Pencarian

Selasa, 26 Januari 2021

Menumbuhkan Akal Berdasarkan Sikap Hanif

Untuk memperoleh shirat al-mustaqim, setiap orang harus mempunyai sebuah sikap dasar yang telah dicontohkan oleh Ibrahim a.s semenjak muda. Beliau bersikap hanif dalam mencari kebenaran, tidak terpaku pada sebuah pemikiran sendiri ataupun dogma dan doktrin lain yang diajarkan kepada dirinya, tetapi selalu berusaha memikirkan segala sesuatu dalam sudut pandang yang lebih baik dan lebih baik lagi. Beliau menolak bersembah kepada patung-patung, dan berusaha mencari tuhan yang sebenarnya hingga Allah memperkenalkan diri-Nya kepadanya. Beliau tidak berhenti pada satu konsep tuhan atau kebenaran yang ada dalam pikirannya sendiri. 

ثُمَّ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ أَنِ ٱتَّبِعۡ مِلَّةَ إِبۡرَٰهِيمَ حَنِيفٗاۖ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ١٢٣ 
Kemudian Kami wahyukan kepadamu : "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.  QS An-Nahl : 123) 

Menurut bahasa, istilah hanif berasal dari kata kerja hanafa yang mempunyai arti condong atau cenderung. Hanif diartikan setiap orang yang mengikuti millah Nabi Ibrahim yang selalu condong pada kebenaran, selalu berusaha mengikuti kebenaran yang lebih baik. 

Sikap tersebut kemudian diperintahkan untuk diikuti oleh segenap manusia. Allah SWT mewahyukan kepada rasulullah SAW agar mengikuti millah Ibrahim a.s yaitu sikap hanif. Sekalipun Ibrahim pernah mempertuhankan bintang, bulan dan matahari dalam hidupnya, hal itu tidak menunjukkan bahwa beliau termasuk orang-orang yang musyrik. Ibrahim bukanlah termasuk dalam golongan orang-orang musyrik. 

 

Sikap Hanif Sebagai Pokok Pertumbuhan Akal

Sikap hanif merupakan pangkal pertumbuhan akal. Tanpa sikap hanif, tidak akan tumbuh akal pada diri seseorang sehingga sangat mungkin orang tersebut terjebak dalam penyembahan kepada thaghut. hal ini kadangkala terjadi pada masyarakat yang taat pada ajaran agama. Kitab suci, orang-orang suci dan segala hal yang membawa cahaya Allah harus disikapi sebagai sebuah media untuk mengenal kehendak Allah melalui akal, jangan sampai menjadi thaghut yang membawa manusia dari cahaya menuju kegelapan. Bila terjebak dalam thaghut, segala ayat/tanda dari Allah yang dihadirkan dalam ruang kehidupannya tidak akan dapat dirasakan atau dimengerti, atau bahkan malah dijadikan bahan olok-olokan yang akan memberatkan kehidupannya. Hal itu sebenarnya mencerminkan keadaan dirinya sendiri yang patut menjadi olok-olokan karena kelemahan akalnya.

Kadang-kadang suatu kaum bersikap berlebihan terhadap pembawa cahaya Allah sehingga terbentuk penyembahan kepada selain Allah. Timbul sikap berlebihan terhadap suatu hal yang mereka ikuti dengan membuang akal mereka dalam mengikuti sumber kebenaran. Misalnya ketika mengikuti seorang panutan, kadang-kadang seseorang terjerumus meniadakan makna-makna dzahir yang ditunjukkan ayat-ayat muhkamat dalam Alquran. Hal itu merupakan suatu sikap berlebihan dalam mengikuti seseorang. Seringkali hal ini tidak terjadi secara jelas dalam bentuk mendustakan alquran, tetapi terlihat dari sikap menganggap pendapat yang benar berdasar alquran sebagai pemikiran hawa nafsu, mendustakan, tidak mau menerima atau sikap tidak ada keberanian membenarkan sebuah pendapat yang jelas bersesuaian dengan makna dzahir Al-quran tanpa ada celah penyangkalan terhadap pendapat itu. Suatu paradoks tidak dinilai sebagai sebuah kebenaran, tetapi dianggap sebagai sebuah penyimpangan yang harus dikoreksi seseuai keinginan mereka. Hal ini merupakan indikasi kelemahan akal yang menunjukkan kurangnya sikap hanif.

Sikap semacam ini semisal dengan seorang perempuan yang kehilangan jiwanya karena mengikuti laki-laki selain suaminya. Seorang istri merupakan pendamping suaminya dalam keshalihan dan kesesatannya dengan memahami kehendak Allah bagi dirinya melalui suaminya, sebagaimana Asiyah r.a menjadi istri bagi Fir’aun. Suami adalah jalan bagi seorang perempuan untuk memahami kehendak Allah bagi dirinya. Tidak seluruh kebenaran ada pada diri suaminya, atau justru suaminya lebih banyak melakukan kesalahan, tetapi seorang istri harus berusaha mendapatkan kebenaran dan memahami kebenaran yang ditunjukkan Allah melalui suaminya dengan akalnya. Ketika seorang perempuan lebih menyukai untuk memahami laki-laki selain suaminya, sebenarnya dirinya telah kehilangan akalnya. Karena hal itu, perempuan itu akan menjadi buruk dalam pandangan suaminya, sedangkan surga atau neraka seorang perempuan itu tergantung pada pandangan suaminya.

Demikian pula ketika seseorang menghilangkan akalnya dalam memahami ayat-ayat Allah, dirinya seperti perempuan keji di mata suaminya. Ketika Alquran dibacakan oleh selain panutannya, dirinya menganggap bacaan itu hanya berasal dari hawa nafsu, mendustakan, merendahkan atau tidak mau menerima kebenaran berdasarkan alquran karena dibacakan bukan oleh panutannya, seperti seorang perempuan yang kehilangan akalnya sehingga merendahkan atau bahkan menolak kebenaran yang diajarkan oleh suaminya karena jiwanya tersandera oleh laki-laki lain. Bahkan orang itu akan cenderung menyalahkan kebenaran sebagaimana perempuan keji cenderung menyalahkan segala hal yang berasal dari suaminya. Bukan pendapat benar itu yang berasal dari hawa nafsu, sebaliknya penilaian salah terhadap kebenaran itulah yang muncul dari hawa nafsu.

 

Alquran Sebagai Panduan Menumbuhkan Akal

Setiap orang harus menumbuhkan akalnya dengan bersikap hanif. Setelah diutusnya rasulullah SAW, sikap hanif itu tidaklah dengan bersembah kepada bintang, bulan dan matahari, tetapi hanif adalah meniti pemahaman Alquran dengan mengikuti semua perkataan yang paling baik berdasarkan alquran dan sunnah rasulullah SAW. Setiap perkataan selalu terlahir dari sudut pandang dan tingkat pengetahuan tertentu yang mungkin berbeda antara satu orang dengan yang lain, akan tetapi tidak ada perkataan benar yang bertentangan dengan Alquran dan sunnah rasulullah SAW. Penjelasan rasulullah SAW adalah penjelas Alquran yang tidak berselisih sedikitpun, sedangkan penjelasan para ulama adalah penjelasan-penjelasan turunan yang mungkin benar dan mungkin saja ada kesalahan.

Setiap orang harus dapat menggunakan akalnya untuk menemukan kebenaran alquran, baik melalui kebenaran ataupun kesalahan yang sampai kepada dirinya. Setiap orang harus bersikap hanif dengan menumbuhkan akalnya untuk mengerti ayat Allah bagi dirinya, hingga diketahuinya bahwa perkataan yang paling fasih dan paling benar adalah bunyi dan gambar ayat alquran, tidak ada satupun perkataan yang menyamai apalagi melebihinya. Tidak ada satupun perkataan makhluk yang dapat menyamai alquran, bila akal seseorang tumbuh sempurna. 

 

﴾۱۷﴿قُلْ أَنَدْعُو مِن دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنفَعُنَا وَلَا يَضُرُّنَا وَنُرَدُّ عَلَىٰ أَعْقَابِنَا بَعْدَ إِذْ هَدَانَا اللَّهُ كَالَّذِي اسْتَهْوَتْهُ الشَّيَاطِينُ فِي الْأَرْضِ حَيْرَانَ لَهُ أَصْحَابٌ يَدْعُونَهُ إِلَى الْهُدَى ائْتِنَا قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ وَأُمِرْنَا لِنُسْلِمَ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
Katakanlah: "Apakah kita akan menyeru selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemanfaatan kepada kita dan tidak (pula) mendatangkan kemudharatan kepada kita dan (apakah) kita akan kembali ke belakang, sesudah Allah memberi petunjuk kepada kita, seperti orang yang telah disesatkan oleh syaitan di bumi; dalam keadaan bingung, dia mempunyai kawan-kawan yang memanggilnya kepada petunjuk (dengan mengatakan): "Marilah ikuti kami". Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk; dan kita disuruh agar menyerahkan diri kepada Tuhan semesta alam, (QS Al-An’aam : 71)

Tanpa menggunakan akal, seseorang akan mudah terbingungkan oleh kehidupan dunia. Banyak sahabat-sahabat yang menyeru kepada pemahaman dan petunjuk yang mereka pahami. Di antara seruan-seruan itu, sebagian merupakan upaya yang dibuat oleh syaitan untuk menyesatkan manusia dalam perjalanan yang menakutkan, atau membingungkan seseorang dalam berbagai pilihan yang tidak bersesuaian dengan petunjuk Allah. Hendaknya seseorang menumbuhkan akalnya untuk mampu mengenali bahwa petunjuk Allah itulah petunjuk yang sebenarnya, bukan perkataan manusia-manusia yang menyerunya untuk mengikuti petunjuk-petunjuk mereka. 

Ayat-ayat muhkamat dalam Alquran adalah pondasi bangunan agama seseorang. Bila ada perkataan menyalahi ayat-ayat muhkamat dalam alquran, maka perkataan tersebut bathil. Dalam beberapa hal, terjadi nasakh dan mansukh serta penggantian tempat satu ayat dengan ayat yang lain. Ketentuan ini harus dimengerti untuk menetapkan hukum dalam beberapa kasus khusus. Namun secara umum, bila seseorang mendustakan ayat-ayat muhkamat, maka tidak ada bangunan agama yang akan terbangun. Konsep kebenaran yang dimiliki bakal ringkih, mudah terbingungkan oleh ulah syaitan. Ayat-ayat alquran itulah petunjuk Allah yang sebenarnya. Tidak boleh ada perselisihan atau pertentangan perkataan seseorang dengan ayat-ayat alquran yang muhkamat, karena hal itu akan memporak-porandakan bangunan agama yang dibangunnya. 

Dalam perjalanan seseorang, jiwa manusia akan tumbuh berkembang. Hal ini akan membuka pemahaman yang lebih luas terhadap ayat-ayat Allah baik yang berwujud ayat kauniyah di alam semesta ataupun ayat qauliyah berwujud kitabullah. Tanpa adanya pondasi pemahaman terhadap ayat-ayat alquran, perjalanan ini merupakan perjalanan yang sangat menakutkan. Akan muncul petunjuk-petunjuk dalam wujud yang tidak dapat dibaca hanya dengan indera lahiriah saja. Banyak petunjuk-petunjuk yang benar ke dalam hati seseorang, dan banyak pula tipuan yang bisa dimunculkan oleh syaitan. Daya sesat tipuan syaitan dalam kasus demikian sangatlah besar. Tanpa pondasi pemahaman terhadap alquran atau bimbingan seorang mursyid, perjalanan demikian sangat berbahaya. Seseorang harus membangun dan menemukan pijakan yang benar untuk menentukan petunjuk mana yang merupakan petunjuk yang sebenarnya, dan hal itu hanya berasal dari alquran dan sunnah rasulullah SAW. 

Membuang perkataan yang bersesuaian dengan Alquran akan membuat seseorang terdampar dalam perjalanan yang sangat menakutkan, dan syaitan akan membangkitkan petunjuk-petunjuk yang membingungkan. Orang itu akan terbingungkan dengan petunjuk-petunjuk baik kepada dirinya sendiri ataupun petunjuk-petunjuk orang lain. Untuk mengatasi kebingungan itu, setiap orang harus kembali kepada pemahaman terhadap petunjuk Allah yang sebenarnya, dan petunjuk yang paling kuat adalah petunjuk alquran tidak ada yang setara dengan hal itu. Kalaupun perkataan yang benar berdasarkan alquran yang sampai kepada dirinya hanya berasal dari hawa nafsu, seseorang harus berusaha menemukan maknanya yang lebih tepat tidak hanya merendahkan perkataan itu dan membuangnya ke belakang punggung mereka, kecuali perkataan itu jelas hanya sebuah teori yang dipelintir dari ayat alquran. Dalam tingkatan tertentu, makna dalam ayat alquran tidak dapat disentuh melainkan oleh hati yang dibersihkan Allah. Membuang perkataan dari alquran yang keluar dari hati yang dibersihkan sama saja artinya dengan membuang petunjuk Allah ke belakang punggung. 

Hal itu merupakan indikasi adanya penyembahan kepada selain Allah. Boleh jadi mereka bersembah kepada zat yang tidak memberikan manfaat kepada mereka dan tidak pula bisa menimbulkan madlarat, sedangkan mereka telah membuang ke belakang punggung mereka petunjuk yang telah diturunkan Allah kepada mereka. Ini merupakan benih tumbuhnya penyembahan kepada thaghut walaupun penyembahan itu berwujud penyembahan kepada entitas-entitas pembawa cahaya.

Senin, 18 Januari 2021

Penyatuan Jiwa dan Raga dalam Ibadah

Perjalanan seseorang dalam ubudiyah harus dimulai dengan perjalanan penyatuan jiwa dan raga dalam beribadah kepada Allah. Jiwa manusia yang disebut nafs wahidah merupakan entitas yang membawa barakah dari Allah karena musyahadahnya sebelum diturunkan ke bumi. Nafs wahidah tidaklah sama dengan kecerdasan manusia yang berada di tingkat jasadiah. Raga manusia merupakan entitas tatanan bumi yang thayyib dan dapat memperoleh ampunan Allah bagi kesalahan-kesalahannya. Istilah thayyib menunjukkan adanya pemberian kemampuan untuk mengenal kehendak Allah. Dengan penyatuan kedua entitas dalam sebuah diri itulah seseorang dapat beribadah kepada Allah dengan sesungguhnya.

 

Keikhlasan akan membangkitkan sikap ubudiyah yang benar dalam diri seseorang. Allah akan memberikan petunjuk kepada hambanya yang ingin mengenal kebenaran, agar ia dapat berjalan menyatukan yang terserak dari dirinya, mendekati jalan yang ditentukan baginya hingga dapat berjalan padanya. Dengan demikian ia dapat mengenal jalan ubudiyahnya dengan benar. Tanpa ada keikhlasan, petunjuk semacam ini mungkin tidak muncul, dapat hilang dan berganti dengan petunjuk semata-mata untuk dirinya sendiri yang bebas tidak terikat pada arah perjalanan yang benar. Itu merupakan implikasi sikap tidak berkeinginan bersembah kepada Allah, atau implikasi penyembahan diri sendiri tidak menuju Allah. Petunjuk-petunjuk dapat menyesatkan manusia bila tidak dilandasi sikap ikhlash.

 

﴾۸۱﴿وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ الْقُرَى الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا قُرًى ظَاهِرَةً وَقَدَّرْنَا فِيهَا السَّيْرَ سِيرُوا فِيهَا لَيَالِيَ وَأَيَّامًا آمِنِينَ
Dan Kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang dzahir dan Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada malam hari dan siang hari dengan dengan aman (QS Saba’ : 18)

 

Ayat di atas berlatar cerita tentang negeri Saba’ yang dipimpin oleh seorang perempuan ratu Bilqis dan negeri Syam yang dipimpin oleh nabi Sulaiman a.s. Negeri Saba’ dikendalikan berdasarkan tatanan gerakan matahari, sedangkan negeri Syam diatur berdasarkan kehendak-kehendak Allah. Sebenarnya ayat itu tidak hanya bercerita tentang negeri Saba’ dan Syam. Ayat itu juga menceritakan gambaran hubungan jiwa dan raga yang terdapat dalam diri manusia. Ada dua negeri dalam diri seorang manusia, salah satunya adalah negeri dimana dirinya tinggal yaitu raganya, dan yang lain adalah negeri yang dilimpahi berkah Allah yaitu nafs wahidah. Nafs wahidah itu adalah aspek laki-laki seorang manusia, dan raga itu adalah aspek perempuannya. Setiap orang harus berusaha menyatukan kedua negeri itu untuk mencapai ibadah yang sesungguhnya kepada Allah.

 

Negeri yang diberi berkah Allah itu, yaitu nafs wahidah, adalah negeri yang jauh tidak terjangkau dalam pandangan manusia. Maha suci Allah yang menjadikan negeri-negeri antara yang memudahkan perjalanan setiap orang untuk mencapai negeri yang diberi berkah. Negeri-negeri antara itu adalah negeri yang tampak bagi pandangan manusia, sehingga seseorang dapat menempuh perjalanan dengan lebih mudah untuk semakin dekat dengan negeri yang diberkahi. 

 

Negeri-negeri antara itu adalah tahapan-tahapan yang ditunjukkan Allah kepada hamba-hamba yang memiliki keikhlasan untuk beribadah kepada-Nya. Itu adalah petunjuk-petunjuk yang diturunkan Allah bagi hamba yang ingin mengenal kebenaran, berupa petunjuk yang dekat yang harus dilaksanakan seorang hamba dalam kehidupannya. Untuk mendapatkan petunjuk demikian, setiap orang harus memiliki hati yang ikhlash, yaitu mengarahkan pandangannya untuk menuju Allah, tidak mengarahkan pandangan ke tujuan yang lain. Allah tidak akan menampakkan negeri-negeri antara itu kepada hamba yang tidak memiliki dasar keikhlasan, atau hamba yang kemudian memalingkan pandangannya ke arah yang tidak ditunjukkan Allah.

Sabar dan Syukur Dalam Setiap Tahapan

Seorang laki-laki akan berhadapan dengan berbagai problematika di masyarakat, dan di rumah tangga. Hal itu harus dibaca berdasarkan petunjuk-petunjuk Alquran dan sunnah rasulullah SAW agar seseorang dapat melihat berbagai masalah itu sebagai petunjuk yang dekat dari Allah. Itu akan mengantarkan seseorang untuk mengenal nafs wahidah dirinya. Kadangkala seseorang mendapatkan petunjuk dalam jiwanya sebagai petunjuk dari Allah. Seseorang harus berusaha mendapatkan hubungan petunjuk itu dengan kitabullah agar dapat memahami petunjuk dengan benar, tidak melayang sebagai dzann tanpa terhubung dengan kebenaran. Seorang laki-laki harus terlebih dahulu mengenali kebenaran berdasarkan alquran, hadits-hadits rasulullah SAW dan sumber-sumber kebenaran lain sebelum akhirnya dapat mengerti petunjuk yang benar untuk mengenali nafs wahidah.

 

Ini merupakan indikasi ketakwaan dalam ibadah, dan bahwa seseorang tidak menyembah diri sendiri. Pengenalan terhadap kebenaran berfokus pada sumber kebenaran tidak berfokus pada diri sendiri. Dalam tataran praktis, seseorang harus mengenali kebenaran kitabullah sebelum membaca petunjuk lain. Hal ini tidak berarti seseorang boleh mengabaikan atau membuang petunjuk yang turun dalam hatinya, hanya saja boleh jadi petunjuk itu akan dibaca dengan salah tanpa panduan kitabullah. Secara wujud, pengetahuan seorang laki-laki tentang kehendak Allah terlihat menyatu dengan pengetahuan tentang diri sendiri, tetapi Allah akan menguji keikhlasan seorang hamba dan menampakkannya, apakah ubudiyah seorang hamba ikhlas untuk Allah atau penyembahannya adalah pada diri sendiri dalam selubung kebenaran. Setiap orang harus membangun jiwa ubudiyah bagi sumber kebenaran haqiqi, tidak terjebak dalam penyembahan terhadap diri sendiri.

 

Gambaran negeri yang dekat itu lebih jelas ditunjukkan dalam hubungan antara seorang istri terhadap suaminya. Seorang suami adalah pembawa nafs wahidah bagi istrinya. Bagi istri, raga suaminya dan jiwanya (istri) sendiri, adalah negeri antara yang menjadi jalan untuk mengenal nafs wahidah yang membawa barakah. Seorang istri harus memperhatikan pertumbuhan jiwanya dalam sifat-sifat Ar-rahiim dengan memperhatikan urusan suaminya, sebagai jalan agar wanita itu mengenal nafs wahidah dirinya. Dengan cara demikian, seorang istri akan tumbuh sebagai wanita ahli surga, yaitu wanita yang penuh mawaddah, subur bagi suaminya dan selalu ingin kembali kepada suaminya.

 

Seorang istri yang baik akan banyak mendapatkan petunjuk tentang suaminya, dan seorang perempuan lajang akan memperoleh petunjuk tentang calon suaminya. Itu adalah wujud negeri yang dekat bagi seorang perempuan untuk mencapai negeri yang memperoleh barakah. Seorang perempuan tidak boleh berpaling dengan keinginannya sendiri dari petunjuk yang diberikan dan memilih jalan lain. Hal ini sama dengan sikap seorang laki-laki yang mengabaikan petunjuk tentang negeri yang dekat dengan dirinya, yang menjadi jalannya mencapai negeri yang memperoleh barakah berupa nafs wahidahnya. Kadangkala seorang laki-laki mengabaikan petunjuk itu karena menganggap petunjuk itu sesuatu yang tidak terlihat hebat, dan kadangkala seorang perempuan mengabaikan suaminya atau calon suaminya karena menganggap suami atau calon suaminya itu tidak mempunyai kelebihan di matanya. Itu adalah hawa nafsu yang keliru.



﴾۹۱﴿فَقَالُوا رَبَّنَا بَاعِدْ بَيْنَ أَسْفَارِنَا وَظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ فَجَعَلْنَاهُمْ أَحَادِيثَ وَمَزَّقْنَاهُمْ كُلَّ مُمَزَّقٍ إِنَّ فِي ذٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ
Maka mereka berkata: "Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami", dan mereka menganiaya diri mereka sendiri; maka Kami jadikan mereka buah mulut dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi setiap orang yang sabar lagi bersyukur. (QS Saba’ : 19)

Keinginan untuk terlihat hebat atau menjadi istri dari seorang laki-laki hebat adalah sumber kehancuran bagi manusia. Hal itu seringkali disertai dengan perbuatan meninggalkan petunjuk yang dekat dengan dirinya. Dengan perbuatan itu, sebenarnya mereka memilih jalan lain yang sangat jauh dan tidak akan sampai pada negeri yang memperoleh barakah, dan mereka adalah orang-orang yang menganiaya diri mereka sendiri. Mungkin mereka akan menjadi perbincangan di antara manusia dengan kehebatan-kehebatan, akan tetapi Allah akan menghancurkan mereka sehancur-hancurnya. 

 

Setiap orang harus bersabar dan bersyukur dengan segenap keadaan dirinya, tidak melantur dalam angan-angan kehebatan yang menjerumuskan mereka pada kehancuran. Angan-angan itu akan membuat dirinya sulit untuk bersabar menerima keadaan, dan tidak bersyukur dengan petunjuk karena terlihat remeh. Setiap orang harus bersyukur dengan semua petunjuk dengan melaksanakan petunjuk dengan sebaik-baiknya, dan tidak menganggapnya sesuatu yang remeh karena tidak terlihat hebat. Dengan kesabaran dan kebersyukuran itu, seseorang akan dapat menempuh perjalanan melalui negeri-negeri yang dekat, agar sampai pada negeri yang memperoleh barakah, yaitu mengenal nafs wahidahnya.

Angan-Angan dan Tipuan Iblis

Bila seseorang mengikuti angan-angannya, maka Iblis akan menjadikannya semakin yakin dengan kebenaran semua angan-angan mereka. Maka orang-orang itu akan mengikuti langkah-langkah Iblis padahal yang mereka angan-angankan mungkin salah. Seorang laki-laki akan semakin yakin dalam mengikuti sebuah visi yang terlihat hebat sedangkan semua visi itu akan menghancurkan mereka. Seorang perempuan akan semakin melihat kehebatan dalam diri laki-laki lain yang menjadi angan-angannya, atau suami yang dipilihnya sendiri berdasarkan angan-angan dengan mengingkari petunjuk.



﴾۰۲﴿وَلَقَدْ صَدَّقَ عَلَيْهِمْ إِبْلِيسُ ظَنَّهُ فَاتَّبَعُوهُ إِلَّا فَرِيقًا مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ
Dan benar-benar iblis menjadikan mereka membenarkan persangkaannya, lalu mereka mengikutinya, kecuali sebahagian orang-orang yang beriman. (QS Saba’ : 20)

Iblis tidaklah semata-mata mendorong manusia dengan kejahatan. Mereka juga menggunakan cara menunjukkan kepada manusia potongan-potongan kebenaran untuk membengkokkan akal manusia. Hal ini sebagaimana diceritakan dalam kisah jatuhnya Adam dan Hawa dari surga. Iblis menunjukkan jati diri Adam berwujud pohon khuldi untuk menjatuhkannya dari surga. Pengenalan jati diri merupakan potongan kebenaran yang dapat digunakan iblis untuk menjatuhkan manusia agar bermaksiat kepada Allah. 

 

Efek penipuan ini sangat melenakan manusia. Perbuatan maksiat berupa kekejian akan dipandang sebagai perintah Allah dan dianggap merupakan tauladan dari para sesepuh. Muncul kekacauan dalam akal hingga cara pandangnya kadang terbalik, hingga kekejian dipandang sebagai perintah Allah. Dalam kasus seperti ini, lurusnya seseorang akan terlihat hingga pengenalan jati dirinya, sedangkan dalam perkara selanjutnya terkait agama akan dapat dibengkokkan syaitan, karena syaitan mempunyai tempat duduk pada shiratal mustaqimnya. Karena penipuan itu, seseorang akan menganggap benar, dalam kategori shiddiq, apa-apa yang sebenarnya hanya sebuah dzann (persangkaan), dan ia akan mudah terjebak mengikuti langkah syaitan.

 

Iblis akan menggunakan cara ini lagi untuk menimbulkan kerusakan yang sangat besar di muka bumi, berupa fitnah yang sangat besar. Salah satu sasaran iblis dalam penipuan ini adalah memisahkan istri dari suaminya agar timbul fitnah terbesar bagi umat manusia. Hal ini digunakan syaitan menghalangi seseorang untuk dapat melaksanakan ibadah dengan seutuhnya, dengan jiwa dan raganya. Hal ini bakal menimbulkan fitnah yang sangat besar, terbesar sepanjang sejarah keberadaan manusia.

 

Hal ini harus disadari semua pihak agar kerusakan karena fitnah syaitan dapat dikurangi. Tidak semua orang yang mengenal diri selalu berpandangan dan berbuat benar, karena bahkan syaitan dapat menjadikannya sebagai senjata merusak umat manusia. Hanya sekelompok orang mukmin yang tidak mengikuti syaitan. Pernikahan dan perjodohan harus dibina dengan sebaik-baiknya agar terwujud benteng agama untuk menghadapi fitnah syaitan. Ikatan suami istri yang terbentuk harus dibina dengan sebaik-baiknya jangan malah dirusak. Apa yang rusak dalam rumah tangga harus diperbaiki selama masih bisa diperbaiki.

 

Tidak hanya pernikahan yang bisa dan perlu diperbaiki. Perjodohan yang baik perlu diperhatikan dengan sebaik-baiknya, karena itu bisa menjadi setengah bagian dari agama yang akan membentengi umat manusia dari fitnah syaitan. Seseorang yang menemukan jodohnya jangan sampai tersia-siakan tidak dapat ditindaklanjuti akibat kelalaian. Seorang perempuan yang tersia-siakan dalam petunjuk perjodohannya akan kehilangan jalan ubudiyahnya yang utama, dan seorang laki-laki akan kehilangan bagian dirinya dalam agamanya. Hal itu hampir sama derajatnya dengan mencerai-beraikan jiwa, atau memisahkan paksa antara seorang suami dengan istrinya. Setiap bentuk perjodohan yang ditemukan pasangan laki-laki dan perempuan harus diperhatikan dengan sebaik-baiknya, tidak diputuskan secara ceroboh hanya berdasar dzann tanpa menggali dari pasangan yang bersangkutan.

Minggu, 10 Januari 2021

Khusyu’ dan Bait

manusia diciptakan dari tanah namun diberi potensi untuk menjadi paling sempurna di antara makhluk yang lain. Manusia diciptakan untuk menjadi lebih sempurna daripada para malaikat yang selalu bersujud. Dengan kesempurnaan yang bisa dicapainya, seorang manusia akan menjadi pewaris surga firdaus yang merupakan surga tertinggi yang disediakan sebagai tempat tinggal bagi makhluk.

Terdapat beberapa kriteria yang membuat seseorang termasuk dalam golongan pewaris surga firdaus, yaitu orang-orang dalam golongan al-mukminuun dalam kriteria khusus. Golongan al-mukminuun adalah orang-orang yang telah mengenal amr jami’ yang diturunkan kepada rasulullah SAW untuk ruang dan jaman kehidupan mereka, dan mereka tidak meninggalkan amr jami’ itu untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri kecuali setelah meminta ijin dari rasulullah SAW. Dengan kata lain, hal itu juga bermakna bahwa al-mukminun adalah orang yang mengenal peran dirinya dalam perjuangan kebenaran universal yang diturunkan kepada rasulullah SAW dan tidak meninggalkan perjuangan itu tanpa ijin rasulullah SAW. Mereka itulah orang yang termasuk dalam golongan almukminuun.

Ada kriteria tambahan bagi para al-mukminun agar mereka termasuk dalam golongan pewaris Firdaus. Kriteria-kriteria itu disebutkan dalam sepuluh ayat awal surat al-mukminun. Tidak semua al-mukminun mempunyai kriteria-kriteria tersebut, kecuali hanya berbentuk modal dasar yang harus dikembangkan. Ketika mereka baru memasuki golongan al-mukminun, atau bahkan ketika mereka telah lama masuk golongan almukminun tetapi tidak mampu mengusahakan kriteria-kriteria tersebut karena kurang mengetahui kunci mengusahakannya, maka kriteria tersebut hanya berupa modal dasar atau bahkan benih. Kriteria yang secara umum paling sedikit dimiliki salah seorang almukminun adalah kekhusyu’an dalam shalat.

Kriteria-kriteria tersebut secara umum terkait dengan fungsi sosial dari seorang mukmin. Kekhusyu’an dalam shalat misalnya, walaupun terlihat sebagai hubungan personal dengan Allah, sebenarnya hal itu tidak akan terbangun bilamana seseorang tidak dapat melaksanakan fungsi sosial dirinya bagi umatnya. Hal semacam ini dicontohkan oleh Musa a.s ketika meninggalkan bani Israel menghadap rabb-nya, maka Allah menimpakan fitnah bagi bani Israel. Sebagaimana kejadian demikian, seorang al-mukmin tidak akan dapat melaksanakan shalat dengan khusyu hanya dengan mengandalkan kualitas pribadinya tanpa menunaikan tugasnya bagi umat. Baitullah dalam diri seorang mukmin hanya dapat berdiri dengan benar semata-mata berdasarkan ijin Allah, tidak bergantung pada usaha seorang mukmin. Pelaksanaan amanat-amanat dan janji-janji jelas termasuk dalam fungsi sosial, dan hubungan dalam rumah tangga juga termasuk dalam fungsi sosial.

Membangun Peran Sosial

Kemampuan salah seorang al-mukminun melaksanakan fungsi sosial adalah implikasi dari kualitas rumah tangga yang dibangunnya. Seorang almukmin tidak akan dapat melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik tanpa rumah tangga yang dibangun dengan baik. Hanya dengan membangun rumah tangga yang baik maka salah seorang al-mukminun dapat membangun dengan baik baitullah dalam hatinya untuk ibadahnya kepada Allah. Rumah tangga merupakan setengah bagian dari agama. Ini merupakan bagian yang sangat besar yang tidak dapat dilewatkan bila seseorang hendak membangun agamanya.

﴾۶۳﴿فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ
Di rumah-rumah yang telah diijinkan Allah untuk ditinggikan dan disebut nama-Nya di dalamnya, (mereka senantiasa) bertasbih kepada-Nya pada waktu pagi dan waktu petang, (QS An-Nuur :36)

Bait yang disebutkan ayat di atas bukanlah semata baitullah dalam hati saja. Bait tersebut mencakup bait dalam wujud fisik berupa rumah tangga yang baik, sehingga rumah tangga tersebut dapat meninggikan asma-Nya. Tanpa rumah tangga yang baik, nabi Nuh dan nabi Luth a.s tidak mampu menyeru umatnya dengan baik untuk kembali kepada Allah. Ketika seorang al-mukmin tidak mampu menyeru umatnya, secara umum akan sulit muncul ketenangan dan sulit menghadap Allah dengan khusyu’.

Ada sebuah hubungan erat antara baitullah dalam hati dan bait rumah tangga. Rumah tangga merupakan media pengenalan yang paling baik terhadap asma Allah. Persoalan-persoalan rumah tangga akan mengantarkan seorang laki-laki untuk mengenal Ar-rahman yang mengajarkan bayyinat kepada manusia melalui alquran, dan seorang perempuan akan dituntut untuk mengenal dengan baik asma Ar-rahiim melalui pernikahannya. Pengenalan terhadap asma-asma Allah akan mengantarkan pasangan pernikahan membangun baitullah dalam hati mereka. Tanpa pernikahan, baitullah tidak akan terbangun sempurna untuk mendapatkan ijin Allah, sehingga asma-Nya tidak dapat ditinggikan dalam rumah tangga itu.

Kesempurnaan bait rumah tangga yang harus dibangun seorang al-mukmin adalah tercapainya keadaan al-arham. Suami dapat melihat khazanah Allah dalam diri istrinya, dan istri dapat mengenal urusan Allah yang harus dikerjakan suaminya. Keduanya dapat saling bertanya atau mencari jawaban tentang kehendak Allah dari pasangannya. Hal itu akan dapat dicapai bilamana terjadi penyatuan suami istri dalam tingkatan nafs wahidah, jiwa yang dahulu dipersaksikan di hadapan rabb sebelum kelahiran jasadnya di alam dunia.

﴾۱﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari nafs wahidah dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling bertanya satu sama lain, dan (bertakwalah) terhadap al-arham. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.(QSAn-Nisaa’ : 1)

Penyatuan jiwa antara suami dan isteri dapat terjadi melalui keserupaan pengetahuan. Seorang laki-laki akan diberi keterbukaan pengetahuan tentang penciptaan dirinya bila Allah berkehendak, maka laki-laki itu akan mengenal dirinya. Demikian pula seorang istri akan dibukakan pengetahuan bila Allah berkehendak, tetapi pengetahuan itu sedikit berbeda, yaitu pengetahuan tentang suaminya. Bila suaminya orang yang mengenal diri, maka istri tersebut akan mengenal urusan Allah yang harus dikerjakan oleh suaminya, dan mengenal peran dirinya untuk berjalan selaras dengan suaminya. Jika suaminya orang yang celaka, istri akan mengenal urusan Allah yang harus dikerjakannya bagi suaminya sebagaimana Asiyah r.a berbuat terhadap Fir’aun. Bilamana suami dan istri memperoleh keterbukaan pengetahuan dari Allah, maka akan terbentuk al-arham yang menjadikan rumah tangga mereka sebagai bait yang diijinkan Allah untuk disebutkan dan ditinggikan asma-Nya di dalamnya.

Pengetahuan ilahi seorang istri akan berfokus tentang suaminya. Ini merupakan turunan dari pengetahuan ilahi bagi seorang laki-laki yang berfokus tentang kehendak Allah, bukan berfokus pada dirinya sendiri. Secara wujud, pengetahuan seorang laki-laki tentang kehendak Allah terlihat menyatu dengan pengetahuan tentang diri sendiri, tetapi Allah akan menguji keikhlasan seorang hamba dan menampakkannya, apakah ubudiyah seorang hamba ikhlas untuk Allah atau penyembahannya adalah pada diri sendiri dalam selubung kebenaran. Setiap orang harus membangun jiwa ubudiyah bagi sumber kebenaran haqiqi, tidak terjebak dalam penyembahan terhadap diri sendiri.

Kesesatan yang Tersembunyi

Kadangkala seseorang terjebak dalam kesesatan yang samar dalam perjalanannya menuju Allah. Seorang istri mungkin rajin beramal dan sangat berhasrat untuk mencapai pengenalan tentang dirinya sendiri, tetapi ia menolak ajakan suaminya untuk membangun rumah tangga yang memperoleh ijin Allah untuk disebutkan dan ditinggikan asma-Nya di dalamnya. Hal itu kadangkala terekspresikan hanya dalam sikap menolak mengambil kebenaran dan pengetahuan melalui suaminya, tetapi sebenarnya hal itu berarti menolak penyatuan untuk membangun al-arham. Ada ketidakpahaman tentang agama dalam diri seorang istri dalam kasus semacam ini. Hal ini merupakan kesesatan yang samar-samar dalam bungkus pencarian kebenaran.

Ada beberapa hal yang menyebabkan kesesatan semacam ini. Pada tingkat paling dasar, hal ini menunjukkan kurangnya keikhlasan. Keikhlasan akan membangkitkan dalam diri seseorang sikap ubudiyah yang benar. Allah akan memberikan petunjuk kepada hambanya yang ingin mengenal kebenaran agar berjalan pada jalan yang ditentukan baginya, sehingga ubudiyahnya benar. Petunjuk yang benar bagi seorang perempuan yang ikhlas akan lebih banyak berupa petunjuk pengetahuan tentang pasangan hidupnya atau suaminya, karena suami adalah jalannya kepada Allah. Tanpa ada keikhlasan, petunjuk semacam ini mungkin tidak muncul, dapat hilang dan berganti dengan petunjuk semata-mata untuk dirinya sendiri yang bebas tidak terikat pada arah perjalanan yang benar, sebagai implikasi sikap tidak berkeinginan bersembah kepada Allah, atau implikasi terjadinya penyembahan diri sendiri tidak menuju Allah.

Seorang perempuan lajang akan lebih banyak melihat petunjuk tentang calon suami yang sesuai baginya, dan seorang istri akan diberi petunjuk untuk lebih mengenal suaminya dan berbuat yang terbaik berdasar pengetahuannya. Itu merupakan petunjuk jalan ubudiah bagi msing-masing. Petunjuk bagi seorang perempuan lajang tentang pasangan seringkali merupakan petunjuk jalan ubudiyah sedangkan pada laki-laki lebih bersifat afirmasi keberpasangan bagi perempuan. Para wali perlu lebih berhati-hati dalam perkara petunjuk jodoh yang diterima seorang perempuan lajang, karena bila petunjuk itu benar, petunjuk itu menyangkut jalan ubudiyahnya.

Sebab kesesatan yang lain adalah syaitan. Syaitan dapat menyesatkan perjalanan seorang hamba dalam usahanya mencari kebenaran dengan perbuatan keji. Ketika seseorang melakukan perbuatan keji baik secara dzahir maupun hanya dalam bathin, maka petunjuk tentang jalan ubudiyah itu akan memudar atau hilang sama sekali, atau bahkan berganti dengan petunjuk yang sesat. Seorang istri tidak akan bertambah pengetahuannya tentang suaminya yang menjadi jalan ubudiahnya kepada Allah. Kadangkala petunjuk itu meredup, hilang, dan kadangkala petunjuk itu berganti dengan petunjuk-petunjuk tentang laki-laki selain suaminya dimana hatinya terpaut. Ini adalah bentuk kekejian yang dihembuskan oleh syaitan. Bila seorang perempuan berjalan kepada Allah dengan ikhlash dan benar, pengetahuan tentang suaminya dan keterampilannya akan tumbuh walaupun tidak diajarkan secara verbal.

Di sisi laki-laki, sebagaimana perempuan, ada sebuah prinsip yang sama yang menunjukkan benarnya perjalanan pada laki-laki. Pengenalan kebenaran itu akan berfokus pada sumber kebenaran tidak berfokus pada diri sendiri. Pengenalan kebenaran itulah yang berimplikasi pada pengenalan terhadap diri sendiri. Seorang laki-laki harus terlebih dahulu mengenali kebenaran dari alquran, hadits-hadits rasulullah SAW dan sumber-sumber kebenaran lain sebelum akhirnya mengenali diri sendiri. Ini merupakan indikasi keikhlasan dalam ibadah, bahwa seseorang tidak menyembah diri sendiri. Seorang laki-laki barangkali tidak akan bisa mengenali diri sendiri dengan benar dengan cara mengejar pengenalan terhadap diri sendiri. Laki-laki harus mengenali kebenaran dari sumbernya, agar dapat mengenali diri sendiri. Ini setara dengan pengenalan seorang perempuan terhadap suaminya, sehingga dapat mengenali perbuatan yang benar bagi suaminya. Ini adalah jalan yang benar untuk menuju Allah.

Fenomena petunjuk bagi seorang laki-laki akan serupa dengan fenomena bagi perempuan. Laki-laki yang ikhlas akan mengenal fenomena yang hadir sebagai manifestasi dari ayat alquran, sehingga dapat bertindak sesuai dengan kehendak Allah. Hal itu akan mengantarkannya untuk mengenal penciptaan dirinya. Kurangnya keikhlasan akan membuat visi kehidupan seorang laki-laki menjadi kabur, dengan petunjuk tanpa arah. Seorang laki-laki yang bersembah pada diri sendiri akan memperoleh petunjuk yang tidak terkait pada arah ubudiyah yang benar.

Perjalanan seorang laki-laki menuju Allah tidak akan lepas dari upaya syaitan membengkokkan dengan perbuatan keji. Hal itu akan menguji dan menampakkan keikhlasan seseorang dalam beribadah kepada Allah. Keikhlasan ini akan menentukan kualitas pengenalan seseorang kepada Allah. Seseorang yang terpedaya dengan tipuan syaitan dengan perbuatan keji akan dipertanyakan kualitas pengenalannya kepada Allah.

﴾۸۲﴿وَإِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا وَجَدْنَا عَلَيْهَا آبَاءَنَا وَاللَّهُ أَمَرَنَا بِهَا قُلْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: "Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya". Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji". Apakah kamu mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui? (QS Al-A’raaf : 27-28)

Syaitan selalu berusaha membengkokkan jalan setiap orang menuju Allah. Boleh jadi seorang perempuan terlihat rajin beramal dan menuntut ilmu untuk akhiratnya, tetapi ia menyingkirkan kebenaran dan pengetahuan tentang dan dari suaminya. Itu merupakan indikasi kesesatan dalam ilmunya. Perempuan demikian tidak mengetahui arah untuk menuju Allah, sedangkan ilmu-ilmunya hanya dogma yang tidak difahami hatinya. Kebenaran yang dipegang bukanlah kebenaran yang menyehatkan hatinya. Kesesatan demikian dalam tingkat tertentu merupakan wujud dari kekejian yang ditiupkan oleh syaitan. Setiap orang harus berusaha menuju terbangunnya bait yang memancarkan al-arham sebagai arah ibadah yang benar.

Demikian pula seorang laki-laki dapat tersesat dalam ilmunya bila tertipu syaitan dengan kekejian. Mungkin akan tampak banyaknya amal yang dilakukan dan ilmu, akan tetapi ilmu dan amal itu tidak menyatukan dirinya dalam perjuangan kebenaran universal berupa amr jami’ rasulullah SAW untuk ruang dan jaman kehidupan mereka. Bait yang terbangun hanya memancarkan tiruan dari al-arham. Setiap orang harus berusaha mengikuti seruan rasulullah SAW agar tidak tergelincir dalam perjalanannya menuju Allah.

Senin, 04 Januari 2021

Mengikuti Seruan Rasulullah SAW dengan Benar



Rasulullah Muhammad SAW adalah makhluk dengan kedudukan tertinggi yang diciptakan Allah di seluruh semesta alam. Tidak ada makhluk lain yang menyamai kedudukan rasulullah SAW. Dengan kedudukan beliau, beliau dijadikan wasilah puncak bagi seluruh makhluk untuk mengenal Allah. Tidak ada pengenalan terhadap Allah yang benar bila menyalahi atau berada di luar segala apa yang diajarkan oleh rasulullah SAW, dan tidak ada jalan yang benar untuk menuju Allah bilamana menyalahi jalan yang beliau SAW tunjukkan.

Sebagai puncak wasilah kepada Allah, beliau menyeru agar setiap orang kembali kepada Allah dengan melaksanakan amr Allah yang diturunkan kepada beliau. Itu adalah amr jami’ yang menjadi jalan bagi seluruh makhluk untuk kembali kepada Allah. Manusia yang menemukan amr itu berarti telah menemukan jalan untuk kembali kepada Allah bersama-sama dengan beliau SAW, termasuk dalam golongan al-jama’ah karena berada pada amr jami’. Golongan itu disebut pula dengan golongan ahlus-sunnah karena telah menemukan sunnah rasulullah SAW.

Hendaknya manusia bersungguh-sungguh untuk memenuhi seruan rasulullah SAW yang merupakan amr jami’ yang diturunkan Allah bagi semesta alam, tidak mempersamakan urusan tersebut dengan urusan yang lain. Seruan rasulullah SAW tidaklah dapat dipersamakan dengan seruan seseorang terhadap orang yang lain. Di jaman moderen ini, sebagian kecil manusia mengikuti rasulullah SAW dengan benar, menemukan dan melaksanakan amr jami’, dan mereka itu adalah al-jamaah. Sebagian manusia berusaha mengikuti rasulullah SAW sesuai dengan pengetahuan mereka. Kedua kelompok itu mempunyai derajat yang berbeda menurut Al-quran. Di antara kedua kelompok tersebut, hendaknya manusia tidak menganggap sama seruan di antara keduanya. 


لَّا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُم بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ ﴾۳۶﴿
 

Janganlah kamu jadikan seruan Rasul di antara kamu seperti seruan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi amr-Nya takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih (QS An-Nuur : 63) 



Orang yang tidak berusaha mengikuti rasulullah SAW dengan benar akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih. Ayat ini terkait kualitas akal di antara para shahabat. Para sahabat yang kuat akalnya selalu menyertai rasulullah SAW dalam amr jami’, sedangkan yang lemah akalnya berkelompok dengan diam-diam untuk secara berangsur-angsur meninggalkan seruan rasulullah SAW, dan mereka mengikuti perkataan-perkataan di antara kelompok mereka. Tidak ada perkataan rasulullah SAW yang ditentang secara langsung, akan tetapi mereka memilih mengikuti dan mengerjakan urusan berdasarkan perkataan yang ada di antara mereka, tidak berusaha sungguh-sungguh memahami perkataan rasulullah SAW dan melaksanakannya.

Allah akan menimpakan fitnah kepada orang-orang yang memilih mengerjakan urusan berdasarkan perkataan mereka sendiri dengan meninggalkan urusan rasulullah SAW. Meninggalkan seruan rasulullah SAW merupakan tindakan mensia-siakan akal, karena beliau SAW adalah penjelas kebenaran yang paling nyata. Fitnah merupakan keadaan yang membuat orang-orang yang tertimpanya mengalami kebingungan. Orang yang terkena fitnah akan kesulitan untuk membedakan hal yang benar dan yang keliru. Seringkali apa yang mereka pandang benar adalah hal yang salah, dan apa yang terlihat keliru sebenarnya adalah hal yang benar. Kekuatan akal bagi orang yang tertimpa fitnah akan menjadi lemah.

Hal ini merupakan keadaan yang berbahaya. Bila manusia yang tertimpa fitnah tidak menemukan dan berpegang teguh pada tuntunan rasulullah SAW atau kitabullah, mereka akan terperosok menuju golongan yang mendapatkan adzab Allah SWT. Allah akan memunculkan bagi kelompok ini satu demi satu ayat dan peringatan agar manusia kembali kepada Allah. Hal ini harus dibaca berdasarkan kitabullah dan tuntunan nabi SAW. Bila kelompok manusia tersebut terus berpegang pada perkataan mereka sendiri meninggalkan kitabullah dan tuntunan rasulullah SAW, mereka akan terperosok menjadi orang yang mendapatkan adzab Allah. 


Seruan Rasulullah SAW dan Ahlus-Sunnah

Rasulullah SAW bersama orang-orang yang mengikuti beliau menyeru manusia untuk kembali kepada Allah. 


﴾۸۰۱﴿قُلْ هٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
 

Katakanlah: "Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah di atas bashirah, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik" (QS Yusuf : 108)  

 

Seruan rasulullah SAW kepada umat manusia adalah mengajak kembali kepada Allah. Ada manusia-manusia yang bersama-sama dengan rasulullah SAW, yaitu orang-orang yang mengikuti rasulullah SAW dengan benar. Orang-orang itu bukanlah orang yang mengikuti pemahaman dan tafsir mereka sendiri terhadap kitabullah dan sunnah rasulullah SAW, tetapi dibukakan kepada mereka pemahaman yang nyata (fathan mubiinan), di antaranya terhadap shirat al-mustaqim bagi mereka. Mereka melihat jalan mereka untuk bertemu rabb-nya dengan menempuh shirat al-mustaqim yang ditentukan bagi mereka. Dengan pemahaman terhadap shirat al-mustaqim, mereka bersama rasulullah SAW menyeru manusia untuk kembali kepada Allah dengan mengikuti sunnah rasulullah SAW. Hendaknya manusia menemukan golongan pengikut rasulullah SAW yang bersifat demikian.

Kembali kepada Allah dicontohkan oleh rasulullah SAW ketika beliau mi’raj hingga ufuk yang tertinggi. Mi’raj beliau menjadi tauladan perjalanan seorang manusia kembali kepada rabb-nya, melipat perjalanan sangat panjang bagi manusia yang harus ditempuh dalam kehidupan dunia, alam barzakh, dan alam makhsyar. Kelak di alam makhsyar, rasulullah SAW akan dibangkitkan untuk menempati kedudukan yang terpuji (maqaman mahmuda) tidak melalui beratnya kehidupan alam makhsyar.

Tidak ada makhluk yang dapat menempuh perjalanan isra’ dan mi’raj itu, termasuk rasulullah SAW. Allah-lah yang memperjalankan hamba-Nya untuk menuju kepada-Nya. Hal itu merupakan ayat tentang kasih sayang Allah bagi makhluk yang berakhlak mulia sebagaimana rasulullah SAW. Dalam tingkatan lain, Allah sebenarnya juga memperjalankan hamba-hamba yang dikehendaki-Nya untuk kembali kepada-Nya, walaupun tidak sama dengan isra’ mi’raj rasulullah SAW tetapi sesuai dengan kadar hamba-hamba-Nya. Allah menyediakan al-ma’aarij bagi makhluk-makhluk, yaitu tempat-tempat mi’raj dalam jumlah banyak.

Tidak ada makhluk yang mampu melakukan isra’ dan mi’raj, tetapi setiap orang mempunyai kesempatan untuk mengikuti rasulullah SAW untuk kembali kepada rabb-nya. Yang dapat dilakukan oleh seseorang untuk mengikuti rasulullah SAW adalah berusaha untuk membentuk akhlak hingga layak menjadi pemakmur masjidil haram.


سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
 

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS Al-Israa’ : 1)  

yang memperoleh kesempatan untuk memperoleh isra’ adalah hamba-Nya di masjidil haram. Ini adalah sebuah tingkatan akhlak seseorang yang menempuh perjalanan menuju Allah. Seseorang harus benar-benar berusaha membentuk dirinya menjadi hamba yang benar bagi Allah, hingga Allah mengakui bahwa dia adalah hamba-Nya. Masjidil haram adalah tempat bersujud kepada Allah di tanah suci. Ini juga merupakan monumen fisik bagi status bathiniah yang menandai tingkat kualitas sujud seorang hamba kepada rabb-nya. Rasulullah SAW dalam hal monumen-monumen fisik perjalanan menuju Allah sebenarnya sangat menekankan makna bathiniah dibandingkan wujud lahiriah, akan tetapi karena banyak manusia membutuhkan monumen fisik, maka rasulullah SAW memelihara monumen fisik itu tetap ada. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda kepada Aisyah r.a : 


يَا عَائِسَةُ لَوْلاَ قَوْمكِ حَدِيْثُوْ عَهْدٍ بِالْجَاهِلِيَةِ لَهَدَمْتُ الْكَعْبَةَ وَلَجَعَلْتُهَا عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيْمَ
 

Wahai Aisyah, seandainya bukan karena kaummu yang baru saja meninggalkan kejahiliyahan, sungguh aku akan hancurkan ka’bah dan aku jadikan (kakbah) itu hanya pondasi Ibrahim.  

Pondasi ibrahim itu adalah millah ibrahim yang diwujudkan dalam bentuk pondasi kakbah. Dikatakan pondasi Ibrahim itu baitullah, padahal baitullah itu adalah kualitas akal yang terbangun dalam qalb Ibrahim a.s, dan kemudian diwujudkan dalam bangunan fisik berupa pondasi ibrahim. Sebagaimana kakbah disebut baitullah, demikian pula penyebutan ayat tentang seorang hamba di masjidil haram, hal itu sebenarnya lebih ditujukan pada kualitas batin seorang hamba. Masjid adalah tempat bersujud, dan alharam menunjuk pada suatu kualitas tertentu yang masuk dalam batasan alharam. Ada miqat (batas) yang membedakan seseorang berada di dalam atau di luar al-haram.

Keadaan al-haram adalah keadaan dimana seseorang mengenal dirinya sendiri, yaitu mengenal amal shalih yang telah ditetapkan baginya sejak sebelum kelahirannya, amal yang harus ditunaikan ketika hidup di dunia. Dengan menunaikan amal shalihnya, maka dia akan dapat membaca kitab dirinya yang merupakan bagian dari alquran. Sedangkan masjid adalah tempat bersujud. Dalam makna bathin, yang dimaksud sebagai seorang hamba di masjidil haram adalah seorang hamba yang bersujud kepada Allah dengan melaksanakan tugas berupa amal shalih yang telah ditetapkan Allah baginya sejak sebelum kelahirannya. Ada sebuah miqat yang dilalui seseorang ketika memasuki al-haram, berupa pengenalan diri.

Pengenalan diri seseorang harus diwujudkan dalam bentuk amal-amal shalih sebagai sarana sujud seorang hamba kepada Allah, bentuk sujud yang sebenarnya. Untuk hal itu setiap hamba perlu membangun bait, berupa baitullah dalam hati sebagai sarana untuk bermunajat kepada Allah, dan bait rumah tangga yang mendukung terwujudnya amal shalih. Dengan kedua bait tersebut akan terwujud sebuah bait yang diijinkan Allah untuk disebut dan ditinggikan asma-Nya di dalamnya. Tanpa baitullah dalam hati, seorang laki-laki tidak akan mampu berdzikir kepada Allah, dan tanpa rumah tangga yang baik seorang laki-laki tidak akan mampu meninggikan asma-Nya bagi umatnya.
 

Al-Arhaam Untuk Mengikuti Seruan Rasulullah SAW

Tanpa seorang perempuan shalihah yang mendampingi seorang laki-laki shalih dalam sebuah pernikahan, laki-laki tersebut tidak akan mampu merealisasikan dengan baik kehendak Allah yang dikenalnya. Seorang laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga harus bersama-sama secara sinergis merealisasikan kehendak Allah, karena hanya dengan bekerja sama keduanya bisa mengalirkan khazanah Allah bagi umatnya. Pentingnya rumah tangga yang baik untuk merealisasikan kehendak Allah di bumi diceritakan dalam Alquran sebagai berikut : 


﴾۱﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
 

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari nafs wahidah dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan bertakwalah terhadap al-arhaam. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS An-Nisaa’ :1)
 

Untuk mewujudkan kehendak Allah bagi umat manusia, kesatuan antara seorang laki-laki dan perempuan harus terbentuk hingga tingkatan nafs wahidah, yaitu jiwa yang tertinggi yang merupakan jati diri penciptaan setiap manusia. Penyatuan jiwa itu dapat terjadi bilamana terbentuk pengetahuan yang sama. Di dalam diri setiap manusia yang hidup, terdapat jasmani yang hidup dan banyak hawa nafsu, serta mungkin ada nafs wahidah yang merupakan jati diri orang tersebut. Nafs wahidah seorang laki-laki adalah jati diri penciptaan dirinya, dan nafs seorang perempuan adalah jiwa yang diciptakan dari nafs wahidah laki-laki, yang dijadikan sebagai pasangan bagi nafs wahidah suaminya. Bila dikehendaki Allah, akan dibukakan kepada mereka pengetahuan yang serupa yang saling melengkapi, sehingga terjadi penyatuan jiwa untuk melaksanakan amr Allah. Seorang suami akan mengenali khazanah Allah yang tersimpan dalam diri istrinya, dan seorang istri dapat mengenali urusan Allah bagi suaminya, menghadirkan alam duniawi yang tepat bagi suaminya, dan dapat secara aktif memberikan peringatan kesalahan yang mungkin akan dilakukan suaminya. Dengan penyatuan jiwa suami dan istri dalam amr Allah itulah akan terbentuk al-arhaam di antara keduanya. Al-arhaam inilah yang merupakan saluran untuk mengalirnya khazanah Allah bagi alam semesta melalui sepasang manusia. Tanpa terbentuk al-arhaam, seorang laki-laki hanya akan menjadi makhluk bumi yang dihinakan oleh syaitan.

Dalam lingkup internal pasangan suami isteri yang menikah, al-arhaam ini adalah rasa cinta kasih yang berlandaskan pada sifat rahman dan rahim-Nya. Terbentuk rasa cinta yang kuat di antara suami dan isteri dan iktikad yang kuat untuk melaksanakan perintah Allah bagi kebaikan umat manusia. Rasa cinta ini akan terpancar dari rumah tangga mereka, muncul sebagai kekuatan untuk meninggikan asma Allah bagi umat yang menjadi tanggung jawab mereka. Rumah tangga mereka menjadi sebuah bait yang diijinkan Allah untuk disebut dan ditinggikan nama-Nya di dalamnya, dan mereka selalu bertasbih kepada Allah pada pagi dan petang.

Status al-arham dalam bait seperti ini sebenarnya tidak terjangkau oleh kekuatan syaitan, sekalipun oleh Iblis besar yang menolak perintah bersujud kepada Adam. Kekuatan syaitan hanya sampai pada miqat pengenalan jati diri seseorang sebagaimana Iblis menggelincirkan Adam dengan pohon khuldi yang merupakan jati diri adam. Akan tetapi syaitan menggunakan ilmu-ilmu yang diturunkan kepada dua malaikat Harut dan Marut untuk menggelincirkan manusia. Tiruan al-arhaam ini dapat terbentuk secara bathil di antara dua manusia berlainan jenis, maka sepasang manusia dapat tersesat dalam perbuatan keji dengan tiruan al-arham tanpa melalui sebuah pernikahan. Bila seorang perempuan terjebak dalam perbuatan keji semacam ini, dirinya dapat membinasakan umat bagi dirinya bersama suaminya, menyeretnya pada jalan yang keliru, sementara dirinya akan berpikir bahwa dirinya melaksanakan perintah Allah. Pikirannya untuk menolong agama melaksanakan perintah Allah adalah waham yang tidak akan terbukti. Allah mempertanyakan keadaan laki-laki yang terjebak dalam keadaan semacam itu dengan firman : Apakah kalian mengatakan tentang Allah dengan sesuatu yang tidak engkau ketahui?

Bait yang al-arham terpancar darinya harus dibentuk oleh sepasang manusia dalam pernikahan. Hal itu hanya dapat terbentuk bila seorang laki-laki telah menemukan miqat berupa pengenalan jati dirinya. Membangun bait semacam itu merupakan langkah lebih lanjut yang harus dilaksanakan setelah seseorang mengenal jati dirinya. Seorang laki-laki harus berusaha membentuk rumah tangganya agar terpancar al-arham darinya, tidak menempuh langkah instan terburu-buru mengikuti langkah syaitan. Tidak akan ada al-arham tanpa rumah tangga yang baik. Dengan bait semacam itu, seseorang dapat bersujud dengan sebenarnya sujud kepada Allah, yaitu melaksanakan perintah-perintah Allah sebagaimana kehendak Allah. Itu adalah sebuah status hamba yang berada di masjidil haram. Dengan langkah itu dirinya dapat berusaha mengikuti seruan rasulullah SAW dengan benar untuk kembali kepada Allah.

Walaupun demikian, tidak berarti pembinaan pernikahan hanya perlu dilakukan setelah seseorang mengenal diri. Landasan dan bangunan kasih-sayang dalam diri seseorang merupakan pusat nilai seorang manusia, sedangkan pengetahuan diri (hanya) merupakan parameter perjalanan seseorang ketika berjalan menuju Allah. Pernikahan yang baik akan mengantarkan seseorang untuk mengenal diri, bahkan kadangkala pernikahan yang berantakan sekalipun dapat mengantarkan seseorang mengenal dirinya selama tidak ada pengkhianatan dalam hati. Pengenalan diri menjadi bahan pembinaan pernikahan yang harus dilakukan setelah seseorang mengenal diri, karena Asma Allah hanya dapat ditinggikan di rumah yang diijinkan Allah, bukan oleh hanya seorang laki-laki yang mengenal Allah.
 

Selisih dalam Memenuhi Seruan Rasulullah SAW

Rasulullah SAW adalah manusia paripurna yang seruannya tidak dapat dipersamakan dengan seruan seorang manusia lain. Setiap makhluk harus memenuhi seruan rasulullah dengan seksama, dan tidak mempersamakan seruan rasulullah SAW dengan seruan orang lain. Akan banyak ragam sikap manusia dalam menyambut seruan rasulullah SAW untuk kembali kepada Allah. Hanya satu golongan manusia yang mengikuti rasulullah SAW dengan benar, yaitu al-jamaah, atau ahlus-sunnah. Rasulullah SAW bersabda: 


أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ: ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَة
 

Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahlul Kitab telah berpecah-belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan sesungguhnya agama ini (Islam), akan berpecah-belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam Neraka dan hanya satu golongan di dalam Surga, yaitu al Jama’ah. (HR Abu Dawud no. 4597; Ahmad (IV/102); al Hakim (I/128)

 

Dalam riwayat lain disebutkan : 


“…كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَةً وَاحِدَةً: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ.”
 

Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para sahabatku berjalan di atasnya. [HR at Tirmidzi, no. 2641]

 

Agak sulit untuk mengerti dengan pasti siapa yang dimaksudkan dengan al-jamaah atau ahlus-sunnah. Setiap kelompok akan mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang mengikuti rasulullah SAW dengan benar, atau sebagian manusia mengingkari hadits tersebut dengan menggolongkan sebagai hadits yang matannya meragukan, dan mengatakan bahwa hadits tersebut memecah belah umat islam menjadi berkelompok-kelompok. Kesulitan ini muncul karena berbagai sebab, di antaranya adalah kekurangan pengetahuan terhadap seruan rasulullah SAW secara komprehensif. Selain itu ada penyebab lain yang lebih berbahaya, yaitu hilangnya sikap hanif di antara manusia. Mereka tertutup oleh sebuah waham kebenaran sehingga tidak mau mengikuti kebenaran. Ini merupakan tipu daya syaitan melalui hawa nafsu manusia.

Al-jamaah adalah kelompok manusia yang berada di atas amr jami’ dengan bashirah mereka, yaitu orang-orang yang mengenal urusan yang diturunkan kepada rasulullah SAW untuk ruang dan waktu mereka. Hal ini akan terbuka bila seseorang mengenal untuk apa dirinya diciptakan, mengenal kedudukan dirinya dalam perjuangan kebenaran universal yang diturunkan kepada rasulullah SAW. Mereka itu adalah kelompok al-jamaah. Dalam ungkapan lain, mereka dikatakan sebagai ahlus-sunnah karena mereka adalah orang-orang yang mengerti seruan rasulullah SAW untuk menempuh jalan kembali kepada Allah dengan bashirah mereka.

Hal yang menjadikan seseorang masuk neraka menurut hadits tersebut adalah firqah, atau kelompok. Hal ini menunjukkan adanya sebuah sikap keberpihakan secara kuat terhadap sebuah perkataan tentang keyakinan, atau fanatisme. Di sisi lain, sikap demikian mencerminkan hilangnya sikap hanif pada kelompok tersebut. Barangkali seseorang tidak atau belum masuk dalam golongan al-jamaah, atau ahlus-sunnah, tetapi tidak tumbuh fanatisme terhadap sebuah perkataan tentang keyakinan tertentu, dan tetap memelihara sikap hanif, maka orang tersebut tidak masuk dalam sebuah firqah. Sikap demikian itu tidak menjadikannya masuk dalam neraka, walaupun belum tentu menjadikannya sebagai ahli surga. Umat islam kebanyakan akan terjatuh dalam fanatisme ajaran karena kurangnya sikap hanif dalam kehidupan mereka, sehingga merasa telah menemukan kebenaran final dalam faham mereka tanpa berusaha mengerti secara sungguh-sungguh apa yang diserukan rasulullah SAW.

Firqah merupakan potensi bahaya yang nyata dalam kehidupan umat islam. Dengan ber-firqah, seseorang hanya memahami sebagian kecil apa yang diseru rasulullah SAW dan kemudian menolak kebenaran yang lebih universal. Dalam tingkatan paling bawah, seorang muslim mungkin saja akan terjatuh dalam firqah khawarij yang menjadi anjing-anjing neraka pembela munculnya dajjal. Mereka membaca alquran dan membicarakan perkataan manusia-manusia terbaik, tetapi bacaan alquran mereka tidak mengubah apa yang ada dalam hati mereka, dan mereka merasa menjadi kelompok manusia-manusia terbaik. Bacaan dan perkataan mereka itu justru menghalangi mereka untuk mengenal kebenaran yang lebih baik, padahal tauhid mereka tidak lebih baik dari tauhid iblis ketika diusir karena menolak bersujud kepada Adam.

Tidak hanya satu firqah yang tumbuh dalam islam. Paradigma jati diripun bisa menjadi sebuah firqah bilamana tidak disikapi dengan tepat. Pengetahuan jati diri merupakan gerbang awal seseorang memasuki agamanya. Bila pengetahuan jati diri seseorang kemudian menjadi penghalang, pengacau atau penghambat bagi proses terbentuknya bait di antara manusia, yaitu bait yang diijinkan Allah untuk disebut dan ditinggikan asma-Nya di dalamnya, maka ini merupakan upaya syaitan dalam menghalangi umat manusia dari agama. Fanatisme terhadap pemahaman jati diri semacam itu merupakan firqah yang akan mengantar seseorang masuk ke neraka. 


﴾۷۲﴿يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُم مِّنَ الْجَنَّةِ يَنزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
 

Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman. 


﴾۸۲﴿وَإِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا وَجَدْنَا عَلَيْهَا آبَاءَنَا وَاللَّهُ أَمَرَنَا بِهَا قُلْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
 

Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: "Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya". Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji". Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui? (QS Al-A’raaf : 27-28)

 

Dalam dua ayat di atas, fitnah yang menimpa Adam adalah fitnah jati diri Adam berupa pohon khuldi. Bila sebuah faham jati diri kemudian menghalangi manusia untuk memahami seruan rasulullah SAW, atau perkataan yang lebih dekat dengan seruan rasulullah SAW, maka faham itu merupakan firqah yang akan mengantarkan manusia masuk ke dalam neraka. Firqah itu menghalangi pemahaman yang lebih komprehensif terhadap kebenaran universal. Barangkali itu merupakan firqah yang tertinggi sebelum seseorang atau sekelompok manusia mengenal atau mengikuti kelompok al-jamaah. Yang melakukan fitnah untuk berfirqah semacam ini adalah Iblis besar yang dahulu menolak bersujud kepada Adam.

Bila ada perkataan yang lebih dekat dengan seruan rasulullah SAW, maka pemahaman firqah tersebut harus segera diarahkan untuk mengikuti perkataan itu, dan perkataan itu merupakan perkataan dari kelompok al-jamaah atau ahlus-sunnah. Kemampuan syaitan menipu hanya akan sampai pada masalah jati diri, kemungkinan tidak menyentuh langkah yang lebih tinggi dari hal itu. Pernyataan ini hanyalah sebuah hasil pembacaan yang harus disikapi dengan ketaqwaan, karena boleh jadi seseorang tertipu dalam semua tingkatan. Iblis telah bersumpah untuk duduk di shiratal mustaqim bagi manusia, sehingga mungkin saja seseorang terjatuh ketika di shirat al mustaqim. Dengan mengikuti perkataan yang lebih baik, seseorang atau sebuah kelompok mungkin akan terlepas dari jebakan firqah yang akan menjadikan mereka sebagai ahli neraka.

Pengetahuan tentang al-arhaam, atau ke-paramartha-an, yaitu pengetahuan tentang bait yang diijinkan Allah untuk disebut dan ditinggikan nama-Nya di dalamnya merupakan pengetahuan yang lebih dekat dengan seruan rasulullah SAW dibandingkan dengan pengetahuan tentang jati diri. Hal itu dijelaskan secara tersirat dalam susunan kedua ayat tersebut di atas. Syaitan mendorong manusia untuk mengenal jati dirinya, dengan sasaran untuk menghancurkan pemahaman yang lebih baik terhadap seruan rasulullah SAW berupa bait paramartha. Tentu hal ini tidak dilakukan syaitan hanya untuk merusak bait perorangan, tetapi iblis akan membuat kekacauan pemahaman untuk masyarakat seluas-luasnya. Hal ini seharusnya dijadikan petunjuk bagi orang-orang yang ingin mengikuti rasulullah SAW dengan sebaik-baiknya. Pengetahuan tentang jati diri itu masih dapat diselewengkan syaitan dengan sebuah kekejian yang terlihat sebagai amr Allah, sedangkan orang membangun bait paramartha sesuai tuntunan rasulullah SAW lebih aman dari penyelewengan. Membina pernikahan dengan pengetahuan sunnah yang baik bisa menjadi modal langkah seseorang menuju Allah dan pagar yang mengamankan.

Pernikahan merupakan bagian besar dari sunnah rasulullah SAW, karena itu akan membentuk bait yang asma-Nya ditinggikan di dalamnya, memancarkan asma Allah bagi semesta seorang manusia. Tanpa bait, seorang yang mengenal Allah hanya menjadi makhluk asing bagi semestanya. Pembinaan rumah tangga yang baik sesuai dengan alquran dan sunnah rasulullah SAW merupakan bagian dari seruan nabi yang berkedudukan tinggi yang tidak boleh dihalangi, dikacaukan ataupun dihambat. Bilamana ada kekeliruan dalam seruan itu, maka hendaknya diperbaiki, tidak ditenggelamkan seruannya. Hendaknya manusia tidak mempersamakan seruan rasulullah SAW dengan seruan satu sama lain di antara manusia, termasuk dalam hal pernikahan.

Fanatisme akan menghalangi manusia dari kebenaran universal yang diturunkan kepada rasulullah SAW. Sebenarnya sikap itu akan membuat seseorang tidak memahami amr rasulullah SAW dengan baik dan membuat seseorang menolak kebenaran. Amr jami’ yang diturunkan kepada rasulullah SAW merupakan panduan lurus dan benar tidaknya pemahaman seseorang tentang agama. Fanatisme pada akhirnya akan menjadikan amal-amal yang bersumber dari fanatisme tertolak. karena sebenarnya mereka akan menolak kebenaran. Orang-orang fanatik tidak akan dapat memahami amr rasulullah SAW. dari Aisyah r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda : 


مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
 

Barangsiapa yang beramal tanpa adanya perintah (amr) dari kami, maka amalan tersebut tertolak [HR Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718, Abu Dawud no. 4606 dan Ibnu Majah no. 14 ].
 

Hadits ini menjelaskan tentang pentingnya pemahaman seseorang tentang amr jami’ sebagai landasan untuk beramal, tidak untuk dibuat sebagai alat tuduhan firqah satu dengan yang lain tanpa memahami amr rasulullah SAW. Setiap orang harus berusaha memperoleh pemahaman tentang amr rasulullah SAW dengan sebaik-baiknya, tidak terjebak dalam interpretasi orang lain.