Pencarian

Selasa, 04 Juli 2023

Amar Ma’ruf Nahy Munkar

Allah memerintahkan kepada kaum mukminin agar ada umat yang menyeru manusia kepada kebaikan dan memerintahkan dengan al-ma’ruf dan mencegah dari kemunkaran. Al-ma’ruf adalah pengetahuan tentang kehendak Allah sedangkan kemunkaran merupakan lawan dari al-ma’ruf, yaitu kebodohan terhadap kehendak Allah. Pengetahuan yang paling utama yang diperkenalkan Allah kepada makhluk tentang diri-Nya adalah asma Ar-rahman dan Ar-rahiim. Kedua asma tersebut akan dapat dikenali seseorang bila berusaha membentuk dirinya dalam citra Ar-rahman Ar-rahim. Tanpa membentuk diri dalam kedua citra tersebut, seseorang tidak akan dapat mengenali kedua asma mulia Allah yang utama kecuali hanya kata-kata tanpa pemahaman.

Pengetahuan tentang al-ma’ruf dan al-munkar terletak pada hati, di atas pikiran yang benar. Hati yang dapat mengenali al-ma’ruf dan al-munkar akan dapat terbentuk pada diri orang-orang yang ingin membentuk dirinya untuk mengenali asma Allah. Tanpa berusaha mengenali asma Allah, seseorang akan sulit mengenali Al-ma’ruf dan kemunkaran yang sampai kepada mereka karena mereka akan terseret untuk mengikuti hawa nafsu dan keinginan badaniah mereka sendiri. Bila seseorang hanya mengikuti seretan hawa nafsu dan keinginan badaniah mereka sendiri, mereka akan binasa tidak akan mengenali al-ma’ruf dan al-munkar.

Ibnu Mas’ud r.a berkata :
هَلَكَ مَنْ لَـمْ يَعْرِفْ قَلْبُهُ الْـمَعْرُوْفَ وَيُنْكِرُ قَلْبُهُ الْـمُنْكَرَ
Binasalah orang yang hatinya tidak mengenali kebaikan dan tidak mengingkari kemungkaran. (Riwayat ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir (IX/no. 8564) dan Ibnu Abi Syaibah dalam al–Mushannaf (no. 38577))

Tingkat pengetahuan setiap orang terhadap kehendak Allah berbeda-beda. Sebagian manusia diciptakan untuk mempunyai kemampuan mengenal pengetahuan yang sangat banyak tentang Allah, dan sebagian orang diberi kemampuan lebih terbatas. Rasulullah SAW adalah makhluk yang mempunyai pengetahuan tentang Allah paling besar di seluruh semesta ciptaan Allah, dan makhluk yang lain hanya akan mendapatkan pengetahuan tentang Allah sebagai bagian dari pengetahuan Rasulullah SAW, tidak keluar darinya, dan mereka akan mengetahui kedudukan mereka masing-masing dalam amr Rasulullah SAW. Walaupun pengetahuan setiap orang tentang kehendak Allah bisa berbeda-beda, setiap orang dapat merasakan kebenaran dalam al-ma’ruf dan kesalahan dalam al-munkar. Binasalah orang yang hatinya tidak mengenali al-ma’ruf dan tidak mengingkari kemungkaran. Kebinasaan manusia dalam perkara demikian terletak dalam akhlak diri mereka, di mana akal hati mereka tidak mampu mengenali al-ma’ruf yang disampaikan kepada mereka, dan tidak pula terbersit pengingkaran terhadap kemunkaran yang terjadi.

Kitabullah Sebagai Sumber Pengetahuan

Pengesahan pengenalan seseorang tentang al-ma’ruf terjadi manakala seseorang memahami Alquran dengan hatinya berdasarkan kitabullah yang ada di sisi-Nya, dan keping-keping pengenalan itu disempurnakan susunannya hingga dikatakan ia mengenal Allah. Dengan hal itu seseorang akan mengenal gambaran tentang rabb yang diperkenalkan kepada dirinya. Allah meletakkan suatu kitab di sisi-Nya, yang akan ditunjukkan kepada hamba yang berharap didekatkan kepada-Nya. Kitab tersebut memberikan penuturan dengan kebenaran (Al-haqq). Pemahaman yang sebenarnya seorang hamba terhadap Alquran akan mengikuti pembacaan diri mereka terhadap kitab yang ada di sisi-Nya tersebut.

﴾۲۶﴿وَلَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا وَلَدَيْنَا كِتَابٌ يَنطِقُ بِالْحَقِّ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada suatu kitab yang memberikan tuturan dengan kebenaran, dan mereka tidak dianiaya. (QS Al-Mu’minun : 62)

Kitab tersebut merupakan bagian dari Alquran. Tidak ada sedikitpun bagian dari kitab tersebut yang keluar dari Alquran, berselisih ataupun bertentangan. Kitab itu merupakan bagian Alquran yang diperuntukkan bagi diri seorang hamba, dan dengan kitab tersebut ia akan mengenal Alquran sebagai firman Allah yang dipanjangkan hingga mencapai alam dunia bagi manusia, dan mengenal Rasulullah SAW sebagai ahli Alquran yang sebenarnya. Boleh jadi seorang hamba mempunyai bagian Alquran yang berbeda dengan sahabatnya, atau memperoleh penuturan dengan cara yang berbeda dengan sahabatnya akan tetapi tidak akan ada sedikitpun bagian atau penuturan itu yang keluar dari Alquran. Boleh jadi seseorang memperoleh tuturan pada satu bagian kehidupan dan terluput pada bagian lain karena suatu kesalahan. Selama masih dalam batas-batas yang tertuang dalam kitabullah Alquran, seseorang tidak akan tersesat mengikuti tuturan kitab tersebut karena tidak tersesat.

Sekalipun kitab itu ada di sisi-Nya pada kedudukan yang tinggi, pengetahuan tentang kandungan kitab itu tidak benar-benar bersifat tersembunyi. Setiap orang dapat menimbang kebenaran tuturan kitab tersebut berdasarkan Alquran. Tuturan itu merupakan penjelasan dari Alquran tanpa melenceng sedikitpun darinya. Orang yang bermakrifat dapat dikenali kebenaran ma’rifatnya oleh umat manusia, tidak seperti pengenalan manusia terhadap sesuatu yang bersifat ghaib. Seseorang tidak boleh mengatakan bahwa kebenaran dirinya berasal dari Allah ketika berselisih dengan sahabatnya tanpa landasan dari Alquran. Sebaliknya hendaknya ia menunjukkan landasan Alqurannya tanpa mengatasnamakan Allah, karena Alquran itulah landasan orang beriman berjamaah. Demikian manakala menunjukkan amr Allah hendaknya ia menunjukkan landasan dari Alquran, tidak bermudah untuk mengatasnamakan Allah. Manakala seseorang bercerita tentang pengetahuan langit yang tinggi tanpa ada dasarnya dalam Alquran, ketinggian pengetahuan itu sangat mungkin tidak ada artinya bagi umat manusia. Bahkan mungkin saja ia mencomot pengetahuan itu dari suatu kesesatan di tempat yang tinggi, maka hal demikian justru membahayakan. Sebaliknya mendustakan tuturan kitab di sisi-Nya tersebut dapat mendatangkan adzab Allah karena pendustaan terhadap kitabullah.

Kewajiban setiap orang adalah berusaha memahami dan berpegang pada kitabullah Alquran dengan sungguh-sungguh apapun keadaan mereka. Manakala ia mendengar tuturan kitab itu, ia tetap harus berpegang pada Alquran atau ia akan terlontar dari jalan-Nya menuju suatu kedudukan yang tidak mempunyai penjelasan kokoh. Demikian pula manakala ia belum memahami, ia harus berpegang pada kitabullah Alquran. Kadangkala seseorang menemukan suatu selisih pada antara ayat Allah dengan pemahaman dirinya. Hal demikian menunjukkan adanya suatu ketidakfahaman terhadap ayat tersebut. Boleh jadi ia memang tidak berurusan secara langsung dengan ayat tersebut atau ia belum mampu memahami dengan benar. ketidakpahaman demikian kadangkala tidak menjadi masalah yang besar. Tetapi keadaan itu berubah manakala ada seseorang yang dapat memberikan penjelasan tentang ayat Allah tersebut berdasarkan al-ma’ruf. Setiap orang harus dapat mengenali al-ma’ruf yang disampaikan kepada dirinya dan mengingkari kemunkaran yang mungkin ada. Bila tidak terbentuk sikap demikian, ia termasuk orang yang akan celaka. Barangkali ia terlalu banyak mengikuti hawa nafsu atau keinginan badaniah dirinya sendiri. Atau boleh jadi ia mengikuti suatu kesesatan yang menyebabkan nafs mereka salah bentuk.

Kadangkala seseorang keliru dalam membentuk nafs mereka. Hal ini dapat terlihat manakala seseorang berhadapan dengan kitabullah. Ketika seseorang menghadapi ayat kitabullah bertentangan dengan pemahaman dirinya atau kelompoknya dan ia menolak penjelasan yang benar dari kitabullah, ia telah keliru dalam membentuk nafs mereka. Manakala ia berada di shirat Al-mustaqim, ia berada pada sisi lawan dari pihak Allah. Bila seseorang merasa telah berusaha membentuk nafs mereka untuk mengenal asma Allah tetapi tidak dapat mengenali al-ma’ruf dan mengingkari kemunkaran, ada sesuatu yang merusak pertumbuhan nafs mereka. Pengingkaran terhadap ayat kitabullah oleh orang-orang demikian sama saja dengan pengingkaran orang-orang kafir terhadap ayat-ayat Allah. Ada hal-hal mendasar yang harus diperhatikan kembali dalam membentuk akhlak agar dapat mengenali al-ma’ruf dan mengingkari kemunkaran.

Had-had Allah

Membentuk akhlak mulia harus dilakukan hingga umat manusia tegak di atas batas-batas Allah dengan benar. Hal itu akan mencegah umat manusia dari kehancuran. Bila suatu umat membiarkan orang-orang mereka melakukan kebodohan (mungkar), maka umat itu akan tenggelam bersama-sama dalam keburukan. Bila sebagian dari umat itu mencegah orang lain untuk berbuat kemunkaran, maka mereka akan bersama-sama akan selamat.

dari An-Nu’mân bin Basyir r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda :
مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُوْدِ اللهِ وَالْوَاقِعِ فِيْهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اِسْتَهَمُوْا عَلَى سَفِيْنَةٍ ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا ، فَكَانَ الَّذِيْنَ فِـيْ أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْـمَـاءِ مَرُّوْا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ ، فَقَالُوْا : لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِـيْ نَصِيْبِنَا خَرْقًا وَلَـمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا ، فَإِنْ يَتْرُكُوْهُمْ وَمَا أَرَادُوْا هَلَكُوْا جَمِيْعًا ، وَإِنْ أَخَذُوْا عَلَى أَيْدِيْهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيْعًا.
Perumpamaan orang-orang yang tegak di atas batas-batas Allah dan orang-orang yang jatuh (melanggar) batas-batas Allah adalah seperti satu kaum yang berundi di atas perahu. Sebagian mendapat tempat di atas dan sebagian di bawah. Adapun orang-orang yang berada di bawah apabila mereka ingin mengambil air mereka mesti melewati orang-orang yang berada di atas, dan mereka mengatakan, ‘Seandainya kita lobangi perahu ini, kita tidak akan mengganggu orang yang berada di atas kita.’ Seandainya orang-orang yang berada di atas membiarkan orang-orang yang berada di bawah melobangi perahu, maka akan binasalah semuanya. Dan seandainya mereka memegang tangan (melarang) orang-orang yang berada di bawah melakukan hal itu, maka selamatlah yang berada di atas dan di bawah semuanya. ( HR. al-Bukhari (no. 2493, 2686), at-Tirmidzi (no. 2173), Ahmad (4/268, 269, 270), al-Baihaqi (10/91) dan al-Baghawi (no. 4151))

kehidupan manusia bermasyarakat dapat diibaratkan seperti orang-orang yang naik pada sebuah kapal yang berlayar di atas air. Di atas kapal itu ada orang-orang yang dapat mengendalikan kapal, maka mereka memperoleh kedudukan pada tempat yang semestinya, baik mereka ada di bagian atas ataupun di bagian bawah. Banyak pula orang-orang yang memperoleh tempat di kapal itu tanpa mengetahui apa yang harus dilakukan bagi pelayaran kapal itu kecuali sekadar ikut berlayar untuk mencapai tujuan mereka.

Setiap orang di kapal itu mempunyai kebutuhan. Orang-orang yang mengikuti pelayaran itu membutuhkan air minum agar dapat hidup dengan baik selama dalam pelayaran baik mereka yang mempunyai keahlian berlayar maupun tidak. Orang-orang yang mempunyai keahlian pelayaran mempunyai pengetahuan bagaimana mengatur pengadaan air untuk minum mereka, sedangkan orang-orang yang tidak mengetahui harus mengikuti awak kapal yang mengatur air bagi mereka. Orang yang mengikuti tidak boleh mengusahakan air dengan cara mereka sendiri agar tidak mendatangkan bahaya bagi pelayaran mereka itu.

Kadangkala mengadakan air itu tampak mudah bagi sebagian orang, akan tetapi anggapan itu membahayakan. Air dan tempat mereka berada hanya berjarak sangat dekat, hanya dibatasi oleh dinding papan tipis, akan tetapi tidak serta merta orang-orang yang di lambung kapal itu boleh mengambil air secara langsung melubangi dinding papan itu. Setiap orang dalam kapal itu harus tetap melalui orang-orang yang berada di atas agar dapat memperoleh air bagi diri mereka. Bila mereka melakukannya, maka kapal itu akan selamat dan mereka semua akan selamat. Bila mereka melubangi maka kapal itu akan tenggelam, maka seluruhnya akan tenggelam.

Hal itu adalah ibarat kehidupan umat manusia di alam dunia. Allah membuat kehidupan manusia berada di atas ilmu-Nya, akan tetapi Dia mendinding manusia dari ilmu itu agar manusia selamat dalam kehidupannya. Allah tidak melarang manusia dari ilmu itu, tetapi hendaknya mereka mengetahui jalan untuk memperolehnya dengan benar. Ada orang-orang yang mengetahui jalan itu hingga orang-orang dapat bertanya atau mengikuti cara bagaimana memperolehnya. Orang-orang yang mengetahui jalan untuk memperoleh ilmu itu adalah orang-orang yang mengetahui had-had (hudud) Allah.

Dalam hal ini, ada orang-orang yang berpikiran bahwa mereka dapat memperoleh air bagi mereka dengan melubangi kapal. Mereka adalah orang-orang yang mengetahui keberadaan ilmu Allah yang menjadi landasan kehidupan umat manusia, akan tetapi terburu-buru ingin bersegera memperoleh tanpa mengetahui jalan yang tepat untuk memperoleh ilmu-ilmu itu. Mereka menginginkan ilmu itu tanpa mengetahui hudud (had-had) Allah yang akan mengarahkan mereka untuk memperoleh apa yang mereka inginkan dengan baik, tetapi justru melanggar had-had itu karena keinginan mereka. Mereka menempuh jalan yang salah untuk tujuan yang benar. Bila mereka melakukan hal itu, mereka akan tenggelam.

Al-ma’ruf harus dapat dikenali oleh manusia hingga wujud dasarnya. Banyak kebenaran yang dapat dikenali oleh seseorang tetapi tidak dapat diceritakan kepada orang lain, dan manakala ia menceritakan maka ia telah berbuat fitnah untuk manusia lainnya. Orang demikian tidak termasuk dalam kelompok orang yang bermakrifat dan ilmunya bukan al-ma’ruf karena termasuk melanggar had-had Allah. Mereka ibarat orang yang melubangi kapal untuk memberikan air kepada orang lain. Kebenaran yang dapat diceritakan kepada orang lain adalah kebenaran yang diceritakan oleh Alquran dan dapat diterima oleh orang lain yang mendengarnya. Tuturan kitab di sisi Allah yang dipahami seseorang seringkali dapat diceritakan kepada orang lain sebagai al-ma’ruf bila seseorang mengacu pada tatacara Alquran menceritakannya dengan dibantu tuturan tersebut, dengan mempertimbangkan sungguh-sungguh kemampuan orang yang mendengarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar