Pencarian

Minggu, 12 Maret 2023

Meniti Jalan Taubat Melalui Nafs

Manusia diciptakan untuk menjadi khalifah Allah di muka bumi. Untuk mencapai kedudukan itu, setiap orang harus bertaubat kembali kepada Allah, karena hanya dengan mengenal Allah maka manusia layak dikatakan sebagai khalifatullah. Pada dasarnya setiap orang akan kembali kepada Allah, baik terpaksa ataupun dengan keinginan. Orang yang terpaksa akan menjalani proses kembali kepada Allah dengan cara yang sangat berat menempuh perjalanan setelah kematian mereka, sedangkan orang-orang yang menginginkan pertemuan dengan Allah akan dapat menemukan jalan mereka sejak kehidupan di dunia.

Jalan itu pada dasarnya terbentang dalam diri sendiri, akan tetapi tidak semua orang menemukannya, sangat sedikit. Allah menciptakan setiap manusia dari suatu nafs wahidah, dan jalan kembali itu telah tertulis dalam nafs wahidah tersebut berupa kitab diri yang di antaranya menunjukkan jalan untuk bertemu dengan rabb mereka. Kitab itu merupakan bagian dari Alquran yang menjelaskan makna yang terkandung dari kitabullah. Bila seseorang mengenali nafs wahidah yang merupakan cetak biru dirinya, maka ia akan mengetahui jalan kembalinya kepada Allah.

Allah memudahkan bagi setiap manusia cara mengenali nafs wahidah dirinya. Dia menurunkan dari nafs dirinya nafs isterinya, nafs yang menguraikan aspek duniawi yang seharusnya melekat bagi mereka. Nafs isterinya merupakan turunan pertama yang paling dekat dengan nafs wahidah, bisa menjadi cermin yang paling jelas bagi jati diri seseorang sebagai cermin yang berbicara hingga tingkatan jasadiah. Dari nafs-nafs tersebut, akan dikenali bermacam-macam turunan yang diperuntukkan bagi mereka. Semua aspek duniawi dari sepasang manusia terlihat dalam diri isterinya, dan urusan Allah bagi mereka akan terpahami oleh akal suaminya.

Bila pasangan manusia menemukan jodoh berdasarkan nafs wahidah penciptaan mereka, mereka akan memperoleh kemudahan menemukan jalan kembali kepada Allah. Sepasang manusia dapat berdiam dalam diri mereka tanpa perlu mencari sesuatu yang lain melalui jalan yang tidak diperuntukkan bagi mereka. Berdiamnya seseoran pada urusan dirinya saja tersebut merupakan keislaman secara kaffah. Hal ini dapat tercapai bila terwujud kesatuan di antara nafs mereka. Syaitan berusaha dengan sungguh-sungguh menghalangi terwujudnya kesatuan di antara nafs suami dan isteri hingga tidak dapat berdiam dalam urusan mereka.

﴾۱۲﴿وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari nafs-nafs kalian supaya kamu berdiam kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS Ar-ruum : 21)

Parameter terbentuknya kesatuan nafs di antara suami dan isteri adalah terbentuknya rasa kasih sayang di antara mereka. Setiap orang yang membentuk kesatuan antara nafs mereka dengan isterinya akan mengalami pertumbuhan rasa kasih sayang, bilamana mereka berhasil melakukannya. Rasa kasih sayang tersebut akan sangat bermanfaat bagi mereka untuk menyatukan segala sesuatu yang terserak di antara mereka hingga puncaknya mereka dapat membentuk umat mereka sebagai bagian dari umatan wahidah yang berkasih sayang antara satu dengan yang lain. Tanpa terbentuknya kesatuan nafs, rasa kasih sayang itu tidak akan cukup kuat tumbuhnya untuk menyatukan segala yang terserak bagi mereka, apalagi untuk membentuk umat sebagai bagian dari umatan wahidah. Rasa mawaddah dan rahmah merupakan bekal yang penting untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah.

Tumbuhnya rasa mawaddah dan rahmah merupakan parameter yang tumbuh terutama bagi orang-orang yang mengenal nafs wahidah mereka. Rasa kasih sayang demikian tumbuh pada nafs wahidah dan pasangannya, bukan rasa yang tumbuh di atas hawa nafsu. Kesatuan yang terbentuk di antara nafs wahidah tersebut tumbuh berdasarkan ghirah suami dan isteri untuk melaksanakan perintah Allah, dan ghirah tersebut menumbuhkan rasa kasih sayang secara khusus di antara suami dan isteri. Bila ghirah itu hanya tumbuh pada salah satu pihak, sulit terbentuk kesatuan untuk melaksanakan perintah Allah. Bila rasa kasih sayang tumbuh di atas hawa nafsu, mungkin mereka akan mendapatkan kemudahan untuk memperoleh duniawi, akan tetapi tidak dapat digunakan untuk membentuk umat menuju umatan wahidah.

Dalam kehidupan di bumi, hampir setiap manusia hidup berdasarkan hawa nafsu. Sebagian manusia mengendalikan hawa nafsu mereka hingga hawa nafsu mereka menjadi baik, akan tetapi tetap saja warna kehidupan mereka ditentukan oleh hawa nafsu. Hawa nafsu menjadi kendaraan bagi mereka menempuh kehidupan dunia. Sebagian di antara mereka menggunakan hawa nafsu dengan benar hingga mereka mengenali nafs wahidah mereka, dan sebagian dari yang mengenali nafs wahidah mereka kemudian berhasil menjadikan nafs wahidah sebagai raja bagi diri mereka. Sebagian manusia mempertuhankan hawa nafsu hingga kehidupan mereka menjadi buruk.

Dalam setiap tahapan tersebut, hawa nafsu selalu melekat dalam kehidupan manusia, dan hal itu merupakan hal yang wajar. Kewajiban setiap orang adalah mendidik hawa nafsu mereka berdasarkan tuntunan Allah. Tidak wajar bila setiap orang dituntut untuk selalu meninggalkan hawa nafsunya karena mereka bukan malaikat. Hanya orang-orang yang berhasil menjadikan nafs wahidah mereka sebagai raja dalam diri mereka yang dapat menaklukkan hawa nafsu, sedangkan kebanyakan orang dituntut untuk mendidik hawa nafsu mereka agar lebih baik. Bahkan sebagian orang yang mengenal nafs wahidah mereka dituntut untuk mendidik hawa nafsu sebelum nafs wahidah layak dijadikan sebagai raja.

Demikianlah kehidupan orang-orang beriman. Banyak bagian dari rasa suka atau tidak suka bukan merupakan rasa cinta kasih tetapi lebih pada selera hawa nafsu. Tidak semua hal yang disukai mereka merupakan kebaikan, dan tidak semua yang tidak mereka sukai merupakan keburukan. Seringkali Allah meletakkan kebaikan yang sangat banyak pada sesuatu yang tidak disukai oleh orang beriman, atau sebaliknya boleh jadi Allah meletakkan keburukan yang besar pada sesuatu yang disukai mereka. Bila orang beriman tidak mendidik hawa nafsu mereka, mereka tidak akan mengenali kebaikan bagi mereka.

Sebagian besar penentuan pilihan dalam kehidupan manusia di dunia baik besar maupun kecil merupakan wahana mendidik hawa nafsu manusia, tetapi ada di antaranya merupakan titik yang menentukan jalan kehidupan untuk kembali kepada Allah, atau bahkan merupakan pilihan antara surga dan neraka. Kadangkala jalan menuju surga tampak bagai neraka, dan sebaliknya jalan menuju neraka tampak bagaikan surga. Kadangkala surga atau neraka ditentukan dari sesuatu yang tampak bagaikan sebuah pilihan kecil tanpa arti penting dalam pandangan manusia, kemudian mereka menentukan pilihan berdasarkan hawa nafsu.

Membina Kesatuan Mengikuti Nafs Wahidah

Kebaikan dan keburukan tidak dapat diukur berdasarkan rasa suka atau tidak suka tetapi harus diukur berdasarkan kehendak Allah. Kehendak Allah dapat dikenali oleh seseorang bila ia akrab dengan kitabullah. Bila ia tidak mengetahui perkataan dalam kitabullah, maka ia tidak mempunyai jalan untuk mengenal Allah karena hanya kitabullah yang tersambung secara langsung hingga tangan Allah. Para nabi dan rasul lebih berperan mengajarkan kitabullah di bumi, menyambungkan manusia kepada Allah melalui kitabullah, dan para malaikat mempunyai shaff tertentu yang tidak langsung terhubung kepada Allah. Manakala seseorang berhasil menghubungkan ayat alam kauniyah dirinya dengan ayat kitabullah dengan baik, ia telah melihat cara mengenali kehendak Allah. Terlepas dari benar atau tidak, ia harus memperhatikan secara lebih menyeluruh pengenalan dirinya terhadap kehendak Allah.

Mendidik hawa nafsu untuk mengenali kehendak Allah akan sangat dimudahkan bila seseorang menikah. Menikah akan mendekatkan seseorang pada nafs wahidah mereka, sehingga hawa nafsu merasakan dekatnya kehadiran nafs wahidah tersebut. Kemudahan untuk mengenali jalan taubat melalui pernikahan akan semakin besar manakala seseorang menentukan pernikahan mereka untuk mengikuti kehendak Allah, yaitu dimulai dengan memilih jodoh yang diciptakan dari nafs wahidah yang sama. Bila menemukan jodoh demikian, hendaknya seseorang mensyukurinya dengan mengalahkan rasa suka atau tidak suka. Bila memilih rasa suka, ia sangat mungkin terjatuh pada sikap kufur terhadap nikmat Allah.

Banyak kebaikan yang Allah letakkan pada pasangan menikah mukmin dan mukminat, bahkan apabila mereka tidak saling menyukai pasangannya. Bila mereka bertakwa maka kebaikan Allah itu akan terbuka. Bila pasangan itu memperbaiki hawa nafsu mereka secara sinergis, maka akan timbul juga bagian dari rasa mawaddah dan rahmah di antara mereka. Seandainya mereka membiarkan hawa nafsu mereka tidak tertata sinergis tetapi tetap bertakwa, mereka akan memperoleh kebaikan.

﴾۹۱﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS An-Nisaa’ : 19)

Ayat di atas berbicara tentang waris antara laki-laki dan perempuan. Pokok waris yang dimaksud ayat di atas lebih menunjuk pada penurunan jati diri seorang laki-laki kepada isterinya, sebagaimana ulama adalah pewaris para nabi. Seorang suami tidak boleh memaksa seorang isteri untuk menjadi salinan jati diri suaminya, walaupun memang seharusnya terjadi proses penyalinan jati diri seorang suami oleh isterinya bilamana suaminya adalah seorang yang kembali kepada Allah. Setiap isteri harus tumbuh dalam agamanya dengan menyalin keshalihan suaminya berdasar iktikad dari dirinya sendiri tidak dipaksakan orang lain.

Larangan ini berlaku pula bagi laki-laki lain. Bila seorang laki-laki memaksakan salinan dirinya pada perempuan selain isterinya, ia menimpakan musibah pada perempuan yang dipaksa tersebut hingga dapat tercerabut dari agamanya. Bila perempuan tersebut berkeluarga, suami dan anak-anaknya kehilangan pula rumah yang baik untuk mereka berdiam dan tumbuh. Bila perempuan itu telah menempuh jalan taubat bersama suaminya, ia kehilangan kemampuan memahami ajaran suaminya. Ada ilmu yang diturunkan Allah dapat digunakan untuk menurunkan waris secara paksa, tetapi ilmu itu merupakan fitnah bagi manusia. Ilmu tersebut boleh jadi terlihat baik dalam pandangan manusia, akan tetapi sebenarnya menjadi senjata syaitan untuk memporak-porandakan manusia. Ilmu demikian itu tidak boleh digunakan oleh siapapun. Bila kemudian perempuan memperturutkan dorongan dalam dirinya berkhianat karena mengikuti ilmu itu, ia akan terseret menuju neraka.

Proses waris di antara suami dan isteri berguna untuk membina rasa mawaddah dan rahmah. Seorang suami yang mendidik isteri untuk melaksanakan amr Allah bagi mereka akan mencintai isteri yang menerima didikannya. Bila isteri menolak didikan itu, seringkali timbul rasa gerah dalam suaminya, maka hendaknya suami tidak memperturutkan hawa nafsu mereka dalam mensikapi isteri demikian. Sangat banyak kebaikan yang Allah letakkan pada isteri mereka manakala terjadi demikian. Bila proses waris berjalan dengan baik, maka akan tumbuh rasa cinta di antara suami dan isteri. Rasa cinta yang demikian inilah rasa mawaddah dan rahmah yang akan menjadi bekal untuk membentuk bagian dari umatan wahidah, sedangkan kebanyakan rasa suka dan tidak suka merupakan selera dari hawa nafsu.

Kadangkala seorang isteri tidak dapat membentuk diri sebagai salinan suaminya karena suatu musibah yang tidak diinginkan. Dalam hal demikian, seorang suami harus memahami keadaan mereka karena Allah yang menghendaki atau mengijinkan keadaan demikian. Bila seorang suami tidak menerima keadaan demikian, hal itu merupakan suatu bentuk kufur terhadap nikmat Allah. Kadangkala seorang perempuan membentuk citra diri mengikuti seorang laki-laki dan laki-laki itu mengetahui, maka sangat mungkin laki-laki tersebut akan mencintainya, akan tetapi hendaknya setiap orang berpegang bahwa hal demikian seharusnya terjadi hanya dalam suatu wadah pernikahan, tidak melakukannya tanpa suatu ikatan yang benar.

Selera hawa nafsu tidak harus selalu dihilangkan atau dilawan karena kadang membantu menumbuhkan nafs, akan tetapi tidak boleh diperturutkan atau dipertuhankan. Hawa nafsu harus dibina untuk memahami kebaikan dari sisi Allah. Dalam hal mencari jalan taubat, nafs wahidah merupakan bekal paling berharga yang tidak layak ditukar dengan kesenangan hawa nafsu apapun. Nafs wahidah itulah jalan utama bagi setiap orang untuk kembali kepada Allah.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar