Pencarian

Kamis, 09 Maret 2023

Tegaknya Keluarga Sebagai Tiang Masyarakat

Allah menghendaki umat manusia untuk bersatu memakmurkan bumi sebagai umatan wahidah, akan tetapi manusia selalu berselisih di antara mereka. Hanya orang-orang yang membina diri mereka mengenali nafs wahidah yang mengetahui cara menyatukan diri mereka dalam umatan wahidah sebagai bagian dari umat Rasulullah SAW. Rasulullah SAW menekankan arti pentingnya pernikahan sebagai sunnah beliau SAW karena pernikahan merupakan sarana bagi setiap pengikut Rasulullah SAW untuk membina nafs wahidah. Dalam pernikahan, setiap nafs akan memperoleh pasangan yang akan menumbuhkan dirinya dan menjadi cermin yang memperkuat akal. Pernikahan sebagai sunnah Rasulullah SAW mempunyai peran sangat besar dalam pembinaan diri, hingga menjadi setengah bagian dari agama.

Salah satu aspek yang tumbuh melalui pernikahan adalah masalah waris. Seorang isteri menjadi ahli waris bagi suaminya karena pernikahannya dan juga sebaliknya, dari sebelumnya mungkin sebagai orang-orang yang sama sekali asing. Semua orang yang kemudian tumbuh terhubung pada suatu pernikahan akan menjadi ahli waris antara satu dengan yang lainnya. Hal demikian menunjukkan adanya suatu hubungan bagian bersama antara satu orang dengan orang lain dalam suatu keluarga yang terikat pada suatu pernikahan. Hubungan bagian bersama dalam suatu pernikahan ini menjadi landasan terwujudnya rezeki di alam jasmaniah mereka, sebagaimana seorang anak merupakan buah dari hubungan kebersamaan antara seorang suami dengan isteri.

Untuk mengupayakan terwujudnya buah rezeki di alam jasmaniah mereka, setiap laki-laki beriman perlu memperhatikan perihal warisan terhadap isterinya. Hal inilah yang akan membuahkan rezeki di alam jasmaniah bagi mereka, menjadi warisan di alam mulkiyah. Seorang mukmin pada dasarnya memiliki harta berupa akal untuk memahami kehendak Allah, dan seorang mukminat merupakan ladang yang akan menumbuhkan kehendak Allah yang dipahami suaminya hingga berbuah di bumi. Dengan mekanisme memperhatikan masalah waris, maka akan terwujud sumber rejeki di alam mulkiyah bagi pasangan mukmin dan mukminat.

Dalam prosesnya, seringkali proses waris di antara suami dan isteri ini terhambat. Seorang isteri mungkin saja merasa keberatan untuk menerima waris dari suaminya. Bila terjadi hal demikian, maka tidak halal bagi seorang suami untuk memberikan waris kepada isterinya dengan cara paksa. Seorang isteri tidak boleh dipaksa untuk menerima pengetahuan hakikat yang dikenal oleh akal suaminya.

﴾۹۱﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS An-Nisaa’ : 19)

Di alam mulkiyah, sangat jarang dijumpai seorang isteri menolak pemberian waris oleh suaminya. Hampir setiap orang akan mudah untuk menerima bagian dirinya yang diberikan secara benar. Akan tetapi di alam nafs, tidak semua perempuan dapat menerima bagian kebenaran hakikat bagi dirinya yang diberikan oleh suaminya sebagai warisan. Manakala seorang perempuan tidak mau menerima bagian warisan demikian, maka warisan itu akan tidak terwujud sebagai rezeki di alam mulkiyah. Pada kasus demikian, seorang suami tidak boleh memaksakan kepada isterinya untuk menerima warisannya.

Masalah kesiapan menerima warisan pada diri seorang perempuan terkait dengan kelurusan perjalanan taubat mereka. Seorang perempuan menempuh perjalanan taubat sebagai pendamping bagi suami. Manakala seorang perempuan berjalan beriring dengan suaminya dalam perjalanan taubat, ia akan mudah memahami segala bagian yang diberikan suaminya. Manakala tidak mengarah pada jalan yang sama atau ada perbedaan jarak yang jauh dengan suaminya, maka ia tidak akan mudah untuk menerima ajaran kebenaran dari suaminya. Dalam beberapa kasus, syaitan berhasil merusak kebersamaan melalui hati, di mana sepasang suami isteri yang berjalan beriring bersama di jalan taubat tidak saling memahami pasangannya. Bila seorang isteri berkhianat melakukan perbuatan keji baik secara dzahir atau bathin, ia akan sangat kesulitan menerima pengajaran suaminya, maka mereka tidak akan membuahkan buah duniawi berdasar pengetahuan ilahiah yang diperolehnya.

Batas bagi seorang laki-laki untuk memaksa isterinya adalah perbuatan keji yang dilakukan. Tanpa adanya perbuatan keji, seorang laki-laki tidak berhak untuk memaksa isterinya. Bila isteri berbuat keji, maka seorang laki-laki berhak untuk memaksa isterinya menerima pengajarannya hingga ia kembali. Dalam hal ini, sebagian perbuatan keji merupakan hal bathiniyah, maka hal ini harus disikapi dengan sebaik-baiknya. Sekalipun terjadi secara bathiniah, hal itu tetap merupakan kekejian yang dapat menjadikan seorang perempuan bengkok akalnya bila tidak diajarkan kebenaran. Setiap mukmin perlu memperhatikan batasnya dengan tepat, bahwa pemaksaan itu hanya dapat dilakukan bila terjadi perbuatan keji yang nyata.

Seorang perempuan yang merealisasikan kekejian dalam bathinnya dengan upaya membersamai laki-laki lain termasuk dalam kekejian yang nyata. Kebersamaan seorang perempuan dengan laki-laki lain belum tentu merupakan perbuatan keji kecuali perbuatan itu terwujud karena adanya kekejian dalam bathin atau terjadi perbuatan keji yang nyata. Setiap perempuan hendaknya menjaga dirinya dengan batas-batas yang diijinkan oleh suaminya, termasuk manakala ia memandang bahwa yang dilakukannya adalah dalam rangka amal shalih. Bila seorang suami merasakan potensi kekejian yang dapat terjadi dalam amal shalih isterinya, baik potensi kekejian yang muncul dari isterinya atau yang muncul dari orang lain, ia berhak dan harus melarang isterinya melakukan amal itu untuk menghindari terjadinya kebengkokan akal.

Bila tidak terjadi perbuatan keji, setiap suami harus bergaul dengan isterinya dengan cara yang baik dalam setiap keadaan baik ia menyukai atau tidak menyukai mereka. Ketika menyukai, maka mudah baginya untuk mempergauli mereka. Manakala tidak menyukai, sebenarnya mereka akan menemukan kebaikan yang banyak dalam diri isterinya bila bergaul dengannya, karena Allah menjadikan kebaikan yang banyak pada diri isterinya. Boleh jadi semua ketidaksukaan seorang laki-laki kepada isterinya hanya merupakan perasaan hawa nafsu yang keliru sedangkan isteri mereka merupakan mukminat yang membawa banyak kebaikan bagi suaminya dan juga umat manusia seluruhnya. Setiap laki-laki hendaknya mempergauli dengan baik isteri mereka yang tidak melakukan kekejian. Bila mereka menata hawa nafsunya secara sinergis bersama isterinya, ia akan menemukan rasa mawaddah dan rahmah antara suami dan isteri.

Bertakwa dalam Urusan Perempuan

Setiap orang hendaknya bertakwa kepada Allah terkait kaum perempuan. Terdapat amanah dari Allah dalam setiap diri perempuan, dan halalnya kemaluan perempuan bagi suaminya merupakan implikasi jasadiah dari telah tertanamnya benih kalimah thayyibah dalam nafs seorang suami pada ladang nafs isterinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَاتَّقُوْا اللهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانِ اللهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ
Bertakwalah kalian kepada Allah tentang kaum wanita. Sesungguhnya, kalian mengambil mereka dengan disertai amanat dari Allah. Dan kalian meminta kehalalan kemaluan mereka beserta dengan kalimatullah. [HR Muslim].

Memperhatikan warisan bagi isteri dapat dilakukan setiap suami dengan melihat amanah yang terkandung dalam diri isterinya. Amanah itu harus dipahami dengan akal yang harus tumbuh memahami kehendak Allah. Amanah yang terkandung dalam diri setiap isteri akan menjadi bahan amal shalih yang harus diwujudkan oleh suaminya. Setiap suami harus berusaha mengenali dengan sungguh-sungguh amanah yang terkandung dalam diri isterinya.

Amanah Allah dalam diri setiap perempuan diperuntukkan bagi suami mereka, dan tidak ada laki-laki lain yang berhak untuk mengambilnya dari suaminya. Bila seorang laki-laki mengambil amanah dalam diri isteri orang lain, hal itu merupakan perbuatan syaitan. Hal ini terkait erat dengan pohon thayyibah nafs yang harus tumbuh dalam diri seorang perempuan. Tidak boleh ada dualitas dalam diri seorang perempuan dalam masalah amanah dan pohon thayyibah yang tumbuh pada dirinya. Pohon thayibah yang berhak mengambil amanah itu dan membuahkannya hanya nafs suaminya, tidak boleh berupa dua orang laki-laki yang berbeda, karena hanya suaminya yang dapat tumbuh sebagai pohon thayyibah bagi amanah Allah tersebut.

Hal ini tidak dapat dibantah dengan dalih apapun. Kadang seseorang merasa sebagai jodoh seorang perempuan tertentu maka ia mengambil amanah itu sedangkan mereka tidak menikah. Perasaan berjodoh seperti itu tidak mungkin benar kecuali pihak perempuan belum menikah, dan perbuatan mengambil amanah itu tidak sah. Bila pihak perempuan belum menikah, maka boleh jadi perasaan itu benar. Benarnya hal ini tidak ditunjukkan dengan rasa suka hawa nafsu di antara keduanya, akan tetapi kecenderungan mengalirnya amanah pada diri perempuan tersebut. Nafs seorang perempuan tercipta dari nafs wahidah laki-laki tertentu, dan amanah itu akan cenderung mengalir kepada laki-laki jodohnya itu. Bila seorang perempuan berserah diri, ia akan mengetahui arah amanah itu mengalir tanpa terhambat dengan hawa nafsu dalam dirinya. Demikian pula laki-laki yang berserah diri akan mengenali amanah yang mengarah pada dirinya. Bila seorang perempuan telah menikah, maka pemegang amanah itu adalah suaminya tidak boleh mengalir pada yang lain.

Banyak kebaikan yang Allah letakkan pada pasangan menikah mukmin dan mukminat, bahkan apabila mereka tidak saling menyukai pasangannya. Bila mereka bertakwa maka kebaikan Allah itu akan terbuka. Bila pasangan itu memperbaiki hawa nafsu mereka, maka akan timbul juga rasa mawaddah dan rahmah di antara mereka. Seandainya mereka membiarkan hawa nafsu mereka tidak tertata tetapi tetap bertakwa, mereka akan memperoleh kebaikan. Manakala seseorang merebut amanah yang Allah letakkan dalam diri seorang perempuan secara bathil, maka amanah itu bisa menjadi keburukan yang menimpa umat manusia.

Mewujudkan Masyarakat yang Kuat

Dalam pembinaan kaum mukminin, pernikahan hendaknya menjadi perhatian utama karena menjadi bagian utama dari agama. Tidak akan terbina kaum mukminin dengan akal yang kuat bilamana masalah pernikahan tidak diperhatikan. Orang-orang yang membujang tidak akan tumbuh akalnya untuk memahami ayat Allah kecuali hanya yang mereka inginkan saja, tidak memahami apa yang benar-benar menjadi kehendak Allah. Seburuk-buruknya orang yang beriman adalah orang-orang yang membujang di antara mereka, dan sebodoh-bodohnya orang beriman adalah yang membujang di antara mereka. Mereka tidak memperoleh media untuk bersentuhan dengan amanah Allah dan kalimah Allah karena tidak menikah.

Dari sahabat Athiyyah r.a beliau berkata :
وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: شِرَارُكُمْ عُزَّابُكُمْ وَأَرَاذِلُ مَوْتَاكُمْ عُزَّابُكُمْ.
Nabi saw. bersabda, “Seburuk-buruknya kalian adalah orang-orang kalian yang membujang dan sebodoh-bodohnya meninggalnya kalian adalah orang-orang kalian yang membujang.(HR Ahmad)

Pernikahan yang baik harus dibina agar masyarakat tegak. Tegaknya suatu masyarakat sangat tergantung dengan tegaknya keluarga dalam masyarakat dengan akal yang kuat. Akal yang kuat tidak akan diperoleh bila manusia hidup membujang.

Di jaman ini upaya menegakkan keluarga sesuai dengan tuntunan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW tidak banyak terlihat, dan justru menghadapi banyak hambatan. Tidak banyak umat islam yang mengetahui sunnah pernikahan hingga tujuan pokoknya. Lebih banyak manusia tidak mengetahui tujuan sunnah menikah dan kaidah dalam mewujudkan sunnah tersebut, memperturutkan keinginan diri dalam menempuh pernikahan. Sedangkan orang-orang yang mengetahui tujuan sunnah tersebut memperoleh halangan yang sangat banyak untuk mewujudkannya hingga manusia mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.

Tujuan pernikahan adalah terbentuknya bayt untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah. Kaidah mewujudkannya adalah memanifestasikan buah dari khazanah yang terkandung dalam diri manusia. Setiap perempuan membawa amanah Allah bagi seorang laki-laki tertentu yang diciptakan dari nafs wahidah yang sama. Upaya mewujudkan bayt tersebut hendaknya diusahakan setiap orang sejak sebelum menikah, tetapi tidak semua orang mampu menemukan pasangan demikian. Hanya orang yang berserah diri-lah yang akan menemukan pasangannya, karena itu hendaknya setiap orang dibina untuk berserah diri. Bila seseorang yang berserah diri menemukan pasangannya, hendaknya tidak ada yang menghalangi mereka menikah apalagi hingga mengharamkan apa yang halal karena hal demikian berasal dari syaitan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar