Pencarian

Selasa, 11 Juli 2023

Iman dan Amal dalam Taubat

Mengenal Allah (ma’rifatullah) merupakan tujuan akhir penciptaan manusia. Setiap manusia hendaknya mengenali kehendak Allah dengan benar. Al-ma’ruf adalah pengetahuan tentang kehendak Allah sedangkan kemunkaran merupakan lawan dari al-ma’ruf, yaitu kebodohan terhadap kehendak Allah. Pengetahuan yang paling utama yang diperkenalkan Allah kepada makhluk tentang diri-Nya adalah asma Ar-rahman dan Ar-rahiim. Kedua asma tersebut akan dapat dikenali seseorang bila berusaha membentuk dirinya dalam citra Ar-rahman Ar-rahim. Dengan membentuk diri dalam kedua citra Allah tersebut, akan terwujud perbaikan di alam semesta hingga mereka layak dikatakan sebagai khalifatullah.

Manakala manusia tidak mengenal Allah dengan benar, mereka tidak mempunyai timbangan yang baik bagi perbuatan-perbuatan mereka hingga tidak mengetahui bahwa perbuatan mereka menimbulkan kerusakan. Perbuatan merusak oleh orang-orang yang tidak mengenal Allah seringkali tidak berhenti manakala ada orang yang arif menunjukkan kerusakan yang mereka perbuat. Mereka hanya berpegang pada timbangan diri mereka sendiri tidak berusaha menimbang dengan neraca yang benar. Dengan timbangan mereka sendiri, mereka akan mengatakan : “sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan.”

﴾۱۱﴿وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ
Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan". (QS Al-Baqarah : 11)

Banyak orang yang memandang perbuatan dirinya baik manakala mereka berbuat kerusakan. Hal demikian terjadi karena kebodohan manusia dari pengenalan terhadap Allah. Selama seseorang tidak mengenal kehendak Allah, mereka mudah memandang amal mereka yang merusak sebagai amal yang baik. Sebagian manusia memandang amal-amal buruk mereka sebagai amr Allah, dan sebagian melakukan amal-amal yang baik bercampur dengan keburukan tanpa mengetahui keburukan yang dilakukannya. Seringkali mereka tidak bisa menerima nasihat manakala mereka perbuatan mereka sebenarnya menimbulkan kerusakan yang besar.

Cara menimbang demikian sangat dekat dengan tipuan syaitan terhadap manusia dengan menjadikan indah dalam pandangannya perbuatan buruk yang dilakukan. Sekalipun jelas kerusakan yang diperbuat, mereka tidak dapat melihat keburukan itu. Bahkan ketika ditunjukkan orang lain, mereka akan tetap memandang indah perbuatan itu dari sudut pandangnya sendiri. Bukan orang lain tidak dapat menunjukkan keburukan, tetapi mereka sendiri yang tidak bisa menimbang nasihat orang lain. Kadangkala sikap ini disertai perkataan agar orang lain menunjukkan kesalahan dirinya, sedangkan orang lain telah berusaha keras menunjukkan perbuatannya yang merusak tetapi ia tidak bisa mempertimbangkannya. Seringkali orang yang mereka hormati pun tidak mampu memberikan nasihat untuk menghentikan perbuatan merusak mereka.

Mereka menunjukkan kepada orang lain bahwa perbuatan merusak mereka adalah perbuatan yang mendatangkan perbaikan. Itu bukan perkataan lain di mulut lain di hati, tetapi benar-benar mereka memandang perbuatan mereka merusak itu sebagai perbuatan membuat perbaikan. Kesesuaian hati dan perkataan itu tidak dapat mengubah realitas bahwa perbuatan itu mendatangkan kerusakan, hanya saja mereka itu tidak merasa bahwa mereka telah membuat kerusakan. Allah bertanya kepada orang-orang lain yang beriman: “bukankah mereka itu orang-orang yang berbuat kerusakan?”. Manakala mendengar pertanyaan tersebut dan melihat hal demikian, hendaknya orang beriman menjawab dengan menimbang perbuatan itu dengan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak hanya mengikuti perkataan orang. Mereka itu berbuat kerusakan, akan tetapi mereka tidak merasakannya.

Iman yang Benar

Perbuatan merusak seringkali terjadi hingga merusak akidah atau keimanan. Atau sebaliknya perbuatan merusak itu muncul karena rusaknya keimanan. Mereka tumbuh menjadi kelompok dengan keimanan tersendiri secara keliru. Mereka memandang diri mereka sebagai orang-orang yang memiliki keimanan lebih dari yang lain, dan memandang orang-orang beriman sebagai orang-orang bodoh. Cara pandang itu sebenarnya terbalik. Keimanan-keimanan yang tumbuh secara khusus di antara mereka itu adalah kebodohan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa keimanan demikian itu adalah kebodohan. Keimanan mereka tumbuh tanpa tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Akal mereka tidak tumbuh dengan baik berdasar keimanan yang demikian.

﴾۳۱﴿وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلٰكِن لَّا يَعْلَمُونَ
Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman". Mereka menjawab: "Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?" Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu. (QS Al-Baqarah : 13)

Banyak masalah muncul dari keimanan yang tumbuh tanpa mempunyai landasan kitabullah. Bila dikatakan kepada mereka untuk beriman sebagaimana orang-orang beriman, mereka mengatakan "Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?". Mereka mempunyai bagian keimanan yang tumbuh tanpa landasan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW dan mereka memandang itu adalah kekhususan iman yang mereka peroleh. Karenanya, keimanan orang lain yang tumbuh berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW dipandang sebagai kebodohan. Bagian yang tumbuh itu sebenarnya bukanlah kekhususan mereka, tapi justru kebodohan mereka akan tetapi mereka tidak menyadarinya. Kadangkala keimanan khusus mereka itu menjadikan mereka mendustakan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.

Perselisihan itu terjadi pada masalah pertumbuhan akal. Akal merupakan kelengkapan pada manusia yang harus dimanfaatkan untuk memahami dan bertindak sesuai kehendak Allah. Bila akal tidak digunakan, manusia akan seperti binatang dengan kelengkapan pikiran lebih baik. Bila akal tumbuh baik, seseorang akan kuat dalam memahami kehendak Allah, dan bila akal salah tumbuh seseorang akan terbalik-balik dalam memahami kehendak Allah. Dalam hal ini, orang yang menumbuhkan akal tanpa landasan kitabullah dan sunnah Rasulullah akan salah tumbuh dan akan memandang orang lain sebagai orang-orang bodoh (السُّفَهَاءُ).

Setiap orang beriman harus menumbuhkan keimanan berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Allah telah menurunkan firman-Nya secara mencukupi, baik bagi orang-orang yang baru belajar ataupun orang-orang yang kuat akalnya untuk mengantarkan hingga pertemuan (liqa’) rabb-nya. Tidak ada keimanan yang tumbuh tanpa landasan kitabullah kecuali keimanan itu sebenarnya merupakan kebodohan. Demikianlah orang-orang yang keimanan mereka tumbuh secara keliru memandang orang lain sebagai orang bodoh, tetapi sebenarnya mereka sendiri itulah yang bodoh. Barangkali mereka memiliki banyak ilmu tanpa menyadari bahwa sedikit ilmu yang benar lebih baik daripada banyaknya ilmu yang melenceng dari kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Orang yang berilmu memperoleh kedudukan beberapa derajat lebih tinggi, yaitu ilmu yang benar tentang Allah. Bila ilmu yang diperoleh keliru, ilmu itu termasuk bagian dari kebodohan dan ilmu itu menimbulkan kerusakan. Semakin tinggi ilmu yang bodoh, semakin merusak amal yang ditimbulkannya.

Di antara timbangan kebenaran ilmu adalah dikenalinya ilmu oleh orang beriman pada umumnya dengan cara berpikir benar. Ilmu tertentu yang tidak dapat dipahami oleh orang beriman umum sangat mungkin merupakan bagian dari kebodohan. Ilmu yang benar secara umum harus dapat dipahami orang beriman umumnya dengan pikiran sehat, dan ilmu yang benar secara khusus harus dapat dipahami oleh orang-orang khusus dengan pikiran sehat. Manakala suatu ilmu yang khusus tidak dapat dipahami oleh orang-orang khusus dengan pikiran sehat, ilmu khusus itu merupakan kebodohan di alam yang tinggi. Seringkali tingginya ilmu yang benar dapat dipahami pula oleh cara pikir sehat orang-orang beriman umum bila disertai banyak waktu dan mencari banyak pedoman untuk memahami.

Ayat-ayat di atas bercerita tentang segolongan orang yang mengatakan beriman akan tetapi sebenarnya mereka mengikuti syaitan. Manakala berkumpul dengan orang beriman, mereka mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang beriman. Manakala mereka berkumpul dengan syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan bahwa mereka hanyalah berolok-olok terhadap orang beriman. Keimanan mereka tersusun secara kacau tanpa landasan yang benar. Mereka tidak termasuk orang beriman, akan tetapi sifat-sifat mereka dapat saja muncul di antara orang beriman karena syaitan juga berusaha menipu orang-orang beriman dengan sistem keimanan mereka. Hendaknya orang beriman berhati-hati terhadap sifat demikian dan tidak mengikuti tipuan syaitan manakala mereka melihatnya. Walaupun hanya bersifat selipan, keimanan demikian sangat berbahaya bagi kehidupan orang-orang beriman.

Ilmu tentang Allah

Ilmu yang benar akan mengantarkan manusia untuk mengenal Allah. Pada tingkatan tertinggi, pengenalan kepada Allah (ma’rifatullah) berbentuk pertemuan (liqa’) seorang hamba dengan wajah Allah yang diperkenalkan baginya. Rasulullah SAW dimi’rajkan hingga ufuk yang tertinggi di shidratil muntaha untuk bertemu dengan Ar-Rahman. Ar-Rahman merupakan wajah Allah dalam derajat yang paling tinggi yang diperkenalkan kepada makhluk. Tidak ada seseorang makhluk-pun dapat bertemu dengan Ar-Rahman sebagaimana pertemuan (liqa’) Rasulullah SAW di ufuk yang tertinggi. Para malaikat Hamalat Al-’arsy tidak dapat bertemu sebagaimana cara Rasulullah SAW bertemu. Ma’rifat Rasulullah SAW merupakan ma’rifatullah yang diberikan kepada makhluk dalam derajat yang tertinggi di semesta alam.

Ma’rifatullah tidak hanya diperoleh makhluk dalam derajat demikian. Banyak manusia dikatakan telah mengenal Allah, yaitu manakala mereka mengenal penciptaan diri mereka. Ma’rifat demikian merupakan bagian turunan dari marifat Rasulullah SAW. Tidak semua pengetahuan terbuka bagi seseorang yang berma’rifat kepada Allah, hanya saja pengetahuan tentang Allah yang mereka peroleh bernilai benar. Pada saat mengenal penciptaan diri, seseorang mengalami suatu penataan (dan penambalan) keping-keping pengetahuan tentang dirinya dan tentang rabb-nya yang sebelumnya berserak, sehingga ia memperoleh gambaran besar penciptaan dirinya di hadapan rabb-nya. Seseorang tidak dapat menyusun sendiri pengetahuan tersebut walaupun barangkali ia telah berjalan ke arah itu sebelumnya. Setelah terjadinya penataan dan penambalan pengetahuan itu, seseorang dapat mengenal dirinya dan mengenal rabb-nya. Selain penataan itu, ia akan menemukan suatu kitab yang menjelaskan bagian kitabullah Alquran bagi dirinya, dan ini merupakan bagian yang lebih penting.

Setelah pengenalan diri, seseorang akan mempunyai keinginan untuk liqa’ kepada Allah. Dan mungkin Allah kemudian memberikan kabar tentang jalannya untuk liqa’. Itu merupakan urutan yang akan terjadi pada seorang hamba Allah. Harapan liqa’ akan tumbuh manakala seseorang telah mengenal rabb-nya. Tidak mudah dibayangkan bahwa seseorang mengharap liqa’ tanpa mengenal rabb-nya sebelumnya. Keping pengenalan yang sedikit dan berceceran hanya akan mendatangkan sedikit keinginan liqa’. Bila pengenalan terbuka, ia akan mengetahui harapan liqa’. Apabila seseorang memperoleh berita tentang jalannya untuk liqa’ dengan wajah Allah, akan timbul rasa harap dan takut. Ia mempunyai harapan yang besar untuk dapat menempuh jalan itu, akan tetapi ia merasa takut apabila ada kekurangan yang tidak dipenuhi hingga Allah tidak ridla dengan kekurangan itu. Bukan kekurangan yang ditakuti karena dirinya seorang makhluk tidak akan bisa sempurna, tetapi tidak ridlanya Allah yang menjadikannya takut.

Pada kasus tertentu ma’rifat dan liqa’ tidak selalu berjalan beriring. Iblis dahulu sering bertemu dengan wajah Allah, akan tetapi iblis tidak mempunyai makrifat kepada Allah. Iblis kafir kepada Allah walaupun telah berada pada tempat yang tinggi. Hingga Rasulullah SAW diutus, iblis masih sangat berkeinginan untuk liqaa’. Keadaan demikian berkebalikan dengan keadaaan kebanyakan orang-orang yang takut kepada Allah. Mereka merasa takut untuk bertemu dengan wajah Allah walaupun mereka sangat mengharapkan pertemuan itu. Bilamana mereka memilih, banyak di antara mereka akan memilih untuk menunaikan apa yang diperintahkan Allah dengan sebaik-baiknya di alam yang jauh sebelum Allah menentukan waktunya. Mereka yang mempunyai makrifat seringkali lebih memilih untuk memperbaiki keadaan diri mereka sebelum bertemu (liqa’) dengan wajah Allah.

Hal mendasar bagi setiap orang dalam mencari pengetahuan tentang Allah adalah pembentukan citra rahmaniah dan citra rahimiah dalam diri. Kelayakan seseorang untuk bertemu dengan wajah Allah bergantung pada pembentukan kedua citra tersebut dalam dirinya. Banyaknya amal ataupun hal-hal lain tidak berbobot sama dengan terbentuknya kedua citra tersebut. Terbentuknya kedua citra tersebut haruslah terwujud hingga amal-amal jasmaniah seorang hamba.

Amal yang mencerminkan kedua citra utama Allah itu harus terwujud dalam amal yang mengikuti kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW berdasarkan suatu pemahaman akal. Amal sangat terkait dengan keimanan. Iman yang keliru akan menimbulkan amal yang merusak. Sebaliknya orang yang amalnya rusak akan merusak imannya. Misalnya, seseorang tidak boleh mengatakan bahwa ia beramal shalih manakala amalnya menyebabkan manusia berpecah-belah dan bercerai-berai dari jalan Allah. Alquran dan sunnah Rasulullah SAW memerintahkan orang-orang untuk bersaudara di jalan Allah, maka mencerai-beraikan dan memecah belah manusia dari jalan Allah bertentangan dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Amal itu harus mengikuti kehendak Allah dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW yang dipahami berdasarkan akal.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar