Pencarian

Senin, 10 Mei 2021

Pernikahan Sebagai Sarana Mengenal Allah

Allah memberikan petunjuk kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya untuk mengenal cahaya Allah dalam wujud permisalan berupa cahaya di atas cahaya. Sekalipun berupa cahaya di atas cahaya, entitas itu bukanlah zat Allah akan tetapi hanya merupakan permisalan bagi cahaya Allah yang hendak diperkenalkan kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Tidak ada satu makhluk-pun yang pernah bertemu dengan Allah kecuali dalam wujud permisalan yang dikehendaki-Nya.

Manusia merupakan hamba-Nya yang dikehendaki untuk diperkenalkan kepada cahaya-Nya dalam wujud yang paling tinggi. Manusia itu adalah Rasulullah Muhammad SAW. Tidak ada makhluk yang dapat mengenal Allah lebih baik daripada beliau SAW, karena beliau mengenal cahaya Allah di ufuk yang tertinggi. Para makhluk langit yang tinggi tidak dapat mengenal wujud cahaya itu sebagaimana pengenalan Rasulullah SAW.

Orang-orang yang mengikuti Rasulullah SAW akan diperkenalkan kepada cahaya-Nya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Ada kriteria yang harus dipenuhi agar seseorang termasuk dalam kelompok yang dikehendaki Allah untuk diperkenalkan kepada cahaya-Nya. Salah satu kriteria itu adalah bahwa orang itu berada di dalam rumah-rumah yang diijinkan Allah untuk ditinggikan dan disebutkan asma Allah di dalamnya.



﴾۶۳﴿فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ
Di dalam rumah-rumah yang telah Allah izinkan ditinggikan dan disebut asma-Nya di dalamnya, mereka bertasbih bagi-Nya di dalamnya pada waktu pagi dan waktu petang (QS An-Nuur : 36)

Rumah-rumah itu adalah rumah tangga yang harus dibentuk sesuai dengan kehendak Allah. Itu adalah salah satu syarat utama untuk mengenal cahaya Allah, syarat yang disebutkan terlebih dahulu daripada kualitas pribadi seseorang. Asma Allah hanya dapat ditinggikan bila terbentuk rumah tangga yang diijinkan Allah untuk ditinggikan dan disebutkan asma-Nya di dalamnya. Dengan membentuk rumah tangga sesuai dengan kehendak Allah, maka seorang laki-laki memiliki basis untuk meninggikan asma Allah. Tidak ada seorang laki-laki yang dapat meninggikan asma Allah tanpa rumah tangga yang diijinkan Allah untuk ditinggikan dan didzikirkan asma-Nya di dalamnya.

Harus terbentuk hubungan antar suami-istri sesuai dengan kehendak Allah, rumah tangga yang dapat memancarkan bayangan asma Allah berupa Ar-Rahman Ar-Rahiim. Seorang suami harus tumbuh akalnya untuk memahami kitabullah yang diajarkan oleh Ar-Rahman. Isteri atau para isteri harus tumbuh sifat-sifat rahimiyahnya sebagai perempuan ahli surga sehingga pemahaman suaminya terhadap Alquran dapat tumbuh subur di alam duniawi.

Ta’addud Untuk Memurnikan Kasih Sayang

Kadangkala keluarga itu harus ditumbuhkan sebagai keluarga lebih dengan satu isteri (ta’addud). Hubungan semacam ini dibentuk untuk memancarkan hubungan citra rahmaniah dan rahimiah Allah terhadap banyak makhluk-Nya. Dengan hubungan ta’addud demikian orang-orang yang terlibat dalam pernikahan akan dimurnikan untuk mengenal asma-asma Allah yang tertinggi, yang tidak dapat diperoleh dengan jalan yang lain. Seorang laki-laki akan dituntut setiap saat untuk belajar bersikap adil melalui para istrinya, bagi umat yang menjadi tanggungannya. Demikian pula para isteri dituntut untuk selalu belajar membangun kasih sayang terhadap orang lain berdasarkan kemurnian jiwanya, di mana masing-masing isteri harus belajar membersihkan jiwanya dengan bergaul dengan isteri yang lain di atas dasar kasih sayang.

Bentuk keluarga demikian akan menghindarkan para pihak dalam keluarga dari bentuk cinta egoistik. Kemurnian pengenalan terhadap kasih sayang Allah demikian merupakan basis dalam meninggikan asma Allah. Asma Allah hanya dapat ditinggikan melalui kasih sayang yang murni. Dahulu Iblis tampak sebagai makhluk yang sangat mulia, makhluk yang taat dan makhluk mencintai zat Mulia yang memerintahkannya untuk bersujud kepada Adam. Tetapi cinta Iblis itu ternyata merupakan wujud cinta yang egoistik. Ketika diperintahkan bersujud kepada Adam, terungkaplah bentuk cinta iblis kepada Allah yang sebenarnya, bahwa cintanya hanyalah cinta pada diri sendiri bukan cinta kepada kemuliaan asma Allah. Hakikat bentuk cinta egoistik iblis demikian tidak dikenali para makhluk sebelumnya dari iblis. Demikian pula bentuk cinta egoistik itu akan sulit untuk dikenali dalam keluarga yang monogamis, dan lebih mudah dikenali dalam hubungan rumah tangga yang berta’addud.

Tuntutan untuk membentuk bayt sebagaimana ayat di atas tidaklah mudah. Setiap pihak dituntut untuk bertakwa kepada Allah. Ta’addud demikian hanya dapat dilakukan bilamana seseorang telah mengenal keadilan.

﴾۳﴿وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku setimbang terhadap para yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang sesuai bagi kalian: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat bertinggi-tinggi (QS An-Nisaa’ : 3)

Pada prinsipnya, ta’addud merupakan solusi bagi seseorang agar dapat berbuat setimbang terhadap umat yang menjadi tanggungan seseorang. Ta’addud bukanlah jalan yang mudah bagi orang kebanyakan. Bagi orang-orang kebanyakan, diperintahkan untuk mengambil satu saja isteri bagi mereka atau cukuplah budak-budak yang mereka kuasai. Dengan mengambil hanya satu orang isteri saja, maka orang-orang akan terhindar dari berbuat dzalim.

Orang yang telah mengenal keadilan-lah yang diperintahkan Alquran untuk melakukan pernikahan ta’addud. Dengan pernikahan ta’addud itu seorang laki-laki yang telah mengenal keadilan akan tertuntun untuk berbuat setimbang terhadap umat yang menjadi tanggungannya, melalui keadilan terhadap isteri-isterinya. Parameter pengenalan seseorang terhadap keadilan terlihat dari pengenalannya terhadap nafs wahidah dirinya. Dengan mengenal nafs wahidah dirinya, seseorang akan mengenal nafs istri-istrinya sebagai bagian dari nafs wahidah dirinya. Orang yang tidak mengenal nafs wahidahnya belum termasuk orang yang adil.

Pengenalan seseorang terhadap nafs isteri-isterinya akan tercermin dari cara melihat dan bersikap kepada isterinya. Seseorang yang mengenal keadilan akan memahami bahwa tanpa peran isterinya, dirinya tidak akan dapat berbuat apa-apa bagi umatnya. Isterinya adalah pintu masuk dirinya kepada umatnya. Dengan pemahaman demikian, seseorang yang mengenal keadilan harus bergerak untuk membentuk bayt sebagai sarana untuk meninggikan asma Allah di antara umat yang menjadi tanggungannya.

Bagi seseorang yang mengenal keadilan, seorang isteri adalah instrumen yang menghubungkan dirinya dengan umatnya. Tanpa isteri yang tepat, dirinya tidak akan dapat terhubung dengan umatnya. Dalam perintah ta’addud, memperoleh instrumen yang tepat ini merupakan tujuan yang harus diperoleh, bukan untuk bermegah-megah atau bersenang-senang dengan banyaknya isteri. Orang yang berta’addud dengan tujuan lain akan cenderung mudah untuk terjebak dalam kehidupan bermegah-megah.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr r.a ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
اَلدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ.
Dunia adalah peralatan, dan sebaik-baik peralatan dunia adalah wanita yang shalihah. (HR Muslim (no. 1467), an-Nasa-i (VI/69), Ahmad (II/168), Ibnu Hibban (no. 4020) dan al-Baihaqi (VII/80) )

Perempuan merupakan bagian laki-laki yang membawa aspek dunia baginya. Aspek-aspek dunia bagi seorang laki-laki shalih melekat pada sosok manusia berupa isterinya. Tanpa seorang isteri yang shalihah, seorang laki-laki shalih tidak akan dapat mengolah dunia yang diperuntukkan baginya dengan baik sebagaimana seseorang yang tidak mempunyai alat untuk bekerja.

Dalam pandangan laki-laki shalih yang mengenal keadilan, seorang isteri adalah instrumen yang menghubungkannya kepada umatnya. Ibarat seorang engineer yang harus melakukan simulasi-simulasi perhitungan, seorang isteri akan terlihat bagaikan komputer yang menghadirkan seluruh perhitungan-perhitungan yang perlu dilakukan. Tanpa komputer itu, seseorang harus melakukan usaha penuh susah payah dengan resiko kesalahan yang sangat tinggi. Demikian gambaran seorang perempuan sebagai mata’ (peralatan/instrumen) bagi laki-laki.

Membentuk Keshalihan Dalam Rumah Tangga

Ada prinsip keshalihan yang harus dipenuhi agar sebuah bayt terbentuk. Setiap istri harus mengikuti perjuangan suaminya dengan tenang, dan harus berusaha menghadirkan jiwanya ketika suaminya membutuhkan. Setiap istri harus berusaha mendampingi suaminya dengan tingkat kehadiran yang sebaik-baiknya. Tingkatan itu berupa berusaha memperhatikan dengan kesediaan mendengar atau melihat, berusaha memahami, berusaha membenarkan dan berusaha turut serta dalam perjuangan suaminya. Semakin tinggi tingkatan kehadirannya bagi suaminya, maka semakin besar arti dirinya bagi suaminya, dan semakin mudah bagi suaminya mengolah segala hal yang menjadi urusannya di dunia. Tingkatan kehadiran jiwa bagi suaminya itu menunjukkan tingkatan keshalihan seorang isteri.

Kadangkala sepasang suami isteri yang berusaha menempuh jalan kembali kepada Allah terpisahkan sangat jauh karena perbuatan syaitan. Pasangan itu dapat bertengkar karena cara pandang yang sangat berbeda. Seorang isteri dapat melihat suatu perkara sebagai perintah Allah, sedangkan suaminya melihat itu sebagai fitnah yang dibuat oleh syaitan bagi mereka, atau sebaliknya. Seorang isteri harus berusaha menghadirkan jiwanya bagi suaminya sebagai jalan untuk menemukan jalan bersatu kembali. Tanpa menghadirkan jiwanya, isteri tersebut akan terenggut oleh fitnah syaitan. Demikian pula seorang suami harus mengikuti yang terbaik, tidak mengikuti hawa nafsu dirinya.

Ketika seorang suami berpendapat bahwa perkara yang dipandang perintah Allah oleh isteri sebagai fitnah syaitan, istri tidak boleh serta merta menolak argumentasi suaminya. Dirinya harus menyelidiki dengan benar dan sungguh-sungguh argumentasi suaminya. Bila ada ayat Alquran yang menjadi landasan argumentasi suaminya, dirinya tidak boleh semena-mena menuduh bahwa suaminya hanya memperalat ayat-ayat Alquran sebagai pendukung argumentasi. Seringkali keyakinan perempuan itu tentang perkaranya sebagai perintah Allah itu hanyalah sebuah waham dan ilusi. Dalam kasus demikian, seorang laki-laki shalih akan melihat fitnah yang sangat besar di antara umatnya, yang membengkokkan akal umat menuju jalan yang celaka. Istrinya menjadi instrumen dasar yang menjadi cermin keadaan umatnya.

Ada kemungkinan perempuan itu tidak dapat memahami suaminya. Maka perempuan itu harus melakukan ketaatan pada suami dengan tidak melakukan hal yang dianggapnya sebagai perintah Allah tersebut. Hal itu mencukupi untuk keadaan dirinya saat itu. Mungkin hal itu berat baginya karena konflik paradigma dalam batin. Perempuan demikian harus bersiap hidup dalam kesulitan secara dzahir dan bathin. Suaminya akan kesulitan mengelola dunianya. Akan lebih baik bila ia bisa menghilangkan pikiran tentang perintah Allah itu sebagai tanggung jawabnya. Kewajibannya adalah mendengarkan dan mentaati suaminya, bukan mewujudkan perintah Allah yang absurd bagi suaminya yang shalih. Ketaatan dalam keterpaksaan itu merupakan bentuk menghadirkan jiwa bagi suami pada tingkatan yang paling rendah.

Tingkatan yang lebih baik bagi perempuan itu adalah berusaha memahami apa yang disampaikan suaminya. Bagaimanapun seorang perempuan tetaplah manusia yang diberi akal untuk memahami Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW. Alquran dan Sunnah itu telah diturunkan hingga tingkatan akal semua manusia, bukan hanya laki-laki saja. Seorang perempuan harus berusaha memahami Alquran, sunnah dan apa-apa yang diajarkan oleh suaminya walaupun suaminya belum menjadi orang suci. Mungkin suami hanya mengetahui terangnya Alquran, belum bisa membedakan apakah terangnya itu karena ruh qudus, jiwa, aql atau hal lain. Alquran dan sunnah yang dimengerti suaminya harus berusaha dipahami oleh setiap istri, tidak boleh diremehkan isteri karena status suaminya yang belum layak di matanya. Menilai layak atau tidak suaminya untuk mengajarkan Alquran bukanlah tugas isteri. Upaya memahami itu merupakan upaya menghadirkan jiwa bagi suaminya dalam tingkatan yang lebih baik.

Setelah memahami apa yang diajarkan suaminya, seorang perempuan hendaknya berusaha memperoleh kedudukan untuk menentukan sikap bagi suaminya dengan ilmu, baik membenarkan atau memberikan koreksi. Apa yang benar dari suaminya harus dibenarkan dan didukung langkahnya, tidak menggantungkan dukungannya pada pendapat orang lain. Tidak ada kedekatan seseorang melebihi kedekatan antara suami atau isteri. Tidak boleh ada orang lain yang lebih menentukan sikap dalam interaksi antara suami dan isteri dibanding diri mereka sendiri. Seorang suami atau isteri harus dapat menentukan sendiri bahwa suami atau isterinya berbuat benar atau kurang tepat, tidak berdasarkan penilaian orang lain. Bila benar maka pasangannya harus didukung tanpa menunggu komentar orang lain, dan bila salah hendaknya ia memberitahu dan memberi masukan pada pasangannya dengan cara yang sebaik-baiknya. Ini merupakan kehadiran jiwa setelah berusaha memahami suaminya.

Kehadiran yang sebenarnya jiwa seorang isteri akan terjadi bila seorang isteri dapat memahami, membenarkan dan terlibat dalam amal shalih suaminya. Hal ini merupakan tingkatan keshalihan terbaik seorang isteri. Dengan keadaan ini, seorang isteri dapat menjadi instrumen terbaik bagi suaminya untuk melaksanakan tanggung jawabnya bagi umatnya. Dengan keadaan seperti ini, sepasang suami isteri dapat berharap untuk mewujudkan bait yang mendapatkan ijin Allah untuk ditinggikan dan disebutkan asma-Nya di dalamnya.

Tidak mudah bagi pasangan suami isteri untuk membangun bait, dan keshalihan yang terbentuk tidaklah menjadi satu-satunya syarat terbentuknya bait. Memahami kehendak Allah menjadi hal terpenting untuk mewujudkan bait. Bilamana Allah berkehendak agar rumah tangga itu memurnikan bentuk kasih sayang di antara mereka untuk lebih mengenal rahmaniah dan rahimiah-Nya melalui rumah tangga ta’addud, mereka harus membentuk rumah tangga yang demikian, tidak memperturutkan keinginan mereka sendiri. Setiap pihak yang terlibat dalam rumah tangga itu harus memperhatikan kehendak Allah bagi mereka. Bait itu hanya terbentuk melalui ijin Allah bagi mereka, bukan berdasar atas usaha mereka membentuk bait.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar