Pencarian

Selasa, 30 November 2021

Bait dan Pelaksanaan Bakti (al-Birr)

 Allah menjadikan rumah sebagai media bagi manusia untuk melakukan kebaktian (al-birr). Tidak mudah untuk mendefinisikan secara pasti apa yang dimaksud sebagai kebaktian (al-birr). Kebaktian (al-birr) dapat dikatakan sebagai amal kebaikan yang terlahir dari kebaikan akhlak, yang dilakukan seseorang sebagai upaya menyambungkan suatu khazanah dari Allah hingga mengalir mencapai alam mulkiyahnya. Dalam mewujudkan amal demikian, seseorang membutuhkan media berpijak berupa bayt untuk meninggikan dan menyebutkan asma Allah di dalamnya.

﴾۹۸۱﴿ يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَن تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَىٰ وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebaktian memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaktian itu ialah kebaktian orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (QS Al-Baqarah :189)

Inti dari ayat tersebut adalah tentang tatacara mewujudkan al-birr yang perlu diperhatikan oleh seseorang yang harus mewujudkan al-birr. Ayat tersebut menghubungkan beberapa hal yang terkait dengan al-birr. Bulan sabit, haji, rumah-rumah, dan ketakwaan disebutkan dalam satu rangkaian ayat, seolah-olah tanpa suatu hubungan yang jelas. Tentu tidak demikian, bahwa sebenarnya keseluruhan hal yang disebut dalam ayat tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain. Dari sudut pandang bayt, haji berkaitan dengan rumah-rumah, bulan sabit berkaitan dengan rumah-rumah, al-birr berkaitan dengan rumah-rumah dan ketakwaan.

Bayt yang disebut ayat tersebut menunjukkan pada rumah tangga, bukan baitullah al-haram atau al-aqsha karena disebutkan sebagai bayt-bayt yang banyak, tidak tunggal atau berdua-dua yang menunjuk pada qiblat atau dua qiblat. Itu adalah salinan millah Ibrahim a.s yang harus dibentuk oleh setiap orang yang ingin kembali kepada Allah.

Hilal menunjuk pada suatu hubungan tertentu antara bumi dan bulan terhadap matahari. Hal demikian juga terkait dengan bentuk keluarga yang harus dibentuk seseorang. Bulan merupakan satelit bagi bumi yang bermanfaat memberikan stabilitas poros putar bumi. Tanpa bulan, bumi tidak akan memperoleh poros putar yang stabil sehingga akan banyak terjadi keguncangan di bumi, dan laut tidak dapat tenang. Hal itu terjadi karena bumi berputar tanpa poros yang ajeg. Tanpa bulan, tidak dapat dilakukan perhitungan waktu di muka bumi, tidak dapat menghitung cuaca dan musim dengan baik, dan lain-lain. Pada pokoknya, hilal menjadi dasar perhitungan waktu bagi manusia. Bumi dan bulan bersama-sama melakukan thawaf mengelilingi matahari untuk memberikan kemakmuran di permukaan bumi. Hal itu terkait dengan hubungan rumah tangga, bahwa suami dan isteri harus dapat menciptakan hubungan yang tepat sebagaimana hubungan bulan dengan bumi terhadap matahari, agar mereka dapat menghadap kepada Allah dengan baik dengan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan di bumi.

Haji merupakan ibadah mengunjungi baitullah dengan tatacara yang ditetapkan yaitu mengikuti perjalanan ibrahim a.s. Hal itu terkait dengan rumah seseorang yang harus dibentuk bersama keluarganya, dalam bentuk keluarga sebagaimana keluarga Ibrahim a.s. Untuk mengikuti millah Ibrahim a.s, yaitu membentuk bayt yang diijinkan Allah untuk meninggikan asma Allah dan mendzikirkan asma-Nya, harus terbentuk hubungan yang tepat antara seorang suami dengan isterinya sebagaimana hubungan bumi, bulan dan matahari. Dengan berdasarkan hilal, seseorang dapat menentukan perhitungan waktu untuk berhajji.

Millah Ibrahim a.s merupakan gambaran tentang bayt yang harus dibentuk seseorang agar Allah mengijinkan bayt itu untuk meninggikan dan disebut asma Allah di dalamnya. Seorang laki-laki menghadapkan diri kepada Allah dengan akalnya, dan isteri menghadapkan diri kepada Allah dengan akalnya melalui suaminya. Keduanya telah diberi modal akal yang sesuai dengan sasaran dan beban tugas masing-masing. Setiap orang harus mengusahakan terwujudnya bayt demikian dalam kebersamaan mereka dalam pernikahan. Manakala seorang mukminat tidak mengupayakan terbentuknya bayt, maka ia termasuk dalam kategori perempuan yang lalai. Walaupun seorang perempuan termasuk golongan mukminat dan menjaga diri, bila ia lalai maka syaitan dapat menemukan jalan untuk menjerat jiwanya menuju jalan yang melenceng.

Sebenarnya kedudukan bulan terhadap bumi juga menggambarkan tentang kedudukan seseorang dalam urusan Allah. Ketika seorang laki-laki mengalami keterbukaan terhadap fitrah dirinya, ia akan menemukan bahwa ia berada pada kedudukan tertentu dalam amr rasulullah SAW yang terhubung melalui wasilah-wasilahnya. Bila seorang perempuan mengenal dirinya, ia akan mengetahui kedudukannya bagi suaminya, dan dapat melakukan amal yang tepat yang dibutuhkan untuk mendukung suaminya. Hal itu semisal dengan kedudukan bulan, bumi dan matahari.

Hubungan pernikahan untuk mewujudkan bayt harus dibentuk berdasarkan ketakwaan, tidak dengan melanggar ketentuan-ketentuan Allah. Seseorang bisa saja berusaha mendatangi bayt yang demikian melalui pintu belakang, akan tetapi al-birr tidak dapat terwujud dengan cara demikian. Bilamana seseorang mendatangi bayt melalui pintu belakangnya, tidak bersesuaian dengan ketentuan-ketentuan Allah, maka tidak akan terwujud media untuk melakukan kebaktian (al-birr). Bait sebagai tempat berpijak melakukan kebaktian (al-birr) itu hanya dapat terbentuk melalui ketakwaan, yaitu upaya yang dilakukan bersesuaian dengan ketentuan Allah. Hendaknya setiap orang mengupayakan terbentuknya bayt demikian sesuai dengan ketentuan yang dikehendaki Allah. Keberuntungan akan diberikan kepada orang-orang yang melakukan kebaktian (al-birr) dengan ketakwaan.

Tingginya Kedudukan Al-Birr

Tidak mudah bagi seseorang untuk menemukan kebaktian (al-birr) yang ditentukan Allah kepada dirinya. Banyak kriteria yang menjadi prasyarat bagi seseorang yang ingin menemukan kebaktian dirinya. Pembicaraan tentang penghadapan wajah ke timur atau ke barat bukanlah suatu kebaktian. Ini adalah pembicaraan tentang menghadapkan wajah ke wujud-wujud mulkiyah atau menghadapkan wajah ke alam yang tinggi. Seseorang yang harus mewujudkan kebaktian (al-birr) adalah seseorang yang telah mengerti kesatuan antara wujud mulkiyah dalam kaitannya dengan ibadah kepada Allah.

﴾۷۷۱﴿ لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang berjalan pada sabil dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar; dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS Al-Baqarah : 177)

Ayat tersebut menyebutkan hal-hal yang terkait dengan terwujudnya al-birr. Ada kualitas-kualitas bathiniah dan amal-amal dzahir yang harus terwujud. Amal-amal tersebut tampaknya tidak akan dapat dilaksanakan tanpa sebuah kesungguhan hati. Ayat tersebut menunjukkan adanya kualitas tertentu baik terkait dengan bathin ataupun kualitas dzahir yang sangat tinggi bagi kebanyakan manusia. Tidak semua orang dapat menemukan jalan kebaktian (al-birr).

Dari sisi sebaliknya, tidaklah mudah bagi seseorang melaksanakan kebaktian (al-birr) yang ditemukannya. Kadang-kadang al-birr itu merupakan sesuatu yang tersembunyi atau tidak terpahami oleh kebanyakan manusia. Pada masa kesempurnaan agama, tidak ada lagi kebaktian (al-birr) yang harus dilakukan dengan menyelisihi kitabullah, tetapi pada masa dahulu, al-birr itu seringkali tampak bagai perbuatan yang tidak masuk akal. Akan tetapi tetap saja tidak mudah melakukan amal tersebut bagi seseorang yang harus melakukannya walaupun di zaman kesempurnaan agama.

عَنْ ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، أَخْبِرْنِـيْ بِمَـا يَـحِلُّ لِـيْ وَ يَـحْرُمُ عَلَيَّ ؟ قَالَ : فَصَعَّدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَوَّبَ فِيَّ النَّظَرَ ، فَقَالَ : اَلْبِرُّ مَا سَكَنَتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ ، وَاْلإِثْمُ مَا لَـمْ تَسْكُنْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَلاَ يَطْمَئِنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ ، وَإِنْ أَفْتَاكَ الْـمُفْتُوْنَ
Dan dari Abu Tsa’labah al-Khusyani, ia berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullâh! Jelaskan kepadaku apa saja yang halal dan haram bagiku.” Rasulullah SAW naik (ke suatu tempat) dan menebar pandangan, beliau SAW bersabda, “kebaktian ialah apa saja yang apa saja yang menjadikan jiwa tenang dan hati menjadi tenteram. Dan dosa ialah apa saja yang menjadikan jiwa tidak tenang dan hati tidak tenteram kendati para pemberi fatwa berfatwa kepadamu.” [HR. Ahmad]

Kadangkala kebaktian (al-birr) harus dilakukan oleh seseorang dengan menyelisihi fatwa dari para pemberi fatwa. Permasalahan pelaksanaan al-birr seringkali tidak bersesuaian dengan apa yang diputuskan oleh seorang pemberi fatwa atau majelis pemberi fatwa sekalipun.. Perlu diperhatikan bahwa meminta fatwa kepada hati dan nafs ini diperuntukkan bagi seseorang yang menemukan kebaktian (al-birr) yang harus dilakukan. Orang tersebut sebenarnya berada pada kedudukan tertentu, bukan kebanyakan orang.

Kadangkala seseorang harus mengikuti nafs dan hatinya sendiri. Al-birr akan membuat jiwa seseorang menjadi sakinah dan hati menjadi muthmainnah. Harus diketahui bahwa hal demikian itu tidak dapat ditentukan hanya berdasarkan perasaan saja. Sakinah dapat dikatakan sebagai perasaan merasa bersesuaian dan memperoleh manfaat, sedangkan muthmainnah menunjukkan keadaan merasa percaya dan tercukupi. Sakinah akan muncul disertai dengan pengetahuan tentang objek, dan pengetahuan itu bersesuaian dengan pengenalan tentang diri sendiri. Sedangkan muthmainnah muncul berkaitan dengan kemampuan qalb membenarkan persoalan yang terjadi. Seseorang yang harus melaksanakan al-birr sedangkan ia bertentangan dengan fatwa para pemberi fatwa harus mempunyai pengetahuan terkait objek al-birr dan mengerti kehendak Allah dalam perkara al-birr tersebut. Dengan keadaan itulah ia mengerti bahwa nafsnya merasa sakinah dengan al-birr yang harus dilaksanakan, dan qalb-nya merasakan muthmainnah.

Kamis, 25 November 2021

Meniti Langkah Uswatun Hasanah Ibrahim A.S

Allah memerintahkan kepada umat manusia agar mengingat perjuangan nabi Ibrahim a.s dan puteranya Ismail a.s dalam membina dasar-dasar bait. Beliau berdua mempunyai amanah dari Allah yang harus ditunaikan dalam kehidupan mereka di bumi di antaranya, dan utamanya, berupa amanah memberikan tauladan pembinaan dasar-dasar bayt bagi umat manusia.

﴾۷۲۱﴿وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar (qawaaid) Bait bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah dari kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". (QS Al-Baqarah : 127)

Yang dimaksud dalam perintah memperhatikan pembinaan dasar-dasar bayt bukanlah memperhatikan keterampilan pertukangan membangun kakbah. Pembinaan dasar-dasar bayt itu adalah pembinaan dasar-dasar bayt yang diijinkan Allah untuk ditinggikan dan disebutkan asma Allah di dalamnya. Ada monumen fisik yang dibangun kedua insan tersebut berupa ka’bah yang dijadikan sebagai kiblat baitullah bagi umat manusia. Akan tetapi ayat ini bukan semata-mata perintah memperhatikan pembangunan fisik ka’bah, tetapi memerintahkan umat manusia untuk melihat perjuangan beliau berdua secara keseluruhan dalam merealisasikan perintah Allah yang harus mereka tunaikan dalam mewujudkan bayt yang dijadikan tauladan bagi umat manusia.

Bayt tersebut merupakan keluarga yang dibentuk oleh nabi Ibrahim a.s bersama para ahlul bayt. Para ahlul bayt itu membantu nabi Ibrahim a.s dalam mewujudkan perintah Allah, yaitu menjadi representasi bayt. Setiap perintah Allah yang dikerjakan oleh ahlul bayt tersebut merupakan dasar-dasar (qawaid) berdirinya bayt yang diijinkan Allah untuk ditinggikan dan disebutkan asma Allah di dalamnya. Hajar r.a mentaati nabi Ibrahim a.s untuk tinggal di lembah bakkah tanpa seorang sahabat, Ismail merealisasikan keshiddiqan nabi Ibrahim a.s dengan keridhaan untuk melaksanakan penyembelihan terhadap dirinya. Keseluruhan perintah itu diturunkan kepada nabi Ibrahim a.s yang harus menunaikann tugas sebagai uswatun hasanah. Dengan pelaksanaan peran masing-masing tersebut maka terbentuklah representasi bayt yang dikehendaki Allah.

Hajar r.a harus berjuang mencari sumber air di tanah yang ditentukan baginya. Lembah bakkah pada waktu itu terlihat sangat tandus dan kering tanpa sumber air, sedangkan beliau r.a harus tinggal hanya berdua dengan bayinya tanpa ada orang lain. Upaya mendapatkan sumber air di tanah suci yang dijanjikan namun terlihat tandus merupakan bentuk ibadah yang harus dijadikan tauladan bagi umat manusia dalam membentuk bayt. Demikian pula masalah penyembelihan merupakan suatu bentuk ibadah yang harus dijadikan tauladan oleh setiap manusia dalam mewujudkan bayt. Perjuangan melawan godaan syaitan sebagaimana Ibrahim a.s melempar jumrah merupakan ibadah yang harus dijadikan tauladan dalam membentuk bayt. Amal-amal yang demikian itulah dasar-dasar (qawaaid) pembinaan bayt yang dimaksudkan dalam ayat di atas. Hanya dengan tauladan demikian seseorang dapat membentuk bayt. 

 

Bayt Sebagai Media

Bayt sangat penting bagi seseorang agar ia dapat meninggikan asma Allah dan mendzikirkannya. Ada kualitas tertentu harus terbentuk dalam diri seseorang melalui pernikahan sehingga ia dapat mengerti apa yang menjadi kehendak Allah, dan tanpa kualitas itu ia sebenarnya tidak sepenuhnya mengerti kehendak Allah baginya. Kualitas itu akan terbentuk bila orang tersebut berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membentuk bayt dengan cara yang tepat. Pernikahan merupakan media dan simulasi bagi seseorang untuk memahami kehendak Allah sehingga seseorang dapat meninggikan dan mendzikirkan asma Allah dengan benar.

Keberpasangan akan memperkenalkan manusia kepada asma-asma Allah dengan lebih baik. Ini dapat diibaratkan sebagaimana keberpasangan kedua mata akan membuat manusia dapat menentukan bentuk objek yang dilihat secara lebih akurat dibandingkan penglihatan sebelah mata. Manusia diciptakan secara berpasangan dengan isterinya pada tingkatan nafs yang akan ditemukan bila seseorang mengenal nafs dirinya. Dengan keberpasangan jiwa itu maka seseorang akan dapat mengenal asma Allah dengan lebih baik dibandingkan dengan seseorang yang mengenal dirinya sendiri.

﴾۱۲﴿وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu dari nafs-nafsmu isteri-isteri, supaya kamu berdiam tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS Ar-Ruum : 21)

Ada modal dalam pernikahan yang dapat dijadikan media simulasi dalam upaya memahami kehendak Allah, yaitu sakinah, mawaddah dan rahmah. Modal yang diperoleh itu bernilai semakin besar bila seseorang menikah berdasarkan petunjuk tentang nafs-nya. Sakinah dalam rumah tangga ditunjukkan dengan terwujudnya kemampuan memperoleh pengetahuan ilahiah dan kemampuan mengamalkannya karena pernikahan mereka. Sakinah merupakan tahapan perkembangan lebih lanjut dari pengenalan at-thayyibah, yaitu mengenali urusan Allah dalam kebersamaan pernikahan. Mawaddah merupakan perasaan saling mencintai antara makhluk, dan rahmah merupakaan pengetahuan tentang kasih sayang Allah. Misalnya seorang ibu akan mengenal perasaan sayang kepada putera yang dilahirkannya sebagai secercah salinan asma Allah Ar-rahiim. Modal ini merupakan media simulasi yang dibutuhkan agar seseorang dapat meninggikan asma Allah selaras dengan kehendak Allah.

Langkah yang perlu dilakukan dalam pernikahan untuk mencapai keadaan sakinah, mawaddah dan rahmah secara umum terdiri dari tiga tahapan, yaitu pengorbanan, at-thayyibaat dan sakiinah. Sepasang manusia tidak akan dapat membangun bayt bilamana tidak ada kesediaan berkorban untuk pasangannya dengan memperturutkan semua keinginannya sendiri saja. Pengorbanan itu bukanlah untuk mengalah, tetapi sebenarnya ada akal yang lebih tinggi disediakan bagi orang yang mampu berkurban, sehingga ia dapat mengenal kebenaran yang lebih baik. Hal itu akan menjadi landasan yang kuat untuk mengarahkan rumah tangga sesuai dengan kehendak Allah.

At-thayyibah akan dapat dikenali oleh seseorang yang akalnya menguat. Ia, atau mereka, akan mengenali urusan Allah yang diturunkan kepada mereka karena pernikahan. Satu pihak akan mengenali kebaikan pihak lainnya dan mengerti apa saja yang dapat diberikan untuk kebaikan bersama. Itu adalah at-thayyibat. Allah akan menurunkan rezeki bagi orang-orang beriman yang menikah sebagian besar di antaranya melalui at-thayyibat yang terbentuk di antara mereka. At-thayyibat inilah yang akan mengantarkan pasangan itu untuk memperoleh keadaan sakinah, dimana mereka memperoleh pengetahuan ilahiah yang banyak dan kemampuan mengamalkannya melalui pernikahan mereka. 

 

Berbagai Tantangan 

Jalan yang panjang harus ditempuh oleh manusia untuk membentuk bayt. Sebagian manusia dimudahkan untuk menempuh jalan itu, sebagian harus melalui berbagai jalan yang terjal dan sulit. Para syaitan hingga syaitan yang tertinggi kedudukannya akan berusaha dengan seluruh daya upaya untuk menjatuhkan seseorang dalam membentuk bayt.

Tidak mudah membangun dan memperoleh modal demikian. Seorang gadis dan jejaka mungkin akan lebih mudah menemukan cinta berdasarkan selera badaniahnya atau hawa nafsunya dibandingkan menemukan cinta menurut nafs wahidahnya. Seorang gadis yang mencintai harta benda dan kedudukan akan mudah jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang kaya dan terpandang, walaupun pada akhirnya mungkin harus mengakhiri cintanya dengan lebih cepat. Bila seseorang berpikir dengan baik, tentu ia akan menentukan untuk memilih jodoh berdasarkan nafs wahidahnya. Itu adalah jati dirinya yang abadi, bukan (hawa) nafsu yang palsu yang akan hilang atau berubah. Ada sebuah fasilitas untuk menentukan jodoh dengan cara ini bagi orang yang beriman, yaitu dengan adanya mekanisme petunjuk yang diturunkan ke dalam hatinya.

Terdapat beberapa jenis petunjuk dalam urusan itu. Seseorang bisa menemukan petunjuk jodohnya yang merupakan jodoh yang diciptakan dari jiwanya sendiri, bila jiwanya bersih dari keinginan badaniah dan hawa nafsu, dan/atau ketika Allah berkenan memberikan petunjuk jodohnya itu. Ada petunjuk yang muncul karena pengaruh keinginan seseorang tentang jodohnya, tidak menunjukkan jodoh yang sebenarnya. Ada pula petunjuk yang terwujud karena keinginan yang besar secara badaniah atau hawa nafsu terhadap seseorang, sedangkan pernikahan dengan seseorang itu mungkin tidak akan mengarah kepada kebaikan.

Tidak setiap orang yang berjodoh dengan baik akan mudah mencapai pernikahan sakinah, mawaddah dan rahmah. Syaitan dapat menghancurkan integritas orang beriman dengan berbagai cara. Seorang mukminat yang menjaga dirinya dengan baik bagi suaminya dapat dihancurkan integritasnya oleh syaitan hingga terpecah dalam pernikahan mereka antara raganya dengan jiwanya. Itu sebenarnya juga merupakan titik terpecahnya seorang perempuan dalam perjalanan menuju Allah. Mungkin raganya terikat pernikahan dengan suaminya sedangkan jiwanya terjerat oleh syaitan dalam cinta kepada laki-laki lain. Perasaan itu kadangkala terjadi sedemikian intensif hingga ia merasa bahwa ia seharusnya menjadi isteri dari laki-laki lain tersebut. Hal ini dapat terjadi sedangkan mukminat tersebut benar-benar menjaga dirinya bagi suaminya tanpa sedikitpun ada keinginan berkhianat. Demikian pula seorang laki-laki dapat terpecah integritasnya karena upaya syaitan, dalam berbagai tingkatan disintegrasi dalam perjodohannya.

Boleh jadi isteri tersebut akan mengalami kebingungan dalam rumah tangganya. Ketika berhubungan cinta, ia kebingungan apakah ia harus menjaga raganya terhadap suaminya untuk laki-laki yang menjadi objek cintanya. Ketika memberikan raganya kepada suaminya, ia mungkin hanya menggugurkan kewajibannya saja tidak memberikan kesenangan bagi suaminya. Ketika hamil, mungkin ia akan merasa perlu memastikan bahwa suaminya akan mengakui kandungan kehamilan itu sebagai anaknya. Hal ini bukan karena adanya kejadian perzinaan atau pengkhianatan, tetapi disebabkan sepenuhnya karena pecahnya integritas perempuan itu. Ia memandang dirinya menjadi milik dua orang laki-laki, raganya terikat kepada suaminya sedangkan jiwanya dimiliki laki-laki lain. Banyak hal konyol lain yang mungkin terjadi tanpa adanya kelucuan di dalamnya. Syaitan dapat merusak pernikahan walaupun di antara dua orang mukmin yang berjodoh sempurna.

Seorang laki-laki harus bersabar bila mengalami mushibah demikian, tidak mengumbar kemarahan dan prasangka buruknya kepada isterinya. Mungkin ia akan sakit hati merasa dikhianati sedangkan isterinya tidak ada keinginan berkhianat sedikitpun. Karena pakaiannya terkoyak, dan mungkin kehidupannya akan terjatuh secara duniawi, maka mungkin ia dipandang rendah oleh manusia. Suami itu harus mengetahui bahwa sebenarnya perempuan yang baik juga akan merasa terhinakan dengan keadaannya yang tidak dapat memberikan kesetiaan pada satu laki-laki. Bila akalnya kuat, perempuan itu akan berusaha kembali kepada suaminya, atau bila persoalannya rumit ia bersabar dalam penderitaannya menunggu keputusan Allah tentang dirinya. Suami tersebut harus berusaha membantu isterinya agar terbebas dari jeratan syaitan yang mengikat jiwa isterinya kepada laki-laki lain. Mereka harus bersabar karena Allah mengijinkan peristiwa itu terjadi. Hal itu bisa terjadi karena syaitan berhasil menemukan jalan menjerat jiwa isterinya, tetapi harus disadari bahwa Allah mengijinkan itu terjadi. Syaitan akan selalu berusaha menghinakan pasangan yang baik, dan menjadikan indah sesuatu yang rusak.

Seorang mukminat harus segera mencari dan kembali ke jalan Allah ketika ia tertimpa mushibah demikian. Mungkin syaitan akan memperlihatkan bahwa ia sebenarnya harus menempuh jalan agama bersama laki-laki yang ada dalam hatinya. Itu adalah tipuan syaitan untuk menyelewengkan manusia. Tidak ada jalan agama berdasarkan penyelewengan demikian. Tauladan bagi kaum perempuan terdapat dalam diri Maryam binti Imran dan Asiyah isteri Fir’aun. Sekalipun beristerikan Fir’aun, seorang perempuan tidak diijinkan berkhianat kepada suaminya.

Dalam langkah praktis, berusaha memberikan kesenangan kepada suami akan membantu seorang perempuan melepaskan jerat syaitan terhadap jiwanya. Bila jiwanya masih terikat kepada orang lain, setidaknya ia mau memberikan raganya sepenuhnya bagi suaminya tanpa melawan, karena itu dapat membantu melepaskan jerat syaitan pada jiwanya. Dorongan untuk menjaga diri terhadap suami demi laki-laki lain itu harus dilawan dengan memberikan perkhidmatan sepenuhnya bagi suami. Menjaga diri untuk laki-laki lain itu hanyalah tipuan syaitan untuk mengacaukan akalnya. Demikian pula segala hembusan kebenaran yang bertentangan dengan tuntunan alquran dan rasulullah SAW merupakan tipuan syaitan. Pada langkah yang benar, seorang perempuan harus dapat menumbuhkan rasa cinta kepada suaminya.

Selasa, 16 November 2021

Al-Arhaam dan Upaya Syaitan Merusaknya

Al-arhaam telah tertulis bagi setiap manusia di dalam nafs wahidah masing-masing. Dengan nafs wahidahnya, seseorang akan mengenal kedudukannya dalam urusan Rasulullah SAW baik secara langsung ataupun melalui washilah-washilah yang terhubung hingga kepada beliau SAW. Seluruh washilah bagi setiap insan akan bermuara pada nabi Ibrahim a.s sebelum terhubung kepada Rasulullah SAW. Itu adalah kekerabatan (al-arhaam) yang sebenarnya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَقُولُ مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللَّهُ
Ar-rahim itu tergantung di Arsy. Ia berkata: “Barang siapa yang menyambungku, maka Allah akan menyambungnya. Dan barang siapa yang memutusku, maka Allah akan memutus hubungan dengannya“. [Muttafaqun ‘alaihi].

Kekerabatan (Al-arhaam) yang didasarkan pada pengenalan nafs wahidah-lah kekerabatan yang tersambung hingga Ar-rahim yang bergantung pada ‘arsy Allah. Dalam wujudnya, Ar-rahim ini merupakan asma Allah yang diperkenalkan kepada nabi Ibrahim a.s, sebagai sisi lain asma Allah sebagai Ar-rahman yang diperkenalkan kepada Rasulullah SAW. Orang yang berhasil mengenali nafs wahidah dirinya akan mengenali ar-rahim, sehingga ia menjadi orang yang dapat terhubung kepada Ar-rahman yang beristiwa di atas ‘arsy. Bila ia kemudian berusaha untuk menyambungkan diri dengan para washilahnya, ia akan terhubung kepada Allah, sedangkan bila ia memutuskan diri dengan washilahnya ia akan terputus dari Allah.

Upaya Merusak Al-Arhaam

Menyambungkan Al-arhaam sebagaimana kehendak Allah sangat penting dilakukan oleh setiap orang. Dalam langkah seseorang kembali kepada Allah akan ditemukan keadaan dimana ia mengenali nafs wahidah dirinya sendiri. Hal ini harus disikapi dengan benar. Pengenalan terhadap diri sendiri itu merupakan awal keterbukaan agama bagi seseorang, bukan sebuah tujuan akhir yang telah dicapai. Setelah seseorang mengenali diri sendiri, ia harus berusaha menyambungkan diri dengan washilah-washilahnya hingga mengenal kedua uswatun hasanah yaitu nabi Muhammad SAW dan nabi Ibrahim a.s. Bila seseorang berhenti pada tujuan mengenali nafs dirinya sendiri, ia akan dengan mudah ditipu oleh syaitan. Iblis telah bersumpah di hadapan Allah bahwa ia akan duduk bagi manusia di shirat al-mustaqim mereka.

Duduknya syaitan di shirat al-mustaqim berada pada pohon khuldi dan visi tentang kerajaan yang tidak akan binasa. Ia menghembuskan bisikan-bisikan kepada manusia untuk mendatangi dan kemudian memakan buah khuldi, atau dia mengajak manusia untuk terburu-buru dalam mewujudkan alam mulkiyah yang tidak akan binasa, sebagai realisasi pohon khuldi yang ada dalam dirinya.

﴾۰۲۱﴿فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَىٰ شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَّا يَبْلَىٰ
Kemudian syaitan menghembuskan bisikan-bisikan kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?" (QS Thaaha : 120)

Setiap manusia mengetahui bahwa ada suatu pengetahuan yang terbit di dalam dirinya tanpa stimulus dari luar. Pengetahuan itu bisa benar dan bisa salah. Munculnya pengetahuan itu harus disikapi dengan benar, tidak boleh diperturutkan secara bebas. Seseorang harus dapat memperoleh pengetahuan yang benar dengan membaca pengetahuan intrinsik itu berdasarkan ayat Alquran atau dengan realitas kauniyah yang sebenarnya. Mungkin saja pengetahuan yang tumbuh dalam diri bernilai benar dan harus digunakan, tetapi setiap orang tidak boleh menggunakan pengetahuan itu secara mentah. Yang terlarang untuk dilakukan adalah memperturutkan secara bebas pengetahuan itu tanpa melihat Alquran atau realitas yang benar. Dalam kebanyakan kasus, seseorang harus mendahulukan pengetahuan berdasar Alquran dan realitas kauniyah daripada pengetahuan dalam dirinya, karena itu jalan yang lebih aman.

Pada pertumbuhan jiwa manusia, seseorang akan menemukan sumber pengetahuan yang ada dalam jiwanya dalam wujud pohon khuldi. Pohon khuldi adalah salah satu pohon di surga yang harus diupayakan tumbuhnya oleh setiap manusia dalam kehidupannya di bumi. Pohon itu merupakan wujud pohon pengetahuan seseorang tentang baik dan buruk, yang kadangkala disebut sebagai pohon kebijaksanaan. Manakala seseorang telah cukup memelihara pohon thayyibahnya hingga dapat berbuah, maka akan bermunculan banyak pengetahuan dari dalam jiwanya. Pohon itu akan terlihat sangat baik bagi setiap manusia, dimana seseorang dapat memperoleh pengetahuan yang sangat banyak melalui pohon pengetahuan yang ada dalam jiwanya sendiri. Bila Allah tidak melarang Adam untuk mendekati dan memakan buahnya, niscaya setiap orang akan memandang baik untuk memakan buahnya.

Syaitan juga menunjukkan kepada Adam kerajaan yang tidak akan binasa. Kerajaan (mulk) itu adalah alam mulkiyah yang dapat terwujud bagi seseorang sebagai bayangan dari pohon kebijaksanaan dirinya. Hal ini seringkali terkait dengan masalah perjodohan dan keberpasangan. Kerajaan itu merupakan pasangan yang dapat terwujud dari pohon khuldi. Syaitan dapat menunjukkan kepada manusia jalan mewujudkan pohon khuldinya hingga terwujud di alam mulkiyah. Tetapi syaitan melakukan hal itu dengan harapan bisa menipu manusia. Pohon khuldi dan kerajaan yang tidak binasa itu bukan bagian inti dari tipuan syaitan, tetapi berubahnya manusia dalam pandangan Allah di shirat al-mustaqim itulah tipuannya. Mereka menggunakan kebenaran setengah untuk membengkokkan manusia.

Allah melarang manusia dari pohon khuldinya. Hal ini terkait dengan kesiapan nafs seseorang dalam membaca ayat-ayat Allah. Pengetahuan yang terdapat secara intrinsik dalam jiwa seseorang tidak diperkenankan untuk digunakan mentah-mentah dalam menentukan kebaikan yang harus diperbuat dalam kehidupan di bumi. Pengetahuan itu harus digunakan untuk memahami ayat-ayat Allah yang diturunkan sebagai pedoman kehidupan setiap manusia berwujud Alquran, dan untuk memperoleh pengetahuan bumi yang tidak termanipulasi menipu dirinya. Pohon khuldi itu akan mempermudah seseorang untuk memahami ayat-ayat Allah yang difirmankan secara tegas dalam wujud Alquran. Alquran itulah yang seharusnya dimakan oleh setiap manusia. Dengan cara demikian, akan terbuka kepada seseorang pengetahuan yang lebih menyeluruh, tidak tersegmentasi pada pengetahuan langit saja atau pengetahuan bumi saja secara terpisah.

Alquran itu adalah ayat Allah yang jelas kebenarannya tanpa kebengkokan. Ayat kauniyah dapat dimanipulasi manusia atau syaitan sehingga seseorang salah memahami. Ayat dalam diri dapat menyesatkan seseorang dari jalan Allah. Seseorang yang mengenal pohon thayyibahnya harus berusaha menemukan kedudukan dirinya dalam Alquran tanpa takalluf. Dengan menemukan kedudukannya dalam Alquran, ia akan dapat menentukan baik dan buruk perbuatannya berdasarkan Alquran, bukan berdasarkan pohon khuldinya. Pembacaan ayat-ayat Allah yang benar akan menunjukkan kesesuaian satu ayat dengan ayat lain, berupa kesesuaian ayat kauniyah semesta, ayat qauliyah Alquran, maupun ayat yang ada dalam nafs seseorang.

Kesesuaian satu ayat dengan yang lain itulah yang dapat digunakan untuk menentukan baik ataupun buruknya suatu perkara, bukan menggunakan ayat-ayat yang terwujud dalam nafs semata. Alquran harus dijadikan ayat utama dalam membaca keseluruhan ayat, memimpin pembacaan ayat yang lain. Tanpa berusaha menemukan kedudukan dirinya dalam Alquran, seseorang akan mudah terjebak untuk mendekati dan memakan buah khuldinya, sedangkan di tempat itulah syaitan duduk bagi manusia. Syaitan dapat menggunakan setiap celah ataupun kelemahan yang ada dalam nafs setiap manusia. Hanya dengan Alquran seorang manusia dapat menutup celah dan kelemahan yang ada dalam dirinya, sehingga syaitan merasa sempit untuk menyesatkannya.

Masalah besar akan terjadi manakala pengetahuan yang muncul di dalam hati bertentangan dengan Alquran. Mungkin saja seseorang merasa bahwa dirinya ikhlas mengerjakan suatu amal untuk Allah semata-mata, tetapi amalnya tidak bersesuaian atau bertentangan dengan Alquran. Hal itu sebenarnya berbahaya, karena bisa jadi sebuah gejala bahwa seseorang memakan buah khuldi. Akan terlihat sikap merasa benar dari orang yang memakan buah khuldinya.

Bila seseorang memakan buah khuldi, akan banyak kerusakan yang ditimbulkan, tetapi tersembunyi dalam kebijaksanaan. Syaitan merusak dengan orang itu banyak kebaikan yang berada di sisi luar jangkauan pengetahuan orang tersebut. Al-arhaam/shilaturrahim merupakan sasaran utama yang dirusak dengan cara ini. Al-arhaam umat manusia kepada kedua uswatun hasanah dan upaya membangun al-arhaam/shilaturrahim secara horizontal akan dirusak. Dalam hal ini, memisahkan seseorang dengan isterinya merupakan langkah praktis upaya syaitan mencegah terbentuknya al-arhaam/shilaturrahim demikian, yaitu syaitan yang berada di atas 'arsy mereka, bukan syaitan kebanyakan.

Washilah dan Alquran

Tidak mudah menemukan kedudukan diri dalam Alquran secara benar. Prinsip dasarnya, Alquran harus dijadikan imam untuk mencari petunjuk, tidak dijadikan pembenar bagi perbuatannya. Selain itu, kadangkala seseorang merasa telah menemukan ayat Alquran yang tepat bagi dirinya. Hal itu sangat baik bagi setiap orang, dan ia dapat terus berusaha menemukan ayat-ayat lain yang tepat bagi dirinya dan melangkah kembali kepada Allah dengan ayat-ayat yang diperolehnya. Akan tetapi keadaan demikian tidak selalu berarti ia telah menemukan kedudukan dirinya dalam Alquran. Menemukan kedudukan diri dalam Alquran akan ditunjukkan dengan suatu indikasi berupa pengetahuan tentang kedudukan dirinya dalam amr rasulullah SAW. Itu adalah washilah kepada rasulullah SAW. Alquran terikat erat dengan Rasulullah SAW. Tidak ada pemahaman Alquran yang benar bila menyelisihi apa yang disampaikan Rasulullah SAW, dan washilah Rasulullah SAW menjadi indikator pemahaman Alquran seseorang.

Setiap orang harus membangun visi tentang kehidupannya berdasarkan Alquran. Washilah tidak dapat dibangun tanpa membangun landasan kehidupan berdasarkan Alquran. Hanya dengan Alquran seseorang dapat memperoleh petunjuk yang terang untuk memperoleh jalan kembali kepada Allah dengan benar. Akan tetapi washilah itu tidak dapat dibangun hanya dengan membangun visi saja. Tentu visi tentang kehidupan berdasarkan Alquran sangat membantu seseorang dalam mencari washilah kepada Rasulullah SAW. Tetapi mencari washilah kepada beliau harus dilakukan dengan membangun visi dan membangun nafs bersama-sama, agar mampu memberikan kebaikan bagi umat. Membangun visi dan membina nafs ini dapat dilakukan dengan mengikuti nabi Muhammad SAW dan nabi Ibrahim a.s. Kedua uswatun hasanah tersebut memberikan penjelasan yang terang tentang jalan kembali kepada Allah dalam peran khusus masing-masing, yang harus diikuti oleh setiap manusia.

Memperoleh washilah kepada kedua uswatun hasanah ini akan menjadikan seseorang dapat mengerti cabang-cabang masalah yang terjadi dalam kehidupannya sebagai masalah yang terkait dengan suatu sumber dari Alquran. Kadangkala seseorang belum menemukan ayat Alquran yang terkait dengan masalahnya, tetapi ia mengerti sebagian cara pandang menurut Alquran terhadap masalahnya tanpa keliru. Derajat ini bisa diterima, tetapi bilamana ia menemukan ayat Alquran tentang masalah itu, ia akan memperoleh derajat pengetahuan yang jauh lebih baik. Mungkin ia akan merasa takjub dengan kefasihan ayat yang berbicara tentang masalahnya.

Dengan washilah dan pembacaan ayat Allah dengan benar itu seseorang menemukan jalan ibadah yang telah ditentukan Allah bagi dirinya. Ia dapat bersaksi bahwa tiada Ilah baginya selain Allah, dan bersaksi bahwa Muhammad SAW adalah Rasulullah. Nilai ibadahnya benar karena ia benar-benar menghamba kepada Allah dengan menjalankan firman-firman-Nya yang tegas, bukan melayani kebijaksanaan tanpa landasan firman-Nya, dan ia mengerjakan firman itu dengan cara yang dikehendaki Allah tidak melakukan jalan pintas untuk mewujudkan amr-Nya.

Rabu, 10 November 2021

Shilaturrahmi

Allah menjadikan Ibrahim a.s sebagai uswatun hasanah bagi umat manusia, sebagaimana Rasulullah SAW dijadikan uswatun hasanah. Terdapat sedikit perbedaan peran dari kedua insan mulia tersebut dalam urusan uswatun hasanah yang harus ditunaikan. Rasulullah SAW menjadi uswatun hasanah bagi orang-orang yang menginginkan perjumpaan dengan rabb mereka, sedangkan nabi Ibrahim a.s menjadi uswatun hasanah bagi umat manusia untuk membangun al-arhaam (kekerabatan) di antara umat manusia. Kedua insan mulia tersebut menjadi tauladan bagi setiap manusia untuk kembali kepada Allah melalui agama bagaikan dua permukaan kepingan yang sama. Tidak sah agama tanpa mengenali kedua uswatun hasanah tersebut atau hanya sebagian. Agama mempersyaratkan seseorang untuk mengikuti sunnah rasulullah SAW dan millah Ibrahim a.s bersama-sama bukan salah satunya saja.

﴾۴﴿قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن شَيْءٍ رَّبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata): "Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali". (QS Al-Mumtahanah : 4)

Seseorang yang ingin kembali kepada Allah tidak boleh melupakan terbangunnya kekerabatan (al-arhaam) melalui dirinya, dan seseorang yang membangun kekerabatan (al-arhaam) harus berlandaskan suatu tujuan untuk ibadah kepada Allah. Seseorang tidak akan dapat kembali kepada Allah dengan benar tanpa berusaha membangun kekerabatan (al-arhaam). Kekerabatan (al-arhaam) yang dibangun di atas tujuan ubudiyah akan menjadi kekerabatan yang abadi, sedangkan kekerabatan yang tidak dibangun atas tujuan ubudiyah kepada Allah hanya akan berlaku di dunia ini saja, dan mereka mungkin akan terpisah setelah kehidupan dunia ini. Dalam prosesnya, kekerabatan (al-arhaam) akan tumbuh bertentangan dengan kekerabatan-kekerabatan lain yang tidak selaras dengan keimanan, hingga suatu saat akan terjadi permusuhan antara kekerabatan yang haq dengan kekerabatan yang berlandaskan kekufuran.

Nafs Wahidah dan Shilaturrahmi

Al-arhaam terdapat dalam nafs wahidah. Dengan nafs wahidahnya, seseorang akan mengenal kedudukannya dalam urusan Rasulullah SAW baik secara langsung ataupun melalui washilah-washilah yang terhubung hingga kepada beliau SAW. Seluruh washilah bagi setiap insan akan bermuara pada nabi Ibrahim a.s sebelum terhubung kepada Rasulullah SAW. Itu adalah kekerabatan (al-arhaam) yang sebenarnya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَقُولُ مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللَّهُ
Ar-rahim itu tergantung di Arsy. Ia berkata: “Barang siapa yang menyambungku, maka Allah akan menyambungnya. Dan barang siapa yang memutusku, maka Allah akan memutus hubungan dengannya“. [Muttafaqun ‘alaihi].

Kekerabatan (Al-arhaam) yang didasarkan pada pengenalan nafs wahidah-lah kekerabatan yang tersambung hingga Ar-rahim yang bergantung ‘arsy Allah. Dalam wujudnya, Ar-rahim merupakan asma Allah yang diperkenalkan kepada nabi Ibrahim a.s, sebagai sisi lain asma Allah sebagai Ar-rahman yang diperkenalkan kepada Rasulullah SAW. Orang yang berhasil mengenali nafs wahidah dirinya akan mengenali ar-rahim, sehingga ia menjadi orang yang dapat terhubung kepada Ar-rahman yang beristiwa di atas ‘arsy. Bila ia kemudian berusaha untuk menyambungkan diri dengan para washilahnya, ia akan terhubung kepada Allah, sedangkan bila ia memutuskan diri dengan washilahnya ia akan terputus dari Allah.

Hal ini harus diperhatikan oleh orang-orang yang mulai mengenali nafs wahidahnya. Kekerabatan (al-arhaam) nafs wahidah itu merupakan al-arhaam yang sebenarnya. Kekerabatan demikian hanya dapat dibangun berdasarkan tujuan ibadah yang sebenarnya kepada Allah. Mengenal nafs wahidah bukanlah tujuan akhir kehidupan seseorang, tetapi sebenarnya merupakan awal keterbukaan agama. Ia harus mencari silsilahnya untuk menyatu dengan kehendak Allah. Hal itu dapat dilakukan dengan membangun shilaturrahmi hingga terbina hubungan dengan ar-rahim di alam nafs di langit. Kegagalan dalam menyambungkan dirinya dengan para washilahnya akan membuat ia terputus dari Allah. Hal ini akan memunculkan masalah dalam jangka panjang, sebagaimana Iblis pada akhirnya harus terusir dari surga dan menjadi penghulu ahli neraka.

Berikutnya, keterhubungan seseorang dalam kekerabatan di alam langit hendaknya diwujudkan dalam kekerabatan di alam bumi. Ia harus berupaya membentuk bayangan shilaturrahmi di bumi. Untuk mewujudkan hal ini, seseorang akan terbantu melalui pernikahannya. Kadangkala terjadi kegagalan mewujudkan kekerabatan itu di bumi. Setiap laki-laki yang shalih harus berhasil membangun kekerabatan di alam nafs wahidah walaupun mungkin gagal membentuknya di kehidupan bumi. Mungkin seorang laki-laki yang shalih gagal dalam membangun kekerabatan di kehidupan dunia ini, tetapi setidaknya ia harus selalu berusaha membangunnya.

 

Nafs Wahidah dan Pasangannya

Pernikahan merupakan wujud kekerabatan yang melekat pada diri seseorang yang harus diwujudkan di bumi, sebagai bayangan untuk mewujudkan kekeluargaan yang berlandaskan al-arham di langit. Terdapat hubungan timbal balik yang cukup baik antara membangun pernikahan dengan membangun al-arhaam di langit dan di bumi. Seseorang akan mengenali kedudukannya di langit dengan mengenali nafs wahidah, dan nafs wahidah itu akan lebih mudah dikenali seseorang melalui pernikahan. Sebaliknya kedudukan di langit akan lebih mudah diwujudkan di bumi bila terbentuk pernikahan sakinah.


﴾۱﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari nafs wahidah, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS An-Nisaa’ : 1)

Untuk mengenali nafs wahidah, ada beberapa tahapan yang harus ditempuh oleh setiap pasangan. Pernikahan berguna untuk mewujudkan langkah  menuju pengenalan nafs wahidah melalui tahapan yang jelas. Tahapan itu secara garis besar adalah pengorbanan, membentuk at-thayyibat dan turunnya as-sakiinah. Itu adalah tahapan yang dapat dicapai dalam pernikahan secara berurutan. Sepasang suami isteri tidak akan memperoleh as-sakinah tanpa mengenal at-thayyibat, dan tidak akan memperoleh at-thayyibat tanpa melakukan pengorbanan. Pernikahan yang dimulai tanpa keinginan membangun pengenalan terhadap nafs wahidah, tetapi hanya dengan harapan muluk duniawi terhadap pasangan, itu akan menjadi beban pertama penyebab kandasnya pernikahan. Dan itu akan mempersulit mengarahkan bahtera rumah tangga untuk mengenal nafs wahidah dan kekerabatan di langit.

Sebuah pernikahan seharusnya dilandasi keinginan untuk bersama-sama menempuh jalan kembali kepada Allah. Setiap pihak yang menikah harus mempersiapkan mental untuk memberikan hal terbaik bagi pasangannya, dan berusaha mengenali kebaikan dari pasangannya. Pengorbanan menjadi landasan awal untuk membentuk at-thayyibat di antara pasangan itu. Bila masing-masing bersikeras pada keinginan sendiri tanpa berkeinginan memperhatikan pasangannya, tidak akan terbentuk at-thayyibat di antara mereka.

At-thayyibat merupakan kepahaman pasangan terhadap urusan Allah yang ada di antara mereka melalui cermin kepahaman satu pihak terhadap pihak lainnya. Seorang suami diberi akal yang lebih kuat, ia harus menggunakannya untuk mengenali khazanah Allah yang dibawa oleh isteri. Setiap isteri merupakan makhluk pembawa khazanah Allah di dalam jiwanya yang harus dijaga dan diberikan kepada suaminya saja. Untuk mengolah itu, ada prinsip mawaddah dan rahmah yang harus dijadikan sebagai landasan upaya mereka. Hilangnya kasih sayang ini akan menyulitkan atau bahkan menghilangkan tumbuhnya at-thayyibat di antara mereka. Pengkhianatan menjadi penyebab terbesar hilangnya semua aspek ini. Seorang isteri mungkin akan kehilangan khazanah dalam dirinya bagi suaminya, dan seorang suami kehilangan akalnya, dan mawaddah dan rahmah di antara mereka akan lenyap sulit ditemukan.

Bagi orang-orang beriman, at-thayyibat merupakan jalan rezeki yang paling baik. Allah menurunkan rezeki bagi mereka melalui at-thayyibat yang terbentuk. Semakin baik ath-thayyibat terbentuk di antara pasangan beriman, semakin banyak bagian rezeki yang dapat diturunkan bagi mereka melalui at-thayyibat baik rezeki bagi jiwa mereka ataupun rezeki bagi bumi mereka. Kerusakan pada salah satu pihak akan merusak bagian rezeki pada bagian itu. Kualitas at-thayyibat ini sangat dipengaruhi oleh keberpasangan jiwa di antara mereka. Bila seseorang memilih pasangan mereka sepenuhnya berdasarkan hawa nafsu atau syahwat, semakin kecil at-thayyibat yang dapat terbentuk karena tingkat irisan keberpasangan mereka mungkin kecil. Semakin dekat seseorang menemukan pasangan berdasarkan jati diri penciptaan mereka, semakin besar at-thayyibat yang dapat terbentuk di antara mereka.

Kadangkala seseorang kufur terhadap nikmat Allah dengan membuang petunjuk tentang pasangan yang diturunkan ke dalam hati, biasanya karena tidak sesuai dengan keinginan hawa nafsu mereka. Ini merupakan kerugian yang sangat besar, karena ia kehilangan jalan mengikuti sunnah Rasulullah SAW dalam upaya mengenali nafs wahidah. Mungkin ia dapat mengikuti langkah Musa a.s untuk mencari tanah yang dijanjikan sebagai pengganti sunnah rasulullah SAW, tetapi kedua jalan ini bukanlah jalan yang sebanding.

Sebenarnya Musa a.s pun tidak benar-benar mengantarkan umatnya sampai ke tanah yang dijanjikan. Musa a.s meninggalkan umatnya menjelang tiba di tanah yang dijanjikan, di seberangnya. Beliau tidak meninggal ketika meninggalkan mereka, sedangkan wafatnya nabi Musa a.s menjadi misteri bagi kebanyakan makhluk. Yang terjadi sebenarnya adalah beliau mengharapkan Allah membinasakan dirinya dengan gempa, akan tetapi tidak dikabulkan. Malaikat maut yang datang menjemput dipukul beliau. Ketika malaikat maut kembali untuk mengabarkan bahwa Allah akan memberi tambahan umur dan amalnya bagi umatnya, Musa a.s hanya menanyakan bagaimana hidupnya akan berakhir. Akhir kehidupannya di bumi berupa kematian tidak diharapkan oleh nabi Musa a.s, sedangkan yang beliau harapkan adalah pembinasaan dirinya oleh Allah terkait bengkoknya akal umatnya karena penyembahan patung anak sapi emas.

Musa a.s meninggalkan umatnya menjelang tanah yang dijanjikan, agar umatnya lebih memperhatikan dan mengikuti tauladan Ibrahim a.s. Bagi nabi Musa a.s, memasuki tanah yang dijanjikan merupakan sesuatu yang menakutkan. Tanah yang dijanjikan adalah pohon khuldi di mana syaitan menunggu. Pohon khuldi bisa menjadi wujud yang lebih menipu daripada patung anak sapi emas samiri. Apa yang beliau a.s bawa tidaklah mencukupi untuk berhadapan dengan pohon khuldi, dan beliau mengetahui bahwa umatnya harus mulai benar-benar menyadari langkah berikutnya setelah tiba di tanah yang dijanjikan, yaitu millah Ibrahim a.s membentuk bayt. Berhenti pada tanah haram akan menjadikan seseorang celaka. Hanya tauladan Ibrahim a.s yang dapat menuntun seseorang ketika memasuki tanah haram, yaitu membina bayt di tanah haram bersama keluarganya Ismail a.s dan Hajar r.a.

Pernikahan adalah sunnah rasulullah SAW yang merupakan kesempurnaan millah Ibrahim a.s membentuk bayt. Ada tujuan puncak yang dapat dicapai dengan jauh lebih aman dengan mengikuti sunnah tersebut, yaitu membentuk ummat wahidah yang menyatu dalam ibadah kepada Allah dalam jalinan al-arham. Tentunya hal ini dapat dicapai bila seseorang memperhatikan kesatuan langkah yang telah dijabarkan secara terperinci oleh para nabi dan rasul seluruhnya, yaitu bahwa apa yang para nabi dan rasul jelaskan merupakan satu kesatuan yang tidak berbeda.



Senin, 01 November 2021

Mempersiapkan Pembinaan Bayt

Allah berkenan memberikan kesempurnaan nikmat-Nya kepada makhluk berwujud manusia. Keterbukaan kesadaran tentang risalah Rasulullah SAW adalah bentuk penyempurnaan nikmat Allah yang paling utama kepada manusia. Seseorang yang menerima penyempurnaan nikmat Allah akan dimulai dengan suatu keterbukaan terhadap nafsnya sendiri dan sebagian ketetapannya, kemudian akan mengenal kedudukan dirinya dalam perjuangan rasulullah SAW. Jalan untuk memperoleh kesempurnaan nikmat itu berada di dalam diri manusia sendiri. Hal itu akan diketahui oleh seseorang manakala ia diijinkan Allah untuk memperoleh keterbukaan terhadap dirinya sendiri.

Kesempurnaan itu seharusnya tidak berdiri sendiri. Ada penyempurnaan nikmat dalam bentuk lain berupa kemampuan mendzahirkan pengetahuan dalam jiwanya dalam wujud amal shalih bagi lingkungannya.

﴾۰۵۱﴿وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). Dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk. (QS Al-Baqarah : 150)

Masjid al-haram merupakan representasi bentuk ubudiyah yang ideal bagi umat manusia, sebuah monumen bayt yang diijinkan Allah untuk disebut dan ditinggikan asma-Nya di dalamnya, dibangun oleh uswatun hasanah Ibrahim a.s yang menjadi tauladan bagi manusia. Perintah menghadapkan wajah menuju masjid al-haram adalah perintah kepada setiap orang beriman untuk mengarahkan kehidupan diri untuk membentuk bayt yang diijinkan Allah untuk disebut dan ditinggikan asma-Nya di dalamnya, mengikuti langkah perjalanan uswatun hasanah Ibrahim a.s dalam mendzikirkan asma Allah dan meninggikan asma-Nya melalui keluarga sakinah, yaitu Ibrahim a.s dan para ahlul bayt yang berjihad dalam perjuangan bersama beliau a.s.

Keluarga sakinah sebagai bayt tersebut merupakan wujud turunan dari seorang insan kamil yang harus terbentuk dalam struktur sosial. Bayt demikian hanya dapat dibentuk oleh seorang yang mengalami pengenalan terhadap nafs-nya, merupakan lanjutan perjalanan seseorang manusia setelah sampai ke tanah haram. Setiap insan harus berusaha mendzikirkan asma Allah dan meninggikan asma-Nya, dan hal itu hanya dapat terbentuk melalui keluarga sakinah. Keluarga sakinah itu merupakan wujud nikmat Allah paling sempurna yang dilimpahkan Allah bagi seorang manusia, nikmat paling sempurna di antara seluruh makhluk.

Tauladan Nabi Ibrahim a.s

Tauladan membangun bayt sebagaimana masjidil haram untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah dicontohkan oleh nabi Ibrahim bersama isteri beliau siti Hajar r.a. Upaya untuk membina bayt demikian tidaklah mudah. Upaya demikian baru dapat dimulai ketika seseorang mengenal untuk apa dirinya diciptakan, karena untuk membentuk bayt itu perlu visi dan pengetahuan tentang nafs dirinya. Demikian pula perlu kesiapan para wanita yang menjadi isteri seorang laki-laki untuk mengikuti langkah suaminya. Tanpa peran serta setiap pihak, tidak akan terbentuk bayt demikian.

Nabi Ibrahim a.s memulai upaya membentuk bayt al-haram dari keadaan yang sangat sulit. Kisah pembinaan bayt al-haram dimulai ketika Siti Hajar r.a memasuki ruang kehidupan nabi Ibrahim a.s dan Siti Sarah r.a. Sebagai pendahuluan, terjadi peristiwa perampasan isteri pertama beliau Siti Sarah r.a yang dijadikan isteri oleh Fir’aun raja mesir, yang merampasnya dari nabi Ibrahim a.s. Kisah itu memulai proses kehadiran Siti Hajar r.a dalam kehidupan mereka. Itu merupakan gambaran keadaan awal yang menjadi nuansa proses dibangunnya bayt.

Keadaan itu adalah keadaan yang sangat berat. Pada dasarnya, nabi Ibrahim a.s mengalami kehilangan bagian dirinya berupa isterinya yang shalihah. Hubungan beliau a.s dengan isterinya terputus karena perampasan oleh Fir’aun. Isterinya benar-benar hilang dari kehidupan beliau a.s, walaupun untuk sementara dan sebenarnya juga tidak tersentuh oleh Fir’aun. Hal ini merupakan wujud yang terbentuk dari upaya syaitan memisahkan seorang laki-laki dari isterinya. Walaupun dalam kasus beliau a.s pemisahan itu tidak berhasil dilakukan syaitan, akan tetapi upaya pemisahan itu benar-benar terjadi atas diri beliau.

Keberhasilan beliau a.s dalam peristiwa itu sebenarnya merupakan cerminan rahmat Allah sebelumnya yang telah memberikan keselamatan nafs beliau a.s dalam mencermati tipuan syaitan. Ketika seseorang mengalami keterbukaan atas nafs dirinya, Iblis besar itu benar-benar menunggu di atas shirat al-mustaqim untuk menyesatkannya. Tanduk syaitan terbit bersama dengan terbitnya matahari. Karena Allah melimpahkan rahmat yang menyelamatkan nabi Ibrahim a.s dari tipuan syaitan, Allah memberikan pula keselamatan kepada pernikahan mereka. Menjalani fragmen kehidupan demikian bukanlah sesuatu yang ringan untuk dijalani. Hal ini sebenarnya akan berlaku untuk setiap orang, tidak hanya untuk nabi Ibrahim a.s, walaupun mungkin bentuknya mempunyai perbedaan.

Siti Hajar r.a hadir melalui peristiwa perampasan isteri nabi Ibrahim a.s. Beliau r.a diberikan Fir’aun kepada Siti Sarah r.a ketika pembebasan beliau ra untuk kembali kepada nabi Ibrahim a.s. Sebenarnya Siti Hajar r.a dan Siti Sarah r.a merupakan satu entitas yang saling melengkapi. Fir’aun mengembalikan kepada Ibrahim a.s isterinya secara lebih lengkap. Beliau r.a berdua merupakan kesatuan isteri bagi nabi Ibrahim a.s yang menjadi bayt bagi beliau. Siti Hajar r.a kemudian mewujudkan bayt al-haram di tanah suci Makkah, dan Siti Sarah r.a mewujudkan bayt al-aqsha di al-aqsha. Kedua masjid tersebut menjadi dua kiblat umat islam, satu kesatuan yang dijadikan jalan bagi Rasulullah SAW untuk mi’raj kepada Allah.

Mempersiapkan Pembinaan Bayt

Nabi Ibrahim a.s memulai pembinaan bayt dalam keadaan terputus dari isteri-isteri beliau a.s. Siti Sarah r.a dan Siti Hajar r.a keduanya berada dalam kekuasaan Fir’aun. Tidak ada jalan bagi beliau untuk berinteraksi dengan belahan jiwa beliau a.s. Dari keadaan demikian, beliau harus merealisasikan kehendak Allah bersama-sama dengan para isteri untuk membangun bayt untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah di dalamnya. Ini merupakan keadaan yang sangat berat, dimana seolah-olah Allah tidak memberikan atau bahkan menghilangkan bekal untuk mewujudkan kehendak-Nya membentuk bayt. Keimanan beliau benar-benar sangat teruji dalam urusan ini, dan perlu totalitas sikap keberserahan para isteri terhadap ketentuan-ketentuan Allah. Tanpa kedua hal ini, akan terjadi kekurangan dalam uswah yang harus digelar bagi umat manusia.

Bayt al-aqsha merupakan representasi kiblat awal umat islam yang menjabarkan upaya untuk menemukan tanah yang dijanjikan. Upaya membentuk bayt al-aqsha dijabarkan dalam proses yang sangat panjang oleh keturunan nabi Ibrahim a.s dari Siti Sarah r.a terutama oleh bani Israel. Upaya Bani Israel sebenarnya tidak hanya untuk menemukan tanah yang dijanjikan, tetapi juga untuk membentuk bayt. Akan tetapi bayt mereka tidak dijadikan kiblat yang abadi bagi umat Islam. Bani Israel berperan lebih khusus dalam kisah menemukan tanah yang dijanjikan sebagai bagian untuk membentuk bayt. Hal ini menjadi penjelasan agar umat islam tidak terjebak berhenti dalam upaya menemukan tanah yang dijanjikan saja. Umat islam harus menghadapkan wajah menuju urusan Allah secara lebih komprehensif yaitu pembentukan bayt al-haram mengikuti langkah nabi Ibrahim a.s.

Untuk membentuk bayt, seorang perempuan harus menempatkan dirinya dalam kepemimpinan seorang laki-laki yang shalih. Untuk memulai membentuk bayt al-haram, Siti Hajar r.a harus melalui dua proses persyaratan. Proses pertama adalah penyerahan beliau r.a oleh Fir’aun kepada Siti Sarah r.a, dan proses berikutnya berupa kerelaan Siti Sarah r.a untuk menjadikan beliau r.a sebagai isteri nabi Ibrahim a.s, sebagai madunya. Ketika Siti Hajar r.a menjadi isteri nabi Ibrahim a.s, proses membentuk bayt baru dapat dimulai. Kedua persyaratan ini merupakan hal yang sangat berat bagi setiap perempuan.

Seorang perempuan harus menemukan laki-laki yang seharusnya memimpin dirinya untuk membentuk bayt. Ketika telah menemukan, ia harus berusaha menempatkan dirinya dalam dunia laki-laki tersebut secara tepat seiring sejalan dengan suaminya yang shalih. Ia barangkali harus berpindah dari cara pandang yang keliru kepada cara pandang lain yang lebih baik hingga menemukan kedudukannya di sisi suaminya yang shalih. Seringkali seorang perempuan harus berusaha menemukan kedudukan dirinya bersama isteri suaminya yang lain agar dapat menempati kedudukannya di sisi suaminya dengan tepat tanpa berselisih. Seorang perempuan akan menemukan jalan bersama suaminya manakala ia dapat menngerti cara berpikir dan jalan kehidupan suaminya dengan tepat, tidak kurang dan tidak berlebihan. Bila suaminya seorang laki-laki yang harus membentuk bayt, ia akan dapat mendampingi suaminya untuk membentuk bayt tersebut.

Seorang laki-laki akan menemukan kesulitan yang besar bila isterinya tidak sejalan. Dalam peristiwa Ibrahim a.s, Siti Sarah r.a berada dalam kekuasaan Fir’aun, demikian pula Siti Hajar r.a. Sebenarnya mereka tetap berjalan bersama walaupun tanpa saling berkomunikasi. Ada pemahaman bersama yang dipegang dengan kuat oleh masing-masing untuk melangkah ke arah yang sama, yaitu berpegang pada tali Allah. Hal itu menggerakkan mereka untuk kembali berkumpul membangun bayt.

Barangkali orang lain tidak akan mengalami keterpisahan yang sedemikian, tetapi ada prinsip bersama yang harus dipegang oleh masing-masing, yaitu iktikad untuk kembali kepada Allah melalui jalan yang ditentukan Allah. Bilamana masing-masing pihak dapat berkomunikasi, hal itu akan lebih mempermudah keadaan untuk berjalan ke arah yang sama. Seorang suami memimpin isteri-isterinya untuk membentuk bayt. Bilamana semuanya terpisah, setiap pihak harus beriktikad untuk kembali kepada Allah melalui jalan yang ditentukan.

Siti Sarah r.a harus berpindah dari kekuasaan Fir’aun kembali kepada Ibrahim a.s. Seorang isteri seorang laki-laki yang shalih yang terampas oleh laki-laki lain harus berusaha kembali kepada suaminya dengan menempuh jalan yang ditentukan Allah. Perampasan ini adalah pertanda upaya syaitan. Peristiwa ini seharusnya tidak dijadikan suatu aib yang mencoreng perempuan demikian, karena hal itu akibat iblis berusaha sangat keras untuk memisahkannya dengan suaminya. Keterampasan isteri seorang laki-laki shalih adalah hal yang jamak terjadi selama isteri itu berkeinginan kembali kepada suaminya. Bila perempuan itu memperturutkan keinginan orang yang merampasnya, ia akan tersesat bersama-sama orang yang merampasnya.

Siti Hajar r.a harus berpindah dari kekuasaan Fir’aun dan memperoleh restu dari Siti Sarah r.a untuk menjadi isteri Ibrahim a.s. Kadangkala seorang perempuan lajang harus membentuk bayt bersama seorang laki-laki shalih. Hal itu menuntutnya harus bertransformasi terlebih dahulu hingga keadaan yang dipersyaratkan. Ia harus membentuk pola berpikir dan kehidupannya mendekati cara berpikir dan kehidupan laki-laki yang ditentukan baginya, dan memperoleh pengetahuan tentang kedudukannya secara terpat untuk duduk bersama madunya. Perempuan demikian harus menumbuhkan iktikad yang kuat untuk menempuh proses itu, sehingga dapat bersama-sama membina pernikahan membentuk bayt yang dikehendaki Allah. Ia akan melihat tembok penghalang yang terlihat sangat besar, tetapi Allah menghendakinya untuk melewati.

Ibrahim a.s harus membina pernikahan dengan kedua wanita yang dikuasai Fir’aun untuk membentuk bayt yang dikehendaki Allah. Hal demikian tidaklah mudah bagi seorang laki-laki yang shalih. Hal ini barangkali tidak dirasakan oleh laki-laki kebanyakan. Seringkali seorang laki-laki akan merasakan perasaan sangat marah karena isterinya terampas. Perlu pengamatan yang benar dan teliti untuk melihat duduk masalahnya dengan benar. Perlu pemaafan dan hati yang luas untuk seluruh luka akibat dinamika pernikahan mereka. Kehadiran seorang perempuan lain dalam kehidupan mereka yang sedemikian bukanlah perkara yang mudah bagi seorang laki-laki shalih. Ia harus berjalan dengan adil dan setimbang di antara isteri dan perempuan yang baru hadir, sedangkan pernikahan mereka begitu keras dan perempuan baru itu mungkin akan sangat menarik perhatian hawa nafsunya. Ia harus mempertahankan dan meningkatkan cinta kasihnya dengan isterinya, dan menjaga hawa nafsunya agar tidak terlalu terseret oleh perempuan baru, sedangkan ia harus mulai menjalin hubungan dengan perempuan yang baru hadir.