Pencarian

Kamis, 30 Maret 2023

Faidah Hidayah Allah

Allah menciptakan makhluk dalam bentuk tertentu dan kemudian memberikan hidayah kepada mereka. Demikian pula bagi manusia, Allah memberikan petunjuk kepada mereka bentuk-bentuk hidayah yang paling tinggi di antara semua bentuk hidayah. Hal ini karena manusia diciptakan di suatu tempat terjauh di alam penciptaan untuk kembali kepada kedudukan yang sangat tinggi di sisi Allah, karenanya bentuk hidayah bagi manusia merupakan bentuk hidayah yang paling utama.

Suatu hidayah akan memberikan faidah yang sangat banyak kepada makhluk, yaitu apabila mereka mengikuti hidayah yang diberikan kepada mereka dan tetap mengharapkan Allah untuk memberikan hidayah. Hidayah akan menjadikan seseorang semakin mengenal jalan kembali kepada Allah yang ditentukan bagi dirinya. Suatu hidayah tertentu akan diikuti oleh hidayah yang lain manakala seseorang mengikuti hidayah yang diberikan dan terus mengharapkan hidayah baginya. Orang-orang yang mensikapi suatu hidayah dengan cara demikian itulah yang dikatakan sebagai orang yang tetap mengharapkan hidayah ( اهْتَدَىٰ). Dalam terminologi lain barangkali dapat dikatakan sebagai pencari kebenaran.

Banyak orang beriman meletakkan keyakinan mereka pada sesuatu yang lemah hingga tidak menjadikan mereka sebagai orang-orang yang berharap hidayah. Mereka seringkali meletakkan keyakinan pada perkataan orang lain tanpa dirinya berusaha memperoleh hidayah melalui kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Setiap syaikh yang benar akan selalu menekankan tuntunan agar para murid selalu berpegang pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, dan menambah pesan dirinya apabila murid mengetahui sang syaikh berselisih atau bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW maka hendaknya mereka mengikuti kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW tidak mengikuti sang syaikh. Pesan demikian hendaknya diperhatikan para murid dengan sungguh-sungguh. Keberhasilan seorang syaikh adalah manakala para muridnya berakhlak Alquran mengikuti Rasulullah SAW, bukan menjadi pengikut dirinya kecuali dalam mengikuti Rasulullah SAW. Pesan demikian itu terkait dengan kualitas diri para murid agar mencapai keadaan sebagai orang yang tetap mengharapkan hidayah Allah.

Mengharapkan hidayah kadangkala dilakukan terkait dengan hal-hal yang terjadi dalam keseharian yang tidak terlihat secara langsung kaitannya dengan ayat dalam kitabullah. Bagi orang-orang tertentu yang telah mengikuti banyak hidayah, mereka dapat mengetahui hidayah hingga urusan terperinci mereka. Sebagian orang mengetahui hidayah bentuk taubatnya dalam kehidupan mereka tetapi belum memperoleh hidayah untuk urusan terperinci. Sebagian orang hanya mengetahui hidayah dalam bentuk pengetahuan dasar tanpa mengetahui bentuk-bentuk taubat dalam kehidupan mereka. Hendaknya mereka membentuk kehidupan mereka sejauh hidayah yang diketahuinya itu agar dapat memperoleh hidayah hingga terperinci. Hal itu dapat dimulai dengan mengikuti orang-orang yang memperoleh hidayah agar terbuka pula hidayah jalan taubatnya hingga masalah terperinci.

Hendaknya diperhatikan bahwa mengikuti orang lain mempunyai tujuan agar dirinya juga memperoleh hidayah. Yang mereka ikuti adalah orang-orang yang menyeru kepada hidayah, bukan pemberi hidayah. Allah-lah yang memberikan hidayah kepada setiap orang. Bila mengikuti orang lain tidak membuat dirinya memperoleh hidayah, ia telah keliru dalam mengikuti orang lain. Hendaknya mereka memperhatikan keadaan dirinya.

Hidayah akan menjadikan seseorang semakin mengenal jalan kembali kepada Allah yang ditentukan bagi dirinya. Ia tidak perlu terlalu takut terjadi kesalahan langkah, tetapi hendaknya takut tersesat, maka hendaknya mereka berpegang teguh pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Suatu kesalahan biasa akan mudah terlihat oleh makhluk, sedangkan kesesatan lebih tersembunyi. Allah Maha Pengampun bagi orang yang memohon ampunan bagi kesalahannya, dan Dia tidak ridha kepada orang yang tersesat.

Hidayah dan kesesatan harus diukur berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Seseorang tidak bisa membantah kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW dengan suatu hidayah yang terbuka kepada dirinya. Demikian pula ia tidak boleh berbantah-bantah terhadap orang lain yang menyampaikan bagian dari kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW dengan berdasar suatu hidayah kepada dirinya. Hidayah yang terbuka kepada seseorang itu bernilai benar bila terdapat hubungan yang benar dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Tanpa hal itu, hidayah itu tidak mempunyai nilai tertentu atau bisa jadi sebenarnya justru merupakan kesesatan yang dihembuskan syaitan kepada dirinya, bukan hidayah dari Allah.

Memperoleh Ketakwaan

Allah akan memberikan kepada para pencari kebenaran tambahan-tambahan petunjuk yang akan memberikan kejelasan kehidupan mereka dengan kejelasan yang semakin bertambah. Tidak dikatakan sebagai pencari kebenaran bila seseorang tidak mengikuti suatu hidayah yang diberikan kepadanya, atau merasa telah mencapai ujung akhir hidayah. Dengan semakin bertambahnya hidayah yang dikaruniakan Allah kepada pencari kebenaran, maka Allah kemudian memberikan ketakwaan bagi mereka. Mencari kebenaran merupakan salah satu faktor kunci dalam membina ketakwaan yang tidak bisa diabaikan. Dengan ketakwaan mereka mengetahui ketetapan jalan kehidupan yang harus mereka jalani. Bila mereka memenuhi jalan itu, mereka akan menjadi orang yang bertakwa.

﴾۷۱﴿وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ
Dan orang-orang yang tetap mengharapkan petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberi kepada mereka ketakwaannya. (QS Muhammad : 17)

Sebagian orang bertakwa memahami ketetapan itu pada pokok-pokoknya saja, dan sebagian orang bertakwa memahami ketentuan itu hingga hal-hal yang terperinci. Mereka masing-masing mempunyai kedudukan yang berbeda dalam ketakwaannya, akan tetapi semuanya telah termasuk dalam golongan orang-orang bertakwa. Mereka tidak mengerjakan amal-amal yang diinginkan oleh hawa nafsu mereka, tetapi amal-amal yang ditentukan Allah bagi mereka. Dalam derajat ketakwaan tersebut, seringkali ketetapan amal itu terlihat tanpa mereka pernah membayangkan amal itu sebelumnya. Hal tersebut terjadi karena Allah-lah yang memberikan ketakwaan mereka, bukan mereka mencari ketetapan itu.

Amal Shalih yang Kekal

Amal demikian merupakan amal shalih. Pelaksanaan amal tersebut kadangkala berjalan naik turun. Manakala keadaan orang bertakwa sedang tidak baik, ketakwaan mereka akan melemah dan mereka sulit untuk beramal shalih secara menerus, akan tetapi potensi untuk melihat kembali amal shalih yang harus mereka kerjakan tidak hilang. Manakala mereka dalam keadaan baik, keinginan mereka untuk beramal shalih akan kuat dan mereka akan mudah mengerjakan amal shalih secara terus menerus. Dalam hal ini, amal-amal shalih yang dapat dilakukan orang-orang demikian secara menerus mempunyai derajat lebih baik dan kedudukan kembali mereka lebih baik daripada orang yang melakukan amal shalih secara tidak menerus.

﴾۶۷﴿وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ مَّرَدًّا
Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang tetap mengharapkan petunjuk. Dan amal-amal saleh yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik kesudahannya. (QS Maryam : 76)

Orang-orang bertakwa yang demikian merupakan wujud orang-orang yang melaksanakan amal shalih secara terus menerus yang disebut sebagai amal shalih yang kekal ( الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ). Orang yang bertakwa dihitung sebagai orang yang kekal dalam mengerjakan amal-amal shalih karena mereka mengerjakan amal-amal yang ditentukan bagi mereka sesuai dengan kehendak Allah. Amal-amal itu akan bersambung satu dengan yang lain karena Allah memberikan tambahan hidayah jalan ketakwaan mereka. Jalan ketakwaan itu diberikan karena mereka tetap mengharapkan hidayah atas keadaan mereka setiap saat.

Amal shalih yang kekal ( الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ) merupakan keshalihan yang diberikan kepada orang-orang yang keadaan mereka tetap mengharapkan hidayah. Hidayah merupakan kejelasan suatu keadaan atau arahan yang diberikan kepada seseorang agar ia memperoleh pengetahuan tentang jalan untuk kembali kepada Allah dengan benar. Hidayah ini bisa muncul meneruskan hidayah yang sebelumnya sehingga seseorang dapat menempuh langkah lebih dekat kepada Allah, tetapi mungkin pula muncul secara berbeda mengubah cara pandang sebelumnya terutama bila ada keadaan yang salah. Ini dapat tergambar sebagaimana orang kafir yang harus mengubah cara pandang karena hidayah yang baru. Hidayah dengan sifat demikian tidak hanya terjadi pada orang kafir, bahwa seorang beriman pun tidak jarang dituntut mengubah cara pandang yang keliru terhadap kehidupan hingga sesuai dengan kitabullah. Bila mereka tidak mengubah cara pandang mereka itu, mereka akan menempuh jalan kesesatan. Alih-alih menjadi orang yang memperoleh الْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ, mereka akan jatuh menjadi orang yang sesat.

Orang bertakwa hendaknya menata diri mereka agar kemampuan untuk beramal shalih secara menerus tumbuh kuat dalam dirinya. Seringkali mereka harus menghadapi tantangan yang besar. Besarnya tantangan yang dihadapi sebenarnya akan mendatangkan hidayah yang besar, maka hendaknya ia tidak menyalahkan keadaan. Kadangkala ia menemukan bahwa amal itu berat untuk dilaksanakan. Beratnya masalah itu kadang terjadi karena ia melakukan suatu kesalahan atau ada amal yang tidak dipenuhi. Ia harus mencari kesalahan diri yang dilakukan yang menjadikan amal itu terasa berat dilakukan. Kadangkala ia harus menghadapi suatu lawan yang sulit. Mengetahui kedudukan lawan dari sudut pandang Alquran akan membantu meringankan perjuangan manakala ia berlawanan dengan sesuatu. Untuk menghadapi semua keadaan yang mungkin terjadi, ada hal mendasar yang perlu diperhatikan karena sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan kekuatan beramal shalih, yaitu setengah bagian agamanya. Hendaknya ia memelihara keadaan setengah bagian agamanya.

Ampunan Allah

Allah Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih dan tetap mengharapkan hidayah bagi dirinya. Suatu kesalahan dalam perbuatan sehari-hari merupakan hal yang umum terjadi pada manusia. Hal itu merupakan kelengkapan yang diberikan Allah kepada makhluk berupa manusia. Seandainya manusia menjadi makhluk yang tidak berbuat salah, Allah akan membuat makhluk lain yang berbuat salah dan kemudian memohon ampunan kepada-Nya. Allah berkehendak untuk memperkenalkan asma-Nya berupa asma Maha Pengampun kepada makhluk, dan manusia-lah makhluk yang memiliki potensi mengenal asma tersebut dalam porsi paling besar. Manusia yang paling mengenal asma demikian berwujud manusia yang mudah dan menyukai memberikan ampunan kepada yang lain. Mereka tumbuh dari berbuat kesalahan-kesalahan dan kemudian memohon ampunan Allah.

﴾۲۸﴿وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَىٰ
Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap mengharapkan hidayah. (QS Thaha : 82)

Dalam mengharapkan ampunan Allah yang sebenarnya, setiap manusia perlu menempuh proses taubat, beriman, beramal shalih dan tetap mengharapkan hidayah. Keseluruhan keadaan tersebut merupakan kesatuan yang saling melengkapi. Taubat adalah menempuh langkah kembali kepada Allah. Manusia pada dasarnya berada pada alam terjauh dari cahaya Allah, maka hendaknya ia menempuh jalan kembali kepada-Nya. Beriman adalah berpegang pada prinsip-prinsip keimanan yang menuntun manusia untuk memperoleh cahaya-Nya. Amal shalih adalah beramal dengan amal-amal yang sesuai dengan perintah Allah terutama amal yang ditetapkan Allah baginya. Amal shalih akan tumbuh berdasarkan keimanan, dan keimanan akan diperoleh oleh orang-orang yang bertaubat.

Allah benar-benar memberikan ampunan-Nya kepada orang yang berada dalam keadaan di atas, sedangkan ia tetap mengharapkan hidayah Allah bagi dirinya setelah semua hidayah yang mengantarkannya untuk dapat beramal shalih. Mereka tidak merasa sanggup berlepas dari kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak merasa perlu dianggap penting telah sampai pada keadaannya saat itu karena mengetahui telah ada uswatun hasanah, dan merasa takut tidak lagi memperoleh tambahan hidayah setelahnya, atau takut justru memperoleh hidayah yang keliru. Hidayah yang ada padanya sebenarnya penting bagi manusia, akan tetapi orang tersebut tidak merasa perlu dirinya dianggap penting kecuali tentang hidayah yang telah ada padanya. Manakala mengharap tambahan hidayah kepada Allah, ia tidak menganggap penting hidayah yang telah ada padanya, tanpa mensia-siakannya.



Rabu, 29 Maret 2023

Hidayah dan Kehidupan Masyarakat

Allah menciptakan manusia di bumi untuk menjadi pemakmurnya. Manusia akan kembali kepada kedudukan mereka di surga setelah mereka menempuh kehidupan di bumi dengan membawa fadhilah yang sangat banyak dibandingkan dengan makhluk lainnya karena manusia menempuh kehidupan yang berat di bumi. Banyak di antara manusia tersesat atau dzalim terhadap diri mereka sendiri. Sebagian orang dzalim melupakan tujuan kehidupan ketetapan Allah, dan sebagian orang yang bertaubat terjebak pada jalan yang keliru.

Keselamatan dalam menempuh perjalanan taubat bagi setiap orang terkait dengan hidayah, atau petunjuk Allah. Hidayah dapat diterangkan sebagai penjelasan atau pengarahan yang terang untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki. Dalam istilah agama, hidayah dapat dikatakan sebagai penjelasan atau pengarahan yang diturunkan Allah ke dalam hati seseorang untuk mencapai kedudukan kembali di sisi Allah. Suatu pengetahuan tertentu yang diperoleh atau terbuka kepada seseorang dapat dikatakan sebagai hidayah manakala ilmu itu terkait dengan suatu tujuan tertentu yang mengantarkan mereka menempuh jalan kepada Allah. Bila suatu ilmu tidak benar-benar dipahami manfaatnya oleh seseorang, maka itu belum dikatakan sebagai hidayah. Bila sesorang memahami, maka ilmu itu menjadi hidayah. Bila mereka meletakkan ilmu itu sebagai bagian dari kehidupan dirinya, mereka mengikuti hidayah.

Allah telah menurunkan keseluruhan hidayah itu melalui kitabullah Alquran. Alquran merupakan sumber hidayah bagi setiap makhluk tanpa kebengkokan di dalamnya. Seluruh hidayah yang mungkin diturunkan Allah akan selalu mempunyai hubungan dengan suatu ayat dalam kitabullah, tidak terlepas darinya. Allah berfirman :

﴾۸۰۱﴿قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَنِ اهْتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَمَا أَنَا عَلَيْكُم بِوَكِيلٍ
Katakanlah: "Hai manusia, sesungguhnya teIah datang kepadamu Al-Haqq dari Tuhanmu, sebab itu barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya itu petunjuk untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu atas dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang wakil terhadap dirimu". (QS Yunus : 108)

Suatu hidayah akan memberikan manfaat yang sangat banyak kepada makhluk, yaitu apabila mereka mengikuti hidayah yang diberikan kepada mereka dan mereka tetap mengharapkan Allah untuk memberikan tambahan hidayah kepada mereka. Suatu hidayah tidak bersifat sekali-sekali, tetapi bersifat menerus. Suatu hidayah tertentu akan diikuti oleh hidayah yang lain manakala seseorang mengikuti hidayah yang diberikan dan terus mengharapkan hidayah baginya. Orang-orang yang mensikapi suatu hidayah dengan cara demikian itulah yang dikatakan sebagai orang yang tetap mengharapkan hidayah ( اهْتَدَىٰ). Dalam terminologi lain barangkali mereka itu dapat disebut sebagai pencari kebenaran.

Banyak orang tidak termasuk dalam golongan pencari kebenaran. Orang-orang kafir tidak mengharapkan suatu hidayah manakala sedang kafir. Manakala menyadari kesalahan dalam kehidupan, mereka merasakan haus terhadap hidayah. Sebagian manusia takut untuk mengikuti seruan hidayah yang sampai kepadanya karena dipertakuti syaitan. Kadangkala di antara orang beriman dijumpai orang-orang yang memperoleh suatu hidayah kemudian tidak mengikuti hidayahnya dan memilih kehidupan duniawi, dan ia kemudian melupakan tujuan kehidupan di sisi Allah. Sebagian manusia mengikuti suatu hidayah akan tetapi kemudian merasa tidak membutuhkan lagi hidayah berikutnya, bahkan bertindak berlebihan menjadikan diri sebagai pemberi hidayah, tidak menempatkan diri sebagai penyeru kepada hidayah secara layaknya, dan tidak menjadikan Allah sebagai pemberi hidayah kecuali hanya hidayah yang mereka sampaikan.

Tetap Mengharap Hidayah

Sikap tetap mengharap hidayah tidak dapat tumbuh pada orang-orang yang bersikap jumud tidak terbuka terhadap kebenaran. Masyarakat yang terbuka terhadap kebenaran ditandai dengan kemampuan bersegera bersikap dengan benar terhadap suatu hidayah yang disampaikan kepada mereka. Bila hidayah itu benar, mereka bersikap bersegera mengikutinya, dan bila hidayah itu salah mereka dapat bersegera menghapus penyebaran kesesatan itu dari antara mereka. Bila bersikap sebaliknya, hal itu menunjukkan adanya kesesatan di antara mereka. Bila penyikapan itu terjadi secara berlarut-larut, maka itu merupakan indikasi sebagai masyarakat yang jumud terhadap kebenaran. Mereka akan sulit tumbuh menjadi orang-orang yang tetap mengharapkan hidayah.

Fenomena kejumudan ini tidak hanya terjadi di antara orang-orang kafir tetapi bisa juga terjadi di antara orang beriman. Orang-orang beriman yang bersikap jumud pada dasarnya mudah terjebak dalam permainan kesesatan syaitan. Allah tidak dijadikan sebagai pemberi hidayah bagi mereka, tetapi mengangkat pemberi hidayah mereka dari kalangan manusia-manusia, maka syaitan dengan mudah menyesatkan perjalanan mereka kembali kepada Allah melalui hal-hal yang bahkan tampak seperti hidayah. Syaitan bisa mempunyai kesempatan menyamar seperti pemberi hidayah bila masyarakat bersikap jumud. Hendaknya orang-orang beriman menjadikan Allah sebagai pemberi hidayah, menjadikan diri mereka dan para ulama mereka sebagai penyeru kepada hidayah, dan masing-masing orang selalu mengharapkan tambahan hidayah Allah bagi mereka.

Sikap demikian mempunyai tolok ukur yang jelas, yaitu menjadikan kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW sebagai pedoman. Bersikap berharap hidayah kepada Allah tanpa menghiraukan firman Allah tidak menunjukkan sikap berharap yang benar, atau dapat dikatakan merupakan sikap berharap secara keliru. Keseluruhan kebenaran telah diturunkan Allah melalui kitabullah Alquran. Suatu hidayah akan selalu terhubung pada salah satu firman Allah. Hidayah yang benar hanyalah hidayah yang mengikuti kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, bukan hidayah yang samasekali baru. Barangkali hidayah tidak terhubung secara langsung terhadap Alquran, tetapi akan ada hubungan. Firman Allah dalam Alquran tidak dapat dipertentangkan dengan hidayah yang sama sekali baru.

Mengharapkan hidayah dari Allah akan dapat dilakukan bila umat manusia melakukan pensucian jiwa mereka. Tanpa melakukan pensucian jiwa (tazkiyatun-nafs), manusia akan terlingkupi oleh hawa nafsu mereka. Alquran dan sunnah Rasulullah SAW hanya akan tersentuh oleh orang-orang yang hatinya suci disucikan, tidak benar-benar tersentuh oleh pikiran manusia saja tanpa terkotori hawa nafsu. Hidayah hanya akan tertuntun kitabullah bila manusia melakukan tazkiyatun nafs. Seringkali setiap orang harus benar-benar mengikuti seorang syaikh terlebih dahulu sebelum dapat memperoleh hidayah yang tertuntun kitabullah. Dalam hal ini, setiap orang tidak boleh melepaskan kitabullah. Mengikuti seorang syaikh tidak boleh dilakukan dengan mengalahkan ayat dalam Alquran yang dapat dipahami sejauh pikirannya.

Mengharap Hidayah Mengikuti Rasulullah SAW

Kadangkala terjadi suatu fenomena dimana masyarakat kehilangan landasan berpijak dari Alquran bagi upaya-upaya amal shalih yang mereka lakukan, sedangkan mereka berupaya mengikuti hidayah. Mereka akan terombang-ambing tanpa mengetahui arah untuk mencapai tujuan. Bahkan manakala tujuan terdekat telah diketahui, mereka tetap kehilangan arah dan pijakannya untuk mencapai tujuan itu. Hal ini merupakan gejala terlepasnya silsilah washilah yang menghubungkan mereka kepada amr jami’ Rasulullah SAW. Boleh jadi umat demikian belum pernah berusaha menemukan washilah yang sebenarnya, atau kurang meneliti bahwa ada washilah yang terputus kepada Rasulullah SAW.

Bila seseorang berusaha sungguh-sungguh untuk menemukan washilah, mereka akan memahami amr jami’ mengikuti Rasulullah SAW dan menemukan landasan berpijak amal shalih mereka dari Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Manakala suatu rantai washilah terputus, mereka kehilangan kedua milestone tersebut. Pada dasarnya umat manusia dapat menemukan rantai washilah melalui jalur yang lain manakala terputus dan menyambungkan kembali rantai washilah itu bagi mereka. Hal ini dapat dilakukan bila mereka tetap berharap hidayah Allah.

Umat yang terputus washilahnya tidak memperoleh berkah dari Rasulullah SAW. Tidak tertinggal bayang-bayang tombak Rasulullah SAW bagi mereka, maka kehidupan di antara mereka akan menjadi sulit tanpa arah yang jelas dalam mengentaskannya. Suatu hidayah yang diberikan kepada seseorang boleh jadi tidak meninggalkan suatu jejak di alam bumi mereka, dan orang yang mengikuti amr jami’ Rasulullah SAW akan kesulitan menemukan rejeki duniawi mereka karena pendeknya bayang-bayang tombak Rasulullah SAW yang ada di antara mereka. Kehidupan duniawi umat islam akan melekat erat bersama-sama dengan makar dan tipu daya kaum yang lain atau bahkan terliputi makar itu, hingga mereka seringkali harus berbuat sebagaimana kaum itu.

Terputusnya washilah sangat mungkin akan tercermin pada terputusnya hubungan washilah dalam rumah tangga. Dalam beberapa kasus, rusaknya rumah tangga merupakan cermin rusaknya washilah kepada Rasulullah SAW. Suatu washilah di antara suami dan isteri dalam rumah tangga tertentu sangat mungkin menjadi bayangan washilah umat kepada Rasulullah. Rusaknya washilah yang demikian itu akan menjadi pintu fitnah syaitan yang sangat besar bagi manusia. Suatu hidayah yang diberikan kepada seorang laki-laki boleh jadi akan didustakan oleh isteri dan umatnya mengikuti mendustakannya. Boleh jadi mereka mengikuti suatu kebenaran, tetapi bukan kebenaran yang dituntun kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW.

Bila manusia mengikuti kebenaran menurut pendapat mereka sendiri, suatu kesesatan dapat terlihat seperti kebenaran. Yang sering terjadi pada kaum demikian adalah tercampur-aduknya kebenaran dengan kesesatan tanpa merasakan tercampurnya kesesatan itu. Hal demikian merupakan cara yang paling disukai syaitan, yaitu tidak benar-benar memberikan kesesatan kepada manusia tetapi mencampurkan kesesatan pada kebenaran. Dengan demikian manusia dapat tersesat sangat jauh ketika mengikuti kebenaran. Mereka tidak merasakan adanya kesesatan dalam diri mereka karena mereka menginginkan kebenaran. Hendaknya setiap orang berpegang teguh pada kitabullah dan selalu memohon hidayah kepada Allah. Bila seseorang mengikuti pendapatnya sendiri dalam mengikuti kebenaran, maka mereka akan tersesat dalam mengikuti kebenaran. Setiap orang harus menjadikan Allah sebagai pemberi hidayah dengan berpegang pada kitabullah.

Orang yang tersesat pada dasarnya tidak mencari kebenaran melalui Rasulullah SAW, karenanya Rasulullah SAW tidak menjadi wakil bagi orang-orang yang tersesat dalam mengikuti kebenaran. Beliau akan membiarkan orang-orang yang menuruti hawa nafsu mereka menanggung kesalahan mereka sendiri, sedangkan Rasulullah SAW tidak akan menanggung kesalahan mereka di hadapan Allah. Orang-orang yang mengikuti beliau SAW akan bersikap demikian pula, tidak akan ikut menanggung kesesatan yang diikuti kaumnya. Sikap demikian tidak berarti membiarkan sahabatnya untuk mengikuti kesesatan, akan tetapi mereka tidak akan mengikuti kesesatan mereka dan tidak ikut menanggung kesesatan mereka.

Mencari kebenaran melalui Rasulullah SAW hanya dapat dibina dengan landasan membangun sifat rahmaniah. Sifat rahmaniah terwujud berupa kecenderungan mengikuti Alquran. Seorang rahmaniah adalah seseorang yang berusaha merespon segala sesuatu sesuai dengan Alquran, dalam batasan pemahaman dirinya. Ini merupakan bentuk kasih sayang yang paling bernilai yang dapat diperbuat manusia. Ar-Rahman merupakan asma Allah tertinggi yang diturunkan Alquran dari asma itu. Seseorang yang bersifat rahmaniah akan mempunyai kemudahan untuk memahami dan bertindak sebagaimana firman Allah dalam Alquran. Seseorang yang bersifat rahmaniah tidak akan pernah mendustakan kebenaran dari Alquran, walaupun mungkin saja ia pernah terkhilaf melakukan suatu kesalahan berselisih dengan Alquran atau tidak mempunyai kemampuan melaksanakan Alquran.

Sifat rahmaniah hanya dapat dibina bersama dengan membina sifat rahimiah. Sifat rahman tidak dapat berdiri sendiri tanpa sifat rahim. Sifat rahim merupakan turunan pertama sifat rahman, dan kedua sifat tersebut selalu bergandeng bersama-sama. Nabi Ibrahim a.s merupakan tauladan yang paling utama sifat rahim yang dapat tumbuh dalam diri seorang manusia. Sifat rahim seorang manusia dapat dijelaskan sebagai sifat untuk menyayangi orang lain agar orang tersebut tumbuh menjadi mulia, sebagaimana seorang shalihah mengasuh anak-anaknya atau mendampingi suaminya. Sifat ini berlawanan dengan sifat suka merendahkan. Orang yang mudah bersikap merendahkan orang lain tidak akan tumbuh sifat rahimiahnya.

Pertumbuhan dua sifat ini membutuhkan keluarga yang baik, baik keluarga yang melahirkan diri seseorang ataupun keluarga yang dibentuk bersama pasangannya. Seorang yang tumbuh di keluarga yang baik akan menampakkan kedua sifat ini dengan lebih kuat. Walaupun kedua sifat ini bergandeng, kadangkala salah satu sifat pada diri seseorang tampak lebih menonjol dari sifat yang lain, terutama terlihat pada jenis kelamin seseorang. Seorang perempuan akan kuat sifat rahimnya, dan seorang laki-laki akan lebih menonjol pada sifat rahmaniah. Kadangkala pertumbuhan salah satu sifat terganggu oleh faktor tertentu.

Jumat, 24 Maret 2023

Mengikuti Hidayah

Allah menciptakan manusia di bumi untuk menjadi pemakmurnya. Manusia akan kembali kepada kedudukan mereka di surga setelah mereka menempuh kehidupan di bumi dengan membawa fadhilah yang sangat banyak dibandingkan dengan makhluk lainnya karena manusia menempuh kehidupan yang berat di bumi. Akan tetapi hanya sedikit orang yang dapat benar-benar kembali kepada kedudukan mereka ketika menempuh kehidupan di bumi. Banyak di antara manusia tersesat atau dzalim terhadap diri mereka sendiri. Sebagian orang dzalim melupakan tujuan kehidupan mereka sesuai dengan ketetapan Allah, dan sebagian orang yang bertaubat terjebak pada jalan yang keliru hingga mereka sesat.

Kunci keselamatan dalam menempuh perjalanan taubat bagi setiap orang adalah hidayah, atau petunjuk Allah. Hidayah dapat dijelaskan sebagai penjelasan atau pengarahan yang terang untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki. Dalam istilah agama, hidayah merupakan penjelasan atau pengarahan bagi manusia untuk mencapai kedudukan kembali di sisi Allah. Suatu pengetahuan tertentu dapat dikatakan sebagai hidayah manakala ilmu itu terkait dengan suatu tujuan tertentu. Manakala suatu ilmu menjadikan seseorang terpecah-belah kehilangan arah dari tujuan yang ditentukan, maka ilmu itu tidak dapat dikatakan sebagai hidayah. Kadang-kadang suatu ilmu ditampakkan layaknya hidayah, sedangkan ilmu itu tidak membuat manusia bertambah dalam memahami tujuan kehidupan mereka sedikitpun, maka ilmu itu manakala diikuti tidaklah termasuk dalam kategori hidayah.

Hidayah tidak terbatas bagi manusia. Allah telah menciptakan segala sesuatu berdasarkan suatu bentuk kejadian tertentu dan kemudian memberikan kepada mereka petunjuk untuk mencapai bentuk kejadiannya. Demikian pula bagi manusia, Allah memberikan petunjuk kepada mereka bentuk-bentuk hidayah yang paling tinggi di antara semua bentuk hidayah. Hal ini karena manusia diciptakan di suatu tempat terjauh di alam penciptaan untuk kembali kepada kedudukan di sisi Allah, karenanya bentuk hidayah bagi manusia merupakan bentuk hidayah yang paling utama.

﴾۰۵﴿قَالَ رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَىٰ كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَىٰ
Musa berkata: "Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk. (QS Thaha : 50)

Bentuk hidayah bagi makhluk akan bergantung pada bentuk yang ditentukan bagi makhluk. Makhluk jasmaniah akan memperoleh hidayah untuk mencapai kedudukan jasmaniah mereka, dan para malaikat memperoleh hidayah untuk melaksanakan kedudukan yang ditentukan bagi mereka di alam malakut. Manusia merupakan bentuk makhluk yang paling sempurna, mempunyai bentuk-bentuk jasmaniah di alam mulkiyah, bentuk-bentuk malakutiyah sebagaimana para malaikat, hingga bentuk-bentuk penciptaan yang paling tinggi di sisi Allah. Hidayah bagi manusia merupakan bentuk hidayah yang paling sempurna yang dikaruniakan Allah kepada makhluk-Nya.

Hidayah Yang Sempurna

Allah telah menurunkan hidayah yang paling sempurna kepada junjungan semesta alam Rasulullah SAW dalam bentuk kitabullah Alquran al-karim. Bentuk fisik kitabullah Alquran yang dapat dibaca manusia merupakan ringkasan dari seluruh hakikat yang diperkenalkan kepada Rasulullah SAW. Dibalik bacaan Alquran yang terwujud pada fisik kitab Alquran terdapat kandungan hakikat yang sangat besar mencakup seluruh hakikat penciptaan yang hendak diperkenalkan Allah kepada seluruh makhluk. Bila seseorang mempunyai akal, maka ia dapat memperoleh suatu penjelasan dan pengarahan yang terang tentang kehendak Allah melalui pembacaan kitabullah Alquran.

﴾۸۰۱﴿قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَنِ اهْتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَمَا أَنَا عَلَيْكُم بِوَكِيلٍ
Katakanlah: "Hai manusia, sesungguhnya teIah datang kepadamu Al-Haqq dari Tuhanmu, sebab itu barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya itu petunjuk untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu atas dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu". (QS Yunus : 108)

Kitabullah Alquran diturunkan hingga bentuk fisik yang dapat dibaca oleh setiap orang, baik ia kafir ataupun beriman. Bentuk fisik demikian dan bentuk-bentuk Alquran yang lebih hakiki hanya dapat dipahami dengan benar oleh orang-orang beriman saja, akan tetapi setiap bentuk Alquran dapat menjadi hidayah bagi setiap orang yang membacanya. Perlu diketahui bahwa orang beriman-pun tidak semuanya dapat memahami Alquran dengan benar karena adanya kemungkinan hawa nafsu yang berada pada diri mereka.

Manakala seorang beriman bertentangan dengan ayat kitabullah Alquran, mereka telah melenceng dari kebenaran. Kesesatan yang dilakukan oleh seseorang dalam mengikuti kebenaran tidak menjadi tanggungan Rasulullah SAW dan orang yang mengikutinya. Beliau SAW dan pengikutnya menyeru setiap orang kepada petunjuk tanpa ada keinginan melenceng, sedangkan melencengnya seseorang karena dirinya sendiri. Mereka tidak benar-benar mengharapkan petunjuk sehingga kemudian menempuh jalan yang sesat karena petunjuk yang sallah. Orang yang benar-benar mengharapkan petunjuk akan memperoleh petunjuk dari kebenaran yang telah diturunkan Allah.

Sangat banyak bentuk hidayah yang dapat terbuka bagi setiap orang yang membaca Alquran, baik hidayah dalam bentuk dasar di alam mulkiyah ataupun hidayah untuk alam yang tinggi. Orang yang memperoleh petunjuk dari Alquran dan beramal sesuai dengan petunjuk yang diperoleh merupakan orang yang memperoleh petunjuk bagi nafs mereka. Mereka akan mengetahui hakikat-hakikat penciptaan yang dikehendaki Allah bagi mereka. Hakikat itu menjelaskan makna kehidupan mereka dan memberikan arah kehidupan mereka, baik arah kehidupan jangka pendek maupun arah tujuan akhir kehidupan mereka di sisi Allah. Kadangkala seseorang memperoleh hidayah jangka pendek untuk mengikuti langkah Rasulullah SAW hingga tujuan akhirnya, dan kadangkala seseorang memperoleh hidayah untuk mengikuti keseluruhan langkah Rasulullah SAW kemudian ia memperoleh hidayah jangka pendek.

Setiap hidayah akan terkait dengan ayat kauniyah dan ayat kitabullah, dan berfungsi untuk melangkah bertaubat kepada Allah. Ayat kauniyah merupakan potongan ayat Allah yang diperkenalkan secara temporer kepada para penghuni semesta raya, bagian dari keseluruhan hakikat yang hendak Dia perkenalkan kepada makhluk. Kitabullah merupakan ringkasan dari keseluruhan hakikat tersebut. Suatu hidayah merupakan penjelasan atau pengarahan yang jelas terhadap keterkaitan ayat-ayat di atas, bukan suatu penjelasan yang tidak terkait dengan ayat Allah. Bila tidak terkait dengan ayat Allah dan langkah taubat, maka seseorang belum dikatakan telah memperoleh hidayah, walaupun ia mempunyai khazanah indera lahir atau bathin yang banyak.

Kadangkala suatu kauniyah berbeda dengan ayat kitabullah, dan hidayah itu dimaksudkan agar seseorang mengarahkan kauniyah mereka sesuai hidayah. Kadangkala suatu ayat kitabullah menjelaskan keadaan kauniyah yang terkamuflase oleh upaya suatu pihak tertentu sehingga suatu petunjuk tampak tidak terkait dengan ayat kauniyah, atau tidak sesuai dengan ayat kauniyah. Dalam peristiwa demikian cara pandang terhadap ayat kauniyah-lah yang harus diupayakan mengikuti petunjuk, yaitu petunjuk yang terkait dengan kitabullah. Bila diabaikan, ia akan terus menjadi orang yang tidak memahami petunjuk. Di sisi lain, kadangkala suatu petunjuk hanya merupakan bunga hawa nafsu atau penguji hati, maka hendaknya petunjuk itu tidak dijadikan seseorang alat untuk mendustakan ayat Allah.

Hidayah bukan hanya terkait iman atau kufur kepada Allah. Hidayah terkait dengan setiap tingkatan makhluk. Bagi manusia yang kafir, hidayah dapat berwujud keterbukaan hati untuk menerima suatu penjelasan kebenaran menghapus kekufuran mereka. Bagi manusia dalam iman tertentu, hidayah dapat berupa langkah praktis yang diperlukan untuk masalah diri mereka. Sebagian manusia memperoleh hidayah untuk mengentaskan permasalahan umat mereka. Setiap tingkatan manusia dapat memperoleh hidayah bila mereka mengikuti hidayah itu. Bila seseorang berhenti mengikuti hidayah, mereka akan berhenti pula dalam menerima hidayah. Bila mereka tersesat mensikapi, maka mereka akan tersesat pula.

Bagi orang-orang yang terus mengikuti hidayah, maka mereka akan terlepas dari rasa takut dan khawatir dalam kehidupan. Sebagian orang tidak menerima kebenaran, maka mereka tetap dalam keadaan kufur. Sebagian orang dapat memahami kebenaran tetapi memilih mengikuti kebutaan di alam yang rendah. Sebagian orang beriman tidak mau mengikuti hidayah bagi mereka, maka mereka terbelit oleh masalah mereka sendiri dan terbelit oleh hawa nafsu mereka tanpa memperoleh jalan yang terang oleh kitabullah. Boleh jadi mereka akan terbelit masalah sendiri sedangkan mereka terlena oleh hawa nafsu bercita-cita mengentaskan masalah umat. Boleh jadi mereka kemudian terjatuh dalam kekufuran menolak kebenaran sedangkan mereka mengira berjuang untuk kebaikan umat manusia. Hendaknya setiap orang mengikuti hidayah sesuai dengan keadaan mereka masing-masing agar memperoleh hidayah yang terus meningkat.

Hendaknya setiap orang yang mencari hidayah tidak pernah melepaskan upaya mereka dari kitabullah. Kehidupan dunia merupakan kehidupan yang sangat jauh dari cahaya, dan demikian pula alam malakut mereka-pun merupakan hijab dari Allah yang dapat menyesatkan mereka dari tujuan yang sebenarnya. Kadangkala seorang beriman memperoleh hidayah untuk jangka pendek kemudian melupakan kitabullah karena merasa ia telah memperoleh hidayah yang sejati. Karena perbuatan itu maka mereka kemudian berbalik menuju langkah yang sesat. Seseorang dapat tersesat karena berpegang pada sebagian kitabullah dan melupakan yang lainnya. Tidak ada seseorang yang mengetahui seluruh kandungan kitabullah kecuali Rasulullah SAW, akan tetapi keadaan ini tidak boleh menjadikan seseorang bersikap mendustakan ayat dalam kitabullah karena tidak mengetahuinya. Bila ada orang lain membaca kitabullah dengan benar, ia tidak boleh mendustakannya. Mendustakan pembacaan yang benar itu merupakan kesesatan.

Seseorang dapat tersesat ketika mengikuti sebagian dari kitabullah, tetapi bukan kitabullah itu yang menyesatkannya. Mereka tersesat karena diri mereka sendiri. Mengenal suatu hakikat melalui bacaan kitabullah tidak boleh disikapi dengan kebanggaan dalam hawa nafsu, tetapi harus menumbuhkan sikap mengagungkan Allah. Bila seseorang berbangga dengan pengenalannya terhadap hakikat, mungkin mereka akan menganggap kecil orang lain dan menganggap dirinya lebih utama hingga tidak dapat mengenali khazanah dari orang lain. Sebenarnya sangat banyak hakikat yang mungkin diperkenalkan Allah kepada setiap manusia, tidak hanya diperuntukkan bagi orang tertentu saja. Selama suatu kebenaran yang dikenal seseorang mempunyai pijakan kitabullah, sangat mungkin kebenaran itu merupakan hakikat yang diturunkan dari sisi Allah. Seseorang tidak berhak untuk menganggap orang lain tidak mungkin mengenal kebenaran yang berbeda dengan dirinya. Manakala hal itu terjadi, mereka akan sangat mudah tergelincir mendustakan kebenaran hingga mereka menjadi orang yang tersesat.

Menyeru Pada Hidayah

Tidak ada kewajiban bagi seseorang untuk memberikan hidayah kepada orang lain. Rasulullah SAW-pun tidak diberi kewajiban untuk memberikan hidayah kepada umatnya. Demikian pula beliau berlepas diri dari orang-orang yang tersesat dalam mengikuti kebenaran yang Allah turunkan, bahwa kesesatan itu merupakan kesesatan dari nafs masing-masing. Seseorang yang memilih beriman hingga mendapat petunjuk atau memilih kufur terhadap seruan beliau SAW bukanlah tanggungan beliau SAW. Beliau berlepas diri dari orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Allah, dan Allah tidak membebankan kekufuran mereka kepada beliau SAW.

﴾۲۷۲﴿ لَّيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ وَمَا تُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنفُسِكُمْ وَمَا تُنفِقُونَ إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ وَمَا تُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya. (QS Al-Baqarah : 272)

Hal demikian tidak berarti melepaskan kewajiban terhadap Rasulullah SAW dan orang-orang yang mengikutinya untuk menyeru manusia kepada hidayah. Setiap orang beriman harus menyeru orang lain kepada hidayah, akan tetapi keterbukaan hidayah dalam diri setiap orang tidak dapat diupayakan oleh orang-orang yang menyeru. Sejelas apapun penjelasan yang dapat diberikan oleh seseorang, belum tentu orang lain akan memperoleh cahaya yang menerangi kehidupan mereka bila mereka menutup hatinya dari kebenaran hakikat yang disampaikan. Allah-lah yang akan membuka hati orang-orang yang mendengarkan penjelasan kebenaran, yaitu orang-orang yang dikehendaki-Nya.

Orang yang menyeru orang lain kepada hidayah akan memperoleh bagian pahala dari orang-orang yang mengikuti mereka tanpa mengurangi pahala yang mengikutinya sedikitpun. Orang-orang yang memperoleh hidayah hendaknya menyeru orang lainnya kepada hidayah yang diketahuinya, maka mereka akan memperoleh balasan kebaikan sesuai dengan orang-orang yang mengikutinya.

مَنْ دَعَا إِلَى هُدَىً ، كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أجُورِ مَنْ تَبِعَه ، لاَ يَنْقُصُ ذلِكَ مِنْ أجُورِهمْ شَيئاً ، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ ، كَانَ عَلَيهِ مِنَ الإثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ ، لاَ يَنْقُصُ ذلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيئاً
Barangsiapa menyeru kepada hidayah maka akan ia memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa menyeru kepada kesesatan maka ia akan mendapat dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka.” (HR. Muslim, At-Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad, ad-Darimi)

Akan tetapi hendaknya mereka juga berhati-hati dengan memastikan terlebih dahulu bahwa apa yang diserukannya benar-benar merupakan hidayah, yaitu dengan cara memeriksa hidayahnya dengan kitabullah dan ayat kauniyah. Hidayah harus sesuai dengan tuntunan kitabullah, dan bila bertentangan dengan kitabullah, maka apa yang disangka hidayah itu merupakan kesesatan. Akibat buruk dari seruan demikian benar-benar menjadi tanggungan orang yang menyerunya, tidak sebagaimana kesesatan orang-orang karena seruan kepada hidayah. Barang siapa menyeru manusia pada kesesatan, maka ia akan memperoleh bagian balasan yang buruk dari seluruh dosa orang-orang yang mengikutinya semuanya, tanpa mengurangi dosa orang yang mengikutinya sedikitpun.

Orang-orang yang mengikuti kesesatan orang lain tidak dapat melepaskan dosa kesesatan itu dari diri mereka sendiri. Sekalipun penyeru kesesatan kepada mereka memperoleh beban dosa keseatan dirinya, tidaklah dosa dirinya berkurang sedikitpun. Seluruh dosa itu tetap menjadi tanggungan dirinya sendiri, tidak dikurangi dengan beban yang ditanggung penyerunya. Karena itu setiap orang hendaknya memperhatikan seruan yang mereka terima. Hidayah akan selalu terkait dengan ayat-ayat Allah baik kitabullah maupun kauniyah, tidak boleh terlepas darinya. Manakala ada gejala terlepas, hendaknya setiap orang berhati-hati dengan datangnya fitnah Allah ataupun tipuan syaitan terhadap dirinya.

Jumat, 17 Maret 2023

Prasangka Buruk dan Akhlak Buruk

Allah menghendaki umat manusia untuk bersatu memakmurkan bumi sebagai umatan wahidah, akan tetapi manusia selalu berselisih di antara mereka. Hanya orang-orang yang membina diri mereka mengenali nafs wahidah yang mengetahui cara menyatukan diri mereka dalam umatan wahidah sebagai bagian dari umat Rasulullah SAW. Tanpa mengenal nafs wahidah dan membina kesatuan nafs wahidah tersebut untuk mengikuti Rasulullah SAW, setiap orang akan terjebak dalam perselisihan-perselisihan.

Ada modal dasar dalam diri yang harus dikelola dengan benar untuk mencapai tujuan di atas. Setiap orang diberi bekal kemampuan untuk berpikir. Setiap orang harus berusaha menyusun pikiran yang benar agar nafs mereka tumbuh berkembang. Berpikir merupakan bayangan di raga dari kecerdasan aql yang terdapat pada nafs mereka. Kedua kecerdasan pada setiap diri tersebut harus dibina untuk dapat memahami ayat-ayat secara solid dan benar. Kemampuan seseorang untuk berpikir berdasarkan fakta yang benar akan membuat nafs mereka mempunyai kemampuan untuk memahami kebenaran, dan sebaliknya bila seseorang menyusun kerangka berpikirnya tanpa landasan fakta yang benar, maka nafs mereka juga akan tumbuh memahami kebenaran secara mengambang.

Kebenaran pikiran seringkali merupakan hal yang berlawanan dengan prasangka. Prasangka merupakan suatu bentuk pikiran yang prematur. Sebagian besar prasangka merupakan dosa, dan hanya sebagian kecil prasangka tidak merupakan dosa. Perbuatan dosa akan merusak persaudaraan di antara orang-orang beriman. Penghinaan kepada orang lain seringkali terjadi karena seseorang tidak menggembalakan prasangkanya untuk menjadi lebih baik. Demikian pula orang mencari kesalahan orang lain dan berghibah karena prasangka. Orang yang berprasangka seringkali memandang diri mereka lebih baik daripada orang-orang yang mereka prasangkai. Seringkali keburukan yang ada dalam pikiran sebenarnya merupakan keburukan sendiri, bukan benar-benar keburukan objeknya, atau setidaknya keburukan sendiri yang bercampur dengan keburukan pada objeknya. Allah memerintahkan manusia untuk menghindari kebanyakan prasangka.

﴾۲۱﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS Al-Hujuraat : 12)

Suatu prasangka seringkali terjadi karena kurangnya pengenalan atau kedekatan seseorang kepada orang lainnya, kemudian mengambil kesimpulan tentang sahabatnya secara tergesa-gesa. Hal ini merupakan dorongan hawa nafsu yang harus dikendalikan. Setiap orang harus dapat memahami sahabatnya dengan benar. Proses pemahaman ini akan sangat dipengaruhi dengan keadaan diri masing-masing orang. Proses berpikir yang benar akan diperoleh oleh orang-orang yang menempuh jalan pensucian diri hingga Allah mensucikan nafs mereka. Menggembalakan prasangka merupakan bagian dari jalan pensucian diri, dan tanpa menggembalakannya maka Allah tidak akan mensucikannya.

Menggembalakan Prasangka

Prasangka buruk yang diperturutkan akan membawa seseorang pada suatu akhlak buruk. Manakala seseorang berprasangka buruk, prasangka buruk tersebut merupakan kesalahan yang mendatangkan kejahatan. Bila ia tidak berusaha memperbaiki prasangka buruknya, prasangka itu akan menjadi kejahatan. Apabila prasangka buruknya itu menjadikan dirinya menghukumi saudaranya dengan keburukan tanpa bisa menerima penjelasan apapun yang terkait, maka ia telah berakhlak buruk dalam bentuk dosa yang tidak terampuni. Akhlak buruk yang tumbuh karena adanya prasangka buruk merupakan dosa yang tidak terampuni.

Rasulullah SAW bersabda :
سوء الخلق ذنب لا يغفر و سوء الظن خطيءة تفوح
"Buruk akhlak itu adalah dosa yang tak terampunkan dan buruk prasangka adalah kesalahan yang mendatangkan kejahatan." (HR Ath-Thabarani)

Prasangka buruk itu terlahir dari sedikitnya atau tidak adanya keinginan memberikan kebaikan bagi saudaranya. Dalam pergaulan, setiap orang hendaknya berusaha melihat kebaikan yang ada pada diri sahabatnya, dan berusaha memberikan apa yang baik bagi sahabatnya. Bila ia menemukan suatu keburukan pada sahabatnya, hendaknya ia berusaha untuk memberikan kebaikan tidak hanya menghukuminya buruk. Bila ia bersikap demikian, ia tidak mudah terjatuh pada prasangka buruk. Barangkali masih ada pikiran buruk karena tindakan buruk sahabatnya, tetapi ia lebih terjaga untuk tidak terjatuh pada akhlak yang buruk.

Tanpa suatu keinginan baik, sangat mudah prasangka buruk itu mendatangkan suatu kejahatan pada seseorang. Prasangka buruk demikian itu pada suatu saat kemudian akan keluar dari lisannya kepada orang lain dan menimbulkan pula prasangka buruk pada orang lain karena sedikitnya atau tidak adanya keinginan baik yang terkandung dari kata-kata lisannya. Prasangka buruk itu kemudian menjadi beban yang semakin besar bagi orang yang diprasangkai, dan menimbulkan suatu kejahatan bagi mereka. Kadangkala prasangka demikian tidak mengandung kebenaran sama sekali sehingga lebih merupakan fitnah daripada suatu prasangka buruk, maka apa yang mereka kira sebuah prasangka itu sebenarnya merupakan fitnah bagi umat, maka kejahatan itu akan besar pula menimpa umat mukminin berupa fitnah.

Bila suatu prasangka buruk menjadikan seseorang yang berprasangka tidak dapat menerima penjelasan yang terkait, maka itu merupakan akhlak buruk yang merupakan dosa tidak terampuni. Sikap tidak dapat menerima penjelasan itu merupakan penanda yang dimunculkan Allah tentang adanya akhlak buruk berupa dosa yang tidak terampuni. Penanda itu mempunyai bentuk serupa dengan akhlaknya, yaitu dosa tidak diampuni ditandai dengan akhlak tidak mempunyai ampunan.

Tidak semua orang yang menolak benarnya penjelasan dari orang lain merupakan penanda adanya dosa demikian ini, karena boleh jadi ada penjelasan yang tidak benar. Orang yang tidak mempunyai keinginan memberikan kebaikan-lah yang mempunyai akhlak buruk karena prasangka, dan hal itu ditandai dengan tidak adanya keinginan menerima penjelasan terhadap persangkaan buruknya. Prasangka buruk seringkali menjadikan seseorang berakhlak buruk, dan sebaliknya akhlak buruk menjadikan seseorang mudah berprasangka buruk.

Dalam prakteknya, seseorang yang berprasangka buruk sangat mudah terjatuh pada akhlak buruk bila tidak menerima penjelasan orang lain terkait prasangkanya. Bila penjelasan tidak benar yang diberikan tidak mendatangkan madlarat, lebih aman bagi seseorang untuk menerima penjelasan itu dan mensikapinya sebagaimana keinginan yang memberikan penjelasan. Barangkali orang itu akan menempuh perbaikan tanpa ingin mengumbar keburukannya, atau tidak ingin tersebar keburukannya. Kadangkala seseorang menilai bahwa langkah perbaikan akan/perlu dilakukan tanpa memberikan penjelasan yang sebenarnya tentang keburukan yang pernah terjadi, maka keinginan untuk baik itu hendaknya diterima tanpa mengungkit keburukan yang dilakukan. Bila mempunyai kemampuan menegakkan perkataan yang benar, perkataan yang tegak itu akan memperkuat hati untuk berbuat benar. Hanya bila mendatangkan madlarat, maka penjelasan yang salah itu perlu diluruskan. Demikian langkah yang lebih aman bagi seseorang agar tidak terjatuh dalam akhlak buruk karena prasangka buruk yang timbul dalam dirinya.

Banyak bagian dari prasangka buruk merupakan hembusan yang ditiupkan syaitan, dikatakan sebagai “itsm”. Seseorang boleh jadi menyangka bahwa mereka memperoleh petunjuk tentang keadaan sahabatnya, sedangkan yang tumbuh dalam hatinya sebenarnya merupakan prasangka buruk. Hal itu merupakan hasil dari tiupan syaitan, bukan suatu petunjuk. Petunjuk hanya akan diberikan kepada orang yang mempunyai keinginan baik, dan keinginan baik itu seharusnya terukur dalam sikap yang terlahir berupa perbuatan yang baik. Bila suatu keinginan baik melahirkan perbuatan yang buruk terhadap orang lain, boleh jadi keinginan baik itu hanya sebuah ilusi memandang baik keburukan dalam diri.

Petunjuk juga harus bersesuaian dengan keadaan kauniyah, tidak bertentangan dengan realitasnya. Bila suatu petunjuk bertentangan dengan realitas sebenarnya, petunjuk itu boleh jadi hanya sebuah peringatan agar ia menggunakan pikiran dan akalnya dengan benar tidak mengandalkan karunia inderawi yang merupakan titipan. Seringkali hal ini sulit disadari atau terlambat untuk disadari. Bila seseorang kemudian mengetahui ayat dalam kitabullah dan ayat kauniyah bertentangan dengan petunjuk, hendaknya mereka tidak mengikuti petunjuknya dengan membuta. Akan tetapi tidak jarang suatu petunjuk diturunkan untuk menyingkap kebenaran. Kadangkala suatu fenomena dibuat untuk menutupi realitas kauniyah yang sebenarnya, dan kadangkala suatu indera keliru dalam menerima petunjuk, tetapi ayat kitabullah tidak pernah berubah kebenarannya. Karenanya, hendaknya setiap orang mencari kebenaran melalui kitabullah sebagai sarana utama. Memahami ayat dalam kitabullah harus menjadi pedoman utama dalam memberikan kebaikan bagi sahabatnya, dan yang lain mengikuti pemahaman terhadap kitabullah.

Petunjuk yang diturunkan ke dalam hati manusia pada dasarnya berfungsi untuk membuka kandungan kitabullah, mempunyai bobot kebenaran tertentu yang dapat diukur berdasar pemahaman kepada ayat kitabullah dan ayat kauniyah yang menyertainya. Petunjuk itu bersifat ringan bila mendatangkan sedikit kandungan pemahaman terhadap kitabullah dan kauniyah, dan bobot besar bila mendatangkan pemahaman terhadap kitabullah dan ayat kauniyah. Petunjuk yang tidak mendatangkan pemahaman terhadap kitabullah dan kauniyah boleh jadi hanya bersifat menggembirakan harapan hawa nafsu seseorang. Hal ini bukan berarti menafikan manfaat dari petunjuk ke dalam hati manusia, karena boleh jadi pemahaman terhadap kitabullah dan kauniyah datang dalam waktu yang lama setelah datangnya petunjuk ke dalam hati. Setiap petunjuk hendaknya diperhatikan dan dijaga dengan baik disertai dengan menjaga angan dan hawa nafsu tidak melambung.

Kadangkala suatu umat terseret untuk berakhlak buruk manakala seseorang di antara mereka mempunyai akhlak yang buruk karena prasangka buruk. Dalam hal ini, berlaku hukum yang sama, bahwa sikap berprasangka buruk tanpa ampunan terhadap orang beriman merupakan penanda adanya akhlak buruk berupa dosa yang tidak diampuni Allah. Barangkali mereka tidak melakukan suatu dosa yang tidak diampuni sebelumnya, tetapi mengikuti prasangka buruk tanpa ampunan terhadap orang beriman itu sendiri merupakan dosa yang tidak diampuni Allah. Itu merupakan akhlak buruk yang akan menimbulkan kerusakan yang besar di antara orang-orang beriman.

Bila tidak ada keburukan itu pada saudaranya, maka prasangka itu sebenarnya merupakan fitnah. Akan ada beberapa aspek kehidupan yang memunculkan penanda bahwa mereka sebenarnya tidak mengetahui kebenaran dan kebathilan. Apa yang dipandang baik boleh jadi merupakan kebathilan yang merusak, sedangkan apa yang dipandang bathil merupakan kebenaran. Keadaan itu seringkali terjadi hingga mencegah seseorang melakukan amal shalih karena dipandang kebathilan. Kadangkala fitnah demikian menyentuh kunci-kunci keselamatan dari fitnah syaitan. Pernikahan dan perjodohan merupakan kunci utama yang akan mencegah fitnah syaitan, dan hal itu yang paling dirusak oleh syaitan. Orang yang berjihad untuk menegakkan benteng pertahanan tersebut akan dihantam syaitan dengan orang-orang yang berakhlak buruk karena mengikuti prasangka. Bila umat mengikuti akhlak buruk itu, akan sangat berat keadaan mereka manakala fitnah syaitan itu tiba.

Dalam kehidupan di antara umat yang demikian, bahkan upaya seseorang untuk memperbaiki prasangka buruk yang ada dalam dirinya terhadap sahabatnya boleh jadi akan menemukan hambatan yang besar. Ia barangkali menyadari bahwa prasangka itu harus diperbaiki agar terhindar dari beberapa bentuk kejahatan, akan tetapi orang-orang yang lain akan menghalangi dan mengembalikan upayanya memperbaiki prasangka menjadi buruk kembali karena mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan. Ia kemudian tidak dapat menahan kejahatan yang seharusnya bisa diupayakannya.

Bila menemukan keadaan demikian, setiap kesadaran kebenaran yang tumbuh dalam diri seseorang akan mempunyai nilai sangat besar. Setiap satu orang yang menyambut keinginan baik orang lain untuk menghilangkan prasangka buruk akan bernilai sangat berharga. Akan dijumpai banyak kerikil tajam yang dapat menggores luka, baik karena kesalahan sendiri ataupun pihak lain. Kadangkala goresan itu dibuat oleh orang lain yang tidak mengetahui sangkut paut masalah. Hendaknya setiap orang berpegang pesan Rasululullah SAW bahwa prasangka buruk itu adalah kesalahan yang akan mendatangkan kejahatan. Prasangka buruk itu kesalahan, tidak boleh dianggap kebenaran. Kadangkala perbaikan terhadap prasangka dapat dilakukan tanpa perkataan verbal, akan tetapi tidak jarang beberapa perbaikan prasangka itu harus diupayakan dengan membangun kesepahaman melalui percakapan.

Minggu, 12 Maret 2023

Meniti Jalan Taubat Melalui Nafs

Manusia diciptakan untuk menjadi khalifah Allah di muka bumi. Untuk mencapai kedudukan itu, setiap orang harus bertaubat kembali kepada Allah, karena hanya dengan mengenal Allah maka manusia layak dikatakan sebagai khalifatullah. Pada dasarnya setiap orang akan kembali kepada Allah, baik terpaksa ataupun dengan keinginan. Orang yang terpaksa akan menjalani proses kembali kepada Allah dengan cara yang sangat berat menempuh perjalanan setelah kematian mereka, sedangkan orang-orang yang menginginkan pertemuan dengan Allah akan dapat menemukan jalan mereka sejak kehidupan di dunia.

Jalan itu pada dasarnya terbentang dalam diri sendiri, akan tetapi tidak semua orang menemukannya, sangat sedikit. Allah menciptakan setiap manusia dari suatu nafs wahidah, dan jalan kembali itu telah tertulis dalam nafs wahidah tersebut berupa kitab diri yang di antaranya menunjukkan jalan untuk bertemu dengan rabb mereka. Kitab itu merupakan bagian dari Alquran yang menjelaskan makna yang terkandung dari kitabullah. Bila seseorang mengenali nafs wahidah yang merupakan cetak biru dirinya, maka ia akan mengetahui jalan kembalinya kepada Allah.

Allah memudahkan bagi setiap manusia cara mengenali nafs wahidah dirinya. Dia menurunkan dari nafs dirinya nafs isterinya, nafs yang menguraikan aspek duniawi yang seharusnya melekat bagi mereka. Nafs isterinya merupakan turunan pertama yang paling dekat dengan nafs wahidah, bisa menjadi cermin yang paling jelas bagi jati diri seseorang sebagai cermin yang berbicara hingga tingkatan jasadiah. Dari nafs-nafs tersebut, akan dikenali bermacam-macam turunan yang diperuntukkan bagi mereka. Semua aspek duniawi dari sepasang manusia terlihat dalam diri isterinya, dan urusan Allah bagi mereka akan terpahami oleh akal suaminya.

Bila pasangan manusia menemukan jodoh berdasarkan nafs wahidah penciptaan mereka, mereka akan memperoleh kemudahan menemukan jalan kembali kepada Allah. Sepasang manusia dapat berdiam dalam diri mereka tanpa perlu mencari sesuatu yang lain melalui jalan yang tidak diperuntukkan bagi mereka. Berdiamnya seseoran pada urusan dirinya saja tersebut merupakan keislaman secara kaffah. Hal ini dapat tercapai bila terwujud kesatuan di antara nafs mereka. Syaitan berusaha dengan sungguh-sungguh menghalangi terwujudnya kesatuan di antara nafs suami dan isteri hingga tidak dapat berdiam dalam urusan mereka.

﴾۱۲﴿وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari nafs-nafs kalian supaya kamu berdiam kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS Ar-ruum : 21)

Parameter terbentuknya kesatuan nafs di antara suami dan isteri adalah terbentuknya rasa kasih sayang di antara mereka. Setiap orang yang membentuk kesatuan antara nafs mereka dengan isterinya akan mengalami pertumbuhan rasa kasih sayang, bilamana mereka berhasil melakukannya. Rasa kasih sayang tersebut akan sangat bermanfaat bagi mereka untuk menyatukan segala sesuatu yang terserak di antara mereka hingga puncaknya mereka dapat membentuk umat mereka sebagai bagian dari umatan wahidah yang berkasih sayang antara satu dengan yang lain. Tanpa terbentuknya kesatuan nafs, rasa kasih sayang itu tidak akan cukup kuat tumbuhnya untuk menyatukan segala yang terserak bagi mereka, apalagi untuk membentuk umat sebagai bagian dari umatan wahidah. Rasa mawaddah dan rahmah merupakan bekal yang penting untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah.

Tumbuhnya rasa mawaddah dan rahmah merupakan parameter yang tumbuh terutama bagi orang-orang yang mengenal nafs wahidah mereka. Rasa kasih sayang demikian tumbuh pada nafs wahidah dan pasangannya, bukan rasa yang tumbuh di atas hawa nafsu. Kesatuan yang terbentuk di antara nafs wahidah tersebut tumbuh berdasarkan ghirah suami dan isteri untuk melaksanakan perintah Allah, dan ghirah tersebut menumbuhkan rasa kasih sayang secara khusus di antara suami dan isteri. Bila ghirah itu hanya tumbuh pada salah satu pihak, sulit terbentuk kesatuan untuk melaksanakan perintah Allah. Bila rasa kasih sayang tumbuh di atas hawa nafsu, mungkin mereka akan mendapatkan kemudahan untuk memperoleh duniawi, akan tetapi tidak dapat digunakan untuk membentuk umat menuju umatan wahidah.

Dalam kehidupan di bumi, hampir setiap manusia hidup berdasarkan hawa nafsu. Sebagian manusia mengendalikan hawa nafsu mereka hingga hawa nafsu mereka menjadi baik, akan tetapi tetap saja warna kehidupan mereka ditentukan oleh hawa nafsu. Hawa nafsu menjadi kendaraan bagi mereka menempuh kehidupan dunia. Sebagian di antara mereka menggunakan hawa nafsu dengan benar hingga mereka mengenali nafs wahidah mereka, dan sebagian dari yang mengenali nafs wahidah mereka kemudian berhasil menjadikan nafs wahidah sebagai raja bagi diri mereka. Sebagian manusia mempertuhankan hawa nafsu hingga kehidupan mereka menjadi buruk.

Dalam setiap tahapan tersebut, hawa nafsu selalu melekat dalam kehidupan manusia, dan hal itu merupakan hal yang wajar. Kewajiban setiap orang adalah mendidik hawa nafsu mereka berdasarkan tuntunan Allah. Tidak wajar bila setiap orang dituntut untuk selalu meninggalkan hawa nafsunya karena mereka bukan malaikat. Hanya orang-orang yang berhasil menjadikan nafs wahidah mereka sebagai raja dalam diri mereka yang dapat menaklukkan hawa nafsu, sedangkan kebanyakan orang dituntut untuk mendidik hawa nafsu mereka agar lebih baik. Bahkan sebagian orang yang mengenal nafs wahidah mereka dituntut untuk mendidik hawa nafsu sebelum nafs wahidah layak dijadikan sebagai raja.

Demikianlah kehidupan orang-orang beriman. Banyak bagian dari rasa suka atau tidak suka bukan merupakan rasa cinta kasih tetapi lebih pada selera hawa nafsu. Tidak semua hal yang disukai mereka merupakan kebaikan, dan tidak semua yang tidak mereka sukai merupakan keburukan. Seringkali Allah meletakkan kebaikan yang sangat banyak pada sesuatu yang tidak disukai oleh orang beriman, atau sebaliknya boleh jadi Allah meletakkan keburukan yang besar pada sesuatu yang disukai mereka. Bila orang beriman tidak mendidik hawa nafsu mereka, mereka tidak akan mengenali kebaikan bagi mereka.

Sebagian besar penentuan pilihan dalam kehidupan manusia di dunia baik besar maupun kecil merupakan wahana mendidik hawa nafsu manusia, tetapi ada di antaranya merupakan titik yang menentukan jalan kehidupan untuk kembali kepada Allah, atau bahkan merupakan pilihan antara surga dan neraka. Kadangkala jalan menuju surga tampak bagai neraka, dan sebaliknya jalan menuju neraka tampak bagaikan surga. Kadangkala surga atau neraka ditentukan dari sesuatu yang tampak bagaikan sebuah pilihan kecil tanpa arti penting dalam pandangan manusia, kemudian mereka menentukan pilihan berdasarkan hawa nafsu.

Membina Kesatuan Mengikuti Nafs Wahidah

Kebaikan dan keburukan tidak dapat diukur berdasarkan rasa suka atau tidak suka tetapi harus diukur berdasarkan kehendak Allah. Kehendak Allah dapat dikenali oleh seseorang bila ia akrab dengan kitabullah. Bila ia tidak mengetahui perkataan dalam kitabullah, maka ia tidak mempunyai jalan untuk mengenal Allah karena hanya kitabullah yang tersambung secara langsung hingga tangan Allah. Para nabi dan rasul lebih berperan mengajarkan kitabullah di bumi, menyambungkan manusia kepada Allah melalui kitabullah, dan para malaikat mempunyai shaff tertentu yang tidak langsung terhubung kepada Allah. Manakala seseorang berhasil menghubungkan ayat alam kauniyah dirinya dengan ayat kitabullah dengan baik, ia telah melihat cara mengenali kehendak Allah. Terlepas dari benar atau tidak, ia harus memperhatikan secara lebih menyeluruh pengenalan dirinya terhadap kehendak Allah.

Mendidik hawa nafsu untuk mengenali kehendak Allah akan sangat dimudahkan bila seseorang menikah. Menikah akan mendekatkan seseorang pada nafs wahidah mereka, sehingga hawa nafsu merasakan dekatnya kehadiran nafs wahidah tersebut. Kemudahan untuk mengenali jalan taubat melalui pernikahan akan semakin besar manakala seseorang menentukan pernikahan mereka untuk mengikuti kehendak Allah, yaitu dimulai dengan memilih jodoh yang diciptakan dari nafs wahidah yang sama. Bila menemukan jodoh demikian, hendaknya seseorang mensyukurinya dengan mengalahkan rasa suka atau tidak suka. Bila memilih rasa suka, ia sangat mungkin terjatuh pada sikap kufur terhadap nikmat Allah.

Banyak kebaikan yang Allah letakkan pada pasangan menikah mukmin dan mukminat, bahkan apabila mereka tidak saling menyukai pasangannya. Bila mereka bertakwa maka kebaikan Allah itu akan terbuka. Bila pasangan itu memperbaiki hawa nafsu mereka secara sinergis, maka akan timbul juga bagian dari rasa mawaddah dan rahmah di antara mereka. Seandainya mereka membiarkan hawa nafsu mereka tidak tertata sinergis tetapi tetap bertakwa, mereka akan memperoleh kebaikan.

﴾۹۱﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS An-Nisaa’ : 19)

Ayat di atas berbicara tentang waris antara laki-laki dan perempuan. Pokok waris yang dimaksud ayat di atas lebih menunjuk pada penurunan jati diri seorang laki-laki kepada isterinya, sebagaimana ulama adalah pewaris para nabi. Seorang suami tidak boleh memaksa seorang isteri untuk menjadi salinan jati diri suaminya, walaupun memang seharusnya terjadi proses penyalinan jati diri seorang suami oleh isterinya bilamana suaminya adalah seorang yang kembali kepada Allah. Setiap isteri harus tumbuh dalam agamanya dengan menyalin keshalihan suaminya berdasar iktikad dari dirinya sendiri tidak dipaksakan orang lain.

Larangan ini berlaku pula bagi laki-laki lain. Bila seorang laki-laki memaksakan salinan dirinya pada perempuan selain isterinya, ia menimpakan musibah pada perempuan yang dipaksa tersebut hingga dapat tercerabut dari agamanya. Bila perempuan tersebut berkeluarga, suami dan anak-anaknya kehilangan pula rumah yang baik untuk mereka berdiam dan tumbuh. Bila perempuan itu telah menempuh jalan taubat bersama suaminya, ia kehilangan kemampuan memahami ajaran suaminya. Ada ilmu yang diturunkan Allah dapat digunakan untuk menurunkan waris secara paksa, tetapi ilmu itu merupakan fitnah bagi manusia. Ilmu tersebut boleh jadi terlihat baik dalam pandangan manusia, akan tetapi sebenarnya menjadi senjata syaitan untuk memporak-porandakan manusia. Ilmu demikian itu tidak boleh digunakan oleh siapapun. Bila kemudian perempuan memperturutkan dorongan dalam dirinya berkhianat karena mengikuti ilmu itu, ia akan terseret menuju neraka.

Proses waris di antara suami dan isteri berguna untuk membina rasa mawaddah dan rahmah. Seorang suami yang mendidik isteri untuk melaksanakan amr Allah bagi mereka akan mencintai isteri yang menerima didikannya. Bila isteri menolak didikan itu, seringkali timbul rasa gerah dalam suaminya, maka hendaknya suami tidak memperturutkan hawa nafsu mereka dalam mensikapi isteri demikian. Sangat banyak kebaikan yang Allah letakkan pada isteri mereka manakala terjadi demikian. Bila proses waris berjalan dengan baik, maka akan tumbuh rasa cinta di antara suami dan isteri. Rasa cinta yang demikian inilah rasa mawaddah dan rahmah yang akan menjadi bekal untuk membentuk bagian dari umatan wahidah, sedangkan kebanyakan rasa suka dan tidak suka merupakan selera dari hawa nafsu.

Kadangkala seorang isteri tidak dapat membentuk diri sebagai salinan suaminya karena suatu musibah yang tidak diinginkan. Dalam hal demikian, seorang suami harus memahami keadaan mereka karena Allah yang menghendaki atau mengijinkan keadaan demikian. Bila seorang suami tidak menerima keadaan demikian, hal itu merupakan suatu bentuk kufur terhadap nikmat Allah. Kadangkala seorang perempuan membentuk citra diri mengikuti seorang laki-laki dan laki-laki itu mengetahui, maka sangat mungkin laki-laki tersebut akan mencintainya, akan tetapi hendaknya setiap orang berpegang bahwa hal demikian seharusnya terjadi hanya dalam suatu wadah pernikahan, tidak melakukannya tanpa suatu ikatan yang benar.

Selera hawa nafsu tidak harus selalu dihilangkan atau dilawan karena kadang membantu menumbuhkan nafs, akan tetapi tidak boleh diperturutkan atau dipertuhankan. Hawa nafsu harus dibina untuk memahami kebaikan dari sisi Allah. Dalam hal mencari jalan taubat, nafs wahidah merupakan bekal paling berharga yang tidak layak ditukar dengan kesenangan hawa nafsu apapun. Nafs wahidah itulah jalan utama bagi setiap orang untuk kembali kepada Allah.