Pencarian

Rabu, 29 Maret 2023

Hidayah dan Kehidupan Masyarakat

Allah menciptakan manusia di bumi untuk menjadi pemakmurnya. Manusia akan kembali kepada kedudukan mereka di surga setelah mereka menempuh kehidupan di bumi dengan membawa fadhilah yang sangat banyak dibandingkan dengan makhluk lainnya karena manusia menempuh kehidupan yang berat di bumi. Banyak di antara manusia tersesat atau dzalim terhadap diri mereka sendiri. Sebagian orang dzalim melupakan tujuan kehidupan ketetapan Allah, dan sebagian orang yang bertaubat terjebak pada jalan yang keliru.

Keselamatan dalam menempuh perjalanan taubat bagi setiap orang terkait dengan hidayah, atau petunjuk Allah. Hidayah dapat diterangkan sebagai penjelasan atau pengarahan yang terang untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki. Dalam istilah agama, hidayah dapat dikatakan sebagai penjelasan atau pengarahan yang diturunkan Allah ke dalam hati seseorang untuk mencapai kedudukan kembali di sisi Allah. Suatu pengetahuan tertentu yang diperoleh atau terbuka kepada seseorang dapat dikatakan sebagai hidayah manakala ilmu itu terkait dengan suatu tujuan tertentu yang mengantarkan mereka menempuh jalan kepada Allah. Bila suatu ilmu tidak benar-benar dipahami manfaatnya oleh seseorang, maka itu belum dikatakan sebagai hidayah. Bila sesorang memahami, maka ilmu itu menjadi hidayah. Bila mereka meletakkan ilmu itu sebagai bagian dari kehidupan dirinya, mereka mengikuti hidayah.

Allah telah menurunkan keseluruhan hidayah itu melalui kitabullah Alquran. Alquran merupakan sumber hidayah bagi setiap makhluk tanpa kebengkokan di dalamnya. Seluruh hidayah yang mungkin diturunkan Allah akan selalu mempunyai hubungan dengan suatu ayat dalam kitabullah, tidak terlepas darinya. Allah berfirman :

﴾۸۰۱﴿قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَنِ اهْتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَمَا أَنَا عَلَيْكُم بِوَكِيلٍ
Katakanlah: "Hai manusia, sesungguhnya teIah datang kepadamu Al-Haqq dari Tuhanmu, sebab itu barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya itu petunjuk untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu atas dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang wakil terhadap dirimu". (QS Yunus : 108)

Suatu hidayah akan memberikan manfaat yang sangat banyak kepada makhluk, yaitu apabila mereka mengikuti hidayah yang diberikan kepada mereka dan mereka tetap mengharapkan Allah untuk memberikan tambahan hidayah kepada mereka. Suatu hidayah tidak bersifat sekali-sekali, tetapi bersifat menerus. Suatu hidayah tertentu akan diikuti oleh hidayah yang lain manakala seseorang mengikuti hidayah yang diberikan dan terus mengharapkan hidayah baginya. Orang-orang yang mensikapi suatu hidayah dengan cara demikian itulah yang dikatakan sebagai orang yang tetap mengharapkan hidayah ( اهْتَدَىٰ). Dalam terminologi lain barangkali mereka itu dapat disebut sebagai pencari kebenaran.

Banyak orang tidak termasuk dalam golongan pencari kebenaran. Orang-orang kafir tidak mengharapkan suatu hidayah manakala sedang kafir. Manakala menyadari kesalahan dalam kehidupan, mereka merasakan haus terhadap hidayah. Sebagian manusia takut untuk mengikuti seruan hidayah yang sampai kepadanya karena dipertakuti syaitan. Kadangkala di antara orang beriman dijumpai orang-orang yang memperoleh suatu hidayah kemudian tidak mengikuti hidayahnya dan memilih kehidupan duniawi, dan ia kemudian melupakan tujuan kehidupan di sisi Allah. Sebagian manusia mengikuti suatu hidayah akan tetapi kemudian merasa tidak membutuhkan lagi hidayah berikutnya, bahkan bertindak berlebihan menjadikan diri sebagai pemberi hidayah, tidak menempatkan diri sebagai penyeru kepada hidayah secara layaknya, dan tidak menjadikan Allah sebagai pemberi hidayah kecuali hanya hidayah yang mereka sampaikan.

Tetap Mengharap Hidayah

Sikap tetap mengharap hidayah tidak dapat tumbuh pada orang-orang yang bersikap jumud tidak terbuka terhadap kebenaran. Masyarakat yang terbuka terhadap kebenaran ditandai dengan kemampuan bersegera bersikap dengan benar terhadap suatu hidayah yang disampaikan kepada mereka. Bila hidayah itu benar, mereka bersikap bersegera mengikutinya, dan bila hidayah itu salah mereka dapat bersegera menghapus penyebaran kesesatan itu dari antara mereka. Bila bersikap sebaliknya, hal itu menunjukkan adanya kesesatan di antara mereka. Bila penyikapan itu terjadi secara berlarut-larut, maka itu merupakan indikasi sebagai masyarakat yang jumud terhadap kebenaran. Mereka akan sulit tumbuh menjadi orang-orang yang tetap mengharapkan hidayah.

Fenomena kejumudan ini tidak hanya terjadi di antara orang-orang kafir tetapi bisa juga terjadi di antara orang beriman. Orang-orang beriman yang bersikap jumud pada dasarnya mudah terjebak dalam permainan kesesatan syaitan. Allah tidak dijadikan sebagai pemberi hidayah bagi mereka, tetapi mengangkat pemberi hidayah mereka dari kalangan manusia-manusia, maka syaitan dengan mudah menyesatkan perjalanan mereka kembali kepada Allah melalui hal-hal yang bahkan tampak seperti hidayah. Syaitan bisa mempunyai kesempatan menyamar seperti pemberi hidayah bila masyarakat bersikap jumud. Hendaknya orang-orang beriman menjadikan Allah sebagai pemberi hidayah, menjadikan diri mereka dan para ulama mereka sebagai penyeru kepada hidayah, dan masing-masing orang selalu mengharapkan tambahan hidayah Allah bagi mereka.

Sikap demikian mempunyai tolok ukur yang jelas, yaitu menjadikan kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW sebagai pedoman. Bersikap berharap hidayah kepada Allah tanpa menghiraukan firman Allah tidak menunjukkan sikap berharap yang benar, atau dapat dikatakan merupakan sikap berharap secara keliru. Keseluruhan kebenaran telah diturunkan Allah melalui kitabullah Alquran. Suatu hidayah akan selalu terhubung pada salah satu firman Allah. Hidayah yang benar hanyalah hidayah yang mengikuti kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, bukan hidayah yang samasekali baru. Barangkali hidayah tidak terhubung secara langsung terhadap Alquran, tetapi akan ada hubungan. Firman Allah dalam Alquran tidak dapat dipertentangkan dengan hidayah yang sama sekali baru.

Mengharapkan hidayah dari Allah akan dapat dilakukan bila umat manusia melakukan pensucian jiwa mereka. Tanpa melakukan pensucian jiwa (tazkiyatun-nafs), manusia akan terlingkupi oleh hawa nafsu mereka. Alquran dan sunnah Rasulullah SAW hanya akan tersentuh oleh orang-orang yang hatinya suci disucikan, tidak benar-benar tersentuh oleh pikiran manusia saja tanpa terkotori hawa nafsu. Hidayah hanya akan tertuntun kitabullah bila manusia melakukan tazkiyatun nafs. Seringkali setiap orang harus benar-benar mengikuti seorang syaikh terlebih dahulu sebelum dapat memperoleh hidayah yang tertuntun kitabullah. Dalam hal ini, setiap orang tidak boleh melepaskan kitabullah. Mengikuti seorang syaikh tidak boleh dilakukan dengan mengalahkan ayat dalam Alquran yang dapat dipahami sejauh pikirannya.

Mengharap Hidayah Mengikuti Rasulullah SAW

Kadangkala terjadi suatu fenomena dimana masyarakat kehilangan landasan berpijak dari Alquran bagi upaya-upaya amal shalih yang mereka lakukan, sedangkan mereka berupaya mengikuti hidayah. Mereka akan terombang-ambing tanpa mengetahui arah untuk mencapai tujuan. Bahkan manakala tujuan terdekat telah diketahui, mereka tetap kehilangan arah dan pijakannya untuk mencapai tujuan itu. Hal ini merupakan gejala terlepasnya silsilah washilah yang menghubungkan mereka kepada amr jami’ Rasulullah SAW. Boleh jadi umat demikian belum pernah berusaha menemukan washilah yang sebenarnya, atau kurang meneliti bahwa ada washilah yang terputus kepada Rasulullah SAW.

Bila seseorang berusaha sungguh-sungguh untuk menemukan washilah, mereka akan memahami amr jami’ mengikuti Rasulullah SAW dan menemukan landasan berpijak amal shalih mereka dari Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Manakala suatu rantai washilah terputus, mereka kehilangan kedua milestone tersebut. Pada dasarnya umat manusia dapat menemukan rantai washilah melalui jalur yang lain manakala terputus dan menyambungkan kembali rantai washilah itu bagi mereka. Hal ini dapat dilakukan bila mereka tetap berharap hidayah Allah.

Umat yang terputus washilahnya tidak memperoleh berkah dari Rasulullah SAW. Tidak tertinggal bayang-bayang tombak Rasulullah SAW bagi mereka, maka kehidupan di antara mereka akan menjadi sulit tanpa arah yang jelas dalam mengentaskannya. Suatu hidayah yang diberikan kepada seseorang boleh jadi tidak meninggalkan suatu jejak di alam bumi mereka, dan orang yang mengikuti amr jami’ Rasulullah SAW akan kesulitan menemukan rejeki duniawi mereka karena pendeknya bayang-bayang tombak Rasulullah SAW yang ada di antara mereka. Kehidupan duniawi umat islam akan melekat erat bersama-sama dengan makar dan tipu daya kaum yang lain atau bahkan terliputi makar itu, hingga mereka seringkali harus berbuat sebagaimana kaum itu.

Terputusnya washilah sangat mungkin akan tercermin pada terputusnya hubungan washilah dalam rumah tangga. Dalam beberapa kasus, rusaknya rumah tangga merupakan cermin rusaknya washilah kepada Rasulullah SAW. Suatu washilah di antara suami dan isteri dalam rumah tangga tertentu sangat mungkin menjadi bayangan washilah umat kepada Rasulullah. Rusaknya washilah yang demikian itu akan menjadi pintu fitnah syaitan yang sangat besar bagi manusia. Suatu hidayah yang diberikan kepada seorang laki-laki boleh jadi akan didustakan oleh isteri dan umatnya mengikuti mendustakannya. Boleh jadi mereka mengikuti suatu kebenaran, tetapi bukan kebenaran yang dituntun kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW.

Bila manusia mengikuti kebenaran menurut pendapat mereka sendiri, suatu kesesatan dapat terlihat seperti kebenaran. Yang sering terjadi pada kaum demikian adalah tercampur-aduknya kebenaran dengan kesesatan tanpa merasakan tercampurnya kesesatan itu. Hal demikian merupakan cara yang paling disukai syaitan, yaitu tidak benar-benar memberikan kesesatan kepada manusia tetapi mencampurkan kesesatan pada kebenaran. Dengan demikian manusia dapat tersesat sangat jauh ketika mengikuti kebenaran. Mereka tidak merasakan adanya kesesatan dalam diri mereka karena mereka menginginkan kebenaran. Hendaknya setiap orang berpegang teguh pada kitabullah dan selalu memohon hidayah kepada Allah. Bila seseorang mengikuti pendapatnya sendiri dalam mengikuti kebenaran, maka mereka akan tersesat dalam mengikuti kebenaran. Setiap orang harus menjadikan Allah sebagai pemberi hidayah dengan berpegang pada kitabullah.

Orang yang tersesat pada dasarnya tidak mencari kebenaran melalui Rasulullah SAW, karenanya Rasulullah SAW tidak menjadi wakil bagi orang-orang yang tersesat dalam mengikuti kebenaran. Beliau akan membiarkan orang-orang yang menuruti hawa nafsu mereka menanggung kesalahan mereka sendiri, sedangkan Rasulullah SAW tidak akan menanggung kesalahan mereka di hadapan Allah. Orang-orang yang mengikuti beliau SAW akan bersikap demikian pula, tidak akan ikut menanggung kesesatan yang diikuti kaumnya. Sikap demikian tidak berarti membiarkan sahabatnya untuk mengikuti kesesatan, akan tetapi mereka tidak akan mengikuti kesesatan mereka dan tidak ikut menanggung kesesatan mereka.

Mencari kebenaran melalui Rasulullah SAW hanya dapat dibina dengan landasan membangun sifat rahmaniah. Sifat rahmaniah terwujud berupa kecenderungan mengikuti Alquran. Seorang rahmaniah adalah seseorang yang berusaha merespon segala sesuatu sesuai dengan Alquran, dalam batasan pemahaman dirinya. Ini merupakan bentuk kasih sayang yang paling bernilai yang dapat diperbuat manusia. Ar-Rahman merupakan asma Allah tertinggi yang diturunkan Alquran dari asma itu. Seseorang yang bersifat rahmaniah akan mempunyai kemudahan untuk memahami dan bertindak sebagaimana firman Allah dalam Alquran. Seseorang yang bersifat rahmaniah tidak akan pernah mendustakan kebenaran dari Alquran, walaupun mungkin saja ia pernah terkhilaf melakukan suatu kesalahan berselisih dengan Alquran atau tidak mempunyai kemampuan melaksanakan Alquran.

Sifat rahmaniah hanya dapat dibina bersama dengan membina sifat rahimiah. Sifat rahman tidak dapat berdiri sendiri tanpa sifat rahim. Sifat rahim merupakan turunan pertama sifat rahman, dan kedua sifat tersebut selalu bergandeng bersama-sama. Nabi Ibrahim a.s merupakan tauladan yang paling utama sifat rahim yang dapat tumbuh dalam diri seorang manusia. Sifat rahim seorang manusia dapat dijelaskan sebagai sifat untuk menyayangi orang lain agar orang tersebut tumbuh menjadi mulia, sebagaimana seorang shalihah mengasuh anak-anaknya atau mendampingi suaminya. Sifat ini berlawanan dengan sifat suka merendahkan. Orang yang mudah bersikap merendahkan orang lain tidak akan tumbuh sifat rahimiahnya.

Pertumbuhan dua sifat ini membutuhkan keluarga yang baik, baik keluarga yang melahirkan diri seseorang ataupun keluarga yang dibentuk bersama pasangannya. Seorang yang tumbuh di keluarga yang baik akan menampakkan kedua sifat ini dengan lebih kuat. Walaupun kedua sifat ini bergandeng, kadangkala salah satu sifat pada diri seseorang tampak lebih menonjol dari sifat yang lain, terutama terlihat pada jenis kelamin seseorang. Seorang perempuan akan kuat sifat rahimnya, dan seorang laki-laki akan lebih menonjol pada sifat rahmaniah. Kadangkala pertumbuhan salah satu sifat terganggu oleh faktor tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar