Pencarian

Minggu, 30 Juli 2023

Shirat Al-Mustaqim dan Syukur

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan. Jalan untuk didekatkan kepada Allah tersebut dikenal sebagai shirat al-mustaqim.

Jalan itu adalah jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang bersyukur terhadap nikmat Allah. Mereka telah memperoleh nikmat Allah, dan mereka bersyukur terhadap nikmat yang telah diberikan-Nya. Nikmat Allah dalam kehidupan di dunia adalah bentuk-bentuk kehidupan yang telah ditetapkan Allah bagi setiap orang sejak sebelum penciptaan mereka di dunia. Orang yang memperoleh nikmat Allah adalah orang-orang yang mengenali bentuk kehidupan yang ditentukan Allah bagi diri mereka. Hal itu merupakan karunia Allah, sedangkan seseorang hanya dapat berharap untuk memperolehnya.

Di antara manusia, ada orang-orang yang berkeinginan untuk hidup sesuai kehendak Allah dan kemudian mereka mengetahui kehendak Allah, maka mereka itulah orang yang memperoleh nikmat. Sebagian manusia hidup di dunia dengan sepenuhnya mengikuti keinginan jasmaniah dan hawa nafsu mereka, maka mereka tidak mengetahui keberadaan jalan kehidupan yang telah ditentukan bagi mereka, mengira kehidupan hanyalah apa yang mereka inginkan. Sebagian besar manusia berkeinginan hidup mengikuti kehendak Allah akan tetapi tidak bersungguh-sungguh dengan keinginan tersebut. Allah tidak akan mendzalimi manusia sedikitpun. Orang yang bersungguh-sungguh berharap akan ditunjukkan kepada nikmat itu. Dengan harapan dan usaha, sedikit demi sedikit, seseorang akan menapak mendekat kembali kepada ketentuan itu hingga kemudian ia melihat jalan yang telah ditentukan bagi dirinya berupa shirat al-mustaqim.

Syukur dan Nikmat Allah

Bersyukur menjadi dasar agar seseorang bisa memperoleh nikmat Allah. Bila seseorang mengeluhkan kehidupan dirinya, hal itu akan melepaskannya dari petunjuk Allah hingga kehidupannya tidak akan mengarah pada shirat al-mustaqim. Kendali Allah bagi dirinya barangkali akan dilepaskan hingga ia bebas memilih bentuk kehidupan yang diinginkan hawa nafsunya, dan kemudian ia akan menemukan adzab yang pedih.

﴾۷﴿وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS Ibrahim :7)

Orang-orang yang beriman akan berurusan dengan bentuk kehidupan yang diinginkannya dan bentuk kehidupan yang diberikan Allah, maka hendaknya ia mengutamakan bentuk kehidupan yang dikehendaki Allah dan mengarahkan keinginannya agar selaras dengan kehendak Allah. Setidaknya, ia harus bisa menerima dengan ridha bentuk kehidupan yang diberikan manakala ia belum memperoleh pengetahuan tentang kehendak Allah. Mengeluh adalah bentuk kekufuran seseorang terhadap nikmat Allah. Manakala seseorang bersikap tidak ridha dengan bentuk kehidupan yang diberikan, maka ia bersikap kufur terhadap nikmat Allah. Hal demikian menunjukkan bahwa seseorang memiliki bagian sifat dari mempertuhankan diri berupa hawa nafsunya. Bila seseorang ikhlas dalam beribadah kepada Allah, tidak akan muncul penolakan terhadap bentuk kehidupan yang diberikan Allah.

Dalam perjalanan yang benar, seseorang akan menguat akalnya untuk memahami kehendak Allah. Mereka barangkali akan berurusan dengan petunjuk yang diturunkan dalam hati mereka. Bagi orang-orang yang menerima petunjuk, bentuk kekufuran terhadap nikmat Allah mempunyai cakupan lebih luas daripada orang-orang biasa. Beberapa petunjuk yang diberikan kepada seseorang merupakan penjelasan kehendak Allah yang ditentukan bagi dirinya, sebagaimana nabi Ibrahim a.s memperoleh petunjuk. Orang yang menerima petunjuk dan tidak ridha dengan kandungan dalam petunjuk itu bisa terjerumus pada sikap kufur terhadap nikmat Allah.

Setiap orang beriman hendaknya berusaha membentuk sikap bersyukur kepada nikmat Allah. Syukur terhadap nikmat Allah akan mendatangkan tambahan yang sangat banyak, sedangkan sikap kufur akan mendatangkan adzab Allah yang sangat pedih. Ketentuan ini telah dipermaklumkan Allah kepada seluruh semesta, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". Ini adalah ketentuan yang harus diketahui oleh orang-orang yang berharap didekatkan kepada Allah.

Rasa syukur yang tumbuh dalam hati manusia dapat dilihat dari sifat kesuburan dan penuh kasih sayang sebagaimana kesuburan dan penuh kasih sayang dalam diri seorang perempuan terhadap suaminya. Pada diri seorang perempuan, sifat kesuburan nafs dan penuh kasih sayang nafs dalam pernikahan merupakan parameter pertumbuhan rasa kebersyukuran dirinya. Nafs mereka dapat menerima dan menumbuhkan benih yang diberikan suaminya hingga terwujud anak-anak berupa karya duniawi mereka. Bila tidak bersyukur, sifat ini sulit untuk tumbuh pada perempuan. Sifat bersyukur bagi orang-orang beriman harus ditumbuhkan dalam gambaran yang demikian.

Pernikahan merupakan wadah terbaik bagi pertumbuhan rasa bersyukur. Dengan menikah, seorang laki-laki dan perempuan saling menambatkan garis kehidupan mereka untuk mendapatkan nikmat Allah bersama-sama, dan mereka dapat bersyukur bersama-sama. Pada dasarnya kesuburan dan kasih sayang juga tumbuh pada laki-laki sebagaimana kesuburan dan kasih sayang seorang isteri kepada suaminya, tetapi bentuk-bentuk itu terwujud dalam hubungan lebih tinggi berupa hubungan dengan nafs wahidah mereka. Seorang laki-laki yang subur dan penuh kasih sayang akan memahami dan berusaha keras dengan dedikasi melahirkan kehendak Allah berupa amanat Allah yang ada pada nafs mereka, maka mawaddah itu diwujukan bagi semesta mereka. Bila menikah dan kedua pihak bersyukur, kehendak Allah itu akan terlahir dalam wujudnya di alam dunia.

Dari Abu Hurairah r.a berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِيْ, وَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ تَزَوَّجُوْا الْوَلُوْدَ الْوَدُوْدَ فَإنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
Nikah adalah sunnahku dan barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku maka bukan termasuk golonganku. Nikahilah wanita yang banyak anak (subur) dan penuh kasih sayang. Karena aku bangga dengan jumlah kalian yang banyak pada hari kiamat. [HR. Nasa’i]

Rasa bersyukur itu harus terbentuk dalam hubungan vertikal yang benar. Para perempuan harus membina kesuburan dan kasih sayang kepada suaminya, dan para laki-laki membinanya terhadap amr Allah. Bila seorang isteri membina kesuburan kepada laki-laki selain suaminya, ia berkhianat kepada suaminya dan kesuburan dan kasih sayangnya terhadap suaminya akan rusak. Demikian pula bila laki-laki tidak berhati-hati terhadap amr syaitan maka mereka akan menyimpang dari jalan yang lurus. Syaitan sangat menyukai penyimpangan yang dilakukan oleh manusia.

Kesuburan seseorang akan tumbuh selaras dengan rasa bersyukur yang tumbuh pada dirinya. Seseorang yang bersyukur akan mendatangkan banyak nikmat Allah bagi dirinya, dan sebaliknya kufur terhadap nikmat Allah akan menghapus nikmat Allah bagi mereka. Bila suatu pasangan menikah bersyukur bersama, mereka akan menemukan nikmat berupa jalan hidup yang terhubung antara duniawi dan ukhrawi mereka. Bila salah satu tidak bersyukur, maka akan tampak ketimpangan antara nikmat duniawi dan nikmat ukhrawi mereka. Hal demikian berlaku pula apabila seseorang keliru dalam membina rasa bersyukur.

Mawaddah yang Bathil

Rasa bersyukur akan tampak dalam parameter kesuburan dan penuh kasih sayang. Sebagian manusia keliru dalam membangun rasa mawaddah mereka, dan berimplikasi pada kesuburan mereka. Ini merupakan jalan yang keliru, dan kelak di akhirat rasa mawaddah itu akan hilang dan berganti dengan pengingkaran oleh satu terhadap yang lain, dan sebagian akan melaknat yang lain. Bila seorang isteri membina mawaddah dan kesuburan terhadap laki-laki selain suaminya, maka itu merupakan mawaddah yang keliru. Demikian pula bila kaum laki-laki membina rasa mawaddah dengan membuat pemujaan-pemujaan kepada selain Allah, mereka membangun mawaddah yang keliru.

﴾۵۲﴿وَقَالَ إِنَّمَا اتَّخَذْتُم مِّن دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا مَّوَدَّةَ بَيْنِكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُ بَعْضُكُم بِبَعْضٍ وَيَلْعَنُ بَعْضُكُم بَعْضًا وَمَأْوَاكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُم مِّن نَّاصِرِينَ
Dan (Ibrahim) berkata: "Sesungguhnya kalian membuat pemujaan-pemujaan selain Allah adalah untuk menimbulkan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini kemudian di hari kiamat sebahagian kamu mengingkari sebahagian (yang lain) dan sebahagian kamu melaknati sebahagian (yang lain); dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolongpun. (QS An-Nahl : 25)

Rasa mawaddah harus dibina terhubung dengan kehendak Allah. Rasa mawaddah di antara umat manusia tidak boleh terbentuk di atas asas pemujaan-pemujaan terhadap selain Allah, harus terbentuk dalam ubudiyah kepada Allah. Wujud mawaddah seorang laki-laki bagi kaumnya berbentuk upaya mendzikirkan dan meninggikan asma Allah bagi kaumnya tersebut. Berhasil atau gagal, upaya yang dilakukan dalam tujuan tersebut merupakan bentuk mawaddah seorang laki-laki terhadap amr Allah. Rasa mawaddah yang terbentuk karena pemujaan-pemujaan terhadap selain Allah hanya akan menjadi mawaddah di dunia ini saja, sedangkan di akhirat kelak mereka akan saling mengingkari dan saling melaknat.

Mawaddah pada perempuan terbentuk layaknya pemujaan terhadap laki-laki, akan tetapi laki-laki tersebut sebenarnya hanyalah perantara. Landasan rasa kasih pada perempuan harus dibentuk di atas landasan yang tepat dengan tujuan ibadah kepada Allah, tidak boleh hanya mengikuti hawa nafsu. Mawaddah demikian harus terbina dalam suatu ikatan pernikahan karena pernikahan itu yang dapat menumbuhkan rasa mawaddah yang haq hingga dapat membentuk bayt untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah. Mawaddah demikian merupakan bentuk bayangan pemujaan meninggikan asma Allah di alam jasmani, yang dapat menggelincirkan perempuan dengan mudah bila tidak disikapi dan diberi wadah yang benar. Tanpa wadah yang benar, umat manusia dapat celaka karena mawaddah yang tumbuh.

Mawaddah dalam rumah tangga tidak boleh dirusak sedikitpun karena itu merupakan parameter rasa syukur yang haq bagi para perempuan, dan merupakan bekal terbaik bagi para laki-laki untuk membina mawaddah di antara kaumnya. Suami dan isteri harus berusaha membina mawaddah di antara mereka bersama-sama. Seorang suami harus mengarahkan rumah tangganya untuk meninggikan asma Allah dan isteri mengikutinya. Bila suami tidak bisa menemukan arah, pasangan itu tidak akan bisa membentuk bayt untuk meninggikan asma Allah. Bila isteri menganggap remeh suaminya, atau meragukan kebenaran hakikat yang diperoleh suaminya, tidak akan terbentuk mawaddah di antara mereka dan tidak pula terbentuk bayt untuk meninggikan asma Allah.

Banyak pemujaan dilakukan di antara manusia. Dahulu umat manusia membuat pemujaan berupa patung-patung yang disembah. Dewasa ini banyak bentuk-bentuk pemujaan lain dilakukan untuk membentuk persaudaraan. Suatu klub olah raga dan banyak hal lain dapat menjadi sarana pemujaan yang menimbulkan persaudaraan di antara para pemuja mereka, dan hal itu bisa berubah kelak di akhirat hingga bisa saja mereka akan saling mengingkari dan melaknat satu dengan yang lain. Bentuk pemujaan demikian dapat terjadi hingga personal seperti para artis yang dijadikan pujaan manusia. Ada orang yang menjadikan diri pusat pemujaan bersekutu dengan syaitan, atau seorang laki-laki menjadikan dirinya pujaan di antara para perempuan secara bathil. Sekalipun dalam rumah tangga, seorang laki-laki yang menjadikan dirinya pujaan isteri-isterinya tanpa mengingat Allah merupakan pemujaan yang bathil.

Seorang perempuan karena agamanya dapat memuja seorang laki-laki yang tepat  hingga terbentuk mawaddah di antara mereka. Dalam perkara demikian laki-laki berposisi pasif, karena pujaan laki-laki yang benar adalah pujaan kepada Allah. Bila terjadi demikian, hendaknya mereka mengikatkan diri dalam suatu pernikahan agar rasa mawaddah mereka terhubung pada kehendak Allah. Hal ini tidak berlaku atas perempuan bersuami, di mana ia harus menjalin mawaddah hanya dengan suaminya. Bila suatu mawaddah di antara laki-laki dan perempuan tidak terwujud dalam pernikahan, akan banyak fitnah terjadi di antara masyarakat mereka. Itu adalah prinsip dasar pembentukan mawaddah. Dalam prakteknya, kasus demikian tidak terjadi secara hitam putih karena kebenaran dan kebatilan dalam kehidupan manusia bercampur baur hingga mempengaruhi warna-warna terbentuknya keberpasangan.

Rasa syukur sangat terkait dengan kesuburan dan rasa mawaddah, yaitu kesuburan dan rasa mawaddah yang haq. Bila kesuburan dan mawaddah yang terbentuk baik pada laki-laki maupun perempuan merupakan yang bathil, hal itu bukan rasa bersyukur, tetapi lebih merupakan rayuan syaitan yang berusaha menyimpangkan manusia dari nikmat Allah. Rasa mawaddah yang haq akan ditandai dengan pengenalan terhadap imam yang menjadi washilah amr dirinya kepada Rasulullah SAW. Bila seseorang menjadikan dirinya pujaan manusia, atau fanatik mengikuti pujaannya tanpa mempunyai landasan pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, maka ia akan mudah terlena oleh rayuan syaitan. Hanya kesuburan dan mawaddah yang haq yang merupakan parameter rasa bersyukur, dan rasa syukur itu akan mengantarkan seseorang memperoleh shirat al-mustaqim.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar