah akan mengungkapkan pendustaan yang dahulu mereka lakukan terhadap ayat-ayat yang dibacakan kepada mereka, dan mereka dimasukkan dalam golongan orang kafir.

﴾۹۵﴿بَلَىٰ قَدْ جَاءَتْكَ آيَاتِي فَكَذَّبْتَ بِهَا وَاسْتَكْبَرْتَ وَكُنتَ مِنَ الْكَافِرِينَ
(Bukan demikian) sebenarnya telah datang keterangan-keterangan-Ku kepadamu lalu kamu mendustakannya dan kamu menyombongkan diri dan adalah kamu termasuk orang-orang yang kafir". (QS Az-Zumar : 59)

Agak sulit mengerti bagaimana seorang hamba dimasukkan dalam golongan kafir. Hal yang mendorong mereka memasuki golongan orang kafir adalah kesombongan yang ada dalam hati. Setiap orang harus berhati-hati dengan kesombongan, karena seringkali kesombongan itu tidak dapat dilihat pemiliknya. Iblis dahulu merupakan makhluk yang dekat dengan Allah, akan tetapi tidak dapat melihat adanya kesombongan dalam dirinya. Karena kesombongannya, iblis kemudian menjadi penghulu penghuni neraka. Orang-orang yang memiliki sifat iblis tersebut walaupun sebesar dzarrah, kelak ia akan mengikuti penghulunya memasuki neraka.

Kesombongan

Yang dimaksud sebagai kesombongan adalah penolakan terhadap kebenaran dan meremehkan orang lain. Kesombongan tidak dapat dilihat dari ukuran-ukuran material yang ditunjukkan oleh seseorang. Seorang yang terlihat gembel bisa menjadi makhluk yang sombong sebagaimana seorang yang terlihat megah dapat menjadi sombong. Seorang yang terlihat megah boleh jadi merupakan seorang yang tawadlu’ sebagaimana seorang yang berzuhud dalam urusan dunia.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ ». قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قَالَ « إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ» [أخرجه مسلم]
dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang masih memiliki kesombongan didalam hatinya walau seberat biji sawi”. Maka ada seorang sahabat yang bertanya pada beliau: ‘Sesungguhnya ada orang yang menyukai kalau pakaianya itu bagus dan sendalnya baru”. Maka Nabi menjawab: “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan. (yang dinamakan) sombong ialah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain“. [HR Muslim no: 91].

Sikap terhadap kebenaran adalah cermin yang baik untuk menunjukkan kesombongan yang mungkin ada dalam setiap diri. Iblis gagal dalam mensikapi sebuah kebenaran baru yang digelar di hadapannya. Setiap manusia dapat melihat kesombongan dalam dirinya melalui cermin sikap dirinya terhadap kebenaran. Bagi makhluk-makhluk yang halus dan tinggi, cermin itu akan diperlihatkan oleh kebenaran melalui makhluk yang terlihat rendah, sebagaimana para malaikat muqaraabun harus bercermin melalui manusia. Orang-orang yang akalnya lemah akan diuji sikapnya dalam perdebatan-perdebatan yang seringkali hanya memunculkan kebodohan mereka dan sering tidak membuat mereka mengerti kebenaran sedikitpun. Setiap orang mempunyai cermin bagi kesombongan dirinya berupa sikapnya terhadap kebenaran.

Setiap mukmin dituntut untuk dapat membenarkan setiap kebenaran yang dikirimkan Allah kepada meraka. Ini harus menjadi nafas kehidupan setiap mukmin. Seorang mukmin tidak boleh terjebak dalam kemegahan atau kesederhanaan bentuk-bentuk yang dihadirkan Allah manakala mengirimkan pesan kebenaran kepada mereka. Meremehkan seseorang yang menyampaikan kebenaran adalah kesombongan yang besar, hampir menyerupai iblis yang meremehkan Adam dahulu. Dalam praktiknya, setiap orang tidak diperbolehkan meremehkan manusia lainnya, walaupun manusia itu tidak menyampaikan kebenaran, karena itu termasuk dalam kesombongan.



Rabu, 07 Juli 2021

Fatwa Dalam Diri Wanita

Dalam sebuah tahapan kehidupan mukminin, akan ditemukan keadaan dimana seseorang akan merasa sangat membutuhkan dan kemudian mencari pengetahuan tentang para isteri mereka. Hal itu merupakan tahapan yang pasti akan terjadi bila seorang mukmin menempuh perjalanan dengan benar menuju Allah. Keadaan demikian akan terjadi manakala seorang mukmin merasakan kebutuhan untuk membentuk bait dalam upaya menegakkan ibadahnya kepada Allah dengan baik. Bila seseorang berhenti dalam perjalanan taubatnya, atau perjalanan taubatnya menuju arah yang salah, mungkin dirinya tidak menemukan fase tersebut. Ayat berikut bercerita tentang keadaan demikian.

﴾۷۲۱﴿وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَن تَنكِحُوهُنَّ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْوِلْدَانِ وَأَن تَقُومُوا لِلْيَتَامَىٰ بِالْقِسْطِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِهِ عَلِيمًا
Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu dalam diri mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin menikahi mereka dan tentang orang-orang lemah dari kalangan anak-anak. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu berdiri dengan setimbang (dalam perkara) anak-anak yatim. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya. (QS An-Nisaa’ : 127)

Ayat tersebut bercerita bahwa orang-orang akan meminta fatwa kepada Rasulullah SAW tentang isteri-isteri mereka. Diperintahkan kepada Rasulullah SAW untuk berkata bahwa : 1) Allah memberikan fatwa dalam diri isteri mereka, dan 2)Alquran sebenarnya memberikan penjelasan beberapa perkara terkait persoalan isteri-isteri mereka yang dipertanyakan, berupa 3 perkara yaitu : para wanita yatim, anak-anak yang dilemahkan, dan agar tegaknya dirinya dalam perkara keyatiman.

Sebenarnya jawaban atas pertanyaan tentang para isteri mereka terdapat dalam diri isteri mereka sendiri, karena Allah telah meletakkan fatwa-Nya dalam diri para isteri. Seringkali sebenarnya tidak dibutuhkan fatwa dari orang lain terkait pertanyaan seorang laki-laki tentang isteri mereka manakala seorang laki-laki telah tumbuh akalnya dalam tahapan tertentu, yang ditandai dengan rasa ingin tahu mereka tentang keadaan para isteri mereka untuk mewujudkan bait. Tidak ada orang lain yang lebih mengenal isterinya daripada diri suaminya. Dibutuhkan pertumbuhan akal seorang laki-laki untuk mengetahui jawaban Allah bagi pertanyaan mereka tentang isteri-isteri mereka.

Rasulullah SAW diperintahkan untuk menyampaikan bahwa Allah memberi fatwa kepada mereka dalam diri para isteri mereka. Maka selain rasulullah SAW hendaknya memikirkan dan mengikuti beliau dalam memberi seseorang fatwa tentang para isteri mereka. Sangat mungkin fatwa itu akan salah, karena Allah sebenarnya memberi mereka fatwa melalui isteri-isteri mereka. Lebih penting bagi seseorang untuk memberikan arahan agar seorang laki-laki dapat memahami isteri mereka dengan diri mereka sendiri, tidak menentukan keputusan tentang isterinya berdasar perkataan orang lain. Hendaknya seorang laki-laki yang terbawa hawa nafsu atau syaitan diredakan agar dapat mengenali isterinya dengan hati yang tenang.

Dalam sejarah, nabi Ibrahim a.s pernah memerintahkan kepada puteranya untuk mengganti isterinya. Hal itu tidak sepenuhnya bersifat perintah, tetapi mungkin lebih bersifat memperkuat keputusan puteranya untuk kehidupan mereka. Mungkin puteranya berada dalam dilema yang besar untuk memutuskan masalah pernikahan mereka, dan Ibrahim a.s memberikan penguatan atas kecenderungan keputusan yang akan ditempuh puteranya. Hal demikian boleh dilakukan bila seseorang mengetahui kehendak Allah atas pernikahan orang lain.

Persoalan Pernikahan dan Ayat Allah

Persoalan dalam interaksi pernikahan antara suami dan para isteri mereka sebenarnya sebuah gerbang bagi seorang laki-laki untuk mengetahui dan melahirkan amal shalih bagi permasalahan umat. Hal ini dapat diketahui seorang laki-laki bilamana ia bertakwa dengan mengikuti kitabullah. Tidak banyak orang yang dapat mengetahui tentang gerbang masalah ini. Seringkali seseorang tidak dapat mengetahui dengan benar persoalan antara dirinya dengan isterinya karena pengaruh hawa nafsu dan syaitan. Upaya seseorang untuk mengenali persoalan dalam interaksi pernikahan mereka akan terkacaukan oleh riak hawa nafsu dan syaitan, sehingga persoalan di antara mereka tidak dikenali dengan sebenarnya. Dengan demikian seseorang tidak mengenali cerminan persoalan itu dalam persoalan umat, dan tidak dapat mengenali ayat kitabullah yang diperuntukkan bagi masalah mereka.

Terdapat tiga perkara yang terkait permasalahan umat yang disebutkan di dalam ayat tersebut, dan sekaligus terkait dengan permasalahan rumah tangga mereka. Tiga perkara itu adalah tentang para perempuan yatim yang diinginkan, tentang orang-orang dilemahkan di antara anak-anak, dan tentang langkah-langkah agar seseorang dapat menegakkan urusan di antara para yatim.

Para Wanita

Para wanita adalah representasi dari khazanah dunia. Setiap perempuan membawa khazanah duniawi dalam jiwanya yang dapat diolah seorang laki-laki melalui pernikahan hingga terlahir amal shalih, sebagaimana ia mempunyai sel-sel telur yang dapat dibuahi oleh laki-laki hingga terlahir anak-anak. Seorang perempuan yang subur akan melahirkan banyak khazanah duniawi bagi suaminya yang subur. Hal ini akan terjadi bilamana seorang laki-laki memperoleh isteri yang jiwanya dekat dengan dirinya. Semakin jauh asal jiwa seorang perempuan dari jiwa suaminya, semakin sempit kesuburan yang terbentuk di antara mereka.

Seorang laki-laki seringkali menginginkan perempuan-perempuan lain tetapi sebenarnya tidak dapat memberikan apa-apa yang ditentukan (dituliskan) bagi para perempuan tersebut. Dalam kasus itu, yang paling mungkin adalah perempuan yang asal jiwanya tidak beririsan dengan dirinya. Hendaknya seorang laki-laki yang telah menikah mengenali hal ini. Satu isteri telah mencukupi bilamana ia tidak mengetahui khazanah yang dibawa perempuan lain yang diinginkannya, karena ia tidak akan dapat memberikan apa-apa yang ditentukan Allah bagi perempuan itu tanpa mengenali khazanah itu. Sebenarnya setiap orang harus berusaha mengenali terlebih dahulu perempuan yang diinginkannya, tetapi ada perbedaan dalam hal intensitas pengenalan itu. Seorang laki-laki menikah yang menginginkan perempuan lain harus tumbuh terlebih dahulu akalnya untuk mengenali perempuan yang diinginkan, sedangkan seorang laki-laki lajang masih mempunyai keleluasaan dalam memperbaiki langkah bila ada kesalahan dalam menentukan jodohnya.

Aturan ini terkait pula dengan khazanah duniawi yang dibawa oleh masing-masing perempuan. Aturan semacam ini berlaku pula untuk hal-hal duniawi yang diperuntukkan bagi seorang laki-laki mukmin. Setiap orang harus mengukur dengan benar keadaan dirinya dan hal-hal duniawi yang ingin diolahnya, sebelum ia terjun dalam bidang tersebut. Terlebih bila ia telah mempunyai kesibukan dalam mengolah suatu bidang. Seseorang tidak boleh menginginkan mengolah bermacam-macam bidang sedangkan ia tidak memperhatikan bidang yang telah di tangannya. Seseorang harus memperhatikan apa yang ada di tangannya sebelum menginginkan yang lain. Hanya bila apa yang ditangannya diperhatikan dengan sungguh-sungguh maka ia dapat mengukur kemampuan dirinya dalam bidang yang lain.

Anak-anak yang Terlemahkan

Selain tentang perempuan yang diinginkan, permasalahan anak-anak yang terlemahkan adalah perkara kedua yang dapat dibaca dari persoalan dalam interaksi antara suami dan isteri dalam rumah tangga. Pasangan suami dan isteri mukmin seharusnya melahirkan anak-anak yang kuat, akan tetapi kadang-kadang tidak terhindarkan kelahiran anak-anak yang terlemahkan. Banyak hal yang mempengaruhi kelahiran atau terbentuknya anak-anak yang lemah di antara pasangan kaum mukminin. Kualitas hubungan dan interaksi antara seorang suami dan isteri akan sangat mempengaruhi kelemahan atau kekuatan anak-anak yang dilahirkan atau mereka bina. Hubungan dan interaksi yang baik akan membentuk anak-anak yang kuat, dan hubungan yang buruk akan membentuk anak-anak yang lemah. Pemecahan masalah ini dapat ditemukan seorang laki-laki melalui kitabullah dengan memperhatikan isterinya.

Dalam konteks yang lain, anak-anak adalah kelahiran suatu karya di alam wujud. Kualitas sebuah karya sangat dipengaruhi oleh perhatian para pelakunya terhadap karya mereka. Setiap karya harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh, karena karya yang dilakukan tanpa kesungguhan pelakunya adalah kelahiran sesuatu yang lemah. Hal ini sebenarnya terkait dengan keadaan interaksi mereka dengan pasangan menikah mereka. Orang yang mempunyai hubungan yang baik dengan isterinya akan dapat melahirkan karya-karya yang berkualitas, sedangkan orang yang rumah tangganya berantakan akan cenderung melahirkan karya yang lemah.

Perkara Keyatiman

Perkara ketiga yang dapat dikenali seseorang melalui masalah dengan isteri mereka dan melalui kitabullah adalah perkara tegaknya dirinya dalam kesetimbangan dalam urusan keyatiman di lingkungan mereka. Anak-anak yatim adalah anak-anak tanpa bapak yang memberikan arahan dalam kehidupan mereka. Seringkali orang-orang dewasa pun mengalami masalah tidak mempunyai arah dalam kehidupan mereka, maka mereka termasuk golongan yatim. Persoalan sosial yang menunjukkan hilangnya arah kehidupan dalam masyarakat adalah permasalahan tentang golongan yatim, dan hal ini dapat dilihat melalui interaksi mereka dengan isteri mereka dan melalui ayat Allah.

Seorang mukmin dituntut untuk memberikan cahaya yang menuntun arah kehidupan di bumi hingga golongan yatim memperoleh arah kehidupan mereka. Kehidupan di bumi dengan arah yang tidak tepat akan menyeret seseorang menuju kehancuran. Hawa nafsu dan keinginan duniawi dapat menyeret seseorang menuju kehancuran diri mereka sendiri. Syaitan pun dapat menyeret manusia menuju jalan yang sesat dan menghancurkan mereka dalam skala yang lebih besar. Hal ini harus diperhatikan oleh setiap mukmin. Dengan mengenali persoalan dalam diri isteri dalam hubungan pernikahan mereka, seseorang akan mengerti hal-hal yang harus dilakukannya agar dapat tegak dalam permasalahan orang-orang yatim.

Persoalan dalam diri isteri bukanlah terbatas pada problematika dalam rumah tangga. Seorang laki-laki akan mengenali hal-hal menonjol yang menarik perhatiannya dalam diri isterinya, baik menyenangkan ataupun tidak menyenangkan. Setiap suami membutuhkan stimulasi dari isterinya untuk menarik perhatiannya, dan perhatian seorang laki-laki terhadap isterinya akan dipengaruhi dengan jati diri suaminya. Perhatian bersama itulah yang menjadi bidang amal shalih mereka. Seorang isteri tidak boleh serta-merta merasa diabaikan dalam hal-hal yang diinginkannya tetapi tampak tidak diperhatikan suaminya. Hal-hal yang diperhatikan dari dirinya oleh suaminya itulah yang paling mungkin mengantar mereka mengenal jati diri mereka yang sebenarnya, sedangkan segenap keinginan yang kurang diperhatikan suaminya boleh jadi hanya merupakan luapan hawa nafsu. Apa yang diperhatikan bersama suaminya itu adalah kemungkinan pohon diri yang akan tumbuh melalui dirinya. Bila ingin tegak sebagai wanita shalihah, seorang isteri harus berusaha memperhatikan apa yang diperhatikan oleh suaminya, tidak bersikeras dengan keinginannya sendiri. Sebaliknya setiap suami harus berusaha dengan sungguh-sungguh memperhatikan isterinya, tidak boleh serta merta menganggap bahwa segala sesuatu dari isterinya berasal dari hawa nafsu. Allah meletakkan fatwa-Nya melalui isterinya.

Fatwa Allah dan Keluarga Sakinah

Pernikahan adalah tangga yang disediakan Allah bagi manusia untuk meniti jalan kembali kepada Allah. Puncak tujuan yang dapat dicapai seseorang melalui pernikahan adalah terwujudnya as-sakiinah dalam pernikahan mereka. Ini adalah cerminan as-sakiinah yang dilimpahkan Allah ke dalam hati seorang hamba mukmin yang berguna untuk memberikan suatu tambahan keimanan terhadap keimanan yang telah ada. Seorang laki-laki yang diberi limpahan as-sakiinah dari Allah akan mengerti kehendak Allah melalui hal-hal yang terjadi atas dirinya. Bagian besar pemahaman atas kehendak-Nya itu akan diperoleh seseorang melalui isterinya.

Demikian pula pada sisi lain, keadaan seorang perempuan yang berhasil membentuk as-sakinah bersama suaminya, ia akan mengerti kehendak Allah yang diturunkan atas mereka melalui hati suaminya. Dengan pemahaman yang sama, mereka akan dapat membentuk bait yang diijinkan Allah untuk disebutkan dan ditinggikan asma-Nya dalam rumah itu. Rumah tangga demikian adalah bait yang harus diwujudkan seseorang dalam struktur sosial diri mereka. Rumah tangga itu dapat terbentuk sebagai cerminan dari struktur diri laki-laki sebagai bait dalam beribadah kepada Allah.

Wujud bait demikian dibentuk dari tiga keadaan, yaitu as-sakiinah, at-thayyibat dan pengorbanan. Komponen intinya adalah terbentuknya as-sakinah, sedangkan komponen awal untuk membentuk bait tersebut adalah pengorbanan, atau penyembelihan. Dengan memulai dari pengorbanan, akan terbentuk pengenalan terhadap at-thayyibaat yang harus diwujudkan di antara suami dan isteri. Dengan pemahaman terhadap at-thayyibat, pasangan itu akan dapat bergerak menuju as-sakiinah dalam rumah tangga. Tanpa pengorbanan, pasangan itu tidak akan berhasil mengenal at-thayyibat, dan tanpa mengenal at-thayyibaat tidak akan terbentuk as-sakiinah.

Pertumbuhan demikian terjadi pada sisi ghaib manusia. Setiap manusia harus memperhatikan keseluruhan dirinya, tidak boleh hanya memperhatikan sisi yang terlihat. Bilamana ia berkeinginan mewujudkan bait sakinah dalam wujud rumah tangga, dia harus memperhatikan pasangannya dalam semua aspek. Seseorang dapat menemukan sesuatu yang menarik hatinya dari sisi dzahir pasangannya, atau dari sisi tersembunyi pasangannya, atau dari keduanya. Hal itu dipengaruhi oleh keadaan dirinya, apakah dirinya mencari sesuatu yang lebih hakiki atau mencari sesuatu yang bersifat jasmaniah. Ia harus memperhatikan dirinya sendiri, dan memperhatikan pasangannya, bahkan sebelum menjadi pasangannya. Yang menjadi tempat pertumbuhan bait itu adalah sisi ghaib sepasang manusia yang menikah.

Sebenarnya setiap orang dibekali perasaan untuk mengenali calon pasangannya yang paling tepat, akan tetapi kepekaan perasaan itu dipengaruhi oleh keadaan dirinya. Kadang seseorang dapat menemukan pasangannya dengan tepat walaupun tersembunyi dalam wujud jasmani yang tidak menarik. Kadangkala seseorang terhijab dari mengenal pasangan jiwanya walaupun secara jasmani telah berdekatan dan saling mengalami ketertarikan. Seringkali seseorang kehilangan perasaan untuk mengenali pasangan yang tepat karena ketertarikan pada banyak hal lain, baik karena material duniawi ataupun harga diri. Banyak hal yang membuat seseorang tidak mengenali pasangan yang tepat bagi dirinya.

Bila seseorang lebih mementingkan sisi jasmani dalam membentuk rumah tangga, maka akan sulit terbentuk bait yang sakinah. Pengorbanan atau penyembelihan adalah hal pertama yang harus dilakukan sebagai langkah awal dalam membentuk keluarga sakinah. Dalam hal ini, mementingkan sisi jasmani merupakan bentuk kebalikan dari penyembelihan, yaitu membiarkan aspek jasmani menguasai kehidupannya. Bila ada keinginan untuk membentuk bait sakinah pada pasangan demikian, akan sangat banyak pengorbanan yang harus dilakukan sebagai syarat untuk melangkah pada tahap berikutnya. Langkah untuk membentuk bait sakinah akan terasa sangat berat bagi pasangan demikian.

Hal ini tidak berarti mencari pasangan harus dalam bentuk jasmani yang tidak terlihat indah. Yang dituntut dari setiap orang adalah mengenali sisi batin calon pasangannya. Kadang seseorang yang indah jasmaninya dan kaya harta memiliki sisi batin yang tepat untuk dijadikan pasangan bagi seseorang dalam tujuan membentuk bait sakinah. Sangat banyak terjadi demikian, hanya saja seseorang tidak boleh terikat pada pertimbangan jasmani dalam menentukan pasangannya. Pada kasus lain, kadangkala seseorang terlihat indah perilakunya, akan tetapi ada maksud tersembunyi dalam keindahan perilaku tersebut. Hal itu mungkin saja akan mencelakakan perjalanan mereka. Setiap orang harus memperhatikan sisi batin pasangan yang sesuai dengan dirinya sebagai modal awal membentuk bait sakinah.