Pencarian

Kamis, 27 Mei 2021

Kitab Diri Sebagai Sumber Hakikat

 Allah menciptakan manusia di bumi dan menetapkan bagi masing-masing amal perbuatan yang harus dilaksanakan. Amal-amal itu telah dituliskan dalam kitab diri setiap manusia. Amal-amal seseorang yang bersesuaian dengan ketetapan dalam diri itulah yang merupakan amal shalih yang sesungguhnya baginya. Dengan beramal sesuai dengan kitab diri, maka akan terbuka pengetahuan kitabullah bagi dirinya. Pengetahuan kitabullah itulah pengetahuan hakikat yang akan dibawa hingga kelak menghadap kepada Allah, dan menjadi pemberat timbangan di hadirat Allah.

﴾۳۱﴿وَكُلَّ إِنسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ وَنُخْرِجُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كِتَابًا يَلْقَاهُ مَنشُورًا
Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. (Q Al-Israa’ : 13)

Kesabaran dalam berserah diri dalam mencari kehendak Allah merupakan pangkal dari keterbukaan kitab diri seseorang, suatu hal yang lebih penting daripada pengetahuan tentang kitab diri itu sendiri. Bila seseorang tidak mampu tegak dalam mencari kebenaran, pengetahuan tentang isi kitab diri itu akan menjatuhkannya untuk mengaku pemilik kebenaran dan hal itu akan menutupinya dari kebenaran yang lebih baik. Ia mungkin tidak lagi mencari dan menemukan kebenaran dalam realitas yang ada di sekitarnya, merasa bahwa dirinya adalah pemilik kebenaran. Kitab diri seseorang akan dibukakan Allah kepada setiap manusia pada hari kiamat.

Manusia harus bijak mensikapi kitab diri masing-masing. Kitab ini hampir-hampir seperti pohon khuldi yang diperuntukkan bagi Adam, tetapi justru menjatuhkannya bermaksiat kepada Allah. Adam diperintahkan untuk memakan buah-buah dari pohon di sekitar pohon khuldi sebagai makanannya. Setara demikian, seseorang akan dimudahkan untuk membaca ayat-ayat Alquran yang berdekatan dengan kitab dirinya, dan Alquran itu akan membukakan hakikat-hakikat yang diperuntukkan baginya. Hakikat-hakikat yang dikenal dari alquran itulah yang harus diperhitungkan seseorang. Setiap orang harus memfokuskan diri dalam ibadah kepada Allah. Demikian pula dalam membaca kitab diri harus lebih memperhatikan kepada Alquran daripada kitab dirinya. Kesesuaian dengan semesta yang ada harus dipertimbangkan karena ada hubungan cinta kasih yang harus terbina di antara mereka.

Allah melarang seseorang untuk mendekati pohon khuldi, sedangkan syaitan menunjukkan Adam kepada pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa. Ada kesamaan objek pada larangan Allah dan tipuan syaitan, yaitu pohon khuldi. Itu merupakan sumber kebenaran bagi manusia kelak di akhirat, sebagaimana kitab diri sebagai kitab kebijaksanaan. Walaupun merupakan sumber-sumber kebenarann, keduanya harus disikapi dengan kehalusan sehingga Allah memberikan larangan mendekati pohon khuldi, sedangkan syaitan mendorong manusia kepadanya.

Larangan Allah bukan bertujuan menahan manusia dari kebijaksanaan, dan petunjuk syaitan tidak menunjukkan manusia pada kebijaksanaan. Allah mencegah seseorang untuk terburu-buru menempati kedudukan diri dan mewujudkan semesta berdasarkan pohon khuldinya, sedangkan syaitan mendorong manusia untuk terburu-buru dengan fokus yang buram. Segala kebijaksanaan yang terkandung dalam pohon khuldi harus diperhatikan berdasarkan kehendak Allah dalam wujud ketakwaan, dan harus diperhatikan kesesuaian dengan segala yang terjadi pada alam sekitarnya dalam hubungan kasih sayang, tidak dibaca dengan keinginan diri sendiri tanpa melihat keadaan lingkungannya. Syaitan mendorong manusia untuk memfokuskan tujuan pada eksistensi diri manusia.

Seseorang yang memperoleh pengetahuan dari kitab diri akan mengerti kehendak Allah berdasarkan ketakwaan. Sedikit perbedaan akan terjadi bila seseorang mengenal pohon khuldinya. Ia tampak mengenal kehendak Allah, akan tetapi terlihat ceroboh dalam bersikap kepada hukum kitabullah dan semesta dirinya. Seseorang akan mudah melanggar larangan Allah dan melakukan perbuatan aniaya karena mengenal pohon khuldi, sedangkan ia memandang hal itu sebagai kebaikan. Kehalusan dan perincian masalah yang ada dalam kitabullah tidak tampak dalam pandangan orang yang mengenal pohon khuldi, dan akan terlihat orang yang ikhlas berusaha mengenal kitabullah.

 

Kitab Diri Sebagai Alat Hisab

Allah memerintahkan manusia untuk membaca kitab dirinya ketika kitab diri itu terbuka sebagai alat hisab bagi dirinya. Seseorang dinyatakan telah mampu melakukan hisab diri ketika kitab diri terbuka kepada dirinya. Kitab diri itu hendaknya tidak diperlakukan untuk perbuatan yang salah, karena tujuan utama keterbukaan kitab diri adalah agar seseorang melakukan hisab diri berdasarkan ketetapan Allah. Kadangkala seseorang bertindak bagai orang paling pandai karena kitab diri yang terbuka kepadanya, atau seolah-olah dirinya pemangku kuasa Allah tanpa memiliki kebijaksanaan.



﴾۴۱﴿اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَىٰ بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا
"Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu" (QS Al-Israa’ :14)

Hisab diri harus dilakukan untuk menghitung hakikat yang diperoleh dalam kehidupannya. Hakikat itu tidak terbaca semata-mata dalam kitab diri. Seseorang harus melihat realitas yang terjadi disekitarnya berdasarkan kitab diri, dan membaca hakikat segala sesuatu yang terjadi berdasarkan kitabullah Alquran. Kitab diri berfungsi sebagai visi untuk menentukan sudut pandang masalah, sedangkan sumber hakikat berasal dari kitabullah Alquran.

Alquran itu akan menjadi sumber hakikat manakala seseorang mempunyai sifat kasih sayang kepada semestanya. Tanpa sifat itu, Alquran bisa terlihat bersifat kering tanpa makna yang dapat diperoleh. Sifat kasih sayang itu mengharuskan seseorang untuk memahami objek yang di sekitarnya, dan kemudian berusaha memberikan khazanah Allah kepada yang membutuhkan yang mengalir melalui dirinya.

Hubungan tiga hal tersebut harus terbentuk sebagaimana mestinya. Kitab diri menjadi kedudukan untuk melihat peristiwa-peristiwa pada semestanya sesuai dengan cara pandang Alquran.  Alquran menjadi sumber hakikat, dan semesta menjadi objek kasih sayangnya. Ketiga hal itu harus dijadikan alat hisab diri. Kitab diri harus menjadi alat hisab diri, tidak boleh dijadikan alat untuk berbesar diri dan alat legitimasi perbuatan diri. Dengan hakikat yang diperoleh, dirinya harus mengalirkan khazanah Allah kepada semestanya. Itulah kebenaran yang akan dibawa pada hari penimbangan di hadirat Allah kelak.

Tidak ada kasih sayang tanpa berusaha memahami orang lain. Kadangkala seorang laki-laki memaksakan pendapat kepada isteri dan anak-anaknya tanpa memahami kebutuhan mereka. Itu lebih menunjukkan obsesi diri, bukan memberikan khazanah yang terbaik. Sebaliknya bukan semua tuntutan anak istri yang merupakan kebutuhan mereka, karena itu lebih menunjukkan keinginan mereka. Demikian pula seorang pemimpin tidak boleh memaksakan kehendak tanpa memahami anak buahnya, dan bukan pula keinginan anak buahnya yang merupakan kebaikan bagi mereka. Seorang laki-laki harus berusaha melihat dan memahami kebaikan untuk masyarakat melalui sudut pandang yang dikehendaki Allah.

Pengetahuan kitab diri tidak boleh digunakan untuk menghakimi orang lain dengan semena-mena. Khazanah Allah yang mengalir melalui seseorang seharusnya diberikan kepada orang yang berhak, akan tetapi bila orang yang bersangkutan tidak merasa membutuhkan khazanah itu maka tidak perlu dipaksakan untuk memperolehnya. Ia cukup memancing orang itu untuk mengenal khazanah Allah. Dirinya dapat berbagi khazanah itu kepada masyarakat luas bila memang dibutuhkan oleh orang lain. Dalam beberapa kasus, khazanah itu berbahaya bila tidak diberitahukan kepada masyarakat, maka ia tidak boleh menyimpan khazanah itu tanpa memberitahukan kepada masyarakat. Bila seseorang memiliki kuasa, ia harus menggunakan kuasanya untuk menegakkan amar ma’ruf nahy munkar berdasar khazanah Allah yang mengalir kepada dirinya.

Kadangkala seseorang yang mengetahui kitab dirinya tidak dapat memberikan kebutuhan khazanah orang lain yang datang kepada dirinya, sedangkan orang itu membutuhkan khazanah yang seharusnya mengalir melalui dirinya. Sebaliknya, seseorang dapat melakukan hal-hal buruk terhadap orang lain berdasarkan kitab dirinya. Hal demikian dapat terjadi bilamana seseorang salah dalam mensikapi kitab diri. Kitab diri, kitabullah Alquran dan semesta yang ada di sekitarnya harus disikapi dengan tepat. Dalam keadaan apapun, Alquran adalah kitabullah yang harus paling diutamakan bukan yang lain. Setiap amal yang dilakukan harus berlandaskan rasa kasih sayang, bukan sikap mementingkan diri sendiri walaupun dengan membaca kitab diri. Kitab diri berfungsi untuk menentukan sudut pandang masalah.

Sikap demikian sebenarnya tidak memperkenalkan hakikat secara utuh kepadanya. Fungsi dirinya tidak berjalan dengan sempurna. Pohon diri, kitab diri dan segala hal yang menjadi sumber kebenaran bagi seseorang harus disikapi dengan tepat dan halusnya dapat dirasakan. Seseorang tidak boleh mendekati pohon khuldi sebagai klaim terhadap urusan Allah bagi dirinya, dan diperintahkan untuk membaca kitab dirinya untuk hisab diri, bukan untuk klaim pohon dirinya. Melanggar hal demikian seringkali memunculkan sikap-sikap kufur di mata Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar