Pencarian

Senin, 27 September 2021

Kesempurnaan Nikmat Allah

Manusia diciptakan di muka bumi sebagai makhluk yang paling sempurna di antara seluruh makhluk Allah, melampaui kedudukan para malaikat mulia yang diciptakan dari cahaya. Allah berkenan memberikan kesempurnaan nikmat-Nya kepada makhluk berwujud manusia.

Untuk memperoleh kesempurnaan nikmat Allah, manusia diperintahkan untuk menghadapkan wajah menuju masjid al-haram. Orang-orang beriman yang telah mengusahakan sesuatu diperintahkan untuk menghadapkan wajah kepada Allah. Demikian pula yang lain, apapun keadaan diri orang-orang beriman, mereka diperintahkan untuk menghadapkan wajah menuju masjid al-haram. Dengan menghadapkan wajah menuju masjid al-haram, maka seseorang yang beriman dapat memperoleh limpahan kesempurnaan nikmat Allah, dan mereka dapat memperoleh petunjuk yang benar.

﴾۰۵۱﴿وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). Dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk. (QS Al-Baqarah : 150)

Masjid al-haram dijadikan qiblat akhir kehidupan umat manusia. Umat islam pernah diberi qiblat sementara ke masjid al-aqsha. Masjid al-haram merupakan representasi bentuk ubudiyah yang ideal bagi umat manusia, sebuah monumen bayt yang diijinkan Allah untuk disebut dan ditinggikan asma-Nya di dalamnya, dibangun oleh uswatun hasanah Ibrahim a.s yang menjadi tauladan bagi manusia. Perintah menghadapkan wajah menuju masjid al-haram adalah perintah kepada setiap orang beriman untuk mengarahkan kehidupan diri untuk membentuk bayt yang diijinkan Allah untuk disebut dan ditinggikan asma-Nya di dalamnya, mengikuti langkah perjalanan uswatun hasanah Ibrahim a.s dalam mendzikirkan asma Allah dan meninggikan asma-Nya melalui keluarga sakinah, yaitu Ibrahim a.s dan para ahlul bayt yang berjihad dalam perjuangan bersama beliau a.s.

Keluarga sakinah sebagai bayt tersebut merupakan wujud turunan dari seorang insan kamil yang harus terbentuk dalam struktur sosial. Bayt demikian merupakan lanjutan perjalanan seseorang manusia setelah sampai ke tanah haram. Seorang insan tidak mempunyai kepentingan untuk menjadi kamil kecuali untuk mendzikirkan asma Allah dan meninggikan asma-Nya, dan hal itu hanya dapat terbentuk melalui keluarga sakinah. Keluarga sakinah itu merupakan wujud nikmat Allah paling sempurna yang dilimpahkan Allah bagi seorang manusia, nikmat paling sempurna di antara seluruh makhluk.

Tidak akan terbina sebuah bayt tanpa seorang insan kamil. Keluarga sakinah adalah keluarga yang mengerti perintah dan urusan Allah bagi mereka. Perintah Allah dapat dimengerti oleh pemimpin keluarga yaitu suami yang mengerti perintah dan urusan Allah bagi dirinya. Seorang suami harus berusaha membentuk keluarganya untuk bersama-sama menjalankan perintah Allah bagi mereka. Bilamana keluarga dapat mengikuti seruan suaminya, akan terbentuk sebuah bayt untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah di dalamnya.

Bayt demikian merupakan pijakan yang kokoh bagi ubudiyah seseorang, baik ubudiyah dalam hubungan transenden maupun ubudiyah kepada Allah dalam manifestasi hubungan horizontal dengan sesama makhluk. Bayt merupakan pondasi yang harus dibentuk untuk mewujudkan ibadah sosial. Tanpa manifestasi wujud ibadah dalam hubungan sosial, seorang hamba tidak akan dipandang baik oleh masyarakat. Umat manusia, dari orang-orang shalih hingga orang-orang dzalim akan berkeinginan untuk menyampaikan suatu hujjah terhadap hamba yang tidak berusaha memanifestasikan ibadahnya dalam wujud sosial melalui bayt yang baik. Bila seorang hamba telah membentuk bayt untuk memanifestasikan ibadah sosialnya, maka Allah mengangkat hujjah itu baginya, dan orang-orang shalih pun demikian. Hanya orang-orang dzalim yang akan menimpakan hujjah bagi orang-orang yang menghadapkan wajahnya kepada bentuk ibadah yang sebaik-baiknya.

Setiap kegagalan orang beriman dalam membentuk bayt sesuai tuntunan agama akan memunculkan fenomena sosial, baik kegagalan karena ketidakpedulian seseorang terhadap dirinya dan rumah tangganya, ataupun kegagalan yang ditimbulkan karena pihak lain di luar rumah tangga. Produktivitas masyarakat akan dipengaruhi kualitas rumah tangga terutama rumah tangga orang-orang beriman, dan fitnah dapat muncul dari kegagalan terbentuknya rumah tangga yang baik. Cara pandang masyarakat terhadap fenomena sosial di sekitarnya akan terkacaukan karena fitnah itu, sehingga tidak ditemukan jalan keluar yang tepat bagi masalah sosial yang terjadi. Syaitan menggunakan cara memisahkan seorang laki-laki dari isterinya untuk menimbulkan fitnah yang terbesar bagi umat manusia.

Produktivitas seseorang yang beriman akan sangat dipengaruhi rumah tangganya, sebagaimana pohon yang dipengaruhi ladangnya. Sebuah pohon tidak akan produktif bila tidak ditanam dengan baik pada ladangnya. Seorang laki-laki beriman yang kurang memperhatikan kerusakan rumah tangganya akan memunculkan fenomena pengabaian terhadap sekitarnya dalam mewujudkan amal. Ia melaksanakan amal dengan ceroboh tanpa kecermatan dalam aspek-aspek yang harus diperhatikan. Demikian pula laki-laki beriman yang gagal mengatasi masalah rumah tangganya akan mengalami hal demikian. Mempekerjakan orang demikian akan mengurangi produktivitas perusahaan bila tidak diantisipasi dengan baik. Bila orang tersebut menyadari kendala dirinya, ia akan membatasi tanggung jawab yang harus diembannya sehingga tidak menurunkan kinerja perusahaan secara signifikan.

Penting bagi para pemimpin untuk meningkatkan kualitas keluarga warganya. Keadaan masyarakat tidak akan baik bila keadaan keluarga warganya tidak baik. Para pemimpin keluarga harus diberi wawasan dalam membina keluarga, dan interaksi antar warga diatur agar tidak membuka celah bagi syaitan untuk merusak rumah tangga. Semua upaya memajukan masyarakat akan berantakan bila perbuatan-perbuatan keji dan penyelewengan dibiarkan tumbuh di antara warga masyarakat, dan syaitan akan leluasa merusak seluruh warga dengan jalan itu.

Mengikuti Risalah

Seorang laki-laki yang benar dalam mengenal perintah dan urusan Allah akan mengenali perintah bagi dirinya itu dalam wujud bagian dari urusan rasulullah SAW. Setiap orang harus berhati-hati dalam usahanya mengenali urusan dan perintah Allah bagi dirinya. Tidak ada perintah dan urusan Allah yang terpisah dari urusan rasulullah SAW. Bila seseorang tidak menemukan perintah itu dalam urusan rasulullah SAW, ia harus berusaha benar-benar untuk mengenali urusan rasulullah SAW untuk ruang dan waktu dirinya, kemudian mencari hubungan perintah bagi dirinya dengan urusan rasulullah SAW. Kadang seseorang harus memanifestasikan urusan rasulullah SAW secara langsung, atau kadang harus memanifestasikan cabang yang tumbuh dari urusan beliau SAW. Bilaman tidak dapat menemukan, boleh jadi ia harus melupakan perintah kepada dirinya untuk mencari perintah Allah yang sebenarnya.

﴾۱۵۱﴿كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui (QS Al-Baqarah : 151)

Membangun bayt untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah, dan menemukan urusan rasulullah SAW dalam ruang dan waktu dirinya, adalah dua hal yang harus berjalan bersama. Kedua hal itu merupakan kesetaraan, ditunjukkan dengan hubungan kedua ayat yang dihubungkan dengan kata “ كَمَا " yang menunjukkan kesetaraan di antara keduanya.

Bayt tersebut akan dapat berdiri bilamana seseorang benar-benar berusaha memahami apa-apa yang dijelaskan rasulullah SAW. Tidak ada bayt tanpa ada pemahaman terhadap seruan dan apa-apa yang diajarkan rasulullah SAW. Sebaliknya, tidak ada upaya memahami urusan rasulullah SAW tanpa ada iktikad untuk mendzikirkan dan meninggikan asma-Nya di antara umatnya, sedangkan hal itu dapat dilakukan bila terbentuk bayt. Rasulullah SAW membacakan ayat-ayat Allah kepada manusia, baik ayat-ayat kauniyah maupun kitabullah, mensucikan jiwa manusia dan mengajarkan Alquran dan al-hikmah kepada manusia, serta mengajarkan apa-apa yang belum diketahui manusia sebelumnya.

Alquran menjadi fasilitas yang sangat baik bagi seseorang untuk mencapai tujuan. Struktur manusia telah cukup mewadahi agar setiap orang dapat mengenal peran dirinya dalam perjuangan rasulullah SAW bila seseorang mengikuti langkah rasulullah dengan benar. Hal itu akan dimengerti bila akal seseorang tumbuh sempurna. Akal itu akan membaca Alquran sesuai dengan kehendak Sang Pemberi Firman, hingga seseorang mengerti apa yang diajarkan rasulullah SAW.

Kadangkala terjadi perselisihan di antara manusia dalam mengikuti rasulullah SAW. Masing-masing pihak mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang paling benar dalam mengikuti rasulullah SAW. Kaum khawarij merupakan contoh paling nyata tentang orang yang melakukan hal demikian. Hal ini terjadi karena tidak tumbuh niat untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah, tetapi meninggikan hawa nafsu diri sendiri. Bila seseorang berkeinginan untuk meninggikan asma Allah, maka ia akan selalu mencari sudut pandang yang tepat terhadap seruan rasulullah SAW dari posisi kemuliaan yang semestinya, tidak memaksakan sudut pandang diri sendiri berdasarkan hawa nafsu.

Dzikir, Syukur dan Kufur

Mendzikirkan asma Allah merupakan salah satu pokok tujuan yang harus dibina setiap insan. Setiap orang beriman harus membina dirinya dengan asma-asma-Nya yang mulia, dan memanifestasikan asma-asma itu dalam amaliahnya. Itu merupakan amal yang paling mendekati dzikir tentang asma-Nya. Kadangkala seseorang banyak menyebutkan dengan lisannya asma-asma-Nya yang mulia, maka seharusnya apa yang disebutkan dengan lisannya menjadi tauladan untuk dijadikan sifat bagi dirinya, dan ia kemudian ia beramal berdasarkan asma-asma yang mulia tersebut. Itu merupakan salah satu tujuan dari perjalanan seseorang dalam mengikuti rasulullah SAW.

﴾۲۵۱﴿فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (QS Al-Baqarah : 152)

Berdzikir demikian merupakan langkah untuk membentuk bayt sebagaimana keluarga Ibrahim a.s, atau mengenal risalah rasulullah SAW. Bila seseorang menempuh langkah demikian, Allah akan memberikan keterangan dan penjelasan tentang keadaan orang tersebut. Dengan jelasnya keadaan diri, seseorang dapat melangkah untuk memperbaiki keadaannya. Tanpa sebuah pengetahuan tentang keadaan diri, seseorang akan kesulitan memperbaikinya, menyangka bahwa dirinya adalah orang yang baik karena syaitan menghias pandangannya.

Langkah berikut yang harus ditempuh adalah mensyukuri setiap keadaan dan tidak kufur terhadap nikmat Allah. Bersyukur dapat dilakukan dengan menyambut dengan perasaan senang setiap kemajuan langkah yang diijinkan Allah untuk menuju nikmat Allah atau kesempurnaan nikmat. Bila jiwa seseorang telah terbentuk dalam akhlak mulia, ia akan mudah menerima petunjuk Allah yang benar dengan senang hati. Pada dasarnya setiap petunjuk untuk kemajuan langkah kembali kepada Allah adalah kesenangan bagi jiwa, akan tetapi tidak setiap manusia dapat memahami hal itu.

Kadangkala seseorang merasa sempit ketika datang petunjuk Allah, sedangkan petunjuk Allah itu mendekatkan dirinya kepada nikmat-Nya. Hendaknya ia berusaha mencari pengetahuan hingga petunjuk Allah itu membuat hatinya senang. Hendaknya ia mengubah juga sifat dirinya hingga dapat memandang petunjuk itu sebagai kesenangan. Ia harus mendidik syahwat, hawa nafsu dan jiwanya agar selaras dengan asma Allah yang mulia. Kemudian ia harus menempuh jalan yang ditunjukkan baginya, perlahan atau bersegera. Bila ia terus memperturutkan perasaan sempit dan menghindari petunjuk yang benar, maka ia sebenarnya kufur terhadap nikmat Allah. Allah akan mendatangkan adzab yang keras bilamana ia terus memperturutkan kekufurannya terhadap nikmat Allah.

Bersyukur merupakan ciri seorang mukmin, bersanding dengan sifat sabar. Syukur itu merupakan kebaikan sebagaimana sabar juga merupakan kebaikan, yaitu kebaikan yang diberikan kepada seorang mukmin. Rasa syukur itu merupakan sikap seorang mukmin yang benar dalam menyambut kegembiraan, sedangkan rasa sabar merupakan sikap seorang mukmin yang benar dalam menyambut kesempitan. Sikap yang benar ini terkait dengan langkah menuju nikmat Allah untuk mendzikirkan dan meninggikan asma-Nya.

Dari Abu Yahya Suhaib bin Sinan r.a ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Sungguh menakjubkan urusan seorang Mukmin. Sungguh semua urusannya adalah baik, dan yang demikian itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang Mukmin. Jika ia mendapatkan kegembiraan ia bersyukur dan itu suatu kebaikan baginya. Dan jika ia mendapat kesusahan, ia bersabar dan itu pun suatu kebaikan baginya. (HR Imam Muslim, no. 2999 (64); Ahmad, VI/16; Ad-Darimi, II/318 dan Ibnu Hibban (no. 2885)).

Seorang mukmin harus membangun jiwanya agar dapat merasa senang dengan semua hal yang diberikan Allah kepada dirinya, dan kemudian ia dapat melaksanakan petunjuk yang diberikan kepadanya. Bilamana ia merasa sempit, ia bersabar dengan membina dirinya dengan akhlak mulia, dan mencari pengetahuan tentang kehendak Allah. Ini adalah syukur dan sabar seorang mukmin yang tidak mungkin dimiliki selain orang beriman. Seorang mukmin tidak boleh bersikap kufur dengan memperturutkan syahwat dan hawa nafsu ketika Allah menghendaki sesuatu atas dirinya.





Jumat, 24 September 2021

Mengenali Kebenaran

Allah telah menurunkan penjelasan kepada segenap makhluk yang berakal tentang hakikat penciptaan diri mereka melalui segenap ciptaan dan firman-Nya. Dengan penjelasan yang diturunkan tersebut, makhluk berakal di segenap alam dapat mencari pengetahuan tentang dirinya dan mengubah dirinya menuju akhlak yang mulia. Manusia di alam dunia ini dapat kembali kepada rabb-nya dengan menempuh jalan kembali yang ditentukan baginya dengan berpedoman kepada Alquran dengan akalnya, sedangkan para jin dan malaikat dapat mengikuti manusia yang diberi pengetahuan dari Alquran.

Untuk menempuh jalan itu, setiap orang harus berusaha memahami penjelasan yang baik tentang kauniyah, dan juga berpegang pada bunyi ayat yang tercantum dalam Alquran. Manusia berada pada tempat yang paling jauh dari cahaya, sedangkan Alquran merupakan firman yang diturunkan dari sisi-Nya. Penjelasan yang harus berusaha dipahami adalah penjelasan yang tidak bertentangan dengan keadaan kauniyah, dan tidak bertentangan dengan yang tercantum dalam setiap ayat Alquran. Manusia tidak boleh menerima penjelasan yang bertentangan dengan ayat yang tertera dalam Alquran, dan harus berusaha memahami penjelasan keadaan kauniyah bilamana penjelasan itu benar. Penjelasan yang menyimpang tidak boleh diterima.

﴾۹۱﴿ أَفَمَن يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَىٰ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُوا الْأَلْبَابِ
Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah ulul albab saja yang dapat mengambil pelajaran, (QS Ar-Ra’du : 19)

Sikap demikian sebenarnya merupakan nilai pembeda tiap-tiap manusia dalam pandangan Allah dan pandangan orang-orang yang berakal. Allah memerintahkan manusia untuk memperhatikan keadaan makhluk, dan para Ulul albab-lah yang mengerti maksud perintah itu. Dalam ayat itu, Ulul albab dikatakan sebagai satu-satunya yang dapat mengambil pelajaran dari perbedaan antara orang yang dapat mengenali kebenaran dengan orang yang buta. Ulul albab itulah orang yang memperoleh pelajaran dari pandangan Allah terhadap perbedaan sikap manusia-manusia yang diciptakan-Nya, yaitu perbedaan antara orang yang dapat mengenali kebenaran dengan orang yang buta.

Sikap berusaha mengenali kebenaran merupakan pangkal pertumbuhan akal setiap manusia. Bagi para Ulul albab, mereka itulah yang akan dapat diseru untuk tumbuh bersama hingga mencapai kedudukan sebagai ulul albab. Setiap Ulul albab berangkat dari sikap berusaha mengenali kebenaran, sedangkan sifat berusaha mengenali kebenaran adalah modal bagi akal untuk tumbuh. Sulit bagi siapapun untuk memberikan pelajaran kebenaran kepada orang-orang yang tidak mempunyai keinginan untuk mengenali kebenaran, atau orang-orang yang tidak bersikap berusaha untuk mengenali kebenaran. Mereka sudah mempunyai kebenaran dalam versi mereka sendiri, sehingga tidak akan mengenali kebenaran dari sisi Allah. Akal mereka, ada ataupun tidak ada, akan sulit tumbuh tanpa sikap berusaha mengenali kebenaran yang diturunkan dari sisi Allah.

Orang yang tidak berusaha mengenal kebenaran yang diturunkan dari sisi Allah sebenarnya termasuk dalam kelompok orang-orang yang buta. Demikian perbedaan yang disebutkan dalam ayat di atas. Allah membedakan antara seseorang yang mengenali kebenaran dari sisi Allah dengan orang tidak berusaha mengenali kebenaran itu, dengan menyebutnya sebagai orang yang buta, tidak disebut sebagai orang yang tidak mengenali kebenaran. Akal seseorang baik ada ataupun tidak ada, dikatakan sebagai buta bilamana tidak berusaha mengenali kebenaran yang diturunkan dari sisi Allah.

Ulul Albab

Orang yang dapat memperoleh pelajaran demikian adalah orang yang termasuk dalam kelompok Ulul albab. Ada kriteria-kriteria tertentu yang membuat seorang ulul albab memperoleh pelajaran dari perintah untuk memperhatikan orang yang mengenali kebenaran dan orang buta. Hal itu disebutkan dalam ayat-ayat berikutnya.

Kriteria pertama dan kedua adalah orang-orang yang memenuhi perjanjian dengan Allah dan tidak mengurai ikatan perjanjian yang ada.

﴾۰۲﴿الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلَا يَنقُضُونَ الْمِيثَاقَ
(yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, (QS Ar-Ra’du : 20)

Perjanjian dengan Allah yang paling utama adalah ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya. Secara fundamental, setiap orang yang kembali kepada Allah sebenarnya mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian untuk taat kepada Allah dan rasul-Nya. Perjanjian itu akan menjadi jalan yang membentang untuk kembali kepada Allah dari kehidupannya saat itu hingga berada di sisi Allah dengan mengenal risalah yang dibawa beliau SAW. Dalam kehidupan yang jauh dari jaman beliau SAW, ada orang-orang yang membawa bagian dari risalah yang memperoleh wasilah hingga sampai kepada beliau SAW. Orang-orang demikian harus ditaati oleh orang-orang yang berusaha mengikuti sunnah beliau SAW. Fundamen perjanjian ini harus benar-benar diperhatikan oleh setiap orang.

Perjanjian yang kedua disebut sebagai mitsaq, yang merujuk pada perikatan satu pihak dengan pihak lain. Perjanjian yang terkuat di alam semesta terletak pada dua mitsaq, yaitu perjanjian (mitsaq) antara Allah dengan rasul-Nya, dan perjanjian (mitsaq) antara seorang laki-laki dengan isterinya dalam pernikahan. Kedua perjanjian itu disebut sebagai mitsaqan ghalidza (perjanjian yang teguh). Menguraikan kedua perjanjian itu merupakan sumber kerusakan yang sangat besar bagi alam semesta. Barangkali tidak ada yang bisa merusak antara perjanjian antara Allah dengan rasul-rasul-Nya, akan tetapi banyak yang dapat menguraikan perjanjian pernikahan antara seorang laki-laki dengan isterinya. Hal ini dapat menjadi fitnah yang sangat besar bagi alam semesta. Perjanjian-perjanjian yang lebih rendah dari kedua perjanjian di atas juga harus diperhatikan dengan benar, karena merusak perjanjian dapat menyebabkan kekacauan.

Kriteria ulul albab berikutnya adalah menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan untuk dihubungkan, dan mereka takut kepada rabb-nya dan takut kepada hisab yang buruk.

﴾۱۲﴿وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. (QS Ar-Ra’du : 21)

Hal paling utama yang diperintahkan Allah untuk dihubungkan adalah washilah. Allah dan para malaikat memberikan washilah kepada rasulullah SAW. Beliau adalah puncak washilah segenap Alam semesta kepada Allah. Makhluk-makhluk yang berakal seharusnya mencari washilah kepada Allah melalui rasulullah SAW. Para malaikat yang tinggi mencari washilah melalui beliau SAW, sedangkan Iblis menolak untuk kembali kepada jalannya dalam upaya mencari washilah beliau melalui khalifatullah. Iblis dan para pengikutnya adalah orang-orang yang terputus dari washilah, sedangkan beliau SAW diberi karunia berupa telaga al-kautsar.

Ulul albab harus mencari washilah kepada Allah melalui washilah kepada Rasulullah SAW. Itu adalah jalan yang ditentukan Allah yang harus ditempuh untuk kembali kepada-Nya. Tidak ada seorang makhluk yang dapat mengenal Allah tanpa melalui rasulullah SAW. Bahwa sebenarnya seseorang belum mengenal Allah tanpa mengenal rasulullah SAW. Allah juga menurunkan tata cara menempuh jalan itu, yaitu sebagaimana dicontohkan oleh nabi Ibrahim dan para ahlu sunnah. Mereka menghubungkan tali kasih sayang (shilaturrahmi) di antara manusia dan segenap makhluk yang lain. Nabi Ibrahim a.s adalah makhluk yang paling dekat dengan rasulullah SAW, tanpa washilah lain di antara kedua insan agung tersebut. Manusia yang lain menemukan washilahnya melalui orang lain, setidaknya melalui nabi Ibrahim a.s sebelum terhubung kepada rasulullah SAW. Walaupun khulafa’ arrasyidin tampak memperoleh washilah langsung kepada rasulullah SAW, nabi Ibrahim a.s sebenarnya sangat dekat dengan rasulullah SAW hampir tidak ditampakkan perbedaan kedudukan washilah kedua insan agung tersebut bagi orang lain. Tidak mengikuti nabi Ibrahim a.s berarti tidak mengikuti rasulullah SAW.

Manusia diperintahkan untuk membina washilah kepada rasulullah SAW. Sangat penting bagi setiap ulul albab untuk mengenal washilahnya hingga kepada rasulullah SAW. Ketika tidak mau mengenal washilah yang menyambungkannya, iblis di kedudukan yang tinggi kemudian terjatuh ke tempat yang hina. Washilah iblis terputus pada dirinya sendiri. Memperoleh washilah kepada rasulullah SAW lebih penting dari apappun sebagai segel kebenaran perjalanan seseorang. Seseorang yang berjuang di atas kebenarannya sendiri tidak terjamin keselamatannya, sebagaimana iblis terjatuh karena mempertahankan kebenarannya sendiri di hadapan Allah. Terhadap orang yang berjihad, Iblis bersumpah untuk menyesatkannya dengan Izzah Allah. Seseorang yang memperjuangkan suatu Izzah tanpa memahami washilah kepada rasulullah SAW sangat mungkin dapat disesatkan Iblis berdasar Izzah yang diperjuangkannya.

Ulul albab akan merasakan rasa takut dengan kebenaran yang dikenalnya, dan hal itu akan menuntut dirinya untuk mencari sandaran. Rasa takut yang hinggap pada seorang ulul albab seringkali berupa kebenaran yang terbuka kepada dirinya. Hal itu akan membuatnya seolah-olah kehilangan tempat berpijak sebelumnya, dan rasa takut itu membuatnya mencari sandaran. Sandaran kebenaran itu bukanlah pikiran-pikirannya atau pikiran yang lain, tetapi ia akan mencari sandaran kebenaran berupa sunnah rasulullah SAW dan Alquran. Tidak ada yang lain yang sebanding dengan rasulullah SAW dan Alquran. Wasilah yang terdekat dengan dirinya akan lebih dikenalnya melalui Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Rabbul ‘alamiin merupakan wujud yang tidak tersentuh oleh makhluk, tetapi Dia memberikan washilah agar dapat dikenal dengan cara yang Dia tentukan. Washilah itu adalah rasulullah SAW, sedangkan pedoman yang harus dipegang adalah Alquran al-karim.

Tanpa berpedoman pada Alquran dan sunnah rasulullah SAW, keadaan sebagai ulul albab akan terasa menakutkan. Ada pengetahuan yang mengalir, sebagian benar dan sebagian terselipi sesuatu yang berasal dari hawa nafsu atau bahkan syaitan, sedangkan hawa nafsu mereka sangat cerdas. Perbedaan antara hal yang salah dan benar akan terasa sangat halus, sangat sulit untuk dibedakan. Tanpa berpegang pada Alquran dan sunnah rasulullah SAW, seorang ulul albab dapat terjatuh dari kedudukan yang tinggi.

Pengetahuan dan washilah yang dikenal pada tingkatan itu harus diwujudkan dalam amal-amal. Amal yang terlahir dari setiap orang akan menentukan hisab bagi diri mereka sendiri. Para ulul albab akan merasa takut dengan hisab terhadap amal-amal yang terlahir dari keburukan hawa nafsu mereka. Mereka akan berusaha berjalan dengan hasanah-hasanah dalam setiap amal mereka, dan mereka takut dalam melakukan perbuatan yang berasal dari hawa nafsu yang buruk.

Senin, 20 September 2021

Rasul dan Ahli Dzikri

Allah telah mengutus para rasul kepada umat manusia untuk menerangkan kepada umat manusia tentang hakikat kehidupan mereka. Rasul-rasul yang Allah utus kepada umat manusia berwujud laki-laki yang diberi wahyu. Laki-laki yang dimaksud ayat itu bukanlah semata-mata wujud seseorang berkelamin laki-laki. Wujud seseorang laki-laki yang berkelamin laki-laki disebut dengan istilah dzakarun (laki-laki). Laki-laki (rijal) menunjuk pada bentuk makhluk manusia yang berjalan kepada Allah dengan akal mereka.

Allah memilih orang-orang yang diberi wahyu dari kalangan rijal. Orang-orang yang terpilih untuk diberi wahyu itulah manusia-manusia yang dijadikan sebagai rasul.

﴾۳۴﴿وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada ahli dzikri (orang yang mempunyai pengetahuan) jika kamu tidak mengetahui (QS An-Nahl : 43)

Tidak semua orang dapat memahami secara langsung dan menyeluruh keberadaan para rasul dan kandungan wahyu yang diturunkan kepada mereka. Orang-orang yang dapat memahami dengan baik keberadaan rasul dan apa-apa yang diwahyukan kepada mereka adalah para ahli dzikri, yaitu orang-orang yang mempunyai pemahaman dengan lubb mereka atau disebut ulul-albab. Sebagian orang dapat meraba-raba potongan makna dan kandungan wahyu para rasul, sebagian tidak dapat mengetahui sama sekali, dan sebagian mengetahui dengan benar kandungan wahyu bagi mereka.

Ulul albab yang memikirkan wahyu para rasul itulah yang disebut sebagai ahli dzikri. Mereka orang-orang benar yang mengetahui konteks wahyu yang diturunkan kepada para rasul sesuai dengan keadaan jaman mereka, dan sesuai dengan kehendak Allah atas mereka. Pengetahuan ahli dzikri bukan potongan pengetahuan karena membaca wahyu saja, tetapi mengenal kehendak Allah bagi mereka sesuai dengan kauniyah di sekitar mereka. Mereka mengenal kehendak Allah dalam pengetahuan yang utuh terbatas dalam urusan mereka. Mereka bisa menjadi tempat bertanya bagi orang-orang yang ingin mencari pengetahuan tentang wahyu yang diturunkan kepada para rasul.

Seorang rasul mempunyai kewajiban menjelaskan pokok-pokok pengetahuan yang penting bagi jiwa manusia. Kadangkala seorang rasul tidak menjelaskan cabang-cabang pengetahuan dalam wahyu mereka agar tidak tercampur dengan pokok yang penting dalam ajaran mereka. Kadang suatu cabang pengetahuan tidak dijelaskan rasul karena terkait dengan jaman tertentu setelah masa mereka. Banyak hal yang menyebabkan suatu pengetahuan dalam wahyu mungkin saja tidak dijelaskan oleh seorang rasul, karena alasan yang haq. Cabang-cabang pengetahuan itu kemudian menjadi bidang yang harus diperdalam oleh para ahli dzikri di setiap zaman, baik yang hidup bersama dengan rasul ataupun orang-orang yang hidup setelahnya.

Manusia diperintahkan untuk bertanya kepada para ahli dzikri tentang wahyu yang diturunkan kepada para rasul. Hal itu merupakan suatu perintah agar setiap manusia dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan wahyu yang kontekstual sesuai dengan jaman mereka. Wahyu Allah merupakan firman dari alam yang tinggi, dan pengetahuan tentang wahyu Allah merupakan sumber pengetahuan dari alam yang tinggi. Dengan pengetahuan demikian, seseorang dapat mendekati dan bahkan menemukan amal shalih yang dapat mendekatkan diri pada jalan kepada Allah.

Berpegang dengan Kitabullah

Ada sebuah prinsip yang harus dipegang ketika menanyakan perihal wahyu kepada seorang ahli dzikri, yaitu berpegang pada penjelasan (albayyinat) dan kitab-kitab (az-zubur). Penjelasan (albayyinat) merupakan pemahaman terhadap konteks kauniyah, dan kitab-kitab (az-zubur) adalah bunyi ayat wahyu. Setiap orang harus berusaha memahami penjelasan yang baik tentang kauniyah, dan juga berpegang pada bunyi ayat yang tercantum dalam wahyu tersebut. Penjelasan dari ahli dzikri tidak boleh bertentangan dengan keadaan kauniyah, dan tidak boleh ada yang bertentangan dengan yang tercantum dalam setiap ayat wahyu. Orang yang bertanya tidak boleh menerima penjelasan yang bertentangan dengan ayat yang tertera dalam wahyu, dan harus berusaha memahami keadaan kauniyah yang dijelaskan bilamana penjelasan itu benar. Penjelasan yang menyimpang tidak boleh diterima, dan hendaknya berpegang pada wahyu kepada rasul.

﴾۴۴﴿بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
dengan penjelasan-penjelasan dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu adz-dzikra, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, (QS An-Nahl : 44)

Allah menurunkan kepada para ahli dzikri pengetahuan kontekstual terhadap ayat-ayat yang diwahyukan kepada rasul berupa adz-dzikra. Apa yang diturunkan kepada ahli dzikri di jaman rasulullah SAW dan setelahnya adalah pengetahuan tentang ayat Alquran. Ayat Alquran diturunkan seluruhnya kepada rasulullah SAW sebagai sebuah pedoman pokok yang menjadi mata air pengetahuan bagi para ahli dzikri. Pengetahuan tentang ayat-ayat yang kontekstual diturunkan Allah kepada ahli dzikri pada setiap zaman. Setiap ahli dzikri akan mengetahui kandungan ayat yang diperuntukkan bagi mereka, yang menjelaskan keadaan mereka. Sedangkan pengetahuan menyeluruh tentang Alquran hanya diberikan Allah kepada rasulullah SAW.

Ahli dzikri harus menerangkan kepada umat manusia pengetahuan-pengetahuan yang diturunkan kepada mereka. Ini merupakan kewajiban mengikuti rasulullah SAW, sebagai turunan sifat tabligh Rasulullah SAW yang harus menyampaikan risalah kepada umat manusia. Yang wajib disampaikan adalah adz-dzikra yang diturunkan Allah kepada mereka, yaitu pengetahuan alquran dan kitab-kitab para rasul yang kontekstual bagi mereka dan kehidupan umat manusia pada zaman mereka. Hendaknya ahli dzikri menerangkan dengan presisi sesuai dengan Alquran dan wahyu yang tertulis. Ini tidak membatasi apa-apa yang harus disampaikan. Hal-hal yang tidak tertulis langsung dalam wahyu dapat disampaikan sebagai tambahan selama tidak melenceng dari adz-dzikra yang diturunkan.

Sasaran Penjelasan

Ahli dzikri harus mencapai dua sasaran dalam menjelaskan adz-dzikra kepada manusia. Sasaran pertama adalah menyampaikan objek adz-dzikra kepada umat manusia agar mereka mengetahui apa yang diturunkan Allah kepada mereka. Sasaran kedua adalah menjadikan umat manusia berpikir berdasarkan adz-dzikra tersebut.

Penjelasan para ahli dzikri itu hendaknya menjadikan umat manusia mengetahui apa-apa yang diturunkan Allah kepada mereka. Hal ini merupakan bentuk perjuangan menolong para rasul, hingga pada ujungnya membantu rasulullah SAW. Seorang ahli dzikri tidak boleh membelokkan umat manusia dari perjuangan menolong para rasul atau menolong rasulullah SAW menuju perjuangannya sendiri. Berpegang erat pada kitab sangat penting dilakukan oleh ahli dzikri, sehingga ia tidak membelokkan perjuangan dari menolong para rasul. Apa yang harus diterangkan kepada umat manusia adalah apa-apa yang tercantum dalam Alquran dan kitab para rasul, bukan pikirannya sendiri. Bila ia lebih memberikan bobot pada pikirannya sendiri, mungkin saja ia telah membelokkan perjuangan bagi dirinya.

Pengetahuan ini penting bagi umat manusia agar mereka memiliki modal pengetahuan untuk beramal shalih sesuai dengan keadaan zaman. Semakin jelas, akurat dan presisi penjelasan tentang apa yang diturunkan, maka umat manusia akan semakin mudah dan tepat melakukan amal yang sesuai dengan jamannya. Kadangkala umat manusia mencari amal shalih tanpa bekal pengetahuan tentang zaman mereka, sedangkan mereka hanya mengikuti sesuatu karena menganggap baik apa yang diikutinya. Hendaknya penjelasan tentang Alquran dan wahyu kepada rasul dijadikan landasan dalam melakukan penjelasan kepada umat manusia dalam mencari amal shalih.

Penjelasan itu hendaknya membuat umat manusia berpikir, menghindarkan umat manusia dari sikap taklid yang menuntun kepada kegelapan. Hal itu menjadi modal agar terbangun umat manusia yang berakal.

Banyak tingkatan berpikir yang biasa dilakukan manusia. Seorang penjudi mengerahkan pikirannya dengan sangat keras untuk memenangkan perjudian yang dilakukannya. Misalnya ketika bermain kartu, mereka menghitung semua kartu yang akan mereka mainkan. Sebagian manusia akan mencela kehidupan mereka sebagai kehidupan yang semu. Para penjudi tidak menganggap demikian. Bagi mereka, perjudian itu dunia yang sangat nyata untuk mencari harta kekayaan. Para petani berpikir dan bekerja keras menanam dan berharap hasil yang baik dari pertanian itu. Mereka memetik hasil dari usaha mereka. Sebagian hasil itu dihargai dengan harga yang sangat murah, dan sebagian dihargai dengan sangat layak. Para negarawan berpikir untuk memajukan negara dengan semua strategi, akan tetapi karena kualitas kenegarawanan yang tidak layak, banyak kebijakan-kebijakan yang dirumuskan malah menjerumuskan negara menuju kemelaratan. Itu adalah contoh-contoh berpikir yang dilakukan. Banyak tingkatan berpikir yang biasa dilakukan oleh manusia.

Seorang ahli dzikri harus menyampaikan adz-dzikra kepada umat manusia agar manusia berpikir untuk menemukan kedudukan mereka dalam Alquran, dan kemudian menempuh jalan untuk kembali kepada Allah melalui Alquran yang mereka pahami. Bukan semata objek adz-dzikra yang harus diterangkan kepada manusia, tetapi ahlu dzikri juga harus membuat umat manusia mampu berfikir tentang kehidupan mereka sesuai dengan Alquran dan kitab para rasul yang lain. Umat manusia harus selalu berpegang kepada albayyinat dan kitab-kitab (az-zubur) ketika bertanya kepada ahli dzikri, dan ahlu dzikri harus menerangkan berdasarkan albayyinat dan alquran dan kitab para rasul.

Seringkali terjadi seseorang menyampaikan objek adz-dzikra kepada umat manusia, akan tetapi kemudian manusia diputuskan dari jalan berpikir untuk menemukan visi kehidupan mereka. Umat manusia dibuat mengikutinya dengan bertaklid. Perbuatan semacam ini mencederai sasaran kedua yaitu agar manusia berpikir. Manusia kemudian tidak membangun akal dan dapat menjadikan agama mereka mundur. Seorang ahli dzikri harus berusaha menghindarkan terjadinya hal demikian. Sekalipun misalnya pergerakan di tingkatan jasadiah yang mengikuti terlihat banyak, kemajuan yang akan terwujud tidak akan besar karena akal orang-orang yang mengikuti sebenarnya tidak tumbuh dengan baik. Segala amal yang dilakukan umatnya hanya dilakukan berdasarkan perkataan seseorang yang mengajari, tidak muncul dari kitabullah yang dipahami akal yang ada pada umat tersebut. Seringkali keadaan pengikut yang demikian sebenarnya tidak bisa memahami kebenaran atau bahkan menolak kebenaran karena hanya mengikuti perkataan orang lain. Ahli dzikri harus memperhatikan fenomena demikian pada umatnya sebagai cermin kualitas tablighnya.

Seorang ahli dzikri harus berusaha menjadi sumber pengetahuan yang mengalirkan adz-dzikra dari sisi Allah agar terwujud kemakmuran di bumi. Harus diperhatikan oleh seorang ahli dzikri bahwa syaitan sangat berkepentingan untuk merusak sesuatu dari sisi Allah, karena hal itu akan merusak sangat banyak manusia dan kerusakan yang sangat besar. Ia harus memperhatikan dan tidak melampaui batas-batas dirinya. Bila ia seorang ulama, maka ia harus mengetahui batas dirinya sebagai ulama, tidak menampilkan diri sebagai seorang raja bila kodrat dirinya tidak menyentuh masalah kerajaan. Demikian dalam jati diri yang lain, setiap orang harus mengetahui batas-batas jati dirinya. Semakin tinggi kedudukan seseorang, semakin besar kerusakan yang ditimbulkan bila melampaui batas-batas dirinya.

Jumat, 17 September 2021

Al-Izzah dan Al-Jamaah

Allah menjanjikan kaum mukminin dan beramal shalih bahwa mereka akan memperoleh kejayaan di muka bumi. Mereka akan memperoleh kekuasaan di muka bumi dan meneguhkan agama yang telah diridhai-Nya. Agama akan tegak dengan kemuliaannya. Salah satu kemuliaan yang akan tegak bagi orang-orang beriman tersebut adalah kemuliaan ‘Izzah.

Izzah agama Allah ini seringkali disalahpahami oleh umat manusia. Allah adalah pemilik ‘izzah yang sebenarnya, sedangkan makhluk memahami ‘izzah dalam perspektif mereka masing-masing. Rasulullah SAW dan orang-orang yang mengikuti beliau mengerti makna ‘izzah yang benar, sedangkan orang-orang munafik mempunyai cara pandang yang berbeda tentang ‘izzah.

﴾۸﴿يَقُولُونَ لَئِن رَّجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الْأَعَزُّ مِنْهَا الْأَذَلَّ وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلٰكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuasa (‘izzah) akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya". Padahal kekuasaan (al-’izzah) itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui. (QS Al-Munafiquun : 8)

Orang-orang munafiq memandang bahwa ‘izzah adalah kekuatan yang lebih pada salah satu orang atau kelompok di atas yang lain. Dengan kelebihan itu, orang atau kelompok yang mempunyai kelebihan dapat menentukan apa yang perlu dilakukan bagi mereka, atau bagi orang-orang yang tidak mempunyai kelebihan. Cara pandang ini berbeda dengan ‘izzah di sisi Allah. Orang-orang munafiq tidak mengerti tentang makna izzah yang demikian.

Orang-orang beriman yang mengikuti rasulullah SAW harus mengerti tentang ‘izzah yang dikehendaki Allah sebelum memperjuangkannya. Banyak orang-orang yang memperjuangkan ‘izzah bagi agama islam tanpa menimbang benar atau melencengnya pemahamannya terhadap ‘izzah. Sebenarnya hal ini bisa menjadi senjata makan tuan bilamana ia sebenarnya tidak mengenal ‘izzah dengan benar. Iblis telah bersumpah di hadapan Allah bahwa ia akan menyesatkan umat manusia semuanya dari jalan Allah dengan menggunakan landasan ‘Izzah, bahkan di atas landasan ‘Izzah Allah.

﴾۲۸﴿قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ
Iblis menjawab: "Maka dengan kekuasaan (Izzah) Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, (QS Shaad : 82)

Itu adalah sumpah Iblis yang sebelumnya bernama Azazel, yang berarti yang dilimpahi ‘Izzah Allah. Ia sangat mengerti tentang seluk-beluk Izzah Allah karena dirinya pernah dilimpahi sifat tersebut. Dengan pemahamannya tentang ‘izzah, ia sangat mengetahui perihal asma itu dan menerapkannya untuk mencapai segala tujuannya, termasuk menerapkannya atas segala upaya manusia. Manusia yang memperjuangkan Izzah tanpa bergantung kepada Allah akan disimpangkan oleh Iblis dengan mudah. 

 

Al-Jamaah Sebagai Basis

Landasan utama dalam memperjuangkan Izzah adalah menyatukan diri dalam kehendak Allah bersama Rasulullah SAW dan orang-orang beriman yang bersama-sama dalam Al-jamaah, yaitu orang-orang beriman yang terlepas dari sifat-sifat nifaq dalam i’tiqad dan amal-amal mereka. Dengan cara itu, mereka akan mengerti tentang izzah yang menjadi kehendak Allah. Tanpa jalan ini, iblis akan mempunyai keahlian yang lebih tinggi dari umat manusia untuk menyimpangkan umat manusia dalam upaya mereka untuk memperoleh ‘izzah, karena ia pernah menyandang gelar itu, dan ia telah bersumpah di hadapan-Nya dengan sifat itu.

Penyatuan dalam kehendak Allah itu adalah karunia Allah bagi seorang hamba. Allah-lah yang menjadikan seseorang yang dikehendaki-Nya masuk dalam umat yang satu, dalam kelompok al-jamaah bersama dalam perjuangan Rasulullah SAW.

﴾۳۹﴿وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلٰكِن يُضِلُّ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي مَن يَشَاءُ وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan. (QS An-Nahl : 93)

Dalam hal ini, seseorang tidak dapat melakukan klaim bahwa dirinya termasuk dalam umat yang satu (umatan wahidah) tanpa sebuah landasan yang jelas. Tidak ada makhluk yang bisa tegak dalam kebenaran tanpa landasan yang benar. Demikian pula seseorang tidak dapat mengatakan orang lain sebagai orang yang masuk dalam umat yang satu (umatan wahidah) tanpa pengetahuan. Setiap orang harus mencari kebenaran kedudukannya berdasarkan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW tidak semata-mata mengikuti perasaan sendiri atau mengikuti seseorang tanpa landasan yang benar. Tidak ada amr Allah yang tidak menjadi cabang dari amr jami’ Rasulullah SAW. Bisa jadi seseorang merasa sebagai umat yang satu, sedangkan Allah mungkin menyesatkannya. Hal ini terkait bahwa sebenarnya Allah menyesatkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dalam perkara umat yang satu (umatan wahidah), dan juga Allah memberikan petunjuk pada orang-orang yang dikehendaki-Nya.

Orang yang memperoleh petunjuk untuk masuk dalam umat yang satu akan mengerti kedudukan Rasulullah SAW sebagai wasilah dirinya kepada Allah, dan mengerti orang-orang beriman yang dikenal dalam hidupnya di bumi yang menjadi wasilah dirinya hingga kepada rasulullah SAW. Dengan petunjuk Allah itu, seseorang dapat mengatakan secara terbatas tentang kedudukan orang lain yang dikenalnya dalam Al-jamaah. Orang-orang dalam Al-jamaah mengerjakan urusan yang satu berupa amr jami’ yang diturunkan kepada rasulullah SAW.



Membangun Kesatuan

Al-jamaah sebenarnya merupakan bentuk perpanjangan dari nafs wahidah. Umat yang satu (umatan wahidah) merupakan jamaah orang-orang yang mengenal jiwa yang satu (nafs wahidah) masing-masing. Mengenal diri merupakan awal dari langkah menyatukan langkah dalam al-jamaah. Mengenal urusan diri dan menyatukan diri dalam al-jamaah merupakan satu kesatuan tahap yang penting yang harus dilakukan oleh setiap mukminin agar mengenal nafs dirinya. Hal ini dapat diibaratkan kain pintalan yang disusun dari benang-benang yang dipintalkan dalam urutan yang benar. Orang yang mengenal nafs wahidah akan mengetahui al-jamaah yang sebenarnya, jamaah yang mengenal kedudukan Rasulullah SAW. Tanpa mengenal nafs wahidah dirinya, seseorang tidak mengenal dan tidak akan dapat masuk dalam umat yang satu.

Pernikahan merupakan jembatan yang menghubungkan antara nafs wahidah dengan umatan wahidah. Seorang isteri adalah bagian diri yang paling dekat dengan nafs seorang laki-laki. Hal ini harus diperhatikan dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Seseorang dapat mengenal dirinya dengan mencari bayangan diri melalui cermin dalam jiwa isterinya, dan seseorang dapat terhubung dengan umatnya bila ada sakinah bersama isterinya. Bila seseorang gagal dalam pernikahannya, nafs wahidah tidak akan berhasil menyatu dengan lingkungannya karena gagal dalam menyatukan bagian terserak yang terdekat baginya. Terhadap al-jamaah, ia akan terlihat kurang terhubung dengan amr bagian dirinya. Terhadap umatnya, ia akan kesulitan terhubung dengan mereka.

Dalam agama, pernikahan merupakan setengah bagian dari agama. Seorang suami adalah pohon thayyibah yang harus tumbuh pada ladang berupa nafs isterinya. Buruknya hubungan dalam pernikahan akan berpengaruh dalam kualitas pertumbuhan jiwa. Jiwa seseorang akan mengalami banyak kesulitan untuk tumbuh karena buruknya pernikahan. Bila seseorang berhasil mengenal nafs wahidahnya tanpa pernikahan yang baik, orang tersebut akan tampak kerdil di mata orang lain, tidak terlihat pancaran cahaya Allah yang dipahami melalui jiwanya. Ia tidak mempunyai pintu untuk bergaul bersama umatnya dengan semestinya karena istri adalah pintu keumatan seorang laki-laki dalam agamanya. Dengan pernikahan yang baik, seseorang akan mempunyai media pertumbuhan jiwa yang baik, sehingga cahaya Allah dapat terpantul melalui jiwanya.

Syaitan akan merusak pernikahan untuk merusak umat manusia. Dengan merusak satu pernikahan, telah terjadi kerusakan yang sangat banyak di masyarakat karena terhalangnya cahaya Allah bagi makhluk di bumi. Ini tidak hanya menghalangi satu orang dari jalan Allah, tetapi menghalangi umat manusia dari jalan Allah. Kerusakan akibat hal ini dapat diibaratkan dengan mengurai kain setelah dipintal dengan kuat.

Al-Izzah itu hanyalah milik Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, dan orang-orang munafik itu tiada mengetahui. Kejayaan duniawi saja adalah izzah milik orang-orang munafiq dan yang semacamnya, sedangkan Al-Izzah milik Allah hanyalah bagi Rasulullah SAW dan orang-orang beriman yang mengikutinya. Jalan mengikuti rasulullah SAW adalah jalan yang telah ditentukan oleh-Nya, tidak bisa mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui Al-Izzah Allah.

Senin, 13 September 2021

Risalah Dan Kesesatan

 Allah menurunkan semua keterangan tentang segala sesuatu yang perlu diketahui oleh segenap makhluk hingga mencapai alam mulkiyah yang dihuni oleh makhluk-makhluk dalam wujud yang paling rendah. Tidak ada alam yang diabaikan Allah agar mereka dapat mengenal kemuliaan, dan mengenal hakikat diri mereka sendiri. Allah menurunkan dari sisi-Nya firman dalam wujud kitabullah Alquran yang dapat disentuh manusia di alam mulkiyah, dan dengan wujud itu manusia dapat mengetahui kehendak Allah tentang segala sesuatu terkait dengan dirinya.

Allah tidak membiarkan manusia tersesat dalam upaya mereka memahami kitabullah yang diturunkan-Nya. Allah mengutus rasul kepada umat manusia agar umat manusia memperoleh penjelasan yang terang tentang segala hal yang perlu diketahui oleh manusia yang diterangkan dalam kitabullah. Para rasul itu adalah wujud mulkiyah makhluk berakal yang dihadirkan Allah untuk mengajarkan kepada manusia keterangan yang sangat jelas bagi umat manusia. Dengan penjelasan para rasul, maka umat manusia akan memperoleh jalan untuk memahami ayat-ayat Allah, dan mereka akan dapat meningkatkan kemuliaan diri mereka dengan meningkatkan kualitas kemuliaan akhlak mereka.

﴾۴﴿وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي مَن يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan yang terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (QS Ibrahim : 4)

Akan tetapi tidak semua manusia akan memperoleh jalan yang terang karena pengutusan rasul-rasul kepada mereka. Allah akan menyesatkan orang-orang yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Sebagian orang akan dapat berjalan di atas petunjuk karena Allah memberikan petunjuk kepada mereka karena mengikuti rasul yang diutus, tetapi sebagian orang akan berjalan menuju kesesatan setelah diutus rasul kepada mereka.

Ayat ini menjelaskan orang yang sesat setelah diutus rasul. Sebagian orang di antara kaum yang memperoleh perutusan seorang rasul akan beriman kepada rasul tersebut, sebagian akan kufur dan tetap dalam kegelapan dunia mereka, dan sebagian akan terlihat berjalan mengikuti rasul itu akan tetapi jalan mereka tersesat. Orang yang kufur tidak termasuk dalam pembahasan ayat ini, dan yang menjadi pembahasan ayat ini adalah orang-orang yang beriman dan orang-orang yang disesatkan.

Orang-orang yang memperoleh penjelasan yang terang adalah orang-orang beriman yang mengikuti rasul yang diutus kepada mereka. Penjelasan yang terang itu akan menjadikan mereka mengerti tentang tujuan puncak kehidupan mereka berupa musyahadah bahwa tidak ada Ilah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul Allah yang menjadi uswatun hasanah bagi mereka. Bila seseorang memahami, ini adalah penjelasan yang paripurna yang paling terang bagi setiap manusia, bukan sekadar suatu doktrin yang harus diikuti. Sebagian manusia mengerti benar tentang urgensi masalah ini, sebagian tidak mengerti urgensi kalimah ini walaupun mengikutinya, dan sebagian mengerti tetapi tidak menyeluruh. Seorang rasul akan menjelaskan hal ini dan kalimah inilah yang akan digunakan untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak umatnya. Sebagian umatnya mengerti hal ini dan sebagian tidak mengerti.

Orang yang disesatkan Allah adalah orang yang fasik ketika mengikuti rasul yang diutus kepada mereka. Fasik secara bahasa mempunyai arti “keluar”, dan secara istilah artinya yaitu keluar dari ketaatan kepada Allah. Iblis telah melakukan kefasikan karena ia dengan kesadarannya keluar dari perintah dan urusan Allah, mengikuti kebenaran versinya sendiri. Manusia dapat melakukan kefasikan bilamana ia tidak mentaati Allah dan rasul yang diutus kepada mereka. Manusia harus benar-benar memperhatikan masalah ketaatannya kepada rasul yang diutus kepada mereka.

Ketidaktaatan seseorang dapat berasal dari hawa nafsu dan syahwat sendiri, atau kesalahan pengetahuannya. Seseorang yang mengikuti hawa nafsu dan kepentingan dunianya sendiri akan terjerumus dalam ketidaktaatan kepada rasul yang diutus kepada mereka. Mereka mengikuti rasul, tetapi ia memperjuangkan kepentingan sendiri dalam mengikuti rasul tidak berusaha menyatu dalam jamaah yang berada di atas kebenaran. Dengan ketidaktaatan yang mereka lakukan, maka mereka melakukan kefasikan.

Kadangkala syaitan menghembuskan bisikan pengetahuan yang setengah benar kepada orang-orang yang mengikuti rasul, dan dengan pengetahuan yang setengah itu seseorang keluar dari ketaatan kepada rasul mengikuti kebenaran versi mereka sendiri. Dalam beberapa hal, pengetahuan yang tidak sempurna atau bahkan salah tidak berbahaya selama seseorang bersikap hanif, tetapi bisikan syaitan sangat berbahaya bagi jiwa manusia. Kadang kefasikan dapat terjadi bila seseorang tidak taat kepada ulil amr. Ulil amr adalah orang-orang yang mengenal amanah Allah yang dikalungkan kepada diri mereka sebelum kelahiran mereka. Mereka mengerjakan amanah Allah dalam kehidupan mereka, karenanya mereka harus ditaati dalam urusan mereka. Ketidaktaatan terhadap ulil-amri dapat menyebabkan seseorang berbuat kefasikan. Seseorang harus memiliki landasan yang benar dari kitabullah ketika berselisih dengan ulil amr dalam urusan yang menjadi amanah ulil amr.

Dengan adanya kefasikan yang dilakukan seseorang yang mengikuti seorang rasul, maka Allah menyesatkan mereka. Allah menyesatkan mereka hanya karena mereka memperturutkan kesesatan dalam diri mereka, sedangkan Allah tidak mendzalimi mereka. Bila orang tersebut menyadari kefasikan mereka, Allah tidak akan menyesatkannya. Namun akan sangat sulit bagi seseorang untuk menyadari kesesatan diri mereka ketika memperturutkan kesesatan mereka. Allah akan menunjukkan jalan kepada mereka untuk mengikuti kesesatan mereka, hingga kemudian benar-benar tersesat. Hanya dengan kembali kepada kitabullah dan ketaatan kepada rasul maka seseorang akan menyadari kesesatan karena kefasikan.

Rusaknya Jamaah Karena Salah Mensikapi Amanah

Kadang-kadang seseorang dapat berjalan dengan baik mengikuti rasul yang diutus kepada mereka hingga mereka mengenal amanah-amanah yang harus mereka tunaikan. Akan tetapi kemudian orang tersebut tergelincir untuk memanfaatkan amanah-amanah yang menjadi tugas mereka. Bisa jadi mereka menggunakannya untuk tujuan memenuhi kepentingan mereka sendiri di luar tujuan yang menjadi kehendak Allah.

Seringkali hal ini sulit diidentifikasi. Jamaah orang beriman harus berusaha menempatkan seseorang sesuai amanah yang diemban olehnya agar masyarakat memperoleh manfaat yang terbaik dari Allah, tetapi setiap orang harus berhati-hati dalam mensikapi amanahnya dengan hatinya. Setiap orang harus berhati-hati, dan hal ini akan terlihat bila seseorang selalu membangun keikhlasan dalam hati mereka.

﴾۴۹﴿وَلَا تَتَّخِذُوا أَيْمَانَكُمْ دَخَلًا بَيْنَكُمْ فَتَزِلَّ قَدَمٌ بَعْدَ ثُبُوتِهَا وَتَذُوقُوا السُّوءَ بِمَا صَدَدتُّمْ عَن سَبِيلِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Dan janganlah kamu jadikan perjanjian-perjanjianmu sebagai (sarana) masuk di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu tertimpa keburukan karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah; dan bagimu azab yang besar (QS An-Nahl : 94)

Perjanjian-perjanjian yang disebut dalam ayat di atas adalah perjanjian yang menyerupai bentuk amanah-amanah yang harus ditunaikan seseorang. Seseorang tidak boleh menjadikan amanah-amanah yang ditugaskan kepada mereka untuk melakukan klaim suatu kedudukan di antara masyarakat dengan hawa nafsunya, atau untuk memperoleh kepentingan mereka sendiri di antara masyarakat. Ia harus beramal dengan amanah yang dipahaminya dengan sebaik-baiknya, tetapi hati dan amalnya tidak boleh melakukan klaim suatu kedudukan berdasarkan amanah itu. Bila seseorang memanfaatkan hal tersebut untuk hawa nafsu atau kepentingannya sendiri, maka ia akan tergelincir dari pijakan dirinya setelah mendapatkan kokohnya pijakan. Ketergelinciran itu akan menyebabkan dirinya menjadi penghalang bagi manusia dari jalan Allah. Barangkali seseorang tidak menyengaja, dan hal itu terjadi tanpa disadarinya. Hal ini perlu disadari oleh seseorang yang hendak kembali kepada petunjuk Allah.

Peristiwa demikian menyerupai seorang perempuan yang mengurai pintalan yang telah disusun dengan kuat. Seseorang yang berusaha menempuh jalan Allah sebenarnya menjalin dirinya dalam Al-jamaah menjadi pengikut rasulullah SAW. Al-jamaah itu dapat diibaratkan benang-benang yang telah dipintal menjadi kain membentuk sesuatu yang mempunyai fungsi baru yang berbeda dengan benang-benang penyusunnya. Ketika seseorang terhalang oleh orang lain dari jalan Allah, maka orang yang menghalangi itu dapat diibaratkan seorang perempuan yang menahan jalinan pintalan. Lebih dari itu, seorang yang tergelincir akan menjadi seperti perempuan yang mengurai kain yang telah dipintal dengan kuat.

Peristiwa demikian akan menimbulkan suatu fenomena yang menandai adanya penguraian benang dari pintalannya. Akan timbul perselisihan di antara anggota masyarakat atau komunitas. Peristiwa ini terjadi di antara orang-orang yang mulai mengenal amanahnya, bukan di kalangan orang kafir. Perselisihan itu terjadi karena adanya seseorang atau suatu kelompok yang merasa lebih memiliki hak kekuasaan dibandingkan yang lain. Ini adalah akhlak yang tumbuh tidak sempurna. Amanah yang diberikan kepada seseorang atau kelompok tidak sewajarnya digunakan untuk beradu unggul antara satu dengan yang lain, tetapi harus digunakan untuk menjalin kebersamaan di antara mereka.

Setiap orang harus memperhatikan setiap kebenaran dari sahabatnya, atau orang lain. Hawa nafsu akan cenderung memandang bahwa kebenaran itu hanyalah yang ada pada dirinya, sulit untuk melihat adanya kebenaran yang muncul dari orang lain. Dalam tingkatan yang tinggi, hawa nafsu bahkan tidak dapat melihat kebenaran yang muncul dari seseorang yang dihormati, bahkan sekalipun itu berupa petunjuk. Seseorang tidak boleh mengabaikan suatu kebenaran yang keluar dari sahabatnya karena merasa bahwa sahabatnya melakukan turut campur terkait dengan amanah bagian dirinya yang harus dipelihara. Sikap rendah hati dari rasa malu harus ditumbuhkan dalam setiap jiwa agar dapat melaksanakan amanah dengan benar, atau alih-alih ia akan seperti seseorang yang menguraikan benang dari pintalannya. Ia harus memperhatikan kebenaran yang keluar dari sahabatnya terkait dengan amanah yang harus ditunaikan sebagai bagian dari membangun akhlak mulia. Dan sebenarnya bahwa amanah itu seharusnya mengantarkan dirinya berjalin bersama sahabatnya dalam suatu jamaah, dan kemudian dapat mengantarkan dirinya mengerti kedudukannya dalam Al-jamaah bersama dalam perjuangan Rasulullah SAW.

Tanpa sikap rendah hati dan malu, seseorang dapat tergelincir langkahnya menuju Allah terutama justru ketika amanah itu dipahami. Syaitan mempunyai pijakan dalam hawa nafsu setiap orang sehingga dapat menggelincirkannya dari jalan Allah. Bilamana tergelincir, seseorang tidak akan masuk dalam Al-jamaah tetapi justru merusak terbentuknya Al-jamaah karena menghalangi manusia dari jalan Allah. Memperhatikan kebenaran dari sahabat dapat menjadi cermin apakah diri seseorang beramal berdasarkan hawa nafsu atau berdasar nafs wahidah. Nafs wahidah-lah yang bisa mengerti jihad Rasulullah SAW dalam ruang dan waktu dirinya sehingga bisa menjadi bagian al-jamaah, sedangkan nafs wahidah akan berdiri di atas kebenaran versi masing-masing. Bila mau mencermati, amal yang terlahir dari seseorang yang tergelincir sebenarnya bersumber dari sayyiah hawa nafsu, maka amal-amal itu tidak memunculkan kebaikan tetapi malah memunculkan keburukan, dan sebagaimana hawa nafsu tidak akan mempersatukan umat demikian pula perpecahan akan terlahir di masyarakat.

Selasa, 07 September 2021

Nikmat Allah dan Sikap Malu

 Rasa malu adalah akhlak yang menjadi ciri bagi Akhlak agama Islam. Hanya dengan rasa malu maka seseorang dapat mengikuti Rasulullah SAW menyempurnakan akhlaknya, karena rasa malu merupakan akhlak dalam agama Islam. Yang dimaksud sebagai rasa malu yang sebenarnya adalah menjaga kepala dan pikiran sesuai dengan kehendak Allah, menjaga perut dan hal-hal yang terbit karena perutnya, mengingat mati dan memperhatikan hal-hal yang menguji dirinya (al-balaa), dan menginginkan akhirat dengan meninggalkan perhiasan-perhiasan dunia. Keseluruhan hal itulah rasa malu yang menjadi akhlak agama Islam.

Tidak semua orang dapat membayangkan tentang rasa malu yang dimaksud oleh Rasulullah SAW. Misalnya kaitan antara mengingat maut dengan rasa malu barangkali sulit untuk tergambarkan oleh kebanyakan manusia. Alquran memberikan gambaran tentang rasa malu sebagaimana tercantum dalam ayat berikut :

﴾۵۲﴿فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan malu, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu". (QS Al-Qashash : 25)

Ayat tersebut menceritakan pertemuan Musa pada waktu muda dengan jodohnya, atau sebaliknya pertemuan seorang perempuan dengan jodohnya yaitu Musa. Perempuan itu mengenali Musa sebagai seseorang yang kuat dan dapat dipercaya. Hal itu dilihat perempuan itu ketika Musa memberikan minum kepada ternak-ternak mereka. Sedangkan Musa mengetahui dari cerita perempuan itu sendiri bahwa mereka memerlukan air minum bagi diri mereka dan ternak-ternak mereka, dan mereka adalah puteri seorang syaikh besar.

Setelah memberikan minuman bagi mereka, Musa menuju kepada suatu naungan dan merasakan suatu kebutuhan yang besar terhadap suatu kebaikan yang diturunkan Allah bagi dirinya. Beliau berdoa : “Yaa Rabbii, sesungguhnya aku sangat fakir terhadap kebaikan yang engkau turunkan kepadaku”. Ada suatu kebaikan yang sangat dibutuhkan oleh Musa bagi dirinya, dan beliau memohon kebaikan itu kepada Allah.

Maka datanglah salah seorang perempuan yang ditolongnya kepada beliau. Ini adalah jawaban bagi permohonan Musa. Kalimat ini menunjuk pada implikasi kebaikan yang dimohon Musa kepada Allah. Perempuan itu datang dengan malu-malu kepada Musa, menyampaikan bahwa bapaknya berkeinginan untuk memberikan balasan sebagai imbalan atas minuman yang diberikan Musa kepada mereka. Kebaikan yang dimohon Musa diijabah Allah dan diturunkan melalui syaikh besar yang ditolong puterinya oleh Musa. Syaikh besar itu mengetahui bahwa ada kebaikan yang harus diberikan kepada Musa melalui dirinya, karena Musa memohon kebaikan itu kepada Allah, yaitu kebaikan berupa menikahkannya dengan salah satu puterinya.

Kebaikan yang dimohon Musa itu terwujud sebagai pernikahan dengan puteri yang diperuntukkan baginya. Bentuk-bentuk fisik kebaikan yang dilimpahkan Allah bagi seseorang kadangkala berbeda bentuknya dengan yang dibayangkan seseorang yang meminta. Dalam peristiwa Musa, beliau meminta kebaikan dari Allah tanpa sedikitpun keterangan yang menunjukkan bahwa Musa membayangkan seorang perempuan. Dan Allah kemudian mempertemukannya dengan jodohnya. Demikian pula bagi umat manusia lainnya, seringkali wujud kebaikan yang diminta tidak sebagaimana yang dibayangkan atau diinginkan, dan tentu kebaikan itu tidak boleh disikapi dengan kufur.

Pernikahan dalam makna idealnya merupakan wujud fisik pelimpahan nikmat Allah bagi seseorang. Nikmat terbesar bagi seseorang adalah terbentuknya bayt untuk disebut dan ditinggikan asma Allah di dalamnya. Pernikahan merupakan wujud fisik turunan dari pengenalan raga seorang manusia dengan jiwanya. Seorang laki-laki menjadi turunan yang lebih mendekati sifat jiwa, dan perempuan menjadi turunan yang bersifat raga. Dalam perjodohan yang tepat, seorang laki-laki memperoleh pembawa alam dunia yang tepat bagi dirinya, dan seorang perempuan memperoleh pemimpin yang tepat untuk berjalan menuju Allah. Pernikahan dengan jodoh yang tepat adalah nikmat Allah yang diwujudkan di alam fisik. Dalam perjodohan, pengingkaran terhadap jodoh yang ditunjukkan Allah seringkali menyebabkan seseorang tergolong menjadi kufur nikmat.

Mensikapi Nikmat Allah

Dalam kaitan dengan nikmat Allah inilah digambarkan sikap malu yang sebenarnya sebagaimana perempuan harus datang kepada laki-laki dengan perasaan malu. Hal ini menggambarkan tuntunan bagi raga manusia dalam mensikapi nikmat Allah. Ada saatnya seseorang melihat keping-keping nikmat Allah yang diperuntukkan bagi dirinya, baik dalam wujud jodohnya berupa lawan jenis yang diperuntukkan bagi dirinya, ataupun nikmat Allah dalam wujud kilasan-kilasan tentang jati diri jiwanya, amal-amal shalihnya ataupun ketetapan-ketetapan Allah bagi dirinya. Semua hal itu harus disikapi dengan sikap malu. Keseluruhan ketetapan itu adalah pemberitahuan Allah tentang nikmat bagi dirinya, dan dirinya harus mendekat kepada nikmat itu dengan malu sebagaimana seorang perempuan yang harus mendekati jodohnya sebelum pernikahan mereka dengan malu.

Bagi orang beriman, Allah menjanjikan akan memberikan nikmat-Nya bila seseorang telah layak memperolehnya. Seseorang harus berusaha mendatangi apa yang dijanjikan Allah bagi dirinya dengan sikap malu. Sikap malu itu hendaknya muncul karena keinginan memantaskan diri untuk menerima nikmat Allah. Seseorang tidak boleh merasa telah sepantasnya untuk menerima nikmat Allah itu, karena itu justru merupakan sikap tidak pantas di hadapan Allah. Bisa saja Allah tidak memberikan nikmat itu bilamana tidak ada keinginan orang itu memantaskan diri. Allah lah yang menentukan pantas atau tidak pantasnya seseorang menerima nikmat, bukan orang itu yang berhak menuntut Allah untuk memberikan nikmat-Nya karena keadaan dirinya.

Dengan kerangka nikmat Allah inilah rasa malu harus dibangun sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW. Kepala dan pikiran yang ada di dalamnya harus dibina untuk mengerti nikmat Allah dan mengerti ketentuan yang digariskan hal-hal tersebut, perut dan apa yang terbit darinya harus diajar untuk memiliki bentuk yang layak menerima nikmat Allah. Perjalanan jiwa untuk kembali kepada Allah harus disikapi dengan malu, dengan mempertimbangkan tujuan dan serta bala-bencana yang mungkin menimpanya dalam perjalanan itu, serta tujuan akhirat harus dibobot dengan lebih baik daripada kehidupan dunia.

Kesesatan dan Sikap Malu

Setiap orang harus berusaha mendekati nikmat yang dijanjikan Allah kepadanya. Usaha itu harus dilakukan dengan sikap malu, yaitu keinginan berusaha mencari bentuk yang layak sesuai dengan kehendak Allah. Itu adalah ibrah yang diceritakan pada kisah Musa dan calon isterinya. Perjodohan seseorang dengan lawan jenisnya adalah gerbang nikmat Allah yang hampir tidak boleh ditinggalkan seseorang yang berharap nikmat Allah. Akan tetapi nikmat Allah sangatlah luas tidak terbatas pada perjodohan itu saja. Semua nikmat itu harus didekati dengan sikap malu.

Tanpa sikap malu, seseorang akan mudah ditipu oleh syaitan. Syaitan akan menjadikan indah pandangan seseorang terhadap amal-amal yang dilakukannya, dan orang itu akan mengira bahwa amalnya adalah amal yang penuh keihsanan.

﴾۸﴿أَفَمَن زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي مَن يَشَاءُ فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik amalnya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. (QS Faathir : 8)

Tanpa sikap malu, Allah akan menyesatkan orang-orang demikian setelah ditipu syaitan dengan keindahan amal-amalnya. Amat sulit bagi seseorang untuk mengenali kesesatan yang ditimpakan Allah kepada dirinya, karena Allah-lah yang menyesatkannya. Allah-lah yang mengetahui siapa yang akan disesatkan dan siapa yang akan diberi petunjuk setelahnya. Segala urusan tentang peristiwa demikian berada di tangan Allah.

Cerita ini terkait kaum tertentu yang menjadikan sedih orang-orang yang mengetahuinya. Hendaknya orang-orang yang bersedih dengan hal demikian tidak terjerumus ke dalam sikap membinasakan karena keadaan mereka. Hal ini tidak berarti mencegah seseorang untuk berbuat baik, tetapi hendaknya mereka berpegang pada tuntunan Allah tanpa terjebak dalam sikap yang membinasakan mereka. Allah-lah yang Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Segala perbuatan mereka tidak dalam tanggungan orang lain atau orang-orang yang mengetahui perbuatan mereka.

Setiap orang harus berusaha mendekati nikmat Allah dengan rasa malu, tidak meninggalkannya. Meninggalkan nikmat yang digariskan Allah merupakan sikap kufur, yaitu kufur terhadap nikmat Allah. Allah kadang-kadang mengijinkan seseorang yang masih banyak melakukan kesalahan untuk mengetahui nikmat Allah bagi dirinya. Kadang-kadang seseorang melakukan salah atau bahkan banyak salah ketika berusaha mendekat kepada nikmat Allah. Hal itu bukanlah parameter kegagalan dalam mendekati nikmat Allah. Allah akan mengampuni segala kesalahan dan keburukan bagi orang yang menginginkan ampunan. Kegagalan dalam memohon nikmat Allah adalah keliru dalam mengenali atau mensikapi nikmat Allah, dan itu biasanya terjadi karena tidak tumbuh rasa malu dalam diri seorang hamba.

Perempuan, Tafaqquh dan Sikap Malu

Nikmat terbesar bagi seseorang di dunia adalah terbentuknya bayt yang diijinkan Allah untuk disebut dan ditinggikan asma-Nya di dalamnya. Gambaran sikap malu dalam alquran disematkan terhadap perempuan yang menemukan pasangannya. Penemuan jodoh itu dijadikan sebagai gambaran paling dekat bagi seseorang tentang nikmat terbesar berupa bayt.

Seorang perempuan harus berusaha mendekat kepada jodoh yang ditunjukkan Allah kepada dirinya dengan sikap malu. Sebenarnya hal itu juga berlaku bagi laki-laki karena jodohnya itu adalah gerbang nikmat Allah yang terbesar bagi dirinya, akan tetapi ada perbedaan peran dalam masalah itu. Seorang perempuan harus menjadi pengikut suaminya, sedangkan laki-laki mencari pengetahuan Allah bagi mereka. Seorang laki-laki harus bersikap malu ketika mencari pengetahuan Allah, tidak bersikap jagoan terhadap Allah ataupun kepada pasangannya.

Rasa malu pada perempuan tidak boleh menghalangi langkah para wanita untuk bertafaqquh dalam agama. Seringkali rasa malu itu menghalangi seorang wanita untuk bertafaqquh karena timbul perasaan tidak nyaman untuk berbuat, kadangkala perasaan malu itu berubah menjadi merasa buruk dan direndahkan. Dengan hal-hal itu rasa malu itu menghalangi perempuan untuk menentukan amal terbaik yang harus dilakukan untuk bertafaqquh fi-ddiin. Para perempuan harus berjuang mengelola perasaan ini untuk bertafaqquh dalam agama.

Ummul Mukminin ‘Âisyah r.a berkata tentang sifat para wanita Anshâr,
نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ ، لَـمْ يَمْنَعْهُنَّ الْـحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِـي الدِّيْنِ.
Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshâr. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk bertafaqquh dalam Agama.” (al-Bukhâri dalam Shahîhnya kitab al-‘Ilmu bab al-Hayâ’ fil ‘Ilmi)

Pernikahan dan petunjuk yang benar tentang jodoh adalah gerbang bertafaqquh yang paling dekat dengan nikmat terbesar bagi seseorang, maka hendaknya setiap orang mengusahakan dengan sungguh-sungguh untuk berbuat dan bersikap sesuai dengan pengetahuan dari Allah yang diturunkan kepada mereka. Terkait rasa malu, usaha ini seringkali merupakan hal yang terasa berat bagi perempuan karena besarnya rasa malu pada perempuan. Tetapi harus disadari bahwa hal ini menjadi jalan bagi mereka untuk memperoleh nikmat Allah. Bila suaminya atau jodohnya orang yang benar dalam mengikuti petunjuk Allah, ia akan berusaha bersikap tidak berlainan dengan sikap Allah dalam batas pengetahuan yang dimilikinya. Dengan kata lain laki-laki itu akan bersikap sebagaimana Allah bersikap, dalam batas pengetahuannya.

Seringkali syaitan memisahkan seseorang dengan jodohnya melalui keterbatasan pengetahuan, dan itu dijadikan fitnah yang besar bagi mereka dan umat manusia pada umumnya melalui urusan yang harus mereka kerjakan. Peran perempuan sangat penting dalam mencegah terjadinya fitnah, dengan usaha dan perjuangan yang harus dilakukan dalam mengelola perasaan malu mereka dalam bertafaqquh fi-ddiin. Dengan usaha para perempuan demikian, mereka akan menjadi penolong bagi umat manusia hingga tergolong sebagai perempuan Anshar.