Pencarian

Kamis, 24 Oktober 2019

Agama adalah Nasihat


Dalam sebuah hadits, rasulullah menyampaikan bahwa agama adalah nasihat. 

عَنْ أَبِيْ رُقَيَّةَ تَمِيْمِ بْنِ أَوْسٍ الدَّارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ اَلدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، قَالُوْا: لِمَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: ِللهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَِلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ أَوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ، وَعَامَّتِهِمْ. 

Dari Abi Ruqayyah, Tamim bin Aus ad-Dâri Radhiyallahu anhu , dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda: “Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat”. Mereka (para sahabat) bertanya,”Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Imam kaum Muslimin atau Mukminin, dan bagi kaum Muslimin pada umumnya.”

Kata “nasihat” berasal dari bahasa Arab. Diambil dari kata kerja “nashaha” (نَصَحَ), yang maknanya “khalasha” (خَلََصَ), yaitu murni serta bersih dari segala kotoran. Bisa juga bermakna “khâtha” (خَاطَ), yaitu menjahit, seperti menjahit pakaian. Lisanul-Arab (XIV/158-159) 

Alquran memberikan pengertian kata nasihat dalam makna yang lebih luas, tanpa terlepas dari arti mufradat kata tersebut. Nabi Hud a.s dan nabi Shalih a.s merupakan dua nabi yang menyeru kepada umatnya dengan risalah Allah, dan keduanya adalah orang-orang yang benar-benar memberi nasihat kepada umatnya. Sedangkan Iblis mengatakan kepada Adam dan Hawa bahwa dirinya adalah pemberi nasihat bagi mereka berdua. Itu hanyalah sebuah kebohongan karena apa yang dianjurkan iblis kepada kedua manusia di surga itu memisahkan keduanya dari kebenaran. Demikian pula saudara-saudara Yusuf mengatakan kebohongan bahwa mereka adalah orang-orang yang ingin memberikan nasihat kepada Yusuf. 

Nasihat Nabi Hud a.s dan Nabi Shalih a.s

Untuk memahami makna “nasihat” sebagaimana yang diajarkan nabi, Alquran menceritakan kisah nabi Hud a.s dan nabi Shalih a.s yang menyampaikan risalah tuhannya dan memberikan nasihat kepada umatnya. 

أُبَلِّغُكُمۡ رِسَٰلَٰتِ رَبِّي وَأَنَا۠ لَكُمۡ نَاصِحٌ أَمِينٌ 

QS Al-A’raaf : 68. Aku menyampaikan risalah-risalah Tuhanku kepadamu dan aku adalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu".

فَتَوَلَّىٰ عَنۡهُمۡ وَقَالَ يَٰقَوۡمِ لَقَدۡ أَبۡلَغۡتُكُمۡ رِسَالَةَ رَبِّي وَنَصَحۡتُ لَكُمۡ وَلَٰكِن لَّا تُحِبُّونَ ٱلنَّٰصِحِينَ 

QS Al-A’raaf : 79. Maka Shaleh meninggalkan mereka seraya berkata: "Hai kaumku sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu risalahTuhanku, dan aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat". 

Umat nabi Hud a.s adalah kaum ‘Aad dan umat nabi Shalih adalah kaum Tsamud. Kedua kaum tersebut berdiam di sebuah negeri yang sangat makmur pada zamannya. Banyak bangunan monumental yang dibuat kaum Tsamud dengan cara memotong dan memahat dinding batu atau tebing gunung. Kemampuan dan keterampilan mengukir batuan menghasilkan istana megah, altar, rumah, makam, gedung teater, tempat religi, termasuk sistem pengairan. kaum ‘Aad tinggal di wilayah perbukitan di sebuah daerah antara Yaman dan Oman. Mereka terkenal begitu ahli membangun gedung-gedung tinggi dengan menara-menara yang tinggi. Kaum ‘Aad juga dikaruniai tanah yang begitu subur dengan sarana irigasi yang juga begitu baik. Mereka bahkan memiliki banyak pasokan air yang dapat menyuburkan perkebunan mereka. Dengan keadaan tersebut, orang-orang kaum ‘Aad hidup dengan sangat makmur. Mereka membangun tempat tinggal yang begitu indah dan megah, serta membangun istana-istana mewah. 

Namun kemajuan mereka keropos, bukan kemajuan yang benar. Mereka banyak menyembah tuhan-tuhan selain Allah dalam wujud patung tiang-tiang yang tinggi. Penyembahan semacam ini merupakan konsekuensi dari keadaan anggota-anggota masyarakat. Penyembahan tuhan-tuhan semacam ini terlahir dari hawa nafsu masing-masing orang untuk mencari kesejahteraan duniawi bagi diri-sendiri. Hawa nafsu egois semacam ini bisa menggerakkan kemajuan peradaban namun terdapat ketimpangan dalam tata nilai bermasyarakat. Kemakmuran itu hanya terjadi pada sisi lahiriah, dan dari sisi batin terjadi ketimpangan. Tidak ada keadilan pada masyarakat yang maju dengan cara semacam ini. Sebagian rakyat lemah semakin tertindas, orang-orang yang kuat semakin maju, dan orang-orang yang mencari kebenaran akan tertindas, sebagaimana Fir’aun menyembelih anak-anak laki-laki bani Israel dan membiarkan anak-anak perempuan mereka. Hal ini sebenarnya dapat juga dirasakan dalam kehidupan modern dewasa ini. 

Nabi Hud a.s dan Shalih a.s menyampaikan risalah Allah kepada kaum-kaum mereka, agar mereka kembali beribadah kepada Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Kaum-kaum itu telah kehilangan kasih sayang di antara mereka karena memperturutkan hawa nafsu untuk mensejahterakan diri sendiri hingga terwujud penyembahan kepada tuhan-tuhan selain Allah yang menyeret mereka dalam tata nilai masyarakat yang keji. Kehidupan bagi mereka hanyalah kehidupan duniawi semata tanpa hal batiniah yang perlu dibangun. Kekejian ini menjadikan satu pihak menindas pihak lain. 

Kembali beribadah kepada Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang adalah penyembuh bagi keadaan masyarakat semacam ini. Tanpa kembali kepada Allah, masyarakat akan hancur dengan sendirinya ditelan kekejian satu terhadap yang lain, mungkin dengan cara yang lebih menyakitkan daripada Azab yang diturunkan kepada mereka dengan serta merta. Tata bermasyarakat di kaum tersebut akan rapuh dan mencekik perlahan-lahan kehidupan mereka. Allah menurunkan azab sebagai sebuah kasih sayang bagi mereka. 

Seruan risalah nabi Hud a.s dan Shalih a.s adalah sebuah nasihat. Allah Ar-rahmaan Ar-rahiim menciptakan alam semesta, untuk menjadikan manusia sebagai makhluk yang berakhlak mulia. Akhlak mulia merupakan bentuk makhluk yang mulia, bukan hanya etika yang baik. Kemuliaan akhlak merupakan pemberian Allah kepada manusia, yaitu manusia yang menginginkan kedekatan kepada Allah dengan memakai nama-nama mulia milik-Nya. Dengan akhlak mulia, seorang manusia dapat mengenal Allah dengan hatinya, dan dapat berbuat sesuai dengan kehendak Allah sebagai sebuah amal shalih. Dengan amal shalih maka kemajuan peradaban dapat dibangun dengan baik, baik dari sisi lahiriah maupun bathiniah. Kemajuan peradaban yang sempurna itu hanya dapat terlahir dari penyatuan umat manusia terhadap urusan Allah. 

Risalah nabi-nabi tersebut akan menyatukan umat manusia terhadap urusan Allah, tetapi umat mereka mendustakan. Nabi-nabi tersebut menjahit potongan-potongan umat manusia dalam satu urusan (amr) Allah untuk memakmurkan bumi. Ini adalah nasihat. 

Nasihat dalam bentuk ini menjadi dasar dari bentuk-bentuk lahiriah perjuangan bersama rasulullah SAW. Tidak ada dosa bagi orang-orang yang lemah, sakit dan tidak memperoleh belanja untuk perjuangan bersama rasulullah SAW selama mereka membangun nasihat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah mengampuni dan menyayangi orang-orang dalam keterbatasan tersebut selama mereka bernasihat kepada Allah dan rasul-Nya. 



لَّيۡسَ عَلَى ٱلضُّعَفَآءِ وَلَا عَلَى ٱلۡمَرۡضَىٰ وَلَا عَلَى ٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ مَا يُنفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُواْ لِلَّهِ وَرَسُولِهِۦۚ مَا عَلَى ٱلۡمُحۡسِنِينَ مِن سَبِيلٖۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ 

QS At-Taubah : 91. Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka bernasihat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang muhsin. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, 


Nasihat Syaitan 

Syaitan pun memberikan nasihat kepada leluhur umat manusia. 

وَقَاسَمَهُمَآ إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ ٱلنَّٰصِحِينَ 

QS Al-A’raaf : 21. Dan dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya. "Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua", 

Nasihat syaitan itu dilakukan agar Adam dan Hawa mendekati dan memakan buah dari pohon terlarang. Pohon itu adalah pohon keabadian dan kerajaan yang tidak akan binasa. Sebenarnya pohon itu adalah pohon thayyibah bagi Adam, namun Adam tidak boleh menginginkan pohon itu hingga terbentuk sebuah Azam yang kuat pada dirinya sehingga beliau layak untuk mengemban peran sebagai khalifatullah untuk kerajaan yang abadi. 

Nasihat syaitan untuk memakan buah dari pohon itu sebelum waktunya menyebabkan Adam dan Hawa terbuka auratnya dan mereka harus menutupinya dengan daun-daun dari surga. Mereka berdua bermaksiat kepada Tuhannya dan tersesat karena memakan buah dari pohon terlarang. Nasihat itu justru menceraikan mereka dari urusan Allah, tidak menyatukan mereka dalam kehendak Allah walaupun pohon itu diperuntukkan bagi mereka. Hal itu karena belum ada Azam pada diri Adam. 

Untuk melaksanakan jati dirinya, setiap manusia harus membangun sebuah azam terlebih dahulu. Azam itu berupa kehendak yang kuat untuk menyatukan diri kepada kehendak Allah. Azam tersebut tidak dapat dibangun sendiri, tetapi mesti mengenal Allah dengan sifatnya Ar-rahman Ar-rahiim yang menghendaki kasih sayang bagi seluruh makhluk-makhluk. Setiap orang harus membangun Azam dengan membangun dalam dirinya kasih sayang Allah terhadap seluruh makhluk-Nya. 

Setiap manusia harus menjahit dirinya dalam kesatuan urusan Allah, kesatuan rahmaniah dan rahimiah-Nya. Itu adalah An-nasihah. Kesatuan urusan itu diturunkan dalam Kitabullah melalui Rasulullah SAW, kemudian para imam-imam kaum mukminin dan muslimin, dan mencapai umat islam secara keseluruhan. Agama akan tegak dengan penyatuan terhadap urusan Allah tersebut. Rasulullah SAW adalah orang yang paling mengenal Allah, dan memegang kitab yang menjadi panduan umat manusia untuk mengenal Allah, para Imam yang benar adalah orang-orang yang mengenal Rasulullah SAW, dan mereka bagaikan khalifatullah yang memiliki Azam untuk menyatukan dan menjahit mukminin dan muslimin dalam urusan Allah, dan kaum mukminin harus berusaha mewujudkan kehendak Allah dalam kehidupan mereka. 

Nasihat dan Pernikahan 

Agama adalah nasihat, dan setengah dari agama adalah pernikahan. Terdapat kaitan yang sangat kuat antara nasihat dengan pernikahan karena dengan pernikahan akan terbentuk ikatan kasih sayang ilahiah dalam diri seorang manusia. Seorang istri adalah ladang yang akan membangkitkan benih jiwa suaminya untuk tumbuh sebagai pohon thayyibah. Pohon thayyibah ini akan membuatnya mengenal Allah sebagai cahaya bagi langit-langit dan bumi. 

Istri adalah ladang, dan suami adalah benih pohon thayyibah. Istri adalah bumi bagi suaminya, menjadi lapis pertama dalam menumbuhkan azam sehingga terbentuk ikatan yang kuat antara seorang laki-laki dengan semesta mereka. Seorang laki-laki atau perempuan sendirian dapat tumbuh untuk mencintai Allah, walaupun mungkin dengan susah payah. Tetapi manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di bumi yang harus terhubung baik dengan buminya. Untuk hal ini manusia diciptakan berpasangan sebagai laki-laki dan perempuan. Pernikahan ini akan membangkitkan azam dalam diri seorang laki-laki, yang mengantarkannya mencapai nasihat, yaitu nasihat untuk menjalankan agama. Ini adalah akar bagi pohon diri yang menjadi pokok agama, lebih utama daripada daun. 

Pernikahan juga akan memberikan pakaian penutup aurat. Ketika di surga, Adam dan Hawa menutup aurat mereka dengan daun-daun surga. Di dunia ini, bila pohon diri tumbuh dalam pernikahan, akan muncul daun-daun pohon di langit yang dapat dijadikan pakaian penutup aurat. Daun-daun itu adalah petunjuk-petunjuk yang diterima jiwa dari cahaya Allah. Petunjuk-petunjuk itu hendaknya dijadikan pakaian bagi mereka berdua, saling menutupkan satu bagi yang lain. Bila pernikahan terganggu, daun-daun ini tidak akan banyak tumbuh. 

Iblis yang menolak perintah bersujud dapat menyesatkan manusia dengan ketergesaan melaksanakan kedudukan yang abadi berupa buah pohon thayyibah diri manusia itu tanpa menumbuhkan azam dalam dirinya. Dengan godaan itu seorang manusia terlepas dari esensi agama berupa nasihat. Rasulullah SAW menekankan dengan sungguh-sungguh bahwa agama adalah nasihat, agama adalah nasihat, agama adalah nasihat. Manusia tidak boleh mendekati pohon dirinya tanpa nasihat. 

Pada tingkat berikutnya, iblis lain merusak manusia dengan memisahkan seorang laki-laki dari istrinya. Ini adalah upaya menghilangkan azam dan nasihat dari diri seorang laki-laki shalih, dan dengan hal ini seorang laki-laki shalih tanpa terasa akan dapat terlepas dari agama walaupun mengenal dirinya. Bagi seseorang yang mengenal Allah, keterpisahan dirinya dengan istrinya merupakan beban yang sangat berat karena azam dan nasihat yang terpotong terhadap semestanya. Peran dirinya yang abadi berupa jati dirinya akan terasa tidak mempunyai arti apapun dibandingkan kehilangan bagian diri yang menjadi mediumnya bagi semesta. Kehilangan seluruh istri karena syaitan akan menghempaskan seorang laki-laki shalih dalam keterpurukan karena terpotongnya azam dan nasihatnya, sehingga dirinya tidak mempunyai jangkauan terhadap umatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar