Pencarian

Selasa, 13 Juli 2021

Azab dan Kembali Kepada Allah

Allah menyeru hamba-hamba-Nya untuk kembali kepada Allah dan berserah diri kepada-Nya sebelum datang azab bagi mereka dan mereka kemudian tidak lagi ditolong. Seruan ini ditujukan kepada hamba-hamba Allah yang melampaui batas. Sebagian dari hamba Allah melakukan hal-hal yang melampaui batas yang telah ditetapkan Allah bagi mereka, dan dengan hal itu maka mungkin Allah akan menimpakan azab bagi mereka semuanya. Dengan keadaan itu bisa jadi timbul rasa putus asa dalam diri mereka terhadap rahmat Allah karena segala sesuatu yang menimpa mereka. Hendaknya mereka menyadari bahwa Allah tidak menutup pintu maghfirah bagi seluruh dosa-dosa.

Hamba tersebut tidak boleh berhenti pada keadaan demikian. Ia diseru lebih lanjut untuk kembali kepada rabb mereka dan berserah diri kepada-Nya sebelum datang azab kepada mereka dan mereka tidak lagi ditolong. Perbuatan melampaui batas yang mereka lakukan pada dasarnya mendatangkan azab bagi mereka dan manusia umumnya. Allah akan memberikan ketetapan sesuai dengan keadaan mereka dalam memenuhi seruan-Nya, apakah adzab itu tidak didatangkan kepada mereka, atau adzab itu didatangkan menimpa mereka sedangkan mereka diselamatkan, atau adzab itu didatangkan dan mereka tidak diselamatkan. Maka hendaknya seorang hamba yang melampaui batas kembali kepada Allah dan berserah diri sebelum datang azab Allah dan mereka tidak ditolong.

﴾۴۵﴿وَأَنِيبُوا إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِن قَبْلِ أَن يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ
Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak ditolong (lagi). (QS Az-Zumar: 54)

Kembali kepada Allah dapat dilakukan dengan bersungguh-sungguh memahami seruan rasulullah SAW untuk kembali kepada Allah, tidak hanya memahami istilah 'kembali' dengan hawa nafsunya saja. Jaman modern ini, banyak orang menyeru untuk kembali kepada Allah tetapi sebenarnya seruan itu tidak menyentuh esensi makna 'kembali' sebagaimana yang diserukan rasulullah SAW. Sebagian tidak memahami seruan itu tetapi menjadikannya sebagai kata-kata hiasan yang mereka serukan, dan sebagian memahami seruan itu dan kembali kepada Allah, tetapi kemudian terlalaikan kembali dalam memahami sepenuhnya seruan rasulullah SAW. Sebagian memahami seruan itu tetapi terhalangi berbagai masalah yang menghadang. Setiap hamba harus berusaha mengerti kedudukannya dengan benar dalam upaya mereka kembali kepada Allah.

Berserah diri kepada Allah adalah melakukan segala sesuatu yang menjadi kehendak Allah atas diri-Nya. Hal ini tentu saja tidak mudah. Sebagian besar orang mengira melakukan kehendak Allah tetapi sebenarnya hanya mengikuti hawa nafsu mereka karena tidak memahami kehendak Allah. Sebagian disesatkan syaitan dengan perkataan-perkataan yang terdengar indah tetapi menyesatkan. Sebagian dapat meraba-raba kehendak Allah dengan benar setelah berusaha membangun jiwa mereka dengan kepingan-kepingan akhlak mulia, dan mereka berbuat dengan apa yang mereka rasakan. Sebagian mengikuti orang-orang yang benar dan dimudahkan untuk melakukan perbuatan berserah diri.

Berserah diri sepenuhnya adalah mengenali dan menemukan jihad rasulullah SAW untuk waktu dan jaman mereka. Seringkali hal itu harus dikenali seseorang melalui beberapa wasilah manusia yang lain. Para awliya di tanah jawa misalnya, datang berbondong ke nusantara untuk membantu mewujudkan nubuwah rasulullah SAW untuk membantu seseorang. Para khulafa ar-rasyidiin merupakan kelompok manusia yang memperoleh wasilah langsung rasulullah SAW dalam garis tertentu. Pada garis yang lain, Ibrahim a.s merupakan orang yang memperoleh wasilah rasulullah SAW secara langsung, bahkan sebagai uswatun hasanah sebagaimana rasulullah SAW sendiri. Banyak bentuk wasilah yang dapat menghubungkan seseorang kepada rasulullah SAW.

Setiap orang harus berusaha menemukan wasilah kepada rasulullah SAW. Kadang seseorang mengira bahwa dirinya berjuang untuk membantu rasulullah SAW, tetapi sebenarnya tidak mempunyai wasilah kepada beliau SAW. Bahkan kadangkala sebenarnya ia tidak mengenali perjuangan beliau SAW dengan benar. Kadangkala Allah berkenan menjelaskan baginya keadaannya, kadang dimengerti kadang tidak atau salah dimengerti. Kadang Allah membiarkan mereka tanpa petunjuk. Kitabullah dengan cara tertentu bisa menjadi parameter apakah seseorang mempunyai wasilah yang benar kepada rasulullah SAW. Wasilah yang benar kepada rasulullah SAW akan diketahui seseorang bersamaan dengan keterbukaan makna kitabullah bagi dirinya, sedangkan makna itu memperkenalkannya pada keagungan Sang Sumber Kebenaran.

Mengikuti Hal Terbaik (Ahsan)

Untuk berserah diri dengan benar, seseorang harus bisa memahami dan mengikuti hal terbaik (ahsan) yang diturunkan Allah kepada mereka. Yang dimaksud ahsan (hal terbaik) adalah sesuatu yang mengungkap pengetahuan tentang Allah. Seseorang mungkin dapat membaca ayat dalam kitabullah dengan landasan pemahaman tentang kehendak Allah, sedangkan orang lainnya mungkin hanya menebak makna ayat tersebut. Bila seseorang menemukan penjelasan terbaik tentang suatu ayat, hendaknya ia mengikuti penjelasan terbaik tersebut.

﴾۵۵﴿وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya (QS Az-Zumar : 55)

Sebaik-baik yang diturunkan Allah bagi manusia adalah Alquran. Akan tetapi mungkin tidak banyak orang yang dapat mengerti Alquran secara langsung, maka hendaknya ia mencari penjelasan-penjelasan terhadap ayat-ayatnya. Sebaik-baik yang diturunkan baginya dalam keadaan tersebut adalah penjelasan ayat Alquran yang dibaca sesuai dengan kehendak Allah. Pada puncaknya, bacaan seseorang terhadap suatu ayat merupakan ayat yang diturunkan Allah, bukan hasil upaya pembacaan manusia itu. Seseorang mungkin saja diijinkan Allah dapat membaca Alquran yang ada di tangan Allah sebagai realitas lain dari ayat yang tertulis dalam mushaf yang dibacanya. Sesedikitnya apa yang diijinkan Allah bisa dibaca seseorang dari sisi -Nya bernilai jauh lebih berharga dari banyaknya pengetahuan dari pengamatan-pengamatan dalam bentuk yang lain.

Tentu tidak akan ada perbedaan makna di antara ayat yang dibaca dari sisi Allah dengan ayat yang ada di tangan manusia, karena apa yang ditangan manusia pun sebenarnya adalah firman Allah juga. Apa yang sampai di tangan manusia berupa mushaf Alquran sebenarnya telah menceritakan keseluruhan ayat yang sama di sisi Allah yang diperuntukkan bagi seseorang. Hanya saja masing-masing manusia akan menemukan di sisi Allah penjelasan yang spesifik bagi dirinya. Kebanyakan manusia tidak dapat menyentuh makna Alquran, dan sebagian manusia dapat membaca sebagian-sebagian. Kadang pengetahuan dari sisi Allah tercampur dengan pengetahuan yang lain karena belum kuatnya akal seseorang. Hal itu tidak boleh diabaikan selama tidak ada khianat dalam hati orang tersebut. Bilamana ada bacaan yang mengungkap pengetahuan tentang Allah atau kehendak-Nya, maka itu hendaknya diikuti.

Tidak mengikuti hal terbaik (ahsan) akan mendatangkan suatu adzab bagi manusia. Ini adalah ketetapan Allah bagi hamba-hamba-Nya, bukan bagi orang-orang yang kafir. Azab yang diancamkan adalah azab bagi hamba-hamba Allah yang lalai. Urusan azab dalam perkara ini lebih menyangkut perkara akhirat yang akan mereka sesali dalam waktu yang sangat panjang, bukan azab yang dapat dilihat dalam bentuk luar jasadiah. Misalnya seorang hamba yang meninggal dalam wabah yang diturunkan Allah bagi dunia, mereka dapat tergolong dalam golongan orang yang syahid, atau ia termasuk dalam orang yang mendapat azab Allah berupa azab yang tiba-tiba  dihadapi seorang hamba yang mendustakan ayat Allah ketika menghadapi kematiannya.

Kadang seorang hamba terlena dalam waham yang menipu. Boleh jadi ia merasa aman dalam jaminan Allah di antara bencana yang terjadi di antara manusia, sedangkan ia masih mendustakan kebenaran yang dibacakan kepada mereka. Para hamba itu mungkin saja benar-benar tidak menyadari bahwa mereka masih mendustakan kebenaran yang dibacakan kepada mereka, dan mereka memperoleh azab secara mendadak ketika kematian mendatangi mereka.

Syaitan mempunyai teknik yang sangat lihai dalam mengelabuhi manusia dalam urusan demikian. Dahulu umat nabi Nuh dibinasakan dalam bencana banjir karena kufur kepada nabi Nuh. Pakaian nabi Nuh a.s di hadapan umat manusia dalam wujud isteri dibuat berkhianat sehingga umat nabi Nuh kufur. Bagi umat rasulullah SAW, teknik demikian akan kembali terjadi. Itu merupakan sumber fitnah yang paling dahsyat bagi umat manusia, termasuk bagi orang-orang beriman.

Para hamba Allah yang mendustakan kebenaran kelak akan menemukan fakta yang mengejutkan bagi mereka dalam kehidupan selanjutnya. Allah akan mengungkapkan pendustaan yang dahulu mereka lakukan terhadap ayat-ayat yang dibacakan kepada mereka, dan mereka dimasukkan dalam golongan orang kafir.

﴾۹۵﴿بَلَىٰ قَدْ جَاءَتْكَ آيَاتِي فَكَذَّبْتَ بِهَا وَاسْتَكْبَرْتَ وَكُنتَ مِنَ الْكَافِرِينَ
(Bukan demikian) sebenarnya telah datang keterangan-keterangan-Ku kepadamu lalu kamu mendustakannya dan kamu menyombongkan diri dan adalah kamu termasuk orang-orang yang kafir". (QS Az-Zumar : 59)

Agak sulit mengerti bagaimana seorang hamba dimasukkan dalam golongan kafir. Hal yang mendorong mereka memasuki golongan orang kafir adalah kesombongan yang ada dalam hati. Setiap orang harus berhati-hati dengan kesombongan, karena seringkali kesombongan itu tidak dapat dilihat pemiliknya. Iblis dahulu merupakan makhluk yang dekat dengan Allah, akan tetapi tidak dapat melihat adanya kesombongan dalam dirinya. Karena kesombongannya, iblis kemudian menjadi penghulu penghuni neraka. Orang-orang yang memiliki sifat iblis tersebut walaupun sebesar dzarrah, kelak ia akan mengikuti penghulunya memasuki neraka.

Kesombongan

Yang dimaksud sebagai kesombongan adalah penolakan terhadap kebenaran dan meremehkan orang lain. Kesombongan tidak dapat dilihat dari ukuran-ukuran material yang ditunjukkan oleh seseorang. Seorang yang terlihat gembel bisa menjadi makhluk yang sombong sebagaimana seorang yang terlihat megah dapat menjadi sombong. Seorang yang terlihat megah boleh jadi merupakan seorang yang tawadlu’ sebagaimana seorang yang berzuhud dalam urusan dunia.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ ». قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قَالَ « إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ» [أخرجه مسلم]
dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang masih memiliki kesombongan didalam hatinya walau seberat biji sawi”. Maka ada seorang sahabat yang bertanya pada beliau: ‘Sesungguhnya ada orang yang menyukai kalau pakaianya itu bagus dan sendalnya baru”. Maka Nabi menjawab: “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan. (yang dinamakan) sombong ialah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain“. [HR Muslim no: 91].

Sikap terhadap kebenaran adalah cermin yang baik untuk menunjukkan kesombongan yang mungkin ada dalam setiap diri. Iblis gagal dalam mensikapi sebuah kebenaran baru yang digelar di hadapannya. Setiap manusia dapat melihat kesombongan dalam dirinya melalui cermin sikap dirinya terhadap kebenaran. Bagi makhluk-makhluk yang halus dan tinggi, cermin itu akan diperlihatkan oleh kebenaran melalui makhluk yang terlihat rendah, sebagaimana para malaikat muqaraabun harus bercermin melalui manusia. Orang-orang yang akalnya lemah akan diuji sikapnya dalam perdebatan-perdebatan yang seringkali hanya memunculkan kebodohan mereka dan sering tidak membuat mereka mengerti kebenaran sedikitpun. Setiap orang mempunyai cermin bagi kesombongan dirinya berupa sikapnya terhadap kebenaran.

Setiap mukmin dituntut untuk dapat membenarkan setiap kebenaran yang dikirimkan Allah kepada meraka. Ini harus menjadi nafas kehidupan setiap mukmin. Seorang mukmin tidak boleh terjebak dalam kemegahan atau kesederhanaan bentuk-bentuk yang dihadirkan Allah manakala mengirimkan pesan kebenaran kepada mereka. Meremehkan seseorang yang menyampaikan kebenaran adalah kesombongan yang besar, hampir menyerupai iblis yang meremehkan Adam dahulu. Dalam praktiknya, setiap orang tidak diperbolehkan meremehkan manusia lainnya, walaupun manusia itu tidak menyampaikan kebenaran, karena itu termasuk dalam kesombongan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar