Pencarian

Minggu, 25 Februari 2024

Ihsan dan Perbuatan Syaitan

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Jalan kembali kepada Allah itu adalah agama (ad-diin), berupa jalan kehidupan yang ditentukan Allah bagi masing-masing hamba-Nya. Sangat banyak jalan kehidupan yang mungkin ditempuh oleh setiap makhluk, baik ditempuh dengan mengikuti hawa nafsu ataupun mengikuti kehendak Allah. Seluruh jalan kehidupan yang dapat ditempuh itu telah digariskan Allah, dan setiap makhluk dapat memilih jalan yang digariskan tersebut dengan ketakwaannya atau dengan keinginan yang penuh dosa. Manakala memilih ketakwaan, ia mungkin akan menemukan garis kehidupan yang dikehendaki Allah, atau setidaknya mendekatinya. Agama adalah jalan kehidupan yang dikehendaki Allah bagi setiap hamba-Nya.

Di jalan kehidupan yang dikehendaki Allah, setiap orang akan menemukan pengetahuan yang banyak tentang Allah. Pengetahuan itu merupakan sumber keihsanan bagi setiap hamba. Agama yang paling ihsan dapat diperoleh seseorang dengan jalan menempuh kehidupan berserah diri, berbuat dengan penuh keihsanan dan mengikuti millah nabi Ibrahim a.s secara hanif. Allah telah menjadikan nabi Ibrahim a.s sebagai khalil (kesayangan) bagi-Nya, karena itu jalan yang telah beliau a.s tempuh hendaknya dijadikan panduan bagi umat manusia sebagai jalan untuk kembali kepada Allah.

﴾۵۲۱﴿وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang berserah diri kepada Allah, sedang dia seorang muhsin, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya. (QS An-Nisaa: 125)

Berserah diri kepada Allah adalah kemauan berbuat berdasar keinginan mengikuti kehendak Allah. Berserah diri bukan perbuatan pasrah terhadap segala sesuatu yang terjadi tanpa berbuat. Bentuk berserah diri dapat diukur berdasarkan pelaksanaan rukun islam yang diiringi dengan landasan makna yang benar. Misalnya manakala seseorang memilih sesuatu berdasarkan keinginan untuk menjadi saksi terhadap ilahiah-Nya, maka ia termasuk seseorang yang berserah diri. Demikian pula keinginan untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa dan menunaikan haji yang disertai dengan landasan memahami makna, maka ia seseorang yang berserah diri. Sedikit ataupun banyak landasan makna bagi perbuatannya, ia termasuk seseorang yang berserah diri.

Seorang muhsin adalah seseorang yang mempunyai pengetahuan tentang Allah, sedemikian ia melaksanakan amal-amalnya berdasar pengetahuan tentang Allah. Ia beribadah kepada Allah seolah-olah ia melihat-Nya, atau bila ia tidak melihat maka ia mengetahui bahwa Allah melihat dirinya. Dengan pengetahuan demikian ia melaksanakan amal-amalnya dengan cara yang sebaik-baiknya. Ia akan merasa malu bila tidak berusaha mengerjakannya dengan sebaik-baiknya. Dengan keadaan demikian, ia tidak melaksanakan amal tanpa berusaha dengan sebaik-baiknya.

Selain dengan berserah diri dan menjadi muhsin, agama yang terbaik akan diperoleh seseorang dengan mengikuti millah Ibrahim a.s. Nabi Ibrahim a.s merupakan makhluk yang diangkat sebagai khalilullah, suatu kedudukan yang sangat tinggi di sisi Allah. Hanya Rasulullah SAW makhluk yang berkedudukan lebih tinggi di sisi Allah. Rasulullah SAW membawakan seluruh kebenaran dari sisi Allah bagi seluruh makhluk, sedangkan khalilullah Ibrahim a.s lebih berperan menjadi tauladan yang nyata bagi para makhluk untuk melangkah menjadi hamba yang didekatkan kepada Allah. Setiap makhluk hendaknya berusaha mengikuti langkah nabi Ibrahim a.s untuk menjadi hamba yang didekatkan.

Puncak dari millah nabi Ibrahim a.s adalah membentuk bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah. Ini dapat dilihat pada baytullah al-haram dan syariat-syariat umrah dan haji sebagai bayt yang dibangun nabi Ibrahim a.s bersama keluarganya. Perjalanan demikian ditempuh melalui berbagai tahapan yang mengantarkan langkah taubat hingga terbentuk bayt, dimulai dari hijrah menuju tanah suci yang dijanjikan, sa’i di bukit shafa dan marwa, thawaf, arafah, penyembelihan, melempar jumrah dan selengkapnya sebagaimana ibadah haji dilakukan. Membina bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah harus ditempuh dengan tahapan yang jelas mengikuti millah nabi Ibrahim a.s, dan hal itu akan membentuk sepasang manusia untuk mampu meninggikan asma Allah.

Bayt demikian terbentuk di keluarga yang membentuk misykat cahaya secara lengkap. Keluarga itu dapat diibaratkan kamera yang baik dan dilengkapi dengan roll film yang baik. Kamera itu adalah misykat cahaya diri laki-laki yang dapat membentuk bayangan kehendak Allah dalam dirinya, dan roll film itu adalah perempuan yang dapat mewujudkan bayangan yang terbentuk dalam kamera misykat suaminya ke alam dunia. Bila salah satu aspek tidak terbentuk, maka tidak terbentuk bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah bagi semesta mereka. Bayangan yang terbentuk dalam misykat tidak akan diketahui oleh umat manusia bila tidak dipasangkan roll film pada kamera.

Baiknya agama seseorang ditentukan di antaranya oleh langkahnya dalam mengikuti millah nabi Ibrahim a.s membentuk bayt. Setiap laki-laki harus membina akalnya untuk dapat memahami kehendak Allah melalui ayat-ayat yang digelar Allah, baik ayat kauniyah maupun kitabullah. Para perempuan harus membina diri untuk dapat memahami sesuatu yang terbina dalam diri suaminya sesuai dengan kehendak Allah, karena pemahaman dirinya terhadap suaminya itu yang akan menjadi kesuburan dirinya dalam menumbuhkan dan melahirkan potensi yang ada pada suaminya untuk diberikan kepada masyarakat mereka. Kekuatan ingatan dalam diri perempuan hendaknya dimanfaatkan secara sinergis dengan potensi suaminya, tidak (hanya) digunakan untuk mengingat kesalahan-kesalahan suami dan menghakiminya.

Seorang suami sangat mungkin bersifat pelupa karena fungsinya dalam agama adalah sebagai misykat cahaya untuk membentuk bayangan, dan sangat sedikit kemampuan laki-laki untuk mengingat bayangan yang pernah dibentuknya. Bila ia tidak sedang memikirkan objeknya, ia mungkin akan segera kehilangan memori tentang apa yang pernah dipikirkannya atau yang diperintahkan kepadanya. Hal ini harus dibantu isteri yang mempunyai memori lebih besar. Dalam urusan agama, pahamnya seorang isteri terhadap suaminya akan menentukan terwujudnya perkembangan diri suaminya ke alam dunia, sedangkan dalam urusan dunia memori seorang isteri akan sangat membantu terwujudnya diri suaminya.

Agama yang terbaik terbentuk dari keislaman, keihsanan dan mengikuti langkah nabi Ibrahim a.s. Semakin sempurna ketiga komponen tersebut, akan semakin sempurna pula agama yang dicapai seseorang. Mengikuti langkah nabi Ibrahim a.s merupakan arah yang dapat mengantar seseorang mencapai puncak amal yang dapat dilakukan. Tingkat keislaman dan keihsanan seseorang akan dapat terbangun semakin tinggi dengan mengikuti langkah nabi Ibrahim a.s, hingga seseorang bisa mengukur tentang keislaman dan keihsanannya tidak hanya berprasangka. Setiap hamba mungkin mempunyai bobot yang berbeda pada masing-masing dari ketiga komponen itu. Hendaknya setiap orang memperhatikan agar ketiga komponen itu tumbuh dalam dirinya dengan baik, sebaik-baiknya, dan tidak rusak pada salah satunya. Bila salah satu komponen itu rusak, seseorang bisa menyimpang hingga celaka. Daripada celaka, lebih baik seseorang menumbuhkan dengan hati-hati. Rusaknya salah satu komponen dapat menimbulkan kerusakan pada komponen yang lain, maka setiap orang harus memperhatikan ketiganya.

Mengikuti Millah

Pembinaan agama harus dilakukan untuk membentuk bayt, baik terhadap para laki-laki untuk membentuk misykat cahaya maupun terhadap para perempuan agar dapat menunaikan fungsinya dalam urusan Allah bersama suami dengan sebaik-baiknya. Demikian itulah agama terbaik yang mengikuti millah nabi Ibrahim a.s.

Pembinaan melaksanakan fungsi diri bagi perempuan hanya dapat dilakukan terhadap para perempuan yang mempunyai iktikad untuk beribadah kepada Allah dengan ikhlash. Bila para perempuan mempertuhankan duniawi atau lebih suka mengikuti syahwat dirinya terhadap laki-laki ataupun harta, maka pembinaan pelaksanaan fungsi diri akan sulit dilakukan. Kadangkala seorang mukminat memperoleh petunjuk tentang jalan hidup yang harus ditempuh tetapi tidak berkeinginan untuk menetapinya, maka ia tidak akan mampu menemukan fungsi dirinya yang ditetapkan. Kadang seseorang takut hidup miskin bila mengikuti petunjuk. Lebih jauh, kadangkala seorang mukminat terjerumus menghinakan objek petunjuknya dan menyiarkannya karena mengikuti syahwat atau hawa nafsu, atau waham yang keliru. Bila menikah dengan seorang yang shalih, mungkin mereka akan tidak mau atau merasa berat berjuang menyertai suaminya, atau justru membebani suaminya untuk mencari harta dan kedudukan dengan meninggalkan amal shalih yang harus dilakukan. Hal-hal demikian harus dihindarkan, dan setiap mukminat harus dibina untuk beriktikad menempuh jalan ibadah dengan keikhlasan.

Para isteri tidak boleh dirusak dengan pembinaan yang keliru dengan tercampurnya kekejian, ataupun dengan pembinaan adab yang keliru terhadap suaminya. Rasulullah SAW berkata kepada para mukminat yang ingin berjihad di jalan Allah dan datang kepada beliau SAW, memerintahkan mereka untuk memperhatikan suaminya, dan melarang mereka untuk berjihad bersama Rasulullah SAW. Setiap perempuan harus menempati kedudukan dirinya di sisi suaminya, tidak mencari kedudukan ke tempat yang lain sekalipun bersama Rasulullah SAW. Bila seorang mukminat meninggalkan suaminya untuk mengikuti laki-laki lain, perbuatannya merupakan perbuatan keji. Bila ia bersikap buruk kepada suaminya, akhlaknya adalah akhlak yang buruk. Rusaknya pembinaan itu akan menyebabkan kerusakan pada bangsa, karena perempuan merupakan tiang tegaknya bangsa.

Dua prinsip pembinaan ini, keikhlasan dan memahami, sebenarnya bersifat umum juga untuk pembinaan kaum laki-laki, hanya saja objeknya sedikit berbeda. Kaum laki-laki harus dibina untuk bisa memahami urusan Rasulullah SAW untuk ruang dan jaman masing-masing. Fahamnya seorang laki-laki terhadap urusan Rasulullah SAW ditandai dengan pengenalan terhadap wasilah mereka kepada Rasulullah SAW, dan disahkan dengan pengenalan terhadap nafs wahidah dirinya sendiri sebagai wasilah dirinya secara langsung kepada Rasulullah SAW. Perbedaan dengan perempuan, wasilah langsung seorang perempuan adalah suaminya. Dalam contoh di atas, keikhlasan merupakan fungsi pembinaan misykat diri, dan pemahaman merupakan fungsi pembinaan zujaajah.

Ihsan dan Makar Syaitan

Baiknya agama seseorang akan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat mereka. Millah nabi Ibrahim a.s akan menjadikan seseorang mampu melahirkan amal sebagai sumbangsih mereka bagi kehidupan bermasyarakat. Keislaman akan menjadikan seseorang erat berpegang pada tali Allah, dan keihsanan akan menjadikan kualitas amal-amal menjadi baik. Ada hubungan timbal balik di antara ketiga keadaan di atas yang akan menjadikan seseorang meningkat kebaikannya.

Salah satu manfaat keihsanan adalah menghilangkan perselisihan di antara hamba-hamba Allah. Syaitan selalu berusaha untuk menimbulkan perselisihan di antara manusia. Karena perbuatan syaitan umat manusia menjadi berselisih satu dengan yang lain. Tidak semua perselisihan terjadi karena perbuatan syaitan, akan tetapi syaitan selalu bergembira dan berusaha memperbesar perselisihan di antara manusia. Perselisihan demikian tidak hanya terjadi di kalangan orang-orang kafir. Orang-orang yang berjuang di atas kebaikan untuk tujuan yang sama seringkali tidak terlepas dari perselisihan karena perbuatan syaitan. Demikian pula beriman tidak terlepas dari upaya syaitan untuk menimbulkan perselisihan.

Kadangkala sangat sulit bagi orang beriman untuk menyatukan pendapat menghilangkan perselisihan di antara mereka. Allah memberikan perintah kepada hamba-hamba-Nya untuk mengatakan keihsanan-keihsanan di antara mereka, maka perselisihan di antara mereka itu akan mereda dengan mengikuti keihsanan yang terbaik di antara mereka. Bila masing-masing hanya memuntahkan perkataan-perkataan dari hawa nafsu, maka perselisihan itu tidak akan mereda dan mungkin akan semakin meruncing. Setiap orang hendaknya menemukan keihsanan yang terbaik dari perselisihan mereka, dan menyatukan diri pada pokok keihsanan itu. Hal-hal yang diturunkan dengan hawa nafsu dari keihsanan itu hendaknya dilakukan setelah sepakat pada suatu keihsanan.

﴾۳۵﴿وَقُل لِّعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنسَانِ عَدُوًّا مُّبِينًا
Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. (QS Al-Israa’ : 53)

Keihsanan akan mengalahkan perbuatan syaitan yang membuat manusia berselisih. Akan tetapi perlu disadari bahwa banyak tingkatan keihsanan pada manusia dan banyak tingkatan keahlian syaitan dalam membuat perselisihan. Suatu tingkat keihsanan tertentu akan mengungkap perbuatan syaitan pada tingkat tertentu, sehingga perbuatan syaitan itu menjadi tidak efektif. Akan tetapi perbuatan syaitan yang lebih lihai mungkin tidak terurai dengan keihsanan pada tingkatan yang lebih rendah. Manakala syaitan membuat suatu perselisihan di antara manusia, hendaknya umat manusia berusaha menemukan suatu keihsanan yang dapat mengurai perselisihan itu. Suatu tipu daya syaitan akan mendorong umat manusia untuk mengenal keihsanan yang setimbang dengan kelihaian syaitan yang berbuat.

Kadangkala syaitan melibatkan manusia dalam tipu daya mereka dan membuat suatu mekanisme tipu daya yang rumit. Keterlibatan manusia dalam upaya syaitan tersebut akan meningkatkan kompleksitas tipuan tersebut. Selalu ada tingkatan keihsanan yang dapat mengurai tipu daya itu, tetapi membutuhkan kesabaran dan ketabahan dalam menempuh keihsanan yang diperoleh. Akan banyak orang menjadi korban dari tipuan syaitan manakala melibatkan manusia, akan tetapi sebagian akan melihat jalan keselamatan dan menempuh jalan itu. Satu orang yang menempuh jalan keselamatan akan membuka kunci bagi orang lainnya untuk menempuh jalan yang sama. Syaitan tidak akan diam melihat dinamika demikian dan akan berusaha menghalangi untuk menempuhnya. Bila seseorang membantu menghalangi langkah orang yang ingin berbuat di atas keihsanannya, ia telah membantu syaitan untuk memecah-belah manusia.

Kadangkala syaitan mengajarkan sihir kepada orang-orang yang menyukai dan disukai untuk membuat manusia berselisih. Sihir berfungsi untuk menampakkan kepada manusia sesuatu yang bersumber dari kebathilan. Sihir-sihir kecil dapat dijumpai pada penyihir-penyihir yang melakukan manipulasi sesuatu bagi manusia. Sihir yang terbesar berupa sihir yang menjadikan pandangan umat manusia di suatu negara atau di dunia termanipulasi. Dajjal mempunyai sihir yang sangat kuat untuk memanipulasi pandangan manusia di seluruh dunia. Di tingkatan lebih rendah, penguasa-penguasa seperti Fir’aun memanfaatkan sihir untuk memukau warga negara mereka hingga menganggap penguasa itu memberikan kebaikan. Kenyataannya, masyarakat hanya dimanfaatkan untuk memenuhi syahwat dan hawa nafsu para penguasa tersebut. Upaya seperti Fir'aun demikian biasanya dilakukan dengan memperselisihkan satu pihak dengan pihak yang lain hingga masyarakat menjadi lemah dan dapat dikendalikan. 

Keihsanan tidak dapat diukur dengan hawa nafsu, tetapi harus diukur dengan tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Mengukur keihsanan tanpa melihat tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW bisa menjadi perbuatan yang sangat berbahaya. Ada orang-orang yang mengira bahwa mereka menjalankan perintah Allah sedangkan sebenarnya mereka terjerumus mengikuti syaitan. Suatu keihsanan mungkin akan berbenturan dengan keihsanan yang lain, sedangkan salah satu di antara keihsanan itu atau keduanya palsu. Bila suatu keihsanan ditenggelamkan dengan keihsanan yang palsu, maka syaitan akan mudah menimbulkan perselisihan di antara manusia. Cara demikian termasuk cara syaitan yang paling efektif untuk meredam meningkatnya keihsanan di antara manusia, dan seringkali hal demikian dibantu oleh manusia sendiri tanpa menyadari dan justru merasa ihsan. Setiap keihsanan harus diukur bobot kebenarannya dengan kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW.



Selasa, 20 Februari 2024

Pemimpin dengan Petunjuk

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Allah mengutus rasul-Nya untuk menyeru umat manusia kembali kepada cahaya Allah. Di antara rasul yang diutus Allah adalah nabi Huud a.s kepada kaum ‘Aad. Kaum ‘Aad merupakan kaum yang menjadi representasi tabiat dasar kehidupan jasmani manusia di bumi berupa tabiat bodoh terhadap ayat-ayat Allah dan justru mengikuti orang-orang yang berbuat sewenang-wenang dan menentang kebenaran.

﴾۹۵﴿وَتِلْكَ عَادٌ جَحَدُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَعَصَوْا رُسُلَهُ وَاتَّبَعُوا أَمْرَ كُلِّ جَبَّارٍ عَنِيدٍ
Dan itulah (kisah) kaum 'Ad yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Tuhan mereka, dan mendurhakai rasul-rasul Allah dan mereka menuruti perintah semua penguasa yang sewenang-wenang lagi menentang (kebenaran). (S Huud : 59)

Penguasa yang tidak memperhatikan aspek keadilan dan kemakmuran adalah penguasa yang berbuat sewenang-wenang dan menentang kebenaran. Suatu negeri akan mengalami penderitaan manakala penguasa di antara mereka adalah penguasa yang sewenang-wenang. Penduduk suatu negeri tidak boleh terus menerus menuruti penguasa yang sewenang-wenang karena mereka akan menderita apabila terus-menerus menuruti penguasa demikian. Tindakan ini harus dilakukan dengan berhijrah dan pengetahuan tentang kehendak Allah.

Tidak sedikit kaum yang menjadikan orang-orang yang sewenang-wenang dan menentang kebenaran sebagai pemimpin mereka. Dalam kehidupan dunia, hanya sedikit orang-orang yang menggunakan akalnya hingga tumbuh suatu kebutuhan terhadap pemimpin yang adil untuk menuntun langkah mereka untuk hidup secara setimbang. Hampir setiap orang menginginkan pemimpin yang baik akan tetapi sedikit orang yang dapat menemukan. Sebagian manusia tertipu dengan etiket yang diperlihatkan orang lain sedangkan akhlak mereka buruk. Kebanyakan manusia terkurung dalam keinginan mereka sendiri terhadap dunia dan hawa nafsu, dan keinginan yang tidak terkendali tersebut membuat mereka menjadikan pemimpin dari kalangan orang-orang yang sewenang-wenang dan menentang kebenaran. Mereka berharap untuk memperoleh bagian duniawi dari para pemimpin yang mereka pilih, baik orang lihai yang berharap keuntungan melalui kesewenang-wenangan yang dilakukan ataupun orang-orang lemah pikirannya ditipu dengan sekadar gula-gula. Dengan keadaan demikian, orang-orang jahat yang menginginkan kekuasaan terhadap orang lain akan mudah untuk mempertahankan kekuasaan mereka.

Keadaan demikian tidak hanya terjadi pada orang-orang kafir, akan tetapi juga terjadi pada kaum muslimin. Pada kaum muslimin, keadaan yang buruk demikian tidak semata-mata disebabkan keburukan para penguasa, tetapi terkait pula dengan keadaan masyarakatnya. Allah akan mengangkat para pemimpin bagi kaum muslimin sesuai dengan keadaan mereka. Apabila Allah murka terhadap kaum muslimin, Allah akan mengangkat orang-orang yang paling buruk di antara muslimin sebagai pemimpin, dan mengangkat orang-orang yang paling baik di antara para muslimin manakala Allah ridha kepada mereka. Baik atau buruknya keadaan kaum muslimin akan menentukan kualitas pemimpin yang diangkat di antara mereka, karenanya hendaknya setiap orang beriman meneliti keadaan diri mereka dalam hubungan mereka kepada Allah.

Buruknya keadaan harus dinilai oleh kaum muslimin berdasarkan ayat-ayat kitabullah, tidak mengukur keadaan berdasarkan pikiran sendiri. Keimanan terhadap ayat-ayat Allah dan sunnh Rasulullah SAW akan menentukan kemampuan suatu kaum memilih pemimpin yang baik bagi mereka. Syaitan mempunyai kemampuan yang sangat lihai dalam menjadikan pandangan manusia terbalik-balik memandang baik apa yang buruk dan memandang buruk apa yang baik. Apa yang baik menurut kitabullah harus berusaha dipahami sebagai kebaikan, dan apa yang buruk menurut kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW harus berusaha dipahami sebagai keburukan. Permasalahan ini bukan sesuatu yang boleh diabaikan. Seringkali manusia tidak menyadari dalam mempersepsi mengikuti hawa nafsu hingga bertentangan dengan kitabullah, hanya mengikuti perkataan yang ada pada kaum mereka. Bila tidak selaras dengan kedua tuntunan tersebut, suatu kaum akan mengikuti pemimpin yang buruk.

Setelah menilai keadaan diri, setiap orang beriman harus berusaha untuk melahirkan amal shalih berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW berdasarkan pemahaman yang sebaik-baiknya. Pemahaman yang terbaik pada setiap diri seseorang adalah pemahaman yang terbangun dari proses tazkiyatun-nafs sedemikian hingga diri mereka terbentuk sebagai misykat cahaya. Itu adalah akhlak al-karimah. Amal demikian tidak selalu hanya dilakukan secara mandiri berdasar dorongan dalam diri. Seseorang bisa saja beramal terbaik dengan mengikuti orang lain yang lebih memahami kitabullah, akan tetapi hendaknya amal yang dilakukan berdasarkan pemahaman terbaik yang terbina pada dirinya, tidak sekadar mengikuti. Justru seringkali beramal hanya berdasar dorongan diri sendiri tanpa terkait dengan kauniyah atau orang lain yang lebih memahami menjadi tanda bahwa seseorang mengikuti hawa nafsu.

Pemahaman Terbaik Terhadap Alquran

Ada berbagai tingkat pemahaman yang bisa diperoleh manusia dari Alquran. Kebanyakan manusia hanya memperoleh pemahaman dari Alquran berupa bayangan kabur, karena Alquran hanya dapat disentuh oleh orang-orang yang disucikan. Ada orang-orang yang dapat mencapai pemahaman di tingkatan yang sangat tinggi, dan masing-masing memperoleh penjelasan dalam urusan yang ditetapkan bagi diri mereka. Di antara orang-orang yang disucikan, ada orang-orang yang memperoleh penjelasan Alquran karena upaya mereka membentuk akhlak mereka sebagai misykat cahaya yang tepat, dan ada orang yang memperoleh penjelasan Allah berupa pembacaan oleh seorang syahid yang diturunkan dari Allah, setelah terbentuk misykat cahaya pada dirinya. Demikian berbagai gambaran tingkatan-tingkatan seseorang dalam memahami Alquran.

﴾۷۱﴿أَفَمَن كَانَ عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّهِ وَيَتْلُوهُ شَاهِدٌ مِّنْهُ وَمِن قَبْلِهِ كِتَابُ مُوسَىٰ إِمَامًا وَرَحْمَةً أُولٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَمَن يَكْفُرْ بِهِ مِنَ الْأَحْزَابِ فَالنَّارُ مَوْعِدُهُ فَلَا تَكُ فِي مِرْيَةٍ مِّنْهُ إِنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ وَلٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يُؤْمِنُونَ
Maka bagaimanakah (keadaan) orang-orang yang berada di atas penjelasan yang nyata (Al Quran) dari Tuhannya, yang dibacakan oleh seorang saksi dari Dia (Allah) dan telah datang sebelumnya kitab Musa yang menjadi pemimpin dan rahmat? Mereka itu beriman kepadanya (Al Quran). Dan barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang kafir kepadanya (Al Quran), maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya, karena itu janganlah kamu ragu-ragu terhadapnya (Al Quran). Sesungguhnya (Al Quran) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman. (QS Huud : 17)

Ayat di atas secara khusus menunjukkan adanya orang yang berada di atas petunjuk yang nyata dari rabb mereka berupa penjelasan yang dibacakan oleh seorang saksi yang diturunkan dari sisi Allah. Petunjuk yang nyata itu adalah Alquran. Di antara manusia, ada orang-orang yang diberi Allah anugerah berupa saksi yang membacakan penjelasan kandungan kitabullah Alquran. Saksi tersebut tidak secara khusus merujuk kepada Rasulullah Muhammad SAW, tetapi berupa saksi yang membacakan kitabullah Alquran sejak jaman Rasulullah SAW hingga jaman yang akan datang. Bagi orang-orang demikian, Alquran adalah kitab yang berbicara bukan sekadar kitab yang (bisa) dibaca. Sebenarnya yang berbicara itu adalah saksi yang diturunkan dari sisi Allah. Sebagian orang bisa melihat bahwa yang berbicara itu merupakan entitas yang berbeda dengan Alquran, dan sebagian mungkin menyangka bahwa kitabullah itulah entitas yang berbicara.

Kadangkala saksi tersebut membacakan sebelum seseorang benar-benar membaca ayat Alquran yang ditentukan. Hal demikian seringkali mendatangkan kebingungan bagi orang-orang yang menerima pembacaannya, terutama bila berakal kuat. Bila berakal lemah, seringkali ia telah tertipu dengan hawa nafsu sendiri sebelum saksi tersebut membacakan. Bila berakal cukup kuat, ia akan bertanya-tanya tentang pemahaman yang terbuka kepada dirinya. Bila ia kemudian mencari pengetahuan kepada kitabullah Alquran dan selalu berpegang padanya, maka ia akan selamat. Bila hawa nafsunya ikut tumbuh cerdas mengikuti pembacaan tanpa dikendalikan, seseorang akan mengalami kesulitan yang sangat besar karena hawa nafsunya itu. Setiap pembacaan yang dilakukan oleh saksi tersebut hanyalah tentang kandungan Alquran, sedangkan segala yang lebih dari pembacaan itu merupakan hasil pikiran dari kecerdasan hawa nafsu. Nafs seseorang yang tenang akan mengikuti kitabullah, tidak mengutamakan mengikuti pikirannya sendiri. Adapun manakala mengikuti hawa nafsu, ia mengetahui bahwa dirinya sedang mengikuti hawa nafsu, tidak menyangka bahwa ia pemegang seluruh amr Allah, dan ia tetap mengetahui saat-saat harus mengikuti perkataan orang lain.

Saksi (syahid) yang diturunkan untuk membacakan ayat Allah tersebut berasal dari alam yang terdekat dari sisi Allah, yaitu alam ruh berupa ruh qudus. Fungsi utama ruh qudus adalah membacakan kandungan kitabullah Alquran kepada hamba-hamba Allah yang dikehendaki-Nya. Ruh qudus mempunyai kemampuan yang sangat besar untuk menggelar kekuatan dari sisi Allah, tetapi fungsi utamanya adalah membacakan kandungan kitabullah Alquran bagi seorang hamba. Sebagai contoh, nabi Isa a.s diijinkan untuk menampilkan kemampuan untuk menghidupkan orang mati karena ruh qudus pada beliau. Bagi umat Rasulullah SAW, ruh qudus hendaknya difungsikan sebagaimana dikehendaki Allah, yaitu untuk mencari pemahaman tentang kandungan Alquran, tidak digunakan untuk menampilkan keajaiban-keajaiban di hadapan manusia.

Pada dasarnya, tidak ada kekeliruan pembacaan sang saksi tentang Alquran, akan tetapi setiap orang bertanggungjawab untuk mengikuti kitabullah Alquran, bukan mengikuti pembacaan sang saksi. Lingkup Alquran lebih luas daripada pembacaan ruh qudus. Demikian pula orang yang hanya mengikuti orang lain dituntut untuk mengikuti Alquran, tidak mengikuti tanpa berpegang pada kitabullah. Seseorang harus mengikuti pembacaan ruh qudus tentang Alquran bagi dirinya, sedangkan orang yang mengikutinya boleh mengikuti dengan berusaha memahami. Di sisi lain, pembacaan ruh al-quds itu adalah benar-benar terhadap Alquran tidak di luar itu, maka seharusnya tidak ditemukan suatu keraguan sedikitpun terhadap pembacaan itu. Apa yang tidak dipahami pengikut sebenarnya hanya karena kekuatan akalnya, bukan karena melencengnya penjelasan dari kebenaran. Hendaknya seseorang tidak mempunyai keragu-raguan atau berbantahan dalam beramal mengikuti petunjuk yang diturunkan melalui ruh al-quds dan hamba-Nya yang berada di atas petunjuk yang nyata.

Pendahuluan untuk mencapai keadaan di atas adalah penghayatan terhadap kitab Musa. Kitab nabi Musa a.s merupakan kitab yang menuntun hijrah umat manusia menuju tanah suci yang dijanjikan. Tanah yang dijanjikan adalah pengenalan seseorang tentang jati diri penciptaannya. Setiap orang harus berhijrah dari kegelapan duniawi menuju pengenalan penciptaan diri sebagai jalan ibadah dirinya. Untuk hijrah itu, setiap orang hendaknya mengikuti kitab nabi Musa a.s dengan menjadikannya imam untuk mencapai rahmat Allah. Perjalanan hijrah bagi umat nabi Muhammad SAW tidak harus dilakukan dengan menempuh perjalanan menempuh gurun ke tanah syam, tetapi dilakukan melalui proses tazkiyatun-nafs. Yang dijadikan imam dan rahmat bagi umat manusia dalam perjalanan hijrah ke tanah suci yang dijanjikan adalah kitab nabi Musa a.s, bukan perjalanan fisik beliau. Perjalanan ini sangat banyak dijelaskan dalam kitabullah Alquran, dan setiap orang islam harus mengambil tuntunan dari kisah nabi Musa a.s tidak menjadikannya sebagai suatu cerita dari orang-orang terdahulu. Bila seseorang tidak memperoleh nilai dari kisah perjalanan hijrah nabi Musa a.s menggembalakan bani Israel mencapai tanah yang dijanjikan, mungkin ia sebenarnya telah menjadikan kisah-kisah qurani tersebut sebagai cerita orang terdahulu.

Berbagai Jenis Pemimpin

Orang yang memperoleh saksi (syaahid) dari sisi Allah merupakan orang-orang yang terbaik untuk diikuti. Mereka memahami kehendak Allah dengan pengajaran yang diturunkan Allah melalui saksi dari-Nya. Mereka tidak akan berbuat sewenang-wenang terhadap orang lain, tidak menginginkan keuntungan duniawi dari hubungan mereka dengan orang lain dan justru menginginkan memberikan manfaat bagi umat manusia, dan mereka berusaha (hanya) mengerjakan amal-amal yang ditentukan Allah bagi mereka. Mereka adalah para ulul amri yang sebenarnya, mengetatahui urusan Allah yang harus ditunaikan oleh umat manusia.

Sebenarnya para ulil amr mempunyai hak-hak terhadap umat manusia berupa ketaatan mereka dalam urusan yang mereka emban, akan tetapi boleh jadi mereka tidak menuntutnya terhadap umatnya. Bila terjadi hal demikian, umat manusia sebenarnya telah rugi karena mereka adalah jalan untuk mentaati Allah dan mentaati Rasulullah SAW. Ulil amr tidak ingin menimbulkan kerugian terhadap umat manusia melalui terjadinya ketidaktaatan manusia terhadap urusan Allah pada dirinya, akan tetapi kadangkala manusia menghalangi mereka untuk menunaikan amanahnya bagi umat manusia, dan umat manusia tidak memandang adanya kepentingan terhadap urusan Allah yang harus dilaksanakan. Kadangkala hal demikian bukan diakibatkan akhlak yang buruk tetapi karena akal umat tidak dapat mengenali kebenaran dari sisi Allah. Umat seharusnya tidak meragukan penjelasan Alquran dari para ulil amr, akan tetapi seringkali ada hijab yang menutup dan akal mereka tidak menembus hijab tersebut. Kesombongan merasa mulia atau berada di atas alhaq merupakan hijab paling kuat yang dapat menutup manusia untuk melihat kebenaran yang disampaikan bahkan menjadikan seseorang sebagai orang yang sangat berdosa.

Orang-orang yang berusaha untuk memahami ayat-ayat Allah dengan akhlak mulia juga termasuk sebagai orang-orang yang baik untuk diikuti, tidak termasuk sebagai pemimpin yang sewenang-wenang. Tingkatan orang demikian tidak sebaik orang yang memperoleh saksi dari sisi Allah yang membacakan Alquran bagi diri mereka, tetapi lebih baik daripada orang yang membentuk akhlak mulia. Sebagian manusia berusaha mengikuti tuntunan Allah akan tetapi tidak melakukan tazkiyatun-nafs untuk membentuk akhlak mulia. Sebagian dapat memahami tuntunan dengan baik karena berserah diri dengan sungguh-sungguh dan tidak sedikit pemahaman demikian itu menimbulkan perselisihan dengan orang lain karena mengikuti hawa nafsu. Hal demikian tidak menunjukkan pemahaman yang baik, tetapi dapat membentuk hawa nafsu untuk mentaati Allah. Sebagian orang jahat menggunakan tuntunan Allah untuk memperoleh keuntungan bagi diri mereka sendiri.

Tazkiyatun-nafs berguna untuk membentuk entitas-entitas dalam diri manusia dalam sebuah akhlak yang memahami cahaya Allah. Pembentukan akhlak tersebut serupa dengan pembinaan misykat cahaya layaknya kamera yang menghasilkan bentuk bayangan cahaya sesuai objeknya. Jasmani manusia harus membentuk layaknya badan kamera yang menutup seluruh cahaya yang datang kecuali melalui lubang kecil yang harus diarahkan ke objeknya. Nafs berfungsi sebagaimana lensa yang menjadikan cahaya yang datang dapat difokuskan membentuk bayangan. Akal merupakan bayangan objek yang terbentuk di dalam badan kamera. Ketajaman dan detail bayangan yang terbentuk merupakan indikator kekuatan akal manusia dalam memahami kehendak Allah. Akal tidak terbentuk bila seseorang tidak berusaha membina akhlak mulia dalam dirinya, berbeda dengan pikiran yang hampir selalu ada pada setiap manusia. Manakala bayangan pohon thayyibah telah sempurna, Allah barangkali berkenan untuk meniupkan ruh qudus yang menjadi saksi dari sisi-Nya yang membacakan kitabullah bagi diri manusia.

Kebanyakan manusia membina diri sepenuhnya dengan keinginan-keinginan duniawi saja baik berupa syahwat duniawi maupun penghormatan. Manakala keadaan masyarakat cukup mapan, keinginan duniawi itu tidak tampak terlalu buruk. Bila keadaan masyarakat buruk, kejahatan dari pemimpin-pemimpin yang berhasrat terhadap keinginan-keinginan duniawi akan tampak sangat buruk. Masyarakat lemah dimanfaatkan hanya untuk keuntungan para pemimpin dan orang-orang kuat yang menguasai masyarakat. Mereka adalah para pemimpin yang harus dihindari oleh masyarakat karena sewenang-wenang dan durhaka.


Kamis, 15 Februari 2024

Membina Keshidiqan

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Di antara tanda melangkahnya seseorang mengikuti langkah Rasulullah SAW adalah terbinanya sifat kejujuran (shidiq) di dalam dirinya. Sifat shidiq merupakan salah satu tanda tumbuhnya akhlak mulia di dalam diri seseorang, dan ketiadaan sifat tersebut menunjukkan keburukan akhlak. Setiap orang yang berkeinginan untuk mengikuti langkah Rasulullah SAW harus berusaha membina sifat jujur (shidiq). Pembinaan sifat demikian akan mengantarkan seseorang untuk mencapai al-jamaah, orang yang bersama dengan Rasulullah SAW sebagai golongan yang memperoleh nikmat Allah bersama orang-orang shalih, para syahid, orang-orang shiddiq dan para nabi.

﴾۹۶﴿وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولٰئِكَ رَفِيقًا
Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS An-Nisaa’ : 69)

Shidiq seringkali diartikan sebagai kejujuran, yaitu kesesuaian sesuatu dari diri seseorang dengan realitas yang benar. Keshidiqan sebenarnya mempunyai tingkatan yang sangat banyak, dari suatu realitas yang netral hingga suatu realitas yang mengandung nilai-nilai yang sangat tinggi. Seseorang yang bercerita tentang suatu kejadian dengan sebenarnya merupakan bentuk kejujuran, baik ada nilai yang diperjuangkan dari ceritanya ataupun hanya sekadar bercerita benar. Ada orang-orang yang menegakkan kejujuran dengan penuh susah payah karena adanya nilai-nilai yang harus diperjuangkan untuk kebaikan bersama di antara masyarakat, sedangkan ia harus menanggung kemungkinan merugikan dirinya sendiri. Hal demikian merupakan suatu keshidiqan, sifat yang harus terbina di dalam diri seseorang. Pada tingkatan tertinggi, ada orang-orang yang dapat menyaksikan kebenaran di alam yang sangat tinggi dan ia membenarkan berita kebenaran yang disampaikan kepada dirinya.

Shiddiqin pada ayat di atas adalah orang-orang yang benar-benar bersifat shidiq, menunjukkan kedudukan tertentu yang sangat mulia di sisi Rasulullah SAW. Shiddiqin menunjuk pada kedudukan tertentu dan kemuliaan akhlak tertentu, tidak hanya menunjukkan hanya adanya sifat shidiq pada diri seseorang. Kedudukan shiddiqin lebih tinggi daripada kedudukan para syuhada dan shalihin. Mereka mempunyai kemampuan untuk membenarkan semua keihsanan yang disampaikan, dan mengetahui keburukan yang disembunyikan dalam bungkus yang baik.

Keshidiqan terwujud karena akhlak yang mulia. Seseorang hanya dapat menyampaikan dan memperjuangkan kebenaran bila terbina akhlak mulia pada dirinya. Dengan akhlak mulia, akan tumbuh pengenalan seseorang terhadap kebenaran. Pengenalan kebenaran demikian ditunjukkan dengan kemampuan memilih berita dari sisi nilai dan manfaatnya. Banyaknya data dan informasi yang diperoleh bersifat membantu artikulasi kebenaran yang dapat diungkapkan. Tambahan dan berita bagi seorang shidiq tidak menentukan tingkat keshidiqannya karena suatu keshidiqan sebenarnya tumbuh seiring dengan tumbuhnya akhlak mulia.

Secara umum, menumbuhkan keshidiqan dalam diri dilakukan dengan melakukan perbuatan-perbuatan shidiq hingga ia memperoleh keshidiqan dalam urusan tersebut. Dalam beberapa segi, pengenalan terhadap kebenaran itu mungkin tumbuh di atas akhlak mulia tanpa stimulasi dari luar, akan tetapi hanya secara terbatas. Secara samar-samar seseorang berakhlak mulia mungkin mempunyai persepsi tertentu terhadap suatu masalah tanpa dapat menjelaskannya. Manakala ia mengetahui kabar dari suatu peristiwa yang terjadi, ia mendapatkan dalam hatinya penjelasan tentang peristiwa itu. Pengenalan kebenaran semacam itu bisa tumbuh secara mandiri dalam diri seseorang yang membina akhlak mulia. Seorang Abu Bakar r.a membenarkan mi’raj Rasulullah SAW karena pada dasarnya telah tumbuh pengenalan kebenaran dalam perkara itu dalam diri beliau r.a, sehingga beliau membenarkan Rasulullah SAW. Karena keadaan itu Abu Bakar r.a diberi gelar ash-shiddiq.

Ayat-ayat Allah akan meningkatkan kekuatan akal seorang hamba hingga ia dapat lebih mudah dalam memahami kebenaran. Akal merupakan salah satu tanda kemuliaan akhlak, sebagai tanda yang pokok dan paling utama. Keshidiqan seseorang akan tumbuh bersama dengan kekuatan akalnya manakala disertai dengan upaya untuk melaksanakan pemahaman yang diperolehnya. Ada orang-orang yang dapat mengenal kebenaran dengan akalnya akan tetapi tidak memperoleh jalan untuk mengupayakan dengan baik, maka tingkat keshidiqannya tidak sama dengan orang yang mampu mengupayakan pelaksanaan kebenaran yang dipahaminya. Bila seseorang tidak mempunyai keinginan beramal dengan benar sesuai dengan pemahamannya, maka pemahamannya itu tidak mempunyai manfaat bagi dirinya. Kadangkala seseorang memahami kemudian memanfaatkan pemahamannya untuk memperoleh keuntungan duniawi dari pemahamannya, bukan memberikan manfaat yang terbaiknya, maka mereka termasuk dalam golongan orang-orang munafiq.

Sangat banyak tingkatan keshidiqan yang harus dibangun seorang hamba Allah. Keshidiqan yang tertinggi adalah mengenal kebenaran dari sisi Allah. Kebenaran itu mempunyai nilai yang sangat tinggi bagi seluruh umat manusia, akan tetapi hanya orang-orang dari golongan tertentu yang dapat mengenalnya. Sangat banyak turunan kebenaran yang terwujud dari kebenaran di sisi Allah dan lebih banyak orang yang mengenalnya. Misalnya sekadar berkata benar merupakan keshidiqan di antara manusia yang merupakan ujung turunan keshidiqan, sedangkan kebenaran tertinggi diperkenalkan Rasulullah SAW dari sisi Allah kepada umatnya. Kebenaran dari sisi Allah itu merupakan kebenaran yang paling tinggi dan harus menjadi pokok bagi kebenaran turunannya.

Kadangkala suatu kebenaran turunan tidak lagi menjadi kebenaran bila tidak bersambung terhadap kebenaran Rasulullah SAW. Bila nilai yang diperjuangkan keliru, maka turunan kebenaran itu tidak lagi menjadi kebenaran. Contohnya kaum khawarij berjuang menegakkan sunnah, akan tetapi tidak sejalan dengan sunnah yang dimaksud Rasulullah SAW. Contoh lainnya, berkata benar atau jujur tidak lagi bernilai benar bila kemudian mencerai-beraikan seseorang dengan isterinya. Sebaliknya suatu perkataan salah atau bohong bisa bernilai kebenaran manakala digunakan untuk mendamaikan seseorang dengan saudaranya, atau mendamaikan seseorang dengan isterinya. Setiap kebenaran turunan yang dilakukan hendaknya bersambung pada kebenaran yang tertinggi, maka ia akan mempunyai nilai keshidiqan.

Tidak semua orang dapat menyambungkan amalnya dengan kebenaran yang tertinggi secara langsung. Keterbatasan demikian ini hendaknya tidak mencegah seseorang untuk beramal. Setiap orang hendaknya berusaha beramal dengan pengetahuan yang terbaik diri mereka, dan selalu berusaha mencari jalan washilahnya pada orang yang tersambung pada Rasulullah SAW, atau melalui wasilah yang terdekat bagi dirinya. Dengan cara demikian, mereka mengikuti suatu keshidiqan untuk membina keshidiqan diri. Upaya demikian akan mengarahkannya untuk menjadi bagian dari al-jamaah. Hal pokok yang harus dipegang dalam mencari washilah adalah bahwa orang yang menjadi washilah tidak menyimpang dari Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Manakala menemukan penyimpangan pada washilahnya, setiap orang harus kembali mengikuti Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, dan bila diperlukan ia bisa meninggalkan washilahnya tersebut.

Seseorang tidak akan dapat menumbuhkan keshidiqan bila mendustakan ayat-ayat Allah. Demikian pula akhlak mulia tidak dapat tumbuh bila mendustakan ayat-ayat Allah. Pendustaan terhadap ayat-ayat Allah dilakukan oleh orang-orang yang kafir, atau oleh orang-orang yang akalnya bengkok. Orang-orang yang beriman secara benar tidak akan pernah mendustakan ayat-ayat Allah, karena hal demikian merupakan suatu sikap kufur yang akan mendatangkan kecelakaan kepada dirinya. Sekalipun misalnya seseorang membina keshidiqan baru dengan cara mengikuti, hendaknya mereka tidak sekali-kali mendustakan ayat-ayat Allah mengikuti orang lain karena akan menyimpangkan langkah mereka.

Kedustaan (Kadzib)

Dengan pengenalan kebenaran, seseorang memperoleh pegangan tidak terombang-ambing oleh berbagai kebohongan yang terjadi, sehingga tidak terseret oleh berbagai tipuan yang dilakukan oleh makhluk. Sangat banyak kebohongan yang dapat dilakukan oleh para makhluk terhadap makhluk lainnya, dan hal itu semakin mudah dilakukan bila makhluk yang menjadi objek tidak mengenal kebenaran. Seseorang bisa memperoleh keuntungan duniawi dari orang lain dengan jalan membuat kebohongan, atau menguasai umat manusia dengan melakukan kebohongan-kebohongan terhadap umat manusia.

﴾۵۰۱﴿إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَأُولٰئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ
Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta. (QS An-Nahl : 105)

Sangat banyak tingkatan kebohongan dapat dilakukan manusia, baik kebohongan yang bersifat candaan ataupun kebohongan yang digunakan manusia untuk memperoleh keuntungan dari orang lainnya. Kebohongan pada tingkatan tertinggi adalah kebohongan yang dibuat oleh syaitan berupa perkataan bohong tentang Allah. Syaitan membuat suatu rumusan perkataan tentang Allah yang dibuat untuk diberikan kepada banyak kalangan manusia, baik bagi orang-orang yang musyrik, orang-orang kafir, ataupun orang-orang beriman. Perkataan syaitan tentang Allah bagi orang beriman bukanlah perkataan yang menjadikan manusia memandang buruk kepada Allah, tetapi perkataan yang menjadikan manusia kehilangan jalan untuk mengenal Allah. Perkataan itu tampak benar, atau tidak akan ditemukan kesalahannya, akan tetapi manusia tidak akan menemukan jalan untuk mengenal Allah bila mengikuti perkataan itu. Itu adalah perkataan bohong tentang Allah yang diberikan kepada orang beriman.

Banyak kebohongan dilakukan oleh manusia untuk memperoleh keuntungan dengan kebohongannya. Ada orang-orang yang berbohong untuk sekadar menutup rasa malu dirinya, atau untuk menyelamatkan diri dari penganiayaan, dan sangat banyak jenis kebohongan lain yang melatarbelakangi perbuatan seseorang. Ada orang-orang membuat laporan dengan cara tertentu untuk menampilkan prestasi dirinya dan menutupi kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukannya, bukan untuk melakukan analisa keadaan dengan benar, maka ia akan memperoleh keuntungan dengan laporannya itu. Dengan cara tertentu, hal demikian bisa menjadi contoh kebohongan yang tergolong disebutkan ayat di atas. Jenis-jenis kebohongan yang biasa diperbuat oleh orang-orang yang melakukan kebohongan tidak terbatas hal-hal demikian.

Orang-orang yang menyusun prinsip-prinsip kebenaran  hanya mengikuti hawa nafsu dan mengajak manusia mengikutinya merupakan jenis kebohongan yang paling berat bobot kebohongannya. Orang-orang yang melakukan hal demikian biasanya berkeinginan untuk dipandang sebagai pemuka atau tokoh yang harus diikuti oleh masyarakat. Mereka membuat-buat perkataan tanpa berpegang pada ayat-ayat Allah dan kemudian menghias-hias perkataan mereka dan menyiarkan perkataan mereka kepada masyarakat hingga berbantah-bantah untuk mencapai kemenangan. Perbantahan yang mereka lakukan seringkali dilakukan hingga menentang firman-firman Allah dalam kitabullah, dan mengatakan bahwa kandungan firman Allah yang mungkin disampaikan orang lain itu hanya kata-kata yang dibuat-buat. Itu merupakan kebohongan yang berat bobotnya.

Hampir selalu syaitan merasa sangat senang bila bisa membantu orang demikian untuk berbantah. Seandainya tidak dapat membelokkan pikiran lawan bicaranya, orang yang mendengar perbantahan mereka akan dibuat merasa takjub dengan kemampuan berbicara orang yang dibantu syaitan. Tidak jarang orang-orang pendusta merupakan bagian dari orang-orang yang menyembah syaitan, maka kebohongan mereka memperoleh kekuatan sihir yang menutup pandangan manusia dari kejahatan yang mereka lakukan.

Orang-orang beriman harus menyusun langkah kehidupan berdasarkan ayat-ayat Allah yang mampu dipahaminya, dan tidak menyusun prinsip kehidupan tanpa suatu keshidiqan, atau mencari kehidupan di atas kebohongan. Prinsip kehidupan yang salah tidak jarang menjadikan seseorang sebagai orang yang mendustakan kebenaran. Bagi orang beriman, batas kebohongan bagi mereka adalah (keinginan) menceritakan semua yang didengarnya, bukan hanya benar atau salah cerita yang dibuat. Bila seseorang menyusun suatu kedustaan, sebenarnya ia terjatuh pada kekufuran terhadap ayat Allah, baik ia menyadari atau tidak menyadarinya. Bila ia tidak menyadari, ia hendaknya bisa menyadarinya manakala orang lain memperingatkan tentang ayat-ayat yang ditentangnya agar ia selamat. Bila ia menentang orang yang memperingatkan dirinya dan menuduh balik bahwa lawannya mengada-ada, maka dirinya adalah pendusta. Masalah kedustaan di antara mereka hendaknya diukur berdasarkan ayat-ayat kitabullah, tidak mengikuti standar lain yang diinginkan hawa nafsu.

Orang-orang yang mengenal keshidiqan akan lebih tahan dan lebih mengenali kebohongan-kebohongan yang disampaikan kepada mereka, atau juga sihir-sihir yang mungkin menyertai dan menempel pada kebohongan-kebohongan itu. Orang-orang yang tidak membina sikap hanif, tidak mempunyai kecondongan untuk mengikuti yang benar, pragmatis dan tidak mempunyai tujuan kehidupan yang baik akan mudah tertipu dengan kebohongan yang dibuat-buat.

Menyampaikan suatu keshidiqan merupakan amal shalih yang dapat membantu kehidupan masyarakat untuk mencapai kemakmuran di bumi. Sebagian orang dapat mengenali bahwa alam dunia ini sebenarnya merupakan kerajaan Iblis, dan hanya sebagian manusia yang terbebas dari kebohongan yang mereka perbuat terhadap dunia. Dunia ini masih dikuasakan kepada Iblis kecuali terhadap orang-orang mukhlasin hingga hari agama ditegakkan, yaitu pada masa khalifatullah Al-Mahdi diutus. Dalam perebutan kekuasaan, mungkin saja ada pihak-pihak yang memperoleh fasilitas dari syaitan menggunakan kekuatan sihir untuk memperoleh kekuasaan karena syaitan berkepentingan pula terhadap berkuasanya sekelompok manusia atas yang lain. Orang yang terbebas dari kekuasaan Iblis akan mengenali bentuk-bentuk kebohongan syaitan, dan mengenali prinsip keshidiqan yang dilanggar. Kadangkala mereka diberi kemampuan untuk mengatasi kebohongan itu dengan cara menyampaikan kebenaran kepada orang lain. Hal demikian menjadi amal shalih bagi dirinya yang akan mengentaskan manusia yang mengikutinya untuk memakmurkan bumi.

Senin, 12 Februari 2024

Mensyukuri Karunia Bashirah

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Allah memberikan kelengkapan kepada manusia untuk dijadikan alat mengikuti langkah Rasulullah SAW kembali kepada Allah, di antaranya telinga untuk mendengar, mata untuk melihat dan qalb untuk memahami ayat-ayat Allah. Hal utama yang harus dilakukan setiap orang untuk mengikuti Rasulullah SAW adalah kemauan untuk mendengarkan, melihat dan menggunakan hati untuk memahami ayat-ayat Allah. Indera-indera tersebut tidak akan memberi manfaat untuk mengikuti Rasulullah SAW bila tidak digunakan untuk mencerap ayat-ayat Allah.

﴾۹۷۱﴿وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka) Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (ayat Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS Al-A’raaf : 179)

Ayat ini menjadi dasar dalam pembinaan akal manusia. Penekanan ayat tersebut terletak pada penggunaan indera dan qalb untuk mencerap ayat-ayat Allah. Sebagian orang melihat penekanan ayat tersebut pada terwujudnya indera bathin pada seseorang berupa pendengaran, penglihatan dan qalb. Sebenarnya tidak demikian. Penekanannya adalah pada penggunaan secara tepat indera-indera yang diberikan untuk memahami ayat-ayat Allah. Adanya indera bathiniah pada seseorang justru dapat menjadikan manusia dapat tersesat dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya bila tidak digunakan untuk memahami ayat-ayat Allah.

Ayat di atas secara tersirat merupakan tuntunan bagi setiap orang untuk beramal sesuai tuntunan Allah. Memahami pada ayat di atas disebut dengan istilah يَفْقَهُونَ yang  mempunyai makna memahami untuk melahirkan amal sesuai tuntunan. Setiap orang beriman hendaknya dapat mengenali keadaan diri mereka dan beramal sesuai dengan keadaan masing-masing. Manakala mereka baru dalam tahap mendengar, hendaknya mereka berbuat dengan mengikuti orang yang melihat. Manakala mencapai tahap melihat, hendaknya mereka selalu berusaha melihat masalah secara komprehensif mengikuti orang-orang yang telah memahami. Manakala seseorang telah memahami hendaknya mereka berbuat sesuai dengan pemahaman yang telah diperoleh, yaitu pemahaman berdasarkan kitabullah dan kauniyah, hingga terbuka keyakinan dan musyahadah bahwa tiada Ilah selain Allah dan bahwa Muhammad SAW adalah Rasulullah.

Indera tersebut menunjukkan tingkat perkembangan manusia dalam memahami ayat Allah. Terwujudnya indera tersebut pada seseorang mungkin terjadi tidak dalam urutan tertentu, akan tetapi menunjukkan tingkat perkembangan kualitas penggunaan indera. Tingkat paling dasar dari penggunaan indera batin adalah mendengar dengan telinga. Orang yang mendengar pada dasarnya dapat mencerap informasi yang disampaikan, akan tetapi belum menjumpai realitas kebenaran itu di sekitarnya. Contoh keadaan ini dapat dilihat pada seseorang yang diberi pelajaran awal tentang tauhid. Ia dapat mendengar penjelasan tentang tauhid dari orang yang mengajarkannya, akan tetapi belum menjumpai pengajaran yang diterimanya pada realitas kehidupannya sehari-hari. Mungkin saja fase mendengar ini terlewatkan bila ia telah mengamati dengan sungguh-sungguh sebelumnya sehingga bisa melihat realitas sesuai dengan keyakinan yang diajarkan.

Tingkat selanjutnya adalah melihat. Seseorang yang melihat dengan bashirah akan mengetahui ketentuan-ketentuan Allah yang terjadi dan ditetapkan bagi dirinya. Seseorang yang telah terbiasa untuk berserah diri untuk mengenali kehendak Allah akan mengalami hal-hal yang ditentukan Allah bagi dirinya, dan ia menjumpai ketentuan itu pada beberapa keadaan yang dialaminya. Hal demikian dapat dikatakan bahwa ia telah melihat dengan bashirah walaupun mungkin belum mengetahui bagaimana cara untuk mendekat ke shirat Al-mustaqim.

Manakala seseorang memperoleh kemampuan untuk memahami ayat kauniyah dan firman Allah dalam kitabullah, ia mungkin telah menggunakan qalb untuk memahami ayat-ayat Allah. Keadaan demikian akan memudahkan dirinya untuk melangkah mendekat ke shirat al-mustaqim dan mendatangkan manfaat yang besar bagi masyarakat. Seseorang yang qalbnya memahami akan memahami baik dan buruk yang mungkin akan ditimbulkan oleh suatu peristiwa, yang barangkali tampak hanya manisnya saja. Misalnya mereka akan mengetahui solusi yang lebih baik daripada hal-hal manis yang disampaikan oleh kaki tangan para pemodal yang mungkin hanya akan merugikan. Bidang-bidang yang memperoleh nilai manfaat tergantung dari jati diri orang yang memahami tersebut.

Di setiap bidang ada orang-orang yang berjuang dengan perkembangan masing-masing. Terdapat orang-orang yang berjuang pada bidang mereka dengan indera yang berkembang hingga akalnya dan ada pula orang yang sebenarnya tidak mempunyai pengetahuan. Misalnya di bidang tauhid, ada orang-orang yang mengenal Allah dengan makrifat pada qalb mereka, dan sebagian hanya mendengar saja tentang tauhid, dan ada sebagian lain yang tidak mau mengenalnya. Demikian pula banyak orang-orang di bidang-bidang lain yang bergerak hanya dengan apa yang mereka dengar saja tanpa melihat atau memahami.

Bagi orang-orang beriman, hendaknya mereka mengetahui keadaan perkembangan masing-masing dan beramal sesuai dengan keadaan mereka. Setiap orang hendaknya berusaha untuk meningkatkan perekembangan diri pada bidang mereka hingga menjadi orang-orang yang memahami. Manakala seseorang bisa memahami, maka mereka akan mengenali sahabatnya sebagai sebuah jamaah, tidak terkungkung dalam waham sendiri yang terbentuk karena pencerapan parsial dari indera-indera mereka. Manakala sendirian tanpa berusaha berjamaah, seseorang pada dasarnya hanya mencerap secara parsial dengan inderanya.

Melangkah dengan Perhatian

Perkembangan indera harus melalui jalan yang tepat, tidak boleh keliru. Parameter tepatnya seseorang dalam mengembangkan indera mereka adalah kemampuan mengintegrasikan pemahaman ayat kitabullah dan ayat kauniyah hingga perkembangan itu mengantarkannya mengenal Allah. Perkembangan parsial pemahaman terhadap ayat kauniyah saja tidak akan mengantarkan seseorang mengenal Allah, walaupun dapat mengantarkan seseorang untuk mudah memahami ayat kitabullah. Memahami kitabullah saja tanpa memahami kauniyah dapat menjadi tanda bahwa ilmunya sebenarnya tidak terhubung ke bumi. Manakala seseorang bisa mengintegrasikan pemahaman terhadap kitabullah dengan kauniyah, mereka akan memperoleh jalan untuk menuju Allah.

Pemahaman yang salah tidak akan mengantarkan manusia menuju Allah. Allah hanya akan memperkenalkan diri-Nya kepada seorang hamba di shirat al-mustaqim masing-masing. Allah hanya berada bagi hamba-Nya di atas shirat al-mustaqim. Banyak jalan mendaki ke langit dapat ditemukan oleh manusia, akan tetapi hanya shirat al-mustaqim yang mengantarkan manusia menuju Allah. Orang yang berkeinginan untuk mencari Allah dipersyaratkan secara mutlak untuk menemukan shirat al-mustaqim, atau mereka hanya akan bertemu Allah pada masa timbangan kebenaran di akhirat. Pemahaman yang salah pada seorang hamba yang mencari Allah tanpa memperhatikan shirat al-mustaqim bisa menjadikan mereka menemukan taghut.

﴾۷۵۲﴿اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُم مِّنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Allah adalah wali bagi orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindung mereka ialah taghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS Al-Baqarah : 257)

Taghut adalah berhala-berhala yang mungkin ditemukan dan disembah oleh orang-orang beriman. Berhala-berhala penyembahan sangat banyak ditemukan di antara manusia, baik di antara orang-orang syirik, kafir maupun-hingga di antara orang-orang beriman. Ada penyembahan terhadap syaitan melalui patung-patung untuk media persekutuan seseorang terhadap syaitan. Banyak tuhan-tuhan berupa syahwat dan hawa nafsu yang dipertuhankan oleh manusia yang hidup tanpa suatu tujuan mulia. Ada pula ditemukan berhala-berhala penyembahan di antara orang-orang beriman berupa taghut, yaitu pada orang-orang beriman yang membangun pemahaman yang salah terhadap kehendak Allah tanpa berpegang pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Orang yang benar-benar ingin beribadah kepada Allah hanya mencari jalan ibadah mereka melalui tuntunan Allah berupa kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW dan kauniyah yang digelar Allah bagi mereka.

Setiap berhala akan mengantarkan manusia menuju neraka, termasuk orang-orang yang mencari Allah tetapi menemukan taghut dan mengikutinya dengan ketaatan. Taghut akan mengeluarkan orang-orang beriman dari cahaya terang keimanan menuju kekafiran. Taghut bukanlah berhala orang-orang kafir yang menuntun dari satu kegelapan kepada kegelapan yang lain, tetapi menuntun manusia dari cahaya keimanan kepada kegelapan hingga seorang beriman kemudian menjadi kafir. Balasan bagi orang yang mengikuti taghut adalah neraka, sekalipun mereka menyangka bahwa mereka bersembah sepenuhnya kepada Allah.

Setiap orang harus mempunyai bukti yang jelas dari kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW tentang pengenalan mereka terhadap Allah, atau ia sebenarnya hanya menemukan suatu taghut dari kalangan syaitan yang menyamar sebagai tuhan manusia. Syaitan mempunyai cara yang licik dan lihai dalam menyesatkan dan menyengsarakan manusia. Mereka seringkali hanya memberikan selipan-selipan terhadap kebenaran yang kadangkala terlihat kecil tetapi sebenarnya dampaknya sangat besar. Selipan syaitan itu sifatnya berbeda dengan kesalahan manusiawi. Kesalahan manusia berdampak kecil sedangkan tipuan syaitan mempunyai dampak yang sangat merusak terhadap umat manusia. Bila manusia memandang suatu taghut dari kalangan syaitan sebagai tuhan, maka dampak kerusakan yang ditimbulkannya sangat besar terhadap umat manusia.

Pengenalan seorang hamba terhadap Allah dimulai dari pemahaman terhadap ayat Allah. Proses pemahaman itu harus ditempuh oleh setiap manusia secara bertahap dan dikontrol kebenarannya dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Bilamana perkembangannya melompat, hendaknya ia memperkokoh pijakan tahapan sebelumnya. Setiap orang harus berusaha mendengarkan seruan kebenaran. Bila seseorang tidak mau mendengar seruan kebenaran, ia tidak akan berkembang menjadi orang yang melihat. Bila ia telah mendengar, hendaknya ia berusaha melihat. Bila tidak berusaha melihat kauniyah berdasarkan kitabullah, ia tidak akan bisa memahami. Sebaliknya apabila ia melihat tanpa mendengarkan sebelumnya, hendaknya ia mencari pengetahuan tahap mendengar dengan mendengarkan perkataan orang-orang yang melihat. Demikian seterusnya setiap orang hendaknya menempuh perkembangan secara bertahap dan benar. Bila seseorang mengabaikan salah satu langkah dan melompat pada suatu tahapan perkembangan tanpa landasan yang baik, perkembangan itu bisa bersifat lemah. Bahaya besar yang dapat ditemukan di antaranya adalah munculnya taghut terhadap akal yang lemah.

Kesalahan demikian tidak sedikit ditemukan di antara masyarakat. Kasus paling banyak adalah umat mengikuti orang lain tanpa berpegang pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW serta tidak memperhatikan alam kauniyah mereka dengan sungguh-sungguh. Mereka hanya mengikuti iktikad mereka sendiri yang mereka pandang baik. Bila mereka menemukan taghut dan mengikutinya, mereka akan menjadi ahli bid’ah. Mereka tidak akan menyadari porak-porandanya urusan Rasulullah SAW di antara mereka, dan berantakannya akal mereka dalam memahami kehendak Allah. Mereka mengikuti sebagian dari tuntunan Allah, dan membantah sebagian lain dari tuntunan Allah, karena hanya mengikuti secara fanatik tanpa berusaha menggunakan akalnya. Karena itu langkah mereka menuju Allah akan berbahaya. Bantahan terhadap ayat Allah akan mendatangkan bahaya yang sangat besar bagi mereka, karena itu merupakan bentuk kekufuran. Orang yang belum memahami suatu ayat tidak dikatakan kafir, akan tetapi orang yang membantah ayat Allah akan terjatuh pada sikap kafir.

Taghut akan memperoleh tempat yang leluasa diantara orang-orang yang tidak menggunakan akal, atau tidak menumbuhkan akal mereka dengan indera-indera mereka secara bertahap dan kokoh. Kadangkala seseorang merasa telah menjadi orang beriman yang sungguh-sungguh tanpa mengetahui tahap perkembangan diri sendiri, maka kemudian ia melakukan suatu kesalahan yang merusak. Bila seseorang beramal berdasar pendengaran saja, ia harus menyadari bahwa perkembangan dirinya adalah mendengar, belum berada pada tahap melihat ayat-ayat Allah. Misalnya ia beramal berdasar keadaan telah melihat, ia harus menyadari bahwa mungkin ia belum memahami. Manakala ia memahami, ia harus mengetahui dasar amalnya di dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW dan tidak memegang erat pemahaman-pemahaman liar yang tidak jelas kedudukannya dalam tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Pemahaman liar itu boleh dilepaskan atau ia boleh memegangnya selama tidak mendatangkan bahaya. Pada seluruh dan setiap tahap perkembangan, setiap orang harus berpegang pada tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Bila setiap orang menggunakan akalnya dengan benar secara bertahap, maka taghut akan sulit mendapatkan tempat di antara orang beriman.

Leluasanya taghut beroperasi di kalangan orang beriman akan mendatangkan kekacauan di antara umat manusia. Syaitan akan leluasa menebarkan fitnah-fitnah mereka di antara manusia, termasuk di antara orang-orang beriman. Segala sesuatu yang buruk dengan mudah dijadikan indah dalam pandangan manusia, hingga umat manusia tidak dapat membedakan kebenaran dan keburukan. Setiap orang berselisih dengan orang lain dan masing-masing merasa diri mereka benar, tidak bisa melihat kebenaran yang selayaknya. Lebih buruk lagi, mungkin saja umat manusia memandang orang-orang yang terburuk di antara mereka sebagai orang yang sebaik-baiknya, dan memandang orang terbaik sebagai orang yang buruk. Fitnah akan menjalar dengan leluasa di antara manusia.

Senin, 05 Februari 2024

Mengikuti Sunnah Dengan Akal

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Orang-orang yang mengikuti dan bersama-sama dengan Rasulullah SAW akan menyeru umat manusia untuk kembali kepada Allah. Makhluk Allah yang benar-benar telah sampai kepada Allah adalah Rasulullah SAW, sedangkan makhluk lain yang mengikuti melihat jejak-jejak kebenaran melalui langkah Rasulullah SAW yang dapat mereka lihat dengan bashirah. Rasulullah SAW menyeru untuk kembali kepada Allah, dan pengikutnya secara umum menyeru orang lain untuk mendekati apa-apa yang diturunkan Allah dan mendekat kepada Rasulullah SAW. Mereka mengetahui bahwa kebaikan berasal dari Allah melalui Rasulullah SAW maka mereka menyeru umat manusia untuk mendekat kepada apa-apa yang diturunkan Allah dan mendekat kepada Rasulullah SAW. Hal demikian dapat dianggap sama yaitu menyeru untuk kembali kepada Allah, sesuai dengan keadaan masing-masing.

﴾۸۰۱﴿قُلْ هٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah: "Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan bashirah, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (QS Yusuf : 108)

Bashirah dalam ayat ini menunjuk pada penglihatan terhadap kebenaran jalan Allah. Ibaratnya manakala seseorang di pulau Jawa diperintahkan untuk melakukan tugas di Papua, ia tidak menolak tugas itu dengan alasan tidak mempunyai kemampuan berenang ke Papua. Ia mengetahui bahwa ada kendaraan yang bisa mengantarkan dirinya hingga ke tempat tugasnya, dan ia mampu menempuh perjalanan itu hingga tiba di tujuannya. Bilamana ia menggunakan jalur udara yang harus transit di Makassar, ia tidak menyelesaikan perjalanannya di Makassar tetapi tetap melanjutkan hingga ke Papua. Demikian gambaran orang-orang yang mengikuti Rasulullah SAW menyeru manusia kembali kepada Allah, ia mengetahui tujuan yang harus dicapai dan mempunyai gambaran untuk menempuh perjalanannya, walaupun mungkin ia belum sampai pada tujuannya.

Ada kelompok manusia mengatakan dengan kebanggaan bahwa mereka mengikuti Rasulullah SAW kembali kepada Allah, akan tetapi sebenarnya tidak mengetahui apa yang dikatakannya. Dengan kebanggaan itu mereka justru menyakiti kaum muslimin lain yang mengikuti Rasulullah SAW. Mereka tidak mempunyai gambaran tentang tujuan sunnah Rasulullah SAW menuju Allah, dan sunnah para shahabat beliau dalam mengikuti Rasulullah SAW. Mereka hanya mempunyai gambaran tentang kendaraan yang digunakan dan membanggakan kendaraan yang mereka ketahui tanpa mengerti perjalanan yang harus ditempuh, dan tidak mengetahui jalan-jalan yang harus ditempuh. Mereka adalah kaum khawarij yang membanggakan tata cara syariat mereka sedangkan mereka terlempar jauh dari kebenaran Islam. Mereka bangga dengan tata cara syariat mereka dan membanggakannya, dan menganggap syariat orang lain tidak benar hingga perlu dicegah karena dianggap kesesatan.

Kebanggaan demikian menimbulkan fitnah bagi agama, baik di antara kaum muslimin maupun ahlul kitab. Allah tidak membutuhkan syariat yang dilakukan manusia, karena sebenarnya manusia lah yang membutuhkan syariat agar memperoleh rahmat Allah. Hanya manakala manusia merasa membutuhkan syariat, maka syariat itu akan memberikan manfaat kepada diri mereka. Manakala seseorang merasa berat dalam melaksanakan syariat, ia akan terjaga oleh syariatnya dalam pagar-pagar yang tidak mencelakakan dirinya. Manakala suatu kaum membanggakan syariat yang dilakukannya, ia tidak memperoleh manfaat dari syariat itu, dan mungkin ia akan celaka dengan kebanggaan dirinya terhadap syariat itu. Sikap keliru berupa kebanggaan terhadap syariat itu akan menimbulkan fitnah bagi agama. Barangkali mereka merasa telah berjasa kepada Allah dengan berjuang untuk kebanggaan syariatnya, akan tetapi mereka tidak menyadari bahwa sebenarnya Allah tidak membutuhkan pelaksanaan syariat dari mereka.

Fitnah agama karena kebanggaan demikian berupa memburamnya pandangan manusia terhadap tujuan dari syariat yang dilakukan, dan secara umum berupa kaburnya pengertian Ad-diin dalam pandangan manusia. Umat manusia akan memandang agama sebagaimana apa yang mereka perjuangkan, padahal mereka melesat jauh dari kehendak Allah. Hal demikian itu merupakan fitnah yang menjadikan manusia tidak mengenal kehendak Allah dengan tepat, dan agama kemudian menjadi musuh bagi banyak orang-orang yang terhasut oleh syaitan. Fitnah itu dibuat oleh syaitan, dan orang-orang yang memusuhi agama juga terhasut syaitan.

Masalah syariat harus dipandang dalam kedudukannya secara tepat sesuai agama, agar fitnah terhadap agama karena kaum khawarij dapat diluruskan. Syariat adalah kendaraan bagi umat manusia untuk mengikuti langkah Rasulullah SAW mencapai tujuan kembali kepada Allah. Tujuan itu adalah tujuan yang sangat tinggi, tidak dapat dijangkau oleh manusia dengan kekuatannya sendiri tanpa sarana yang disediakan Allah. Di antara sarana yang diberikan kepada manusia adalah syariat, dan syariat tidak perlu dijadikan bahan berbangga-bangga di antara umat manusia. Jauh lebih penting membina manusia untuk menyadari manfaat dari sarana yang disediakan Allah sehingga dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Tidak ada manfaat dari membanggakan syariat di antara manusia dan justru menimbulkan fitnah. Setelah menyadari arti sarana berupa syariat, hendaknya manusia melangkah mengikuti langkah Rasulullah SAW kembali kepada Allah.

Melangkah mengikuti Rasulullah SAW harus dimulai dari langkah yang dekat. Setiap orang harus dapat melihat sesuatu yang dekat dengan dirinya sebagai sarana untuk mencapai tujuan bersama Rasulullah SAW. Mengikuti Rasulullah SAW utamanya adalah menentukan langkah untuk menuju tujuan yang sama, bukan hanya mengikuti model tatacara Rasulullah SAW. Manakala Rasulullah SAW telah mencontohkan langkahnya, maka langkah Rasulullah SAW merupakan tauladan yang terbaik, dan semua langkah yang lebih dekat dengan tauladan Rasulullah SAW merupakan langkah yang lebih baik. Tetapi seringkali sesuatu yang dekat dengan diri seseorang bukan keadaan yang dapat dimodelkan kasusnya secara sederhana sesuai kasus pada jaman Rasulullah SAW. Walaupun berbeda kasus, setiap orang harus berpikir bahwa sebenarnya selalu ada tujuan yang sama dengan tujuan langkah Rasulullah SAW pada setiap kasus,

Sistem pemilu demokrasi bisa menjadi contoh amal yang tidak ditemukan pada masa Rasulullah SAW. Di sisi lain masalah tatanan umat manusia merupakan bagian dari suatu tujuan dalam mengikuti Rasulullah SAW. Dalam kondisi demikian, setiap orang harus berusaha untuk mengikuti tujuan bersama Rasulullah SAW sesuai dengan batas kemampuannya, yaitu memberikan sumbangan untuk terbentuknya tatanan masyarakat yang terbaik. Ada orang-orang yang mengharamkan kesertaan dalam demokrasi karena tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW, tanpa disertai langkah alternatif sedikitpun untuk membentuk tatanan masyarakat yang baik. Perbuatan demikian menunjukkan ketidakpahaman terhadap tujuan mengikuti Rasulullah SAW, terjebak hanya meniru perbuatan beliau SAW tanpa memahami tujuan langkah beliau SAW. Ibaratnya ia melarang seseorang yang harus pergi keluar pulau karena tidak ada kapal dari rumahnya, padahal setiap orang harus pergi ke pelabuhan terlebih dahulu untuk mendapatkan kapal. Larangan demikian merupakan amal yang tidak masuk akal.

Setiap orang harus berusaha untuk menempuh langkah mengikuti Rasulullah SAW melalui hal yang dekat untuk mencapai tujuan-tujuan yang bisa diketahui pada jalan kembali kepada Allah. Kadangkala langkah mengikuti sunnah tidak sama dengan meniru amal Rasulullah SAW karena keadaan yang berbeda, tetapi langkah harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang sama dengan tujuan Rasulullah SAW. Misalnya seandainya seseorang memandang sistem demokrasi ibarat mobil tua reyot yang terperosok, ia tidak boleh berangan-angan naik pesawat terbang dari tempat itu sedangkan tidak ada pelabuhan udara dari tempat itu. Ia mesti memperbaiki mobil itu agar bisa sampai ke pelabuhan udara, kemudian melanjutkan perjalanannya dengan kendaraan yang sesuai. Itu merupakan contoh bahwa setiap orang harus berusaha mengetahui tujuan sunnah Rasulullah SAW dengan sebaik-baiknya dan mengikuti langkah Rasulullah SAW melalui hal yang dekat dengan dirinya.

Akal untuk Mengikuti Sunnah

Setiap langkah yang ditempuh seseorang hendaknya terlahir dalam batas pemahaman. Banyak orang mengetahui keadaan sesuatu, tetapi tidak memahaminya. Setiap orang hendaknya bertindak sesuai batas pemahamannya saja. Untuk bertindak lebih, ia harus meningkatkan pemahaman terlebih dahulu sehingga tindakannya tidak mendatangkan madlarat. Setiap orang pada dasarnya harus selalu berusaha menambah pemahaman terhadap kauniyah diri mereka baik ada tuntutan untuk bertindak ataupun tidak, karena pemahaman itu akan menampakkan ayat-ayat Allah bagi dirinya. Dalam keadaan tertentu, pemahaman itu akan dituntut untuk beramal, maka ia harus beramal sesuai dengan pemahaman dirinya.

Seorang syaikh mungkin saja melarang para murid untuk bertindak dalam suatu masalah, bukan karena para murid tidak boleh bertindak akan tetapi karena belum adanya pemahaman para murid terhadap masalahnya. Kadangkala syaikh melarang karena objek misykat yang harus dibentuk murid bukan pada masalah itu. Bila seorang murid mulai memahami suatu masalah, maka murid itu akan didorong untuk beramal karena amal demikian itu akan mengantarkannya melangkah mendekat kepada Allah. Pemahaman dalam hal ini adalah pemahaman terhadap ayat Allah, bukan hanya pemahaman dalam ukuran manusia atau pemahaman mengikuti syaitan. Ukuran kepahaman seseorang terhadap ayat Allah dinilai dari pemahaman dalam mengarahkan langkah kembali kepada Allah mengikuti Rasulullah SAW baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk jamaah umat.

Bila suatu pemahaman tidak menunjukkan arah dalam melangkah mengikuti Rasulullah SAW, maka dalam kacamata sang syaikh ia tidak dalam kategori faham. Kefahaman dalam mengikuti Rasulullah SAW bisa berupa sedikit faham atau memahami banyak. Seseorang yang memahami salah satu langkah di antara keseluruhan fase dalam rangka mengikuti Rasulullah SAW dapat dikatakan telah memperoleh kefahaman, maka mungkin seorang syaikh akan mendorongnya untuk beramal sesuai kefahamannya. Bila ia beramal, maka dapat diharapkan ia memperoleh lebih banyak lagi kefahaman terhadap langkah mengikuti nabi. Ketika beramal, hendaknya setiap orang tetap berpegang pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.

Hal utama yang harus dilakukan setiap orang untuk memahami adalah kemauan untuk mendengarkan, melihat dan menggunakan akal untuk memahami ayat-ayat Allah. Manusia bisa mengindera alam fisik dengan indera fisiknya, dan mengindera alam bathin dengan indera bathiniahnya. Indera-indera tersebut tidak akan memberi manfaat untuk memahami bila tidak digunakan untuk mencerap ayat-ayat Allah.

﴾۹۷۱﴿وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka) Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS Al-A’raaf : 179)

Setiap syaikh akan mengajarkan ayat ini kepada para murid, karena ayat ini menjadi dasar dalam pembinaan pemahaman murid. Penekanan ayat tersebut terletak pada penggunaan indera dan qalb untuk mencerap ayat-ayat Allah sesuai fungsinya. Sebagian orang melihat penekanan ayat tersebut pada terwujudnya indera bathin pada seseorang berupa pendengaran, penglihatan dan qalb. Sebenarnya tidak demikian. Penekanannya adalah pada penggunaan secara tepat indera-indera yang diberikan untuk memahami ayat-ayat Allah. Adanya indera bathiniah pada seseorang justru dapat menjadikan manusia dapat tersesat dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya bila tidak digunakan untuk memahami ayat-ayat Allah.

Perlu sifat berani untuk menggunakan akal, berupa keberanian untuk melihat keadaan diri secara jujur dan kemudian memilih kebenaran. Keadaan diri tersebut kadang berupa keadaan kelompok, tidak hanya keadaan diri sendiri saja. Banyak orang-orang yang cukup rendah hati mampu melihat keadaan diri sendiri dengan jujur, akan tetapi tidak mempunyai keberanian untuk melangkah mengikuti kebenaran karena hidup dalam masyarakat yang mungkin berpandangan tidak sama. Tanpa suatu keberanian seseorang tidak mampu menggunakan akalnya, tidak mampu berpegang pada kebenaran.

Yang dikatakan kebenaran adalah kebenaran yang tertuntun oleh kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, baik yang terhubung secara langsung ataupun berupa bentuk-bentuk turunan yang terhubung dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta pada hakikatnya (nilai kebenarannya) terhubung kepada kitabullah. Hal ini mungkin tidak terlihat oleh kebanyakan manusia, tetapi dipahami oleh sebagian. Manakala seseorang melihat hubungan kauniyah yang terjadi dengan suatu ayat kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, ia mungkin memahami ayat Allah. Orang yang tidak mau berusaha memahami dan kemudian mengikuti kebenaran hakikat demikian dan lebih memilih mengikuti waham di antara masyarakat mereka tidak dapat dikatakan sebagai orang yang menggunakan akal. Demikian itu mendekati sifat orang yang lebih mengikuti syahwat dan hawa nafsu terhadap harta dan kedudukan layaknya ternak, hingga tidak dapat dikatakan sebagai orang yang menggunakan akal.

Orang yang menggunakan akal harus mempunyai keberanian untuk berpegang pada kebenaran, walaupun harus sendirian di antara orang lain. Hal ini tidak boleh dimaknai boleh bersikap keras kepala. Setiap orang harus bersikap rendah hati untuk bisa melihat kebenaran dari orang lain, tetapi sekaligus juga mempunyai keberanian untuk berpegang pada kebenaran yang dipahaminya. Kadangkala keberanian itu harus tetap dipegang hingga ketika benar-benar sendirian, misalnya dipandang tertipu oleh pasangan sendiri disertai tuntutan kebutuhan yang tidak bisa diperoleh melalui pelaksanaan jalan kebenaran. Dalam keadaan demikian, seseorang harus tetap mempunyai keberanian untuk menggunakan akalnya, bersama dengan usaha memenuhi kebutuhan dengan jalan duniawi bagi keluarganya, tidak boleh mundur sepenuhnya untuk mengikuti tuntutan yang tidak sejalan dengan kebenaran yang dipahaminya.

Menegakkan kebenaran dan pemakmuran bumi dapat dilakukan dengan benar oleh orang-orang yang mempunyai keberanian menggunakan akalnya. Dalam hal ini, peran isteri sangat besar. Seseorang yang menggunakan akalnya tidak mampu melakukan pemakmuran atau menegakkan kebenaran tanpa disertai oleh isterinya. Setiap mukminat harus dibina untuk dapat menyertai suaminya secara tenang dan menjaga diri. Hal demikian akan menumbuhkan kesuburan para mukminat. Bila para mukminat diajari untuk lebih banyak menuntut dan kurang terampil dalam memahami keberpasangan dengan suaminya, bumi akan menjadi gersang tanpa hasil yang memadai. Kadangkala seorang mukminat tidak dapat menyertai suaminya bukan karena berbuat salah, akan tetapi karena ada kesalahan masyarakat dalam membina mukminat. Hal ini akan meruntuhkan pemakmuran. Kadang dijumpai pasangan mukmin-mukminat mengetahui besarnya pengorbanan pasangannya bagi dirinya dan berterima kasih, akan tetapi tidak merasa bahwa itu usaha pengorbanan yang tepat. Hal ini menunjukkan kegagalan pembinaan yang tersembunyi. Barangkali orang lain memandang pernikahan mereka baik, akan tetapi sebenarnya tidak terbangun orientasi kehidupan bersama di antara mereka dalam pernikahannya. Hal ini tidak boleh dipandang ringan. Bukan tidak mungkin akar masalah kegagalan tersembunyi demikian sangat fundamental, bukan hanya suatu kesalahan ringan di tingkatan praktis. Setiap mukminat harus dibina sesuai dengan tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak mengikuti hawa nafsu yang seringkali memandang baik sesuatu yang buruk.